You are on page 1of 17

A.

ANATOMI SALURAN NAPAS ATAS

Saluran napas bagian atas pada manusia terdiri dari hidung, nasofaring, orofaring,
hipofaring, dan laring. Pada individu normal, hidung merupakan komponen jalan napas
dengan resistensi terbesar. Dinding lateral hidung dibentuk oleh konka nasalis inferior,
konka nasalis media, dan konka nasalis superior, sedangkan dinding medialnya adalah
septum nasi. Hidung bukan merupakan lokasi kolaps yang umum pada OSAS meskipun
resistensinya besar. Hal ini karena patensitas hidung dipertahankan oleh struktur kolagen
di sekitar hidung dan hanya secara minimal dipengaruhi aktivitas otot sehingga resistensi
pada nasal tidak secara signifikan dipengaruhi oleh tidur. Namun, adanya peningkatan
resistensi pada hidung dapat memicu peningkatan tekanan negatif intrafaring yang dapat
menyebabkan faring kolaps. Nasofaring terletak di belakang konka nasal, umumnya tidak
berkontribusi terhadap kolapsnya faring.
Orofaring merupakan daerah di belakang cavum oris. Dinding anterior orofaring
dibentuk oleh palatum mole dan lidah, sedangkan dinding posteriornya terdiri dari otot
konstriktor faring superior, media, dan inferior. Dinding lateral faring tersusun terutama
dari jaringan otot (palatoglossus, palatopharyngeus, styloglosus, stylohyoid,
stylopharyngeus, dan hyoglossus). Otot-otot di sekeliling faring dapat secara signifikan
mempengaruhi bentuk dan ukurannya sehingga pada OSAS, lokasi inilah yang paling
sering kolaps. Hipofaring terletak diantara basis epiglotis hingga percabangan antara
laring dan esofagus. Sama seperti nasofaring, hipofaring bukan merupakan lokasi yang
sering terjadi kolaps pada OSAS.1

B. DEFINISI OSAS (OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME)


Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom yang ditandai oleh adanya episode apnea
atau hipopnea saat tidur. Apnea dapat disebabkan oleh kelainan sentral, obstruktif, atau
campuran. Apnea obstruktif adalah berhentinya aliran udara melalui hidung dan mulut
meskipun disertai usaha bernapas, sedangkan apnea sentral adalah berhentinya
pernapasan yang tidak disertai dengan usaha bernapas akibat tidak adanya rangsang
napas. Istilah hipoventilasi obstruktif digunakan untuk menunjukkan adanya hipopnea,
yang berarti terdapat pengurangan aliran udara. Hipoventilasi obstruktif disebabkan oleh
obstruksi parsial aliran udara yang menyebabkan hipoventilasi dan hipoksia.
Obstructive sleep apnea syndrome adalah sindrom obstruksi komplit atau parsial
jalan napas yang menyebabkan gangguan fisiologis bermakna dengan dampak klinis
yang bervariasi. Istilah primary snoring (mendengkur primer) digunakan untuk
menggambarkan anak dengan kebiasaan mendengkur yang tidak berkaitan dengan apnea
obstruktif, hipoksia, atau hipoventilasi. OSAS perlu dibedakan dari primary snoring,
yaitu mengorok tanpa adanya apnea obstruktif dan gangguan tidur.
Guilleminault dkk mendefinisikan sleep apnea sebagai berikut: adanya episode
apnea sebanyak 30 kali atau lebih dalam 8 jam, lamanya apnea minimal 10 detik, dan
terjadi pada fase tidur rapid eye movement (REM) maupun nonrapid eye movement
(NREM). Istilah apnea index (AI) dan hypopnea index (HI) menggambarkan frekuensi
apnea atau hipopnea per jam. Apnea index dan HI dapat digunakan sebagai indikator
berat-ringannya OSAS. Anak yang memiliki obstructive sleep apnea dapat sewaktu-
waktu terjadi kendala dimana udara tidak dapat masuk dengan normal ke dalam paru-
paru saat anak tidur.1,2

C. EPIDEMIOLOGI
Obstructive sleep apnea syndrome lebih sering terjadi pada dewasa daripada anak.
Kebiasaan mendengkur didapat pada masa anak-anak, dan terjadi pada 7-9% anak pra
sekolah dan anak usia sekolah. Schechter dkk mendapakan bahwa prevalens mendengkur
adalah 3,2-12,1%, bergantung pada kriteria inklusi yang dipakai. Gangguan pernapasan
selama tidur didapakan pada kira-kira 0,7-10,3% anak berusia 4-5 tahun. Obstructive
sleep apnea syndrome terjadi pada anak semua usia, termasuk neonatus.
• Insiden apnea tertinggi terjadi pada usia 3-6 tahun, karena pada usia ini sering terjadi
hipertrofi tonsil dan adenoid. Pada anak, kejadian OSAS tidak berhubungan dengan jenis
kelamin, sedangkan pada dewasa, laki-laki lebih sering mengalami OSAS daripada
perempuan. Negara-negara maju memiliki insiden sebesar 2- 4% pada pria dan 1-2%
pada wanita. OSAS terdapat pada lebih dari 40% individu dengan IMT ≥ 30 kg/m2 atau
individu dengan sindrom metabolik dan prevalensi yang tinggi pada pasien dengan
penyakit kardiovaskuler. Diketahui pula adanya kecenderungan familial untuk terjadinya
OSAS. Prevalensi OSAS pada kelompok etnik yang berbeda tidak diketahui.3

