You are on page 1of 17

BAB I

PENYAJIAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. ES
Umur : 67 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Jabatan/Pekerjaan :Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Kebon Sari No 126 Baros, Cimahi
Masuk Rumah Sakit : 11 Oktober 2016

A. ANAMNESA

Keluhan Utama :nyeri dada

Anamnesis:
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien mengeluh nyeri dada sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada
terasa seperti tertindih benda berat, menjalar hingga ke punggung. Pasien juga
mengeluhkan keringat dingin dan sesak. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya
dada terasa berdebar-debar yang dirasakan sejak kemarin. Pasien juga mengeluhkan
nyeri ulu hati dan mual. Bengkak pada kaki (-).
Keluhan sesak napas pernah dirasakan sebelumnya oleh pasien. Pingsan (-),
muntah (-),batuk (-) demam (-).

Riwayat Penyakit Dahulu:

1
Riwayat Hipertensi (+) terkontrol, penyakit jantung koroner (+), DM (-), asma (-),maag
(-), dislipidemia tidak diketahui. Riwayat stroke (-), operasi sebelumnya (-), penyakit
perdarahan (-), penyakit saraf (-), penyakit hati (-), trauma kepala (-), penggunaan obat-
obatan (-).

Riwayat keluarga
Riwayat keluarga hipertensi (+). DM (-), stroke (-), infeksi paru (-).

B. PEMERIKSAAN FISIK
I. Kesan Umum
a. Status generalis
Keadaan umum: Sakit sedang / Compos mentis (GCS 15 E4M6V5)
BB: 55 kg, Tb: 148 cm, IMT: 25,11 kg/m2

Tanda vital
Tekanan darah : 140/80 MmHg
Nadi : 150 x/menit, regular, kuat angkat
RR : 32 x/menit, reguler
Suhu : 36,70C
SpO2 : 95%

Pemeriksaan Status Lokalis


Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+/+), refleks
cahaya (+/+).
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa bibir kering (-), atrofi papil lidah (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), distensi vena leher (-), JVP 5+2 cmH2O.

Thoraks

2
Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan.
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vokal fremitus simetrissama kiri dan
kanan.
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi :Bunyi napas dasar vesikuler (+/+), rhonki halus basal +/+,
wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba, thrill (-)
Perkusi :Batas jantung atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV Linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V Linea axilaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung: S I/II reguler, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Supel, massa (-), nyeri tekan (+) epigastrium, hepar dan limpa
tidakteraba
Perkusi : Timpani (+), ascites (-)

Ekstremitas
Feel : Ekstremitas teraba hangat
Edema pretibial +/+
Edema dorsum pedis -/-
CRT <2 detik.
Look : deformitas(-), clubbing finger (-).
Movement : kelemahan anggota gerak (-).

Skor Farmingham untuk pasien ini :

3
Kriteria mayor Kriteria minor
Paroxysmal nocturnal dyspneu (+) Edema ekstremitas (+)
Distensi vena leher (-) Batuk malam hari (-)
Ronkhi paru (+) Dispneu on effort (+)
Kardiomegali (-) Hepatomegali (-)
Edema paru akut (-) Efusi pleura (-)
Gallop S3 (-) Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Peninggian tekanan vena jugularis (-) (-)
Refluks hepatojugular (-) Takikardi (>120 x/menit) (+)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah
-
Hb : 13,6 g/dL - Ureum : 39mg/dl
-
Eritrosit : 6,6 x 106/mm2 - Kreatinin : 1,0mg/dl
- Leukosit : 12,1 x 103/mm2 - Trigliserida :105 mg/dl
- Hematokrit : 44,3 % - LDL : 105 mg/dl
- Trombosit : 274 x 103/mm2

Elektrokardiografi

4
- Irama : Atrial
- Frekuensi : 150 x/menitReguler
- Axis : Normal
- Kelainan Gelombang : - Gelombang P (-)
- Kompleks QRS= 2 kotak kecil
Kesimpulan : Supraventricular Tachycardia

