You are on page 1of 15

MAKALAH TEORI FARMAKOLOGI

OBAT ASMA

NAMA KELOMPOK

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA


KEDIRI
2018

1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................ 3
1.1 Latar Belakang............................................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................ 5
1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Klasifikasi Berdasarkan Etiologi................................................................................ 6
2.2 Gejala dan Diagnosis Asma........................................................................................ 7
2.3 Terapi Non Farmakologi untuk Penyakit Asma......................................................... 9
2.4 Terapi Farmakologi Penyakit Asma........................................................................... 10
2.5 Obat untuk Penyakit Asma......................................................................................... 11
BAB III PENUTUP
3.1Kesimpulan.................................................................................................................. 15

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas yang bersifat reversible dengan ciri
meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi
adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan
yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran
napas (Henneberger dkk., 2011).
Pada umumnya penderita asma akan mengeluhkan gejala batuk, sesak napas, rasa tertekan
di dada dan mengi. Pada beberapa keadaan batuk mungkin merupakan satu-satunya gejala.
Gejala asma sering terjadi pada malam hari dan saat udara dingin, biasanya bermula mendadak
dengan batuk dan rasa tertekan di dada, disertai dengan sesak napas (dyspnea) dan mengi.
Batuk yang dialami pada awalnya susah, tetapi segera menjadi kuat. Karakteristik batuk pada
penderita asma adalah berupa batuk kering, paroksismal, iritatif, dan non produktif, kemudian
menghasilkan sputum yang berbusa, jernih dan kental. Jalan napas yang tersumbat
menyebabkan sesak napas, sehingga ekspirasi selalu lebih sulit dan panjang dibanding
inspirasi, yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan setiap otot aksesori
pernapasan. Penggunaan otot aksesori pernapasan yang tidak terlatih dalam jangka panjang
dapat menyebabkan penderita asma kelelahan saat bernapas ketika serangan atau ketika
beraktivitas(Brunner & Suddard, 2002).
Tingkat gejala asma yang dialami oleh penderita asma telah diklasifikasikan menjadi
empat jenis: 1) intermiten merupakan jenis asma yang terjadi bulanan dengan gejala kurang
dari satu kali seminggu, tidak menimbulkan gejala di luar serangan dan biasanya terjadi dalam
waktu singkat.
2) Persisten ringan yang serangannya terjadi mingguan dengan gejala lebih dari satu kali
seminggu tetapi kurang dari satu kali sehari, yang dapat mengganggu aktivitas dan tidur.
3) Persisten sedang dengan gejala yang muncul setiap hari dan membutuhkan bronkodilator
setiap hari.
4) Persisten berat yang terjadi secara kontinyu, gejala terus menerus, sering kambuh dan
aktivitas fisik terbatas (GINA, 2012).

3
Pada penderita asma eksaserbasi akut dapat saja terjadi sewaktu-waktu, yang
berlangsung dalam beberapa menit hingga hitungan jam. Semakin sering serangan asma
terjadi maka akibatnya akan semakin fatal sehingga mempengaruhi aktivitas penting seperti
kehadiran di sekolah, pemilihan pekerjaan yang dapat dilakukan, aktivitas fisik dan aspek
kehidupan lain (Brunner & Suddard, 2002)
Tujuan perawatan asma adalah untuk menjaga agar asma tetap terkontrol yang ditandai
dengan penurunan gejala asma yang dirasakan atau bahkan tidak sama sekali, sehingga
penderita dapat melakukan aktivitas tanpa terganggu oleh asmanya. Pengontrolan terhadap
gejala asma dapat dilakukan dengan cara menghindari alergen pencetus asma, konsultasi asma
dengan tim medis secara teratur, hidup sehat dengan asupan nutrisi yang memadai, dan
menghindari stres. Gejala asma dapat dikendalikan dengan pengelolaan yang dilakukan secara
lengkap, tidak hanya dengan pemberian terapi farmakologis tetapi juga menggunakan terapi
nonfarmakologis yaitu dengan cara mengontrol gejala yang timbul serta mengurangi
keparahan gejala asma yang dialami ketika terjadi
serangan. (Wong, 2008).
Terapi non farmakologis yang umumnya digunakan untuk pengelolaan asma adalah
dengan melakukan terapi pernapasan. Terapi pernapasan bertujuan untuk melatih cara
bernapas yang benar, melenturkan dan memperkuat otot pernapasan, melatih ekspektorasi
yang efektif, meningkatkan sirkulasi, mempercepat dan mempertahankan pengontrolan asma
yang ditandai dengan penurunan gejala dan meningkatkan kualitas hidup bagi penderitanya.
Pada penderita asma terapi pernapasan selain ditujukan untuk memperbaiki fungsi alat
pernapasan, juga bertujuan melatih penderita untuk dapat mengatur pernapasan pada saat
terasa akan datang serangan, ataupun sewaktu serangan asma (Nugroho, 2006)
Salah satu bentuk terapi pernapasan yang dapat diberikan kepada pasien asma adalah
latihan Pursed Lips Breathing (PLB). PLB merupakan suatu teknik pernapasan, dimana proses
ekspirasi dilakukan dengan menahan udara yang dikeluarkan melalui pengerutan bibir dengan
tujuan untuk melambatkan proses ekspirasi. Membuat bibir mengerucut seolah-olah meniup
lilin, menimbulkan perlawanan melalui saluran udara yang memungkinkan pengosongan paru-
paru secara sempurna kemudian menggantikannya dengan udara baru dan segar. PLB
memungkinkan terjadinya pertukaran udara secara menyeluruh di paru-paru dan memudahkan
untuk bernapas, memberikan paru-paru tekanan kecil kembali, danmenjaga saluran udara

