Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TOXOPLASMOSIS
2.1.1 Definisi
Toxoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasmosis
Gondii. Yang merupakan parasit penyebab penyakit pada manusia dan binatang.
Pada manusia khususnya bayi dan anak-anak, dapat menimbulkan beberapa
masalah kesehatan.
2.1.2 Epidemiologi
Pertama kali ditemukan pada tahun 1908 oleh Nicolle dan Manceaux.
Ditemukan di seluruh belahan dunia kecuali di kutub utara. Orang-orang yang
memiliki tingkat resiko tinggi menderita toxoplasmosis adalah fetus, neonatus dan
pasien dengan gangguan imun. Menurut data WHO, diketahui sekitar 300 juta
orang menderita toxoplasmosis.3
Namun, di Indonesia khususnya belum ada angka pasti, dan beberapa
hewan sudah banyak dilaporkan. Sebagian besar penyakit ini asimtomatik dan bila
ada, gejalanya sama dengan penyakit lain sehingga diagnosis serologis sering
dipakai sebagai patokan diagnosis penyakit ini.3 Berdasarkan data prevalensi
toxoplasmosis, sebagian besar penduduk Indonesia pernah terinfeksi parasit
toxoplasma gondii. Pemeriksaan antibodi pada donor darah di Jakarta
memperlihatkan 60% di antaranya mengandung antibodi terhadap parasit
tersebut.3
2
2.1.3 Etiologi
3
Toksoplasma menginfeksi hospes melalui mukosa saluran cerna, hal ini
akan merangsang sistem imun untuk membentuk IgA spesifik. T.gondii dengan
cepat akan merangsang IgM dan IgG. Immunoglobulin ini dapat membunuh
takizoit ekstraseluler. IgG dapat terdeteksi sejak dua sampai tiga minggu setelah
infeksi, mencapai puncak pada enam sampai delapan minggu dan kemudian
menurun perlahan sampai batas tertentu dan bertahan seumur hidup. IgM dapat
terdeteksi kurang lebih satu minggu setelah infeksi akut dan menetap selama
beberapa minggu atau bulan, bahkan antibody ini dapat masih terdeteksi sampai
lebih dari satu tahun. IgA terdeteksi segera setelah IgM, dan bertahan selama 6-7
bulan. 1,2,3
4
2.1.5. Manifestasi Klinis Toksoplasmosis
Gejala yang dapat timbul pada toksoplsmosis adalah fatigue, nyeri otot
dan kadang-kadang limfadenopati, tetapi seringkali infeksi terjadi subklinis.
.Infeksi toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil atau pada orang
dengan sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya penderita AIDS, pasien
transpalasi organ yang mendapatkan obat penekan respon imun). 1,2,3 Jika wanita
hamil terinfeksi toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi adalah abortus
spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita toxoplasmosis
bawaan. Pada toxoplasmosis bawaan, gejala dapat muncul setelah dewasa,
misalnya kelinan mata dan telinga, retardasi mental, kejang-kejang dan ensefalitis.
1,2,3
Sedangkan bila janin lahir setelah ibu terinfeksi selama kehamilan, bayi
bisa lahir dalam keadaan hidrosefalus, berat bayi lahir rendah,
hepatospleenomegali, ikterus dan anemia. Gejala defisit neurologis seperti kejang-
kejang, kalsifikasi intracranial, retardasi mental dan hidrosefalus atau
mikrosefalus. Pada kedua kelompok biasanya terjadi korioretinitis. 1,2,3
First half of pregnancy : dapat menyebabkan malformation pada CNS,
microcephali, hydrocephalus dan perinatal mortality.
Second half of pregnancy : Ringan/asymtomatic, demam (flu like
syndrome, limfadenopati servikal ataupun aksila, namun tidak sakit.
Gejala-gejala ini beberapa minggu s/d bulan. Anemia, leukopenia, kadang
leukositosis. Dapat terjadi chorioretinitis dan kelainan pada CNS
setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian.
Congenital Toxoplasmosis : Anak hidup dengan kemunduran mental yang
parah, kejang-kejang, strabismus dan kebutaan.
5
2.1.6. Diagnosis Prenatal Toksoplasmosis
Diagnosis pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27
minggu. Aktivitas diagnosis meliputi :
1. Kordosentesis (pengambilan sampel darah janin melalui talipusat) ataupun
amniosentesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan Ultrasonografi.
2. Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel
fibroblast ataupun diinokulasi ke dalam ruang peritoneum dan diikuti
isolasi parasit. Pemeriksaan dengan PCR untuk mendeteksi adanya DNA
Toksoplasma gondii pada darah janin ataupun cairan ketuban.
Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada darah janin guna mendeteksi
antibodi IgM janin spesifik (antitoksoplasma)
6
2.1.7 Penatalaksaan
Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi pyrimethamine
dengan trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis akan
menghambat siklus p-amino asam benzoat dan siklus asam folat.
Dosis yang dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25 – 50 mg per hari
selama sebulan dan trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000 – 6.000 mg sehari
selama sebulan. Karena efek samping obat tadi ialah leukopenia dan
trombositopenia, maka dianjurkan untuk menambahkan asam folat dan yeast
selama pengobatan.
Trimetoprinm juga ternyata efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi
bila dibandingkan dengan kombinasi antara pyrimethamine dan
trisulfapyrimidine, ternyata trimetoprim masih kalah efektifitasnya.
Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi
efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis
spiramycin yang dianjurkan ialah 2 – 4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4
kali pemberian. Beberapa peneliti mengajurkan pengobatan wanita hamil trimester
pertama dengan spiramycin 2 – 3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu
kemudian disusl 2 minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh.
Pengobatan juga ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan terhadap
bayi yang lahir dari ibu penderita toxoplasmosis.
2.1.8 Pencegahan
Pencegahan terutama untuk ibu hamil, yaitu dengan cara :
Mencegah terjadinya infeksi primer pada ibu-ibu hamil
- Memasak daging sampai 60º C
- Jangan menyentuh mukosa mulut bila sedang memegang
daging mentah
- Mencuci buah ayau sayur sebelum dimakan
- Kebersihan dapur
- Cegah kontak dengan kotoran kucing
- Siram bekas piring makanan kucing dengan air panas
7
Mencegah infeksi terhadap janin dengan jalan :
- Seleksi wanita hamil dengan tes serologis
- Pengobatan adekwat bila ada infeksi selama hamil
- Tindakan abortus terapeutik pada trimester I/II
- Vaksinasi pada kucing dengan tujuan untuk mencegah sporulasi
dan pelepasan ookista ke lingkungan, dapat menurunkan secara
drastis angka infeksi toxoplasma pada binatang dan manusia.
Penyuluhan wanita tentang metode ini menghindari penularan T.gondii
selama kehamilan dapat sangat mengurangi kasus infeksi akuisita selama
kehamilan. Wanita yang tidak mempunyai antibody spesifik terhadap T. gondii
sebelum kehamilannya hanya boleh makan daging matang selama hamil dan
menghindari kontak dengan ooksita yang di ekskresikan oleh kucing. Kucing
yang dipelihara di dalam rumah, dipertahankan pada diet yang disiapkan, dan
dengan tidak memberi makan daging segar yang tidak dimasak tidak akan
berkontak dengan kista T. gondii dan melepaskan ooksita. Skrining serologis,
pemantauan ultrasonografi, dan pengobatan wanita hamil selama kehamilan dapat
juga mengurangi insidens dan mungkin manifestasi Toxoplasmosis congenital.
2.2 RUBELLA
2.2.1 Definisi
Infeksi ini juga dikenal dengan campak Jerman dan sering diderita anak-
anak. Rubela yang dialami pada tri semester pertama kehamilan 90 persennya
menyebabkan kebutaan, tuli, kelainan jantung, keterbelakangan mental, bahkan
keguguran. Ibu hamil disarankan untuk tidak berdekatan dengan orang yang
sedang sakit campak Jerman. 4,5,6
2.2.2 Epidemilogi
Sebelum vaksin untuk melawan Rubella tersedia pada tahun 1969, epidemi
rubella terjadi setiap 6 s.d. 9 tahun. Anak-anak dengan usia 5 - 9 menjadi korban
utama dan muncul banyak kasus rubella bawaan. Sekarang, dengan adanya
program imunisasi pada anak-anak dan remaja usia dini, hanya muncul sedikit
8
kasus rubella bawaan. Kelainan pada fetus 30% pada infeksi rubella minggu
pertama kehamilan serta 85% bayi terinfeksi rubella kongenital.8
Congenital Rubella Syndrome pertama kali dilaporkan pada tahun
1941 oleh Norman Greg seorang ahli optalmologi Australia yang menemukan
katarak bawaan di 78 bayi yang ibunya mengalami infeksi rubella di awal
kehamilannya. Berdasarkan Berdasarkan data dari WHO paling tidak 236 ribu
kasus CRS terjadi setiap tahun di negara berkembang. Di Amerika Serikat tahun
1964–1965 dilaporkan terdapat 20.000 kasus CRS dengan gangguan pendengaran
berjumlah 11.600, kebutaan 3.580 dan retardasi mental 1.800.
2.2.3 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella, sebuah togavirus yang
menyelimuti dan memiliki RNA beruntai tunggal genom. Virus ditularkan oleh
saluran pernapasan dan bereplikasi di dalam nasofaring dan kelenjar getah bening.
Virus ini dapat ditemukan dalam darah 5 sampai 7 hari setelah terinfeksi dan
menyebar ke seluruh tubuh. Virus teratogenic mampu menyeberangi plasenta dan
menginfeksi janin di mana sel-sel tidak akan bertumbuh.
2.2.4 Patogenesis
Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami replikasi
di nasofaring dan di daerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke-5
sampai hari ke-7 setelah terpajan virus rubella. Dalam ruangan tertutup, virus
rubella dapat menular ke setiap orang yang berada di ruangan yang sama dengan
penderita. Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 14–21 hari. Masa penularan
9
1 minggu sebelum dan empat hari setelah permulaan (onset) ruam (rash). Pada
episode ini, Virus rubellasangat menular.1,2,6,7
Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia
berlangsung. Infeksi rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses
pembelahan terhambat. Virus dalam tubuh bayi dengan Congenital Rubella
Syndrome (CRS) dapat bertahan hingga beberapa bulan atau kurang dari 1 tahun
setelah kelahiran.1,2,7 Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya
oleh kerusakan sel akibat virus rubella dan akibat pembelahan sel oleh virus.
