You are on page 1of 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis

A.1. Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan
oleh basil Mycobacterium tuberculosis. TB biasanya menyerang paru-paru (TB
paru), tapi juga dapat menyerang organ lain (TB ekstra paru).1 Paru-paru
merupakan gerbang masuk utama bagi basil Mycobacterium tuberculosis, yang
dapat menyebabkan infeksi fokal pada lokasi dimana basil ini terdeposit setelah
terhirup.14 TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibandingkan
organ lainnya.2
Terdapat beberapa istilah lain yang perlu diketahui dalam memahami
penyakit TB. Infeksi Mycobacterium tuberculosis yang masih dapat ditahan oleh
sistem imun sehingga tidak bermanifestasi klinis disebut infeksi TB laten,
sementara jika sudah menimbulkan manifestasi klinis dengan konfirmasi isolasi
organisme Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan disebut TB aktif.15

A.2. Mycobacterium tuberculosis


Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus tidak berspora dan juga
tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm.
Dindingnya sangat kompleks dan terdiri dari lapisan lemak yang cukup tinggi
(60%). Penyusun utama dinding sel Mycobacterium tuberculosis ialah asam
mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord
factor dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat
merupakan asam lemak berantai panjang yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan
fosfodiester.16
Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis bersifat

5
6

tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol. Komponen antigen
ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan
protein. Karakteristik antigen Mycobacterium tuberculosis dapat diidentifikasi
dengan menggunakan antibodi monoklonal.16
Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin
(dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada
dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan
menjadikan penyakit TB kembali aktif. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai
parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula
memfagositasi, kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid.2
Sifat lain dari kuman ini adalah aerob. Menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan
oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga
bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit TB.2

A.3. Epidemiologi
Pada tahun 2011, terdapat 8,7 juta kasus TB (range, 8,3 juta-9 juta) di
seluruh dunia, atau 125 kasus per 100.000 penduduk. Dari seluruh kasus tersebut,
0,5 juta diantaranya adalah anak-anak, dan 2,9 juta (range, 2,6 juta-3,2 juta)
terjadi pada wanita. Sebagian besar kasus ditemukan di Asia (59%) dan Afrika
(26%). Negara-negara dengan jumlah kasus terbesar adalah India (2-2,5 juta),
China (0,9-1,1 juta), Afrika Selatan (0,4-0,6 juta), Indonesia (0,4-0,5 juta), dan
Pakistan (0,3-0,5 juta). India dan China masing-masing tercatat mengalami kasus
TB sebesar 26% dan 12% dari seluruh kasus TB di dunia.1
Jumlah pasien TB di Indonesia diperkirakan sekitar 5,8% dari total jumlah
pasien TB di dunia. Setiap tahun ada 429.370 kasus baru dengan kematian 62.246
orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk. Hasil
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1995 menunjukkan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan
nomor satu dari golongan penyakit infeksi.3
7

Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa


angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk.
Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3
wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000
penduduk; 2) wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000
penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per
100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB
adalah 68 per 100.000 penduduk. Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun
2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara nasional 3-4 %
setiap tahunnya.3

A.4. Cara Penularan


Penyakit TB dapat menyebar di udara jika seseorang dengan TB paru
menyebarkan bakteri melalui batuknya. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak. Masa inkubasi Mycobacterium tuberculosis adalah selama
3-6 bulan.17 Umumnya hanya dalam proporsi kecil seseorang yang terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis akan berkembang menjadi penyakit TB, namun
kemungkinan berkembangnya penyakit TB akan lebih besar pada pasien dengan
defisiensi sistem imun.1 Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan
Mycobacterium tuberculosis ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara
dan lamanya menghirup udara tersebut.3
Umumnya penularan Mycobacterium tuberculocis terjadi dalam ruangan di
mana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi
jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular penderita tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang
terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut.3
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan
8

lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap
tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu
proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar
1%, berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Menurut
WHO, ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan
perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. Hanya sekitar 10% yang
terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara
100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 infeksi TB dan 10% diantaranya (100
orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien
TB BTA positif.3

