You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Di Indonesia, banyak penyakit yang sudah menjadi masalah kesehatan


bagi masyarakat, salah satunya HIV/AIDS. Laporan Kementerian Kesehatan,
sejak pertama kali kasus HIV ditemukan pada tahun 1987 hingga bulan
September 2014, tercatat sebanyak 150.296 orang telah terinfeksi HIV, dimana
55.799 orang diantaranya telah pada tahap AIDS (www.aidsindonesia.or.id).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS pasal 3 dijelaskan bahwa tujuan
penanggulangan HIV/AIDS yaitu a) menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV
baru; b) menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan
yang berkaitan dengan AIDS; c) meniadakan diskriminasi terhadap ODHA; d)
meningkatkan kualitas hidup ODHA; dan e) mengurangi dampak sosial ekonomi
dari penyakit HIV dan AIDS pada individu, keluarga, dan masyarakat. Poin a, b,
dan c sebagai salah satu strategi terbaru penanggulangan HIV/AIDS yang
digulirkan pada ASEAN Summit ke-19 tahun 2011 yaitu Getting to Zero, meliputi
: Zero New HIV Infections, Zero Discrimination, Zero AIDS-Related Deaths
(culturalstudiesforum.wordpress.com).
Eksistensi klinik VCT sangatlah dibutuhkan sebab merupakan gerbang
utama guna memperoleh informasi mengenai HIV/AIDS, melakukan praktik
konseling dan tes, pencegahan dan pelayanan bagi ODHA. Tak terkecuali di
Kabupaten Karanganyar, keberadaan klinik VCT merupakan wadah kepedulian
terhadap permasalahan HIV/AIDS. Sejak tahun 2000 hingga akhir Oktober 2014,
jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Karanganyar tercatat mencapai 238
orang dan 68 orang diantaranya telah meninggal dunia.(www.timlo.net).
Konselor diberikan pelatihan VCT guna menunjang program
penanggulangan dan penyebaran HIV/AIDS. Dalam membantu ODHA, konselor
diharapkan memiliki keterampilan komunikasi antarpribadi yang baik untuk
membangun kepercayaan diri klien sehingga tujuan dari aktivitas komunikasi
kesehatan dapat tercapai secara efektif. Penelitian difokuskan pada praktik

1|Page
konseling karena konselor berhadapan secara face to face dengan ODHA dalam
kondisi yang tertutup. Adanya interaksi antarpribadi yang terbangun dengan baik,
tentu saja akan memudahkan konselor dalam menyampaikan pesan-pesan
kesehatan guna merubah perilaku beresiko dan meningkatkan kemampuan ODHA
menghadapi tekanan dari lingkungan.
Dalam sebuah penelitian perlu menambahkan penelitian terdahulu sebagai
referensi. Penelitian terdahulu yang serupa dengan penelitian ini berjudul “Peran
Komunikasi Antar Pribadi dalam Voluntary Counselling and Testing (Studi
Deskriptif Tentang Faktor Konsep Diri ODHA Setelah Melakukan Konseling dan
Tes HIV di Klinik Voluntary Counselling and Testing RSU Pirngadi Medan” oleh
Rizka Wandari Nasution (2008) dari Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Sumatera Utara. Hasil tersebut menunjukkan bahwa komunikasi
antarpribadi antara konselor dan klien sangat berpengaruh dalam pembentukkan
konsep diri ODHA. Meski awalnya ODHA mengalami shock, takut, sedih, dan
cemas ketika dinyatakan positif HIV karena kurangnya pemahaman dan informasi
mengenai HIV/AIDS. Namun, setelah melakukan konseling dan bertambahnya
pemahaman tentang HIV/AIDS, semakin kuat pula keinginan mereka untuk hidup
lebih baik.
Riset lainnya berjudul “Proses Komunikasi Dokter-Pasien dalam
Pelaksanaan HIV Voluntary Counseling and Testing (VCT) di RSUD Tugurejo
Semarang” oleh Nugraheni Arumsari, dkk (2013) dari Pascasarjana Ilmu
Komunikasi UNS. Hasil dalam penelitian ini yaitu membangun kedekatan dengan
pasien HIV mutlak diperlukan, caranya dengan menanamkan kepercayaan diri
pasien HIV kepada dokter (konselor) sampai timbul keterbukaan. Penggunaan
komunikasi antar pribadi untuk menimbulkan perasaan empati, keakraban dan
keterbukaan antara dokter dan pasien. Tujuan akhir dalam program konseling
VCT ini adalah agar pasien HIV dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, mempunyai motivasi dan semangat yang kuat untuk berjuang hidup.
Berangkat dari permasalahan diatas, peneliti ingin meneliti bagaimana
implementasi komunikasi antarpribadi konselor Klinik VCT RSUD Kabupaten

