You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan dan lempeng pertumbuhan
yang disebabkan oleh trauma dan non trauma (Apley dan Solomon, 2013).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2011, dari sekian banyak kasus
fraktur di Indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang
paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan kasus
fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur,
14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang
mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula
(Depkes RI, 2011).
Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2013, Prevalensi cedera secara nasional
adalah 8,2 persen, prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di
Jambi (4,5%). Provinsi yang mempunyai prevalensi cedera lebih tinggi dari angka nasional
sebanyak 15 provinsi. Penyebab cedera terbanyak yaitu jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda
motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena benda tajam/tumpul (7,3%),
transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Sedangkan untuk penyebab yang
belum disebutkan proporsinya sangat kecil.Jenis cedera patah tulang yang dikaitkan dengan
usia menurut kepustakaan RISKESDA 2013 mempunyai persentasi tertinggi pada
kelompok usia di atas 75 tahun (10%).

Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok


umur 15-24tahun (11,7%), laki-laki (10,1%), pendidikan tamat SMP/MTS (9,1%),
yang tidak bekerja atau bekerja sebagai pegawai (8,4% persen), bertempat tinggal di
perkotaan (8,7%) pada kuintil Indeks kepemilikan menengah atas (8,7%).

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula
(reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi)
(Sjamsuhidajat, 2010).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Fraktur


Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan dan lempeng
pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma (Apley dan Solomon,
2013), di tandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi,
pemendekan , dan krepitasi (Doenges, 2002).
Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang
biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau persendian
pergelangan kaki ( Muttaqin, 2008).
Fraktur clavicula adalah terputusnya hubungan tulang clavicula yang
disebabkan oleh trauma langsung dan tidak langsung pada posisi lengan terputus atau
tertarik keluar (outstretched hand) karena trauma berlanjut dari pergelangan tangan
sampai clavicula ( Muttaqin, 2012).

2.2. Anatomi
2.2.1. Anatomi Clavicula
Os clavicula (tulang selangka) berhubungan dengan os sternum disebelah
medial dan di lateral tulang ini berhubungan dengan os scapula pada acromion yang
dapat diraba sebagai tonjolan di bahu bagian lateral. Tulang ini termasuk jenis tulang
pipa yang pendek, walaupun bagian lateral tulang initampak pipih. Bentuknya seperti
huruf S terbalik, dengan bagian medial yangmelengkung ke depan, dan bagian lateral
agak melengkung ke belakang.Permukaan atasnya relatif lebih halus dibanding
dengan permukaan inferior.Ujung medial atau ujung sternal mempunyai facies
articularis sternalis yang berhubungan dengan discus articulari sendi atau articulation
sternoclavicularis (Wibowo,2009).
Gb. 2.1. Anatomi Clavicula
2.3.Mekanisme Trauma
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan,
yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan.
Mekanisme terjadinya fraktur terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Trauma langsung: bila terkena trauma langsung dapat menyebabkan tekanan pada
tulang yang terjadi pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
b. Trauma tidak langsung: merupakan suatu kondisi trauma yang dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur (Noor, 2013).
Setelah fraktur terjadi, fragmen-fragmen biasanya bergeser. Sebagian oleh
kekuatan cedera itu, sebagian oleh gaya berat dan sebagian oleh tarikan otot yang melekat
padanya. Pergeseran biasanya disebut dengan istilah aposisi, penjajaran (alignment),
rotasi dan berubahnya panjang.
a. Aposisi. Fragmen dapat bergeser ke samping, ke belakang atau ke depan dalam
hubungannya dengan fragmen lain, sehingga permukaan fraktur kehilangan kontak.
Fraktur biasanya akan menyatu sekalipun aposisi tidak sempurna, atau sekalipun
ujungujung tulang terletak berdampingan dan permukaan fraktur tidak berkontak
sama sekali.
b. Alignment. Fragmen dapat miring atau menyudut dalam hubungannya satu sama lain.
Malposisi, kalau belum dikoreksi, dapat mengakibatkan deformitas tungkai.
c. Rotasi.Pemuntiran fragmen fraktur terhadap sumbu panjang tulang.
d. Perubahan Panjang. Fragmen dapat tertarik dan terpisah, atau dapat tumpang tindih,
akibat spasme otot, menyebabkan perpendekan tulang (Apley dan Solomon, 2013).

