You are on page 1of 4

KASUS 2

PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance)

Perusahaan multifinance PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) diketahui


merugikan 14 bank di Indonesia hingga triliunan rupiah.

SNP Finance merupakan bagian dari Columbia, toko yang menyediakan pembelian barang
secara kredit. Dalam kegiatannya SNP Finance mendapatkan dukungan pembiayaan
pembelian barang yang bersumber dari kredit perbankan.

Tirto.id - Pada Mei 2018, PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) menjadi sorotan
otoritas keuangan dan publik. Perusahaan pembiayaan berumur kurang lebih 18 tahun ini
ternyata berada di ambang kepailitan. Perusahaan pembiayaan yang berada di bawah naungan
Columbia Group tersebut di atas kertas terlihat dalam kondisi baik-baik saja. Rating utang
perseroan sempat mendapatkan rating idA atau stabil dari Pefindo pada Maret 2018. Namun,
kondisi perusahaan berubah 180 derajat. Rating utang perseroan berubah drastis dari stabil
menjadi idSD (selective default) pada 9 Mei 2018 lantaran salah satu kupon Medium Term
Notes (MTN) yang diterbitkan SNP gagal bayar. Imbasnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
membekukan kegiatan usaha SNP karena perseroan gagal membayar bunga MTN senilai
Rp6,75 miliar pada 14 Mei 2018 melalui Surat Deputi Komisioner Pengawas IKNB II No. S-
247/NB.2/2018.
Diduga pihak SNP Finance tidak menyampaikan laporan keuangan dengan benar alias fiktif,
sehingga perusahaan pemeringkat dan auditor tidak mengeluarkan peringatan atau warning
sebelum gagal bayar terjadi. Persoalan laporan keuangan ini sangat vital dan seringkali menjadi
keruwetan bagi sebuah perusahaan bila tak dikelola dengan baik. PT Bursa Efek Indonesia
(BEI) mencoba mengambil upaya mitigasi, yakni mengusulkan agar direktur keuangan selaku
penyelenggara laporan keuangan wajib memiliki sertifikasi sebagai pihak yang diaudit
(auditee). BEI menilai sertifikasi terhadap auditee cukup penting untuk meminimalisir
kesalahan dalam pelaporan kinerja keuangan. Selain itu, BEI juga mengusulkan kriteria dari
sertifikasi itu, yakni independen dan tidak memiliki ikatan keluarga. Usul dari BEI ini
mendapatkan dukungan dari Ikatan Akutan Indonesia (IAI). Dunia usaha juga turut mendukung
agar direktur keuangan memiliki standar dan kompetensi khusus dalam membuat laporan
keuangan. “Saya pikir penyusun laporan keuangan, terutama sektor keuangan memang perlu
ada standar kompetensinya. Apalagi kasus (fraud) di sektor itu juga masih kerap terjadi,” kata
Hariyadi Sukamdani, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)

Keterlibatan Akuntan Publik dalam Manipulasi Laporan Keuangan


Akuntan publik dapat terlibat dalam manipulasi laporan keuangan yang merugikan banyak
pihak
Profesi akuntan independen atau publik dalam dunia usaha memiliki peran yang sangat
strategis khusunya dalam memberikan penilaian laporan keuangan suatu perusahaan atau
badan hukum lainnya. Dengan adanya penilaian akuntan publik tersebut dapat diketahui
mengenai kewajaran atau kondisi kesehatan keuangan perusahaan. Lazimnya, terdapat tiga
jenis opini yang diberikan akuntan publik terhadap laporan keuangan yang diauditnya yaitu
wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian dan pernyataan tidak memberikan
pendapat (disclaimer).

Hasil audit akuntan publik tersebut juga sangat erat kaitannya dengan industri jasa keuangan
khususnya perbankan sebagai pemberi pinjaman atau kreditor. Dengan melihat laporan
keuangan yang teraudit tersebut, perbankan dapat memutuskan kelayakan pemberian pinjaman
kepada calon debitur atau perusahaan tersebut.