2|Page
Karanganyar terhadap ODHA dalam praktik konseling untuk perubahan perilaku
yang lebih bertanggung jawab.
I.2 RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana pengertian dari konseling dan konseling pada pasien dengan
HIV/AIDS?
b. Bagaimana tujuan konseling?
c. Bagaimana tahapan konseling?
d. Bagaimana syarat menjadi konselor HIV/AIDS?
e. Bagaimana contoh konseling HIV/AIDS yang ada dipelayanan kesehatan dari
puskesmas hingga rumah sakit?
f. Bagaimana kendala konseling HIV/AIDS?

I.3 TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini ialah:
a. Dapat mengetahui pengertian dari konseling dan konseling pada pasien
HIV/AIDS
b. Dapat mengetahui tujuan konseling
c. Dapat mengetahui tahapan konseling
d. Dapat mengetahui syarat menjadi konselor HIV/AIDS
e. Dapat mengetahui contoh kenseling HIV/AIDS yang ada dipelayanan kesehatan
dari puskesmas hingga rumah sakit
f. Dapat mengetahui kendala konselig HIV/AIDS

3|Page
BAB II PEMBAHASAN

II.1 PENGERTIAN KONSELING DAN KONSELING PADA PASIEN


HIV/AIDS
a. Konseling
Konseling berasal dari bahasa latin, yaitu consilium yang berarti dengan
atau bersama yang dirangkai dengan menerima atau memahami. Sementara dalam
bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari sellan yang berarti
menyerahkan atau menyampaikan (Prayitno dan Amti, 2004, hal. 99). Kata
konseling mencakup bekerja dengan banyak orang dan hubungannya mungkin
saja bersifat pengembangan diri, dukungan terhadap krisis pribadi, psikoterapi,
atau pemecahan masalah (British Association of Counselling, 2001 dalam Pieter,
2012, hal. 237).
Pieter (2012, hal. 237) menyimpulkan dari beberapa pendapat pakar
bahwa konseling dalam kebidanan merupakan proses pemberian informasi yang
lebih objektif dan lengkap yang dilakukan secara sistematik berdasarkan panduan
keterampilan komunikasi interpersonal, teknik bimbingan, penguasaan
pengetahuan klinik, yang bertujuan membantu klien mengenali kondisinya,
masalah yang dihadapi klien dan membantunya untuk menentukan solusi dan
jalan keluar dalam upaya mengatasi masalah-masalahnya.
b. Konseling Pada Pasien HIV/AIDS
Konseling dan Tes HIV( KTHIV) adalah suatu layanan untuk mengetahui
adanya infeksi HIV di tubuh seseorang. Layanan ini dapat diselenggarakan di
fasilitas pelayanan kesehatan. KTHIV didahului dengan dialog antara klien/pasien
dan konselor/petugas kesehatan dengan tujuan memberikan informasi tentang
HIV dan AIDS dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berkaitan
dengan tes HIV.
Layanan KTHIV untuk menegakkan diagnosis HIV, dilakukan melalui 2
(dua) pendekatan, yaitu:
1) Konseling dan Tes HIV atas inisiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling
yang disingkat dengan KTIP; dan

