Professional Documents
Culture Documents
Diagnosis cedera kepala ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis umum dan
neurologis, dan pemeriksaan penunjang:
Anamnesis
Hasil anamnesis yang mendukung diagnosis cedera kepala adalah:
Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan lucid interval.
Perdarahan / otorrhea / rhinorrhea
Amnesia traumatika (retrograd / anterograd)
Pemeriksaan klinis umum dan neurologis yang wajib dilakukan dalam kasus cedera kepala
adalah :
CT-scan otak dilakukan untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa gambaran
kontusio, edema otak, perdarahan (hiperdens), hematoma epidural, hematoma subdural,
perdarahan subarakhnoid, atau hematoma intraserebral.
Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di
dalamnya.
Gambar 2. Kepala panah menunjukkan hematoma subarachnoid, panah hitam
menunjukkan hematoma subdural dan panah putih menunjukkan pergeseran garis tengah
ke kanan
Tatalaksana
Tatalaksana dari cedera kepala dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 1).
Sumber : American College of Surgeons. Chapter 6. Head Trauma. In: American College of
Surgeons. Advanced Trauma Life Support. 10th ed. Chicago: Committee on Trauma; 2018. p. 112.
Tatalaksana Awal
Sumber : American College of Surgeons. Chapter 6. Head Trauma. In: American College of
Surgeons. Advanced Trauma Life Support. 10th ed. Chicago: Committee on Trauma; 2018. p.
112.
Primary Survey
Airway and Breathing
Hipoksemia (apnea, sianosis, atau saturasi oksigen Hb arterial [SaO2] < 90 %) harus
dicegah atau segera dikoreksi untuk mencegah terjadi cedera otak sekunder. Bila
memungkinkan, saturasi oksigen harus dimonitor sesering mungkin atau secara
Jalan nafas harus diamankan pada pasien dengan GCS < 9, ketidakmampuan
mempertahankan jalan nafas adekuat, atau bila hipoksia tidak terkoreksi dengan oksigen
suplemen. Intubasi endotrakheal merupakan pilihan paling efektif untuk mempertahankan
bagi dewasa, 30 x/menit bagi anak-anak, dan 35-40 x/menit bagi bayi.3-5
(CBF) dan menurunkan TIK. Namun, hiperventilasi profilaktik ini tidak lagi dianjurkan
sebagai tindakan rutin, karena pada pasien cedera otak traumatika biasanya CBF turun
menjadi dua pertiga dari normal dan jika terjadi hiperventilasi lebih lagi, maka akan
menurunkan CBF hingga berpotensi mencapai titik iskemia otak, hingga memperburuk
perfusi otak dan outcome pasien. Risiko ini terjadi jika PaCO2 dibiarkan turun hingga
dibawah 30 mmHg. Hiperventilasi dilakukan hanya sementara sampai pasien tiba di pusat
bedah saraf dimana analisis gas darah akan menuntun tingkat ventilasi. Oleh karena hal ini,
pada kebanyakan pasien, keadaan normocarbia atau normocapnia lebih dipilih. Sedangkan,
hipercarbia (PaCO2 > 45 mmHg) akan menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan TIK,
Circulation
Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatik bertujuan untuk mencegah
hipotensi dan/atau membatasinya pada durasi sesingkat mungkin. Tekana darah sistolik
harus dipertahankan ≥ 100 mmHg pada asien usia 50-69 tahun atau ≥ 110 mmHg pada
pasien usia 15-49 tahun dan > 70 tahun. Hipotesi adalah bila tekanan darah sistolik ≤ 90
mmHg pada orang dewasa. Sedangkan pada anak dengan cedera otak traumatik berat usia
0-1 tahun adalah < 65 mmHg; usia 2-5 tahun adalah < 75 mmHg; usia 6-12 adalah < 80
Tidak ada bukti bahwa mannitol bermanfaat, kecuali pada pasien dengan
peningkatan TIK yang jelas. Di IGD, tekanan perfusi serebral (CPP) tidak dapat dihitung
karena umumnya fase pra rumah sakit, yakni sebelum masuk rumah sakit, tekanan arterial
rata-rata (MAP) dan tekanan intrakranial (TIK) tidak dihitung. Bahkan pada IGD juga jarang
dihitung. Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah digunakan sebagai pengukur indirek
pengangkutan oksigen pada fase pra rumah sakit dan juga pada evaluasi inisial di IGD.
Pengukuran ini masih bersifat kasar sehingga sering tidak menunjukkan hubungan yang baik
dengan kehilangan darah, namun tidak ada tindakan lain yang dapat menilai kehilangan
Neurological Examination
Jangan melakukan pemeriksaan doll’s eye pada pasien hingga terbukti tidak ada
cedera servikal. Penilaian skor GCS dan refleks pupil harus dilakukan sebelum pemberian
sedasi pada pasien. Jangan menggunakan paralitik kerja panjang dan agen sedasi pada
primary survey. Hindari menggunakan agen sedasi kecuali ketika keadaan agitasi pasien
dapat menimbulkan risiko. Gunakan agen yang kerja pendek (short-acting) seperti IV
benzodiazepine (Midazolam [Versed]) ketika dibutuhkan agen sedasi seperti pada
pemasangan ETT.5
Penyebab lain dari perubahan status kesadaran ialah hipoglikemia yang juga
dilaporkan sebagai pencetus trauma. Hipoglikemia bisa tampil dengan perubahan kesadaran
dengan atau tanpa defisit neurologis lain. Oleh karena itu, dianjurkan pasien dengan
penurunan kesadaran yang tidak jelas etiologinya ditentukan glukosanya secara cepat.3-5
Kadar gula darah kurang dari 80 mg/dL mulai menimbulkan gejala. Hipoglikemia
ringan tampil dengan diaphoresis, nyeri kepala dan kelemahan pada 75 % pasien. Defisit
neurologis fokal dan kejang bisa terjadi. Kadar 30 mg/dL tampil dengan konfusi atau
delirium. Kadar dibawah 10 mg/dL tampil dengan koma dalam yang mungkin irreversibel.