Infeksi plasenta terjadi selama viremia ibu, menyebabkan daerah (area) nekrosis
yang tersebar secara fokal di epitel vili korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini
mengalami deskuamasi ke dalam lumen pembuluh darah, menunjukkan bahwa
virus rubella dialihkan (transfer) ke dalam peredaran (sirkulasi) janin sebagai
emboli sel endotel yangterinfeksi. Hal ini selanjutnya mengakibatkan infeksi dan
kerusakan organ janin. Selama kehamilan muda mekanisme pertahanan janin
belum matang dan gambaran khas embriopati pada awal kehamilan adalah
terjadinya nekrosis seluler tanpa disertai tanda peradangan.1,2,7
Sel yang terinfeksi virus rubella memiliki umur yang pendek. Organ janin
dan bayi yang terinfeksi memiliki jumlah sel yang lebih rendah daripada bayi
yang sehat. Virus rubella juga dapat memacu terjadinya kerusakan dengan cara
apoptosis. Jika infeksi maternal terjadi setelah trimester pertama kehamilan,
kekerapan (frekuensi) dan beratnya derajat kerusakan janin menurun secara tiba-
tiba (drastis). Perbedaan ini terjadi karena janin terlindung oleh perkembangan
progresif imun janin, yang bersifat humoral maupun seluler, dan adanya antibodi
maternal yang dialihkan secara pasif.1,2,7
10
Pada orang dewasa, rubella biasanya bermanifestasi sebagai demam ringan
disertai ruam makulopapular generalisata yang dimulai diwajah dan menyebar ke
badan dan ekstremitas. Gejala lain adalah artralgia atau arthritis, limfadenopati
kepala dan leher, dan konjungtivitis. Masa tunas adalah 12-23 hari. Viremia
biasanya mendahului tanda-tanda klinis sekitar seminggu, dan orang dewasa dapat
menularkan penyakit sejak viremia hingga 5 sampai 7 hari ruam. Hampir separuh
infeksi pada ibu hamil bersifat subklinis meskipun terjadi viremia yang dapat
menyebabkan infeksi dan malformasi pada janin.5
Neonatus yang lahir dengan rubella kongenital dapat mengeluarkan virus
selama berbulan-bulan dan karena itu merupakan ancaman bagi bayi lain serta
orang dewasa yang rentan yang berkontak dengan mereka.
11
b) Gangguan jantung meliputi PDA, VSD dan stenosis katup
pulmonal.
c) Gangguan mata : katarak dan glaukoma. Kelainan ini jarang
berdiri sendiri.
d) Retardasi mental dan beberapa kelainan lain antara lain:
e) Purpura trombositopeni (Blueberry muffin rash)
f) Hepatosplenomegali, meningoensefalitis, pneumonitis, dan
lain-lain
2. Extended – sindroma rubella kongenital.. Meliputi cerebral palsy,
retardasi mental, keterlambatan pertumbuhan dan berbicara, kejang,
ikterus dan gangguan imunologi (hipogamaglobulin).
3. Delayed - sindroma rubella kongenital. Meliputi panensefalitis, dan
Diabetes Mellitus tipe-1, gangguan pada mata dan pendengaran yang
baru muncul bertahun-tahun kemudian.
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis infeksi Rubella yang tepat perlu ditegakkan dengan bantuan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan meliputi
pemeriksaan Anti-Rubella IgG dan IgM. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dapat
digunakan untuk mendeteksi adanya kekebalan pada saat sebelum hamil. Jika
ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi. Pemeriksaan
Anti-rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis infeksi akut
pada kehamilan < 18 minggu dan risiko infeksi rubella bawaan. Deteksi IgM
mencapai puncak pada 7-10 hari setelah onset dan perlahan-lahan menurun
selama 4-8 minggu. Infeksi janin dapat dideteksi dengan memeriksa IgM dalam
darah janin setelah usia kehamilan 22 minggu. Mereka yang non-imune harus
memperoleh vaksinasi pada masa pasca persalinan. Tindak lanjut pemeriksaan
kadar rubella harus dilakukan oleh karena 20% yang memperoleh vaksinasi
ternyata tidak memperlihatkan adanya respon pembentukan antibodi dengan baik.
Diagnosa pada bayi baru lahir dipastikan dengan ditemukan adanya
antibodi IgM spesifik pada spesimen tunggal, dengan titer antibodi spesifik
12
terhadap rubella diluar waktu yang diperkirakan titer antibodi maternal IgG masih
ada, atau melalui isolasi virus yang mungkin berkembang biak pada tenggorokan
dan urin paling tidak selama 1 tahun. Virus juga bisa dideteksi dari katarak
kongenital hingga bayi berumur 3 tahun.
Diagnosis prenatal dilakukan dengan memeriksa adanya IgM dari darah
janin melalui CVS (chorionoc villus sampling) atau kordosentesis. Konfirmasi
infeksi fetus pada trimester I dilakukan dengan menemukan adanya antigen
spesifik rubella dan RNA pada CVS. Metode ini adalah yang terbaik untuk isolasi
virus pada hasil konsepsi.
2.2.7 Terapi
a. Terapi khusus belum ada ,hanya simptomatik
b. Vaksinasi sebelum menikah dengan vaksin MMR
2.2.8 Pencegahan
a. Melakukan imunisasi pada orang dewasa ,terutama wanita usia
reproduksi. vaksinasi memberi imunitas yang bertahan hingga 10
tahun.
b. Vaksinasi seluruh petugas RS yang beresiko/kontak dengan pasien dan
berhubungan dengan wanita hamil.
c. Memakai masker.
d. Vaksinasi sebaiknya tidak diberikan ketika ibu sedang hamil atau
kepada orang yang mengalami gangguan sistem kekebalan akibat
kanker.
