Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Masriana Mursaling, S.Ked
10542056314
Pembimbing :
dr. H. Zakaria Mustari, Sp.PD
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang kompleks yang
disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi
gangguan pada ejeksi dan pengisian. Pada keadaan ini jantung tidak lagi
mampu memompa darah secara cukup ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh.
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap
oksigen dan nutrient dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang
berakibat jantung gagal memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai
peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri.
II. Etiologi
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi
aorta dan defek septum ventrikel, beban akhir meningkat pada keadaan dimana
terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat
menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat
memicu perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang
mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan
emboli paru.
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit
katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik (CAD), dan penyakit
miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal
ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan
arteria pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal
jantung kiri pada pasien dengan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh
paru (kor polmunale) dan pada pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis
atau trikuspid.
III. Patofisiologi
Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti infark miokard, maka
kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya
akan timbul dua efek utama penurunan curah jantung, dan bendungan darah di
vena yang menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis.
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai
terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut
mencakup peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal
akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel.
Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada
tingkat normal atau hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan
pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah
jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung,
kompensasi menjadi semakin kurang efektif.
V. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap
derajat latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara
khas gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah
beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan
gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan. Gejala-
gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai dengan
sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.
Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun
kelelahan adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala
kelelahan merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh
banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang untuk berolahraga juga
berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan ini dan mereka
tanpa sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan
oksigen.
Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung
yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja
pernapasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan
paru.meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea.
Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari kongesti vena paru
sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka
dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat beraktivitas
menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat
berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-
bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan
interstisial dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti
vaskular paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND)
dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND merupakan manifestasi
yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan dispnea
atau ortopnea.
Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada
posisi berbaring.
Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri
khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah
paru-paru karena pengaruh gaya gravitasi.
Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi
akibat distensi vena.
Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti
vena sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-
vena leher mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat
meningkat secara paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal
tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke
jantung selama inspirasi.
Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat
peregangan kapsula hati.
Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual
dapat disebabkan kongesti hati dan usus.
Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial.
Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan
terutama pada malam hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari)
yang mengurangi retensi cairan.nokturia disebabkan oleh redistribusi
cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya
vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat.
Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema
anasarka. Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena
sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun
manifestasi paling dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan
oleh retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata.
Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat
mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan.
Aritmia ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan
sietem saraf simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting
kematian mendadak dalam situasi ini.
VI. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang
ada dan penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain
foto thorax, EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan
pemeriksaan biomarker.
A. Kriteria Diagnosis
Kriteria Major Kriteria Minor
1. Paroksismal nokturnal dispnea 1. Edema eksremitas
2. Distensi vena leher 2. Batuk malam hari
3. Ronki paru 3. Dispnea d’effort
4. Kardiomegali 4. Hepatomegali
5. Edema paru akut 5. Efusi pleura
6. Gallop S3 6. Penurunan kapasitas vital 1/3
7. Peninggian tekana vena jugularis dari normal
8. Refluks hepatojugular 7. Takikardi(>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan jika ada 2 kriteria mayor atau 1
kriteria major dan 2 kriteria minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA),
merupakan pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung
kongestif berdasarkan tingkat aktivitas fisik, antara lain:
NYHA Penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam
class I kegiatan fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala
penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak napas atau
berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.
NYHA Penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan
class II fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat,
akan tetapi kegiatan fisik yang biasa dapat
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti
kelelahan, jantung berdebar, sesak napas atau nyeri
dada.
NYHA Penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih
class III banyak dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh
apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang
kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-
gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas.