Kontroversi terjadi pada akurasi strip pemeriksa, dampak perfusi perifer yang buruk
terhadap strip pemeriksa, serta potensi kerusakan akibat pemberian glukosa secara empirik.
Dianjurkan memeriksa kadar gula dari pada memberikan terapi empirik, kecuali bila kadar
gula tidak bisa didapat dan pasien mengalami gangguan status mental tanpa disertai defisit
fokal.3-5
Pemberian Obat-Obatan
Tujuan utama dari perawatan intensif ialah untuk mencegah cedera otak sekunder. Prinsip
dasar dari terapi pada cedera otak traumatik adalah, jika jaringan saraf yang cedera diberikan
kondisi yang optimal untuk pulih, maka jaringan tersebut dapat memperoleh fungsi
normalnya kembali. Terapi medis untuk cedera otak traumatik meliputi cairan intravena,
koreksi antikoagulasi, koreksi hiperventilas, mannitol, hipertonik saline, barbiturat, dan
antikonvulsan.
Cairan Intravena
Koreksi Antikoagulan
Pasien dengan cedera otak traumatik yang menjalani terapi antikoagulan atau anti-platelet
harus dinilai dan dikelola secara hati-hati. Setelah mendapat hasil INR (International
Normalized Ratio) normal, dokter harus segera melakukan CT scan pasien ketika
diindikasikan. Normalisasi antikoagulan secara cepat umumnya diperlukan (Tabel 6).5
Tabel 4. Koreksi Antikoagulan
Mannitol3-5
Tanda-tanda dari herniasi serebral adalah gangguan kesadaran serta tidak adanya respons,
termasuk extensor posturing, pupil berdilatasi, tidak bereaksi terhadap cahaya atau
perburukan neurologis progresif (penurunan GCS lebih dari dua poin dari sebelumnya pada
pasien dengan GCS inisial < 9). Tanda-tanda ini merupakan indikasi kuat pemberian
mannitol pada pasien euvolemic (pada pra rumah sakit). Pada pasien seperti ini, diberikan
mannitol bolus (1g / kg) dengan cepat (kurang dari 5 menit) dan transportasikan pasien ini
dengan cepat untuk melakukan CT-scan atau ke ruang operasi. 3-5
Mannitol dapat terakumulasi di otak dengan akibat reverse osmotic shift yang
berpotensi meninggikan tekanan intrakranial, oleh karena itu di rumah sakit lebih baik
diberikan berulang dari pada infus kontinyu untuk mengurangi kemungkinan komplikasi ini.
Potensi komplikasi mannitol lainnya adalah gagal ginjal. Perhatikan juga bahwa mannitol
berpotensi menimbulkan hipotensi sehingga mannitol tidak boleh diberikan pada pasien
hipotensi, karena mannitol tidak menurunkan TIK pada pasien dengan hipovolemia dan efek
osmotik-diuretik mannitol dapat mengeksaserbasi hipotensi dan iskemia serebral.5
Operatif
Lesi massa harus dioperasi bila terdapat pergeseran garis tengah (midline shifting) 5
mm atau lebih (> 40 cc). Setiap pergeseran dapat dilihat pada CT-scan, angiografi, atau
ventrikulografi. Semua hematoma epidural, subdural, atau intraserebral yang mempunyai
pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif (craniotomy).3-5
Pada hematoma kecil dengan pergeseran ringan tanpa kelainan neurologi, dilakukan
pendekatan konservatif, namun bisa terjadi perburukan sehingga pengamatan yang ketat
sangat diperlukan. Bila terjadi perburukan, CT-scan ulang harus dilakukan segera.3-5
Operasi tidak dilakukan bila telah terjadi brain death. Brain death didiagnosis jika
terdapat GCS ≤ 3, pupil yang non reaktif bilateral, absen refleks batang otak (okulosefalik,
korneal, doll’s eye, dan gag reflex), ketidakmampuan mempertahankan jalan nafas adekuat,
dan tidak ada faktor-faktor seperti intoksikasi alkohol atau obat-obatan atau hipotermia.3-5
DAFTAR PUSTAKA
3. Halpern CH, Grady MS. Chapter 42. Neurosurgery. In: Brunikardi FC, Andersen
DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et al., editors. Schwartz’s
Principles of Surgery. 10th ed. United States: McGraw-Hill Education; 2015.
p.1717-26.
4. Ortega-Barnett J, Mohanty A, Desai SK, Patterson JT. Chapter 67. Neurosurgery.
In: Towsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston Textbook of
Surgery : The Biological Basis of Modern Surgical Practic. 20th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2017. p. 1915-18.
5. American College of Surgeons. Chapter 6. Head Trauma. In: American College of
Surgeons. Advanced Trauma Life Support. 10th ed. Chicago: Committee on
Trauma; 2018. p. 102-26.