You are on page 1of 44

ISSN : 2301-5977

Volume 5 Nomor 4 - Desember 2016 e-ISSN : 2527-7154

JURNAL
KEDOKTERAN
UNRAM

Penelitian: Laporan Kasus:


Prevalensi Gangguan Refraksi Korioretinitis Toksoplasmosis
pada Mahasiswa Baru pada Penderita Imunokompeten
Universitas Mataram Angkatan
2014 Tinjauan Pustaka:
Penggunaan Modified
Karakteristik Pengetahuan dan Sequential Organ Failure
Persepsi Penderita Akne Assessment (MSOFA) Sebagai
Vulgaris di Kota Mataram Salah Satu Skoring pada
Mortalitas Pasien Kritis
Faktor yang Berhubungan
dengan Pemberian ASI Eksklusif Komplikasi Intervensi Koroner
pada Ibu Bekerja di Kota Perkutan
Mataram

Perbandingan Hasil Point of


Care Testing (POCT) Asam Urat
dengan Chemistry Analyzer

RSI
VE
TA
I
UN

Penerbit :
S
M
M

AT
ARA
Fakultas Kedokteran UNRAM
SUSUNAN DEWAN REDAKSI
Jurnal Kedokteran Unram

Ketua Dewan Penyunting (Editor in Chief)


dr. Yunita Sabrina, M.Sc., Ph.D

Penyunting Pelaksana (Managing Editor)


dr. Mohammad Rizki, M.Pd.Ked., Sp.PK.

Penyunting (Editors)
dr. Dewi Suryani, M.Infect.Dis. (Med.Micro)
dr. Akhada Maulana, SpU.
dr. Seto Priyambodo, M.Sc.
dr. Herpan Syafii Harahap, SpS.
dr. Erwin Kresnoadi, Sp.An.
dr. Arfi Syamsun, Sp.KF., M.Si.Med.
dr. I Gede Yasa Asmara, Sp.PD., M.Med., DTM&H
dr. Ardiana Ekawanti, M.Kes
dr. Didit Yudhanto, Sp.THT&KL.

Tata Cetak (Typesetter)


Syarief Roesmayadi
Lalu Firmansyah
ISSN: 2301-5977
e-ISSN: 2527-7154

Jurnal Kedokteran Universitas Mataram


Volume 5 Nomor 4, Desember 2016

DAFTAR ISI

Penelitian
Prevalensi Gangguan Refraksi pada Mahasiswa Baru Universitas Mataram Angkatan 2014
Isna Kusuma Nintyastuti, Ni Nyoman Geriputri, Lale Maulin Prihatina,
Mayuarsih Kartika Syari, Ni Ketut Wilmayani ……….………................................................... 1

Karakteristik Pengetahuan dan Persepsi Penderita Akne Vulgaris di Kota Mataram


Dedianto Hidajat, Agriana Rosmalina Hidayati, Muthia Cenderadewi ……….…..................... 4

Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Bekerja di Kota
Mataram
Putu Aditya Wiguna, Eka Arie Yuliani, Wahyu Sulistya Affarah, Ni Made Reditya …………. 11

Perbandingan Hasil Point of Care Testing (POCT) Asam Urat dengan Chemistry Analyzer
Dewi Rabiatul Akhzami, Mohammad Rizki, Rika Hastuti Setyorini …...................................... 15

Laporan Kasus
Korioretinitis Toksoplasmosis pada Penderita Imunokompeten
Joko Anggoro …………………………………………….…………………………………….. 20

Tinjauan Pustaka
Penggunaan Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA) Sebagai Salah Satu
Skoring pada Mortalitas Pasien Kritis
Erwin Kresnoadi, Rina Lestari, Ommy Agustriadi ……………................................................. 28

Komplikasi Intervensi Koroner Perkutan


Yusra Pintaningrum ………..………………..…………………………..................................... 32

Panduan Penulisan Naskah ...................................................................................................... 38


Jurnal Kedokteran 2016, 5(4): 1-3
ISSN 2301-5977, e-ISSN 2527-7154

Prevalensi Gangguan Refraksi pada Mahasiswa


Baru Universitas Mataram Angkatan 2014
Isna Kusuma Nintyastuti, Ni Nyoman Geriputri, Lale Maulin Prihatina, Mayuarsih
Kartika Syari, Ni Ketut Wilmayani

Abstrak
Latar Belakang: Gangguan refraksi merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia. World Health
Organization (WHO) menyatakan 45 juta orang menjadi buta di seluruh dunia, dan 135 juta dengan
low vision. Dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) di Indonesia, sekitar 10% menderita kelainan
refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kaca mata koreksi masih sangat rendah sekitar 12,5%
dari prevalensi tersebut. Apabila kondisi ini tidak ditangani secara menyeluruh akan berdampak
negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajaran yang akan mempengaruhi
produktivitas dan mutu angkatan kerja (15-55 tahun).
Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi gangguan refraksi pada
mahasiwa baru Universitas Mataram angkatan 2014, mengetahui distribusi karakteristik subjek yang
diteliti, meliputi: jenis kelamin, usia, pendidikan orang tua, penghasilan rumah tangga, adanya
gangguan refraksi pada keluarga inti, waktu yang dihabiskan untuk membaca dan bermain game
komputer di rumah, riwayat pemeriksaan ketajaman pengelihatan dan pemakaian kacamata koreksi
sebelumnya, dan gejala gangguan pengelihatan serta untuk mengetahui frekuensi kejadian pada
berbagai tipe gangguan refraksi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dengan pengambilan sampel secara
kluster sesuai dengan fakultas pada mahasiswa baru Universitas Mataram angkatan 2014. Pengam-
bilan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner, pemeriksaan tajam penglihatan, pemeriksaan
autorefraktokeratometer dan koreksi subjektif pada penderita gangguan refraksi.
Hasil: Penelitian dilakukan pada 183 responden, 67 laki–laki dan 115 perempuan, dengan rerata umur
18,76±1,66 tahun. Responden terbanyak berasal dari fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (33%).
Sebagian besar memiliki orang tua dengan tingkat pendidikan terakhir SMA/sederajat (33% dan
31%) dan penghasilan kurang dari 2 juta per bulan (79%). Riwayat pemeriksaan tajam pengelihatan
sebelumnya hanya didapatkan pada 27% responden. Diagnosis terbanyak Myopia Simpleks (OD
8,74%, OS 12,02%) dan terjarang Astigmat Myopia Simpleks (0,55%). Dua puluh empat responden
sudah menggunakan kacamata dengan rerata umur mulai berkacamata 16,58±3,55 tahun. Tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna pada riwayat keluarga (p=0,4023). Lama penggunaan gadget
memiliki signifikansi terhadap risiko terjadinya gangguan refraksi (p=0,0177).
Kesimpulan: Myopia Simpleks merupakan diagnosis kelainan refraksi yang paling banyak ditemukan.
Tidak terdapat perbedaan bermakna pada faktor risiko riwayat keluarga dan didapatkan perbedaan
bermakna pada risiko lama penggunaan gadget.
Katakunci
gangguan refraksi, prevalensi, mahasiswa baru
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
*e-mail: isnasuninto@gmail.com

ini angka pemakaian kaca mata koreksi masih sangat


1. Pendahuluan rendah sekitar 12,5% dari prevalensi tersebut.
Gangguan refraksi merupakan salah satu penyebab ke- Beberapa faktor risiko penyebab kelainan refraksi
butaan di dunia. World Health Organization (WHO) adalah faktor genetik dan faktor lingkungan. Miopia
menyatakan 45 juta orang menjadi buta di seluruh dunia, bisa terjadi pada saat usia anak anak (5-7 tahun), usia
dan 135 juta dengan low vision. Diperkirakan gangguan muda (7- 16 tahun) dan dewasa (> 16 tahun). 2 Bebera-
refraksi menyebabkan 8 juta orang (18% dari penye- pa faktor lingkungan yang mempengaruhi progresivitas
bab kebutaaan global) mengalami kebutaan. 1 Gangguan miopia adalah aktivitas dekat seperti membaca, menulis,
penglihatan akibat kelainan refraksi dengan prevalen- melihat TV, komputer, game dan aktivitas dekat lainnya.
si sebesar 22,1%, menjadi masalah yang harus segera Riwayat keluarga orang tua ataupun saudara kandung
ditangani. Dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) dengan miopia juga merupakan faktor predisposisi terja-
sekitar 10% menderita kelainan refraksi. Sampai saat dinya miopia. Pada beberapa literatur didapatkan bahwa
2 Nintyastuti, dkk.

progresivitas miopia terjadi pada usia 6 sampai 15 ta- diagnosis terbanyak (OD 85.25% dan OS 85.79%), se-
hun. 3 dangkan Astigmat Myopia Simpleks menjadi kelainan
Semakin meningkatnya pemakaian alat canggih pa- refraksi terjarang yang didapatkan hanya 0.55%. Hasil
da anak-anak sangat memungkinkan terjadinya pening- ini berkebalikan dengan penelitian Ovenseri–Ogbomo
katan kejadian gangguan refraksi pada anak sehingga yang melaporkan Astigmatisme sebagai kelainan refrak-
diperlukan pemeriksaan secara dini pada anak sekolah si terbanyak, yaitu 55% dan Myopia hanya didapatkan
dasar. Penemuan kasus dengan lebih cepat memung- pada 18% responden. 4,5
kinkan penanganan yang lebih segera sehingga kualitas c. Faktor Risiko Kelainan Refraksi
penglihatan baik dan diharapkan prestasi belajar me- Sejumlah 24 orang responden sudah menggunakan ka-
ningkat. camata dengan rerata umur mulai berkacamata adalah
16.58 tahun (simpang baku 3.55). Pada kelompok res-
ponden dengan kelainan refraksi didapatkan hasil yang
sama besar antara riwayat kacamata pada keluarga po-
2. Metode Penelitian sitif dan riwayat keluarga negatif, sementara sebagian
Penelitian ini menggunakan metode potong lintang (cross-
sectional) dengan pengambilan sampel secara kluster
sesuai dengan fakultas pada mahasiswa baru Universi- Tabel 1. Karakteristik Responden
tas Mataram angkatan 2014. Pengambilan data akan Jumlah
dilakukan dengan menggunakan kuisioner, pemeriksaan Karakteristik
tajam penglihatan, pemeriksaan autokeratometer pada Umur, rerata (simpang baku) 18,76 (1,66)
penderita gangguan refraksi. Jenis Kelamin
Laki-laki, n(%) 67 (37)
Laki-laki, n(%) 115 (63)
Fakultas
3. Hasil dan Pembahasan Budidaya Perairan 4 (2)
a. Karakteristik Responden Ekonomi 28 (15)
Dari penelitian ini didapatkan total 183 responden, 67 FISIP 1 (1)
laki–laki (37%) dan 115 perempuan (63%). Rerata umur Hukum 3 (2)
yang didapatkan adalah 18.76 tahun dengan standar de- Keguruan dan Ilmu Pendidikan 61 (33)
viasi 1.66. Mahasiswa yang menjadi responden, paling Kehutanan 5 (3)
banyak berasal dari fakultas keguruan dan ilmu pen- MIPA 7 (4)
didikan (33%) dan paling sedikit dari fakultas teknik Pertanian 37 (20)
(8%). Sebagian besar responden memiliki orang tua, Peternakan 18 (10)
baik ayah maupun ibu, dengan tingkat pendidikan tera- Sosiologi 1 (1)
khir SMA/sederajat (33% dan 31%) dan berpenghasilan Teknik 15 (8)
kurang dari 2 juta tiap bulannya (79%). Riwayat pe- Teknik Elektro 1 (1)
meriksaan refraksi sebelumnya hanya didapatkan pada Teknologi Pangan dan Agroindustri 2 (1)
sebagian kecil responden (27%). Pendapatan Orang Tua
Hasil ini lebih besar dibanding penelitian di Gha- Kurang dari 2 juta 145 (79)
na yang melaporkan hanya sebagian kecil responden 2 juta - 8 juta 37 (20)
(0.6%) yang pernah menjalani pemeriksaan refraksi se- NA 1 (1)
belumnya, dan tidak didapatkan hubungan antara riwa- Pendidikan Ayah
yat pemeriksaan dengan kondisi sosial ekonomi orang Tidak sekolah 12 (7)
tua. 4 SD/sederajat 51 (28)
b. Kelainan Refraksi SMP/sederajat 15 (8)
Rerata Spherical Equivalent (SE) Autorefraktometer SMA/sederajat 61 (33)
pada penelitian ini adalah OD –1.64±1.15D dan OS Diploma 10 (5)
–1.7±1.04D. Tajam pengelihatan naturalis terburuk pada Sarjana 29 (16)
OD adalah 6/60 dan tajam pengelihatan terburuk OS ada- Pascasarjana 5 (3)
lah 20/180. Midelfart melaporkan rerata SE yang lebih Pendidikan Ibu
kecil, yaitu sebesar –0.59±1.75D setelah sebelumnya Tidak sekolah 23 (13)
menyingkirkan responden dengan tajam pengelihatan SD/sederajat 57 (31)
kurang dari 0.5 atau 20/40 pada salah satu mata. 5 SMP/sederajat 32 (17)
Pada pemeriksaan refraksi terhadap seluruh respon- SMA/sederajat 57 (31)
den Emetropia sebagai didapatkan diagnosis terbanyak, Diploma 1 (1)
yaitu OD 85.25% dan OS 85.79%. Ini lebih besar diban- Sarjana 12 (7)
ding dengan penelitian Midelfart di Norwegia yang men- Pascasarjana 1 (1)
dapatkan prevalensi Emetropia pada kelompok umur Pemeriksaan Refraksi
20–25 tahun sebesar 51.8%. Pada kelompok responden Sudah 50 (27)
dengan kelainan refraksi, didapatkan Myopia sebagai Belum 133 (73)

Jurnal Kedokteran
Prevalensi Gangguan Refraksi 3

Tabel 2. Kelainan Refraksi Tabel 3. Faktor Risiko Kelainan Refraksi

Aspek Jumlah Persentase Faktor Jumlah % p


(N) (%) (N)
Spherical Equivalent Auto- Berkacamata
refraktometer Ya 24
OD (rerata, simpangan baku) -1.64 1.15 Tidak 159
OS (rerata, simpangan baku) -1.7 1.04 Umur mulai berkacamata 16.58 3.55
Visus OD (untuk yang berkacama-
6/60 4 2.17 ta) Rerata (simpang ba-
20/60 12 6.52 ku)
20/50 6 3.26 Riwayat Keluarga 0.4023
20/30 1 0.54 Kelompok dengan ke-
20/20 156 84.78 lainan refraksi
20/160 3 1.63 Ya 12
Visus OS Tidak 12
20/120 4 2.17 Kelompok tanpa
20/160 4 2.17 kelainan refraksi
20/180 1 0.54 Ya 61
20/20 155 84.24 Tidak 97
20/25 2 1.09 Lama Gadget 0.0177
20/40 5 2.72 Berkacamata, rerata (sim- 9.69 3.7
20/50 1 0.54 pang baku)
20/80 10 5.43 Tidak berkacamata, rera- 7.61 4.36
Diagnosis OD ta (simpang baku)
Emetropia 156 85.25
Myopia simpleks 16 8.74
Astigmat Myopia Simpleks 1 0.55
Astigmat myopia Compositus 10 5.46 Daftar Pustaka
Diagnosis OS 1. Pizzarello L, Abiose A, Ffytche T, Duerksen R, Thu-
Emetropia 157 85.79 lasiraj R, Taylor H, et al. VISION 2020: The Right to
Myopia simpleks 22 12.02 Sight: a global initiative to eliminate avoidable blind-
Astigmat Myopia Simpleks 01 0.55 ness. Archives of ophthalmology. 2004;122(4):615–
Astigmat myopia Compositus 3 1.64 620.

2. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and Clinical


besar responden tanpa kelainan refraksi tidak memiliki Science Course: Section 3 Clinical Optics. American
riwayat keluarga berkacamata. Analisis terhadap faktor Association of Ophthalmology. 2011;.
risiko riwayat keluarga menunjukkan hasil tidak dida-
3. Troilo D, Wallman J. The regulation of eye growth
patkan perbedaan yang bermakna (p=0.4023). Rerata
and refractive state: an experimental study of emme-
penggunaan gadget pada responden berkacamata sebe-
tropization. Vision research. 1991;31(7):1237–1250.
sar 9.69 jam (simpang baku 3.7) dan pada responden
tanpa kacamata sebesar 7.61 jam (simpang baku 4.36), 4. Ovenseri-Ogbomo G, Omuemu V. Prevalence of
dengan hasil analisis p=0.0177. Hasil yang berbeda refractive error among school children in the Cape
didapatkan pada penelitian di Kerala, India yang men- Coast Municipality, Ghana. Clin Optom. 2010;2:59–
dapatkan adanya signifikansi pada predisposisi genetik, 66.
namun mendukung adanya pengaruh lamanya penggu-
naan gadget terhadap kejadian kelainan refraksi. 6 5. Midelfart A, Kinge B, Midelfart S, Lydersen S. Pre-
valence of refractive errors in young and middle-aged
adults in Norway. Acta Ophthalmologica Scandina-
vica. 2002;80(5):501–505.
4. Kesimpulan
6. George S, Joseph BB. Study on the prevalence and
1. Myopia Simpleks merupakan diagnosis kelainan underlying factors of myopia among the students of
refraksi yang paling banyak ditemukan a medical college in Kerala. International Journal of
Medical Research & Health Sciences. 2014;3(2):330–
2. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada faktor 337.
risiko riwayat keluarga

3. Terdapat perbedaan bermakna pada risiko lama


penggunaan gadget

Jurnal Kedokteran
Jurnal Kedokteran 2016, 5(4): 4-10
ISSN 2301-5977, e-ISSN 2527-7154

Karakteristik Pengetahuan dan Persepsi


Penderita Akne Vulgaris di Kota Mataram
Dedianto Hidajat, Agriana Rosmalina Hidayati, Muthia Cenderadewi

Abstrak
Pendahuluan: Beberapa penelitian di negara maju maupun berkembang telah menunjukkan bah-
wa penderita akne vulgaris (AV) mendapatkan informasi yang inadekuat tentang penyebab dan
penanganan AV.
Tujuan: Mengetahui karakteristik pengetahuan dan persepsi penderita AV terkait faktor penyebab,
sumber informasi, penatalaksanaan dan dampak psikososial AV di kota Mataram
Metode: Penelitian ini merupakan survei karakteristik pengetahuan dan persepsi dengan rancangan
penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional.
Hasil: Dari 162 responden, 51,2% sudah menderita AV selama lebih dari 1 tahun dan 54,9% termasuk
derajat ringan. Sebanyak 30% responden menyatakan bahwa AV disebabkan oleh penyebab tunggal
dan jenis penyebab terbanyak adalah karena kurangnya kebersihan wajah (34,8%). Stres (25,3%)
merupakan faktor yang paling banyak dianggap berperan dalam memperberat AV. Tiga sumber
informasi terbesar terkait AV berasal dari internet (20,9%), televisi/radio (19,9%) dan dokter (17,2%).
Harapan responden (55,6%) pengobatan berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu untuk
mengatasi AV. Sebagian besar responden (38,3%) telah mencoba lebih dari 1 jenis produk untuk
mengatasi AV sebelum memutuskan untuk berobat ke dokter dan sabun pembersih jerawat merupakan
produk yang paling banyak digunakan oleh responden (38,1%). Sebagian besar responden (36,4%)
menyatakan bahwa menderita AV memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penampilan.
Kesimpulan: masih adanya informasi yang belum adekuat dari sumber yang telah ada terkait penyebab,
faktor yang mencetuskan dan penanganan AV.
Katakunci
Pengetahuan, persepsi, akne vulgaris, Mataram
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Bagian Farmakologi, Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas
Mataram/RSUD Provinsi Nusa Tenggara Barat
*e-mail: bonavaldyjeremiah@gmail.com

dapat mengarah kepada berkembangnya pemahaman


1. Pendahuluan yang lebih baik penderita akne terhadap kondisinya se-
Akne vulgaris (AV) merupakan penyakit inflamasi kro- hingga dapat memperbaiki penyesuaian diri, kepatuhan
nik pada unit pilosebasea ditandai oleh lesi yang pleio- dalam pengobatan dan kualitas hidup penderita. 7 Be-
morfik seperti komedo, papul, pustul dan nodul dengan berapa penelitian sebelumnya menunjukkan penderita
berbagai tingkat keparahan maupun luasnya. Walaupun akne vulgaris mendapatkan informasi yang inadekuat
menderita akne bukan sesuatu hal yang mengancam jiwa tentang penyebab dan penanganan akne vulgaris baik di
bahkan dapat sembuh sendiri, namun dapat menyebab- negara maju maupun berkembang. 3,8
kan gangguan fisik dan psikologik yang bermakna. 1,2 Perilaku sehat merupakan respons seseorang terha-
Akne vulgaris yang umumnya disebut sebagai jera- dap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,
wat merupakan salah satu penyakit kulit yang paling se- sistem pelayanan kesehatan, dan lingkungan. Respons
ring dijumpai di dunia dengan prevalensi mencapai 80% atau reaksi manusia ini dapat bersifat pasif maupun aktif.
pada usia remaja pertengahan sampai akhir. 3,4 Peneli- Pengetahuan dan persepsi merupakan bagian dari res-
tian di Indonesia menyebutkan prevalensi AV sebesar pons yang bersifat pasif yang berfungsi untuk mengolah
68,2% dimana laki-laki (37,3%) lebih tinggi daripada stimulus dari luar. Pengetahuan atau kognitif merupakan
perempuan (30,9%) dengan usia terbanyak 15-16 ta- ranah yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
hun. 5 seseorang karena perilaku yang didasarkan oleh pengeta-
Walaupun terdapat banyak kepustakaan yang meng- huan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
ulas dengan mendalam tentang patofisiologik, gambaran didasari oleh pengetahuan. Persepsi merupakan pro-
klinis, dampak psikososial dan pengobatan akne namun ses mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan
beberapa penelitian masih menunjukkan kurangnya in- dengan tindakan yang akan diambil. Setiap orang mem-
formasi pengetahuan dan persepsi penderita akne terha- punyai persepsi yang berbeda, meskipun mengamati
dap kondisi penyakitnya. 3,6 Padahal informasi tersebut terhadap objek yang sama. Perbedaan persepsi dapat
Karakteristik Pengetahuan dan Persepsi Penderita Akne Vulgaris 5

bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu diantara- dicoba sebelum berobat ke dokter dan pengaruh akne
nya adalah pengetahuan. Pengetahuan dapat membentuk vulgaris terhadap kehidupan sehari-hari responden
pengalaman terhadap persepsi. Pengetahuan membantu Langkah penelitian ini adalah pada tahap awal be-
mengenali berbagai stimulus yang timbul dan kemudian rupa penyusunan kuesioner penelitian, kemudian mela-
menjadi persepsi. 9,10 kukan penyamaan persepsi mengenai diagnosis AV dan
Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan dari pe- penentuan derajat keparahan AV dengan dokter yang
nelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pe- bertugas di tempat penelitian. Penelitian ini telah men-
ngetahuan dan persepsi penderita akne vulgaris di kota dapatkan ethical clearance dari Komisi Etik Fakultas Ke-
Mataram sehingga dapat menjadi masukan bagi klini- dokteran Universitas Mataram dengan nomor 142/UN
si dalam merencanakan strategi penatalaksanaan akne 18.8/ ETIK/2013.
vulgaris terutama dari aspek komunikasi, informasi dan Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti melakuk-
edukasi dalam mencapai hasil pengobatan yang optimal. an penjelasan kepada responden kemudian responden
mengisi surat persetujuan menjadi responden penelitian
dan kuesioner penelitian sebelum berkonsultasi dengan
2. Metode dokter. Diagnosis kerja dan penentuan derajat keparah-
an AV dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
Penelitian ini merupakan suatu survei karakteristik pe- dengan gambaran klinis yang khas untuk AV menggu-
ngetahuan dan persepsi dengan rancangan penelitian nakan kaca pembesar. Data bersifat primer yang dikum-
deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Peneliti- pulkan langsung dari responden. Setelah jumlah sampel
an dilaksanakan di poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan terpenuhi, peneliti memeriksa kelengkapan data yang
Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provin- diperoleh dan menganalisis secara statistik kemudian
si Nusa Tenggara Barat (NTB), RSUD Kota Mataram, menyajikannya dalam bentuk tabel dan grafik.
praktek swasta dokter Spesialis Kulit dan Kelamin dan
klinik kecantikan di wilayah kota Mataram pada bulan
Mei sampai dengan September 2013.
3. Hasil Penelitian
Responden penelitian ini yaitu penderita AV pada
periode penelitian yang memenuhi kriteria inklusi se- 3.1 Karakteristik Responden
bagai berikut: laki-laki dan perempuan berusia 15-30 Sebanyak 162 penderita AV terpilih menjadi responden
tahun, menderita akne vulgaris berdasarkan anamnesis dalam penelitian ini. Tabel 1 menampilkan data menge-
dan gambaran klinik, dapat mengerti bahasa tulisan dan nai karakteristik responden.
verbal, dan bersedia menjadi responden penelitian (ber-
sedia diwawancara, dilakukan pemeriksaan fisik dan Tabel 1. Karakteristik Responden
mengisi kuesioner) dengan menandatangani surat per- Karakteristik N= 162 (%)
setujuan penelitian setelah diberi penjelasan (informed Umur
consent). Kriteria eksklusi adalah menderita penyakit 15-20 tahun 54(33.3)
kulit selain akne vulgaris, menderita penyakit sistemik 21-25 tahun 73(45.1)
baik kronik maupun akut, dan menderita salah satu gang- 26-30 tahun 35(21.6)
guan baik bicara, penglihatan, pendengaran, maupun Jenis kelamin
psikiatri. Laki-laki 68(42.0)
Pemilihan responden penelitian dilakukan dengan Perempuan 98(58.0)
cara consecutive sampling. Penderita AV yang sesuai Pendidikan Terakhir
dengan kriteria penelitian digunakan sebagai respon- Tidak sekolah 0(0.0)
den penelitian. Pengambilan sampel dilakukan sampai SD 0(0.0)
jumlah sampel terpenuhi. Besar sampel minimal un- SLTP 13(8.0)
tuk penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus SLTA 109(67.3)
besar sampel untuk uji deskriptif adalah 105 orang. Akademi/Perguruan Tinggi 40 (24.7)
Dalam penelitian survei ini menggunakan instrumen Pekerjaan
berupa kuesioner penelitian yang terdiri dari kelompok Tidak bekerja/Ibu Rumah Tangga 6 (3.7)
pertanyaan sebagai berikut : Wiraswasta 10(6.2)
1. Karakteristik responden : usia, jenis kelamin, pendi- Karyawan Swasta 20(12.3)
dikan, pekerjaan, status perkawinan, riwayat AV dalam Pegawai Negeri Sipil 15(9.3)
keluarga, lama menderita akne vulgaris dan derajat ke- Pelajar/Mahasiswa 111(68.5)
parahan akne vulgaris menggunakan kriteria dari Indo- Status Perkawinan
nesia Acne Expert Meeting tahun 2012 Belum Menikah 122(75.3)
2. Pengetahuan dan persepsi terkait AV : penyebab, fak- Sudah Menikah 40(24.7)
tor yang memperberat, prognosis, pengobatan AV yang Riwayat Keluarga
meliputi lama dan jenis pengobatan yang ingin dicoba Ya 55(34.0)
dan dihindari, sumber informasi dan kepuasan terhadap Tidak 107(66.0)
sumber informasi tersebut, faktor yang mempengaruhi
responden untuk berobat, produk kosmetik yang pernah Dari hasil pemeriksaan fisik terhadap derajat kepa-

Jurnal Kedokteran
6 Hidajat, dkk.

rahan akne pada responden, sebagian besar responden dan sebagian kecil (12%) yang menjawab tidak tahu apa-
(54.9%) termasuk derajat ringan dan tidak terdapat per- kah AVdapat disembuhkan dan sebanyak 1% responden
bedaan bermakna derajat keparahan akne pada respon- menjawab bahwa AV tidak dapat disembuhkan.
den laki-laki maupun perempuan (p>0,05).(lihat tabel 2)
Lokasi AV pada sebagian besar responden (89.5%) pada
wajah dan sebagian kecil berlokasi juga di punggung
(10.5%). Lima puluh lima orang responden (34.0%) me-
miliki riwayat keluarga menderita AV. Dari responden
yang memiliki riwayat keluarga menderita AV, sebagi-
an besar responden (65%) menyebutkan bahwa yang
memiliki riwayat AV adalah ibu kandung responden.

Tabel 2. Derajat Keparahan Akne Vulgaris


Derajat Berat
Jenis Kela- Derajat Derajat
min Ringan Sedang
Laki-laki 25(39.06%) 28(43.75%) 11(17.19%)
Perempuan 51(52.04%) 37(37.75%) 10(10.24%)
Total 76(46.9%) 65(40.12%) 21(12.96%)
Gambar 2. Jumlah Penyebab Akne Vulgaris

3.2 Lama Menderita Akne Vulgaris Sebelum Ber-


obat ke Dokter
Delapan puluh tiga orang responden (51.2%) sudah men-
derita AV selama lebih dari 1 tahun sebelum memutusk-
an untuk memeriksakan diri ke dokter (lihat gambar 1)
dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara lamanya
menderita AV antara responden laki-laki dan perempuan
(p> 0,05).

Gambar 3. Jenis Penyebab Akne Vulgaris

Tiga sumber informasi terbesar terkait AV bagi res-


ponden berasal dari internet (20,9%), televisi/ radio
(19,9%) dan dokter (17,2%). Dari sumber informasi
yang didapat oleh responden sebelum berobat, sebanyak
48% responden belum puas dengan informasi yang su-
dah diperoleh. Sebagian besar responden (63%) me-
meriksakan keluhan akne vulgarisnya ke dokter atas
Gambar 1. Lama Menderita Akne Vulgaris Sebelum kehendak sendiri.
Berobat ke Dokter
Untuk menilai persepsi responden mengenai pengo-
batan AV, terdapat 3 aspek yang dinilai yaitu persepsi
responden mengenai lama pengobatan, jenis pengobat-
3.3 Karakteristik Pengetahuan dan Persepsi Ter- an yang ingin dicoba dan yang ingin dihindari serta
kait Akne Vulgaris produk kosmetik yang pernah dicoba sebelum meme-
Dari 162 responden, 48 responden (30%) menyatakan riksakan diri ke dokter. Dari 162 responden, sebagian
bahwa AV disebabkan oleh penyebab tunggal, sedang- besar 90 orang (55,6%) responden berharap pengobatan
kan yang lainnya menyatakan penyebab AV adalah le- berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu untuk
bih dari satu.(lihat gambar 2) Sebagian besar responden mengatasi AV.
menyebutkan jenis penyebab AV adalah karena kurang- Sembilan puluh sembilan orang responden (61,1%)
nya kebersihan wajah (34.8%). (lihat gambar 3) Stres memilih untuk mencoba penggunaan obat oles sebagai
(25,3%) merupakan faktor yang paling banyak dianggap pengobatan AV dan suntik jerawat merupakan pengobat-
berperan dalam memperberat AV. Sebagian besar res- an AV yang paling dihindari (38,9%). Adapun alasan
ponden (87%) menjawab bahwa AV dapat disembuhkan, responden menghindari pengobatan tersebut antara la-

Jurnal Kedokteran
Karakteristik Pengetahuan dan Persepsi Penderita Akne Vulgaris 7

Gambar 4. Faktor yang Memperberat Akne Vulgaris Gambar 6. Sumber Informasi Terkait Akne Vulgaris

Gambar 5. Prognosis Akne Vulgaris Gambar 7. Faktor yang Mempengaruhi Responden untuk
Memeriksakan Akne Vulgaris ke Dokter

in khawatir prosedur pengobatan menyakitkan (38,3%),


khawatir terhadap efek samping (33,3%), dan tidak me-
termasuk di Indonesia. Penelitian ini mengeksplora-
mahami prosedur pengobatan (25,9%).
si bagaimana pengetahuan dan persepsi pasien terhadap
Sebagian besar responden telah mencoba lebih dari
AV yang diderita sebagai faktor penting dalam keber-
1 jenis produk untuk mengatasi AV sebelum memutusk-
hasilan pengobatan dan keteraturan dalam berobat. 5,11
an untuk berobat ke dokter yaitu 62 responden (38.3%)
Prevalensi AV mencapai puncaknya pada masa remaja
mencoba 2 jenis produk kosmetik. Sebagian kecil res-
tengah-akhir. 2 Pada penelitian berbasis komunitas di
ponden (5%) bahkan telah mencoba > 5 jenis produk
Inggris, Australia, New Zealand dan Singapura mene-
kecantikan. Dari keseluruhan produk kosmetik yang per-
mukan prevalensi AV berkisar 27% pada masa remaja
nah dicoba oleh responden untuk mengatasi AV sebelum
awal (10-13 tahun) hingga 93% pada masa remaja akhir
berobat ke dokter, sabun pembersih jerawat merupakan
(17-19 tahun). 12 Di Indonesia, penelitian Tjekyan me-
produk yang paling banyak digunakan oleh responden
laporkan prevalensi AV paling tinggi pada usia 15-16
(38.1%).
tahun. 5 Penelitian Al-Hoqail menunjukkan perempuan
Sebagian besar 59 responden (36.4%) menyatakan
(55.6%) lebih banyak menderita AV daripada laki-laki
bahwa menderita AV memiliki pengaruh yang sangat
(55.6%) dan paling banyak dijumpai pada kelompok
besar terhadap penampilan. Sebaliknya, sebagian besar
pelajar dan mahasiswa walaupun tidak menunjukkan
responden menyatakan AV hanya sedikit mempengaruhi
perbedaan bermakna. 6 Sejalan dengan penelitian Yahya
dalam aspek pergaulan dengan teman (44.4%) dan da-
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara ke-
lam pekerjaan sehari-hari (38.9%) bahkan 65 responden
jadian dan derajat keparahan AV antara laki-laki dan
(40.1%) menyatakan AV tidak mempengaruhi pergaulan
perempuan (p=0.4), dimana sebagian besar responden
sehari-hari dengan keluarga.
menderita akne derajat ringan. 12 Pada penelitian ini, AV
paling banyak diderita kelompok usia 21-25 tahun dii-
kuti kelompok usia 15-20 tahun, dimana sebagian besar
4. Pembahasan responden berprofesi sebagai mahasiswa. Akne vulgaris
Akne vulgaris merupakan salah satu penyakit kulit kro- lebih banyak ditemukan pada perempuan (58%) daripa-
nis yang sering dijumpai di berbagai belahan dunia da laki-laki (42%) namun tidak ada perbedaan bermakna

Jurnal Kedokteran
8 Hidajat, dkk.

Gambar 8. Lama Pengobatan Akne Vulgaris Gambar 10. Metode Pengobatan Akne Vulgaris yang
Dihindari

Gambar 9. Metode Pengobatan Akne Vulgaris yang Ingin


Dicoba Gambar 11. Jenis Produk Kosmetik yang Pernah Dicoba
untuk Mengatasi Akne Vulgaris Sebelum Berobat ke Dokter

antara derajat keparahan akne vulgaris antara responden


laki-laki maupun perempuan dengan sebagian besar res- kait dengan pengetahuan tentang jenis penyebab akne
ponden (46.9%) menderita AV derajat ringan. Adanya vulgaris yaitu kurangnya kebersihan wajah yang dise-
riwayat keluarga menderita AV pada responden pene- butkan oleh sebagian besar responden pada penelitian
litian ini sejalan dengan penelitian Di Landro A yang ini. Hal yang sama didapatkan juga pada penelitian di
menyatakan adanya hubungan riwayat keluarga first de- Pakistan dan Nigeria bahwa infeksi dan kurangnya ke-
gree relatives dengan kerentanan individu terhadap AV bersihan wajah (kurang membersihkan wajah dengan
baik dari segi lamanya menderita maupun derajat kepa- sabun) menjadi faktor penyebab utama terjadinya akne
rahannya. 13 vulgaris sehingga hal ini menjadi meluasnya pengguna-
Pada penelitian ini sebagian besar responden (51.2%) an sabun pembersih wajah dalam mengobati akne vul-
telah menderita AV lebih dari 1 tahun. Hal ini sejalan garis sebelum berobat ke dokter. 8,12 Penggunaan sabun
dengan penelitian di Pakistan dan Kanada yang menye- pembersih wajah dalam pengobatan akne vulgaris masih
butkan sebagian besar pasien (54% dan 74%, secara bersifat kontroversial dan intuitif. 2 Belum banyak pe-
berurutan) menderita akne vulgaris lebih dari 1 tahun nelitian mengenai efikasi membersihkan wajah dengan
sebelum berkonsultasi ke dokter. 8,14 Hal ini dapat dise- menggunakan sabun ini. Penelitian Choi dkk mereko-
babkan adanya variasi dalam perilaku mencari pengo- mendasikan mencuci wajah dengan sabun yang lembut
batan yang terkait dengan kurangnya pengetahuan dan dua kali sehari dan menyimpulkan mencuci wajah yang
persepsi tentang AV di antara populasi pada umunya terlalu sering tidak memberikan manfaat seperti yang
dan di antara pasien AV sendiri. 7 diketahui sebelumnya. 15
Sebagian besar responden 38.3% telah mencoba le- Stres (25.3%) dianggap sebagai faktor yang paling
bih dari 1 jenis produk bahkan 5% responden telah men- banyak memperberat terjadinya akne vulgaris diikuti
coba > 5 jenis produk kecantikan untuk mengatasi AV oleh faktor kebersihan (21.1%) dan faktor makanan/diet
sebelum memutuskan untuk berobat ke dokter, dimana (20.8%) secara berurutan pada penelitian ini. Hal ini se-
produk kosmetik yang paling sering digunakan adalah jalan dengan penelitian Tan dkk, Al-Hoqail dan Darwish
sabun pembersih wajah (38.1%). Hal ini diduga ter- dkk yang menyebutkan sebagian besar faktor yang mem-

Jurnal Kedokteran
Karakteristik Pengetahuan dan Persepsi Penderita Akne Vulgaris 9

masih kurang. Hasil ini memperlihatkan fungsi penting


media massa dalam menyediakan informasi terkait AV
baik yang akurat maupun yang tidak akurat sehingga
bisa berdampak terhadap berkembangnya konsep yang
keliru terkait AV. 14
Sebagian besar responden (87%) penelitian ini men-
jawab bahwa AV dapat disembuhkan dan 55.6% res-
ponden berharap pengobatan berlangsung dalam waktu
kurang dari 2 minggu untuk mengatasi akne vulgaris.
Penelitian Tahir menunjukkan 58% AV dapat disem-
buhkan dan 42% menjawab lamanya pengobatan seha-
rusnya berlangsung 2-4 minggu, 20% menjawab dalam
beberapa hari namun ada yang menjawab pengobatan
AV dapat berlangsung lebih dari 6 bulan. 8 Perjalanan
Gambar 12. Pengaruh Akne Vulgaris Terhadap Beberapa penyakit AV berlangsung kronis dengan durasi beberapa
Aspek Kehidupan Responden tahun dapat diikuti oleh remisi spontan pada sebagian
besar kasus, dimana sebagian besar akan mengalami
remisi di awal usia duapuluhan sedangkan ada kasus AV
perberat akne vulgaris adalah stres. 6,7,14 Penelitian di yang berlangsung lebih lama hingga dekade ketiga atau
China menyebutkan terdapat korelasi yang bermakna an- bahkan keempat. 2
tara stres dan derajat keparahan AV. Stres dapat menye- Sebagian besar responden (61,1%) memilih untuk
babkan peningkatan kadar hormon glukokortikoid dan mencoba penggunaan obat oles sebagai pengobatan AV
androgen yang mengakibatkan terjadinya eksaserbasi dan suntik jerawat merupakan pengobatan AV yang pa-
AV. 16 Terkait dengan faktor kebersihan wajah, beberapa ling dihindari (38,9%). Pada penelitian Tahir menye-
penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berva- butkan 46% responden memilih terapi topikal, 23% me-
riasi. Penelitian Yahya (26.3%) dan Tahir (64%) me- milih terapi sistemik dan 31% tidak memiliki preferensi
nunjukkan bahwa faktor kebersihan wajah yang kurang terkait terapi yang ingin dicoba. 8 Berbeda dengan pene-
sebagai faktor yang paling besar memperberat terjadi- litian Tan menyebutkan sebagian besar tidak memiliki
nya AV sedangkan faktor kebersihan wajah bukan yang preferensi terhadap terapi tertentu, namun sebesar 26%
pencetus terbanyak pada penelitian Al Hoqail (15%) responden memilih terapi topikal sebagai pilihan terapi-
dan Tan (29%). 6,8,12,14 Peran makanan/diet baik dalam nya. 14
menyebabkan maupun memperberat AV masih kontro- Pada penelitian ini, sebagian besar responden (36.4%)
versial. Intervensi diet dengan menggunakan karbohi- menyatakan bahwa menderita AV memiliki pengaruh
drat dengan indeks glikemik rendah diduga mempunyai yang sangat besar terhadap penampilan. Wajah sebagai
efek terapeutik terhadap pengobatan AV karena efek salah satu lokasi predileksi AV memegang peran pen-
diet ini terhadap sistem endokrin. Sebuah penelitian ting dalam penampilan. Tahir menyatakan 46% respon-
epidemiologi menunjukkan rendahnya prevalensi AV dennya menjawab dampak AV yang besar terhadap pe-
pada komunitas yang mengkonsumsi makanan tinggi nampilan dan 22% menjawab hanya berdampak sedang,
asam lemak omega 3. Penelitian lainnya menunjukkan berbeda dengan penelitian Tan dkk, yang menyebutk-
rendahnya angka kejadian akne vulgaris pada remaja an hanya 14% responden beranggapan AV berpengaruh
yang mengkonsumsi ikan dan seafood. 8 besar terhadap penampilan dan 43% yang menjawab ber-
Pada penelitian ini menemukan tiga sumber informa- pengaruh sedang. 8,14 Terkait dengan aspek hubungan
si terkait AV paling banyak berasal dari internet (20,9%), interpersonal baik dengan keluarga, teman dan peker-
televisi/radio (19,9%) dan dokter (17,2%). Hasil pene- jaan sehari-hari, pada penelitian ini menyatakan hanya
litian ini cukup menarik karena dari data Kementerian sedikit terpengaruh oleh terjadinya AV. Hal ini sejalan
Komunikasi dan Informatika, jumalh pengguna internet dengan penelitian Tan dkk yang menyatakan sebagian
di Indonesia menduduki peringkat keenam terbesar sete- besar responden menyatakan bahwa AV tidak berdam-
lah China, Amerika Serikat, India, Brazil dan Jepang. 17 pak besar terhadap kehidupan sehari-hari seperti dalam
Hal ini berbeda dengan penelitian Tan yang menyebutk- pergaulan, kerja maupun aktivitas di sekolah. Adanya
an sumber informasi yang didapat paling banyak dari fakta yang menunjukkan bahwa AV berdampak terhadap
dokter keluarga (71%), Tahir menunjukkan teman seko- stres psikis dan sebaliknya, sehingga dampak negatif AV
lah/kerabat/orangtua dan Tallab menunjukkan sumber terhadap aktivitas sehari-hari tampak jelas terutama pada
informasi terbesar dari dokter dan teman namun tidak aktivitas sosial individu. 8,16 Beberapa penelitian yang
ada yang menjawab sumber informasi dari internet. 3,8,14 sudah ada mengenai hubungan antara derajat keparahan
Namun demikian dari sumber informasi yang didapat, AV dengan dampak psikososial menunjukkan hasil yang
sebanyak 48% responden belum puas dengan informa- bervariasi, namun demikian strategi penanganan AV se-
si yang sudah diperoleh dimana hal ini sejalan dengan baiknya mengkolaborasi antara aspek subyektif pasien
penelitian Tan yang menunjukkan sebagian besar respon- dan aspek obyektif derajat keparahan AV sehingga dapat
den (58%) menyatakan bahwa informasi yang didapat dihasilkan suatu penatalaksanaan yang komprehensif.

Jurnal Kedokteran
10 Hidajat, dkk.