A.5. Faktor Risiko


Hampir semua indikator kesehatan memperlihatkan adanya hubungan antara
keadaan sakit dengan kondisi sosial ekonomi yang buruk. Indikator yang paling
sering digunakan dalam merefleksikan sosial ekonomi seseorang atau suatu
keluarga adalah pendapatan perbulannya, kepadatan tempat tinggal, tingkat
pendidikan, pengangguran, dan kelas sosial.18
Usia merupakan faktor risiko determinan penting timbulnya penyakit setelah
terjadinya infeksi. Di antara orang-orang yang terinfeksi, insiden penyakit TB
paling tinggi terjadi pada dewasa dan awal masa remaja, alasannya belum
diketahui dengan jelas.19
Faktor lainnya yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien
TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV dan malnutrisi
(gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi
TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya
tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta
(oportunistic), seperti TB, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah
bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan
TB di masyarakat akan meningkat pula. Risiko infeksi Mycobacterium
tuberculosis laten untuk berkembang menjadi penyakit TB aktif memiliki
hubungan erat dengan status imun seseorang.19
9

A.6. Patogenesis
Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar. Partikel infeksi ini dapat menetap
dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada sinar ultraviolet, ventilasi,
dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat bertahan berhari-
hari sampai berbulan-bulan.2
Patogenesis TB pada individu imunokompeten yang belum pernah terpajan
berpusat pada pembentukan imunitas selular yang menimbulkan resistensi
terhadap organisme dan menyebabkan terjadinya hipersensitivitas jaringan
terhadap antigen. TB primer merupakan bentuk penyakit yang terjadi pada orang
yang belum pernah terpajan, sehingga tidak pernah tersensitisasi. Sumber
organism yang menyerang adalah eksogen.20 Pada patogenesis TB primer,
Mycobacterium tuberculosis akan masuk melalui saluran napas dan bersarang di
jaringan paru, dimana akan terbentuk suatu sarang pneumonik yang disebut sarang
primer atau afek primer. Sarang primer ini bisa timbul di bagian mana saja dalam
paru. Dari sarang primer, akan terlihat peradangan saluran getah bening yang
menuju hilus (limfangitis lokal) dan diikuti oleh pembesaran kelenjar getah
bening di hilus (limfadenitis regional).16 Sarang primer limfangitis lokal dengan
limfadenitis regional kemudian disebut sebagai kompleks primer (Ranke). Semua
proses ini memakan waktu 3-8 minggu.2 Kompleks primer ini selanjutnya dapat
sembuh tanpa meninggalkan bekas, sembuh dengan meninggalkan bekas (antara
lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus), atau bahkan dapat
menyebar dengan berbagai cara. Penyebaran secara perkontinuitatum yaitu
menyebar kesekitarnya, secara bronkogen yaitu menyebar di paru bersangkutan
atau ke paru sebelahnya, dapat juga terjadi ke usus apabila kuman tertelan
bersama sputum, sedangkan secara hematogen dan limfogen berkaitan dengan
daya tahan tubuh, serta jumlah dan virulensi basil.16
Fase TB pascaprimer terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi,
alkohol, penyakit maligna, diabetes, Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS), dan gagal ginjal.2 TB pasca primer ini juga dapat terjadi akibat reinfeksi
eksogen karena berkurangnya proteksi yang dihasilkan oleh penyakit primer atau
10

karena besarnya inokulum basil hidup.20 TB pascaprimer dimulai dengan sarang


dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini pada awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil,
yang dalam 3-10 minggu akan menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang
terdiri dari sel-sel histiosit dan sel datia langhans yang dikelilingi oleh sel-sel
limfosit dan berbagai jaringan ikat.2 Sarang dini dapat diresorpsi dan sembuh
kembali dengan tidak meninggalkan cacat. Sarang ini dapat pula mulai meluas,
tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan serbukan jaringan fibrosis,
selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran dan
akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya, dapat juga sarang tersebut
menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila
jaringan keju dibatukkan keluar. Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena
hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh
makrofag dan proses yang berlebihan antara sitokin dengan Tumor Necrosis
Factor (TNF).16
Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal
karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas
sklerotik (kronik). Kavitas ini mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang
pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti
yang disebutkan di atas, dapat pula memadat dan membungkus diri
(encapsulated), disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan
menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kavitas
lagi. Kavitas bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed
cavity atau kavitas menyembuh dengan membungkus diri lalu akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kavitas yang terbungkus dan menciut sehingga
kelihatan seperti bintang atau stellate shaped.16