4|Page
2) Konseling dan tes HIV secara sukarela yang disingkat dengan KTS.
Konseling HIV merupakan salah satu program WHO dalam usaha
pencegahan penularan HIV. Konseling merupakan bagian dari prinsip “5C”dalam
tes HIV yatu “consent”, “counseling”, “confidentiality”, “correct test result”, dan
“connection” (koneksi ke fasilitas terapi, perawatan, dan pencegahan)
Konseling HIV adalah komunikasi yang bersifat pribadi dan rahasia antara
seorang klien dengan seorang konselor/orang yang telah dilatih mengenai
HIV/AIDS untuk meningkatkan kemampuan klien menghadapi stress dan
mengambil keputusan berkaitan dengan HIV&AIDS. Klien pada konseling HIV
adalah orang-orang yang akan dan telah menjalani tes HIV. Aspek consent (izin)
dan confidentiality (kerahasiaan) merupakan aspek yang sangat penting dalam
konseling HIV.
Karena konseling HIV merupakan bagian dari tes HIV, maka terdiri dari 2
tahap yaitu konseling awal sebelum pemeriksaan (konseling pra testing) dan
konseling setelah dilakukan pemeriksaan (konseling pasca testing). Berdasarkan
jenisnya, konseling HIV terdiri dari Voluntary Counseling and Testing (VCT),
Provider-Initiatied Testing and counseling (PITC) dan Prevention Mother to
Child Transmission (PMTCT). VCT merupakan pemeriksaan dan konseling atas
dasar inisiatif individu yang berisiko, PITC adalah pemeriksaan dan konseling
atas inisiatif tenaga kesehatan yang memeriksa, sedangkan PMTCT adalah
konseling untuk mengurangi kemungkinan penularan ibu-anak.

II.2 TUJUAN KONSELING


a. Membantu seorang individu mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan
tahap perkembangan, tuntutan positif lingkungannya dan predisposisi yang
dimilikinya seperti kemampuan dasar dan bakatnya, dalam berbagai latar
belakang yang ada seperti keluarga,pendidikan, atau status ekonomi.
b. Membuat seseorang mengenali dirinya sendiri dengan memberi informasi kepada
individu tentang dirinya, potensinya, kemungkinankemungkinan yang memadai
bagi potensinya dan bagaimana memanfaatkan pengetahuan sebaik-baiknya.

5|Page
c. Memberi kebebasan kepada individu untuk membuat keputusan sendiri serta
memilih jalurnya sendiri yang dapat megarahkannya.
d. Dalam menjalani hidup menjadikan individu lebih efektif, efisien dan sistematis
dalam memilih alternatif pemecahan masalah.
e. Konseling membantu individu untuk mengahapus / menghilangkan tingkah laku
maladaptif (masalah) menjadi tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang
diinginkan klien.

II.3 TAHAPAN KONSELING


Secara umum proses konseling individual terbagi atas tiga tahapan yaitu
sebagai berikut:

a. Tahap Awal Konseling

Tahap awal ini terjadi sejak klien bertemu konselor hingga berjalan proses
konseling dan menemukan definisi masalah klien. Tahap awal ini Cavanagh
(1982) menyebutkan dengan istilah introduction and environmental support.
Adapun yang dilakukan oleh konselor dalam proses konseling tahap awal ini
adalah sebagai berikut:

1) Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien yang mengalami


masalah. Pada tahap ini konselor berusaha untuk membangun hubungan dengan
cara melibatkan klien dan berdiskusi dengan klien. Hubungan tersebut dinamakan
a working relationship, yaitu hubungan yang berfungsi, bermakna, dan berguna.
Kunci keberhasilan tahap ini diantaranya ditentukan oleh keterbukaan konselor
dan klien untuk mengungkapkan isi hati, perasaan dan harapan sehubungan
dengan masalah ini akan sangat bergantung terhadap kepercayaan klien terhadap
konselor. Pada tahap ini konselor hendaknya mampu melibatkan klien secara
terus menerus dalam proses konseling.
2) Memperjelas dan mendefinisikan masalah. Jika hubungan konseling sudah terjalin
dengan baik dan klien telah melibatkan diri, maka konselor harus dapat membantu
memperjelas masalah klien, karena sering kali klien tidak mudah menjelaskan
masalahnya hanya saja mengetahui gejala-gejala masalah yang dialaminya.

6|Page
3) Membuat penjajakan alternatif bantuan untuk mengatasi masalah. Konselor
berusaha menjajaki atau menaksir kemungkinan masalah dan merancang bantuan
yang mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan
lingkungannya yang tepat untuk mengatasi masalah klien.
4) Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor dengan klien,
berisi:
a) Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan oleh klien
dan konselor tidak berkebaratan;
b) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor dan klien; dan
c) Kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan tanggung
jawab bersama antara konselor dan konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan
konseling.
b. Tahap Pertengahan
Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses konseling
selanjutnya adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja. Pada tahap ini terdapat
beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya :
1) Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah serta keperdulian klien. Penjelajahan
masalah dimaksudkan agar klien mempunyai pemahaman dan alternatif
pemecahan baru terhadap masalah yang sedang dialaminya. Konselor
mengadakan penilaian kembali dengan melibatkan klien. Jika klien bersemangat,
berarti klien sudah begitu terlibat dan terbuka dalam proses konseling.
2) Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara. Hal ini bisa terjadi jika :
a) Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara konseling, serta
menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah
yang dihadapinya.
b) Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang
bervariasi dan memelihara keramahan, empati, kejujuran, serta keihlasan dalam
memberikan bantuan konseling.
3) Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan yang telah dibangun
pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien. Karena
kontrak dinegosiasikan agar betul-betul memperlancar proses konseling.