2.3.1. Mekanisme Trauma fraktur klavikula


Mekanisme trauma dari fraktur klavikula terjadi karena penderita
jatuh pada bahu, biasanya tangan dalam keadaan terulur. Bila gelang bahu
mendapat trauma kompresi dari sisi lateral, penopang utama untuk
mempertahankan posisi adalah klavikula dan artikulasinya. Bila
traumanya melebihi kapasitas struktur ini untuk menahan, terjadi
kegagalan melalui 3 cara, Artikulasi akromioklavikular akan rusak,
klavikula akan patah, atau sendi sternoklavikular akan mengalami
dislokasi. Trauma pada sendi sternoklavikular jarang terjadi dan biasanya
berhubungn dengan trauma langsung ke klavikula bagian medial dengan
arah lebih posterior (dislokasi posterior) atau trauma dari arah posterior
yang langsung mengenai gelang bahu (menyebabkan dislokasi proksimal
klavikula ke anterior). Pada fraktur midshaft, fragmen lateral tertarik ke
bawah karena berat lengan, fragmen medial tertarik oleh muskulus
sternocleidomastoideus. Pada fraktur 1/3 lateral, bila ligamen intak, ada
sedikit pergeseran; namun bila terjadi robekan ligamen korakoklavikula,
atau bila garis fraktur terletak medial dari ligamen ini, pergeseran yang
terjadi mungkin lebih berat dan tindakan reduksi tertutup tidak mungkin
dilakukan. Klavikula juga merupakan bagian yang sering mengalami
fraktur patologis.1
Gambar 2. 2. Mekanisme Trauma fraktur klavikula

2.4. Klasifikasi Fraktur

2.4.1. Klasifikasi klinis


a. Fraktur tertutup
Klasifikasi berdasar (Tscheme and Gotzen) yaitu:
Grade 0 : Kerusakan jaringan lunak minimal.
Grade 1 : Abrasi superficial atau kontusio.
Grade 2 : Dalam, abrasi dengan kontusio kulit ataupun otot. Tanda-tanda
impending kompartemen sindrom.
Grade 3 : Kontusio kulit yang luar, avulse subkutan, dan kerusakan otot.

b. Fraktur terbuka
Klasifikasi fraktur terbuka (Gustilo-Anderson) yaitu:
Grade 1 : Luka kecil kurang dan 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak
terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur
yang terjadi biasanya bersifat simpel, tranversal, oblik pendek atau
komunitif.
Grade 2 : Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan
yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dan
jaringan.
Grade 3 : Terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot,
kulit dan struktur neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Dibagi
dalam 3 sub tipe:
a) Grade IIIA: Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah.
b) Grade IIIB: Disertai kerusakan dan kehilangan jaringan lunak, soft
tissue cover (-).
c) Grade IIIC: Disertai cedera arteri yang memerlukan repair segera.

Gambar 2.3. Klasifikasi Gustilo and Anderson


2.4.2. Berdasarkan bentuk patahan tulang

a) Transversal
Fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang atau bentuknya
melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan pembidaian
gips.
b) Spiral
Fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi ekstremitas atau pada
alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak.
c) Oblik
Fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya membentuk sudut
terhadap tulang.
d) Segmental
Dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang retak dan ada yang
terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darah.
e) Kominuta
Fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan jaringan dengan
lebih dari dua fragmen tulang.
f) Greenstick
Fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap dimana korteks tulang sebagian
masih utuh demikian juga periosterum. Fraktur jenis ini sering terjadi pada anak – anak.

Gambar 2.4. Klasifikasi berdasar bentuk patahan tulang

2.4.3. Klasifikasi Fraktur Clavicula

Fraktur klavikula biasanya diklasifikasikan berdasarkan posisi dari fraktur oleh


Allman menjadi proximal (Group I), middle (Group II), dan distal (Group III) third
fractures. Pembagian secara general berhubungan dengan pendekatan klinis yang akan
dikerjakan. Karena tingginya tingkat delayed union and non-union pada fraktur 1/3 distal,
Neer membaginya menjadi tiga subklasifikasi berdasarkan kondisi ligamentum dan
derajat pergeseran. Neer tipe I (ligamentum korakoklavikular masih intak), Neer tipe II
(ligamentum korakoklavikular robek atau lepas dari fragmen medial tetapi ligamentum
trapezoid tetap intak dengan segmen distal), dan Neer tipe III (intraartikular). Neer tipe II
disubklasifikasikan menjadi dua oleh Rockwood menjadi tipe IIA: konoid dan trapezoid
melekat pada fragmen distal dan tipe IIB: konoid lepas dari fragmen medial. Klasifikasi
yang lebih detail untuk fraktur midshaft dibuat oleh Robinson, yang berguna untuk
pengolahan data dan membandingkan hasil klinis (Blom, 2018)