10. Sekuler R, Blake R. Perception. McGraw Hill


5. Kesimpulan Publishing Company, Singapore. 1997;.
Penelitian ini menyimpulkan masih adanya informasi 11. Al Mashat S, Al Sharif N, Zimmo S. Acne aware-
yang belum adekuat dari sumber yang telah ada terkait ness and perception among population in Jeddah,
penyebab, faktor yang mencetuskan dan penanganan AV Saudi Arabia. Journal of the Saudi Society of Der-
dan dampak AV yang berpengaruh sangat besar terhadap matology & Dermatologic Surgery. 2013;17(2):47–
penampilan walaupun tidak mengancam jiwa. Seperti 49.
yang diketahui bahwa pengetahuan dan persepsi pasi-
en terhadap penyakitnya merupakan hal yang esensial 12. Yahya H. Acne vulgaris in Nigerian adolescents–
dalam penatalaksanaan penyakit yang diderita terutama prevalence, severity, beliefs, perceptions, and
dalam meningkatkan kepatuhan pasien dalam berobat. practices. International journal of dermatology.
Oleh karena itu, dengan adanya hasil penelitian ini diha- 2009;48(5):498–505.
rapkan dapat menjadi masukan terkait penatalaksanaan
13. Di Landro A, Cazzaniga S, Parazzini F, Ingordo
AV secara menyeluruh terutama di kota Mataram dengan
V, Cusano F, Atzori L, et al. Family history, bo-
pendekatan komunikasi, informasi dan edukasi terhadap
dy mass index, selected dietary factors, menstrual
pasien AV.
history, and risk of moderate to severe acne in ado-
Pemberitahuan : Tidak ada konflik kepentingan da-
lescents and young adults. Journal of the American
lam penulisan artikel ini. Sumber dana penelitian: PNBP-
Academy of Dermatology. 2012;67(6):1129–1135.
DIPA Universitas Mataram tahun 2013
14. Tan JK, Vasey K, Fung KY. Beliefs and perceptions
of patients with acne. Journal of the American
Daftar Pustaka Academy of Dermatology. 2001;44(3):439–445.
1. Layton A. Disorders of the sebaceous glands. dalam
15. Choi YS, Suh HS, Yoon MY, Min SU, Kim JS, Jung
Burns. T, Breathnach, S, Cox, N & Griffiths, C(Eds)
JY, et al. A study of the efficacy of cleansers for
Rook’s textbook of dermatology 8th ed Massachu-
acne vulgaris. Journal of Dermatological Treatment.
setts, Wiley-Blackwell. 2010;42:1–86.
2010;21(3):201–205.
2. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss
16. Fried RG, Wechsler A. Psychological problems
J. Acne vulgaris and acneiform eruptions. Dalam:
in the acne patient. Dermatologic Therapy.
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
2006;19(4):237–240.
Leffel DJ, Wolff K, eds. Fitzpatrick’s dermatology
in general medicine. 8th Ed. New York: McGraw- 17. Kementerian Komunikasi dan Informati-
Hill. 2012;p. 897–917. ka RI. Pengguna internet Indonesia no-
mor enam dunia. 2016;Available from:
3. Tallab TM. Beliefs, perceptions and psychological
https://kominfo.go.id/content/
impact of acne vulgaris among patients in the Assir
detail/4286/pengguna_internet_
region of Saudi Arabia. West African journal of
indonesia_nomor_enam_dunia/0/
medicine. 2004;23(1):85–87.
sorotan_mediapada30November2016.
4. Rzany B, Kahl C. Epidemiology of acne vulgaris.
JDDG: Journal der Deutschen Dermatologischen
Gesellschaft. 2006;4(1):8–9.
5. Tjekyan, Suryadi R. Kejadian dan Faktor Resiko
Akne Vulgaris. M Med Indones. 2008;43(1):37–43.
6. Al-Hoqail IA. Knowledge, beliefs and perception of
youth toward acne vulgaris. Saudi medical journal.
2003;24(7):765–768.
7. Darwish MA, Al-Rubaya AA. Knowledge, belie-
fs, and psychosocial effect of acne vulgaris among
Saudi acne patients. ISRN dermatology. 2013;2013.
8. Tahir CM, Ansari R, et al. Beliefs, perceptions
and expectations among acne patients. J Pak Assoc
Dermatol. 2012;22:98–104.
9. Notoatmodjo S. Pendidikan dan perilaku kesehat-
an. Dalam: Notoatmodjo S. Kesehatan Masyarakat.
Ilmu dan Seni Rineka Cipta Jakarta. 2007;p. 106–
164.

Jurnal Kedokteran
Jurnal Kedokteran 2016, 5(4): 11-14
ISSN 2301-5977, e-ISSN 2527-7154

Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian


ASI Eksklusif pada Ibu Bekerja di Kota Mataram
Putu Aditya Wiguna, Eka Arie Yuliani, Wahyu Sulistya Affarah, Ni Made Reditya

Abstrak
Pendahuluan: ASI eksklusif berdampak luas pada status gizi dan kesehatan balita. Angka keberhasilan
pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja sangat rendah.
Tujuan: Menentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja
di Kota Mataram
Metode: Penelitian deskriptif analitik dengan rancangan potong lintang menggunakan kuisioner
dilakukan sepanjang Desember 2013. Responden merupakan ibu bekerja di Kota Mataram, memiliki
bayi berusia 6-36 bulan, menyusui, bayi juga tidak memiliki kelainan kongenital atau penyakit kronis.
Hasil: Dari 288 ibu yang diwawancarai, 135 (46,9%) memberikan ASI eksklusif. Odd ratio menyusui
dengan ASI eksklusif lebih tinggi pada ibu yang mendapat dukungan suami (OR = 21,32, CI = 2,28-
160,77, p = 0,000), memiliki sarana dan prasarana menyusui di tempat kerja (OR=1,91, CI = 1,12-3.26,
p = 0,017), memiliki durasi perjalanan ke tempat kerja kurang dari 15 menit (OR=1,93, CI = 1,20-3,11,
p=0,006) dan menyiapkan ASI perah (OR = 2,45, CI = 1,52-3,95, p=0,000). Paparan terhadap saran
untuk memberikan makanan atau minuman lain selain ASI pada bayi berumur kurang dari 6 bulan,
lamanya jam kerja, jabatan ibu di tempat kerja, dan lamanya cuti menyusui tidak berhubungan dengan
keberhasilan pemberian ASI eksklusif (p>0,05).
Kesimpulan: Keberhasilan menyusui dengan ASI Eksklusif pada ibu bekerja berhubungan dengan
dukungan suami, ketersediaan sarana dan prasarana menyusui di tempat kerja, durasi perjalanan ke
tempat kerja kurang dari 15 menit dan menyiapkan ASI perah.
Katakunci
ASI eksklusif, Ibu bekerja, ASI perah.
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
*e-mail: aditya.ku2004@gmail.com

Sehat 2010 dimana 80% dari ibu meyusui memberikan


1. Pendahuluan ASI eksklusif. 8 Beberapa faktor berhubungan dengan
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) harus menjadi prioritas keberhasilan pemberian ASI eksklusif baik dari ibu ma-
karena dampaknya yang luas terhadap status gizi dan upun kondisi tempat bekerja. Pendidikan tampaknya
kesehatan balita. ASI eksklusif selama enam bulan masa berkorelasi negatif, dimana keberhasilannya justru lebih
awal kehidupan merupakan makanan yang paling baik tinggi pada ibu yang berpendidikan rendah dibanding
bagi tumbuh kembang dan dapat melindungi bayi dari ibu yang berpendidikan tinggi. 9 Hubungan ketersediaan
berbagai penyakit berbahaya seperti diare, pneumonia, sarana prasarana pendukung ibu menyusui di tempat
dan sepsis neonatorum. 1,2 kerja, jarak tempuh ke tempat kerja, durasi jam kerja
Kondisi pemberian ASI eksklusif di Indonesia sa- juga perlu diperhitungkan kontribusinya. Perlu dila-
ngat mengkhawatirkan. Berdasarkan Riset Kesehatan kukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang
Dasar tahun 2010, persentase menyusui eksklusif bayi berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu
usia 5 bulan hanya 15,3%. 3 Kondisi ini diperberat de- bekerja.
ngan adanya sekitar 41,7-46,2% ibu bekerja yang mem-
berikan makanan prelakteal pada usia 0-23 bulan, angka
ini tidak mengalami perbaikan jika dibandingkan de- 2. Metode
ngan hasil Riskesdas 2013 yang pemberiannya menca- Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik
pai 42,8-45,7%. 3,4 dengan desain potong lintang. Populasi penelitian ada-
Riset di sejumlah wilayah di Jakarta menunjukkan lah ibu menyusui yang bekerja di Kota Mataram. Pe-
keberhasilan menyusui eksklusif pada ibu bekerja sangat ngambilan sampel dilakukan pada bulan Desember 2013,
rendah, hanya 3,8%. 5 Padahal menurut Suvey Demogra- di seluruh Puskesmas di Kota Mataram. Kriteria inklusi
fi Kesehatan Indonesia tahun 2007, 57% tenaga kerja di dalam penelitian ini antara lain ibu menyusui memili-
Indonesia adalah wanita. 6 Ibu bekerja memiliki peluang ki pekerjaan di luar rumah, usia anak 6-36 bulan, dan
7,9 kali lebih besar untuk tidak menyusui secara eksklu- bersedia menjadi responden dalam penelitian ini dengan
sif. 7 Hal ini menyulitkan pencapaian target Indonesia menandatangai formulir persetujuan keikutsertaan.
12 Wiguna, dkk.

Kriteria eksklusi adalah bayi yang memiliki kelain- Sebagian besar responden menerima saran untuk
an kongenital atau penyakit kronis, serta ibu menyusui memberikan makanan/minuman selain ASI sebelum ber-
yang memiliki penyakit kronis, malignansi, instabilitas usia 6 bulan (78,1%), sebagian besar justru mendapat
psikologis, atau dalam terapi obat yang dapat berbahaya saran dari tenaga kesehatan (53,1%). Hanya 23,1% res-
bagi bayi jika bayi disusui. Pengambilan sampel meng- ponden yang tidak mendapat saran untuk memberikan-
gunakan metode purposive sampling, dengan total 288 nya. Disini dapat dilihat bahwa tenaga kesehatan yang
responden. Pengumpulan data dilakukan dengan wa- semestinya mendukung pemberian ASI eksklusif justru
wancara terbimbing menggunakan kuisioner. Data yang mengarahkan untuk pemberian makanan/minuman se-
diperoleh kemudian dianalisis menggunakan program lain ASI. Hal ini tidak sesuai dengan amanat PP no 33
SPSS for Windows R release 16.00. tahun 2012 tentang ASI Eksklusif. 10 Paparan terhadap
saran untuk memberikan makanan/minuman selain ASI
Tabel 1. Karakteristik Responden ternyata tidak mempengaruhi keberhasilan pemberian
ASI eksklusif (p=0,202).
Karakteristik n %
Hampir semua suami memberikan dukungan pada
Usia Ibu istri mereka (92,4%), hanya 7,6% suami yang tidak men-
620 6 2,1 dukung pemberian ASI eksklusif. Dukungan suami me-
21-30 171 59,4 miliki odd ratio keberhasilan pemberian ASI eksklusif
31-40 109 37,8 (OR = 21,32, CI = 2,28-160,77, p = 0,000). Hal ini per-
>40 2 0,7 lu menjadi perhatian karena penelitian lain cenderung
Median 29 menekankan dukungan anggota keluarga lain misalnya
Durasi ASI Eksklusif dukungan ibu dan saudara perempuan yang ternyata juga
Tidak ASI Eksklusif 153 53,1 mempengaruhi perilaku pemberian ASI. 11
ASI Eksklusif 135 46,9
Sebagian responden memiliki durasi perjalanan da-
Pekerjaan Ibu
ri rumah ke tempat kerja yang singkat, kurang dari 15
PNS/TNI/POLRI 109 37,8
menit (55,9%). Hal ini dimungkinkan kondisi geografis
Karyawan Swasta 78 27,1
Kota Mataram. 12 Durasi perjalanan ibu yang singkat ber-
Wiraswasta 52 18,1
hubungan dengan pemberian ASI eksklusif (OR=1,93,
Petani/buruh tani 10 3,5
CI = 1,20-3,11, p=0,006). Walaupun mayoritas respon-
Lain-Lain 37 12,8
den tidak menyiapkan ASI perah (47,2%), durasi per-
Pendidikan Ibu
jalanan yang singkat membuat ibu lebih praktis untuk
Tamat/Tidak Tamat SD 18 6,3
pulang ke rumah demi menyusui anaknya.
SMP 33 11,5
Ketersediaan sarana dan prasarana untuk menyusui
SMA 91 31,6
di tempat kerja memegang peranan penting dalam ke-
Diploma 67 23,3
berhasilan pemberian ASI eksklusif, ibu yang memiliki
Sarjana 79 27,4
sarana dan prasarana menyusui di tempat kerja memiliki
odd ratio pemberian ASI eksklusif lebih baik (OR=1,91,
CI = 1,12-3.26, p = 0,017). Penyediaan ASI perah juga
berhubungan, dimana ibu yang menyiapkan ASI perah
3. Hasil dan Pembahasan memiliki odd ratio keberhasilan pemberian ASI eksklu-
sif lebih tinggi (OR = 2,45, CI = 1,52-3,95, p=0,000).
Dari total dua ratus delapan puluh delapan responden
yang kami wawancarai didapatkan 135 ibu bekerja (46,9%)
yang berhasil memberikan ASI eksklusif sampai dengan
usia 6 bulan. Median usia responden adalah 29 tahun. 4. Kesimpulan
Sebagian besar (59,4%) berusia 21-30 tahun. Pendidik-
1. Faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI
an terakhir didominasi pendidikan menengah dan tinggi,
eksklusif pada ibu bekerja di Kota Mataram ada-
dimana tamatan SMA (31,6%), diikuti lulusan sarja-
lah ibu yang mendapat dukungan suami, memiliki
na (27,4%). Berdasarkan pekerjaannya, sebagian besar
sarana dan prasarana menyusui di tempat kerja,
bekerja sebagai PNS/TNI/POLRI (37,8%) dan karyaw-
memiliki durasi perjalanan ke tempat kerja kurang
an swasta 78 orang (27,1%), hanya 3,5% yang bekerja
dari 15 menit dan menyiapkan ASI perah untuk
sebagai petani atau buruh tani 10 orang (3,5%). Pola
bayinya.
pekerjaan wilayah perkotaan tampak disini, dimana per-
tanian sudah ditinggalkan.Hasil ini tidak jauh berbeda
2. Paparan terhadap saran untuk memberikan makan-
dengan penelitian di sejumlah wilayah di Jakarta. 5
an /minuman lain selain ASI pada bayi berumur
Hampir semua responden melakukan perawatan an- kurang dari 6 bulan, lamanya jam kerja, jabatan
tenatal di tenaga kesehatan (99,7%), dimana sebagian ibu di tempat kerja, dan lamanya cuti menyusui ti-
besar mengunjungi dokter kandungan (45,5%), diiku- dak berhubungan dengan keberhasilan pemberian
ti bidan (49,3%), Pemeriksaan di dukun hanya 0,3%. ASI eksklusif (p>0,05).
Lokasi perawatan antenatal tidak berhubungan dengan
keberhasilan pemberian ASI eksklusif (p=0,347).

Jurnal Kedokteran
Faktor Pemberian ASI Eksklusif 13

Tabel 2. Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan Pemberian ASI Eksklusif

Faktor yang mempengaruhi ASI Non ASI Total Nilai p

ekslusif ekslusif (n)


Perawatan Antenatal
Tenaga Kesehatan 135 152 287 0,347
Dukun 0 1 1
Saran pemberian makanan/ minuman sela-
in ASI
Ada 101 124 225 0,202
Tidak ada 34 29 63
Dukungan suami
Mendukung 134 132 266 0,000*
Tidak mendukung 1 21 22
Lama perjalanan dari rumah ke tempat
kerja
6 5 menit 87 74 161 0,006*
>15 menit 48 79 127
Durasi Bekerja di luar rumah
6 8 jam 98 101 199 0,228
> 8 jam 37 52 89
Cuti Melahirkan
6 3 Bulan 102 112 214 0,648
> 3 Bulan 33 41 74
Jabatan
Bukan manajer/setingkat manajer 127 145 272 0,797
Manajer/setingkat manajer 8 8 16
Sarana dan Prasarana Pendukung Pembe-
rian ASI
Tersedia 107 102 209 0,017*
Tidak tersedia 28 51 79
Menyiapkan ASI perah
Menyiapkan ASI perah 87 65 152 0,000*
Tidak Menyiapkan ASI perah 48 88 136

7. Subrata M. Perilaku Menyusui Eksklusif pada Ibu-


Daftar Pustaka Ibu yang Melahirkan di PK.Sint Carolur dan Faktor-
1. Anderson JW, Johnstone BM, Remley DT. Breast- Faktor yang Berhubungan. FKM UI. Depok : Uni-
feeding and cognitive development: a meta- versitas Indoneisa; 2004.
analysis. The American journal of clinical nutrition. 8. Kesehatan D. Rencana pembangunan kesehatan
1999;70(4):525–535. menuju Indonesia sehat 2010. Departemen tsb.;
2. Black RE, Morris SS, Bryce J. Where and why are 1999.
10 million children dying every year? The lancet. 9. Nurjanah N, Rachmani E. Implementasi Pasal
2003;361(9376):2226–2234. 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Ten-
3. Penelitian B. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Ke- tang Hak Menyusui Pekerja Perempuan Selama
menterian Kesehatan RI. 2010;. Waktu Kerja Analisis Perilaku pada Institusi Ke-
sehatan dan Non Kesehatan di Kota Semarang.
4. Penelitian B. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Ke- JURNAL PROMOSI KESEHATAN INDONESIA.
menterian Kesehatan RI. 2013;. 2008;3(1):10–23.

5. Fauzie R, Suradi R, Hadinegoro SRS. Pattern and 10. RI PP. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
influencing factors of breastfeeding of working mo- Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu
thers in several areas in Jakarta. Paediatrica Indone- Ibu Eksklusif. 2012 (diunduh 25 Februari 2012).
siana. 2007;47(1):27–31. Tersedia dari URL: HYPERLINK http://www dep-
kes go id/downloads/PP% 20A SI pdf. 2012;.
6. Statistik BP. Survei Demografi dan Kesehatan Indo-
nesia (SDKI) 2007. Jakarta, Badan Pusat Statistik. 11. Swarts S, Salome Kruger H, Dolman RC. Factors
2008;. affecting mothers’ choice of breastfeeding vs. for-

Jurnal Kedokteran
14 Wiguna, dkk.

mula feeding in the lower Umfolozi district war


memorial hospital, KwaZulu-Natal. Journal of Inte-
rdisciplinary Health Sciences. 2010;15(1):119–126.
12. Mataram PDK. Kota Mataram Dalam Angka. Ma-
taram : Pemerintah Daerah Kota Mataram. 2011;.

Jurnal Kedokteran
Jurnal Kedokteran 2016, 5(4): 15-19
ISSN 2301-5977, e-ISSN 2527-7154

Perbandingan Hasil Point of Care Testing


(POCT) Asam Urat dengan Chemistry Analyzer
Dewi Rabiatul Akhzami, Mohammad Rizki, Rika Hastuti Setyorini

Abstrak
Latar belakang: Hiperurisemia merupakan peningkatan kadar asam urat dalam darah. Pada dekade
terakhir prevalensi hiperurisemia cenderung meningkat di seluruh dunia. Oleh karena itu, dibutuhkan
pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kadar asam urat serum. Alat yang telah digunakan
sebagai alat standar dalam pemeriksaan laboratorium adalah chemistry analyzer. Seiring perkem-
bangan teknologi dan pengetahuan, terdapat alat lain yang dapat digunakan yaitu point of care testing
(POCT).
Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan hasil antara point of care testing (POCT) asam urat dengan
chemistry analyzer.
Metode: Penelitian dengan desain studi perbandingan dengan metode potong lintang (cross-sectional).
Pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik consecutive random sampling dan memenuhi kriteria
inklusi (n=42). Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel darah dari vena antecubital, kemudian
dilakukan pemeriksaan dengan point of care testing (POCT) dan chemistry analyzer. Uji statistika
yang digunakan yaitu uji Wilcoxon untuk mengetahui perbedaan hasil pemeriksaan asam urat antara
alat POCT dan chemistry analyzer.
Hasil: Kadar asam urat serum yang diperiksa dengan point of care testing (POCT) dengan strip/stik
berkisar antara 3,1-11,1 mg/dl dengan nilai tengah 5,65 mg/dl dan rentang antar kuartil (interquartile
range [IQR]) 7,4 mg/dl sedangkan kadar asam urat serum responden yang diperiksa dengan menggu-
nakan chemistry analyzer berkisar antara 3,1-12,3 mg/dl dengan nilai tengah 5,45 mg/dl dan rentang
antar kuartil (interquartile range [IQR]) 7,1 mg/dl. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
pemeriksaan asam urat dengan POCT dan chemistry analyzer (p=0,7460; uji Wilcoxon).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan hasil antara point of care testing (POCT) asam urat dengan
chemistry analyzer.
Katakunci
Asam urat, hiperurisemia, point of care testing (POCT), chemistry analyzer
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
*e-mail: mohammadrizki.md@gmail.com

lakukan penyerapan cahaya pada panjang gelombang


1. Pendahuluan tertentu oleh sampel yang diperiksa. 6–8 Adapun prinsip
Hiperurisemia merupakan peningkatan kadar asam urat pemeriksaan asam urat dengan chemistry analyzer yai-
dalam darah. Pada dekade terakhir prevalensi penderita tu asam urat dioksidasi dengan bantuan enzim uricase
hiperurisemia cenderung meningkat di seluruh dunia. 1 menjadi allantoin dan hydrogen peroksida. Selain itu,
Oleh karena itu, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium terdapat juga enzim peroksidase yang akan membantu
untuk mengetahui kadar asam urat dalam darah. Alat H2 O2 bereaksi dengan 4-Aminoantipirin dan mengha-
yang telah digunakan sebagai alat standar dalam peme- silkan senyawa yang berwarna. Warna yang dihasilkan,
riksaan laboratorium adalah chemistry analyzer. 2 Sei- intensitasnya sebanding dengan kadar asam urat dan
ring perkembangan teknologi dan pengetahuan, terdapat diukur pada panjang gelombang 546 nm secara fotome-
alat lain yang dapat digunakan yaitu point of care testing tri. 9,8
(POCT). 3–5 Selain chemistry analyzer, terdapat alat lain yang
Chemistry analyzer merupakan salah satu alat labo- dapat digunakan yaitu point of care testing (POCT). PO-
ratorium canggih yang didesain untuk bekerja dengan CT merupakan pemeriksaan laboratorium sederhana de-
ketelitian tinggi dan dengan waktu yang cepat serta da- ngan menggunakan sampel darah dalam jumlah sedikit
pat menangani banyak sampel sekaligus secara otoma- yang dapat dilakukan di luar laboratorium yang hasilnya
tis. Alat ini mampu menggantikan prosedur-prosedur tersedia dengan cepat karena tanpa membutuhkan trans-
analisis manual dalam laboratorium, rumah sakit, dan portasi spesimen dan persiapan. 3–5 POCT merupakan
industri. 2 Chemistry analyzer merupakan salah satu alat prosedur laboratorium medis yang dapat dilakukan seca-
pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan meto- ra langsung di samping pasien karena memiliki reagen
de fotometer yang memiliki prinsip kerja dengan me- yang siap untuk digunakan. 3,5 Meskipun pemeriksaan
16 Akhzami, dkk.