7|Page
c. Tahap Akhir Konseling
Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu:
1. Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling.
2. Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang
telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.
3. Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).
4. Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya

II.4 SYARAT MENJADI KONSELOR HIV AIDS


Untuk menjadi konselor voluntary counseling and testing tidak memiliki
banyak syarat. Syarat utama menjadi konselor voluntary counseling and testing
adalah mengikuti pelatihan khusus tentang HIV/AIDS yang berstandar nasional
sesuai WHO yang hanya dilaksanakan beberapa hari dan memiliki sertifikat
pelatihan tersebut. Selain itu untuk menjadi konselor yang berkompeten harus
memiliki kepribadian yang baik, meliputi pribadi yang intelegen, memiliki minat
kerjasama, sifat toleransi; pendidikan yang sesuai dengan bidang konseling yaitu
strata satu (S1), S2, S3 dan sekurang-kurangnya pernah mengikuti pelatihan
tentang bimbingan dan konseling; pengalaman suka membantu mendiagnosis dan
mencari alternatif solusi terhadap klien; dan kemampuan, meliputi berbagai
keterampilan konseling dan komunikasi. Keterampilan tersebut antara lain adalah
keterampilan attending (keterampilan untuk menghadirkan klien dalam proses
konseling), keterampilan mengundang pembicaraan terbuka untuk memberi
kesempatan klien agar mengeksplorasi dirinya sendiri dengan dukungan
pewawancara, keterampilan parafrase untuk memperbaiki hubungan antar pribadi,
keterampilan refleksi perasaan untuk merespon keadaan perasaan klien terhadap
situasi yang sedang dihadapi, keterampilan konfrontasi meliputi keterampilan
interpersonal, keterampilan diagnostic, keterampilan memotivasi dan
keterampilan manajemen. Menurut Suherman, konselor profesional harus
memiliki etik yaitu melakukan konseling sesuai dengan kemampuannya,
memahami hak-hak konseling, menjaga kerahasiaan, objektivitas, mengindari

8|Page
terjadinya hubungan secara intim dengan klien dan senantiasa meningkatkan
kemampuan dan ketrampilan dalam konseling.

II.5 CONTOH KONSELING HIV/AIDS YANG ADA DI PELAYANAN KESEHATA


DARI PUSKESMAS HINGGA RUMAH SAKIT
1. Mendengarkan
a. Mendengarkan secara pasif yaitu dalam hal ini konselor memakai istilah “dancing
by client” atau mengikuti irama/suasana hati klien untuk menceritakan
masalahnya, namun bukan dalam artian mengikuti dan kemudian melupakan
tujuan konseling. Konselor berusaha menciptakan suasana yang mendukung bagi
klien untuk bercerita dan mengeluarkan unegunegnya secara leluasa tanpa
mendapatkan judgement.
b. Mendengarkan secara aktif terjadi saat adanya diskusi diantara keduanya. Klien
menceritakan pengakuanpengakuan terkait perilakuperilaku beresiko yang pernah
dilakukan. Dan tugas konselor sebatas mendengarkan sambil sesekali memancing
klien, agar klien berpikir mencari jawaban atas perilaku apa yang menyebabkan
dirinya tertular HIV. Ketika klien sudah menemukan jawabannya sendiri,
disinilah konselor berperan untuk memberikan masukkan guna mendorong klien
bangkit kesadaran dan bersedia merubah perilaku beresikonya.
Tujuan dari teknik mendengarkan yang dilakukan konselor yaitu :
1). Mencari tahu permasalahan yang dihadapi klien. Ketika kepercayaan pada
konselor tumbuh, klien sudah merasakan nyaman dan mau membuka dirinya.
Adanya trust yang terbangun memudahkan konselor dalam mencari dan menggali
informasiinformasi mengenai permasalahan yang dihadapi klien. Dalam tahap
tersebut konselor mencoba membangun hubungan antarpribadi dengan klien.
Konselor menggali informasi dari klien dengan melihat dan mendengarkan
penjelasan klien untuk mengetahui mengenai riwayat kenapa mereka bisa menjadi
ODHA. Apabila klien belum mau terbuka dan jujur terkait riwayat perilaku
beresikonya, konselor berusaha menyimpulkan dari ceritacerita yang disampaikan
klien. Pertanyaan dan pernyataan yang konselor lontarkan dalam menggali
informasi sifatnya netral dan tidak memvonis.