D. FAKTOR PREDISPOSISI

Beberapa faktor predisposisi OSA antara lain obesitas, ukuran lingkar leher, umur, jenis
kelamin, hormon, dan kelainan anatomi saluran napas. Obesitas dilaporkan sebagai faktor
utama yang dapat meningkatkan risiko terjadinya OSA. Dari kepustakaan dinyatakan
bahwa penderita OSA setidaknya memiliki indeks massa tubuh (IMT) satu tingkat di atas
normal (IMT normal 20-25 kg/m2). Penelitian lain melaporkan bahwa ukuran lingkar
leher (>42,5 cm) berhubungan dengan peningkatan AHI.4

Tabel 1. Faktor risiko OSA


Faktor-faktor risiko yang berperan pada OSA
Umum  Obesitas (IMT >30 kg/m2)

 Gender (pria> wanita)


 Riwayat OSA pada keluarga
 Pasca-menopause

Genetik atau sindrom Down


kongenital sindrom Pierre-Robin
sindrom Marfan
Abnormalitas Rinitis
hidung/faring Polip nasi
Hipertrofi tonsil dan
adenoid
Deviasi septum nasi
Penyakit lain Akromegali
Hipotiroidisme
Kelainan Lingkar leher >40cm
Abnormalitas sendi
struktur temporo-
saluran napas mandibula
atas Mikrognatia
Retrognatia
Makroglosia
Abnormalitas palatum
Kraniosinostosis

Obesitas dapat mengubah volume dan bentuk anatomi, lidah dapat terangkat
sehingga mengurangi volume saluran napas atas. Demikian juga kelainan anatomi seperti
hipertrofi tonsil, deviasi septum, hipertrofi konka dan anomali maksilofasial seperti
mikrognatia, retrognatia, hipertrofi adenoid-tonsil, makroglosia dan akromegali.
E. PATOGENESIS

Patogenesis OSAS pada anak belum banyak diketahui. Obstructive sleep apnea
syndrome timbul jika terdapat gangguan pada faktor yang mempertahankan patensi
saluran respiratori dan komponen jalan napas-atas (misalnya ukuran anatomis) yang
menyebabkan kolapsnya jalan napas. Faktor-faktor yang memelihara patensi saluran
respiratorik adalah: a) respon pusat ventilasi terhadap hipoksia, hiperkapnia, dan
sumbatan jalan napas, b) efek pusat rangsang dalam meningkatkan tonus
neuromuskular jalan napas-atas, dan c) efek dari keadaan tidur dan terbangun.1
Terdapat dua teori patofisiologi obstruksi (kolaps) jalan napas, yaitu :
1. Teori balance of forces
Ukuran lumen faring bergantung pada keseimbangan antara tekanan negatif
intrafaring yang timbul selama inspirasi dan aksi dilatasi otot-otot jalan napas atas.
Tekanan transmural pada saluran respiratorik atas yang mengalami kolaps disebut
closing pressure. Dalam keadaan bangun, aktivasi otot jalan napas atas akan
mempertahankan tekanan transmural agar lebih besar dari closing pressure, sehingga
jalan napas atas tetap paten. Pada saat tidur, tonus neuromuskular berkurang dan
mengakibatkan lumen faring mengecil, sehingga aliran udara menjadi terbatas atau
terjadi obstruksi.
2. Teori starling resistor
Jalan napas atas berperan sebagai starling resistor, yaitu perubahan tekanan yang
memungkinkan faring mengalami kolaps, dan menemukan aliran udara yang melalui
saluran respiratorik atas. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan intraluminal dan
fungsi otot saluran respiratorik atas, yang mempermudah terjadinya kolaps jalan napas
ketika tidur, telah diketahui. Obstructive sleep apnea syndrome terjadi ketika terdapat
faktor yang menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas, disertai dengan
gangguan pengaturan (kontrol) susunan saraf pusat terhadap fungsi otot-otot saluran
respiratorik atas. Diperlukan kombinasi dari faktor-faktor tersebut dalam mekanisme
terjadinya OSAS. Hal ini menjelaskan mengapa pada beberapa anak dengan kelainan
struktur mengalami OSAS, sedangkan anak lain dengan derajat penyempitan saluran
respiratorik yang sama menunjukan pernapasan yang normal selama tidur.1,2,3,4
F. PATOFISIOLOGI
Ada tiga faktor yang berperan pada patogenesis OSA: pertama, obstruksi saluran
napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang yang dapat
menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring, yang menyebabkan terhentinya aliran
udara, meskipun pernapasan masih berlangsung pada saat tidur. Hal ini menyebabkan
apnea, asfiksia sampai periode arousal. Faktor kedua adalah ukuran lumen faring
yang dibentuk oleh otot dilator faring (m. pterigoid medial, m. tensor veli palatini, m.
genioglosus, m. geniohiod, dan m. sternohioid) yang berfungsi menjaga
keseimbangan tekanan faring pada saat terjadinya tekanan negatif intratorakal akibat
kontraksi diafragma. Kelainan fungsi kontrol neuromuskular pada otot dilator faring
berperan terhadap kolapsnya saluran napas. Defek kontrol ventilasi di otak
menyebabkan kegagalan atau terlambatnya refleks otot dilator faring, saat pasien
mengalami periode apnea-hipopnea.
Faktor ketiga adalah kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai hipofaring
yang dapat menyebabkan penyempitan pada saluran napas atas. Kelainan daerah ini
dapat menghasilkan tahanan yang tinggi. Tahanan ini juga merupakan predisposisi
kolapsnya saluran napas atas. Kolaps nasofaring ditemukan pada 81% dari 64 pasien
OSA dan 75% di antaranya memiliki lebih dari satu penyempitan saluran napas atas.