dengan point of care testing (POCT) terutama dilakukan Tabel 1. Kadar Asam Urat Serum Responden Laki-Laki dan
di rumah sakit dan praktik dokter, pemeriksaan ini juga Perempuan dengan Pemeriksaan Menggunakan Point of Care
sering dilakukan di tempat lain oleh masyarakat luas mi- Testing (POCT)
salnya pasien mengecek sendiri glukosa darah dengan Kadar Asam Urat Serum (mg/dL) Jumlah, n(%)
menggunakan POCT untuk memonitor kadar glukosa Laki-laki
darah. 3 3-7,2 11 (78,57)
Umumnya pemeriksaan dengan point of care tes- >7,2 3 (21,43)
ting (POCT) menggunakan teknologi biosensor yang Perempuan
menghasilkan muatan listrik dari interaksi kimia anta- 2-6 15 (53,57)
ra zat tertentu dalam darah (misalnya asam urat) dan >6 13 (46,43)
elektroda strip. Perubahan potensial listrik yang ter-
jadi akibat reaksi kedua zat tersebut akan diukur dan
dikonversi menjadi angka yang sesuai dengan jumlah hasil pemeriksaan asam urat serum dengan chemistry
muatan listrik yang dihasilkan. Angka yang dihasilkan analyzer dikatakan eurisemia apabila kadar asam urat
dalam pemeriksaan dianggap setara dengan kadar zat serum berkisar antara 4,4-7,6 mg/dl (262-452 µmol/L)
yang diukur dalam darah. 10 pada laki-laki yang berusia 50-59 tahun dan berkisar an-
Adapun terkait kadar asam urat dalam darah kapiler tara 2,3-6,6 mg/dl (137-393 µmol/L) pada perempuan
dan vena sebenarnya tidak ada perbedaan karena setelah yang berusia 50-59 tahun. Adapun pada rentang usia
asam urat diproduksi, asam urat akan didistribusikan ke 60-90 tahun, hasil pemeriksaan asam urat serum dengan
berbagai organ tubuh terutama dalam plasma darah dan chemistry analyzer dikatakan eurisemia apabila berkisar
cairan sinovial. Karena asam urat secara langsung terdis- antara 4,2-8,0 mg/dl (250-476 µmol/L) pada laki-laki
tribusi dalam plasma darah maka sampel pemeriksaan dan berkisar antara 3,5-8,3 mg/dl (208-434 µmol/L)
yang diambil dari darah vena (pada chemistry analyzer pada perempuan.
dengan metode fotometer) ataupun dari darah kapiler Analisis data statistik pada penelitian ini menggu-
(pada point of care testing dengan metode biosensor) nakan software SOFA statistics and analysis versi 1.4.6
tidak berpengaruh terhadap hasil pemeriksaan asam urat for windows . R Pada software ini, hasil uji normalitas
serum karena yang diambil sebagai sampel pemeriksaan data ditampilkan dalam bentuk gambaran histogram. Pa-
adalah bagian serum saja. 11 da penelitian ini data tidak berdistribusi normal sehingga
dilakukan analisis data menggunakan uji komparasi non-
parametrik dengan uji Wilcoxon.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain studi perbandingan
dengan metode potong lintang (cross-sectional). 12 Pe- 3. Hasil dan Pembahasan
nelitian ini dilakukan pada penduduk yang bertempat 3.1 Karakteristik Responden
tinggal di Kecamatan Sekarbela Mataram Provinsi Nusa Penelitian ini melibatkan 42 responden yang merupakan
Tenggara Barat pada bulan September - November 2015. penduduk yang tinggal di Kecamatan Sekarbela Ma-
Pengambilan sampel penelitian menggunakan tehnik taram. Responden pada penelitian ini didistribusikan
consecutive random sampling dan memenuhi kriteria berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan
inklusi sehingga didapatkan jumlah sampel penelitian faktor obesitas. Dari 42 responden yang diteliti, respon-
sebanyak 42 orang. 13 Kriteria inklusi pada penelitian den dengan rentang usia 50-59 tahun sebanyak 4 orang
ini yaitu penduduk di Kelurahan Karang Pule dan Kelu- (9,5%), rentang usia 60-90 tahun sebanyak 38 orang
rahan Tanjung Karang Kecamatan Sekarbela Mataram, (90,5%). Adapun responden dengan jenis kelamin laki-
usia di atas 50 tahun dan bersedia menjadi responden laki sebanyak 14 orang (33,3%) dan responden dengan
penelitian. Penelitian ini telah mendapatkan persetuju- jenis kelamin perempuan sebanyak 28 orang (66,7%).
an dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Universitas Sebagian besar responden penelitian (92,86%) memi-
Mataram. liki indeks massa tubuh (IMT) <30 kg/m2. Distribusi
Variabel pada penelitian ini yaitu kadar asam urat responden berdasarkan pendidikan terakhir, seluruh res-
serum yang diperiksa dengan point of care testing (PO- ponden pada penelitian ini memiliki pendidikan terakhir
CT) dan kadar asam urat serum yang diperiksa dengan sekolah rakyat (SR) yang setara dengan sekolah dasar
chemistry analyzer. Pada penelitian ini POCT dan che- (SD).
mistry analyzer digunakan untuk mengukur kadar asam
urat serum dengan sampel diambil dari darah vena an- 3.2 Hasil Pemeriksaan Asam Urat Responden
tecubital kemudian hasil pemeriksaan kadar asam urat dengan Point of Care Testing (POCT) dan
serum dengan alat tersebut dikategorikan menjadi eu- Chemistry Analyzer
risemia dan hiperurisemia. Hasil pemeriksaan asam Tabel 1 menunjukkan hasil pemeriksaan kadar asam
urat serum dengan POCT dikatakan eurisemia apabi- urat serum responden laki-laki dan perempuan dengan
la kadar asam urat serum berkisar antara 3-7,2 mg/dl menggunakan alat point of care testing (POCT). Pada
(179-428 µmol/L) pada laki-laki dan berkisar antara 2- tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar res-
6 mg/dl (119-357 µmol/L) pada perempuan. Adapun ponden laki-laki (78,57%) memiliki kadar asam urat

Jurnal Kedokteran
Perbandingan Hasil POCT Asam Urat dengan Chemistry Analyzer 17

Tabel 2. Kadar Asam Urat Serum Responden Laki-Laki dan Tabel 3. Uji Komparasi Perbandingan Hasil Pemeriksaan
Perempuan dengan Pemeriksaan Menggunakan Chemistry Asam Urat Menggunakan Point of Care Testing (POCT) dan
Analyzer Chemistry Analyzer
Kadar Asam Urat Serum (mg/dl) Jumlah N Median Minimal Maksimal
Laki-laki Variabel
Usia 50-59 tahun POCT 42 5,65 3,1 11,1
4,4-7,6 - Chemistry 42 5,45 3,1 12,3
> 7,6 - Analyzer
Usia 60-90 tahun
4,2-8,0 12 (85,71)
point of care testing (POCT) dengan strip/stik berkisar
> 8,0 2 (14,29)
antara 3,1-11,1 mg/dl dengan nilai tengah 5,65 mg/dl
Perempuan
sedangkan kadar asam urat serum responden yang dipe-
Usia 50-59 tahun
riksa dengan menggunakan chemistry analyzer berkisar
4,4-7,6 4 (14,29)
antara 3,1-12,3 mg/dl dengan nilai tengah 5,45 mg/dl.
> 7,6 -
Adapun nilai rentang antar kuartil (interquartile range
Usia 60-90 tahun
[IQR]) pada pemeriksaan dengan menggunakan point of
4,2-8,0 23 (82,14)
care testing (POCT) dengan strip/stik sekitar 7,4 mg/dl,
>8,0 1 (3,57)
sedangkan pada pemeriksaan dengan menggunakan che-
mistry analyzer sekitar 7,1 mg/dl. Hal tersebut menun-
serum yang berkisar antara 3-7,2 mg/dl. Adapun res- jukkan bahwa nilai tengah dan nilai rentang antar kuartil
ponden perempuan, terdapat 15 orang (53,57%) yang pada pemeriksaan kadar asam urat serum responden de-
memiliki kadar asam urat serum yang berkisar antara ngan POCT lebih besar dibandingkan dengan chemistry
2-6 mg/dl, sedangkan yang memiliki kadar asam urat analyzer.
serum >6 mg/dl sebanyak 13 orang (46,43%). Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, diperoleh nilai sig-
Tabel 2 menunjukkan hasil pemeriksaan kadar asam nifikansi (p) sebesar 0,7460. Hasil uji statistik tersebut
urat serum responden laki-laki dan perempuan dengan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang sig-
menggunakan chemistry analyzer. Nilai rujukan kadar nifikan antara pemeriksaan asam urat dengan point of
asam urat serum dikategorikan berdasarkan usia me- care testing (POCT) dan chemistry analyzer.
nurut Kemenkes RI tahun 2015. 7 Pada tabel tersebut,
responden laki-laki yang berusia antara 60-90 tahun se-
bagian besar (85,71%) memiliki kadar asam urat serum 4. Pembahasan
yang berkisar antara 4,2-8 mg/dl. Adapun responden Hasil pemeriksaan kadar asam urat serum pada bebe-
perempuan, berusia 50-59 tahun yang memiliki kadar rapa responden lebih tinggi pada pemeriksaan dengan
asam urat serum yang berkisar antara 4,4-7,6 mg/dl se- menggunakan point of care testing (POCT) namun pada
banyak 4 orang (14,29%), berusia 60-90 tahun yang beberapa responden yang lain lebih tinggi pada peme-
memiliki kadar asam urat serum yang berkisar antara riksaan dengan menggunakan chemistry analyzer. Hal
4,2-8 mg/dl sebanyak 23 orang (82,14%) dan berusia tersebut mungkin disebabkan karena kedua alat terse-
60-90 tahun yang memiliki kadar asam urat serum > 8 but memiliki perbedaan dalam tahap perhitungan hasil
mg/dl sebanyak 1 orang (3,57%). pengukuran asam urat serum. Pada chemistry analyzer
Pada Gambar 1 dapat diketahui bahwa pada bebera- kadar asam urat serum dihitung berdasarkan perubah-
pa responden (40,48%), hasil pemeriksaan kadar asam an warna yang terbentuk dari intensitas cahaya yang
urat serum lebih tinggi pada pemeriksaan dengan po- diserap, sedangkan pada POCT kadar asam urat serum
int of care testing (POCT) menggunakan stik daripada dihitung berdasarkan perubahan potensial listrik yang
pemeriksaan dengan chemistry analyzer namun pada terbentuk akibat interaksi kimia antara zat yang di ukur
responden yang lain (59,52%) hasil pemeriksaan kadar dengan elektroda reagen. Hasil pemeriksaan mungkin
asam urat serum lebih tinggi pada pemeriksaan dengan juga dipengaruhi oleh sampel pemeriksaan pada peneli-
chemistry analyzer daripada pemeriksaan dengan POCT tian ini. Pada sampel pemeriksaan dengan bahan hema-
menggunakan stik. tokrit yang lebih banyak, maka semakin sedikit jumlah
serum yang didapatkan pada sampel tersebut sehing-
3.3 Uji Komparasi Perbandingan Hasil Peme- ga akan mempengaruhi hasil pemeriksaan dengan PO-
riksaan Asam Urat dengan Point of Care CT yang menggunakan metode biosensor. Pemeriksaan
Testing (POCT) dan Chemistry Analyzer asam urat dengan kadar serum yang sedikit akan me-
Berdasarkan hasil uji normalitas didapatkan data ha- nyebabkan penurunan kadar asam urat pada hasil peme-
sil pemeriksaan asam urat dengan point of care testing riksaan. 11 Selain itu, pada pemeriksaan dengan POCT
(POCT) dan chemistry analyzer tidak berdistribusi nor- penggunaan sampel yang hanya sedikit menyebabkan
mal sehingga uji yang digunakan adalah uji komparasi sulitnya mengetahui kualitas sampel yang dapat mem-
non-parametrik dengan uji Wilcoxon. pengaruhi ketepatan atau keakuratan hasil pemeriksaan
Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar asam urat se- misalnya sampel mengalami hemolisis dan lipemia. 10
rum responden yang diperiksa dengan menggunakan Selain itu, hasil pemeriksaan mungkin juga dipenga-

Jurnal Kedokteran
18 Akhzami, dkk.

Gambar 1. Grafik Hasil Pemeriksaan Asam Urat Responden dengan Point of Care Testing (POCT) dan Chemistry Analyzer

ruhi oleh keterbatasan masing-masing alat yang digu- faktor yang mendasari responden yang mengalami hipe-
nakan dalam pemeriksaan. Alat point of care testing rurisemia lebih tinggi pada pemeriksaan dengan POCT
(POCT) memiliki kemampuan pengukuran yang terba- daripada chemistry analyzer. 6,7
tas dan dapat dipengaruhi oleh faktor lain seperti suhu, Kualitas tingkat kesalahan point of care testing (PO-
kelembaban dan dapat terjadi interferensi dengan zat CT) mungkin juga jauh lebih tinggi daripada chemistry
tertentu serta presisi dan akurasinya kurang baik jika analyzer yang sudah dijadikan sebagai baku emas dalam
dibandingkan dengan alat laboratorium rujukan seperti pemeriksaan laboratorium. Sebuah penelitian yang dila-
fotometer sehingga pada pemeriksaan menggunakan po- kukan oleh O’Kane, et al. menunjukkan bahwa terdapat
int of care testing (POCT) dengan stik, botol stik harus 225 sampel yang mengalami kesalahan dari 407.704
segera ditutup setelah pengambilan stik. Jika botol stik sampel pemeriksaan dengan POCT. 14 Pada penelitian
tidak segera ditutup maka dapat merusak stik karena ini dijelaskan juga bahwa semua tahapan dalam proses
kondisi kelembaban yang tinggi di Indonesia sehingga pemeriksaan dengan POCT berperan dalam menentuk-
dapat mempengaruhi keakuratan dari hasil pemeriksa- an tingkat kesalahan dalam pemeriksaan dengan POCT
an. 9,10,6,7 .Adapun pada pemeriksaan dengan chemistry namun tahap analitik merupakan tahapan pemeriksa-
analyzer, terdapat beberapa faktor yang dapat mempe- an yang paling menentukan kesalahan dari pemeriksaan
ngaruhi keakuratan hasil pemeriksaan antara lain sam- dengan POCT. Tingginya tingkat kesalahan dalam peme-
pel pemeriksaan mengalami hemolisis, aktivitas fisik riksaan dengan POCT mungkin juga disebabkan karena
yang berat dapat meningkatkan hasil pemeriksaan, ma- pemeriksaan dengan alat ini umumnya dilakukan oleh
sa inkubasi yang tidak tepat, volume reagen dan bahan orang yang bukan bagian dari staf klinis laboratorium. 14
pemeriksaan yang tidak sesuai. 9,6,7 . Meskipun hasil pe-
Uji statistik Wilcoxon menunjukkan tidak adanya
meriksaan asam urat serum dengan chemistry analyzer
perbedaan yang signifikan pada pemeriksaan asam urat
lebih tinggi dari point of care testing (POCT) sesuai
menggunakan point of care testing (POCT) dan chemis-
dengan yang diperlihatkan pada Gambar 1 namun res-
try analyzer. Hal tersebut mungkin disebabkan karena
ponden yang masuk dalam kategori hiperurisemia lebih
kedua alat tersebut memiliki prinsip kerja yang sama
tinggi pada pemeriksaan dengan POCT daripada che-
yaitu dengan reaksi enzimatik (uricase) dengan sampel
mistry analyzer. Hal tersebut dikarenakan kedua alat
pemeriksaan serum darah dan pada penelitian ini, pe-
memiliki perbedaan standar atau nilai rujukan dalam
meriksaan asam urat dengan kedua alat menggunakan
menentukan seseorang mengalami hiperurisemia atau
sampel yang sama yang berasal dari vena. 11
tidak. Sebagai contoh, pada chemistry analyzer stan-
dar atau nilai rujukan yang digunakan pada laki-laki Pada penelitian yang dilakukan oleh Rooney dan
yang berusia 60-90 tahun sekitar 4,2-8,0 mg/dl dan pa- Schilling disebutkan bahwa persentase sensitivitas dan
da perempuan yang berusia 60-90 tahun sekitar 3,5-8,3 spesifisitas point of care testing (POCT) tidak berbeda
mg/dl, sedangkan pada POCT standar atau nilai rujuk- jauh dengan persentase sensitivitas dan spesifisitas che-
an yang digunakan pada laki-laki sekitar 3-7,2 mg/dl mistry analyzer. 15 Pada beberapa marker yang diperiksa,
dan pada perempuan sekitar 2-6 mg/dl. Oleh karena sensitivitas dan spesifisitas antara POCT dan chemistry
itu, perbedaan batas maksimal pada standar atau nilai analyzer memiliki persentase yang sama namun pada
rujukan antara chemistry analyzer dan POCT menjadi pemeriksaan beberapa marker yang lain, persentase sen-
sitivitas dan spesifisitas POCT sedikit berbeda dengan

Jurnal Kedokteran
Perbandingan Hasil POCT Asam Urat dengan Chemistry Analyzer 19

chemistry analyzer. Sebagai contoh pada pemeriksa- CLINICAL PATHOLOGY AND MEDICAL
an marker hCG (human chorionic gonadotrophin) se- LABORATORY. 2006;13(1):38–41. Available
rum, sensitivitas dan spesifisitas POCT masing-masing from: http://journal.unair.ac.id/
sekitar 95,8% dan 100%, sedangkan sensitivitas dan download-fullpapers-PDF%20Vol%
spesifisitas chemistry analyzer sekitar 100%. 2013-01-11.pdf.
Berdasarkan penjelasan di atas, alat point of care
testing (POCT) masih bisa digunakan untuk pemerik- 5. Singh AE, Chernesky MA, Morshed M, Wong T.
saan laboratorium khususnya pemeriksaan kadar asam Canadian Public Health Laboratory Network labo-
urat serum karena hasil pemeriksaan kadar asam urat ratory guidelines for the use of point-of-care tests
serum dengan POCT masih sesuai dengan hasil peme- for the diagnosis of syphilis in Canada. Canadian
riksaan dengan chemistry analyzer. Apabila kadar asam Journal of Infectious Diseases and Medical Micro-
urat serum tergolong hiperurisemia dengan pemeriksa- biology. 2015;26(Supplement A):29A–32A.
an menggunakan point of care testing (POCT) maka 6. Kementrian Kesehatan RI. Buku I: Kurikulum dan
perlu dilakukan konfirmasi dengan menggunakan che- Modul Pelatihan Teknis Tenaga Laboratorium Di
mistry analyzer sebagai baku emas dalam pemeriksaan Puskesmas. 2015;.
laboratorium.
Adapun kelemahan-kelemahan dalam penelitian ini 7. Kementrian Kesehatan RI. Buku II: Modul Pela-
antara lain penelitian ini hanya menggunakan satu me- tihan Teknis Tenaga Laboratorium Di Puskesmas.
rek alat, sampel pemeriksaan untuk pemeriksaan dengan 2015;.
point of care testing (POCT) menggunakan darah vena
sedangkan merek alat POCT yang digunakan menya- 8. Mas’ ud T, Naid IA, Haryono K. KORELASI KA-
rankan untuk menggunakan darah kapiler, penelitian ini DAR ASAM URAT DALAM DARAH DAN KRIS-
melakukan pemeriksaan sampel darah dengan kedua alat TAL ASAM URAT DALAM URINE. As-Syifaa
pada waktu yang berbeda, dan data tidak berdistribusi Jurnal Farmasi. 2013;6(1):56–60.
normal sehingga tidak dapat dilakukan inferensi pada 9. Haryati I. Gambaran Kadar Asam Urat da-
populasi yang lebih luas. lam Darah pada Wanita Hamil. 2013;Available
from: http://www.umpalangkaraya.ac.
id/perpustakaan/digilib/download.
5. Kesimpulan php?id=134.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat di- 10. Kementrian Kesehatan I R. Keputusan Menteri
simpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signi- Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1792/MEN-
fikan antara pemeriksaan asam urat dengan point of care KES/SK/XII/2010 tentang Perubahan atas Kepu-
testing (POCT) dan chemistry analyzer. tusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No-
mor 1014/Menkes/SK/XI/2008 tentangtentang Pe-
doman Pemeriksaan Kimia Klinik. 2011;Available
Daftar Pustaka from: http://perpustakaan.depkes.go.
id:8180/handle/123456789/1682.
1. Karimba A, Kaligis S, Purwanto D. Gambaran
Kadar Asam Urat Pada Mahasiswa Angkatan 2011 11. Maboach SJ, C S, Fenny. Perbandingan Kadar
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Asam Urat Darah dengan Metode Spektrofotometri
dengan Indeks Massa Tubuh 23 kg/m2. Jurnal dan Metode Electrode-Based Biosensor; 2013.
e-biomedik. 2013;1(1). Available from: http:
//ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ 12. Notoatmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan.
ebiomedik/article/view/1175. Jakarta: rineka cipta; 2010.

2. WHO WHO. Use of HbA1c in the diag- 13. Dahlan MS. Besar sampel dan cara pengambilan
nosis of diabetes mellitus in the UK. The sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan.
implementation of World Health Organization Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika. 2013;34.
guidance 2011. World Health Organization. 14. O’Kane MJ, McManus P, McGowan N, Lynch PM.
2011;Available from: http://www.who. Quality error rates in point-of-care testing. Clinical
int/medical_devices/innovation/ chemistry. 2011;57(9):1267–1271.
clinical_chemistry_analyzer.pdf.
15. Rooney KD, Schilling UM. Point-of-care testing
3. Junker R, Schlebusch H, Luppa PB. Point-of-care in the overcrowded emergency department–can it
testing in hospitals and primary care. Deutsches make a difference? Critical Care. 2014;18(6):692.
Ärzteblatt International. 2010;107(33):561.