A.7. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita TB memerlukan suatu
definisi kasus yang meliputi empat hal, yaitu3:
11

1. Lokasi dan organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru.
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif
atau BTA negatif.
3. Riwayat pengobatan TB sebelumnya, pasien baru atau sudah pernah
diobati.
4. Status HIV pasien.
5. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. Saat ini sudah tidak
dimasukkan dalam penentuan definisi kasus.
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah sebagai berikut3 :
1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai, untuk mencegah
pengobatan yang tidak adekuat (undertreatment), menghindari
pengobatan yang tidak perlu (overtreatment).
2. Melakukan registrasi kasus secara benar.
3. Standarisasi proses (tahapan) dan pengumpulan data.
4. Menentukan prioritas pengobatan TB, dalam situasi dengan sumber daya
yang terbatas.
5. Analisis kohort hasil pengobatan, sesuai dengan definisi klasifikasi dan
tipe.
6. Memonitor kemajuan dan mengevaluasi efektifitas program secara
akurat, baik pada tingkat kabupaten, provinsi, nasional, regional maupun
dunia.
Beberapa istilah dalam definisi kasus3:
1. Kasus TB: pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau
didiagnosis oleh dokter atau petugas TB untuk diberikan pengobatan TB.
2. Kasus TB pasti (definitif): pasien dengan biakan positif untuk
Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-
kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS)
hasilnya BTA positif.
12

A.7.a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena3 :


1) Tuberkulosis paru
Menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru
Menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan
lain-lain. Pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu diklasifikasikan
sebagai TB paru.
A.7.b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis,
keadaan ini terutama ditujukan pada TB Paru3
1) Tuberkulosis paru BTA positif
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif.
b) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto
toraks dada menunjukkan gambaran TB.
c) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan
kuman TB positif.
d) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya
BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA
positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran TB.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT,
bagi pasien dengan HIV negatif.
13

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi


pengobatan.
A.7.c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya3
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut
sebagai tipe pasien, yaitu :
1) Kasus baru
Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.
2) Kasus yang sebelumnya diobati
a) Kasus kambuh (Relaps)
Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
b) Kasus setelah putus berobat (Default)
Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.
c) Kasus setelah gagal (Failure)
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
3) Kasus Pindahan (Transfer In)
Pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
4) Kasus lain
Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti :
a) tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
b) pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
c) kembali diobati dengan BTA negatif.
14

A.8. Gejala Klinis


Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau malah
banyak pasien yang ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah2 :
1. Demam
Biasanya subfebris menyerupai demam influenza, tetapi kadang-
kadang panas badan dapat mencapai 40-41⁰C. Serangan demam pertama
dapat sembuh sebentar, kemudian timbul kembali. Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman
TB yang masuk.
2. Batuk/Batuk Darah
Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk diperlukan
untuk membuang produk-produk radang keluar. Terlibatnya bronkus pada
setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru, yakni setelah berminggu-minggu atau
berbulan-bulan sejak peradangan bermula. Batuk awalnya berupa batuk
kering (non-produktif), kemudian setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk
darah karena terdapat pembuluh darah yang terpecah. Kebanyakan batuk
darah pada TB berasal dari kavitas, tetapi dapat juga dari ulkus dinding
bronkus.
3. Sesak Nafas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas.
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri Dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi
gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/menghembuskan nafas.
15

5. Malaise
Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise yang
sering ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan makin
kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam
dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang
timbul secara tidak teratur.

A.9. Diagnosis
Diagnosis TB paru diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
SPS. Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2
spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil
jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium. Diagnosis TB Paru pada orang
dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis.3
16

Gambar 2.1 Alur Diagnosis TB Paru3


17

A.10. Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.3

Tabel 2.1. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT Lini Pertama3


Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Jenis OAT Sifat
Harian 3 kali seminggu
5 10
Isoniazid (H) Bakterisid
(4-6) (8-12)
10 10
Rifampisin (R) Bakterisid
(8-12) (8-12)
25 35
Pyrazinamide (Z) Bakterisid
(20-30) (30-40)
15 15
Streptomycin (S) Bakterisid
(12-18) (12-18)
15 30
Ethambutol (E) Bakteriostatik
(15-20) (20-35)