Sayangnya, praktik manipulasi laporan keuangan sering kali dilakukan suatu perusahaan
dengan melibatkan akuntan publik. Manipulasi tersebut dilakukan untuk berbagai macam
tujuan mulai dari pengajuan pinjaman perbankan hingga penghindaran atau pengemplangan
pajak.

Kasus manipulasi laporan keuangan juga pernah terjadi di Indonesia. Baru-baru ini, kasus
manipulasi laporan keuangan dilakukan perusahaan multipembiayaan PT Sunprima Nusantara
Pembiayaan (SNP), anak usaha Columbia Group, perusahaan pembiayaan perabot rumah
tangga dan retail.

Mnipulasi laporan keuangan SNP ini juga melibatkan dua akuntan publik (AP) yaitu Akuntan
Publik Marlinna, Akuntan Publik Merliyana Syamsyul dan satu kantor akuntan publik (KAP)
yaitu Kantor Akuntan Publik Satrio, Bing Eny dan Rekan. Untuk nama terakhir, KAP Satrio
Bing, Eny dan Rekan, merupakan partner lokal dari KAP internasional Deloitte yang termasuk
firma empat besar global.

Atas kesalahan audit laporan keuangan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjatuhkan
sanksi kepada para akuntan publik tersebut karena dianggap melakukan kesalahan dalam audit
laporan keuangan. Sanksi tersebut berupa pencabutan atau pembatalan izin operasi atau audit
di sektor jasa keuangan seperti perbankan, multipembiayaan, asuransi dan industri jasa
keuangan lainnya.

Hasil Penilaian OJK dalam Kasus SNP


OJK menilai bahwa AP Marlinna dan AP Merliyana Syamsul telah melakukan
pelanggaran berat sehingga melanggar POJK Nomor 13/POJK.03/2017 Tentang
Penggunaan Jasa Akuntan Publik Dan Kantor Akuntan Publik, antara lain dengan
pertimbangan:
1. Telah memberikan opini yang tidak mencerminkan kondisi perusahaan yang sebenarnya.
2. Besarnya kerugian industri jasa keuangan dan masyarakat yang ditimbulkan atas opini
kedua AP tersebut terhadap LKTA PT SNP.
3. Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan akibat dari kualitas
penyajian LKTA oleh akuntan publik.
Oleh karena itu, OJK mengenakan sanksi berupa Pembatalan Pendaftaran pada AP
Marlinna, AP Merliyana Syamsul, dan KAP Satrio Bing, Eny dan Rekan.
Pengenaan sanksi terhadap AP dan KAP oleh OJK mengingat LKTA yang telah diaudit
tersebut digunakan PT SNP untuk mendapatkan kredit dari perbankan dan menerbitkan
MTN yang berpotensi mengalami gagal bayar dan/atau menjadi kredit bermasalah.
Sehingga langkah tegas OJK ini merupakan upaya menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap Industri Jasa Keuangan.
Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik OJK, Anto Prabowo, menjelaskan sejak
diumumkannya sanksi tersebut pada 1 Oktober 2018, pihaknya segera langsung menyurati
pemberian sanksi kepada para akuntan publik tersebut. “Satu hari setelah jatuh sanksi, langsung
kami surati mereka,” kata Anto kepada hukumonline, Kamis (15/11).