4
terbuka untuk waktu yang cukup lama sehingga dapat memeperlancar proses oksigenasi di
dalam tubuh. Oksigenasi yang lancar dapat menurunkan kejadian hiperventilasi dan hipoksia
pada penderita asma (Pursed Lips Breathing.net).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana klasifikasi berdasarkan etiologi penyakit asama?
2. Bagaimana gejala dan diagnosis penyakit asma ?
3. Bagaimana terapi non farmakologi untuk penyakit asma?
4. Bagaimana terapi farmakologi untuk penyakit asma ?
5. Apa saja obat untuk penyakit asma ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui klasifikasi berdasarkan etiologi
2. Untuk mengetahui gejala dan diagnosis penyakit asma
3. Untuk mengetahui terapi non farmakologi untuk penyakit asma
4. Untuk mengetahui terapi farmakalogi penyakit asma
5. Untuk mengetahui obat untuk penyakit asma

5
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Klasifikasi Berdasarkan Etiologi


Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan
aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan
perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat
pengobatan.
Tabel berdasar kan berat penyakit :
Derajat asma Gejala Fungsi paru paru
I. Intermiten Siang hari < 2 kali per minggu Variabilitas APE < 20%
Malam hari < 2 kali per bulan VEP1 > 80% nilai
Serangan singkat :Tidak ada gejala antar prediksi
serangan Intensitas serangan bervariasi APE > 80% nilai
terbaik
II. Persisten Siang hari > 2 kali per minggu, tetapi < 1 x per Variabilitas APE 20 -
Ringan hari 30%
Malam hari > 2 kali per bulan VEP1 > 80% nilai
Serangan dapat mempengaruhi aktifitas prediksi
APE > 80% nilai
terbaik
III. Persisten Siang hari ada gejala Malam hari > 1x per Variabilitas APE > 30%
Sedang minggu VEP1 60-80% nilai
Serangan mempengaruhi aktifitas prediksi
Serangan > 2 kali per minggu Serangan APE 60-80% nilai
berlangsung berhari-hari terbaik
Sehari-hari menggunakan inhalasi β2-agonis
short acting
IV. Persisten Siang hari terus menerus ada gejala. Setiap Variabilitas APE > 30%
Berat malam hari sering timbul gejala. Aktifitas fisik VEP1 < 60% nilai
terbatas. Sering timbul serangan prediksi
APE < 60% nilai

6
terbaik
APE = ( arus puncak
ekspirasi)
FEV1 = (volume
ekspirasi paksa dalam 1
detik)

2.2 Gejala dan diagnosis Asma

*) Gejala asma

Asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan.

Gejala awal berupa :

- batuk terutama pada malam atau dinihari

- sesaknapas

- napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskannapasnya

- rasa berat didada

- dahak sulitkeluar.

Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang
termasuk :

- Serangan batuk yanghebat

- Sesak napas yang berat dantersengal-sengal

- Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitarmulut)

- Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk

- Kesadaran menurun

2.2. Diagnosis

Diagnosis asma adalah berdasarkan gejala yang bersifat episodik,

7
pemeriksaan fisiknya dijumpai napas menjadi cepat dan dangkal dan
terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada (pada serangan sangat
berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena pasien sudah lelah untuk
bernapas). Dan yang cukup penting adalah pemeriksaan fungsi paru, yang
dapat diperiksa dengan spirometri atau peak expiratory flow meter.