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut3:


1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
18

Tahap intensif (awal)3:


1. Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan3:
1. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
A.10.a. Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya3 :
1) Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
a) Pasien baru TB paru BTA positif
b) Pasien TB paru BTA negatif, foto toraks positif’
c) Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.2. Dosis untuk Paduan OAT KDT untuk Kategori-13


Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu selama
Berat badan Tiap hari selama 56 hari
16 minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT

38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT


19

2) Kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya:
a) Pasien kambuh
b) Pasien gagal
c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 2.3. Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori-23


Tahap Lanjutan
Tahap Intensif tiap hari 3 kali seminggu
Berat badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E
(275)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
2 tab 4 KDT
2 tab 2 KDT
30-37 kg + 500 mg 2 tab 4 KDT
+ 2 tab Etambutol
Streptomisin inj
3 tab 4 KDT
3 tab 2 KDT
38 – 54 kg + 750 mg 3 tab 4 KDT
+ 3 tab Etambutol
Streptomisin inj
4 tab 4 KDT
4 tab 2 KDT
55 – 70 kg + 1000 mg 4 tab 4 KDT
+ 4 tab Etambutol
Streptomisin inj
5 tab 4 KDT
5 tab 2 KDT
≥ 71 kg + 1000 mg 5 tab 4 KDT
+ 5 tab Etambutol
Streptomisin inj

3) OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap
intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
20

Tabel 2.4. Dosis KDT untuk Sisipan3


Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
Berat badan
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida


(misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan
kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut
jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga
meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.3

A.11. Komplikasi
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.2
Komplikasi dini dapat berupa pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis,
usus, Poncet’s arthropathy. Komplikasi lanjut, seperti obstruksi jalan napas atau
SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat atau
fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.2

B. Anemia

B.1. Definisi

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa


eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia ditunjukkan oleh
penurunan kadar hemoglobin (Hb), hematokrit atau hitung eritrosit.22 Semua
organ dapat terkena, maka pada anemia dapat menimbulkan manifestasi klinis
yang luas, bergantung pada kecepatan timbulnya anemia, usia individu,
21

mekanisme kompensasi, tingkat aktivitasnya, keadaan penyakit yang


mendasarinya, dan beratnya anemia.21

B.2. Etiologi
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh berbagai
penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena gangguan pembentukan
eritrosit, kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan), serta proses penghancuran
eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).22

B.3. Epidemiologi
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik
maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 150 juta
orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. Di
Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran prevalensi anemia pada tahun 1989
sebagai berikut22 :

Tabel 2.5. Prevalensi Anemia22


Kelompok Prevalensi
Anak prasekolah 30-40%
Anak usia sekolah 25-35%
Perempuan dewasa tidak hamil 30-40%
Perempuan hamil 50-70%
Laki-laki dewasa 20-30%
Pekerja berpenghasilan rendah 30-40%

B.4. Patogenesis
Manifestasi klinis anemia adalah hipoksia jaringan. Mekanisme kompensasi
penurunan kadar perfusi oksigen dapat mencegah atau memperbaiki anoksia
jaringan. Sel darah merah juga membawa karbondioksida dari jaringan ke paru
dan membantu distribusi nitrit oksida ke seluruh tubuh. Hipoksia jaringan terjadi
apabila tekanan oksigen pada kapiler darah terlalu rendah untuk menyediakan
22

oksigen untuk kebutuhan metabolisme sel dikarenakan rendahnya kadar Hb dalam


sel atau kelainan bentuk sel darah merah.23
Efek penurunan kapasitas pengangkutan oksigen pada jaringan dapat
dikompensasi dengan peningkatan perfusi jaringan dengan mengubah aktivitas
vasomotor dan angiogenesis. Pada anemia kronik, terjadi perpindahan aliran darah
dari organ nonvital ke organ esensial yang membutuhkan oksigen. Pada anemia
kronik, daerah yang mendonorkan darah adalah jaringan kulit dan ginjal.
Vasokontriksi dan pengambilan oksigen pada kulit menyebabkan gejala pucat.
Pada ginjal, perubahan tersebut dapat dikompensasi.23
Respon paling utama dari anemia adalah peningkatan produksi sel darah
merah, yang dapat meningkat 2-3 kali pada anemia akut, dan 4 kali pada anemia
kronik. Peningkatan produksi sel darah merah dimediasi oleh eritropoietin.
Akibat peningkatan produksi sel darah merah ini adalah terjadi peningkatan
jumlah retikulosit.23
Apabila hipoksia jaringan tidak dikompensasi maka akan timbul gejala
seperti dispnea pada saat beraktivitas maupun istirahat, angina, kram otot terutama
saat malam, sakit kepala, kepala terasa ringan, dan kelelahan.23