Gambar 1. Obstruksi jalan napas pada pasien OSA

Periode apnea adalah terjadinya henti napas selama 10 detik atau lebih. Periode
hipopnea adalah terjadinya keadaan reduksi aliran udara sebanyak lebih-kurang 30%
selama 10 detik yang berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen darah sebesar
4%. Apnea terjadi karena kolapsnya saluran napas atas secara total, sedangkan
hipopnea kolapsnya sebagian, namun jika terjadi secara terus-menerus dapat
menyebabkan apnea.3,4
G. MANIFESTASI KLINIS

Anamnesis yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa OSAS:


 Tidur mendengkur (hampir) setiap tidur (habitual snoring). Anak dengan
OSAS mendengkur keras (sering dapat didengar dari luar kamar tidur).
 Retraksi dan adanya episode peningkatan usaha pernapasan yang berkaitan
dengan kurangnya aliran udara. Episode ini diikuti dengan hembusan napas,
chocking noises movement (“gelagapan”), atau seperti akan terbangun
(arousal).
 Kegelisahan saat tidur.
 Sianosis atau pucat.
 Tidur dalam posisi tidak wajar, dalam usaha untuk mempertahankan patensi
jalan napas misalnya tengkurap, duduk, atau dengan hiperekstensi leher.
 Mungkin didapatkan gejala pada siang hari yang berkaitan dengan hipertrofi
adenoid dan tonsil seperti pernapasan mulut.
 Rasa mengantuk berlebihan di siang hari (excessive daytime sleepiness).
 Sering terjadi indeksi saluran napas atas dan otitis media.
 Anak dengan tonsil yang sangat besar dapat mengalami disfagia atau kesulitan
artikulasi.
 Seringkali ada riwayat keluarga dengan OSAS atau mendengkur.

Pemeriksaan fisik pada kasus OSAS meliputi :


 Pemeriksaan fisik dalam keadaan bangun secara keseluruhan biasanya normal.
Hal ini menyebabkan keterlambatan diagnosis.
 Penilaian pertumbuhan anak: berat badan, tinggi badan, dan IMT (Indeks
Massa Tubuh). Nilai adanya obesitas atau gagal tumbuh.
 Stigmata alergi: allergic shiners atau lipatan horizontal hidung.
 Pernapasan mulut, adenoidal facies, midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi
atau kelainan kraniofasial lainnya.
 Patensi pasase hidung harus dinilai. Perhatikan adanya septum deviasi atau
polip hidung.
 Pemeriksaan mulut dan tenggorok. Perhatikan ukuran lidah, integritas
palatum, daerah orofaring, redundant mukosa palatum, ukuran tonsil, dan
ukuran uvula.
 Mungkin ditemukan pectum excavatum.
 Paru-paru biasanya normal pada pemeriksaan auskultasi.
 Pemeriksaan jantung dapat memperlihatkan tanda-tanda hipertensi pulmonal
misalnya peningkatan komponen pulmonal bunyi jantung II dan pulsasi
ventrikel kanan. Kadang-kadang didapatkan gagal jantung kongesif.
 Pemeriksaan neurologis harus dilakukan untuk mengevaluasi tonus otot dan
status perkembangan. Distrofi otot berhubungan dengan hipoventilasi
obstruktif kronik akibat kelebihan otot orofaring.
 Pada observasi tidur dapat terdengar suara dengkuran, kesulitan bernapas,
takipnea, napas cuping hidung, retraksi (terutama supra sternal), dan
pergerakan dada paradoksal selama inspirasi. Selama periode obstruksi
komplit akan terlihat upaya bernapas tetapi tidak terdengar dengkuran, tidak
terdeteksi adanya aliran udara, dan suara napas tidak dapat di auskultasi.
Episode apnea mungkin diakhiri dengan gerakan badan atau terbangun.4,5,6

H. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Diagnosis OSA ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola tidur,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus.
Gabungan data yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat
mengarahkan kepada indikasi untuk melakukan pemeriksaan baku emas OSA.
Kuisioner EES dan SSS dapat digunakan untuk menanyakan keluhan yang
berhubungan dengan gejala OSA. ESS digunakan untuk menilai bagaimana kebiasan
tidur dan rasa mengantuk pasien dalam kegiatan sehari-hari, sedangkan SSS untuk
mengetahui seberapa mengantuknya pasien pada kegiatan tersebut. Multiple sleep
latency testing (MSLT) adalah pemeriksaan yang bersifat objektif untuk mengevaluasi
derajat beratnya rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari. Pemeriksa juga harus
menanyakan kepada pasien tentang pengalaman terbangun dari tidur karena tersedak,
mendengkur (dapat ditanyakan pada teman tidur) dan bangun dari tidur dengan badan
terasa tidak segar.
Hal-hal yang harus dinilai pada pemeriksaan fisik adalah IMT, ukuran lingkar
leher, keadaan rongga hidung (deviasi septum, hipertrofi konka, polip, adenoid),
perasat Mueller (untuk menilai penyempitan velo-orofaring), penilaian Friedman
tounge position (modifikasi Mallampati), bentuk palatum mole, bentuk uvula, palatal
flutter, palatal floppy, ukuran tonsil dan penyempitan peritonsil lateral. Populasi
dewasa dengan IMT >30 kg/m2 memiliki prevalensi OSA >50%. Perlu diketahui
bahwa penilaian IMT dan lingkar leher tidak memiliki predictive abilities pada
wanita. Mendengkur memiliki positive predictive value (PPV) 63% dan negative
predictive value (NPV) 56% pada OSA.1,4,6

Untuk memudahkan penilaian saluran napas atas, Friedman membuat standar


pemeriksaan daerah naso-velo-orofaring. Ada empat derajat Friedman tounge
position. Pasien membuka mulut tanpa mengeluarkan lidah, dilakukan observasi:
derajat I, seluruh uvula tervisualisasi; derajat II, uvula tervisualisasi tetapi tonsil tidak
terlihat; derajat III, palatum mole tervisualisasi, tetapi uvula tidak terlihat; derajat IV,
hanya palatum durum yang tervisualisasi. Pemeriksaan ini dapat memprediksi ada
tidaknya OSA. Pemeriksaan perasat Mueller yang dilakukan saat terjaga, dapat
mencerminkan keadaan mendengkur pasien OSA saat tidur dan dapat digunakan
untuk memprediksi keberhasilan dari operasi uvulopalatopharyngealplasty (UPPP).
Caranya adalah dalam posisi duduk, dilakukan nasoendoskopi dan pasien
diinstruksikan untuk melakukan inspirasi kuat sambil menutup hidung dan mulut.
Pada pemeriksaan ini dilakukan penilaian luas saluran napas atas pada ruang
retropalatal dan retroglosal. Penyempitan pada ruang ini dapat terjadi anteroposterior,
laterolateral atau konsentrik.
Pemeriksaan sleep endoscopy digunakan untuk memvisualisasikan obstruksi
jalan napas saat pasien tidur. Ada lima daerah yang perlu diperhatikan, yaitu: palatum
mole, dinding faring lateral, tonsil palatina, tonsil lingua/dasar lidah dan epiglotis.
Derajat obstruksi dibagi menjadi empat kategori. Simple palatal snoring, suara
mendengkur berasal dari getaran palatum mole, dinding sfingter velofaring dan
orofaring bagian atas. Lateral wall collapse, penyebab obstruksi berasal dari area
orofaring dan tonsil palatina. Tounge base/epiglotis, fungsi sfingter velofaring baik,
obstruksi terdapat pada dasar lidah atau karena hipertrofi tonsil lingua. Epiglotis
mungkin memiliki kontribusi terhadap dengkuran. Multi segmental collapse, tampak
obstruksi pada beberapa tingkatan anatomi.
Pemeriksaan sefalometri dan foto polos saluran napas atas dapat digunakan
untuk mengevaluasi kelainan anatomi kraniofasial. Komputer tomografi dan magnetic
resonance imaging (MRI) juga dapat memfasilitasi untuk memahami hubungan antara
kelainan anatomi kraniofasial dengan gangguan pernapasan.4,5,6