Spirometri

Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa


(KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan ini
sangat tergantung kepada kemampuan pasien sehingga diperlukan
instruksi operator yang jelas dan kooperasi pasien. Untuk mendapatkan
nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari

8
2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai
VEP1< 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP <75%.

Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma,


yaitu adanya perbaikan VEP1> 15 % secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu.

2.3 Terapi Non Farmakologi untuk Penyakit Asma


1. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, bertujuan untuk
- meningkatkan pemahaman mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit
asma
- meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma
mandiri)
- meningkatkan kepuasan
- meningkatkan rasa percaya diri
- meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
- membantu pasien agar dapat melakukan pengontrolan asma
2. Pengukuran peak flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. PengukuranArus
Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
1. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien di
rumah.
2. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
3. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di atas
> 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang
sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk
mendapat serangan yang mengancam jiwa.
4. Pemberian oksigen
5. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat . Dapat dilakukan dengan :

9
-Penghentian merokok
-Menghindari kegemukan
-Kegiatan fisik misalnya senam asma

2.4 Terapi Farmakalogi Penyakit Asma


1. Simpatomimetik
*) Mekanisme Kerja
Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut :
1. Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi,
dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
2. Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas dan
irama jantung.
3. Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens
mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet. Selektifitas relatif
obat-obat simpatomimetik adalah faktor penentu utama penggunaan secara klinik
dan untuk memprediksi efek samping yang umum. Obat simpatomimetik selektif
β2 memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang paling efektif dengan efek
samping yang minimal pada terapi asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi
akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan
memberikan efek perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya
alergen, latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan
secara sistemik. Pada tabel 2 dapat dilihat perbandingan efek farmakologi dan sifat
farmakokinetik berbagai obat simpatomometik yang digunakan pada terapi asma.

10
Keterangan :
a : potensi molar relatif 1 adalah yang paling kuat
b: semua obat ini mempunyai aktivitas β1 minor
c: dapat digunakan melalui aerosol
*) Indikasi
Agonis β2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol) digunakan,
bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka panjang terhadap gejala
yang timbul pada malam hari. Obat golongan ini juga dipergunakan untuk
mencegah bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik. Agonis β2 kerja
singkat (seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan
untuk menghilangkan gejala akut dan bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan
fisik.
2.5 Obat untuk Penyakit Asma
2.5.1 β2 agonis β2 agonis adalah bronkodilator yang sangat efektif yang bekerja dengan
meningkatkan aktifitas adenyl cyclase sehingga meningkatkan produksi intraseluler
siklik AMP (adenosine mono fosfat). Peningkatan siklik AMP menyebabkan relaksasi
otot polos, stabilisasi sel mast dan stimulasi otot rangka. Pemberian β2 agonis melalui
aerosol akan meningkatkan bronkoselektivitas, mempercepat efek yang timbul serta
mengurangi efek samping sistemiknya. Beberapa β2 agonis (terutama yang kurang
selektiv) dapat merangsang reseptor β1 yang berakibat peningkatan kontraksi dan
frekuensi denyut jantung (Priyanto, 2009). 1) Agonis Reseptor β-Adrenergik Kerja