NYHA Penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik
class IV apapun tanpa menimbulkan keluhan, yang bertambah
apabila mereka melakukan kegiatan fisik meskipun
sangat ringan
B. Pemeriksaan Fisik
a) Tekanan darah dan Nadi
Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada HF ringan,
namun biasanya berkurang pada HF berat, karena adanya disfungsi
LV berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang,
menandakan adanya penurunan stroke volume. Sinus takikardi
merupakan tanda nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas
adrenergik. Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya
ekstremitas bagian perifer dan sianosis pada bibir dan kuku juga
disebabkan oleh aktivitas adrenergik berlebih.
b) Jugular Vein Pressure
Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan
atrium kanan. Tekanan vena jugularis dinilai dalam satuan cm
H2O (normalnya 5-2 cm) dengan memperkirakan jarak vena jugularis
dari bidang diatas sudut sternal. Pada HF stadium dini, tekanan vena
jugularis dapat normal pada waktu istirahat namun dapat meningkat
secara abnormal seiring dengan peningkatan tekanan
abdomen (abdominojugular reflux positif). Gelombang v besar
mengindikasikan keberadaan regurgitasi trikuspid.
c) Ictus cordis
Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak
memberikan informasi yang berguna mengenai tingkat keparahan.
Jika kardiomegali ditemukan, maka apex cordis biasanya berubah
lokasi dibawah ICS V (interkostal V) dan/atau sebelah lateral dari
midclavicular line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta
dari apex.
d) Suara jantung tambahan
Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan
dipalpasi pada apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy
ventrikel kanan dapat memiliki denyut Parasternal yang
berkepanjangan meluas hingga systole. S3 (atau prodiastolic gallop)
paling sering ditemukan pada pasien dengan volume overload yang
juga mengalami takikardi dan takipneu, dan seringkali menandakan
gangguan hemodinamika. Suara jantung keempat (S4) bukan
indicator spesifik namun biasa ditemukan pada pasien dengan
disfungsi diastolic. Bising pada regurgitasi mitral dan tricuspid biasa
ditemukan pada pasien.
e) Pemeriksaan paru
Ronchi pulmoner merupakan akibat dari transudasi cairan dari ruang
intravaskuler kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema pulmoner,
dapat terdengar jelas pada kedua lapangan paru dan dapat pula diikuti
dengan wheezing pada ekspirasi (cardiac asthma). Jika ditemukan
pada pasien yang tidak memiliki penyakit paru sebelumnya, rales
tersebut spesifik untuk CHF. Perlu diketahui bahwa rales seringkali
tidak ditemukan pada pasien dengan CHF kronis, bahkan dengan
tekanan pengisian ventrikel kiri yang meningkat, hal ini disebabkan
adanya peningkatan drainase limfatik dari cairan alveolar. Efusi
pleura terjadi karena adanya peningkatan tekanan kapiler pleura dan
mengakibatkan transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena
vena pleura mengalir ke vena sistemik dan pulmoner, efusi pleura
paling sering terjadi dengan kegagalan biventrikuler. Walaupun pada
efusi pleura seringkali bilateral, namun pada efusi pleura unilateral
yang sering terkena adalah rongga pleura kanan.
f) Pemeriksaan hepar dan hepatojugular reflux
Hepatomegali merupakan tanda penting pada pasien CHF. Jika
ditemukan, pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat
berdenyut selama systole jika regurgitasi trikuspida terjadi. Ascites
sebagai tanda lajut, terjadi sebagai konsekuensi peningkatan tekanan
pada vena hepatica dan drainase vena pada peritoneum. Jaundice,
juga merupakan tanda lanjut pada CHF, diakibatkan dari gangguan
fungsi hepatic akibat kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan
terkait dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect.
g) Edema tungkai
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada CHF, namun
namun tidak spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang
diterapi dengan diuretic. Edema perifer biasanya sistemik dan
dependen pada CHF dan terjadi terutama pada daerah Achilles dan
pretibial pada pasien yang mampu berjalan. Pada pasien yang
melakukan tirah baring, edema dapat ditemukan pada daerah sacral
(edema presacral) dan skrotum. Edema berkepanjangan dapat
menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada kulit.
C. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui sejauh
mana gagal jantung telah mengganggu fungsi-fungsi organ lain seperti :
hati, ginjal dan lain-lain. Pemeriksaan hitung darah dapat menunjukan
anemia, karena anemia ini merupakan suatu penyebab gagal
jantung output tinggi dan sebagai faktor eksaserbasi untuk bentuk
disfungsi jantung lainnya.
D. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi/Rontgen.
Pada pemeriksaan rontgen dada ini biasanya yang didapatkan
bayangan hilus paru yang tebal dan melebar, kepadatan makin ke
pinggir berkurang, lapangan paru bercak-bercak karena edema paru,
pembesaran jantung, cardio-thoragic ratio (CTR) meningkat, distensi
vena paru.
Pemeriksaan EKG.
Dari hasil rekaman EKG ini dapat ditemukan kelainan primer jantung
(iskemik, hipertrofi ventrikel, gangguan irama ) dan tanda-tanda factor
pencetus akut ( infark miocard, emboli paru ).
Ekhokardiografi.
Pemeriksaan ini untuk mendeteksi gangguan fungsional serta
anatomis yang menjadi penyebab gagal jantung
VII. Penatalaksanaan
1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE-I)
ACE-I harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. ACE-I memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit
karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan
hidup. ACE-I kadang-kadang menyebabkan perburukanfungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh
sebab itu ACEIhanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat
dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACE-I: fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
dengan atau tanpa gejala. Kontraindikasi pemberian ACE-I: riwayat
angioedema, stenosis renal bilateral, kadar kalium serum > 5,0 mmol/l,
serum kreatinin > 2,5 mg/dl, stenosis aorta berat.
2. β Blocker
Harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. β Blocker memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian β Blocker yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40
%, gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) , ACEI /
ARB sudah diberikan, pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan
dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda
retensi cairan berat). Kontraindikasi pemberian β Blocker yaitu asma,
Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sinus bradikardia (nadi < 50
x/menit)
3. Antagonis Aldosteron
Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan
gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa
hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron yaitu fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 %, gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III-
IV NYHA), dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak
ACEI dan ARB). Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron yaitu
konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L, serum kreatinin> 2,5 mg/dL,
bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium,
kombinasi ACEI dan ARB.
4. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah
diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat
antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel
dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada
pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka
kematian karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI, ARB dapat
menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk.
Kontraindikasi pemberian ARB yaitu sama seperti ACEI, kecuali
angioedema, pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron
bersamaan, ,monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB
digunakan bersama ACEI.
5. Hydralazine Dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40
%, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran
terhadap ACEI dan ARB.
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN yaitu pengganti ACEI dan
ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi, sebagai terapi tambahan
ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi, jika
gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β
dan ARB atau antagonis aldosteron . Kontraindikasi pemberian
kombinasi H-ISDN yaitu hipotensi simtomatik, sindroma lupus dan gagal
ginjal berat
6. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat
digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat
lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung
simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus,
digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek
terhadap angka kelangsungan hidup.
Indikasi berupa:
Fibrilasi atrial: dengan irama ventrikular saat istrahat > 80
x/menit atau saat aktifitas> 110 - 120 x/menit
Irama sinus: Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % , gejala ringan
sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA), dosis optimal ACEI
dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis aldosteron jika ada
indikasi.
Kontraindikasi: Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung
tetap), Sindroma pre-eksitasi dan riwayat intoleransi digoksin
7. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan
tanda klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah
untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang
serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk
menghindari dehidrasi atau reistensi. Cara pemberian diuretik pada gagal
jantung:
Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit
Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan
tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada
diuretik loop. Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi
keadaan edema yang resisten
VIII. Penatalaksanaan
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat
berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka
mortalitas setahun bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala
ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan progresif.
Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat
(fraksi ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas
(konsumsi oksigen maksimal < 10 ml/kg/menit), insufisiensi ginjal
sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma yang meningkat. Sekitar
40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak. Meskipun
beberapa kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya
merupakan akibat infark miokard akut atau bradiaritmia yang tidak
terdiagnosis. Kematian lainnya adalah akibat gagal jantung progresif atau
penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung stadium
lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif yang
sangat cermat.
BAB III
LAPORAN KASUS
A. STATUS PASIEN
Identitas Pasien
Nama : Basse dg Ratu
Umur : 51 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Parassui
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Ruangan : ICU
Tanggal Masuk : 11 April 2019
Anamnesa
a. Keluhan Utama : Sesak
b. Riwayat Penyakit
Pasien datang dengan keluhan sesak, sesak dirasakan sejak 1 minggu
yang lalu. Sesak dirasakan hilang timbul. Sesak muncul bila pasien
beraktifitas. Sesak berkurang saat pasien beristirahat. Dimalam hari
pasien sering terbangun karena sesak nafas. Sesak nafas tidak
dipengaruhi cuaca, debu atau emosi. 1 hari sebelum masuk rumah sakit
pasien mengeluh sesak nafas yang bertambah berat. Sesak dirasakan
terus menerus, tetap merasakan sesak walaupun sudah beristirahat.
Pasien tidak bisa tidur karena sesak semakin bertambah jika posisi
berbaring, lebih nyaman duduk. Pasien juga mengeluhkan batuk (+)
berlendir, sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri perut kanan atas (+) jika
batuk. Keluhan nyeri dada (-), demam (-), nyeri ulu hati (+), mual (+),
muntah (-), nyeri kepala (+), pusing (+), lemas (+). BAB dan BAK tidak
ada keluhan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat sakit serupa : disangkal
- Riwayat Hipertensi : (+)
- Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
- Riwayat Penyakit jantung : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat Penyakit maag : disangkal
- Riwayat penyakit ginjal : disangkal
- Riwayat Alergi obat : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan seperti ini
- Riwayat Hipertensi : (+), orang tua
- Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
- Riwayat Asma : disangkal
- Riwayat Penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat kebiasaan :
- Riwayat merokok : disangkal
- Riwayat minum alkohol : disangkal
Pemeriksaan fisik
a. Keadaan Umum : Lemas
b. Kesadaran: E4M6V5 (Compos mentis)
c. Tanda Vital :
- Tekanan darah 150/110 mmHg
- Nadi 87x/menit
- Frekuensi Respirasi 38x/menit
- Suhu 36,70C
d. Kepala : Mesocephal, distribusi rambut merata, tidak mudah rontok
e. Mata : Anemis (-/-), Ikterus (+/+)
f. Hidung: epistaksis (-)
g. Mulut: lidah kotor (-), bibir kering (-)
h. Kulit: hipopigmentasi (-), hiperpigmentasi (-)
i. Leher : JVP +2, trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid
(-), pembesaran limfonodi cervical (-)
j. Thorax
Inspeksi: Normochest, simetris dextra dan sinistra, sela iga melebar (-)
pengembangan dada dextra=sinistra, sela iga melebar (-), retraksi otot
pernapasan(-).
Palpasi : Nyeri tekan (-), vocal premitus normal, massa (-)
Perkusi : Sonor/sonor. Batas paru-hepar ICS V.