Polisomnografi
Polisomnografi merupakan alat uji diagnostic mengevaluasi gangguan tidur,
dilakukan pada saat malam hari di laboratorium tidur. Laboratorium tidur biasanya
terdapat di klinik atau rumah sakit tetapi ruangan ini di desain sedemikian rupa
sehingga tidak memberikan kesan sarana kesehatan. Pemeriksaan terdiri dari
elektroensefalogram (EEG), electromyogram (EMG), elektrookulogram (EOG),
parameter respirasi, electrocardiogram (ECG), saturasi oksigen dan mikrofon untuk
merekam dengkuran. Penderita dimonitor selama 6 jam 10 menit. Beberapa variabel
yang direkam selama penelitian tidur adalah stadium tidur, upaya pernapasan, aliran
udara, saturasi oksihemoglobin arteri, posisi tubuh, gerakan anggota badan, irama dan
denyut jantung. Alat ini dapat menyediakan informasi komprehensif mengenai
efisiensi tidur, arsitektur tidur, arousal dan penyebabnya, kejadian gangguan nafas,
perubahan saturasi oksigen, serta aritmia jantung selama periode tidur. Tujuan
penelitian tidur ini untuk konfirmasi diagnosis SA, beratnya apnea, pemilihan terapi,
dan evaluasi respon terapi. Tingkat tidur sendiri dinilai dengan EEG, EOG, dan EMG.
Gambaran polisomnogram yang berbeda antara obstructive apnea dengan central
apnea dan hasil polisomnografi dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.7
Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk menegakkan
diagnosis OSAS. Untuk mendapatkan diagnosis definitif, pemeriksaan dilakukan
ketika anak sedang tidur. Tanda dan gejala obstructive sleep apnea pada anak lebih
ringan daripada dewasa, sehingga diagnosisnya lebih sulit dan harus dipertegas
dengan polisomnografi. Polisomnografi juga akan menyingkirkan penyebab gangguan
respiratorik selama tidur yang lain. Pemeriksaan ini merupakan pengukuran obyektif
beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevalusi keadaan
setelah operasi.1,3,4
Kategori beratnya apnea tidur berdasarkan Apnea/Hypopnea Index (AHI)
terdiri dari apnea tidur ringan dengan AHI 5-15, saturasi oksigen 86%, dan keluhan
ringan. Apnea tidur sedang dengan AHI 15-30, saturasi oksigen 80-85%, dan keluhan
mengantuk serta sulit konsentrasi. Apnea tidur berat dengan AHI 30, saturasi oksigen
kurang dari 80%, dan gangguan tidur. AHI sendiri didapat dengan menghitung jumlah
apnea/hypopnea yang lamanya lebih dari 10 detik setiap satu jam selama penderita
tidur.

Gambar 3. Polisomnografi apnea obstruktif dengan apnea sentral

Gambar 4. Hasil rekaman polisomnografi


Uji Tapis (Screening Test)
Mengingat bahwa pemeriksaan polisomnografi memerlukan waktu, biaya
yang mahal, dan belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu
metode lain sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan
menggunakan kuesioner. Brouillette dkk menunjukkan bahwa tidur yang abnormal
dapat diprediksi dengan suatu skoring (penelitian) menggunakan kuesioner, yaitu skor
OSAS.1
Skor OSAS = 1,420 D + 1,41 A + 0,71 S – 3,85
D : kesulitan bernapas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)
S: mend engkur/snoring (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3:
selalu)
Dengan rumus di atas, kemungkinan OSAS ditentukan berdasarkan nilai sebagai
berikut.
Skor <-1 : bukan OSAS
Skor -1 sampai 3,5 : mungkin OSAS, mungkin bukan OSAS
Skor > 3,5 : sangat mungkin OSAS
Kemungkinan adanya OSAS dapat diprediksi dengan menggunakan skor
tersebut, tetapi meskipun skor >3,5, penegakan diagnosis pasti tetap memerlukan
pemeriksaan polisomnografi. Beberapa peneliti dapat menerima penggunaan skor
tersebut, tetapi banyak pula yang tidak menyetujuinya. Skoring tersebut mempunyai
nilai sensitivitas 73% dan spesifitas 83% bila dibandingkan dengan polisomnografi.