D. Resume
Ny. EC, 67 tahun dengan sesak napas sejak 7 jam SMRS,sesak terutama dirasakan
saat beraktivitas seperti pergi ke kamar mandi, setelah buang air besar dan juga kadang
sesak napas dirasakan saatberistirahat. Paroxsysmal Nocturnal Dispneu (+), orthopneu
(+). Palpitasi (+) yang dirasakan sejak 1 hari SMRS. Nyeri ulu hati (+) dan nausea (+).
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 6 tahun, tapi sering kontrol ke poli jantung.
Selain itu, pasien juga memiliki riwayat hipertensi pada keluarga.
Pasien datang dengan keadaan kompos mentis, tekanan darah 140/80 mmHg,
frekuensi nadi 150x/menit (takikardi), frekuensi napas 32 x/menit (takipneu), dan
saturasi oksigen 95%. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya rhonki basah halus
pada basal kedua lapang paru, pada perkusi jantung didapatkan pergeseran batas jantung
kiri ke SIC V linea axilaris anterior sinistra dan ditemukan pula edem pitting pada
ekstremitas bawah.

5
Pada pemeriksaan darah rutin hanya ditemukan adanya leukositosis. Pada
pemeriksaan profil lipid dan fungsi ginjal tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan
EKG ditemukan adanya supraventrikular takikardi.

D. Diagnosis

- Diagnosis klinis : CHF Fc III-IV, Supraventricular Tachycardia


- Diagnosis anatomis : Kardiomegali
- Diagnosis etiologi : Hipertensi

E. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa :

1. Tirah baring untuk membatasi kerja jantung.


2. Diet rendah garam mencegah retensi cairan yang dapat meningkatkan beban preload.
3. Minum air maksimal 4-5 gelas kecil / hari.
4. Edukasi penggunaan obat, kontrol ulang.

Medikamentosa :

 Konsul Sp. JP Maintenance:


 O2 Nasal Kanul 2-4 lpm  Bisoprolol 1x2,5 mg PO
 IVFD NS500cc/24jam  Valsartan 1x80 mg PO
 Furosemide 3x40mg IV  Aspillet 1x 80 mg PO
 Amiodaron 1x150mg IV drip dalam  Clopidogrel 1 x 75 mg PO
10 menit, dilanjutkan drip  Atorvastatin 1x 20 mg PO
Amiodaron 600mg dalam D5%
500cc/24jam.

Elektrokardiogram 2 jam post Amiodaron

6
- Irama : Atrial
- Frekuensi : ±120 x/menitReguler
- Axis : Normal
- Kelainan Gelombang : - Gelombang P (-)
- Kompleks QRS= 2 kotak kecil
Kesimpulan : Supraventricular Tachycardia

Elektrokardiogram 6 jam post Amiodaron

7
- Irama : Sinus
- Frekuensi : 60 x/menitReguler
- Axis : Normal
- Kelainan Gelombang : -
Kesimpulan : Normal
E. Prognosis

Quo ad Vitam : Dubia ad Malam


Quo ad Sanactionam : Dubia ad Malam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam

BAB II

8
PEMBAHASAN

Pasien atas nama Ny. EC, 67 tahun mengeluh sesak napas sejak 7 jam
SMRS,sesak terutama dirasakan saat beraktivitas seperti pergi ke kamar mandi, setelah
buang air besar dan juga kadang sesak napas dirasakan saatberistirahat. Keluhan dispnea
atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan gejala utama dari
penyakit kardiopulmonar. Penyebab dari sesak nafas dapat dibagi menjadi 4 tipe. Tipe
kardiak yaitu Gagal jantung, penyakit arteri koroner, infark miokard, kardiomiopati,
disfungsi katup, hipertrofi ventrikel kiri, hipertrofi asimetrik septum, pertikarditis,
aritmia. Tipe Pulmoner yaitu Penyakit Paru Obstruktif Kronis, Asma, Penyakit paru
restriksi, Gangguan penyakit paru, herediter, pneumotoraks. Tipe Campuran kardiak dan
pulmoner yaitu PPOK dengan hipertensi, pulmoner, emboli paru kronik, trauma Tipe
Non kardiak dan non pulmoner yaitu Kondisi metabolik, nyeri, gangguan
neuromuskular, gangguan panik, hiperventilasi, psikogenik, gangguan asam basa,
gangguan di saluran pencernaan (reflux, spasme oesophagus, tukak peptik). 1,2,3
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung
sehingga jantung tidak bisa memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan. Gagal jantung terbagi menjadi gagal jantung kiri, gagal jantung kanan dan
gagal jantung kongestif, yakni gabungan gagal jantung kiri dan kanan.4
Gagal jantung kiri ditandai oleh dispneu d’effort, kelelahan, orthopnea,
paroksismal nokturnal dispnea, batuk, pembesaran jantung, irama derap, bunyi derap S3
dan S4, pernapasan cheyne stokes, takikardi, ronki dan kongesti vena pulmonalis. Gagal
jantung kanan ditandai oleh adanya kelelahan, pitting edema, ascites, peningkatan
tekanan vena jugularis, hepatomegali, pembesaran jantung kanan, irama derap atrium
kanan, murmur dan bunyi P2 mengeras, sedangkan gagal jantung kongestif terjadi
manifestasi gejala gabungan keduanya.4
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau
1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor kriteria framingham, ditambah dengan pemeriksaan
penunjang. Yang termasuk kriteria mayor yakni: dispneu nokturnal paroksismal atau
orthopneu, peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah tidak nyaring, kardiomegali,
edema paru akut, irama derap S3, peningkatan vena > 16 cm H2O dan refluks
hepatojugular. Kriteria minor yakni: edema pergelangan kaki, batuk pada malam hari,

9
dispneu d’effort, hepatomegali, efusi pleura, kapasitas vital berkurang menjadi 1/3
maksimum dan takikardi (>120x/menit). Foto rontgen toraks dapat mengarah ke
kardiomegali dengan corakan bronkovaskuler yang meningkat.4
Adanya sesak yang memberat/dipengaruhi saat beraktivitas merupakan ciri khas
dari gagal jantung kongestif (congestive heart failure; CHF) yang merupakan salah satu
dari kriteria minor Framingham criteria untuk CHF. Sesak yang timbul saat beraktivitas
diakibatkan adanya hipoksia jaringan sebagai akibat dari payahnya pompa jantung untuk
menyuplai kebutuhan oksigen jaringan. Oleh karena status tersebut, tubuh melakukan
kompensasi dengan mempercepat laju pernapasan dan kemudian menyebabkan sesak
pada pasien.
Pada pasien ini, dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan adanya
dispneu on effort, dispneu nokturnal paroksismal, orthopneu, takikardi, takipneu, ronkhi
basah halus pada basal kedua lapang paru, dan pitting edema pada kedua ekstremitas.
Dari berbagai temuan klinis ini, dapat ditegakkan diagnosis gagal jantung kongestif
karena kriteria Framingham yang biasa digunakan sudah memenuhi syarat.
Edem pada tungkai dapat terjadi karena ekstravasasi cairan ke jaringan tubuh
diakibatkan adanya peningkatan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah yang
mengakibatkan cairan “bocor” dan masuk ke dalam jaringan interstisial. Ortopnea (sesak
yang timbul apabila pasien berada dalam posisi datar/berbaring) disebabkan adanya gaya
fisika cairan yang terjadi di paru. Pada posisi berbaring, cairan akan bergerak ke bawah
oleh karena gaya gravitasi, sehingga akan semakin banyak luas permukaan paru yang
terhalang oleh cairan dan membuat pasien semakin sesak dibandingkan saat pasien
dalam posisi tegak/duduk.
Pembagian New York Heart Association berdasarkan fungsional jantung yaitu:
 Kelas 1 : Penderita dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.
 Kelas 2 : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-
hari tanpa keluhan.
 Kelas 3: Penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
Kelas 4 : Penderita sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus
tirah baring