2.3.2 Epidemilogi
13
Infeksi Cytomegalovirus (CMV) tersebar luas di seluruh dunia, dan terjadi
endemik tanpa tergantung musim. Pada populasi dengan keadaan sosial ekonomi
yang baik, kurang lebih 60-70% orang dewasa, menunjukkan hasil pemeriksaan
laboratorium positif terhadap infeksi CMV. Keadaan ini meningkat kurang lebih
1% setiap tahun. Pada keadaan sosial ekonomi yang jelek, atau di negara
berkembang, lebih dari atau sama dengan 80 - 90% masyarakat terinfeksi oleh
Cytomegalovirus.
Cytomegalovirus (CMV) merupakan penyebab infeksi kongenital dan
perinatal yang paling umum di seluruh dunia. Prevalensi infeksi CMV kongenital
bervariasi luas di antara populasi yang berbeda, ada yang melaporkan sebesar 0,2
–3% 5, ada pula sebesar 0,7 sampai 4,1%. Peneliti lain mendapatkan angka infeksi
1%-2% dari seluruh kehamilan.10
2.3.3 Etiologi
2.3.4 Transmisi
2.3.4.1 Transmisi intrauterus
Terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi (viremia) ibu menular ke
janin. Kejadian transmisi seperti ini dijumpai pada kurang lebih 0,5 – 1% dari
kasus yang mengalami reinfeksi atau rekuren.6 Viremia pada ibu hamil dapat
menyebar melalui aliran darah (per hematogen), menembus plasenta, menuju ke
14
fetus baik pada infeksi primer eksogen maupun pada reaktivasi, infeksi rekuren
endogen, yang mungkin akan menimbulkan risiko tinggi untuk kerusakan jaringan
prenatal yang serius.11 Risiko pada infeksi primer lebih tinggi daripada reaktivasi
atau ibu terinfeksi sebelum konsepsi. Infeksi transplasenta juga dapat terjadi,
karena sel terinfeksi membawa virus dengan muatan tinggi. Transmisi tersebut
dapat terjadi setiap saat sepanjang kehamilan namun infeksi yang terjadi sampai
16 minggu pertama,akan menimbulkan penyakit yang lebih berat.
15
2.3.4.3 Transmisi postnatal
Dapat terjadi melalui saliva, mainan anak-anak misalnya karena
terkontaminasi dari vomitus. Transmisi juga dapat terjadi melalui kontak langsung
atau tidak langsung, kontak seksual, transfusi darah, transplantasi organ.
16
akan mendapatkan kelainan kongenital. Selain itu wanita yang hamil dapat
mengalami keguguran akibat infeksi CMV.
17
c) Sensorineural hearing defisit (SNHD)
d) Hepatomegali dengan kadar bilirubin direk transaminase serum
meningkat.
2.3.6 Diagnosis
a) Infeksi primer didiagnosa atas dasar peningkatan 4x lipat titer IgG dalam
serum atau lebih penting IgM CMV antibodi pada serum maternal
b) Apabila titer antibodi anti CMV : IgM < 0,5 IU/mL ; IgG > 6 IU/mL
menunjukan infeksi CMV telah berlalu.
c) Titer antibodi anti- CMV IgM Optimal dicapai pada waktu 4-7 minggu
setelah infeksi primer.
d) Differensial diagnosis penderitaan dengan antibodi heterofil
mononukleosis negatife adalah penyakit serokoversi HIV.
2.3.7. Pengobatan
Pengobatan bertujuan untuk meredakan gejala dan mencegah komplikasi.
Pada pasien imunosupresi, CMV dapat diobati dengan asiklovir, gansiklovir,
valgansiklovir, sidofovir dan, mungkin, foskarnet. Yang paling penting, orang tua
dari anak-anak dengan infeksi CMV bawaan berat perlu konseling untuk
membantu mereka mengatasi kemungkinan kerusakan otak atau kematian.10
A. Gansiklovir
Gansiklovir terlisensi untuk terapi infeksi CMV. Nukleotida asiklik
sintetik secara struktural serupa dengan guanin. Indikasi obat ini untuk
anak immunocompromised seperti infeksi HIV, postransplan, dan lain-lain
jika secara klinis dan virologis membuktikan penyakit spesifik berakhirnya
organ yang spesifik.7 Pemberian Ganciclovir pada dewasa: dosis induksi 5
mg/kg dua kali sehari, intra vena selama 2 minggu, dipertahankan dengan
dosis 5 mg/kg/hari. Pemberian oral untuk mempertahankan dosis dalam
sirkulasi darah adalah 1 gram 3 kali sehari, perlu diperhatikan efek
samping yaitu gangguaan fungsi ginjal.
18
Pemberian Ganciclovir 12mg/kg/hr pada bayi dapat mengurangi
progresivitas ketulian dalam 2 tahun pertama kehidupannya. Pada balita,
terapi antiviral dengan gansiklovir mungkin berguna menurunkan
prevalensi sekuel perkembangan neural, umumnya tuli sensorineural.
