You are on page 1of 5

akarta dan Candu Kebisingan

Oleh :

Tempo.co
Rabu, 21 Oktober 2009 11:47 WIB

0 KOMENTAR
000

Roboto
 Font:
 Ukuran Font: - +

TEMPO/Subekti

TEMPO Interaktif, Dua tahun lalu, dr Ronny Suwento, SpTHT, ahli


masalah pendengaran, diminta memeriksa pendengaran 20
petugas teknisi sebuah grup musik rock ternama di Indonesia.
"Hasilnya, pendengaran mereka rata-rata berkurang 20-30 persen,"
kata dokter dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ini.

Ronny menyebutkan, mereka mengalami proses menuju tuli akibat


kebisingan (TAB) atau noise induced hearing loss. Kasus para teknisi
ini terjadi karena mereka tak biasa menggunakan pelindung telinga
saat bekerja.

Sayangnya, pengidap TAB sering kali tak menyadari masalahnya


sampai sudah terlambat. Penyebab ketulian itu sangat beragam,
dari kebisingan, infeksi, penggunaan obat-obatan tertentu, hingga
diabetes melitus. Kebisingan adalah salah satu penyebab ketulian
yang sebenarnya bisa dihindari.

Kebisingan bisa berasal dari banyak hal. Apalagi kehidupan modern


yang banyak berpangku pada mesin-mesin dengan bunyi yang
menderu-deru. Mulai alat rumah tangga, lalu lintas, hingga musik.
World Health Organization pada 1988 mencatat, 8-12 persen
penduduk dunia menerima dampak kebisingan.

Dibandingkan dengan berbagai kota lain di Indonesia, kebisingan


Jakarta bisa dipastikan paling berisiko bagi warganya. Agak sulit
memang mencari data yang menggambarkan betapa kota seperti
Jakarta semakin berisik.

Namun, pada 1996 penelitian tentang kebisingan Jakarta pernah


dilakukan Ahmad Rofii dari Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Rofii meneliti 56 pekerja jalan raya di perempatan
Senen, Cempaka Putih, Jatinegara, Jalan Jenderal Urip
Sumohardjo, Kampung Melayu, dan Harmoni.

Rofii menemukan bahwa pada jam sibuk kebisingan bisa mencapai


lebih dari 78 desibel. "Memang para pekerja ini tak terus-menerus
selama 24 jam terpapar kebisingan ini, tapi ini akan terakumulasi
karena keesokan harinya mereka menghadapi kondisi yang sama
secara terus-menerus," kata Ronny, yang menjadi pembimbing Rofii
saat melakukan penelitian untuk tesisnya itu.
Hasil penelitian Rofii cukup memprihatinkan. Para pekerja jalan
raya itu mengalami TAB atau kemunduran pendengaran karena
paparan kebisingan hingga 10,71 persen.

Pengendara mobil konvertibel atau kap terbuka juga wajib


waspada akibat polusi suara dari kebisingan lalu lintas. Para ahli
dari Royal National Institute for Deaf People, Inggris, menemukan
bahwa efek suara yang dihasilkan dari menyetir dengan kecepatan
80-112 kilometer per jam dengan mobil kap terbuka setara dengan
yang dihasilkan alat bor angin.

"Kami meneliti kadar kebisingan yang diterima pengendara mobil


pada beberapa kecepatan yang berbeda," kata Dr Mark Downs,
salah satu peneliti.

Hasil penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Otolaryngology-Head


and Neck Surgery itu menyebutkan bahwa pada kecepatan 50, 60,
dan 70 mil per jam kebisingan mencapai 88 dan 90 desibel.
Sementara itu, tingkat kebisingan 85 desibel saja sudah berisiko
pada masalah pendengaran permanen.

Para peneliti kemudian mengulangi lagi tes tersebut di jalan yang


tidak ramai pada jam tak sibuk dan menemukan tingkat kebisingan
yang sama: sekitar 90 desibel, dengan kadar tertinggi mencapai 99
desibel. Tapi tingkat kebisingan itu bisa dikurangi dengan menutup
jendela kaca, meski kap tetap dibuka. Cara ini bisa mengurangi
kebisingan hingga ke angka 82 desibel. Hal yang sama bisa
dianalogikan pada pengendara motor tanpa helm atau pelindung
telinga.

TAB juga terjadi di sektor industri. Nancy Daniel, dalam tesisnya di


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 2006, meneliti
kasus TAB pada 102 karyawan sebuah industri logam yang berusia
30-46 tahun. Hasilnya, 61,8 persen dari mereka mengalami
gangguan pendengaran akibat kebisingan.

Para ahli mengingatkan, kerusakan pada pendengaran bisa terjadi


secara bertahap dan efeknya baru terasa beberapa tahun
kemudian, ketika pendengaran mulai lenyap. "Sementara orang
yang sudah mengalami gangguan pendengaran seperti ini lebih
peka terhadap infeksi dibanding orang dengan pendengaran yang
normal," kata Ronny.

Gejala TAB mulai bisa dirasakan ketika telinga sering berdengung


(tinnitus), sulit memahami percakapan biasa, sulit memahami
percakapan di lingkungan bising, hingga distorsi kualitas suara.

Tak hanya secara akumulatif mengurangi kemampuan


pendengaran, kebisingan juga bisa berdampak pada fisik, seperti
tubuh bergetar, gangguan keseimbangan, mual, percakapan
terganggu, dan mata kabur.

"Lalu pada kebisingan mencapai 60 desibel, bisa berefek


meningkatnya kadar hormon stres, seperti epinerin, nor-epinerin,
dan kortisol tubuh," kata Ronny. Akibat dari meningkatnya hormon
stres ini adalah terjadinya perubahan irama jantung dan tekanan
darah. Jika terjadi terus-menerus, bisa berisiko penyakit
kardiovaskuler.

Kebisingan juga bisa berdampak pada masalah gangguan tidur.


Ronny mengutip sebuah penelitian terhadap penduduk berusia di
atas 18 tahun yang tinggal di radius 25 kilometer dari Bandara
Sciphol, Belanda. Sebanyak 31 persen dari mereka mengalami
gangguan tidur.

Secara umum, batas aman pendengaran terhadap bising adalah 85


desibel per 24 jam. Setiap tambahan intensitas sebesar 3 desibel,
waktu pajanan jadi kurang separuhnya. Jika seseorang
mendengarkan musik di tingkat kebisingan 88 desibel, idealnya ia
hanya diperbolehkan mendengar selama 4 jam dalam 24 jam.
Dalam kasus penggunaan music player, masalah kebisingan bisa
jadi lebih parah. "Player musik dengan ear phone membuat
intensitas lebih tinggi karena langsung ke telinga," kata Ronny.
Ini sangat serius? Tentu. "Kini kami makin sering menemukan
anak-anak yang mulai mengalami kehilangan pendengaran
akibat music player," kata Dr David Tunkel, Kepala Bagian
Kesehatan THT Anak di Johns Hopkins Children's Center,
Baltimore.
Centers for Disease Control and Prevention, Amerika, menemukan
bahwa sekitar 12,5 persen anak usia 6-19 tahun atau sekitar 5,2
juta anak di Amerika Serikat mulai mengalami kerusakan dan
kehilangan pendengaran akibat paparan kebisingan yang berat.

"Memang kita tak bisa mengatakan harus menghentikan industri


dan/atau apa pun penyebab sumber kebisingan. Tapi paling tidak
kita mesti lebih peduli pada perlindungannya," kata Ronny.

UTAMI WIDOWATI

You might also like