Gambar 2. 5. Klasifikasi Fraktur Clavicula


2.5.Proses Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang terkena dan
jumlah gerakan di tempat fraktur. Pada tulang tubuler, dan bila tidak ada fiksasi yang
rigid, penyembuhan dimulai dengan lima tahap, yaitu:
1. Kerusakan jaringan dan pembentukan hematoma. Pembuluh darah robek dan
terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur,
yang tidak mendapat persediaan darah, akan mati sepanjang satu atau dua milimeter.
Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan
vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler di
dalamnya. Waktu terjadinya hematom ini biasanya 1-3 hari.
2. Radang dan proliferasi seluler. Dalam waktu 8 jam setelah fraktur, terjadi reaksi
radang akut disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medula
yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel yang menghubungkan
tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru
yang halus berkembang ke dalam daerah tersebut. Proses ini terjadi selama 3 hari
sampai 2 minggu.
3. Pembentukan kalus. Sel yang berkembangbiak memiliki potensi krondrogenik dan
osteogenik. Bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang
dan dalam beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sel sekarang juga mencakup
osteoklas yang mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan
pulau-pulau tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada
permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang imatur (atau
anyaman tulang) menjadi lebih padat, gerakan pada tempat fraktur semakin
berkurang dan pada empat minggu setelah cedera fraktur menyatu. Tahap ini
memerlukan waktu selama 2-6 minggu.
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara perlahan–lahan diubah
menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur
lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara bertahap. Pembentukan kalus
dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah tulang melalaui proses penulangan
endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu.
Proses ini disebut sebagai osifikasi, terjadi dalam waktu 3 minggu sampai 6 bulan.
4. Konsolidasi. Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, anyaman tulang
berubah menjadi tulang lamelar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk
memungkinkan osteoklas menembus melalui garis fraktur, dan osteoblas mengisi
celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk
membawa beban yang normal. Tahap konsolidasi terjadi dalam waktu 6-8 bulan.
5. Remodeling. Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang
oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Terjadi dalam
waktu 6-12 bulan (Apley dan Solomon, 2013; Sjamsuhidajat, 2010).

Gb.5.Fase Penyembuhan fraktur

Terdapat beberapa faktor yang bisa menentukan lama penyembuhan. Setiap faktor
akan memberikan pengaruh penting terhadap proses penyembuhan. Faktor-faktor
tersebut antara lain:
1. Umur penderita. Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih cepat
daripada orang dewasa.
2. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur. Lokalisasi fraktur memegang peranan penting.
Fraktur metafisis penyembuhannya lebih cepat daripada diafisis. Disamping itu
fraktur transversal lebih lambat dibandingkan dengan fraktur oblik karena kontak
yang lebih banyak.
3. Pergeseran awal fraktur. Pada fraktur yang tidak bergeser di mana periosteum tidak
bergeser, maka penyembuhan dua kali lebih cepat dibandingkan pada fraktur yang
bergeser.
4. Vaskularisasi pada kedua fragmen. Apabila kedua fragmen mempunyai vaskularisasi
yang baik,maka penyembuhan biasanya tanpa komplikasi.
5. Reduksi serta imobilisasi. Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk
vaskularisasi yang lebih baik dalam bentuk asalnya.
6. Waktu imobilisasi. Jika imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan
sebelum terjadi tautan,maka kemungkinan terjadinya non union sangat besar.
7. Ruangan diantara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak. Jika
ditemukan interposisi jaringan baik berupa periosteum maupun otot atau jaringan
fibrosa lainnya, maka akan menghambat vaskularisasi kedua ujung fraktur.
8. Faktor adanya infeksi dan keganasan lokal. Infeksi dan keganasan akan
memperpanjang proses inflamasi lokal yang akan menghambat proses penyembuhan
dari fraktur (Noor, 2013).
2 .6. Penatalaksanaan Fracture Clavicula
Fraktur Klavikula 1/3 Tengah