4. Kahar H. Keuntungan dan Kerugian Penjaminan


Mutu Berdasarkan Uji Memastikan Kecermat-
an (POCT). INDONESIAN JOURNAL OF

Jurnal Kedokteran
Jurnal Kedokteran 2016, 5(4): 20-27
ISSN 2301-5977, e-ISSN 2527-7154

Korioretinitis Toksoplasmosis pada Penderita


Imunokompeten
Joko Anggoro

Abstrak
Toksoplasmosis merupakan penyakit sistemik yang disebabkan parasit protozoa koksidia Toxoplasma
gondii, infeksi biasanya tanpa gejala atau muncul dalam bentuk akut dengan gejala limfadenopati atau
dengan gejala menyerupai flu (flu-like symptoms). Pada infeksi primer, penderita biasanya asimtomatik
dan kadang hanya bergejala seperti demam, limfadenopati dan limfositosis yang berlangsung sampai
berhari-hari atau beberapa minggu.
Kami akan membahas lebih dalam sebuah kasus chorioretinitis toksoplasmosis pada penderita
imunokompeten baik dari gejala klinis dan terapinya.
Kata Kunci
korioretinitis toksoplasmosis, imunokompeten, dewasa
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
*e-mail: jokoanggoro@gmail.com

mukan di retina. Pasien mengeluhkan pandangan kabur,


1. Pendahuluan fotofobia dan floaters. 3
Toksoplasmosis merupakan penyakit sistemik yang di- Di Amerika Serikat, berdasarkan penelitian serolo-
sebabkan parasit protozoa koksidia Toxoplasma gondii, gis, diperkirakan seperempat hingga setengah populasi
infeksi biasanya tanpa gejala atau muncul dalam bentuk AS terinfeksi dengan toksoplasmosis, 2-6 per 1000 ibu
akut dengan gejala limfadenopati atau dengan gejala hamil tertular toksoplasmosis. Prevalensi toksoplasmo-
menyerupai flu (flu-like symptoms). Pada infeksi pri- sis kongenital adalah 1 dalam 10,000 kelahiran hidup.
mer, penderita biasanya asimtomatik dan kadang hanya Toksoplasmosis intraokuler yang dimanifestasikan de-
bergejala seperti demam, limfadenopati dan limfosito- ngan necrotizing retinochoroiditis ditemukan pada 1-
sis yang berlangsung sampai berhari-hari atau beberapa 21% pasien dengan infeksi sistemik didapat. Dalam
minggu. Dengan terbentuknya antibodi, jumlah parasit sebuah penelitian populasi, 0.6% dari penduduk Mary-
dalam darah akan menurun namun kista toksoplasma land diketahui memiliki jaringan parut yang konsisten
yang ada dalam jaringan tetap masih hidup. Parasit ini dengan toksoplasmosis okuler. 4
memiliki siklus intraseluler, kista jaringan ini akan re- Toksoplasmosis adalah penyebab inflamasi intrao-
aktif kembali jika terjadi penurunan kekebalan. Infeksi kuler dan uveitis posterior paling sering pada pasien
yang terjadi pada orang dengan kekebalan rendah baik immunokompeten di seluruh penjuru dunia. Toksoplas-
infeksi primer maupun infeksi reaktivasi akan menye- mosis bertanggung jawab atas sekitar 30-50% dari se-
babkan terjadinya cerebritis, chorioretinitis, pneumonia, mua kasus uveitis posterior di Amerika Serikat. Tidak
terserangnya seluruh jaringan otot, miokarditis, ruam tampak adanya predileksi ras atau genetik dan jenis kela-
makulopapuler dan/atau kematian. 1 min untuk infeksi ini. Prevalensi reaksi serologis positif
Prevalensi antibodi serum terhadap toksoplasmosis meningkat seiring bertambahnya usia. Di Amerika Seri-
bervariasi di seluruh dunia dan tergantung pada kebiasa- kat, 5-30% individu dalam dekade kehidupan kedua dan
an makan, higienitas, dan iklim. Toksoplasmosis tam- 10-67% individu berusia lebih dari 50 tahun memiliki
paknya memiliki prevalensi lebih tinggi di iklim hangat antibodi antitoksoplasma. Toksoplasmosis okuler telah
lembab. Prevalensi toksoplasmosis kongenital adalah 1 dilaporkan bermanifestasi paling sering antara dekade
dalam 1000 kelahiran hidup di Perancis. Hingga dekade kehidupan kedua dan keempat. 5
kehidupan keempat, 90% dari populasi Perancis, 12.5% Kami akan membahas lebih dalam sebuah kasus
populasi Jepang, dan 60% populasi Belanda memiliki korioretinitis toksoplasmosis pada penderita imunokom-
hasil seropositif untuk toksoplasmosis. 2 peten baik dari gejala klinis dan terapinya.
Toksoplasmosis okuler (Chorioretinitis Toxoplasmo-
sis) merupakan salah satu bentuk klinis toksoplasmosis
selain toksoplasmosis kongenital, toksoplasmosis dida- 2. Kasus
pat, toksoplasmosis pada inang dengan gangguan imun. Seorang wanita, Ny. MS , 40 tahun datang ke Unit
Penyebaran parasit terjadi dan bentuk kista akan ber- Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. Sardjito (1 Desember
tahan dalam tubuh penjamu di berbagai organ. Sebuah 2009) dengan keluhan utama pandangan mata kanan
penyakit reaktivasi okuler dapat terjadi ketika kista dite- kabur. Riwayat penyakit sekarang, 4 minggu sebelum
Korioretinitis Toksoplasmosis pada Penderita Imunokompeten 21

masuk rumah sakit pasien mengeluh penglihatan ma-


ta kanan kabur, perlahan-perlahan, tidak demam, pu-
sing, badan lemas, penderita periksa ke poliklinik mata
RSUP Prof. Dr. Sardjito, hasil pemeriksaan visus mata
kanan 1/∞, mata kiri 6/6, kemudian dilakukan peme-
riksaan optalmoskop dan funduskopi langsung dengan
hasil uveitis posterior OD e causa suspek Korioretini-
tis toksoplasma, disarankan konsultasi ke ahli penyakit
dalam. Hasil konsultasi menyarankan pemeriksaan se-
rologi toksoplasma dengan hasil (11 November 2009)
IgG Anti-Toksoplasma positif, konsentrasi 1.213 IU/ml
(positif bila > 8 IU/ml); IgM Anti-Toksoplasma positif,
indeks 5,17 (positif bila > 0,65); dan aviditas IgG Anti-
Toksoplasma: borderline avidity, indeks 0,202 (indeks
avidity < 0,300 menunjukkan kemungkinan infeksi baru
Gambar 1. Hasil pemeriksaan funduskopi mata kanan
toksoplasmosis < 4 bulan). Hari masuk rumah sakit pa-
penderita.
sien dirujuk ke RSUP Prof. Dr. Sardjito untuk mendapat
perawatan dan terapi lebih lanjut. Riwayat penyakit da-
hulu penurunan penglihatan sebelumnya disangkal, kon-
tak dengan kucing disangkal, terdapat riwayat makan
daging yang kurang matang, sariawan disangkal, penu-
runan berat badan disangkal, diare lama disangkal, dan
faktor risiko infeksi HIV disangkal. Riwayat keluarga
sakit serupa disangkal.
Keadaan umum pasien baik, komposmentis, gizi ke-
san cukup, tanda vital: tekanan darah 120/70 mmHg,
frekuensi nadi 75 kali/menit, frekuensi napas 18 ka-
li/menit, suhu aksila 36,8◦ C. Pada pemeriksaan fisik:
kepala OD dan OS konjungtiva tidak hiperemis, dischar-
ge tidak ada, berat badan 49 kg, tinggi badan 159 cm,
tidak ditemukan pembesaran kelenjar limfe. Diagnosis
masuk: korioretinitis toksoplasma. Pasien mendapat
terapi Primet R
(pirimetamin) 1x75 mg, Dacin R
(klin- Gambar 2. Hasil funduskopi mata kiri penderita.

R
damisin) 2x300 mg, Folavit (asam folat) 1x400 µg,
infus NaCl 0,9% lini, injeksi Somerol R
(metilpredni-
solon) 20 mg/8 jam. Hasil pemeriksaan laboratorium zoonotik pada manusia dan mamalia lainnya. Selain
hemoglobin 11,8 g/dL, lekosit 6,53x106 /µL, trombosit itu, parasit ini adalah penyebab paling sering inflamasi
229x103 /µL, albumin 3,3 g/dL, SGOT 15 IU/L, SGPT intraokuler di dunia. Kucing adalah inang definitif yang
12 IU/L, BUN 9 mg/dL, kreatinin 0,67 mg/dL, GDR terinfeksi dengan memakan daging mentah/kurang ma-
112 mg/dL. Urin rutin (2 Desember 2009) glukosa N, sak terinfeksi, burung liar, atau tikus. Ada tiga bentuk
lekosit pucat 0, lekosit gelap +, protein -, keton +, nitrit protozoa, yaitu ookista (kista), takizoit/bradizoit, dan
-, epitel uretra +, bakteri +. Hari I-II perawatan, keluhan sporozoit. Manusia dan mamalia lainnya hanya terinfek-
mata kanan masih kabur, nafsu makan sedang, kondisi si oleh bentuk takizoit dan ookista. 6
umum baik, tanda vital normal. Diagnosis korioretinitis Toksoplasmosis dapat bersifat kongenital atau dida-
toksoplasmosis, terapi dilanjutkan. Hari III perawatan, pat. Ketika seorang ibu hamil mengalami toksoplasmo-
keluhan mata kanan membaik sudah dapat membedakan sis primer, dapat terjadi penularan parasit secara trans-
cahaya dan gelap, kondisi umum baik, tanda vital nor- plasental kepada janin yang dikandungnya. Hal ini akan
mal. Terapi pirimetamin menjadi 1x25 mg, terapi lain menyebabkan toksoplasmosis kongenital pada janin. Se-
diteruskan. Hari V perawatan kondisi pasien membaik, mentara itu, toksoplasmosis didapat dapat disebabkan
visus 1/300. Pasien diperbolehkan pulang, diagnosis pu- karena:
lang Toksoplasmosis, korioretinitis toksoplasma, terapi
pirimetamin 1x25 mg, klindamisin 2x300 mg, folavit • Masuknya kista jaringan dari daging sapi, kam-
1x1 tablet selama 4 minggu. bing, atau babi yang kurang matang atau mentah
dan terkontaminasi.

• Masuknya ookista dari tanah, susu, air, atau sa-


3. Pembahasan yuran.
3.1 Latar belakang • Menghirup ookista
Protozoa Toxoplasma gondii adalah parasit koksidia in-
traseluler obligat yang bertanggung jawab atas infeksi • Kontaminasi pada transfusi darah, transplantasi

Jurnal Kedokteran
22 Anggoro

organ, atau inokulasi tak sengaja di laboratori- 173 pasien toksoplasmosis okuler, ditemukan bahwa
um. 3 keluhan yang paling sering adalah pandangan kabur
(70,5%), mata juling (6,4%), nistagmus (8,7%), floaters
3.2 Patofisiologi (6,4%), katarak kongenital (2,9%), nyeri mata (2,3%),
Ketika seekor kucing terinfeksi, di dalam intestinum- dan mata merah (1,7%). 9
nya toksoplasma akan mengalami reproduksi seksual. Bentuk klinis toksoplasmosis biasanya diklasifika-
Sebagai akibatnya, kucing akan mengeluarkan jutaan sikan sebagai berikut:
ookista noninfeksius nonsporulasi di dalam feses. Sporu-
lasi terjadi dalam 3-4 hari selanjutnya pada suhu kamar. • Toksoplasmosis kongenital
Dengan sporulasi, ookista menjadi infektif (sporozoit)
selama setidaknya satu tahun. Memakan ookista yang • Toksoplasmosis didapat
telah mengalami sporulasi akan menyebabkan infeksi
• Toksoplasmosis pada inang dengan gangguan imun
akut. 6
Infeksi akut ditandai dengan takizoit yang meng- • Toksoplasmosis okuler
invasi dan berproliferasi dalam hampir semua tipe sel
mamalia kecuali eritrosit yang tidak berinti. Seiring • Toksoplasmosis kongenital
masuknya takizoit dalam sel, mereka mengalami va-
kuolasi dan menjalani reproduksi melalui endodiogeni. 3.3.1 Toksoplasmosis kongenital
Dalam proses ini, 2 sel anakan terbentuk dalam parasit Trias klinis klasik berupa retinokoroiditis, kalsifikasi se-
induk, yang kemudian hancur dalam sel inang seiring rebri, dan konvulsi menunjukkan adanya toksoplasmosis
sel anakan dilepaskan. Ketika organisme mencapai mata kongenital. Temuan lain pada toksoplasmosis konge-
melalui aliran darah, tergantung pada status imun inang, nital mencakup hidrosefalus, mikrosefali, organomega-
sebuah fokus infeksi klinis atau subklinis muncul da- li, ikterus, ruam, demam, dan retardasi psikomotorik.
lam retina. Seiring sistem imun inang merespon dan Kasus relatif sedikit; tetapi cenderung menyebabkan
takizoit mengubah diri mereka menjadi bradizoit, kista sebagian besar infeksi akut dan fatal. 3
terbentuk. Kista ini sangat resisten terhadap pertahan- Ketika perempuan non-imun terinfeksi selama keha-
an inang, dan infeksi laten kronis terjadi. 1 Jika terjadi milan, penularan T gondii secara transplasental kepada
infeksi subklinis, tidak ada perubahan funduskopi yang fetus mungkin terjadi, menyebabkan toksoplasmosis ko-
teramati. Kista masih berada dalam retina yang masih ngenital. Jika ibu mendapatkan infeksi selama trimester
tampak normal. Ketika fungsi imun inang mengalami pertama, 17% bayi akan mengalami toksoplasmosis ko-
penurunan karena alasan apapun, dinding kista mungkin ngenital, tetapi tingkat keparahan penyakitnya lebih be-
akan ruptur, melepaskan organisme ke dalam retina, dan sar. Jika infeksi didapatkan selama trimester ketiga, 65%
proses inflamatorik dimulai kembali. Jika terdapat lesi bayi akan mengalami toksoplasmosis kongenital, tetapi
klinis yang aktif, proses kesembuhan akan menghasilk- banyak diantaranya yang asimtomatis. Infeksi maternal
an jaringan parut chororetina. Kista sering kali dalam kronis tidak berhubungan dengan penyakit kongenital.
keadaan inaktif di dalam atau dekat jaringan parut. 8 Immunoglobulin M (IgM) antitoksoplasma didapatkan
pada 75% bayi dengan toksoplasmosis kongenital. 3
3.3 Gambaran klinis Pada wanita hamil yang terinfeksi toksoplasma de-
Dalam anamnesis, perlu diperhatikan bahwa pada indi- ngan manifestasi klinis apapun termasuk toksoplasma
vidu yang imunokompeten, lebih dari 90% asimtomatik. okuler, satu-satunya preparat yang direkomendasikan
Apabila muncul gejala, gejala yang timbul pun bersifat aman untuk terapi adalah spiramycin dengan dosis 1
tidak spesifik antara lain limfadenopati servikal, nyeri gram tiga kali sehari selama tiga minggu. 2 Temuan yang
kepala, malaise, demam subfebril, dan fatigue. 8 Dengan paling sering dalam toksoplasmosis kongenital adalah
demikian, selain gejala-gejala klinis perlu digali faktor- retinokoroiditis yang memiliki predileksi pada kutub
faktor risiko yang berhubungan dengan toksoplasmosis. posterior. Didapatkan pada 75-80% kasus dan bilateral
Berikut ini faktor risiko yang terkait dengan toksoplas- pada 85% kasus. Sebagian besar pasien dengan korio-
mosis: retinitis aktif telah memiliki jaringan parut korioretina.
Hal ini mengindikasikan kemungkinan bahwa sebagi-
• Status immunodefisiensi (seperti AIDS), immu- an besar kasus toksoplasmosis intraokuler merupakan
nosupresi pada pasien yang telah menjalani trans- akibat dari reaktivasi infeksi kongenital. 2,10
plantasi organ, dan keganasan.
3.3.2 Toksoplasmosis didapat
• Pajanan dengan kucing
Masuknya kista jaringan dari daging kambing, dom-
• Riwayat memakan daging mentah atau kurang ba, atau babi yang terinfeksi; masuknya ookista dari
matang. 2 tanah atau sayuran; dan transfusi darah, transplantasi
organ yang terkontaminasi dan inokulasi tak sengaja
Untuk mengarahkan pada adanya keterlibatan oku- di laboratorium semuanya dapat menyebabkan tokso-
ler, perlu digali adanya keluhan berupa pandangan kabur, plasmosis didapat. Infeksi didapat biasanya subklinis
floater, nyeri, mata merah dan fotofobia. 3 Di Yogyakar- dan asimptomatis. Dalam 10-20% kasus yang menjadi
ta, penelitian oleh Suhardjo dkk. tahun 2003 terhadap simptomatis, pasien mengalami penyakit mirip flu yang

Jurnal Kedokteran
Korioretinitis Toksoplasmosis pada Penderita Imunokompeten 23

Gambar 3. Siklus hidup T. gondii 7

ditandai dengan demam, limfadenopati, malaise, mial- terjadi selama fase kronis infeksi. 11 Penelitian di Yogya-
gia, dan ruam kulit makulopapular yang tidak mengenai karta menunjukkan bahwa manifestasi kelainan klinis
telapak tangan dan telapak kaki. Pada individu yang pada uvea posterior yaitu korioretinitis (71,2%), skar ma-
imunokompeten, penyakit ini bersifat benigna dan self- kula (22,4%), edema retina (32,4%) skar jukstapapilaris
limited. Sebelumnya, hanya 1-3% pasien dengan infeksi (15,6%), skar chorioretina perifer (6,4%), neuroretinitis
dapatan dipercayai mengalami toksoplasmosis okuler. (5,2%), dan atrofi papila optik (2,8%). 9
Dalam sebuah penelitian lain, beberapa anggota da-
3.3.3 Toksoplasmosis pada inang dengan ganggu-
ri keluarga yang sama terkena toksoplasmosis okuler.
an imun (immunocompromised host)
Selain itu, dalam sebuah epidemik toksoplasmosis di
Fungsi imun inang memainkan peran penting dalam
Kanada, hingga 21% yang terkena mengalami lesi oku-
patogenisitas toksoplasmosis. Pasien yang memiliki
ler. Tanda dari penyakit ini adalah necrotizing retino-
gangguan imun sering memiliki pneumonitis; myoka-
choroiditis, yang mungkin primer atau rekuren. Dalam
rditis; ensefalitis yang mengancam jiwa; dan severe
toksoplasmosis okuler primer, sebuah fokus necrotizing
necrotizing retinochoroiditis atipikal. Lesi progresif,
retinitis unilateral didapatkan pada kutub posterior da-
multifokal dan bilateral menandai keterlibatan okuler.
lam lebih dari 50% kasus. Area nekrosis biasanya me-
Karena immunosupresi yang mereka alami, pasien ini
libatkan lapisan dalam retina dan digambarkan sebagai
sering memiliki kesulitan untuk menghasilkan reaksi in-
lesi whitish fluffy (seperti bulu halus berwarna putih)
flamatorik, yang membuat pembentukan jaringan parut
yang dikelilingi oleh edema retina. 10 Pada kasus tokso-
chorioretinal menjadi sulit. Hanya 1-2% pasien dengan
plasmosis okuler rekuren, usia >40 tahun merupakan
HIV terkena toksoplasmosis okuler. Pasien lansia yang
faktor risiko yang menyebabkan rekurensi. 12
memiliki toksoplasmosis berisiko untuk mengalami reti-
Retina adalah lokasi primer untuk perkembangbiak-
kochoroiditis berat, diduga akibat melemahnya fungsi
an parasit, sedangkan koroid dan sklera mungkin adalah
imun seluler yang terjadi seiring penuaan. 3
lokasi untuk inflamasi di dekatnya. Ketika nervus op-
3.3.4 Toksoplasmosis okuler tikus terkena oleh toksoplasmosis, manifestasi tipikal
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hingga 75% adalah neuritis optik atau papilitis yang disertai dengan
pasien dengan toksoplasmosis kongenital memiliki ja- edema, sering disebut dengan Jensen disease. Selubung
ringan parut chorioretina saat lahir. Sebaliknya, lesi nervus optikus mungkin berperan sebagai penyalur un-
okuler pada pasien yang mendapatkan toksoplasmosis tuk penyebaran langsung organisme toksoplasma ke da-
setelah kelahiran jarang. Sebagian besar pasien dengan lam nervus optikus dari infeksi serebri di dekatnya. Hal
korioretinitis aktif telah memiliki jaringan parut kori- ini juga menghasilkan neuritis optik atau papilitis. 13
oretina sebelumnya. Penelitian awal menduga bahwa Sel inflamatorik tampak dalam vitrous yang menutu-
sebagian besar kasus toksoplasmosis okuler disebabkan pi lesi retinochoroidal atau papiler. Dalam banyak kasus,
karena infeksi kongenital dan mereka cenderung untuk reaksi inflamatorik ini berat, dan detil fundus menjadi

Jurnal Kedokteran
24 Anggoro

tidak tampak. Gambaran ini disebut dengan “headlight 6-8 minggu, dan kemudian menurun setelah 2 tahun na-
in the fog (lampu mobil dalam kabut)”. Posterior vi- mun masih dapat terdeteksi selama hidup. Titer antibodi
treous detachment sering muncul, dan pasien mungkin tidak berhubungan dengan penyakit okular. Antitok-
mengalami penumpukan sel inflamatorik pada poste- soplasma antibodi mungkin sangat rendah dan kadang
rior vitreous face, disebut dengan vitreous precipitate. membutuhkan pengenceran, sehingga tidak ditemukan-
Lembaran dan membran vetrous yang tebal mungkin nya antitoksoplasma dapat menyingkirkan etiologi tok-
ditemukan dan mungkin memerlukan vitrektomi. soplasmosis. 16
Antigen toksoplasma bertanggung jawab atas reaksi Pemeriksaan aviditas IgG bermanfaat untuk mem-
hipersensitivitas yang mungkin menyebabkan vaskulitis bedakan antara infeksi lama atau didapat terutama pa-
retina dan uveitis anterior granulomatosa atau nongra- da wanita hamil. Pemeriksaan ini mungkin juga dapat
nulomatosa. Seiring lesi sembuh, ia muncul sebagai membedakan antara infeksi kongenital reaktivasi dan
punched-out scar, membuka sclera berwarna putih di toksoplasmosis okuler akut didapat pada pasien imuno-
bawahnya. Hal ini disebabkan karena nekrosis retina kompeten. Rendahnya aviditas IgG menunjukkan infek-
dan koroid yang ekstensif yang dikelilingi oleh proli- si primer terjadi dalam 4-5 bulan yang lalu, tingginya
ferasi pigmen yang bervariasi. Dengan reaktivasi kista aviditas IgG dapat memastikan bahwa infeksi terjadi le-
jaringan hidup di batas jaringan parut (toksoplasmosis bih dari 5 bulan dan mendukung toksoplasmosis okuler
okuler rekuren), area necrotizing retinitis aktif baru bia- reaktivasi. 17–19
sanya dekat dengan jaringan parut lama (disebut dengan Pemeriksaan skrining dengan oftalmoskop (fundus-
lesi satelit). Seperti dalam kondisi inflamatorik lain- kopi indirek) oleh ahli mata sangat bermanfaat untuk
nya, edema makula mungkin muncul. Inflamasi okuler mendeteksi jaringan parut atau lesi aktif retina. Di
tanpa necrotizing retinochoroiditis dapat terjadi pada Kolombia prevalensi toksoplasmosis okuler sekitar 6%
pasien dengan toksoplasmosis didapat, walaupun hal yang terdeteksi dengan oftalmoskop dan seropositif/IgG
ini jarang ditemui. Pasien ini muncul dengan vasku- positif. 20
litis retina, vitreitis, dan uveitis anterior. Faktor yang Teknik invasif pemeriksaan cairan okular kadang
mempengaruhi beratnya kejadian inflamasi antara lain kala diperlukan pada kasus sulit misal pada pasien gang-
usia tua, lesi retina yang luas, dan lokasi ekstramaku- guan imun. Pada cairan okular dapat dideteksi antibodi
la. Selanjutnya, mereka mungkin mengalami jaringan (pemeriksaan immunoblotting), pemeriksaan PCR (po-
parut retinochoroidal yang menunjukkan bahwa reaksi lymerase chain reaction) dapat mendeteksi organisme
inflamatorik disebabkan T. gondii. 14 penyebab. Ternyata bila hanya dengan pemeriksaan
PCR cairan okuler ditemukan 28% kasus positif T. gon-
dii, namun bila ketiga jenis pemeriksaan digabung ditam-
bah ditemukannya lesi retina (gambar 3) maka angkanya
menjadi 83%. Sensitifitas pemeriksaan ELISA 63% dan
spesifitasnya 89%. Diagnosis banding toksoplasmosis
okuler antara lain retinitis CMV (citomegalovirus), ma-
nifestasi okular HIV, retinitis sifilis, tuberkulosis, infeksi
fungi, glaukoma, dan nekrosis retina akut. 21
Dalam kasus ini, keluhan utama penderita adalah
pandangan mata kanan kabur dan hasil pemeriksaan fun-
duskopi tampak gambaran “headlight in the fog (lampu