9|Page
2). Sebagai bantuan ke klien. Tujuan konseling yaitu membangkitkan kesadaran
klien untuk pemeriksaan HIV dan merubah perilaku yang bebas dari HIV. Dalam
membantu klien memecahkan masalahnya, konselor tidak boleh memberikan
saran kepada klien, konselor harus bersikap pasif dan klien dibuat untuk
menemukan solusinya sendiri namun dengan pengarahan konselor. Kesadaran
untuk merubah perilaku beresiko harus tumbuh dari diri klien sendiri bukan hasil
intervensi orang lain. Perubahan perilaku yang dimaksud yaitu ketika klien tidak
bisa berhenti dari perilaku beresikonya, setidaknya diminimalisir dengan cara
yang aman agar tidak menularkan HIV kepada orang lain.
2. Tahap Hubungan Antarpribadi
Interaksi antarpribadi yang terjalin antara konselor dan klien dalam praktik
konseling Klinik VCT RS berada pada tahap keterikatan. Konselor membangun
kedekatan sebatas untuk menggali informasi-informasi masalah klien dan upaya
pemberian bantuan psikologis tanpa ada maksud untuk melanjutkan ke tahap
selanjutnya yang lebih serius.
3. Self Disclosure
Proses pengungkapan informasi diri dalam konseling terjadi berkaitan
dengan hidden area klien. Klien yang datang pertama kali ke proses konseling
berusaha menutupi hal-hal berkaitan dengan riwayat perilaku beresikonya.
Dengan pertemuan yang berulang kali dan seiring dengan kepercayaan dan rasa
nyaman yang tumbuh, klien perlahan mau terbuka kepada konselor terkait latar
belakangnya. Berhadapan dengan klien yang memiliki latar belakang berbeda,
tentu tingkat keterbukaan diri seorang klien terhadap masalahnya akan berbeda
pula. Klien yang sulit membagikan hidden area-nya kepada konselor akan
membuat proses konseling menjadi lambat. Untuk menggali hidden area klien
terkait latar belakang kenapa bisa terkena HIV, setiap konselor memiliki caranya
sendiri seperti menempatkan diri konselor sebagai teman dan orang yang ramah,
mengajak ngobrol yang bermanfaat nantinya klien akan terbuka dengan
sendirinya, mengarahkan klien ke orang terdekatnya, atau membiarkan klien
mengeluarkan semua uneg-unegnya dan setelah klien merasa tenang, konselor
akan memberikan bantuannya.

10 | P a g e
II. 6 KENDALA KONSELING HIV/AIDS
Pelaksanaan VCT tidak selalu berjalan dengan baik.Menurut
Commonwealth Regional Health Community Secretariat (2002), ada 3 (tiga)
masalah serius dalam pelaksanaan VCT yaitu 1) menciptakan kesadaran
masyarakat;2) kekuatan dan infrastruktur konselor VCT; dan 3) mempertahankan
kualitas layanan VCT. Sedangkan menurut Layer, et al.(2014), ada 3 (tiga)
hambatan dalam pelaksanaan VCT meliputi;1) individu; 2) fasilitas; dan 3)
masyarakat dan struktural. Adapun Menurut Dayaningsih (2009), ada 5 (lima)
faktor hambatanpelaksanaaan VCT, yaitu;1) faktor konselor;2) faktor klien; 3)
faktor keluarga;4) faktor masyarakat; dan 5) faktor fasilitas pelayanan VCT.
Jadidapat disimpulkan bahwa faktor yang sering menjadi hambatan pelaksanaan
VCT adalah faktor konselor, klien, keluarga,masyarakat dan fasilitas pelayanan.

