You are on page 1of 6

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan

indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
22
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intevensi koroner perkutan primer (PERKI,
2014).
Diagnosa kerja dapat ditegakkan dengan ditemukannya riwayat nyeri dada
yang bertahan lebih dari 20 menit, penyebaran nyeri ke leher, rahang ataupun
lengan kiri, riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya. Pada beberapa kasus
dapat ditemukan gejala seperti diaphoresis, mual, muntah, sesak nafas, jantung
berdebar bahkan pingsan. Diperkirakan 30% dari kasus menunjukkan gejala yang
atipikal (Steg et al., 2012).
Pada anamnesis pasien ini ditemukan nyeri dada substernal, durasi nyeri
>20 menit, sifat nyeri dada seperti ditimpa beban berat, penjalaran nyeri ke
punggung, tengkuk, serta lengan kiri dan disertai keringat dingin.
Tidak ada pemeriksaan fisik yang khas pada STEMI namun dapat
dijumpai cemas, gelisah, pucat, diaphoresis, ektremitas dingin, takikardia,
hipotensi, dan dapat terdengar suara jantung S3 atau S4 (Kumar et al., 2009)
Pada pasien ini ditemukan cemas, gelisah, dan keringat dingin pada saat
nyeri dada. Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal.
EKG
Selama fase awal, oklusi total arteri koroner menunjukkan gambaran EKG
elevasi segmen ST. Dalam beberapa jam kemudian diikuti gelombang T terbalik
dan dalam beberapa hari kemudian muncul gelombang Q patologis (Rhee et al.,
2011).
Gambar : Evolusi EKG pada STEMI (Rhee et al., 2011).
Tabel 3.1. Lokasi Infark Miokard
Anatomi Lead dengan EKG abnormal Arteri koroner yg terlibat
Inferior II, III, Avf RCA
Anteroseptal V1, V2 LAD
Anteroapical V3, V4 LAD (distal)
23
Anterolateral V5, V6, I, Avl LCX
Posterior V1, V2 (gel. R tinggi, bukan Q) RCA
Sumber: Rhee et al., 2011.
Pada gambaran EKG :
Sinus Ritme, QRS rate 82 x/i, QRS axis normoaxis, P wave (+) N, PR interval
0,16”, QRS duration 0,08”, ST elevasi di V1-V4, T inversi di V1-V4, QS di V1-
V2, LVH (-), VES (-).
Hasil pemeriksaan EKG terdapat elevasi dari segmen ST di lead V1-V4
yang menunjukkan bahwa miokard yang mengalami infark adalah yang terletak di
bagian anteroseptal jantung. Bagian anteroseptal jantung diperdarahi oleh arteri
koroner left anterior descending (LAD).
Laboratorium
Pemeriksaan enzim jantung CK-MB atau Troponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CKMB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner).
Troponin I/T juga dapat meningkat karena kelainan kardiak non koroner seperti
takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal nafas, penyakit neurologik akut,
24
emboli paru, hipertensi pulmonal, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal (PERKI,
2014).
Pada kasus infark miokard, serum troponin I/T mulai meningkat 3-4 jam
setelah onset dan mencapai puncaknya pada 18-36 jam. Kemudian menurun
secara perlahan dan dapat dideteksi selama 10-14 hari. Serum CKMB mulai
meningkat 3-8 jam setelah onset dan mencapai puncaknya setelah 24 jam.
Kemudian kadar CKMB kembali normal setelah 48-72 jam (Rhee et al., 2011).
Pada pasien dijumpai hasil pemeriksaan Troponin dan CKMB yang
meningkat. Troponin T pada pasien 1,1 (0 – 0,1) dan CKMB 58 U/L (7 – 25).
Angiografi Koroner
Angiografi koroner merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada jantung
dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak
sumbatan pada arteri koroner. Jika ditemukan sumbatan, tindakan lain yang
dinamakan angioplasti dapat dilakukan untuk memulihkan aliran darah pada arteri
tersebut. Kadang-kadang akan ditempatkan stent (pipa kecil yang berpori) dalam
arteri (Rhee et al., 2011).
Pada pasien ini dilakukan angiografi koroner dan dijumpai adanya stenosis
total pada arteri koroner LAD sesudah cabang diagonal 1 (D1), maka dianjurkan
untuk dilakukan tindakan angioplasti pada pasien ini.
Penatalaksanaan
Tatalaksana Awal
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok
komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik
(pump failure).
25
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi pada jam
pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang
dicurigai STEMI antara lain:
Penanganan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi.
Trasnportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/
ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
Melakukan terapi reperfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya
bukan selama transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset
nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa
ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat (Fuster et al, 2011).
Tatalaksana Umum
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama (Fuster et al, 2011).
Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan
dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri
dada, nitrogliserin juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan
menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara
dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri
dada terus berlangsung dapat diberikan nitrogliserin intravena. Nitrogliserin
intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru (Fuster
et al, 2011).
26
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg
dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit dengan dosis total 20 mg.
Mengurangi dan menghilangkan nyeri dada sangat penting karena nyeri dikaitkan
dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokontriksi dan meningkatkan