Gambar 4. Skema struktur bola mata. 15

3.3.5 Pemeriksaan penunjang


Diagnosis toksoplasmosis okuler didasarkan atas klinis
ditemukannya lesi di fundus retina (gambar 2) yang di-
dukung pemeriksaan serologis. Pemeriksaan serologis
toksoplasmosis metode ELISA (enzyme-linked immu-
nosorbent assay) penting untuk membedakan infeksi
sistemik akut atau kronik. Toksoplasmosis sistemik
akut didiagnosis dengan serokonversi anti toksoplasma
IgM pada minggu pertama infeksi dan kemudian me- Gambar 5. Hasil pemeriksaan aviditas IgG pada 71
nurun dalam beberapa bulan. Titer anti toksoplasma pasien toksoplasmosis dengan berbagai manifestasi
IgG meningkat 4 kali lipat pada puncak infeksi yaitu klinis. 17

Jurnal Kedokteran
Korioretinitis Toksoplasmosis pada Penderita Imunokompeten 25

plasmosis okuler. 23 Walau demikian, beberapa ahli te-


tap memberi terapi kombinasi pirimetamin-sulfadiazin-
prednison (29%) dengan pertimbangan beratnya respon
inflamasi yang terjadi dan letak lesi di proksimal fovea
(makula) dan nervus optik. 24
Terapi fotokoagulasi atau cryotherapy dapat diker-
jakan bila terapi kausatifnya sudah diberikan dan hanya
diindikasikan bila terdapat neovaskularisasi di retina.
Vitrektomi terutama untuk menggantikan cairan vitreo-
us dengan cairan tiruan bila cairan tersebut keruh akibat
inflamasi yang luas. Walau manfaatnya pada tokso-
plasmosis okuler akut diragukan, vitrektomi bermanfaat
pada manajemen komplikasi seperti kekeruhan okuler
persisten dan membantu penegakan etiologi pada ka-
sus yang meragukan. 25 Obat-obatan yang digunakan
sebagai terapi toksoplasmosis okuler:

3.4.1 Pirimetamin (Pyrimethamine)


Pirimetamin adalah diaminopirimidin yang bekerja se-
Gambar 6. Toksoplasmosis okular, ditandai dengan bagai inhibitor enzim dihidrofolat reduktase sehingga
fokus daerah retinitis (panah putih) berbatasan dengan konversi asam folat menjadi asam folinik terganggu, aki-
daerah parut/scar (panah hitam). 22 batnya T. gondii akan mati karena mereka membutuhkan
asam folinik untuk kelangsungan hidup sel dan efeknya
sinergis dengan sulfonamid. Dosis untuk dewasa 75 atau
mobil dalam kabut)” dengan daerah parut terutama di 50 mg peroral hari pertama, kemudian 25 mg hari beri-
daerah makula sehingga penurunan visus amat berat. kutnya. Efek samping yang perlu diperhatikan supresi
Gejala kronis gangguan imun (diare kronis, penurunan sumsum tulang, mual, dan efek. 26
berat badan 10% dalam 6 bulan, stomatitis kandidiasis)
dan faktor risiko infeksi HIV tidak didapatkan. Ha- 3.4.2 Sulfadiazin (sulfadiazine)
sil pemeriksaan serologi IgM dan IgG antitoksoplasma Berefek bakteriostatik dengan cara antagonis kompetitif
titer tinggi, serta aviditas IgG borderline menunjang dengan para-aminobenzoic acid (PABA). Dosis pem-
diagnosis toksoplasmosis korioretinitis reaktivasi pada berian 2-4 g peroral loading dose hari I, diikuti 1 g 4
penderita imunokompeten. kali sehari. Efek samping utama reaksi obat, kritaluria,
supresi sumsum tulang. 26
3.4 Terapi
3.4.3 Trimethoprim dan sulfamethoxazole
Infeksi sistemik toksoplasmosis akut didapat ringan pa-
Efek bakteriostatik dengan cara antagonis kompetitif
da pasien imunokompeten tidak perlu diterapi karena da-
PABA. Dosis 800 mg sulfametoksasol dan 160 mg tri-
pat sembuh sendiri (self-limited condition). Ada 4 kon-
metoprim dua kali sehari selama 2 minggu pertama, dan
disi individu terdiagnosis toksoplasmosis dikategorikan
400 mg sulfamethoxazole dan 80mg trimethoprim dua
kritis yaitu wanita hamil yang mendapat infeksi akut,
kali sehari selama 3-4 minggu berikutnya. Efektifitas
bayi baru lahir (infeksi kongenital), pasien gangguan sis-
dan keamanan pemberian trimetoprim/sulfametoksasol
tem imun, dan korioretinitis. Pada kasus toksoplasmosis
selama 6 minggu sudah dibuktikan setara dengan tera-
okuler, beberapa regimen terapi direkomendasikan. Tiga
pi standar pirimetamin/sulfadiazin dalam uji klnis acak
obat yaitu pirimetamin, sulfadiazin, dan prednison atau
terkontrol pada 59 pasien toksoplasmosis okuler akut
empat obat dengan klindamisin dapat diberikan. Piri-
dalam hal perubahan lesi retinochoroidal, derajat visus,
metamin sebaiknya dikombinasikan dengan asam folat
efek samping obat, dan kejadian rekurensi. 27
untuk mencegah komplikasi hematologi. Lama terapi
tergantung dengan respon pasien, biasanya diberikan 3.4.4 Klindamisin (clindamycin)
selama 4-6 minggu. 10 Kerjanya menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara
Sebuah metaanalisis tahun 2003 merekomendasikan menghambat sintesis peptidil RNA dari ribosom. Pada
bahwa tidak ada bukti klinis yang mendukung pemberi- studi binatang, klindamisin efektif mengeradikasi ben-
an antibiotik untuk memperbaiki derajat gejala penyakit tuk kista. Dosis dewasa 300 mg empat kali sehari. Efek
dan durasi retinochoroiditis toksoplasma akut (A,II) ser- samping gastrointestinal seperti mual, muntah, diare
ta hanya terdapat bukti yang lemah efektifitas terapi yang paling sering dikeluhkan pasien. 3
jangka panjang untuk lesi kronik rekuren/korioretinitis
rekuren dan untuk profilaksis toksoplasmosis korioretini- 3.4.5 Azitromisin (azithromycin)
tis yang dianjurkan menggunakan preparat trimetoprim- Obat ini bekerja mengikat subunit ribosom 50S dan
sulfametoksazol. Oleh karena itu uji klinis acak dengan mengganggu sintesis protein. Dosis 500 mg hari per-
plasebo memang dibutuhkan untuk membuktikan efek- tama diikuti dengan 250 mg untuk 4 hari berikutnya.
tifitas pemberian antibiotika rutin pada pasien tokso- Azitromisin lebih baik mengeradikasi stadiun kista dan

Jurnal Kedokteran
26 Anggoro

bradizoit in vitro dibanding obat antiparasit namun azi- lesi seperti “headlight in the fog (lampu mobil dalam
tromisin sampai sekarang dipertimbangkan pada pasien kabut)” dengan daerah parut terutama di daerah maku-
yang tidak toleran dengan terapi standar (pirimetamin la sehingga penurunan visus amat berat. Gejala kronis
dan sulfadiazin) karena lebih tingginya rekurensi. 28 gangguan imun (diare kronis, penurunan berat badan
Sebuah uji klinis acak terkontrol terbuka juga mem- 10% dalam 6 bulan, stomatitis kandidiasis) dan faktor
buktikan efektifitas antara pemberian kombinasi pirime- risiko infeksi HIV tidak didapatkan. Hasil pemerik-
tamin (100 mg/hari diikuti 50 mg/hari)-sulfadiazin (4 saan serologi IgM dan IgG antitoksoplasma titer ting-
gr/hari) dan pirimetamin-azitromisin(500 mg 250 mg) gi, serta aviditas IgG borderline menunjang diagnosis
selama 4 minggu, kedua kelompok tetap mendapat tera- toksoplasmosis korioretinitis reaktivasi pada penderita
pi pendamping prednison dan asam folinik, hasilnya ke- imunokompeten.
dua kelompok menunjukkan penurunan waktu resolusi Pasien mendapat terapi pirimetamin 1x75 mg hari
aktivitas inflamasi, pengurangan ukuran lesi retinakoroi- pertama kemudian 1x25 mg hari berikutnya, klindamisin
dal, rekurensi setelah 1 tahun, dan perbaikan visus tidak 2x300 mg, asam folat 1x0,4 mg selama 4 minggu, dan
berbeda bermakna. Kejadian efek samping hematologi metilprednisolon 60 mg per hari selama 5 hari. Kondisi
lebih rendah pada kelompok pirimetamin-azitromisin pasien membaik, keluhan penglihatan membaik ditandai
(p<0,04). 29 dengan perbaikan visus 1/ menjadi 1/300.

3.4.6 Atovaquone (Mepron)


Preparat ini merupakan analog ubikuinon yang bekerja
Daftar Pustaka
menghambat rantai transport elektron mitokondria oleh
kompetitif dengan ubikuinon pada kompleks III. Ham- 1. Weiss LM, & Dubey JP. Toxoplasmosis: A history
batan ini menghambat sintesis asam nukleat dan ATP of clinical observation. Int J Parasit. 2009;(39):895–
dalam tubuh parasit. Dosis pemberian 750 mg (5ml) 901.
peroral dua kali sehari. 3
2. Singh D, Sinert R. Toxoplasmosis. eMedicine
3.4.7 Prednison Emergency Medicine. 2015;Available from: www.
Steroid sistemik diberikan sebagai antiinflamasi pada pe- emedicine.medscape.com.
nyakit okular berat atau infeksi pada zone 1, dan jangan 3. Wu L, Evans T, Garcia RA. Toxoplasmosis: Ove-
diberikan tanpa pemberian antibiotik. Kortikosteroid rview. eMedicine Ophtalmology. 2007;Available
dikontraindikasikan pada pasien imunosupresi dan do- from: www.emedicine.medscape.com.
sis 1mg/kg atau 60-100 mg prednison peroral perhari
selama 1-2 minggu kemudian diturunkan (taper over) 4. Jones JL, Kruszon-Moran D, Wilson M, McQuill-
2-3 minggu. Beberapa spesialis menunggu pemberian- an G, Navin T, McAuley JB. Toxoplasma gondii
nya 24-48 jam setelah terapi inisiasi antibiotika. Terapi infection in the United States: seroprevalence and
steroid topikal bermanfaat hanya pada kasus uveitis an- risk factors. American journal of epidemiology.
terior. 26 2001;154(4):357–365.

3.4.8 Asam folinik (folinic acid) 5. Holland GN. Ocular toxoplasmosis: a global
Asam folinik adalah metabolik aktif dari asam folat. Di- reassessment:. Part I: epidemiology and course
gunakan untuk mengurangi efek toksik supresi hemato- of disease. American journal of ophthalmology.
logi (terutama lekopenia dan tronbositopenia) antagonis 2003;136(6):973–988.
asam folat (pirimetamin dan sulfadiazin) yang meng-
hambat enzim dihidrofolat reduktase. Sel manusia dapat 6. Kravetz JD, Federman DG. Cat-associated
menggunakan asam folat eksogen berbeda dengan sel zoonoses. Archives of Internal Medicine.
T. gondii yang miskin mekanisme transpor transmembr- 2002;162(17):1945–1952.
an untuk asam folat sehingga sel T. gondii tergantung 7. Villarreal MR. File:Toxoplasmosis life cycle
dari asam folat interseluler. Dosis asam folinik 15 mg en.svg; 2010. Available from: https:
tiga kali seminggu, pemeriksaan darah rutin tiap minggu //commons.wikimedia.org/wiki/File:
dianjurkan. 30 Toxoplasmosis_life_cycle_en.svg#
Pada kasus ini penderita mendapat terapi kombinasi file.
pirimetamin 1x75 mg hari pertama kemudian 1x25 mg
hari berikutnya, klindamisin 2x300 mg, asam folat 1x0,4 8. Holland GN, Lewis KG, O’Connor GR. Ocular
mg selama 4 minggu, dan metilprednisolon 60 mg per toxoplasmosis: a 50th anniversary tribute to the
hari selama 5 hari. contributions of Helenor Campbell Wilder Foers-
ter. Archives of Ophthalmology. 2002;120(8):1081–
1084.
4. Kesimpulan
9. Suhardjo, Utomo PT, Agni AN. Clinical Manifesta-
Telah dilaporkan seorang wanita berusia 40 tahun de- tions Of Ocular Toxoplasmosis In Yogyakarta, Indo-
ngan keluhan utama pandangan mata kanan kabur dan nesia: A Clinical Review Of 173 Cases. Southeast
gejala mirip flu. Hasil pemeriksaan funduskopi tampak Asian J Trop Med Public Health. 2003;2(34):291–7.

Jurnal Kedokteran
Korioretinitis Toksoplasmosis pada Penderita Imunokompeten 27

10. Holland GN. Ocular toxoplasmosis: a global reas- 23. Stanford MR, See SE, Jones LV, Gilbert RE. An-
sessment: part II: disease manifestations and ma- tibiotics for toxoplasmic retinochoroiditis: An
nagement. American journal of ophthalmology. evidence-based systematic review. Ophthalmology.
2004;137(1):1–17. 2003;(110):926–32.

11. Klotz SA, Penn CC, Negvesky GJ, Butrus SI. Fu- 24. Holland GN, Lewis KG. An update on current pra-
ngal and parasitic infections of the eye. Clinical ctices in the management of ocular toxoplasmosis
microbiology reviews. 2000;13(4):662–685. 1, 2. Elsevier; 2002.

12. Holland GN, Crespi CM, ten Dam-van Loon N, 25. Bovey EH. Usefulness of vitrectomy in the trea-
Charonis AC, Yu F, Bosch-Driessen LH, et al. Ana- tment of ocular toxoplasmosis. International journal
lysis of recurrence patterns associated with toxo- of medical sciences. 2009;6(3):139.
plasmic retinochoroiditis. American journal of
26. Guex-Crosier Y. Update on the treatment of ocular
ophthalmology. 2008;145(6):1007–1013.
toxoplasmosis. Int J Med Sci. 2009;6(3):140–2.
13. Eckert G, Melamed J, Menegaz B. Optic nerve cha-
27. Soheilian M, Sadoughi MM, Dehghan MH, Behbo-
nges in ocular toxoplasmosis. Eye. 2007;21(6):746–
udi H, Anisian A, Yazdani S. Prospective Ran-
751.
domized Trial of Trimethoprim/Sulfamethoxazole
14. Dodds EM, Holland GN, Stanford MR, Yu F, Siu versus Pyrimethamine and Sulfadiazine in the Trea-
WO, Shah KH, et al. Intraocular inflammation as- tment of Ocular Toxoplasmosis. Am Ac Ophtalmol.
sociated with ocular toxoplasmosis: relationships 2005;(112):1876–82.
at initial examination. American journal of ophthal- 28. Rothova A, Bosch-Driessen LE, Van Loon NH,
mology. 2008;146(6):856–865. Treffers WF. Azithromycin for ocular toxo-
15. Gray H. Anatomy of the Human Body; 2000. Ava- plasmosis. British journal of ophthalmology.
ilable from: http://www.bartleby.com/ 1998;82(11):1306–1308.
107/. 29. Bosch-Driessen LH, Verbraak FD, Suttorp-Schulten
MS, van Ruyven RL, Klok AM, Hoyng CB, et al. A
16. Remington JS, Thulliez P, Montoya JG. Recent de-
prospective, randomized trial of pyrimethamine and
velopments for diagnosis of toxoplasmosis. Journal
azithromycin vs pyrimethamine and sulfadiazine for
of clinical microbiology. 2004;42(3):941–945.
the treatment of ocular toxoplasmosis. American
17. Paul M. Immunoglobulin G avidity in diagnosis of journal of ophthalmology. 2002;134(1):34–40.
toxoplasmic lymphadenopathy and ocular toxoplas-
30. Ng P, McCluskey P. Treatment of ocular toxoplas-
mosis. Clinical and diagnostic laboratory immuno-
mosis. Australian Prescriber. 2002;25(4):88–89.
logy. 1999;6(4):514–518.

18. Tayuksel M, Guney C, Araz E, Saracli MA, Do-


ganci L. Performance of the Immunoglobulin G
Avidity and Enzyme Immunoassay IgG/IgM Scre-
ening Tests for Differentiation of the Clinical Spe-
ctrum of Toxoplasmosis. Journal of Microbiology.
2004;3(43):211–5.

19. Lappalainen M, Hedman K. Serodiagnosis of to-


xoplasmosis. The impact of measurement of IgG
avidity. Ann Ist Super Sanita. 2004;40(1):81–8.

20. Torre A, González G, Dı́az-Ramirez J, Gómez-


Marı́n JE. Screening by Ophthalmoscopy for To-
xoplasma Retinochoroiditis in Colombia. Am J
Ophthalmol. 2007;(143):354 –6.

21. Villard O, Filisetti D, Roch-Deries F, Garweg J,


Flament J, Candolfi E. Enzyme-Linked Immunosor-
bent Assay, Immunoblotting, and PCR for Diagno-
sis of Toxoplasmic Chorioretinitis. J Clin Microbiol.
2003;8(41):3537–41.

22. Hajj-Ali RA, Lowder C, Mandell BF. Uveitis in


the internist’s office: are a patient’s eye symptoms
serious. Cleve Clin J Med. 2005;72(4):329–39.

Jurnal Kedokteran
Jurnal Kedokteran 2016, 5(4): 28-31
ISSN 2301-5977, e-ISSN 2527-7154

Penggunaan Modified Sequential Organ Failure


Assessment (MSOFA) Sebagai Salah Satu
Skoring pada Mortalitas Pasien Kritis
Erwin Kresnoadi, Rina Lestari, Ommy Agustriadi

Abstrak
Sakit kritis adalah penyakit yang menyebabkan ketidakstabilan fisiologi tubuh yang berakibat disa-
bilitas atau kematian dalam hitungan menit atau jam. Sistem skoring pasien kritis sudah banyak
dipublikasikan. Sistem skoring ini ditujukan untuk memprediksi prognosis penyakit pasien dan menge-
valuasi kinerja ruang perawatan intensif. Skor MSOFA mengeliminasi jumlah trombosit, mengganti
tekanan parsial oksigen darah arteri dengan saturasi oksigen yang diukur dengan pulse oksimeter,
dan mengganti jumlah bilirubin serum dengan penilaian klinis ikterik.
Katakunci
Sakit kritis, sistem skoring, skor MSOFA.
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
*e-mail: dr erwin k@yahoo.com

organ yaitu respirasi, hematologi, hepar, dan ginjal. Un-


1. Pendahuluan tuk menghitung skor SOFA membutuhkan sampel darah
arteri dan vena, sehingga menjadi kurang praktis untuk
Sakit kritis adalah penyakit yang menyebabkan keti- diterapkan. Grissom dkk. memodifikasi sistem sko-
dakstabilan fisiologi tubuh yang berakibat disabilitas ring SOFA menjadi Modified SOFA (MSOFA) dengan
atau kematian dalam hitungan menit atau jam. 1 Banyak mengganti 4 kriteria yang menggunakan hasil peme-
hal dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam kondisi riksaan laboratorium dengan pemeriksaan fisik. Skor
kritis. Secara garis besar penyebab kondisi kritis da- MSOFA mengeliminasi jumlah trombosit, mengganti
pat dibagi dua, yaitu akibat pembedahan (surgical) dan tekanan parsial oksigen darah arteri (PaO2) dengan satu-
nonpembedahan (medical). Baik oleh sebab pembedah- rasi oksigen yang diukur dengan pulse oksimeter (SpO2),
an maupun bukan, kondisi kritis dapat disebabkan dan dan mengganti jumlah bilirubin serum dengan penilai-
menyebabkan gangguan sistem organ. Di antara org- an klinis ikterik. Satu-satunya hasil laboratorium yang
an atau sistem tubuh yang sering berhubungan dengan dibutuhkan adalah creatinine. Hasil penelitiannya me-
kondisi kritis adalah sistem pernafasan, kardiovaskular, nunjukkan SOFA dan MSOFA memiliki kemampuan
renal, saraf, hepatobilier, dan gastrointestinal. Gang- yang sama dalam memprediksi mortalitas pasien kritis. 4
guan sistem saraf, kardiovaskular dan respirasi dapat
dideteksi dengan observasi klinis, yaitu derajat kesadar-
an, frekuensi pernafasan, frekuensi denyut jantung, dan 2. Sistem Respirasi
produksi urin. 2 Sistem skoring pasien kritis sudah ba-
nyak dipublikasikan. Sistem skoring ini ditujukan untuk Gagal pernafasan akut merupakan salah satu penyebab
memprediksi prognosis penyakit pasien dan mengeva- perawatan di ruang rawat intensif. Prevalensi gagal
luasi kinerja ruang perawatan intensif. Sistem skoring pernafasan akut saat pasien masuk perawatan intensif
yang ideal adalah yang memiliki variabel laboratori- adalah 32%, dan prevalensi selama dirawat di ruang
um yang murah dan sederhana, tersedia di semua unit rawat intensif adalah 24%. 5 Dalam perkembangannya
perawatan intensif, menggambarkan kegagalan organ gangguan pernafasan akut dapat menjadi Acute Respira-
akut, tingkat diskriminasi tinggi, dan dapat diaplikasik- tory Distress Syndrome yang angka mortalitasnya tinggi.
an pada semua populasi. 3 Sistem skoring yang banyak Pasien yang mengalami gagal pernafasan akut tidak da-
digunakan adalah Acute Physiology and Chronic Health pat memenuhi kebutuhan oksigen, sehingga organ lain
Evaluation(APACHE), Simplified Acute Physiology Sco- terganggu fungsinya. Gagal pernafasan akut disebabkan
re (SAPS), dan Sequential Organ Failure Assessment oleh gagal oksigenasi (hypoxic respiratory failure), ga-
(SOFA). Sistem penilaian SOFA kemudian dimodifikasi gal eliminasi karbon dioksida (hypercarbic ventilatory
menjadi Modified SOFA agar lebih mudah digunakan. failure), atau keduanya. Hal-hal yang menyebabkan ga-
Skor SOFA mengkombinasikan penilaian klinis terha- gal oksigenasi adalah hipoventilasi, ketidakseimbangan
dap 2 sistem organ, yaitu kardiovaskular dan sistem ventilasi-perfusi, pirau, dan gangguan difusi. Gangguan
saraf pusat, dengan penilaian laboratoris dari 4 sistem eliminasi karbon dioksida ditandai oleh meningkatnya
Penggunaan MSOFA Sebagai Salah Satu Skoring pada Mortalitas Pasien Kritis 29