Konselor merupakan faktor pertama yang dikaitkan berperan penting


dalam layanan VCT. Menurut Senyonyi (2012) di Uganda, konseling menjadi
dasar dalam menekan epidemi HIV/AIDS dan pengembangan konselor dilakukan
dengan menetapkan kewenangan hukum untuk mengatur pelatihan konselor,
pengawasan dan praktek. MenurutSetyoadi dan Triyanto (2012), konselor
mempertahankan layanan VCT bertujuan agar klien HIV/AIDS menerima
kondisinya, meningkatkan kualitas hidup dan terus mendapatkan konseling dalam
mengatasi stress dan depresi klien HIV/AIDS, membangun kembali perasaan,
sikap dan perilaku baru.

Faktor kedua yang menjadi penghambat pelaksanaan VCT yaitu klien.


Klien HIV/AIDS harus menentukan sikap untuk mendapatkan layanan VCT.
Menurut Wei Ma (2010), tingginya angka kemiskinan dan ketidakmauan terhadap
VCT menjadi penyebab kurangnya pemanfaatan layanan VCT oleh klien. Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional (2012) menyatakan bahwa adanya hambatan dari
klien dalam mengakses layanan karena rasa malu atau takut.Menurut hasil
penelitian Bhoobun, Shaline (2013) didapatkan lebih dari 90% peserta

11 | P a g e
menyatakan keinginan privasi agar fasilitas layananVCT jauh dari rumah dan
tidak ada satu akan mengenalnya mereka.

Keluarga dan masyarakat termasuk faktor ketiga dan keempat penghambat


pelaksanaan VCT yang memberikan pengaruh bagi klien HIV/AIDS. Menurut
UNAIDS (2000), stigmasisasi, penolakan sosial dan diskriminasi terhadap klien
HIV/AIDS terjadi di lingkungan keluarga dan masyarakat. Menurut NAM-
aidsmap (2012), stigma mengakibatkan klien HIV/AIDS dihina, ditolak,
dipergunjingkan dan dikucilkan dari kegiatan sosial. Sehingga klien HIV/AIDS
ketakutan, mengisolasi diri dan tidak mendapat bantuan. Adapun menurut
Departement For International Development (2007), individu yang hidup dalam
masyarakat yang ketakutan dan menolak HIV cenderung tidak mau melakukan tes
HIV/AIDS, mengungkapkan status kepada orang lain, akses perawatan dan
pengobatan.

Faktor kelima yang menghambat pelaksanaan VCT yaitu fasilitas


pelayanan VCT. Menurut Kemenkes RI dan Dirjen PP dan PL (2011), fasilitas
layanan mencakup sistem layanan yang berbelit, sistem pembiayaan kesehatan
yang mahal, tidak jelas dan birokratik berperan terhadap kepatuhan, karena hal
tersebut menyebabkan klien tidak dapat mengakses layanan kesehatan dengan
mudah. Fasilitas layanan juga termasuk ruangan yang nyaman, jaminan
kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan membantu
klien. Jadi hambatan dari faktor fasilitas pelayanan dapat menyebabkan klien
HIV/AIDS tidak mendapatkan kemudahan mengakses layanan VCT. Pemanfaatan
fasilitas layanan VCT kurang optimal berpengaruh terhadap kepatuhan klien
HIV/AIDS dalam kegiatan konseling.

12 | P a g e
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Konseling berasal dari bahasa latin, yaitu consilium yang berarti dengan atau
bersama yang dirangkai dengan menerima atau memahami. Sementara dalam
bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari sellan yang berarti menyerahkan
atau menyampaikan.
2. Konseling dan Tes HIV( KTHIV) adalah suatu layanan untuk mengetahui adanya
infeksi HIV di tubuh seseorang.
3. Konseling HIV adalah komunikasi yang bersifat pribadi dan rahasia antara seorang
klien dengan seorang konselor/orang yang telah dilatih mengenai HIV/AIDS untuk
meningkatkan kemampuan klien menghadapi stress dan mengambil keputusan
berkaitan dengan HIV&AIDS.
4. Tahapan konseling ada 3 yaitu tahap awal, tahap pertengahan dan tahap akhir
konseling.
5. Syarat utama menjadi konselor voluntary counseling and testing adalah mengikuti
pelatihan khusus tentang HIV/AIDS yang berstandar nasional sesuai WHO yang
hanya dilaksanakan beberapa hari dan memiliki sertifikat pelatihan tersebut.

SARAN

1. ODHA membutuhkan konseling tentang penyakit HIV/AIDS dan bagaimana proses


konseling. Untuk itu perlu diadakannya seminar dan penyuluhan tentang
bagaimana proses konseling HIV/AIDS yang benar.

13 | P a g e

You might also like