Professional Documents
Culture Documents
1|Page
konseling karena konselor berhadapan secara face to face dengan ODHA dalam
kondisi yang tertutup. Adanya interaksi antarpribadi yang terbangun dengan baik,
tentu saja akan memudahkan konselor dalam menyampaikan pesan-pesan
kesehatan guna merubah perilaku beresiko dan meningkatkan kemampuan ODHA
menghadapi tekanan dari lingkungan.
Dalam sebuah penelitian perlu menambahkan penelitian terdahulu sebagai
referensi. Penelitian terdahulu yang serupa dengan penelitian ini berjudul “Peran
Komunikasi Antar Pribadi dalam Voluntary Counselling and Testing (Studi
Deskriptif Tentang Faktor Konsep Diri ODHA Setelah Melakukan Konseling dan
Tes HIV di Klinik Voluntary Counselling and Testing RSU Pirngadi Medan” oleh
Rizka Wandari Nasution (2008) dari Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Sumatera Utara. Hasil tersebut menunjukkan bahwa komunikasi
antarpribadi antara konselor dan klien sangat berpengaruh dalam pembentukkan
konsep diri ODHA. Meski awalnya ODHA mengalami shock, takut, sedih, dan
cemas ketika dinyatakan positif HIV karena kurangnya pemahaman dan informasi
mengenai HIV/AIDS. Namun, setelah melakukan konseling dan bertambahnya
pemahaman tentang HIV/AIDS, semakin kuat pula keinginan mereka untuk hidup
lebih baik.
Riset lainnya berjudul “Proses Komunikasi Dokter-Pasien dalam
Pelaksanaan HIV Voluntary Counseling and Testing (VCT) di RSUD Tugurejo
Semarang” oleh Nugraheni Arumsari, dkk (2013) dari Pascasarjana Ilmu
Komunikasi UNS. Hasil dalam penelitian ini yaitu membangun kedekatan dengan
pasien HIV mutlak diperlukan, caranya dengan menanamkan kepercayaan diri
pasien HIV kepada dokter (konselor) sampai timbul keterbukaan. Penggunaan
komunikasi antar pribadi untuk menimbulkan perasaan empati, keakraban dan
keterbukaan antara dokter dan pasien. Tujuan akhir dalam program konseling
VCT ini adalah agar pasien HIV dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, mempunyai motivasi dan semangat yang kuat untuk berjuang hidup.
Berangkat dari permasalahan diatas, peneliti ingin meneliti bagaimana
implementasi komunikasi antarpribadi konselor Klinik VCT RSUD Kabupaten
2|Page
Karanganyar terhadap ODHA dalam praktik konseling untuk perubahan perilaku
yang lebih bertanggung jawab.
I.2 RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana pengertian dari konseling dan konseling pada pasien dengan
HIV/AIDS?
b. Bagaimana tujuan konseling?
c. Bagaimana tahapan konseling?
d. Bagaimana syarat menjadi konselor HIV/AIDS?
e. Bagaimana contoh konseling HIV/AIDS yang ada dipelayanan kesehatan dari
puskesmas hingga rumah sakit?
f. Bagaimana kendala konseling HIV/AIDS?
I.3 TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini ialah:
a. Dapat mengetahui pengertian dari konseling dan konseling pada pasien
HIV/AIDS
b. Dapat mengetahui tujuan konseling
c. Dapat mengetahui tahapan konseling
d. Dapat mengetahui syarat menjadi konselor HIV/AIDS
e. Dapat mengetahui contoh kenseling HIV/AIDS yang ada dipelayanan kesehatan
dari puskesmas hingga rumah sakit
f. Dapat mengetahui kendala konselig HIV/AIDS
3|Page
BAB II PEMBAHASAN
4|Page
2) Konseling dan tes HIV secara sukarela yang disingkat dengan KTS.
Konseling HIV merupakan salah satu program WHO dalam usaha
pencegahan penularan HIV. Konseling merupakan bagian dari prinsip “5C”dalam
tes HIV yatu “consent”, “counseling”, “confidentiality”, “correct test result”, dan
“connection” (koneksi ke fasilitas terapi, perawatan, dan pencegahan)
Konseling HIV adalah komunikasi yang bersifat pribadi dan rahasia antara
seorang klien dengan seorang konselor/orang yang telah dilatih mengenai
HIV/AIDS untuk meningkatkan kemampuan klien menghadapi stress dan
mengambil keputusan berkaitan dengan HIV&AIDS. Klien pada konseling HIV
adalah orang-orang yang akan dan telah menjalani tes HIV. Aspek consent (izin)
dan confidentiality (kerahasiaan) merupakan aspek yang sangat penting dalam
konseling HIV.