PaCO2, yang diakibatkan menurunnya ventilasi semenit pada reseptor α1-2 dan β 1. Obat-obat tersebut tidak
atau meningkatnya produksi karbon dioksida. Untuk ada yang lebih superior di antaranya, tetapi dopamin me-
monitoring pada keadaaan ini dapat digunakan pulse ningkatkan kebutuhan oksigen splanknik dibandingkan
oxymetry. Nilai saturasi oksigen yang didapat dari pulse norepinefrin. 14
oxymetry (SpO2) adalah salah satu bagian dari penilaian
oksigenasi pasien, dan bukan pengganti tekanan parsial
oksigen (PaO2) di arteri atau ventilasi. Saturasi oksigen 5. Sistem Saraf
normal pada orang sehat berkisar antara 97%-99%, dan
Gangguan sistem saraf merupakan salah satu penyebab
saturasi oksigen 95% dianggap cukup pada pasien de-
tersering pasien sakit kritis, dijumpai prevalensi kemati-
ngan kadar hemoglobin normal. Kurva disosiasi oksigen
an pada 7,9% pasien sakit kritis karena gangguan sistem
menunjukkan saturasi oksigen 90% setara dengan PaO2
saraf pusat. 15 Gangguan pada sistem saraf pusat ditan-
60 mmHg. 6 Penelitian Pandharipande dkk. menunjukk-
dai dengan gangguan kesadaran. Sadar adalah keadaan
an rasio SpO2/FiO2 memiliki nilai prediksi oksigenasi
dimana seseorang awas dan respon yang sesuai terha-
yang sama baiknya dengan rasio PaO2/FiO2. 7
dap lingkungan sekitar. Kesadaran terganggu akibat
disfungsi hemisfer secara global atau disfungsi batang
otak dimana terdapat reticular activating system. Pada
3. Funsi Hepar pasien dengan penyakit primer di sistem saraf pusat, pe-
Gangguan fungsi hepar diderita oleh 50% pasien yang nurunan kesadaran sebagai tanda terjadinya edema otak
dirawat di ruang intensif. Gangguan fungsi ini adalah dan peningkatan tekanan intrakranial. Sedangkan pada
akibat lanjut dari gangguan organ multipel, gangguan pasien yang tidak memiliki penyakit primer di sistem
pernafasan akut, gangguan fungsi jantung, obat-obat saraf pusat, penurunan kesadaran sebagai tanda klinis
imunosupresan, infeksi virus, atau efek terapi seperti komplikasi infeksi, toksisitas obat, atau gagal multi org-
transfusi darah, nutrisi parenteral, dan toksisitas obat. an. 16 Penurunan kesadaran menjadi salah satu faktor
Faktor-faktor diatas menyebabkan ‘shock liver’ yang risiko gagal pernafasan akut, hal ini diakibatkan tinggi-
patofisiologinya meliputi mekanisme hemodinamik, se- nya risiko aspirasi inhalasi isi lambung dan penggunaan
luler, dan molekuler. 8 Peningkatan enzim-enzim hepar, pipa endotrakea yang menjadi predisposisi pneumonia
penurunan kadar albumin dan faktor-faktor koagulasi, nosokomial. 17 Untuk menilai kesadaran dapat digunak-
dan hiperbilirubinemi adalah anda-tanda dimana mulai an glasgow coma score (GCS), yang menggunakan 3
terjadi gangguan hepar. 9 Hiperbilirubinemi berat ber- variabel yaitu gerakan membuka mata, gerakan motorik,
manifestasi klinis ikterik. Insidensi ikterik pada pasien dan verbal. 15
kritis adalah 40% jika kondisi ini menetap maka mor-
biditas dan mortalitas akan meningkat. 10 Ikterik adalah
pigmentasi kuning pada sklera, kulit dan cairan tubuh 6. Fungsi Ginjal
akibat peningkatan bilirubin darah lebih dari 50µmol/L Gangguan fungsi ginjal terjadi pada 31% pasien kritis
(2,8 mg/dL). Pada pasien kritis peningkatan bilirubin dan berhubungan dengan mortalitas yang tinggi. Pada
disebabkan adanya obstruksi saluran bilier, kerusakan pasien kritis terjadi penurunan tekanan arteri dan re-
masif sel hepar akibat gangguan perfusi, infeksi hepar, sistensi vaskular ginjal, yang menyebabkan turunnya
toksisitas obat, atau pemecahan sel darah merah berle- perfusi ke ginjal sehingga mengganggu fungsi ginjal. 18
bihan. 11 Ginjal memiliki fungsi filtrasi, reabsorpsi, dan augmen-
tasi, jika fungsi ini terganggu menyebabkan retensi ure-
um, volume overload, asidosis, dan ketidakseimbangan
4. Sistem Kardiovaskular elektrolit. Evaluasi fungsi ginjal dapat dilihat melalui
Gangguan kardiovaskular, yang terjadi pada 20% pasien produksi urin dan kadar ureum-kreatinin darah. Nilai
kritis, menyebabkan gangguan perfusi organ hingga ter- kreatinin sewaktu tidak dapat menggambarkan gang-
jadi gangguan fungsi organ. 12 Gangguan kardiovasku- guan fungsi ginjal akut, karena penurunan laju filtrasi
lar ini disebabkan oleh gagal jantung, gangguan fungsi glomerulus terjadi 24-72 jam setelahnya, tetapi pasien
vaskular, atau keduanya. Hal ini menyebabkan gagal dengan bersihan kreatinin rendah dapat menjadi tanda
sirkulasi sehingga terjadi maldistribusi darah akibatnya awal gagal ginjal akut meski nilai kreatinin normal. 19
oksigen tidak sampai ke jaringan. Salah satu tanda klinis Pembedahan risiko tinggi menjadi salah satu penye-
gagal sirkulasi adalah tekanan darah rendah (hipotensi). bab sakit kritis tersering. Risiko tinggi dalam pembedah-
Hipotensi adalah turunnya tekanan darah sistolik kurang an dapat disebabkan oleh keadaan pasien maupun dari
dari 90 mmHg atau adanya penurunan 40 mmHg dari prosedur bedahnya. 20 Pasien dengan penyakit jantung,
tekanan darah basal, atau MAP kurang dari 65 mmHg. 13 gangguan respirasi berat, orang tua dengan keterbatasan
Tekanan darah dipertahankan dengan menggunakan ter- fungsi organ, sepsis berat dapat jatuh pada kondisi kritis
api cairan dan obat-obatan vasopressor. Obat-obat va- saat pasca operasi. Operasi-operasi besar non kardiak
sopressor bekerja pada reseptor adrenergic, dan obat seperti operasi karsinoma yang melibatkan anastomosis
yang biasa digunakan adalah dopamin, dobutamin, dan usus, pneumonektomi, prosedur ortopedi dan trauma-
norepinefrin. Dopamin bekerja pada reseptor α1-2 dan tologi kompleks, dan operasi operasi kardiovaskular
β 1-2, dobutamin pada reseptor β 1-2, dan norepinefrin adalah contoh-contoh operasi yang dapat menyebabkan

Jurnal Kedokteran
30 Kresnoadi, dkk.

Tabel 1. Modified Sequential Organ Failure Asessment 4

Sistem Organ 0 1 2 3 4
Respirasi >400 6400 6315 6235 6150
SpO2/FiO2
Hepar Tidak ada sclera Sclera ikte-
ikterik/jaundice rik/jaundice
Kardiovaskuler, Tidak ada hipo- MAP < Dopamine 65 / Dopamine >5, Dopamine > 15,
hipotensi tensi 70mmHg dobutamin dosis epinephrine epinephrine
berapapun 60.1, norepine- >0.1, norepine-
phrine 60.1 phrine >0.1
Sistem saraf 15 13-14 10-12 6-9 <6
pusat, GCS
Ginjal, creati- <1.2 1.2-1.9 2.0-3.4 3.5-4.9 >5.0
nine, mg/dl

pasien mengalami hipovolemi akut akibat perdarahan 2. Mayr VD, Dünser MW, Greil V, Jochberger S, Luck-
masif. Hipovolemi akut menyebabkan hipoperfusi akut ner G, Ulmer H, et al. Causes of death and determi-
yang menyebabkan pasien menjadi kritis. 21 nants of outcome in critically ill patients. Critical
Fungsi gastrointestinal tidak tercakup dalam sistem care. 2006;10:1–13.
skoring MSOFA. Gangguan fungsi gastrointestinal se-
ring dialami pasien kritis dan memengaruhi morbiditas 3. Le Gall JR. The use of severity scores in the
pasien. Meski begitu penilaian fungsi gastrointestinal intensive care unit. Intensive care medicine.
belum didapatkan pada sistem skoring untuk menilai 2005;31(12):1618–1623.
gagal organ pada pasien sakit kritis. 22 Gangguan gastro-
4. Grissom CK, Brown SM, Kuttler KG, Boltax JP,
intestinal yang sering terjadi adalah diare, menurunnya
Jones J, Jephson AR, et al. A modified sequenti-
bising usus, dan perlambatan pengosongan lambung.
al organ failure assessment score for critical care
Penyebab gangguan gastrointestinal pada pasien kritis
triage. Disaster medicine and public health prepa-
adalah gangguan motilitas usus dan rusaknya lapisan
redness. 2010;4(04):277–284.
mukosa usus. Implikasi klinis dari gangguan fungsi
gastrointestinal adalah terganggunya nutrisi enteral dan 5. Vincent JL, Akça S, De Mendonça A, Haji-Michael
meningkatnya risiko infeksi. Gangguan nutrisi enteral P, Sprung C, Moreno R, et al. The epidemiology
terlihat dengan meningkatnya volume residu lambung. of acute respiratory failure in critically ill patients.
Mukosa usus yang rusak menjadi predisposisi terjadinya CHEST Journal. 2002;121(5):1602–1609.
infeksi karena adanya translokasi bakteri usus. 23
6. Chelluri L PR. Textbook of Crical Care: Acute res-
piratory failure. 6 ed. California: Elsevier Saunders.
2010;.
7. Ringkasan
Faktor penyebab terbesar kematian pasien kritis adalah 7. Pandharipande PP, Shintani AK, Hagerman HE,
gangguan sistem neurologis dan kardiorespirasi. Gang- St Jacques PJ, Rice TW, Sanders NW, et al. Deri-
guan sistem kardiorespirasi menyebabkan ketidaksta- vation and validation of SpO2/FiO2 ratio to impute
bilan hemodinamik yang mengganggu perfusi organ, for PaO2/FiO2 ratio in the respiratory component of
misalnya gangguan sistem gastrointestinal. Mortalitas the Sequential Organ Failure Assessment (SOFA)
pasien berhubungan dengan keparahan penyakit, terbuk- Score. Critical care medicine. 2009;37(4):1317.
ti dengan tingginya nilai-nilai prediktor yang didapat
8. Balk RA. Sepsis and septic shock:pathogenesis
dari sistem skoring yang ada. Grissom dkk. telah mela-
and management of multiple organ dysfunction or
kukan uji coba SOFA dan MSOFA untuk pasien kritis
failure in severe sepsis and septic shock. Critical
akibat kondisi penyakitnya, pasien pasca operasi risiko
care clinics. 2000;16:1–10.
tinggi, dan pasien trauma. Hasil penelitiannya menun-
jukkan SOFA dan MSOFA memiliki kemampuan yang 9. Soultati A, Dourakis S. Liver dysfunction in the
sama dalam memprediksi mortalitas pasien kritis. intensive care unit. Annals of Gastroenterology.
2005;18(1):35–45.

Daftar Pustaka 10. Bansal V, Schuchert VD. Jaundice in the intensi-


ve care unit. Surgical Clinics of North America.
1. Resche-Rigon M, Azoulay E, Chevret S. Evalu- 2006;86(6):1495–1502.
ating mortality in intensive care units: contribu-
tion of competing risks analyses. Critical Care. 11. Fink MP. Textbook of. University of Pittsburgh;
2006;10(1):1–6. 2010.

Jurnal Kedokteran
Penggunaan MSOFA Sebagai Salah Satu Skoring pada Mortalitas Pasien Kritis 31

12. Schutz SL. PREREQUISITE NURSING KNO-


WLEDGE. AACN Procedure manual for Critical
Care,. 2001;p. 78–82.
13. Subramanian S KJ Venkatarman R. Textbook of Cri-
tical Care: Oliguria. 6 ed. Elsevier Health Sciences;
2010.

14. Pinsky MR. Goals of resuscitation from circula-


tory shock. In: Sepsis, Kidney and Multiple Organ
Dysfunction. vol. 144. Karger Publishers; 2004. p.
94–104.
15. Darby JM AA. Textbook of Critical Care: Sudden
deterioration in neurologic status. 6 ed. Elsevier
Saunders; 2010.
16. Fischer M, Rüegg S, Czaplinski A, Strohmeier M,
Lehmann A, Tschan F, et al. Inter-rater reliability
of the Full Outline of UnResponsiveness score and
the Glasgow Coma Scale in critically ill patients:
a prospective observational study. Critical care.
2010;14(2):2–9.
17. Dhupar R OJ. Textbook of critical care. 6 ed. Cali-
fornia. Elsevier Saunders; 2012.

18. Piccinni P, Carraro R, Ricci Z. Acute renal failu-


re in the Intensive Care Unit. In: Sepsis, Kidney
and Multiple Organ Dysfunction. vol. 144. Karger
Publishers; 2004. p. 1–12.
19. Pickering JW, Frampton CM, Walker RJ, Shaw GM,
Endre ZH. Four hour creatinine clearance is better
than plasma creatinine for monitoring renal function
in critically ill patients. Critical Care. 2012;16(3):1–
12.
20. Boyd O, Jackson N. Clinical review: How is risk
defined in high-risk surgical patient management?
Critical Care. 2005;9(4):390.
21. Meregalli A, Oliveira RP, Friedman G. Occult hypo-
perfusion is associated with increased mortality in
hemodynamically stable, high-risk, surgical patien-
ts. Critical care. 2004;8(2):60–64.

22. Reintam A, Parm P, Kitus R, Starkopf J, Kern H.


Gastrointestinal failure score in critically ill patients:
a prospective observational study. Critical care.
2008;12(4):1–8.

23. Hill LT. Gut dysfunction in the critically ill-


mechanisms and clinical implications: resear-
ch. Southern African Journal of Critical Care.
2013;29(1):11–15.

Jurnal Kedokteran
Jurnal Kedokteran 2016, 5(4): 32-37
ISSN 2301-5977, e-ISSN 2527-7154

Komplikasi Intervensi Koroner Perkutan


Yusra Pintaningrum

Abstrak
Percutanous coronary intervention (PCI) dapat menimbulkan komplikasi yang tidak terduga. Komplika-
si tersebut dapat timbul sebagai akibat dari karakteristik peralatan yang digunakan atau karakteristik
dari intervensi itu sendiri. Komplikasi PCI secara tradisional dikelompokkan berdasarkan indikasi tin-
dakan, tahapan tindakan dan penggunaan instrumen tertentu. Perkembangan peralatan, penggunaan
stent dan terapi antiplatelet yang agresif telah menurunkan insidensi komplikasi mayor PCI selama
15-20 tahun terakhir. Salah satunya turunnya angka coronary bypass surgery (CABG) dari 1,5 persen
di tahun 1992 menjadi 0,14 persen tahun 2000 dan dari 2,9 persen di tahun 1979-1994 menjadi 0,3
persen di periode tahun 2000-2003.
Katakunci
Percutaneous coronary intervention, komplikasi, PCI.
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
SMF Jantung & Pembuluh Darah RSUD Provinsi NTB
*e-mail: yusra97@yahoo.com

kematian dalam 1 bulan paska PCI (termasuk kematian


1. Pendahuluan mendadak, infark miokard, stroke, pembedahan dalam 1
Intervensi koroner perkutan (percutaneous coronary in- bulan PCI) sekitar 0,6%, Tabel 1. 3
tervention /PCI) memiliki variasi komplikasi yang cu-
Tabel 1. Angka komplikasi pada PCI
kup lebar, baik masalah minor dengan sekuel sementara
sampai dengan yang mengancam jiwa sehingga dapat Komplikasi (n=23.339 prosedur) %
menyebabkan kerusakan secara ireversibel, jika tidak Kematian satu bulan pasca PCI 0,60
dilakukan penanganan segera. Komplikasi mayor pada Kematian di laboratorium kateter 0,47
kateterisasi jantung lebih jarang, yaitu kurang dari 2% Stroke 0,29
populasi, dengan mortalitas kurang dari 0,08%. Peng- Perforasi jantung 0,29
gunaan kontras iso-osmolar, kateter diagnostik dengan Setiap infark miokard 0,74
profile yang lebih rendah, serta pengalaman operator Operasi muncul 0,15
dapat menurunkan insiden komplikasi. 1 Berikut akan Stent thrombosis (ST) pada satu bulan 0,53
dijelaskan mengenai berbagai macam komplikasi yang Dugaan stent thrombosis 0,82
dapat terjadi pada prosedur PCI. Berbagai macam pem- Gagal ginjal 0,28
bagian komplikasi dari beberapa literature. Namun ada Hemodialisa 0,17
yang menyebutkan komplikasi pada PCI dibagi menjadi Perdarahan retroperitoneal 0,18
tiga, yaitu komplikasi terkait penyakit pasien, kompli- Komplikasi pembuluh darah dan perda- 0,79
kasi selama prosedur PCI, dan komplikasi terkait alat rahan
(device). Satu bulan komposit dengan ST 1,80
Satu komposit bulan tanpa ST 1,58
Komplikasi 3,36
2. Insiden dan Mortalitas
Penggunaan stent saat ini (dibandingkan dengan balloon 2.1 Komplikasi Berkaitan Seleksi dan Persiap-
angioplasty) dan perbaikan desain stent seiring waktu an Pasien
dapat menurunkan resiko komplikasi mayor secara akut Seleksi pasien yang tepat dan persiapan yang matang
dan tidak meningkatkan mortalitas walaupun kasusnya oleh intervensionist dapat mencegah terjadinya kompli-
kompleks. Laporan dari American College of Cardiolo- kasi dan efek samping saat PCI. Faktor penentu kompli-
gy National Cardiovascular Data registry, 100.000 pro- kasi antara lain: 4
sedur PCI dengan pemasangan stent 77% antara tahun
1998-2000 menunjukkan insiden infark miokard Q wave 2.1.1 Reaksi kontras
sebanyak 0,4%, urgent CABG 1,9%, dan kematian 1,4%. Insiden alergi kontras relative rendah (0,01-0,5%). Reak-
Laporan lain menunjukkan kejadian emergency CABG si alergi diklasifikasikan minor (kemerahan), moderate
dibawah 0,5%. 2 Buku ajar PCR-EAPCI – percutaneo- (urtikaria, bronkospasme), atau berat (rekasi anafilak-
us interventional cardiovascular medicine memaparkan tik dengan kolaps hemodinamik). Pencegahan reaksi
Komplikasi Intervensi Koroner Perkutan 33