Meskipun demikian, terapi pada neonatus harus dikonsultasikan oleh
ahlinya.7 Obat-obatan biasa digunakan pada infeksi CMV yang berat
berupa retinitis, esofagitis pada pasien dengan HIV, serta profilaksis pada
penerima transplantasi organ. Obat yang biasa digunakan antara lain
ganciclovir, foscarnet, cidofir, dan valgaciclofir. Akan tetapi, sampai
sekarang belum dievaluasi efektifitas obat tersebut. Obat-obatan tersebut
tidak dapat digunakan pada wanita hamil karena memiliki efek samping
terhadap janin.7
B. Immunoglobulin
Imunoglobulin digunakan sebagai imunisasi pasif untuk mencegah
penyakit Cytomegalovirus simtomatik. Bukti pada kehamilan
menyarankan infus Ig CMV pada wanita dengan infeksi primer dapat
mencegah transmisi dan memperbaiki kondisi kelahiran.7
Cytomegalovirus Intravenous Immune Globulin (Human) (CMV-
IGIV), adalah sebuah imunoglobulin G (IgG) mengandung sejumlah
standar antibodi terhadap sitomegalovirus (CMV). Ini dapat digunakan
untuk profilaksis penyakit sitomegalovirus terkait dengan transplantasi
ginjal, paru-paru, hati, pankreas dan jantung.7
2.3.8 Pencegahan
Belum didapatkan obat yang baik untuk mencegah terjadinya infeksi CMV
pada ibu dan janin yang dikandungnya. Dapat diusahakan :
1. Memberikan penerangan cara hidup yang higienis, menjauhi kontak
dengan cairan yang dikeluarkan oleh penderita CMV : urine, saliva, semen
dlsb.
2. Seorang calon ibu hendaknya menunda untuk hamil apabila secara
laboratorik dinyatakan terinfeksi CMV primer akut.
19
3. Bayi baru lahir dari ibu yang menderita infeksi CMV, perlu dideteksi IgM
anti-CMV untuk mengetahui infeksi kongenital.
4. Bagi ibu, terutama yang melahirkan bayi prematur untuk berhati-hati
dalam memberikan ASI. Bayi prematur imunitasnya masih rendah. ASI
yang mengandung virus CMV, didinginkan sampai –20oC selama
beberapa hari dapat menghilangkan virus. Cara lain pasteurisasi cepat.
2.4.1 Definisi
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks (virus herpes hominis) tipe 1 atau tipe 2 yang ditandai oleh adanya
vesikel yang berkelompok di atas kulit eritematosa pada daerah dekat mukokutan,
sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.
Virus herpes simpleks tipe 1 sebagian besar terkait dengan penyakit
orofacial, sedangkan virus herpes simpleks tipe 2 biasanya terkait dengan infeksi
perigenital. Tetapi, keduanya dapat menginfeksi daerah oral dan genital.
2.4.2 Epidemiologi
Usia dan Jenis kelamin merupakan faktor risiko penting yang terkait
dengan penambahan infeksi genital HSV-2. Bahkan, prevalensi infeksi HSV
meningkat dengan usia, mencapai puncak sekitar 40 tahun. Infeksi ini muncul
terkait dengan jumlah pasangan seksual, dan lebih sering pada wanita
dibandingkan pada pria. Selain itu, etnis, kemiskinan, penyalahgunaan kokain,
onset aktivitas seksual sebelumnya, perilaku seksual, dan vaginosis bakteri dapat
memfasilitasi risiko seorang wanita dari infeksi sebelum kehamilan.Infeksi yang
terjadi pada bayi jarang, berupa infeksi paru, mata dan kulit.7,16
2.4.3 Etiologi
20
Gambar 8. Virus herpes simplex
21
Gambar 1: Herpes labialis.
A. Infeksi virus herpes simpleks primer, virus bereplikasi di orofaringeal
dan naik dari saraf sensoris perifer ke ganglion trigeminal.
B. Herpes simplex virus dalam fase latent dalam ganglion trigeminal
C. Berbagai rangsangan memicu reaktivasi virus laten, yang kemudian
turun dari saraf sensorik ke daerah bibir atau perioral menyebabkan
herpes labialis rekuren.
22
Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian
yang serius, karna melalui plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal serta
dapat menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatus
mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup, menderita cacat
neurologik atau kelainan pada mata.
Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis,
keratokonjungtivis, atau hepatitis; disamping itu dapat juga timbul lesi pada kulit.
Beberapa ahli kandungan mengambil sikap partus secara seksio Caesaria, bila
pada saat melahirkan sang ibu menderita infeksi ini. Tindakan ini sebaiknya
dilakukan sebelum ketubah pecah atau paling lambat enam jam setelah ketuban
pecah.
Bila transmisi terjadi pada trimester I cenderung terjadi abortus;
sedangkan bila pada trimester II, terjadi prematuritas. Selain itu dapat terjadi
transmisi pada saat intrapartum. Infeksi HSV pada bayi baru lahir mungkin
didapat selama dalam kandungan, selama persalinan atau setelah lahir. Ibu
merupakan sumber infeksi tersering pada semua kasus. Herpes neonatus
diperkirakan terjadi pada sekitar satu dari 5.000 kelahiran setiap tahun. Bayi baru
lahir tampaknya tidak mampu membatasi replikasi dan penyebaran HSV sehingga
cenderung berkembang menjadi penyakit yang berat.
Jalur infeksi yang paling sering adalah penularan HSV bayi selama
pelahiran melalui kontak dengan lesi herpetik pada jalan lahir. Untuk menghindari
infeksi, dilakukan persalinan dengan seksio sesarea pada perempuan hamil yang
memilik herpes genital. Namun lebih banyak terjadi infeksi HSV neonatal dari
pada kasus herpes genital rekuren meskipun virus ditemukan pada bayi cukup
bulan.