11
Singkat Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini antara lain albuterol,
levalbuterol, metaproterenol, terbutalin dan pributeril. Mekanisme kerja agonis reseptor
β-adrenergik kerja singkat sebagai anti asma berkaitan dengan relaksasi langsung otot
polos saluran napas dan bronkodilatasi yang diakibatkannnya (Goodman dan Gilman,
2008). Albuterol dan β2 agonis selektif inhalasi short acting diindikasikan untuk terapi
intermiten bronkospasme dan pilihan pertama untuk asma akut (Priyanto, 2009). Efek
samping yang berkaitan dengan β2 adrenergik (albuterol, terbutalin) mencakup tremor,
sakit kepala, kecemasan, meningkatnya denyut jantung, jantung berdebar (dosis tinggi)
dan sedikit menurunkan tekanan darah. Agonis β2 dapat meningkatkan kadar gula
darah, penderita diabetes yang memakai obat agonis β2 harus dianjurkan untuk
memantau kadar gula serumnya secara cermat (Kee dan Hayes, 1996). 2)Agonis
Reseptor β-Adrenergik Kerja Lama Formoterol dan salmoterol suatu β2 agonis long
actingdiindikasikan sebagai terapi tambahan pada pasien yang telah mendapatkan
kortikosteroid untuk mengontrol asma jangka panjang (Priyanto, 2009). Kombinasi
dengan kortikosteroid inhalasi bersifat komplementer karena bekerja terhadap sistem
sel berlainan sehingga memiliki mekanisme kerja yang juga berlainan. Kombinasi ini
juga bekerja sinergis berdasarkan daya kerjanya yang positif terhadap masing-masing
reseptor (Tjay dan Rahardja, 2007). Agonis reseptor β-Adrenergik kerja lama
merelaksasi otot polos saluran napas dan menyebabkan bronkodilatasi melalui
mekanisme yang sama dengan agonis durasi singkat. Stimulasi reseptor β-adrenergik
menghambat fungsi banyak sel radang, termasuk sel mast, basofil, eosinofil, netrofil
dan limfosit. Pengobatan jangka panjang menggunakan agonis reseptor β-adrenergik
kerja lama telah menunjukkan adanya perbaikan fungsi paru-paru, penurunan gejala
asma, berkurangnya penggunaan agonis β2 adrenergik inhalasi kerja singkat dan
berkurangnya asma nokturnal (Goodman dan Gilman, 2008). Tabel 2 berikut adalah
beberapa agonis β2 adrenergik dengan selektivitas, potensi dan durasinya.
2.5.2 Metilxantin Golongan bronkodilator kedua yang dipakai untuk asma adalah derivat
metilxantin yang mencakup teofillin, aminofillin dan kafein. Xantin juga merangsang
sistem syaraf pusat dan pernapasan, mendilatasi pembuluh pulmonar dan koronaria dan
menyebabkan diuresis. Karena efeknya terhadap respirasi dan pembuluh pulmonar
maka xantin dipakai untuk mengobati asma (Kee dan Hayes, 1996). Obat golongan
metilxantin bekerja dengan menghambat enzim fosfodiesterase sehingga mencegah
peruraian siklik AMP, sehingga kadar siklik AMP intrasel meningkat. Hal ini akan
merelaksasi otot polos bronkus dan mencegah pelepasan mediator alergi seperti

12
histamin dan leukotrien dari sel mast. Selain itu metilxantin juga mengantagonis
bronkokontriksi yang disebabkan oleh prostaglandin dan memblok reseptor adenosin
(Ikawati, 2006). Teofilin banyak dijumpai dalam bentuk kompleks dengan etilendiamin
yang dinamakan aminofilin (Ikawati, 2006). Teofillin memiliki indeks terapeutik yang
rendah dan kadar terapeutik yang sempit yaitu dari 10 sampai 20 mikrogram/ ml. Obat
yang memiliki rentang terapi sempit antara dosis terapi dan dosis toksik adalah obat
yang sering terlibat dalam interaksi (Kee dan Hayes, 1996). Obat golongan metilxantin
memiliki efek pada sistem syaraf pusat dan stimulasi jantung. Mereka meningkatkan
curah jantung dan menurunkan tekanan pembuluh vena sehingga menimbulkan
berbagai reaksi samping yang tidak diinginkan. Karena itu teofilin digolongkan sebagai
obat ke tiga untuk terapi asma. Teofilin juga dapat berinteraksi dengan banyak obat lain
seperti yang ditunjukkan pada tabel 3 sehingga kurang aman diberikan pada pasien
lanjut usia maupun wanita hamil. Tabel 3. Obat atau Faktor yang Mempengaruhi
Klirens Teofilin Obat/faktor Penurunan klirens (%) Obat/faktor Peningkatan klirens (%)
Simetidin -35 sampai -60 Rifampisin +53 Troleandomisin -25 sampai -50
Karbammazepin +50 Eritromisin -25 Fenobarbital +34 Alopurinol -20 Fenitoin +70
Kontrasepsi oral -10 sampai -30 Merokok +40 Propranolol -30 Diet tinggi protein +25
Siprofloksasin -25 sampai -30 Daging bakar +30 Norfloksasin -10 Sulfinpirazon +22
Ofloksasin -26 (Ikawati,2006)
2.5.3 Antikolinergik Ipatropium bromid dan atropin sulfat adalah inhibitor kompetitif
yang dapat berefek bronkodilatasi. Bronkodilatasi yang dihasilkan oleh ipratropium
pada penderita asma berkembang lebih lambat dan biasanya tidak sekuat bronkodilatasi
yang dihasilkan oleh agonis adrenergik. Beberapa pasien asma dapat mengalami
respons bermanfaat yang berlangsung hingga 6 jam. Pengobatan kombinasi ipratropium
dan agonis β2 adrenergik menghasilkan bronkodilatasi yang sedikit lebih besar dan
lebih lama dibandingkan jika masing-masing senyawa itu diberikan sendiri dalam
pengobatan asma dasar (Goodman dan Gilman, 2008). Di dalam sel-sel otot polos
terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan sistem kolinergis. Bila karena
sesuatu sebab reseptor β2 dari sistem adrenergis terhambat, maka sistem kolinergis akan
berkuasa dengan akibat bronkokontriksi. Antikolinergik memblok reseptor muskarin
dari saraf-saraf kolinergik di otot polos bronki, hingga aktifitas saraf adrenergis menjadi
dominan dengan bronkodilatasi (Tjay dan Rahardja, 2007). Efek samping yang tidak
dikehendaki adalah sifatnya yang mengentalkan dahak dan takikardia yang tak jarang
mengganggu terapi. Begitu pula efek atropin lainnya seperti mulut kering, obstipasi,