B.5. Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan faktor morfologik sel darah
merah dan indeksnya ataupun berdasarkan etiologi.21
B.5.a. Berdasarkan faktor morfologik sel darah merah dan indeksnya
1) Anemia normokromik normositik
Sel darah merah memiliki ukuran dan bentuk normal serta
mengandung jumlah Hb normal. MCV dan MCHC normal atau normal
rendah.21 Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut,
hemolisis, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan endokrin,
gangguan ginjal, kegagalan sumsum tulang, dan penyakit-penyakit
metastasis infiltratif pada sumsum tulang.13
2) Anemia normokromik makrositik
Memiliki sel darah merah lebih besar dari normal tetapi
normokromik karena konsentrasi Hb normal dan MCV meningkat, serta
23

MCHC normal.21 Keadaan ini disebabkan oleh terganggu atau


terhentinya sintesis asam deoksiribonukleat (DNA) seperti yang
ditemukan pada defisiensi B12 atau asam folat, atau keduanya. Anemia
normokromik dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker karena agen-
agen mengganggu sintesis DNA.13
3) Anemia hipokromik mikrositik
Memiliki sel darah merah yang berukuran kecil dengan warna yang
kurang (hipokromik). Sel-sel ini mengandung Hb dalam jumlah yang
rendah. MCV dan MCHC mengalami penurunan.21 Keadaan ini
umumnya mencerminkan insufisiensi sintesis heme atau berkurangnya
zat besi, keadaan sideroblastik, dan kehilangan darah kronis, atau
gangguan sintesis globin, seperti pada thalasemia.13
B.5.b. Berdasarkan etiologi21
1) Peningkatan hilangnya sel darah merah
Dapat disebabkan oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat
diakibatkan dari trauma atau ulkus atau akibat perdarahan kronis karena
polip di kolon, keganasan, hemoroid atau menstruasi. Penghancuran sel
darah merah di dalam sirkulasi dikenal sebagai hemolisis, terjadi jika
gangguan pada sel darah merah itu sendiri memperpendek siklus
hidupnya (kelainan intrinsik) atau perubahan lingkungan yang
menyebabkan penghancuran sel darah merah (kelainan ekstrinsik).21
2) Berkurangnya atau terganggunya produksi sel darah merah
(diseritropoiesis)
Setiap keadaan yang mempengaruhi sumsum tulang termasuk
dalam kategori ini. Termasuk dalam kelompok ini adalah keganasan
jaringan padat metastatik, leukemia, limfoma, dan mieloma multiple,
pajanan terhadap obat-obatan dan zat kimia toksik, serta radiasi. Selain
itu, penyakit-penyakit kronis yang mengenai ginjal dan hati, serta infeksi
dan defisiensi endokrin, kekurangan vitamin penting seperti B12, asam
folat, vitamin C, dan zat besi dapat mengakibatkan pembentukan sel
darah merah yang tidak efektif, dan menimbulkan anemia.21
24

B.6. Gejala Klinis


Gejala umum anemia, yang disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul
karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap
penurunan kadar Hb.22 Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan Hb sampai kadar tertentu (Hb <7 g/dL). Sindrom anemia terdiri dari
rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-
kunang, kaki terasa dingin, sesak napas, dan dispepsia.13 Pada pemeriksaan,
pasien tampak pucat, yang dapat dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak
tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena
dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul
setelah penurunan Hb yang berat (Hb <7 g/dl).22