Observasi selama tidur


Obstructive sleep apnea syndrome dapat didiagnosis melalui observasi
langsung terhadap anak yang tidur di tempat praktek dokter. Selain itu, OSAS dapat
didiagnosis dengan merekam anak yang sedang tidur di rumah dengan video.
Beberapa variable yang dinilai adalah kekuatan dan tipe inspirasi, refluks
gastroesofagus selama tidur, frekuensi terbangun, jumlah episode apnea, retraksi, dan
bernapas melalui mulut. Cara tersebut mempunyai nilai sensitivitas 94%, spesifitas
68%, nilai prediksi positif 83% dan nilai prediksi negatif 88%.5,6,7
Observasi selama tidur dapat dilakukan dengan menggunakan pulse oxymetry.
Ketika tidur, penurunan nilai saturasi oksigen dipantau menggunakan pulse oxymetry.
Pencatatan pulse oxymetry secara kontinu selama tidur dianjurkan sebagai uji tapis
dan dapat memperlihatkan desaturasi siklik yang karakteristik, yang menandai adanya
suatu OSAS. Akan tetapi, cara ini tidak dapat mendeteksi pasien OSAS yang tidak
mengalami hipoksia. Dengan menggunakan metode ini, nilai prediksi positif adalah
97% dan nilai prediksi negatif adalah 53%. Berarti, jika terjadi penurunan saturasi
selama tidur, kemungkinan pasien mengalami OSAS cukup besar, tetapi jika
penurunan saturasi tidak terdeteksi pada pemantauan dengan pulse oxymetry,
pemeriksaan polisomnografi masih diperlukan.6

I. TATALAKSANA
1. CPAP
Terapi yang efektif pada OSAS adalah continous positive airway pressure (CPAP).
CPAP mengalirkan aliran udara positif sehingga memberikan pneumatic splint pada
aliran udara atas selama inspirasi dan ekspirasi, menjaga patensi dan mencegah
obstruksi selama tidur. Akibatnya, rasa kantuk di siang hari berkurang dan fungsi
kognitif meningkat. Dampak positifnya juga tampak pada sistem kardiovaskular yaitu
menurunkan tekanan darah hingga 10 mmHg dan meningkatkan fungsi ventrikel kiri
sebesar 30%. Bagi pasien diabetes melitus tipe II, CPAP meningkatkan sensitivitas
insulin.
Efek samping CPAP adalah rasa kurang nyaman selama pemakaian masker,
mulut kering, dan hidung berair. Rasa risih selama pemakaian masker dapat diatasi
dengan pemakaian masker yang sesuai dengan kontur wajah. Sementara itu, hidung
berair dapat diobati dengan pemberian kortikosteroid nasal atau antihistamin sistemik.
Sebagian pasien merasa tidak nyaman dengan pemakaian CPAP, namun kepatuhan
pemakaian dapat ditingkatkan dengan pemberian edukasi.