10
Pada kasus ini pasien mengeluhkan timbulnya sesak napas ketika melakukan
aktivitas sehari-hari berupa sesak timbul menuju kamar mandi, dan buang air besar.
Selain itu, pasien juga kadang mengeluhkan sesak saat istiahat. Darikeluhan tersebut
dapat diklasifikasikan dalam NYHA fungsional ke III-IV.
Pada kasus ini, pasien juga memiliki riwayat hipertensi sejak ± 6 tahun. Hal ini
dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya gagal jantung pada pasien. Hipertensi
menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi perifer sehingga beban kerja jantung
menjadi bertambah dan apabila terjadi secara terus menerus, maka akan berujung pada
hipertrofi miokard.
Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan EKG. Hasil EKG menunjukkan adanya
irama atrial dengan frekuensi ± 150 x/menit reguler, normoaxis, gelombang p yang tidak
ada, dan interval QRS yang masih dalam rentang normal (2 kotak kecil ~ 0,08 mV). Dari
hasil ini dapat diambil kesimpulan berupa supraventicular tachycardia (SVT).
SVT adalah suatu jenis takidisritmia yang ditandai dengan perubahan laju jantung
yang mendadak bertambah cepat menjadi berkisar antara 150-250 x/menit. Kelain pada
SVT biasanya mencakup komponen sistem konduksi dan terjadi di bagian atas bundel
HIS. Pada kebanyakan kasus SVT mempunyai kompleks QRS normal.5 Insidensi
terjadinya SVT sekitar 1-3 orang per 100 orang. Dalam sebuah studi berbasis populasi,
resiko SVT dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.6
Gangguan irama jantung yang dapat menimbulkan SVT karena adanya sebuah
lingkaran reentrant yang menghubungkan antara nodus AV dan jaringan atrium. Pada
pasien dengan takikardi, nodus AV memiliki dua jalur konduksi yaitu jalur konduksi
cepat dan jalur konduksi lambat. Jalur konduksi lambat yang terletak sejajar dengan
katup trikuspid, memungkinkan sebuahlingkaran reentrant sebagai jalur impuls listrik
baru melalui jalur tersebut, keluar dari nodus AV secara retrograde (yaitu, mundur dari
nodus AV ke atrium) dan secara anterograde (yaitu, maju ke atau dari nodus AV ke
ventrikel) pada waktu yang bersamaan. Akibat depolarisasi atrium dan ventrikel yang
bersamaan, gelombang P jarang terlihat pada gambaran EKG.7
Gejala yang biasanya timbul pada pasien dengan SVT adalah palpitasi, nyeri dada,
pusing, kesulitan bernapas, pucat, keringat berlebihan, mudah lelah, toleransi latihan
fisik menurun, kecemasan meningkat dan pingsan. Pada pasien ini, selain sesak, pasien

11
juga mengeluhkan palpitasi yang sudah dirasakan 1 hari SMRS. Keluhan ini belum
pernah dirasakan sebelumnya.8
Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan CHF ini adalah dengan mengurangi
beban jantung sehingga kerja jantung dapat lebih baik. Terapi yang diberikan adalah
furosemide 3x40mg (2 ampul) yang bertujuan untuk mengurangi preload sehingga beban
jantung juga ikut berkurang. Furosemide merupakan golongan loop diuretic yang
menghambat reabsorpsi dari ion sodium (Na+) dan klorida (Cl-) pada tubulus renalis
proksimal dan distal sertaloop of Henle sehingga cairan yang ada di dalam tubuh akan
ikut terbuang melalui ginjal yang menyebabkan diuresis pada pasien. Restriksi cairan
juga merupakan hal yang penting pada pasien CHF, sehingga pada pasien ini hanya
diberikan infus 500cc dalam 24 jam guna membantu mengurangi beban preload. Selain
itu, pasien juga diberikan edukasi untuk minum tidak lebih dari 4-5 gelas kecil (±200cc)
per hari serta diet rendah garam.Pemberian valsartan yang merupakan golongan
Angiotensin Receptor Blocker (ARB) bertujuan untuk mencegah konstriksi pembuluh
darah, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa angiotensin II merupakan
vasokonstriktor poten, sehingga dengan dicegahnya konstriksi pembuluh darah,
resistensi perifer menurun yang juga akan menurunkan beban pemompaan jantung
(menurunkan besar tegangan ventrikel).
Keadaan SVT pada pasien ini ditanggulangi menggunakan Amiodaron.
Amiodaron merupakan analog hormon tiroid. Selain memperpanjang masa refrakter
efektif melalui blokade kanal K+, obat ini memiliki efek farmakologi multipel.
Amiodarone adalah obat antiaritmia yang paling luas jangkauan terapeutiknya karena
efektif terhadap semua jenis takiaritmia. Selain itu, obat ini tidak menurunkan
kontraktilitas miokard sehingga aman diberikan pada pasien gagal jantung. Namun, obat
ini memiliki efek samping yang banyak bila diberikan kronis dengan dosis 3x200mg
selama 3 bulan maka akan menyebabkan fibrosis paru, sirosis hepatis, mikrodeposit
pada kornea atau fotosensitif, hipo- atau hiper-tiroid. Oleh sebab itu, amiodarone dosis
tinggi tidak boleh diberikan lebih dari 10 hari. Apabila perlu diberikan secara kronis
misalnya untuk mempertahanan irama sinus pada pasien fibrilasi atrium atau SVT cukup
dengan dosis 1x200mg/hari. Pada dosis tersebut, dilaporkan tidak menimbulkan efek
samping.9