Terdapat kesepakatan bahwa fraktur klavikula 1/3 tengah non displaced


seharusnya diterapi secara non operatif. Sebagian besar akan berlanjut dengan union
yang baik, dengan kemungkinan non union di bawah 5% dan kembali ke fungsi
normal.1,2.4 Manajemen non operatif meliputi pemakaian simple sling untuk
kenyamanan. Sling dilepas setelah nyeri hilang (setelah 1-3 minggu) dan pasien
disarankan untuk mulai menggerakkan lengannya. Tidak ada bukti yang menyatakan
bahwa penggunaan figure-of-eight bandage memberikan manfaat dan dapat berisiko
terjadinya peningkatan insidens terjadinya luka akibat penekanan pada bagian
fraktur dan mencederai struktur saraf; bahkan akan meningkatkan risiko terjadinya
nonunion. 1 Terdapat lebih sedikit kesepakatan mengenai manajemen fraktur 1/3
tengah. Penggunaan simple splintage pada fraktur dengan pemendekan lebih dari 2
cm dipercaya menyebabkkan risiko terjadinya malunion simptomatik – terutama
nyeri dan tidak adanya tenaga saat pergerakan bahu – dan peningkatan insidens
terjadinya non-union.1 Sehingga dikembangkan teknik fiksasi internal pada fraktur
klavikula akut yang mengalami pergeseran berat, fragmentasi, atau pemendekan.
Metode yang dikerjakan berupa pemasangan plat (terdapat plat dengan kontur yang
spesifik) dan fiksasi intramedular.

Fraktur Klavikula 1/3 Distal

Sebagian besar fraktur 1/3 distal klavikula mengalami pergeseran minimal dan
ekstra-artikular. Ligamentum korakoklavikula yang intak mencegah pergeseran jauh dan
manajemen non operatif biasanya dipilih. Penatalaksanaannya meliputi pemakaian sling
selama 2-3 minggu sampai nyeri menghilang, dilanjutkan dengan mobilisasi dalam batas
nyeri yang dapat diterima. Fraktur klavikula 1/3 distal displaced berhubungan dengan
robeknya ligamentum korakoklavikula dan merupakan injuri yang tidak stabil. Banyak
studi menyebutkan fraktur ini mempunyai tingkat non-union yang tinggi bila
ditatalaksana secara non operatif. Pembedahan untuk stabilisasi fraktur sering
direkomendasikan.1 Teknik operasi menggunakan plate dan screw korakoklavikular,
fiksasi plat hook, penjahitan dan sling techniques dengan graft ligamen Dacron dan yang
terbaru adalah locking plates klavikula.

Fraktur Klavikula 1/3 Proksimal


Sebagian besar fraktur yang jarang terjadi ini adalah ekstra-artikular. Penatalaksanaan
yang dilakukan sebagian besar adalah non operatif kecuali jika pergeseran fraktur mengancam
struktur mediastinal. Fiksasi pada fraktur berhubungan dengan komplikasi yang mungkin terjadi
seperti migrasi dari implan ke mediastinum, terutama pada penggunaan K-wire. Metode
stabilisasi lain yang digunakan yaitu penjahitan dan teknik graft, dan yang terbaru locking plates.
DAFTAR PUSTAKA

Apley G. dan Solomon L. 2013. Buku Ajar Orthopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta: Widya
Medika. Hal. 63-240.
Blom A, Warwick D, Whitehouse MR, editors. Apley & Solomon’s System of Orthopaedics and
Trauma (10 th edition). New York: CRC Press, 2018
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Insiden Fraktur di Indonesia. Jakarta: Depkes
RI.
Noor Helmi Z. 2013. Buku Ajar Gangguan Muskuloskletal. Jakarta: Salemba medika. Hal. 24.
Kingsley Chin. dkk. 2008. Orthopaedic Key Review Concept. Edisi 1. Lippincolt William &
Wilkins.
Sjmsuhidajat R, Jong WD. Sistem muskuloskeletal. In: Buku ajar ilmu bedah.2nd ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004, p. 841.

You might also like