2. Bi-level PAP
Bi-level PAP merupakan suatu alat Bantu resprasi noninvasif yang mengalirkan
tekanan inspirasi (IPAP) dan ekspirasi (EPAP) yang berbeda kepada pasien yang
bernapas spontan untuk menjaga jalan napas atas tetap terbuka. Dengan mengalirkan
tekanan rendah selama fase ekspirasi, tekanan total yang ada di jalan napas kemudian
dapat diturunkan sehingga mendekati pernapasan normal.
Bi-level memiliki aliran tambahan untuk mendapatkan ventilasi yang
diingingkan pada pasien dengan berbagai masalah respirasi dan telah digunakan pada
terapi OSAS. Keuntungan metode ini adalah menurunkan kerja pernapasan (work of
breathing), menurunkan rerata tekanan. Karenanya bilevel dapat digunakan pada
pasien OSAS yang tidak toleran terhadap CPAP atau AutoPAP.
Metode ini baik untuk pasien PPOK eksaserbasi berulang atau PPOK berat
atau sindroma hipoventilasi, terutama yang menglamai hiperkapnia. Biarpun demikian
pengunaan bi-level sebagai terapi awal OSAS tidak dianjurkan, karena metoda ini
tidak lebih baik dibandingkan CPAP. Kalaupun digunakan, tekanan IPAP dan EPAP
harus diatur secara manual selama pemeriksaaan polisomnogram dan kebanyakan
pasien dapat CPAP ini jika titrasi bertulang ternyata memperbaiki sleep-disordered
breathing dengan mengatur tekanan.
3. Oral Appliance
Oral appliance seperti mandibular advancement splint (MAS) banyak dilakukan
untuk mengurangi dengkuran. MAS pun dapat menurunkan tekanan darah pada
OSAS. Oral appliance diterapkan sebagai terapi lini kedua bila CPAP tidak berhasil
atau pasien menolak dipasang CPAP. Penggunaan alat ini memberikan keberhasilan
menurunkan nilai AHI (45%) tetapi kurang efektif dibandingkan CPAP hidung
(menurunkan nilai AHI 70%).
Pasien lebih menyukai terapi dengan mandibular advancement splint
daripada CPAP hidung. Keberhasilan metoda ini sekitar 50% sampai 80%. Perbaikan
metode pengobatan ini selama beberapa tahun terakhir berkaitan dengan desain,
bahan dan dapat diatur, selain tu metoda ini memberikan keuntungan karena tidak
invasif, mudah dibuat dan dapat diterima pasien.
4. Tindakan Bedah
Berbagai macam tindakan bedah dapat dilakukan untuk mengurangi gejala obstruksi
jalan napas atas yang menyebabkan OSAS ringan. Pertimbangkan untuk memperbaiki
sumbatan sebelum menggunakan oral appliance atau positive airway pressure (PAP)
device.
 Septoplasty  pembedahan intranasal yang bertujuan memperbaiki septum
hidung deviasi yang menyebabkan obstruksi hidung. Tindakan ini memberikan
keberhasilan yang tinggi.
 Nasal polypectomy  pembedahan intranasal untuk mengangkat polip hidung.
 Tonsillectomy  pembedahan berupa reseksi transoral tonsil faringeal.
Tindakan ini memperbaiki obstruksi hipertrofi tonsil orofarings.
 Turbinoplasty  pembedahan intranasal yang bertujuan mengurangi besarnya
sumbatan hidung. Tindakan ini berupa reseksi sebagian area inferior atau
menghilangkan area inferior dengan beberapa metode seperti elektrokauter,
ablasi laser dan reduksi radiofrekuensi. Hasil dari seluruh metode tersebut
hampir sama.
 Tracheostomy  membuat jalan napas melalui bagian anterior leher ke dalam
bagian atas trakea. Jalan napas mem-bypass sebagian besar jalan napas atas
sehingga hampir 100% sleep apnea dapat diatasi. Bagaimanapun juga metoda
ini memberikan stigma social karena ada pipa trakeostomi dan perawatan
daerah trakeostomi. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir bagi pasien sleep
apnea.
 Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP)  reseksi bagian obstruksi di otot palatum
molle dan seluruh uvula. Tindakan ini dapat dalam jangka panjang menurunkan
sekitar 52,3% RDI atau AHI pada lebih dari 50% pasien dengan sleep apnea
ringan atau sedang. Tindakan ini memberi keberhasilan labih dari 4 tahun
mulai dari 31% hingga 74%. UPPP merupakan tindakan bedah lini pertama
untuk mengatasi sleep apnea yang disebabkan oleh obstruksi di uvula, palatum
dan farings. Untuk mengetahui letak obstruksi dilakukan sefalometri dan
manuver Mueller.
 Pillar procedures  tindakan bedah dengan memasukan cincin plastik ke
dalam daerah palatum di mulut untuk mencegah palatum molle kolaps.
Tindakan ini dapat menolong pada sejumlah pasien dengan OSAS ringan.32
 Ablasi radiofrekuensi palatum molle dan dasar lidah  pemberian
radiofrekuensi gelombang mikro dengan needle-implanted probe untuk
memperbaiki jaringan palatum molle dan/atau dasar lidah. Modalitas ini
banyak digunakan untuk mengatasi dengkur dengan memperbaiki palatum
molle. Sementara efektifitas tindakan pada dasar lidah untuk mengatasi OSAS
sampai saat ini belum dilaporkan. Komplikasi tindakan ini dapat berupa
kerusakan dan perforasi jaringan.
 Hyoid suspension  tindakan bedah yang berkaitan dengan tulang hyoid telah
dihentikan. Tindakan ini menekan tulang hyoid ke anterior dan superior.
Tujuan tindakan ini adalah menarik dasar lidah ke depan sehingga jalan napas
hipofaringeal menjadi lebih besar. Komplikasi pascabedah yang mungkin
terjadi adalah disfagia.
 Mandibular advancement, genioglossus advancement dan / atau maxillary
advancement  Pembedahan ortognatik adalah tindakan untuk reposisi
permanen mandibula untuk pertumbuhan yang tidak normal dan disfungsi
mastikatori. Komplikasi tindakan ini kecil dan memberikan hasil yang baik.
Maxillo-mandibular advancement (MMA) banyak memberikan keberhasilan
pada pasien dengan obstruksi dasar lidah, OSAS berat, obesitas dan kegagalan
tindakan lain. Perubahan tulang maksila dan mandibula memberikan efek yang
luas terhadap jalan napas atas tanpa meninggalkan jaringan parut dan
menununjukkan hasil yang baik. Hasil yang didapat pada pembehanan sama
dengan CPAP hidung.