12
Gambar 1. Berikut merupakan algoritma penatalaksanaan takikardi berdasarkan ACLS. 10

Secara garis besar penatalaksanaan SVT dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu
penatalaksanaan segera dan penatalaksanaan jangka panjang.
1) Penatalaksanaan segera
a. Direct Current Synchronized Cardioversion
Setiap kegagalan sirkulasi yang jelas dan dan dapat termonitor dengan baik,
dianjurkan penggunaan direct current synchronized cardioversion dengan

13
kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon yang pada umumnya cukup efektif.
DC shock yang diberikan perlu sinkron dengan puncak gelombang QRS, karena
rangsangan pada puncak gelombang T dapat memicu terjadinya fibrilasi
ventrikel. Tidak dianjurkan memberikan digitalis sebelum dilakukan DC Shock
oleh karena akan menambah kemungkinan terjadinya fibrilasi ventrikel.
Apabila terjadinya fibrilasi ventrikel maka dilakukan DC shock kedua yang
tidak sinkron. Apabila DC shock kedua ini tetap tidak berhasil, maka
diperlukan tindakan invasif.10
b. Manuver Vagal
Tindakan ini dulu lazim dicoba pada anak yang lebih besar namun tidak
dianjurkan pada bayi, karena jarang sekali berhasil. Maneuver vagal yang
terbukti efektif adalah perendaman wajah. Teknik ini dilakukan dengan cara
bayi terbungkus handuk dan terhubung ke EKG, wajah direndam selama sekitar
lima detik ke dalam mangkuk air dingin. Akan tetapi, maneuver vagal yang lain
seperti pemijatan sinus karotis dan penekanan pada bola mata tidak
direkomendasikan dan terbukti tidak efektif. Hal tersebut dikarenakan
pemijatan sinus karotis justru dapat menekan pernapasan dan penekanan pada
bola mata memiliki resiko terjadinya luka pada mata dan retina. Jika
perendaman wajah gagal, adenosin dengan dosis awal 200 µg/kg dapat
diberikan secara intravena dengan cepat ke dalam pembuluh darah besar
(seperti pada fossa antecubital). Terkadang dibutuhkan dosis adenosine sampai
dengan 500 µg/kg.8
c. Pemberian adenosin
Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat kronotropik negatif,
dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat dan berlangsung sangat
singkat dengan konsekuensi pada hemodinamik sangat minimal. Adenosin
dengan cepat dibersihkan dari aliran darah (sekitar 10 detik) dengan cellular
uptake oleh sel endotel dan eritrosit. Obat ini akan menyebabkan blok segera
pada nodus AV sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme reentry.
Adenosin mempunyai efek yang minimal terhadap kontraktilitas.11
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam terapi SVT
karena dapat menghilangkan hampir semua SVT. Efektivitasnya dilaporkan

14
pada sekitar 90% kasus.7 Adenosin diberikan secara bolus intravena diikuti
dengan flush saline, mulai dengan dosis 50 µg/kg dan dinaikkan 50 µ/kg setiap
1 sampai 2 menit (maksimal 200 µ/kg). Dosis yang efektif pada anak yaitu 100
– 150 µg/kg. Pada sebagian pasien diberikan digitalisasi untuk mencegah
takikardi berulang.12
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial flushing, dan
terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada pasien dengan disfungsi
sinus node, gangguan konduksi A-V, atau setelah pemberian obat lain yang
mempengaruhi A-V node (seperti beta blokers, calsium channel blocker,
amiodaron). Adenosin bisa menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma.12
Kegagalan adenosine dalam menghilangkan takikardi masih mungkin
mengarah pada :
(1) Dosis yang tidak adekuat atau pemberian obat yang terlalu lambat
(2) Proses mekanisme menuju atrial takikardi
(3) Proses mekanisme menuju VT.