Herpes neonatus dapat diperoleh pascalahir melalui pajanan terhadap
HSV-1 maupun HSV-2. Sumber infeksi mencakup anggota keluarga dan petugas
rumah sakit yang menyebarkan virus. Sekitar 75% infeksi herpes neonatal
disebabkan oleh HSV-2. Tidak tampak adanya perbedaan antara sifat dan derajat
berat herpes neonatus pada bayi prematur atau cukup bulan, pada infeksi yang
23
disebabkan ileh HSV-1 atau HSV-2, atau pada penyakit ketika virus didapatkan
selama persalinan atau pasca persalinan.
Infeksi herpes neonatus hampir selalu simtomatik. Angka mortalitas
keseluruhan pada penyakit yang tidak diobati adalah 50%. Bayi dengan herpes
neonatus terdiri dari tiga katagori penyakit : (1) lesi setempat di kulit, mata dan
mulut; (2) ensefalitis dengan atau tanpa terkenanya kulit setempat; (3) penyakit
diseminata yang mengenai banyak organ, termasuk sistem saraf pusat. Prognosis
terburuk (angka mortalitas sekitar 80%) terdapat pada bayi dengan infeksi
diseminata; banyak diantaranya mengalami ensefalitis. Penyebab kematian bayi
dengan penyakit diseminata biasanya pneumonitis virus atau koagulopati
intravaskular. Banyak yang selamat dari infeksi berat dapat hidup dengan
gangguan neurologi menetap.
2.4.6 Diagnosis
Semua yang diduga infeksi virus herpes harus dikonfirmasi melalui
pengujian virus atau serologis. Diagnosis herpes genital berdasarkan presentasi
klinis saja memiliki sensitivitas 40 % dan spesifisitas 99 % dan tingkat positif
palsu 20 %. Tes digunakan untuk mengkonfirmasi adanya infeksi HSVdapat
dibagi menjadi dua kelompok dasar: (1) teknik deteksi virusdan (2) teknik deteksi
antibodi. Teknik pengujian DNA virus utama adalah kultur virus dan deteksi
antigen HSVoleh polymerase chain reaction (PCR).16
Diagnosis HSV harus dikonfirmasi baik serologis atau dengan kultur virus.
Isolasi HSV dalam kultur sel adalah tes virologi pilihan untuk pasienyang mencari
perawatan medis untuk ulkus genital atau lainnyalesi mukokutan dan
memungkinkan perbedaan dari jenis virus (HSV-1 vs HSV-2). Sensitivitas uji ini
terbatas karena beberapa masalah yang berkaitan dengan pengambilan sampel dan
transportasi spesimen. Selain itu, sebagaipenyembuhan lesi, mereka cenderung
menjadi kultur positif. Dengan demikian, kultur genital positif memberikan bukti
konklusifinfeksi HSV genital; namun, hasil negatif tidakmengecualikan adanya
infeksi. Teknik polymerase chain reaction melibatkan amplifikasi urutan tertentu
DNA atau RNA sebelum deteksi dan dengan demikian dapat mendeteksi bukti
DNA virus pada konsentrasi rendah. Teknik PCR yang tersedia secara komersial
24
danbisa membedakan antara HSV-1 dan HSV-2. PCR memberikan sensitivitas
meningkat lebih dari kultur danakhirnya dapat menggantikan kultur sebagai
standar perawatan untukdiagnosis.16
2.4.7 Pengobatan
a. Edukasi
Pasien dengan herpes genital harus dinasehati untuk menghindari
hubungan seksual selama gejala muncul dan selama 1 sampai 2 hari
setelahnya dan menggunakan kondom antara perjangkitan gejala. Terapi
antiviral supressi dapat menjadi pilihan untuk individu yang peduli transmisi
pada pasangannya.
b. Agen Antiviral
Pengobatan dapat mengurangi gejala, mengurangi nyeri dan ketidak
nyamanan secara cepat yang berhubungan dengan perjangkitan, serta dapat
mempercepat waktu penyembuhan. Terapi antiviral mencegah multiplikasi
virus dan memperpendek lama erupsi. Pengobatan peroral, dan pada kasus
berat secara intravena adalah lebih efektif. Pengobatan hanya untuk
menurunkan durasi perjangkitan.
25
2.4.7.2 Herpes Genital Rekuren
Rekurensi bersifat “self limiting” dengan terapi suportif
Rekurensi dapat diringankan dengan pemberian antiviral sedini mungkin
saat erupsi belum muncul
Dosis :
o Acyclovir 5 dd 200 mg selama 5 hari
o Famciclovir 2 dd 125 mg selama 5 hari
o Valaciclovir 1 dd 500 mg selama 5 hari
2.4.7.3 Topikal
Penciclovir krim 1% (tiap 2 jam selama 4 hari) atau Acyclovir krim 5% (5
kali sehari selama 5 hari). Idealnya, krim ini digunakan 1 jam setelah munculnya
gejala, meskipun juga pemberian yang terlambat juga dilaporkan masih efektif
dalam mengurangi gejala serta membatasi perluasan daerah lesi.
2.4.8 Pencegahan
Memakai kondom dari awal sampai akhir setiap kali melakukan hubungan
seks.