Penatalaksanaan yang Berkaitan dengan Gaya Hidup


1. Perubahan gaya hidup
Perubahan gaya hidup sangat berperan dalam mengurangi beratnya gejala, seperti :
 Penurunan berat badan
 Mengurangi konsumsi alkohol, khususnya sebelum tidur
 Tidur dengan posisi miring (dibandingkan supine)
 Good sleep hygien
 Pemakaian PAP yang sesuai dengan waktu tidur dan kamar tidur
2. Konsumsi alhohol
Kadar alkohol saat tidur (0,5-0,75 mL/kg) dapat meningkatkan resistensi
inspirasi selama stage 2 non-rapid eye movement (nREM) tidur pada laki-laki muda
normal. Efek terhadap pusat respirasi bervariasi tergantung dari metoda pengukuran
yang digunakan. Tekanan oklusi inspirasi yang diukur dengan menilai otot-otot
inspirasi, cenderung meningkat selama tidur setelah mengkonsumsi alkohol. Namun
demikian, respons ventilasi terhadap hiperkapnia menurun pada banyak subjek dan
respons terhadap hipoksia isokapnik bervariasi, meningkat pada sebagian subjek.
Mendengkur kemungkinan terjadi karena resistensi inspirasi yang tinggi selama tidur.
3. Obesitas
Penelitian epidemiologik menunjukkan ada hubungan kuat antara obesitas dan
OSAS. Namun demikian, secara kausal hubungan antara berat badan berlebih dan
sleepdisordered breathing masih sulit ditemukan. Insidens OSAS diantara pasien
obese adalah 12 sampai 30 kali lebih tinggi dibandingkan populasi lain dan pasien ini
dapat bariatric surgery, meskipun rekurensi jangka panjang kemungkinan dapat
terjadi. Pendekatan baik bedah maupun bukan bedah untuk menurunkan berat badan
telah dilakukan, meskipun kebanyakan penelitian mempunyai banyak keterbatasan.
Lingkar leher, merupakan prodiktor kuat untuk sleep-disordered breathing
diantara beberapa penelitian antropomorfik, sehingga obesitas tubuh bagian atas,
dibandingkan dengan distribusi lemak tubuh secara keseluruhan, lebih berpengaruh
terhadap terjadiny OSAS. Penurunan berat badan harus dianjuran pada pasien OSAS,
termasuk juga mereka yang dengan peningkatan berat badan sedang. Kombinasi diet
sangat rendah kalori dengan pengaturan kebiasaan adalah aman dan hemat sebagai
penanganan utama OSAS.
4. Posisi Tubuh
Posisi supine merupakan posisi yang efektif untuk menurunkan AHI pada
banyak pasien. Ada beberapa alat bantu guna mempertahankan posisi tubuh lateral.
Nilai Apnea Hyponea Index (AHI) pada pasien dengan posisi tidur apneik dianalisis
dengan tahapan tidur (sleep stage) untuk menentukan apakah perbedaan posisi
mempengaruhi nREM. Perbedaan beratnya apnea dikaitkan dengan posisi tidur
didapatkan menetap pada REM sehingga penanganan posisi tidur perlu
dipertimbangkan. Hasil penelitian menunjukkan meskipun pasien dengan OSAS berat
memiliki jumlah apneik yang banyak pada posisi supine dan lateral, kejadian apneik
lebih berat pada posisi tidur supine daripada tidur lateral.4,6,7

J. KOMPLIKASI

OSAS dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di
antaranya8 :

1. Neropsikologis : kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan


daya ingat, sakit kepala, depresi, epilepsy nocturnal.
2. Kardiovaskuler : takikardi, hipertensi, aritmia, blockade jantung, angina,
penyakit jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke
3. Respirasi : hipertensi pulmonum, cor pulmunale
DAFTAR PUSTAKA

1. Supriyatno B. Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) pada anak. Dalam: Rahajoe
NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2012.h.402-10.
2. Pudjiaji AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, dkk.
Pedoman pelayanan medis. Jilid 2. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2011.h.195-99.
3. American Thoracic Society. Obstructive sleep apnea in children. AM J Respir Crit Care
Med. 2012 Aug; Volume 180: 5-6.
4. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsillitis, dan hipertrofi adenoid. Dalam:
Aoepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2010.h.224-5.
5. Capua M, Ahmadi N, Shapiro C. Overview of obstructive sleep apnea in children:
exploring their role of dentists in diagnosis and treatment. JCDA. 2009 May; 75(4): 285-
9.
6. Bhatt SP, Guleria R, Kabra SK. Obstructive sleep apnea syndrome in children.
International Invention Journal of Medicine and Medical Sciences. 2014 Feb; 1(2): 14-9.
7. Aurora RN, Zak RS, Karippot A, Lamm CI, Morgenthaler TI, Auerbach SH, et al.
Practice parameters for respiratory indications for polysomnography in children. SLEEP.
2011 Dec; 32(3): 379-85.
8. Kovacevic L, Jurewicz M, Dabaja A, Thomas R, Diaz M, Madgy DN, et al. Enuretic
children with obstructive sleep apnea syndrome: should they see otolaryngology first.
Journal of Pediatric Urology. 2012 Dec; 20(6): 1-6.

You might also like