Karena konseling HIV merupakan bagian dari tes HIV, maka terdiri dari 2
tahap yaitu konseling awal sebelum pemeriksaan (konseling pra testing) dan
konseling setelah dilakukan pemeriksaan (konseling pasca testing). Berdasarkan
jenisnya, konseling HIV terdiri dari Voluntary Counseling and Testing (VCT),
Provider-Initiatied Testing and counseling (PITC) dan Prevention Mother to
Child Transmission (PMTCT). VCT merupakan pemeriksaan dan konseling atas
dasar inisiatif individu yang berisiko, PITC adalah pemeriksaan dan konseling
atas inisiatif tenaga kesehatan yang memeriksa, sedangkan PMTCT adalah
konseling untuk mengurangi kemungkinan penularan ibu-anak.
5|Page
c. Memberi kebebasan kepada individu untuk membuat keputusan sendiri serta
memilih jalurnya sendiri yang dapat megarahkannya.
d. Dalam menjalani hidup menjadikan individu lebih efektif, efisien dan sistematis
dalam memilih alternatif pemecahan masalah.
e. Konseling membantu individu untuk mengahapus / menghilangkan tingkah laku
maladaptif (masalah) menjadi tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang
diinginkan klien.
Tahap awal ini terjadi sejak klien bertemu konselor hingga berjalan proses
konseling dan menemukan definisi masalah klien. Tahap awal ini Cavanagh
(1982) menyebutkan dengan istilah introduction and environmental support.
Adapun yang dilakukan oleh konselor dalam proses konseling tahap awal ini
adalah sebagai berikut:
6|Page
3) Membuat penjajakan alternatif bantuan untuk mengatasi masalah. Konselor
berusaha menjajaki atau menaksir kemungkinan masalah dan merancang bantuan
yang mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan
lingkungannya yang tepat untuk mengatasi masalah klien.
4) Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor dengan klien,
berisi:
a) Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan oleh klien
dan konselor tidak berkebaratan;
b) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor dan klien; dan
c) Kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan tanggung
jawab bersama antara konselor dan konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan
konseling.
b. Tahap Pertengahan
Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses konseling
selanjutnya adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja. Pada tahap ini terdapat
beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya :
1) Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah serta keperdulian klien. Penjelajahan
masalah dimaksudkan agar klien mempunyai pemahaman dan alternatif
pemecahan baru terhadap masalah yang sedang dialaminya. Konselor
mengadakan penilaian kembali dengan melibatkan klien. Jika klien bersemangat,
berarti klien sudah begitu terlibat dan terbuka dalam proses konseling.
2) Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara. Hal ini bisa terjadi jika :
a) Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara konseling, serta
menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah
yang dihadapinya.
b) Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang
bervariasi dan memelihara keramahan, empati, kejujuran, serta keihlasan dalam
memberikan bantuan konseling.
3) Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan yang telah dibangun
pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien. Karena
kontrak dinegosiasikan agar betul-betul memperlancar proses konseling.
7|Page
c. Tahap Akhir Konseling
Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu:
1. Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling.
2. Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang
telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.
3. Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).
4. Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya
8|Page
terjadinya hubungan secara intim dengan klien dan senantiasa meningkatkan
kemampuan dan ketrampilan dalam konseling.
9|Page
2). Sebagai bantuan ke klien. Tujuan konseling yaitu membangkitkan kesadaran
klien untuk pemeriksaan HIV dan merubah perilaku yang bebas dari HIV. Dalam
membantu klien memecahkan masalahnya, konselor tidak boleh memberikan
saran kepada klien, konselor harus bersikap pasif dan klien dibuat untuk
menemukan solusinya sendiri namun dengan pengarahan konselor. Kesadaran
untuk merubah perilaku beresiko harus tumbuh dari diri klien sendiri bukan hasil
intervensi orang lain. Perubahan perilaku yang dimaksud yaitu ketika klien tidak
bisa berhenti dari perilaku beresikonya, setidaknya diminimalisir dengan cara
yang aman agar tidak menularkan HIV kepada orang lain.