beban jantung (Fuster et al, 2011).
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi
aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg diruang emergensi. Selanjutnya aspirin
diberikan oral dengan dosis 75-162 mg (Fuster et al, 2011).
Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV,
selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5
mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60
menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama
48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam (Fuster et al, 2011).
ACE Inhibitor
ACE Inhibitor harus segera diberikan jika tekanan darah stabil dan tetap di atas
100 mmHg. Keuntungan ACE Inhibitor terutama terlihat pada pasien dengan
gagal jantung, infark miokard, disfungsi ventrikel kiri. ACE Inhibitor seperti
captopril 6,25 mg diberikan 3 dosis, target 25-50 mg (Fuster et al, 2011).
Antagonis Kalsium
27
Tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan antagonis kalsium secara rutin.
Namun golongan obat ini dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita
dengan nyeri dada iskemik yang berlanjut walaupun telah mendapatkan nitrat dan
penyekat beta (Fuster et al, 2011).
Antitrombotik
Menurut John (2008) heparin dapat diberikan dalam bentuk unfractionated
heparin atau low molecular weight heparin. Unfractionated heparin diberika 5000
unit bolus dilanjutkan dengan 1000 unit/jam. Dosis heparin kemudian diteruskan
sesuai pemeriksaan aPTT (target aPTT 1,5-2 x nilai normal) (Fuster et al, 2011).
Antagonis Reseptor Glykoprotein IIb/IIIa
Golongan obat ini sedang diuji pada uji klinik sebagai terapi adjuvant fibrinolitik.
Penggunaannya pada primary PTCA terbukti memperbaiki angka harapan hidup
(Fuster et al, 2011).
Pada pasien ini dilakukan penatalaksanaan berupa : pemberian antiplatelet berupa
aspilet ditambah dengan clopidogrel, beta blocker berupa bisoprolol, nitrat ISDN,
ACE-inhibitor captopril, statin berupa simvastatin, dan anti koagulan arixtra.
Terapi Reperfusi
28
Gambar 1. Pendekatan Manajemen STEMI (Steg et al, 2008)
Pemberian terapi fibrinolitik tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
enzim jantung, karena penundaan yang tidak perlu ini dapat mengurangi
miokardium yang seharusnya dapat terselamatkan. Jika keluhan pasien sesuai
dengan IMA dan kadar enzim jantung yang meningkat, namun tidak terdapat ST
elevasi pada EKG, maka diagnosisnya adalah infark non ST elevasi (NSTEMI).
Pasien harus mendapat terapi heparin, aspirin, dan obat-obat anti-angina. Terapi
fibrinolitik tidak boleh diberikan pada infark non ST-elevasi.
Pemberian fibrinolitik harus dilakukan sesegera mungkin, karena semakin
cepat diberikan semakin banyak miokardium yang terselamatkan. Sebaiknya
dicapai dalam waktu kurang dari 30 menit (Fuster et al, 2011).
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien
29
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.
Indikasi terapi fibrinolitik adalah sebagai berikut (Fuster et al, 2011):
Gejala yang sesuai dengan IMA.
Perubahan EKG berupa ST elevasi > 0,1 mm pada minimal 2 sandapan yang
berdekatan, gambaran bundle branch block baru.
Onset nyeri dada:
< 6 jam : sangat bermanfaat
6-12 jam : bermanfaat
>12 jam : tidak bermanfaat, kecuali dengan penderita dengan iskemia lanjut,
yang terbukti berlanjutnya nyeri dada dan ST elevasi pada EKG.
Jenis obat fibrinolitik
1. Streptokinase
Regimen 1,5 juta unit dalam 100 NaCl 0,9% atau dekstrose 5% diberikan dalam 1
jam (Fuster et al, 2011).
2. Tissue Plasminogen Activator (tPA)
Penggunaan tPA harus dipertimbangkan pada pasien-pasien yang telah
mendapatkan streptokinase dalam 2 tahun terakhir, alergi terhadap streptokinase,
hipotensi (TDS < 90 mmHg).
Kontraindikasi fibrinolitik
Keberhasilan resusitasi tidak dikontraindikasikan dengan terapi fibrinolitik. Akan
tetapi, pada keadaan yang tidak efektif dimana dapat terjadi peningkatan
perdarahan yang merugikan, pemberian fibrinolitik tidak diindikasikan.
30
Gambar 3.2 : Kontraindikasi fibrinolitik (Steg et al, 2012)
Kegagalan fibrinolitik
Ditandai dengan berlanjutnya nyeri dada dan menetapnya ST elevasi. Komplikasi
berupa gagal jantung, aritmia lebih banyak terjadi, untuk itu rescue PTCA harus
dipertimbangkan. Jika tidak memungkinkan, sebaiknya fibrinolitik diulangi
dengan dosis yang sama (Fuster et al, 2011).
Primary PTCA
Primary PTCA terbukti memiliki keberhasilan membuka dan mempertahankan
patensi arteri koroner yang tersumbat lebih baik dibandingkan fibrinolitik. Namun
tindakan ini masih terbatas pada beberapa rumah sakit. Primary PTCA
dipertimbangkan sebagai alternatif tindakan reperfusi, tindakan ini tidak
dianjurkan jika pemberian fibrinolitik melebihi 60-90 menit.
pasien yang memiliki kontraindikasi absolut untuk tindakan fibrinolitik,
pasien dengan syok kardiogenik.

Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard


(nyeri dada nonkardiak) :
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau
batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah
apeks ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan
SKA, maka terminologi angina dalam dokumen ini lebih mengarah pada
keluhan nyeri dada tipikal. Selain untuk tujuan penapisan diagnosis kerja,
anamnesis juga ditujukan untuk menapis indikasi kontra terapi fibrinolisis
seperti hipertensi, kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang
menjalar ke punggung disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan,
atau riwayat penyakit serebrovaskular.

You might also like