B.7. Diagnosis
Evaluasi pasien dengan anemia memerlukan pemeriksaan riwayat pasien dan
fisik secara hati-hati. Riwayat nutrisi terkait obat atau konsumsi alkohol dan
riwayat keluarga harus diketahui. Hal lain yang perlu diketahui termasuk paparan
terhadap agen toksik atau obat dan gejala terkait dengan penyakit lain seringkali
berkaitan dengan anemia, seperti perdarahan, kelelahan, malaise, demam,
kehilangan berat badan, berkeringat pada malam hari, dan gejala sistemik lainnya.
Pada pasien anemia, pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan peningkatan denyut
jantung, kekuatan denyut nadi meningkat, dan bunyi murmur sistolik. Kulit dan
membran mukosa terlihat pucat bila kadar Hb 8-10 g/dL.13
Hitung darah rutin diperlukan sebagai evaluasi anemia terutama
pemeriksaan kadar Hb, hematokrit, dan indeks darah merah yaitu MCV dengan
satuan femtoliter, MCH dengan satuan pikogram per sel, dan MCHC dengan
satuan gram per desiliter.13
25

Tabel 2.6. Indeks Sel Darah Merah13


Indeks Nilai normal
MCV = (hematokrit × 10) /
90 ± 8 fL
(hitung sel darah merah × 106)
MCH = (hemoglobin × 10) /
30 ± 3 pg
(hitung sel darah merah × 106)
MCHC = (hemoglobin × 10) /
33 ± 2 g/dL
hematokrit, atau MCH/MCV

Nilai MCV di bawah normal (< 80) menggambarkan mikrositosis,


sedangkan di atas normal (> 100) menggambarkan makrositosis. MCH dan
MCHC menggambarkan gangguan sintesis Hb (hipokromia).13

Tabel 2.7. Nilai Hemogobin dan Hematokrit Berdasarkan Umur13


Umur/ Jenis Kelamin Hemoglobin (g/dL) Hematokrit (%)
Saat lahir 17 52
Anak-anak 12 36
Remaja 13 40
Laki-laki dewasa 16 (±2) 47 (±6)
Wanita dewasa (menstruasi) 13 (±2) 40 (±6)
Wanita dewasa (pascamenopause) 14 (±2) 42 (±6)
Selama kehamilan 12 (±2) 37 (±6)

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah hapusan darah tepi,


pemeriksaan sumsum tulang, dan pemeriksaan khusus yaitu22 :
1) Anemia defisiensi besi: serum iron, Total Iron Binding Capacity (TIBC),
saturasi transferin, protoporfirin, feritin serum, reseptor transferin dan
pengecatan besi pada sumsum tulang (Perl’s Stain)
2) Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 Serum, tes supresi
deoksiuridin dan tes Schiling.
26

3) Anemia hemolitik: Bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis Hb dan


lain-lain.
4) Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang

B.8. Derajat Anemia


Anemia adalah kadar Hb <14 g/dL pada pria dan kadar Hb <12 g/dL pada
wanita. Kadar Hb yang digunakan adalah kadar Hb sebelum pemberian terapi.
Derajat anemia dibagi berdasarkan kadar Hb pada penderita anemia. Berdasarkan
National Cancer Institute (NCI) Amerika derajat anemia dibagi menjadi24 :

Tabel 2.8. Derajat Anemia berdasarkan Kadar Hemoglobin24


Kadar Hb (g/dL)
Derajat Anemia
Pria Wanita
Derajat 0 (normal) 14,0≤Hb≤18,0 12,0≤Hb≤16,0

Derajat 1 (ringan) 10,0≤Hb<14,0 10,0≤Hb<12,0

Derajat 2 (sedang) 8,0≤Hb<10,0 8,0≤Hb<10,0

Derajat 3 (berat) 6,5≤Hb<8,0 6,5≤Hb<8,0

Derajat 4 (mengancam jiwa) Hb<6,5 Hb<6,5

B.9. Pengobatan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pasien anemia
adalah sebagai berikut22 :
1) Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang
telah ditegakkan terlebih dahulu.
2) Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan.
3) Pengobatan anemia dapat berupa :
a) Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut
akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada
anemia pasca perdarahan akut yang disertai hemodinamik
b) Terapi suportif
27

c) Terapi yang khas untuk masing-masing anemia


d) Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan
anemia tersebut
4) Dalam keadaan dimana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan,
terpaksa diberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus). Disini harus
dilakukan pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan
perjalanan penyakit pasien dan dilakukan evaluasi terus menerus tentang
kemungkinan perubahan diagnosis.
5) Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-
tanda gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik, transfuse hanya
diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah
jantung. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah,
oleh karena itu diberikan transfusi tetes pelan, atau dapat juga diberikan
diuretika kerja cepat seperti furosemid sebelum transfusi.