d. Prokainamid. Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga


efektif. Obat ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada
konduksi retrograd pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus AV.
Hipotensi juga sering dilaporkan pada saat loading dose diberikan. Dosis oral
yang biasa diberikan berkisar antara 40-100 mg/kg/hari terbagi dalam 4-6 dosis.
Dosis awal untuk intravena yang dapat ditoleransi adalah 5-15 mg/kg,
sedangkan untuk dosis pemeliharaan dapat menggunakan 40-100 mcg/kg/menit.

15
BAB III
KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien atas nama Ny. EC 67 tahun mengeluh sesak napas sejak 7
jam SMRS.Sesak dirasakan terutama saat beraktivitas seperti pergi ke kamar mandi,
setelah buang air besar dan kadang sesak napas juga dirasakan saatberistirahat. Pasien
mengaku sering terbangun karena sesaknya. Pasien biasanya tidur dengan 2 bantal.
Sesak napas disertai dengan jantung terasa berdebar-debar yang dirasakan sejak 1 hari
SMRS. Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati dan mual. Bengkak pada kaki disangkal.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 140/80
mmHg, frekuensi nadi 150x/menit, frekuensi napas 32 x/menit, suhu tubuh 36,7oC, dan
saturasi oksigen 95%. Selain itu, ditemukan pula adanya rhonki basah halus pada basal
kedua lapang paru dan edem pitting pada ekstremitas bawah. Pada pemeriksaan
hematologi hanya ditemukan adanya leukositosis, pemeriksaan profil lipid dan fungsi
ginjal tidak ditemukan kelainan. Hasil pemeriksaan EKG ditemukan adanya
supraventrikular takikardi.
Telah ditegakkan diagnosa pada pasien ini yaitu CHF FC III-IV dan SVT. Kepada
pasien telah diberikan terapi:
 IVFD RL 500cc/24 jam
 Furosemide 3x40mg IV
 Amiodaron 1x150mg IV bolus dalam 10 menit drip Amiodaron 600mg dalam D5%
500cc/24jam.
 Valsartan 1x80 mg PO.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC. Hall JE. Textbook of medical physiology, 13th Ed. Philadelphia.
2010.
2. Price, Sylvia dan Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta; EGC. 2006.
3. Rahmatullah, Pasian. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5th Ed Jilid III. Jakarta:
Interna Publishing. 2010.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tata Laksana
Gagal Jantung. 2015.
5. Olgin, Jeffrey E., Douglas P. Zipes. Tachyarrhythmias. Braunwald’s Heart
Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine Ninth Ed. 2010.
6. Delacrétaz, E., Supraventricular Tachycardia. New England Journal of Medicine
2006.354(10). pp. 1039-51.
7. Link, M. S.Evaluation and Initial Treatment of Supraventricular Tachycardia. The
New England Journal of Medicine. 2010.367(15), pp. 1438-1448.
8. Schlechte, E. A., Boramanand, N. & Funk, M.,.Supraventricular Tachycardia in the
Primary Care Setting: Agerelated Presentation, Diagnosis, and Management.
Journal of Health Care 2011.22(5). pp. 289-99.
9. Kabo, P.Bagaimana Menggunakan Obat-obat Kardiovaskular secara Rasional.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010.
10. Andrew H. Travers, et al. Part 4: CPR Overview: 2010 American Heart Association
Guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.
AHA 2010. 122; pp.676-84.
11. Manole, M. D. & Saladino, R. A. Emergency Department Management of the
Patient With Supraventricular Tachycardia. Pediatric Emergency Care,2007. 23(3),
pp. 176-89.
12. Moghaddam, M. Y. A., Dalili, S. M. & Emkanjoo, Z., 2008. Efficacy of Adenosine
for Acute Treatment of Supraventricular Tachycardia.The Journal of Tehran
University Heart Center,Volume 3(3) 2008. pp. 157-162.

17

You might also like