Hindari kontak langsung dengan air liur yang terinfeksi
Hindari kontak langsung dengan penderita
26
Penderita yang diduga terinfeksi
Orang-orang yang memiliki banyak pasangan seks
Neonatus yang ibunya terinfeksi.
2.5. SIFILIS
2.5.1 Definisi
Sifilis kongenital adalah penyakit yang didapatkan janin dalam uterus dari
ibunya yang menderita sifilis.3 Infeksi sifilis terhadap janin dapat terjadi pada
setiap stadium sifilis dan setiap masa kehamilan. Dahulu dianggap infeksi tidak
dapat terjadi sebelum janin berusia 18 minggu, karena lapisan Langhans yang
merupakan pertahanan janin terhadap infeksi masih belum atrofi. Tetapi ternyata
dengan mikroskop elektron dapat ditemukan Treponema pallidum pada janin
berusia 9-10 minggu. Sifilis kongenital dini merupakan gejala sifilis yang muncul
pada dua tahun pertama kehidupan anak, dan jika muncul setelah dua tahun
pertama kehidupan anak disebut dengan sifilis kongenital lanjut. 12,13,14
2.5.2 Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Sshaudinn dan Hoffman
ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia
Spirochaetaceae dan genus Treponema. Bentuk seperti spiral teratur, panjangnya
antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri dari delapan sampai dua puluh empat
lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan
pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi
setiap tiga puluh jam. Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar
badan. Di luar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk
transfusi dapat hidup tujuh puluh dua jam. 12,13,14
Penularan sifilis dapat melalui cara sebagai berikut :
a) Kontak langsung : sexually tranmited diseases (STD)
27
b) Non-sexually : Transplasental, dari ibu yang menderita sifilis ke janin
yang dikandungnya.
c) Transfusi : Syphilis d’emblee, tanpa primer lesi8,9
2.5.3. Patofisiologi
Sifilis dapat ditularkan oleh ibu pada waktu persalinan, namun sebagian
besar kasus sifilis kongenital merupakan akibat penularan in utero. Resiko sifilis
kongenital berhubungan langsung dengan stadium sifilis yang diderita ibu semasa
kehamilan. Lesi sifilis kongenital biasanya timbul setelah 4 bulan in utero pada
saat janin sudah dalam keadaan imunokompeten. Penularan inutero terjadi
transplasental, sehingga dapat dijumpai Treponema pallidum pada plasenta, tali
pusat, serta cairan amnion. 12,13,14
Treponema pallidum melalui plasenta masuk ke dalam peredaran darah
janin dan menyebar ke seluruh jaringan. Kemudian berkembang biak dan
menyebabkan respons peradangan selular yang akan merusak janin. Kelainan
yang timbul dapat bersifat fatal sehingga terjadi abortus atau lahir mati atau terjadi
gangguan pertumbuhan pada berbagai tingkat kehidupan intrauterin maupun
ekstrauterin. Seperti terlihat pada bagan berikut ini 12,13,14
28
1. Sifilis kongenital dini
Gambaran klinis sifilis kongenital dini sangat bervariasi, mengenai
berbagai organ dan menyerupai sifilis stadium II. Karena infeksi pada janin
melalui aliran darah maka tidak dijumpai kelainan sifilis primer. Pada saat lahir
bayi dapat tampak sehat dan kelainan timbul setelah beberapa minggu, tetapi
dapat pula kelainan ada sejak lahir. Pada bayi dapat dijumpai kelainan berupa
kondisiberikut : 12,13,14
1. Pertumbuhan intrauterine yang terlambat
2. Kelainan membrane mukosa : Mucous patch dapat ditemukan dibibir,
mulut, farings, laring dan mukosa genital. Rinitis sifilitika (snuffles).
Hidung menjadi tersumbat sehingga menyulitkan pemberian makanan.
3. Kelainan kulit, rambut dan kuku dapat berupa makula eritem, papula,
papuloskuamosa dan bula. Bula dapat sudah ada sejak lahir, tersebar
secara simetris, terutama pada telapak tangan dan telapak kaki.
Makula, papula atau papulomatous tersebar secara generalisata
dan simetris. Pada kasus yang berat tampak kulit menjadi keriput
sehingga bayi tampakseperti orang tua. Rambut jarang dan kaku,
alopesia, areata terutama pada sisi dan belakang kepala.
Onikosifilitika yaitu kuku menjadi terlepas. Kuku baru yang
tumbuh berwarna suram, tidak teratur dan
menyempit pada bagian dasarnya.
4. Kelainan tulang pada 6 bulan pertama, osteokondritis,
periostitis, dan osteitis pada tulang-tulang panjang merupakan
gambaran yang khas.
5. Kelainan kelenjar getah bening : terdapatlimfadenopati generalisata
6. Kelainan alat-alat dalam : hepatomegali, splenomegali,
nefritis, nefrosis, pneumonia
7. Kelainan mata : Korioretinitis, glaukoma dan uveitis
8. Kelainan hematologi : anemia, eritroblastemia, retikulositosis,
trombositopenia, diffuse intravascular coagulation (DIC).
29
2. Sifilis kongenital lanjut
Sifilis ini biasanya timbul setelah umur 2 tahun, Gambaran klinis dari
sifilis kongenital dapat di bedakan dalam 2 tipe : 12,13,14
1. Inflamasi sifilis kongenital lanjut. Pada keadaan ini yang paling pentig
adalah adanya lesi kornea, tulang, dan sistem saraf pusat.