13
sukar berkemih dan penglihatan kabur akibat gangguan akomodasi. Pengobatannya
sebagai inhalasi meringankan efek samping ini (Tjay dan Rahardja, 2007).
2.5.4 Glukokortikoid Glukokortikoid anggota keluarga kortikosteroid dipakai untuk
mengobati banyak gangguan pernapasan, terutama asma. Obat-obat ini mempunyai
khasiat antiinflamasi dan diindikasikan jika asma tidak responsif terhadap terapi
bronkodilator. Anggota dari kelompok obat ini adalah beklometason, triamsinolon,
deksametason, hidrokortison dan prednison. Obat ini dapat diberikan dengan inhaler
aerosol (beklometason) atau dalam bentuk tablet (triamsinolon, deksametason,
prednison) atau dalam bentuk injeksi (deksametason, hidrokortison) (Kee dan Hayes,
1996). Glukokortikoid tidak merelaksasi otot polos saluran napas sehingga memiliki
efek yang kecil pada bronkokontriksi akut. Sebaliknya senyawa ini efektif dalam
menghambat radang saluran napas jika diberikan secara tunggal. Mekanisme yang turut
menyebabkan efek antiradang terapi glukokortikoid pada asma meliputi modulasi
produksi sitokin dan kemokin, penghambatan sintesis eikosanoid, penghambatan
akumulasi basofil, eosinofil dan leukosit lain secara nyata di jaringan paru-paru serta
penurunan permeabilitas pembuluh darah (Goodman dan Gilman, 2008) . Obat-obat ini
dapat mengiritasi selaput lendir lambung dan harus dimakan bersama makanan untuk
menghindari terbentuknya tukak. Jika ingin menghentikan glukokortikoid dosis harus
diturunkan secara bertahap dengn perlahan-lahan untuk mencegah insufisiensi adrenal.
Dosis tunggal biasanya tidak menimbulkan supresi adrenal. Pemakaian inhaler oral
mengurangi resiko terjadinya supresi adrenal yng berkaitan dengan terapi
glukokortikoid sistemik oral (Kee dan Hayes, 1996). e.Antagonis leukotrien Pada
pasien asma leukotrien turut menimbulkan bronkokontriksi dan sekresi mukus. Tahun-
tahun terakhir ini dikembangkan obat-obat baru yakni antagonis leukotrien yang
bekerja spesifik dan efektif pada terapi pemeliharaan terhadap asma (Tjay dan
Rahardja, 2007). Ada beberapa obat yang bekerja sebagai antagonis LT yaitu :
1)Zafirlukas (accolade) adalah LT reseptor antagonis yang menghambat terbentuknya
ikatan LT dengan reseptornya. 2)Zileuton (Zyflo) adalah obat yang bekerja
menghambat enzim 5-lipooksigenase yang diperlukan untuk sintesis LT. Pemakaian
yang terlalu sering dapat meningkatkan enzim hepar (SGPT dan SGOT) sehingga
menyebabkan obat ini jarang digunakan (Priyanto, 2009). Obat-obat pemodifikasi
leukotrien bekerja baik sebagai antagonis kompetitif pada reseptor leukotrien atau
dengan menghambat sintesis leukotrien (Goodman dan Gilman, 2008) .
BAB III

14
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran pernapasan yang
melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus
dalam berbagai tingkat, obstruksi saluran pernapasan dan gejala pernapasan (mengi
dan sesak).

15

You might also like