UU Akuntan Publik
Pasal 30:
(1) Akuntan Publik dilarang:
a. memiliki atau menjadi Rekan pada lebih dari 1 (satu) KAP;
b. merangkap sebagai: 1. pejabat negara; 2. pimpinan atau pegawai pada lembaga
pemerintahan, lembaga negara, atau lembaga lainnya yang dibentuk dengan peraturan
perundang-undangan; atau 3. jabatan lain yang mengakibatkan benturan kepentingan;
c. memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), untuk jenis jasa pada
periode yang sama yang telah dilaksanakan oleh Akuntan Publik lain, kecuali untuk
melaksanakan ketentuan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya;
d. memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) dalam masa
pembekuan izin;
e. memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) melalui KAP
yang sedang dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin;
f. memberikan jasa selain jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3)
melalui KAP;
g. melakukan tindakan yang mengakibatkan kertas kerja dan/atau dokumen lain yang berkaitan
dengan pemberian jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya;
h. menerima imbalan jasa bersyarat;
i. menerima atau memberikan komisi; atau
j. melakukan manipulasi, membantu melakukan manipulasi, dan/atau memalsukan data
yang berkaitan dengan jasa yang diberikan.
(2) Larangan merangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan
bagi Akuntan Publik yang merangkap sebagai pimpinan atau pegawai pada lembaga
pendidikan bidang akuntansi dan lembaga yang dibentuk dengan undang-undang untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawab untuk kepentingan profesi di bidang akuntansi.
Pasal 31:
(1) KAP dilarang:
a. melakukan kerja sama dengan KAPA atau OAA yang telah melakukan kerja sama dengan
KAP lain;
b. mencantumkan nama KAPA atau OAA yang status terdaftar KAPA atau OAA tersebut pada
Menteri dibekukan atau dibatalkan;
c. memiliki Rekan non-Akuntan Publik yang tidak terdaftar pada Menteri;
d. membuka kantor dalam bentuk lain, kecuali bentuk kantor cabang; dan
e. membuat iklan yang menyesatkan. (2) Akuntan Publik dan/atau KAP dilarang
mempekerjakan atau menggunakan jasa Pihak Terasosiasi yang tercantum pada daftar orang
tercela dalam pemberian jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3).

Sementara itu, Dewan Pengawas Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), M Achsin,
menyampaikan sanksi yang diberikan OJK tidak serta merta menghancurkan kredibilitas
akuntan publik. Terlebih lagi, akuntan publik tersebut berafiliasi dengan firma global ternama
seperti Deloitte karena memiliki metode audit yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurutnya, perlu diketahui secara detail letak kesalahan audit KAP tersebut sehingga tidak
menganggapnya sebagai bentuk kesengajaan manipulasi laporan keuangan.

“Saya tidak bisa beropini secara detil karena bisa saja akuntan publiknya tidak mampu
mendeteksi fraud dalam laporan keuangan yang dibuat perusahaan,” jelas Achsin
kepada hukumonline.

Untuk itu, dia mengimbau agar setiap akuntan publik lebih jeli memeriksa setiap transaksi atau
akun-akun dalam laporan keuangan. Kejelian akuntan publik tersebut diharapkan dapat
mengantisipasi kecurangan atau kesalahan yang dilakukan perusahaan dalam penyusunan
laporan keuangan.

Kemudian, dia juga menjelaskan sanksi denda umumnya diterapkan bagi akuntan publik di luar
negeri yang keliru dalam mengaudit laporan keuangan. Sanksi ini berbeda dengan yang berlaku
di Indonesia berupa sanksi administratif pembatalan izin.

Kalau diamati secara cermat dari berbagai kasus yang terjadi, paling tidak yang mencuat ke
publik, antara lain Bank Century, First Travel dan terakhir PT SNP, seharusnya menjadi
pelajaran dan kesadaran kita tentang begitu mendesaknya keberadaan Undang-Undang
Pelaporan Keuangan (UPK) di bumi Indonesia tercinta ini.

Untuk itu, Kementerian Keuangan, OJK, Bank Indonesia bersama asosiasi akuntan, serta
Kadin perlu duduk bersama untuk membahasnya. Sudah lama rasanya konsep good corporate
governance (GCG) didengungkan di dunia bisnis, tetapi Undang-Undang Pelaporan
Keuangan itu sendiri belum ada. Bagaikan bangunan rumah di mana fondasinya belum ada
tetapi tiang sudah berdiri.
Di samping itu, hal strategis yang juga mendesak dilakukan adalah upaya memperkuat
pengawasan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap korporasi yang berada di
bawah pengawasan OJK, berupa early warning system sehingga upaya pencegahan dapat
dilakukan sedini mungkin. Semoga ini merupakan pembelajaran untuk membangun korporasi
yang sehat, kuat dan kompetitif di percaturan global.

You might also like