C. Anemia pada Tuberkulosis


Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronik
maupun keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa
lemah dan penurunan berat badan, serta disebut sebagai anemia peyakit kronis.25
Pada umumnya, anemia pada penyakit kronik ditandai oleh kadar Hb berkisar 7-
11 g/dL, kadar Fe serum menurun disertai Total Iron Binding Capacity (TIBC)
yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah
berkurang.25
Berbagai manifestasi hematologi dapat dijumpai pada pasien TB, dimana
terjadi inflamasi kronik. Kejadian yang paling sering dijumpai adalah anemia dan
leukositosis, dilaporkan masing-masing 60% dan 40%.11 Seluruh infeksi kronik
termasuk TB dapat menyebabkan anemia. Berbagai patogen diduga berkaitan
dengan kejadian anemia pada pasien TB, tapi kebanyakan dari penelitian
menunjukkan bahwa adanya penekanan dari proses eritropoiesis oleh mediator
inflamasi sebagai penyebab dari anemia.12 Diduga anemia yang terjadi merupakan
bagian dari sindrom stres hematologik (haematological stress syndrome), dimana
28

terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi,
inflamasi, atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuesterasi makrofag
sehingga mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di
limpa, menekan produksi eritropoietin oleh ginjal, serta menyebabkan
perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis di sumsum tulang. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada sekitar 20-
30% pasien. Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan peningkatan daya
fagositosis makrofag tersebut dan sebagai filter limpa (compulsive screening),
menjadi kurang toleran terhadap perubahan atau kerusakan minor dari eritrosit.25
Kekurangan nutrisi dan sindroma malabsorpsi dapat memperparah kondisi
anemia. Pengamatan pada pasien TB yang mengalami anemia menunjukkan tidak
adanya zat besi pada sumsum tulang dan sama halnya pada sel darah merah yang
didistribusikan ke sirkulasi, hal ini mengarahkan bahwa kekurangan zat besi
merupakan kemungkinan penyebab dari anemia pada pasien TB.12
Kejadian anemia cenderung meningkat seiring usia, terutama usia di atas 60
tahun. Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh penyakit kronik, status gizi yang
buruk, penurunan fungsi sumsum tulang, dan rendahnya kadar vitamin B12 serum.
Dalam konteks ini, usia dapat menjadi faktor risiko anemia pada TB. Di sisi lain,
gangguan homeostatis zat besi menjadi berkembang dengan meningkatnya
penyerapan dan retensi zat besi di dalam sistem retikuloendotelial pada infeksi
kronik seperti TB. Oleh karena zat besi merupakan faktor pertumbuhan yang
penting untuk Mycobacterium tuberculosis, kondisi retensi zat besi pada sistem
retikuloendotelial dianggap sebagai salah satu mekanisme pertahanan tubuh,
terkait hal ini telah banyak dilakukan penelitian untuk membuktikannya. Efek dari
retensi zat besi mungkin akan lebih bermakna pada wanita dengan TB karena
wanita lebih memungkinkan untuk kekurangan zat besi dibandingkan laki-laki.
Hal ini juga dapat menjelaskan bahwa jenis kelamin wanita merupakan salah satu
faktor risiko anemia.12
29

D. Kerangka Teori

Mycobacterium
tuberculosis

Tuberkulosis

Peningkatan Sekuestrasi
produksi sitokin makrofag

Peningkatan destruksi Penekanan produksi Peningkatan


eritrosit di limpa eritropoietin oleh pengikatan zat besi
ginjal

Perangsangan Penimbunan zat


inadekuat eritropoiesis besi di
di sumsum tulang retikuloendotelial

Anemia Defisiensi zat besi


30

Gambar 2.2. Kerangka Teori

E. Kerangka Konsep

Derajat

Tuberkulosis Paru Anemia

Klasifikasi
berdasarkan Indeks
Sel Darah Merah

Gambar 2.3. Kerangka Konsep

You might also like