Auskultasi: Rhonki (+/+), wheezing (+/+)
k. Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba
Perkusi :
Batas jantung kanan atas : ICS II linea parasternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri atas : ICS II linea parasternal sinistra
Batas jantung kiri bawah: ICS VI linea midklavikularis sinistra
Auskultasi: Bunyi jantung I-II murni, reguler
l. Abdomen
Inspeksi: Rata, mengikuti gerak napas
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Perkusi : Tympani
Auskultasi: peristaltik (+) normal
m. Ekstremitas
Akral: Hangat
Edema pretibial (+), pitting edema
Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin 11 April 2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Lekosit 20,0 3,8 – 10,6
Eritrosit 4,83 4,4 – 5,9
Hemoglobin 15,0 13,2 – 17,3
Hematokrit 45,7 40 – 52
MCV 94,6 80 – 100
MCH 31,1 26 – 34
MCHC 32,8 32 – 36
Trombosit 154 150 – 440
Pemeriksaan Radiologi
Foto thorax AP:
- Corakan bronchovascular suprahilar meningkat
- Cor membesar ke kanan dan ke kiiri dengan cardiothoracic index
0,76, aorta dalam batas normal
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intake
Kesan: Cardiomegaly disertai bendungan paru (edema paru interstitial)
DD/ Efusi pericard
B. Resume
Pasien datang dengan keluhan sesak, sesak dirasakan sejak 1 minggu yang lalu.
Sesak dirasakan hilang timbul. Sesak muncul bila pasien beraktifitas. Sesak
berkurang saat pasien beristirahat. Dimalam hari pasien sering terbangun karena
sesak nafas. Sesak nafas tidak dipengaruhi cuaca, debu atau emosi. 1 hari sebelum
masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak nafas yang bertambah berat. Sesak
dirasakan terus menerus, tetap merasakan sesak walaupun sudah beristirahat.
Pasien tidak bisa tidur karena sesak semakin bertambah jika posisi berbaring,
lebih nyaman duduk. Pasien juga mengeluhkan batuk (+) berlendir, sejak 1
minggu yang lalu. Nyeri perut kanan atas (+) jika batuk. Keluhan nyeri dada (-),
demam (-), nyeri ulu hati (+), mual (+), muntah (-), nyeri kepala (+), pusing (+),
lemas (+). BAB dan BAK tidak ada keluhan. Riwayat hipertensi (+). Keadaan
Umum tampak lemas. Tekanan darah 150/110 mmHg, nadi 87x/menit, frekuensi
napas 38x/menit, suhu 36,70C. Ikterus (+/+). JVP +2. Pada auskultasi di thorax
didapatkan Rhonki (+/+) dan wheezing (+/+). Nyeri tekan epigastrium (+).
Terdapat pitting edema di kedua tungkai.
Terapi:
- IVFD RL
- Lasix 2 amp/8 jam
- Fiopraz/12 jam
- Aspilet 1x1
- Digoxin 1x1
- Fibrolipid 1x1
- Novomix 6-0-6
- ISDN 2x1
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien ini, dari hasil anamnesis didapatkan pasien sering terbangun
pada malam hari karena sesak,. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan
darah 150/100 mmHg. Didapatkan pula adanya peningkatan tekanan vena
jugularis, ronki dan wheezing pada kedua paru. Pada pemeriksaan ekg didapatkan
q patologis di lead II, III, aVF yang menandakan Old miocard Infark. Serta pada
Foto Thorax didapatkan kesan cardiomegaly. Hal ini memenuhi syarat kriteria
major. Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan edema pada tungkai, batuk,
dan sesak yang dipengaruhi oleh aktivitas, hal ini juga memenuhi untuk kriteria
minor.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas, dapat disimpulkan
bahwa pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis gagal jantung kongestif, karena
kriteria framingham sudah terpenuhi.
.
DAFTAR PUSTAKA
1. P R Marantz et al. 2012. The relationship between left ventricular systolic
function and congestive heart failure diagnosed by clinical criteria.
Circulation Journal Of The American Heart Association. Available from :
http://circ.ahajournals.org
2. Sudoyo A W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I ed.IV,
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta.
3. Nicholas J. Talley, Nimish Vakil. 2005. Guidelines for the Management of
Dyspepsia, Practice Parameters Committee of the American College of
Gastroenterology. American Journal of Gastroenterology.
4. Djojodibroto R Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine).
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
5. Brashaers, Valentina L. Gagal jantung kongestif. Dalam: Aplikasi klinis
patofisiologi, pemeriksaan dan manajemen. 2nd ed. Jakarta: EGC.2007.