2. Tahap Hubungan Antarpribadi
Interaksi antarpribadi yang terjalin antara konselor dan klien dalam praktik
konseling Klinik VCT RS berada pada tahap keterikatan. Konselor membangun
kedekatan sebatas untuk menggali informasi-informasi masalah klien dan upaya
pemberian bantuan psikologis tanpa ada maksud untuk melanjutkan ke tahap
selanjutnya yang lebih serius.
3. Self Disclosure
Proses pengungkapan informasi diri dalam konseling terjadi berkaitan
dengan hidden area klien. Klien yang datang pertama kali ke proses konseling
berusaha menutupi hal-hal berkaitan dengan riwayat perilaku beresikonya.
Dengan pertemuan yang berulang kali dan seiring dengan kepercayaan dan rasa
nyaman yang tumbuh, klien perlahan mau terbuka kepada konselor terkait latar
belakangnya. Berhadapan dengan klien yang memiliki latar belakang berbeda,
tentu tingkat keterbukaan diri seorang klien terhadap masalahnya akan berbeda
pula. Klien yang sulit membagikan hidden area-nya kepada konselor akan
membuat proses konseling menjadi lambat. Untuk menggali hidden area klien
terkait latar belakang kenapa bisa terkena HIV, setiap konselor memiliki caranya
sendiri seperti menempatkan diri konselor sebagai teman dan orang yang ramah,
mengajak ngobrol yang bermanfaat nantinya klien akan terbuka dengan
sendirinya, mengarahkan klien ke orang terdekatnya, atau membiarkan klien
mengeluarkan semua uneg-unegnya dan setelah klien merasa tenang, konselor
akan memberikan bantuannya.
10 | P a g e
II. 6 KENDALA KONSELING HIV/AIDS
Pelaksanaan VCT tidak selalu berjalan dengan baik.Menurut
Commonwealth Regional Health Community Secretariat (2002), ada 3 (tiga)
masalah serius dalam pelaksanaan VCT yaitu 1) menciptakan kesadaran
masyarakat;2) kekuatan dan infrastruktur konselor VCT; dan 3) mempertahankan
kualitas layanan VCT. Sedangkan menurut Layer, et al.(2014), ada 3 (tiga)
hambatan dalam pelaksanaan VCT meliputi;1) individu; 2) fasilitas; dan 3)
masyarakat dan struktural. Adapun Menurut Dayaningsih (2009), ada 5 (lima)
faktor hambatanpelaksanaaan VCT, yaitu;1) faktor konselor;2) faktor klien; 3)
faktor keluarga;4) faktor masyarakat; dan 5) faktor fasilitas pelayanan VCT.
Jadidapat disimpulkan bahwa faktor yang sering menjadi hambatan pelaksanaan
VCT adalah faktor konselor, klien, keluarga,masyarakat dan fasilitas pelayanan.
11 | P a g e
menyatakan keinginan privasi agar fasilitas layananVCT jauh dari rumah dan
tidak ada satu akan mengenalnya mereka.
12 | P a g e
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Konseling berasal dari bahasa latin, yaitu consilium yang berarti dengan atau
bersama yang dirangkai dengan menerima atau memahami. Sementara dalam
bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari sellan yang berarti menyerahkan
atau menyampaikan.
2. Konseling dan Tes HIV( KTHIV) adalah suatu layanan untuk mengetahui adanya
infeksi HIV di tubuh seseorang.
3. Konseling HIV adalah komunikasi yang bersifat pribadi dan rahasia antara seorang
klien dengan seorang konselor/orang yang telah dilatih mengenai HIV/AIDS untuk
meningkatkan kemampuan klien menghadapi stress dan mengambil keputusan
berkaitan dengan HIV&AIDS.
4. Tahapan konseling ada 3 yaitu tahap awal, tahap pertengahan dan tahap akhir
konseling.
5. Syarat utama menjadi konselor voluntary counseling and testing adalah mengikuti
pelatihan khusus tentang HIV/AIDS yang berstandar nasional sesuai WHO yang
hanya dilaksanakan beberapa hari dan memiliki sertifikat pelatihan tersebut.
SARAN
13 | P a g e