2. Stigmata sifilis kongenital Adanya trias Hutchinson, yaitu :
a) Perubahan pada gigi insisivus menjadi datar dan seperti gergaji
b) Opasitas kornea (kornea ditutupi kabut berwarna
putih) tanpa ilserasi permukaan kornea.
c) Ketulian karena ganguan nervus akustikus (N.VIII).
2.5.5 Diagnostik
Gejala klinis harus dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium
berupa: 12,13,14
1. Preparat basah yang diambil dari lesi dengan pemeriksaan lapangan gelap
(dark field microscope), akan tampak bayangan treponema.
2. Bahan apusan dari lesi difiksasi dan diberi label fluoresensi dan diperiksa
dengan mikroskop fluoresensi.
3. Penentuan antibodi dalam serum:
a) Uji yang menentukan antibodi nonspesifik: uji Wasserman, uji Kahn,
uji VDRL (Veneral Diseases Research Laboratory), uji RPR (Rapid
Plasma Reagin) dan uji Automated eagin.
b) Antibodi terhadap kelompok antigen yaitu: uji RPCF (Reiter
Protein Complement Fixation).
c) Uji yang menentukan antibodi spesifik yaitu: uji TPI (Treponema
Pallidum Immobilization); uji FTA-ABS (Fluorescent Treponema
Absorbed) ; uji TPHA (Treponema Pallidum Haemogglutination
Assay) dan uji Elisa (Enzyme linked immuno sorbent assay)
30
Pemeriksaan skrining dapat dilakukan memakai uji Wasserman-Kahn,
VDRL dan RPR dan dilakukan ulang pada umur kehamilan 28 – 32 minggu.
Semua uji ini akan positif 3–6 minggu setelah adanya infeksi. Uji positif palsu
bisa disebabkan oleh : penyakit kolagen, infeksi mononukleosus, malaria, lepra,
penyekit dengan panas, akibat vaksinasi, pecandu obat dan umur tua. Akan tetapi
bila uji positif harus dilanjutkan dengan uji antibodi yang spesifik. 12,13,14
BAB III
KESIMPULAN
Ibu hamil dengan janin yang dikandungnya sangat peka terhadap infeksi
dan penyakit menular. Beberapa di antaranya meskipun tidak mengancam nyawa
ibu, tetapi dapat menimbulkan dampak pada janin dengan akibat antara lain
abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat
bawaan. Kebanyakan penyakit infeksi diperparah dengan terjadinya kehamilan.
Dan ada pula Penyakit yang nampaknya tidak terlalu mengancam jiwa ibu hamil
bahkan tidak nampak gejala tetapi bisa membahayakan terhadap janin. Penyakit-
penyakit intrauterin yang sering menyebabkan dampak yang berbahaya pada janin
31
yaitu Penyakit TORCH ; merupakan singkatan dari T = Toksoplasmosis ; R =
1,2,3
Rubela (campak Jerman); C = Cytomegalovirus; H = Herpes simpleks.
Banyak penyakit infeksi intrauterin maupun yang didapat pada masa
perinatal yang berakibat sangat berat pada janin maupun bayi, bahkan
mengakibatkan kematian sehingga diperlukan diagnosa yang cepat dan tindakan
pengobatan serta pencegahan dengan vaksinasi maupun hubungan seksual yang
sehat dan baik yang dapat dilakukan oleh wanita hamil dan suami sehingga
diharapkan menurunkan angka kematian ibu maupun bayi.2
DAFTAR PUSTAKA
32
5. Griffiths PD, 2002: Emery VC. Cytomegalovirus. Dalam: Clinical
Virology. Washington: ASM Press. h.433-55
6. Akhter, Kauser dan Wills, Todd S. 2010. Cytomegalovirus. eMedicine
Infectious Disease. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/215702-overview. Diakses 29
September 2010.
7. Budipardigdo S, Lisyani. 2007. Kewaspadaan Terhadap Infeksi
Cytomegalovirus Serta Kegunaan Deteksi Secara Laboratorik. Universitas
Diponegoro: Semarang
8. Marino T, B Laartz, SE Smith, SG Gompf, K Allaboun, JE Marinez, et al.
2010. Viral Infections and Pregnancy. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/235213-overview. Diakses pada 28
September 2010
9. Schleiss, M.R., 2010. Cytomegalovirus Infection: Treatment &
Medication. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/963090-
treatment. Diakses pada 29 September 2010
10. Kim CS. 2010. Congenital and Perinatal Cytomegalovirus Infection.
Korean Journal of Pediatrics. 53(1): 14-20.
11. Wiknojosastro H. , Saifudin B. A. dan Rachimhadhi T., Ilmu Kebidanan.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Edisi 3 cetakan
Kesembilan. Jakarta 2007.
12. Muchlastriningsih E. Pengaruh Infeksi TORCH terhadap
Kehamilan .Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan
RI, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran 2006 .(151).
13. Infeksi dalam kehamilan http://spesial-torch.com/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=129
14. Judarwanto W. Infeksi TORCH Pada kehamilan : Bahaya bagi Janin dan
Pentingnya Pemeriksaan Laboratorium Saat Kehamilan
http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/03/infeksi-torch-pada-
33
kehamilan-bahaya-bagi-janin-dan-pentingnya-pemeriksaan-laboratorium-
saat-kehamilan/
15. Infeksi dalam kehamilan http://spesial-torch.com/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=129
34