urtikaria dengan memberikan diphenhydramine sebe- secara adekuat sebelum prosedur, kontras low ionic, hi-
lum prosedur. Pasien dengan rekasi anafilaksis yang drasi dengan sodium bikarbonat, dan N-acetylcysteine.
terdokumentasi harus diberikan terapi agresif dengan Penggunaan kontras iso-osmolar lebih sedikit menye-
steroid oral 24 jam sebelum prosedur (boleh diberik- babkan disfungsi renal daripada kontras osmolar tinggi
an secara intravena saat prosedur) bersamaan dengan ada penderita resiko tinggi. Obat-obatan nefrotoksik
diphenhydramine. 4 diantaranya antibiotic, obat anti inflamasi non steroid,
dan siklosporin harus dihentikan 24-48 jam sebelum
2.1.2 Diabetes dilakukan PCI dan 48 jam setelah prosedur jika me-
Pasien diabetes memiliki mortalitas yang lebih tinggi mungkinkan. Hidrasi intravena dengan salin 0,9% atau
baik setelah PCI maupun CABG dibandingkan tanpa 0,45% selama 12-48 jam sebelum pemberian kontras
diabetes. Penggunaan metformin sebagai terapi diabe- direkomendasikan pada penderita dengan insufisiensi
tes tidak hanya menyebabkan disfungsi renal tapi dapat renal. 4 POSEIDON trial menunjukkan bahwa hidrasi
memicu asidosis laktat yang fatal. Untuk itu harus dihen- dengan petunjuk LVEDP (LVEDP-guided hydration) le-
tikan sebelum prosedur sampai 48 jam setelahnya, dan bih superior disbanding hidrasi biasa untuk mencegah
dapat dimulai lagi apabila serum kreatinin normal. 3,4 AKI pada pasien dengan gangguan ginjal yang stabil. 5
2.1.3 Disfungsi ventrikel kiri dan syok
2.1.6 Penyakit vaskuler perifer
Analisis dari NHLBI Dynamic Registry dari tahun 1997
Adanya penyakit vaskler perifer juga mempengaruhi
sampai 1998 menunjukkan angka kematian saat pera-
pemilihan akses vascular dan insiden komplikasi vas-
watan dan kejadian infark miokard setelah PCI secara
kuler. Faktor yang mempengaruhi komplikasi vaskuler
signifikan berkaitan dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri
diantaranya penggunaan warfarin, trombolitik, terapi
(left ventricular ejection fraction /LVEF). Faktor yang
anti platelet, adanya penyakit vaskuler perifer sebelum-
dapat menyebabkan peningkatan resiko kolaps kardio-
nya, wanita, obesitas, dan prosedur yang lama dengan
vaskuler selama PCI diantaranya: 4
penggunaan heparin, pelepasan sheath yang tertunda,
a. LVEF kurang dari 25% dan usia tua. Insiden hematom terjadi berkisar 1%-3%
berkaitan dengan pemilihan ukuran sheath, penggunaan
b. Diameter stenosis koroner antikoagulan, anti platelet, dan obesitas. Pseudoane-
urisma dan fistula arteriovena juga berkaitan dengan
c. Penyakit Jantung Koroner (PJK) multivessel
kanulasi arteri femoral dibawah bifurkasio. 4
d. Diffuse disease pada segmen yang sudah dilebark-
an. 2.1.7 Anemia
Anemia bukan kontrakindikasi kateterisasi diagnostik.
Pada penderita yang mengalami disfungsi LV atau syok, Namun PCI elektif dengan stent sebaiknya dihindari
penggunaan kateter arteri pulmonal untuk monitor te- pada anemia defisiensi besi. 3
kanan dan penggunaan obat inotropic disarankan. Peng-
gunaan intra-aortic balloon pump (IABP) sebelum in- 2.2 Komplikasi Selama Tindakan
tervensi disarankan untuk memperbaiki outcome pada 2.2.1 Komplikasi Arteri Koroner
pasien dengan hemodinamik compromise, iskemia atau 1. Diseksi dan penutupan pembuluh darah mendadak
syok kardiogenik. Alternative lainnya adalah dengan setelah PCI (acute vessel closure). Kematian pasi-
tehnik terbaru, yaitu percutaneous left ventricular assist en saat PCI elektif kebanyakan berkaitan dengan
device (PLVADs) yang dapat mendukung hemodina- menutupnya pembuluh darah secara mendadak
mik saat prosedur resiko tinggi. 4 Pasien dengan gagal sehingga menyebabkan kegagalan fungsi ventri-
jantung dekompensasi merupakan kontraindikasi untuk kel kiri dan hemodinamik tidak stabil. Resiko
kateterisasi kecuali pasien terintubasi dan terventilasi. tersebut meningkat seiring dengan kompleksitas
Tanpa support tersebut, edema pulmonal akut diatas lesi. Prosedur yang menyebabkan diseksi, pan-
meja operasi dapat meningkatkan morbiditas dan morta- jangnya stent, dan banyaknya jumlah stent yang
litas. 3 ditempatkan serta diameter lumen berkaitan de-
2.1.4 Acuity of presentation
ngan kemungkinan stent thrombosis. 6
Resiko kejadian infark miokard post PCI, CABG, dan
2. Intramural hematoma
kematian meningkat pada pasien yang menjalani Pri-
mary PCI pada infark miokard akut dibandingkan de- 3. Perforasi
ngan angina stabil atau tidak stabil. 4
Perforasi adalah penetrasi secara anatomi inte-
2.1.5 Insufisiensi renal / acute kidney injury (AKI) gritas tunika adventitia sampai arteri perikard se-
Pasien dengan fungsi renal terganggu juga resiko ting- hingga menyebabkan ekstravasasi darah, sampai
gi terjadi contrast-induced nephropathy (CIN). Defini- menuju miokard, perikard atau ruang jantung. Di-
si CIN jika terjadi peningkatan serum kreatinin >0,5 sebabkan oleh balon yang terlalu besar atau stent,
mg/dL post procedural PCI. Kejadian CIN sekitar 2% rupture balon, paska dilatasi stent secara agresif,
sampai 40% pada pasien resiko rendah sampai ting- terapi laser, rotablasi, atau guidewire yang keluar.
gi. Pencegahan CIN diantaranya memberikan hidrasi Resiko tinggi perforasi pada wanita, usia lanjut,

Jurnal Kedokteran
34 Pintaningrum

CABG sebelumnya, PCI pada keluhan yang ti- Tabel 3. Prediksi embolisasi distal saat PPCI
dak stabil, tortuous, kalsifikasi dan arteri kecil,
Prediksi embolisasi distal saat PPCI
penggunaan IVUS dan intervensi CTO. 3
trombus angiografi > 3x diameter lumen referensi
4. Emboli udara cut-off mendadak sebelum oklusi
Kehadiran akumulasi trombus proksimal oklusi
Terjadinya emboli udara pada PCI cukup berbaha- Kehadiran mengambang proksimal trombus untuk
ya. Data retrospektif menunjukkan emboli udara oklusi
disebabkan tehnik yang tidak tepat. 3 Sebaliknya Persistent menengah distal obstruksi
Referensi diameter pembuluh > 4mm
5. Oklusi side branch – stent jail

6. Komplikasi saat stenting


2.2.3 Pencegahan No-Reflow phenomenon
a. Stent gagal mengembang (failure of stent Adenosine merupakan antidote untuk mencegah no-reflow,
deployment) namun manfaatnya baru tampak pada saat no-reflow ter-
jadi. Abciximab juga memiliki peran penting sesuai
b. Stent thrombosis dengan rekomendasi ESC. Alternative lainnya adalah
nicorandil diberikan intravena. 3
7. Spasme koroner
Vasospasme arteri koroner pada konteks PCI ada- 2.2.4 Penatalaksanaan No-Reflow phenomenon
lah mengecilnya lumen arteri sementara > 50% 1. Farmakologi Adenosine intrakoroner, verapamil,
dan reversible serta respon terhadap pemberian papaverine, sodium nitroprusside, abciximab, cyclos-
nitrat. Bisa terjadi pada pasien sindroma koro- porine, epinephrine dan streptokinase telah digu-
ner akut dan Prinzmetal angina. Mekanismenya nakan sebagai terapi pada no-reflow dengan hasil
disebabkan disfungsi endotel dan hiperresponsif yang baik. Obat tersebut dapat mencapai distal
otot polos tunika media sampai dengan stimulus koroner hingga mikrosirkulasi. Adenosine meru-
vasokonstriktor. Spasme koroner yang berat bi- pakan purine receptor antagonist, merupakan lini
sa mengganggu TIMI flow, dan sering berkaitan pertama untuk obat vasoaktif yang kuat dengan
dengan cedera pembuluh darah (diseksi, throm- memiliki waktu paruh yang pendek. Konsumsi
bus, perforasi), namun masih bisa diatasi dengan kafein <24 jam dan terapi aminofilin kronik dapat
nitrogliserin dosis tinggi atau calcium channel menumpulkan efek adenosine.
antagonist. 3
Verapamil merupakan L-type calcium channel an-
tagonist yang memiliki aksi baik pada otot polos
2.2.2 No-reflow Phenomenon
vascular maupun jaringan konduksi. Papaverin
No-reflow phenomenon didefinisikan perfusi miokard
dapat digunakan namun memiliki efek prolong
yang tidak adekuat. Sering terjadi saat primary PCI, in-
QT yang tidak disarankan pada kondisi infark
tervensi lesi kompleks, intervensi graft vena atau ketika
miokard. Beberapa penelitian membuktikan in-
peralatan rotational atherectomy digunakan. No-reflow
tra koroner streptokinase diberikan pada kondisi
ditunjukkan dengan TIMI flow 0-2. Prediksi terjadinya
PPCI. Epinefrin intrakoroner juga telah sukses
no-reflow phenomenon tampak pada table berikut (Tabel
digunakan pada pasien dengan no-reflow elektif. 3
2) dan prediksi emboli distal saat PPCI (Tabel 3):
2. Pencegahan dengan cara mekanik
Tabel 2. Prediksi penyebab no-reflow phenomenon
Prediktor fenomena no-reflow Tujuannya adalah untuk mencegah emboli distal
1. Embolisasi distal dari debris atheroma dan thrombus.
a. Beban Thrombus
2. Cedera Iskemik a. Proteksi distal Proteksi distal dapat mengu-
a. Hubungi ke balon waktu rangi insiden infark miokard periprosedural
b. tingkat iskemia 46% dan kejadian no-reflow 66%.
3. Cedera Reperfusi
b. Aspirasi thrombus Pada Thrombus Aspira-
a. Jumlah Neutrophil
tion during Percutaneous Coronary Interven-
b. Endothelin tingkat 1
tion in Acute Myocardial Infarction (TAPAS)
c. Tromboksan tingkat A2
study, 1071 pasien yang menjalani PPCI pa-
d. Berarti volume patelet dan reaktivitas
da IMA dilakukan aspirasi thrombus diiku-
4. Kerentanan Individu
ti stenting. Pada studi ini aspirasi throm-
a. Diabetes
bus menunjukkan reperfusi lebih baik diban-
b. Hiperglikemia akut
dingkan PCI konvensional. Resolusi leng-
c. Hiperkolesterolemia
kap segmen ST-T terjadi pada 56,6% pasien
d. Tidak adanya pra kondisi
dengan aspirasi thrombus, dan 44,2% pasien
PCI konvensional (P<0.001). Dan setelah

Jurnal Kedokteran
Komplikasi Intervensi Koroner Perkutan 35

satu tahun, angka kematian 3,6% pada ke- 3. AV fistula AV fistula merupakan komplikasi ia-
lompok aspirasi thrombus dan 6,7% pada trogenik yang dapat terjadi <1% dengan transfe-
kelompok PCI konvensional (p=0,020). moral. Penelitian prospektif (n=10.272) menun-
c. Direct stenting Direct stenting dapat dila- jukkan punksi femoral kiri , wanita, penggunaan
kukan jika lesi jelas terlihat dengan tujuan antikoagulan (warfarin dan heparin) serta hiper-
menjebak material emboli. tensi merupakan faktor prediksi terjadinya AV
fistula.
d. Conditioning Mengacu pada mekanisme ak-
tifasi miokard intraseluler yang dapat me- 4. Infeksi
rangsang iskemia pada kondisi IMA. Condi-
tioning merupakan strategi potensial untuk 5. Hematom Komplikasi yang tersering adalah he-
mencegah cedera reperfusi (reperfusion in- matom. Terapa massa di daerah pungsi dan harus
jury) yang berkaitan dengan no-reflow. 3 dibedakan dengan ekimosis. Penatalaksanaan-
nya dengan menekan secara manual atau meka-
nik. Data prospektif di Brisbane Australia, dari
1089 pasien yang menjalani PCI dari 1 Janua-
3. Iskemia dan Infark Miokard ri 20115-31 desember 2006 menunjukkan angka
1. Iskemia dan Infark Miokard Inflasi balon saat perdarahan sebanyak 22,4% dan hematom 7,1%. 9
PCI sering menyebabkan iskemi sementara, wa-
laupun ada tidaknya nyeri dada atau perubahan 6. Neuropraxia Berkaitan dengan nervus femoralis
ST-T. Injuri miokard dengan nekrosis bisa terja- , tidak mengancam jiwa, tapi simtomatik dengan
di saat prosedur, bisa bersamaan dengan diseksi prognosis yang baik.
koroner, oklusi arteri koroner mayor maupun side 7. Iskemi ekstremitas bawah (thrombosis atau em-
branch, disrupsi aliran kolateral, slow flow atau boli) Thrombosis arteri atau emboli pada arteri
no re-flow, emboli distal, dan microvascular plug- femoral merupakan komplikasi yang mengancam
ging. Menurut universal classification of myo- jiwa. Tanda-tanda dari acute limb ischemia (ALI)
cardial infarction, infark miokard yang berkaitan diantaranya pulseless, pale, painful, paraesthetic
dengan PCI termasuk tipe 4A, dan infark miokard foot, dimana harus dirujuk ke bedah vascular un-
berkaitan dengan stent thrombosis termasuk tipe tuk penatalaksanaan lebih lanjut.
4b , dibuktikan dengan angiografi atau otopsi. 7
8. Diseksi Peralatan apa pun yang kontak dengan
2. CABG emergensi setelah gagal PCI Menurut pe- endotel vaskuler dapat menyebabkan cedera trau-
nelitian tahun 1992-2000 pada 18.593 prosedur, matik. Dilatasi mekanik pada arteri dengan balon,
indikasinya CABG emergensi setelah gagal PCI stent, guidecatheter, guidewire, dapat menyebabk-
sebagai berikut: 3 an fraktur plak, intimal splitting, dan diseksi se-
cara local ke medial. Diseksi menyebabkan terpi-
a. Diseksi koroner ekstensif (54%)
sahnya lapisan endotel dengan media. Tergantung
b. Perforasi / tamponade (20%) dari beratnya cedera yang dapat menimbulkan
c. Berulangnya penutupan pembuluh darah se- hematom dan intra plak sehingga terjadi penyum-
cara akut (20%) batan pembuluh darah secara mekanik. Diseksi
dapat juga terjadi di aorta maupun arteri perifer.
d. Hemodinamik tidak stabil (3%) Diseksi atrial kiri dan hematom dilaporkan di Tur-
e. Diseksi aorta (2%) ki 2016. 3,10 Untuk menurunkan komplikasi akses
transfemoral: 3
f. Fraktur guidewire (1%)
1. Menggunakan floroskopi atau ultrasound
3.1 Komplikasi Terkait Akses Vaskular
2. Pungsi tepat atau dibawah femoral head
Akses arteri femoral lebih meningkatkan komplikasi
daripada radial. Tehnik pungsi yang tepat sangat funda- 3. Angiogram femoral (RAO 30 LAO 60)
mental untuk mengurangi komplikasi. Komplikasi yang 4. PCI dan antikoagulan hanya untuk pasien
dapat terjadi diantaranya: 3,8 tertentu
1. Perdarahan retroperitoneal Data CathPCI Registry dari 2005 sampai dengan
Penelitian retrospektif pada >110 ribu pasien me- 2009 dengan total prosedur PCI dengan akses
nunjukkan perdarahan retroperitoneal setelah PCI femoral sebanyak 1.819.611 menunjukkan bah-
jarang terjadi yaitu <1%. wa Vascular closure device (VCD) terbukti menu-
runkan perdarahan dan komplikasi vascular diban-
2. Pseudoaneurisma Pseudoaneurisma dapat terjadi ding dengan penekanan secara manual. 11 Akses
jika tempat pungsi menimbulkan kantong hema- arteri radial dapat menurunkan komplikasi perda-
tom. Terjadi pada arteri femoral karena penekan- rahan, terutama pada penderita yang menggunak-
an yang kurang efektif. an antikoagulan, obesitas berat, penyakit pernafas-

Jurnal Kedokteran
36 Pintaningrum

an kronik, gangguan hemostasis, dan primary PCI. glycoprotein 2b3a antagonist (GP 2b/3a) dapat mengura-
Komplikasi yang bisa terjadi pada akses radial: 3 ngi resiko frekuensi penutupan pembuluh darah. Guide-
line merekomendasikan heparin 50-100 u/kg cukup men-
1. Sindroma kompartemen capai level anti koagulan (anticoagulation level /ACT)
2. Abses steril 250-300 detik (dengan HemoTec analyser). Untuk pasi-
en yang mendapatkan Gp 2b/3a cukup dengan heparin
3. Pseudoaneurisma 50-70 u/kg. 3 Walaupun jarang, oklusi trombotik pada
4. Perforasi atau cedera pembuluh darah left coronary artery (LCA) dapat terjadi. Hal tersebut
disebabkan oleh: 3
5. Vasospasme berat
a. Instrumen yang banyak dan aktif melewati LCA
Untuk mengurangi komplikasi akses transradial selama PCI tanpa flushing adekuat.
diantaranya: 3
b. Antikoagulan yang tidak cukup
1. Hidrasi dan mengurangi kecemasan
c. Injeksi thrombus yang terdapat pada guiding ca-
2. Pemberian “cocktail” (biasanya calcium chan- theter karena kurangnya flushing.
nel antagonist dan / atau nitrat)
d. Lepasnya thrombus saat menarik kateter aspirasi
3. Heparin (3-5000 unit) pada left main atau pembuluh darah proximal.
4. Hindari punksi pada flexor retinaculum
5.4 Stent Entrapment
5. Perfusion heaemostasis Stent yang terjebak (stent entrapment) merupakan ka-
sus yang jarang, namun telah dilaporkan sebelumnya,
diterapi dengan atau tanpa pembedahan. 13
4. Krakteristik Lesi
Kalsifikasi, tortous (angulasi >45 derajat), left main, 5.5 infeksi stent koroner
bifurkasio, degenerated saphenous vein graft, chronic Infeksi stent koroner jarang terjadi, namun pernah di-
total occlusion, unprotected left main disease, dan mul- laporkan di Swedia dimana terjadi 4 minggu paska pe-
tivessel disease berkaitan dengan peningkatan kompli- masangan stent dengan kultur darah positif. Penyebab
kasi. 3,2 utamanya adalah infeksi nosokomial. 14

5. Komplikasi Terkait Device 6. Kesimpulan


Intervensi koroner perkutan (percutaneous coronary in-
5.1 Instent restenosis tervention /PCI) memiliki variasi komplikasi yang cu-
Masalah yang dapat terjadi setelah PCI adalah pertum- kup lebar, baik masalah minor dengan sekuel sementara
buhan jaringan di dalam lumen arteri, sehingga menye- sampai dengan yang mengancam jiwa sehingga dapat
babkan arteri menyempit dan buntu kembali dalam 6 menyebabkan kerusakan secara ireversibel, jika tidak
bulan. Komplikasi ini disebut restenosis. Kejadian res- dilakukan penanganan segera. Seleksi pasien yang tepat
tenosis pada PCI tanpa stent sekitar 30%, dan dengan dan persiapan yang matang oleh intervensionist dapat
stent tanpa obat sekitar 15%. Penggunaan drug-elutin mencegah terjadinya komplikasi dan efek samping saat
stents (DES) dapat menurunkan pertumbuhan jaringan PCI. Faktor penentu komplikasi antara lain reaksi kon-
parut didalam stent, sehingga dapat menurunkan angka tras, diabetes, disfungsi ventrikel kiri dan syok, LVEF
resiko restenosis. Kejadian restenosis pada DES sekitar kurang dari 25%, diameter stenosis koroner, penyakit
10%. 12 jantung koroner (PJK) multivessel, diffuse disease, Acu-
ity of presentation, Insufisiensi renal, penyakit vaskuler
5.2 Instent thrombosis perifer, dan anemia. Komplikasi arteri koroner selama
PROTECT trial membandingkan zotarolimus dengan tindakan yang dapat terjadi adalah diseksi dan penutup-
sirolimus (Cypher) stents hampir 9000 pasien yang men- an pembuluh darah mendadak setelah PCI (acute vessel
dapatkan dual anti platelet therapy (DAPT) menunjukk- closure), intramural hematoma, perforasi, emboli udara,
an tidak ada perbedaan antara 2 stent pada kejadian Oklusi side branch, stent gagal mengembang (failure of
stent thrombosis dalam 3 tahun. Sedangkan studi ko- stent deployment), Stent thrombosis, infeksi stent, spas-
hort prospektif pada 12.000 pasien, dengan penggunaan me koroner, no-reflow phenomenon. Penatalaksanaan
single anti platelet, ternyata stent DES everolimus le- no-reflow phenomenon diantaranya dengan farmakolo-
bih rendah terjadi resiko sangat lambat stent thrombosis gi yaitu adenosine intrakoroner, verapamil, papaverine,
dibandingkan sirolimus atau paclitaxel. 5 sodium nitroprusside, abciximab, cyclosporine, epine-
phrine dan streptokinase, serta harus dicegahan dengan
5.3 Oklusi trombotik pembuluh darah. cara mekanik dengan tujuannya adalah untuk mencegah
Lesi yang kompleks dan sindroma koroner akut (high emboli distal dari debris atheroma dan thrombus. Is-
risk) dapat meningkatkan resiko thrombus, penggunaan kemia dan infark miokard serta CABG emergensi juga

Jurnal Kedokteran
Komplikasi Intervensi Koroner Perkutan 37

dapat terjadi saat PCI elektif. Komplikasi terkait akses JACC: Cardiovascular Interventions. 2008;1(2):202–
vaskuler yang dapat terjadi diantaranya adalah perda- 209.
rahan retroperitoneal , pseudoaneurisma, AV fistula, in-
feksi, hematom, neuropraxia, iskemi ekstremitas bawah 9. Higgins M, Theobald KA, Peters J. Vascular access
(thrombosis atau emboli), diseksi. Akses arteri radial and cardiac complications after PCI: In-and out-of-
dapat menurunkan komplikasi perdarahan, terutama pa- hospital outcome issues. British Journal of Cardiac
da penderita yang menggunakan antikoagulan, obesitas Nursing. 2008;3(3):111–116.
berat, penyakit pernafasan kronik, gangguan hemosta- 10. Yapici MF, Ozer N, Okmen AS, Sagir A, Denizalti
sis, dan primary PCI. Komplikasi yang bisa terjadi pada TB, Ozler A, et al. A Rare Complication of Primary
akses radial diantaranya sindroma kompartemen, abses Percutaneous Coronary Intervention: Left Atrial
steril, pseudoaneurisma, perforasi atau cedera pembuluh Dissection and Hematoma. Research in Cardiova-
darah, vasospasme berat. Kalsifikasi, tortous (angulasi scular Medicine. 2016;5(4).
>45 derajat), left main, bifurkasio, degenerated saphe-
nous vein graft, chronic total occlusion, unprotected left 11. Tavris D, Wang Y, Albrecht-Gallauresi B, Curtis
main disease, dan multivessel disease berkaitan dengan J, Messenger JC, Resnic FS, et al. Bleeding and
peningkatan komplikasi. Vascular Complications at the Femoral Access Si-
te Following Percutaneous Coronary Intervention
(PCI): An Evaluation of Hemostasis Strategies. Cir-
Daftar Pustaka culation. 2011;124(Suppl 21):A16084–A16084.
1. Tavakol M, Ashraf S, Brener SJ. Risks and com- 12. Anonymous;Available from: http://www.
plications of coronary angiography: a compre- nhlbi.nih.gov/health-topics/
hensive review. Global journal of health science. topics/angioplasty.
2012;4(1):65.
13. Cicek D, Pekdemir H. A rare and avoidable compli-
2. Joseph C P, Levin T, Carrozza JP. Per- cation of percutaneous coronary intervention: stent
iprocedural complications of percutane- trapped in the left main coronary artery and its unu-
ous coronary intervention; 2016. Avai- sual treatment. Hellenic J Cardiol. 2011;52(4):367–
lable from: http://www.uptodate. 370.
com/contents/periprocedural_
complications_of_percutaneous_ 14. Kaufmann BA, Kaiser C, Pfisterer ME, Bonetti PO.
coronary_intervention#H9. Coronary stent infection: a rare but severe compli-
cation of percutaneous coronary intervention. Swiss
3. De Palma R, Christian R, Adel A, Olivier M, Tito K, medical weekly. 2005;135(33/34):483.
Eric E. The prevention and management of compli-
cations during percutaneous coronary intervention
Chapter 24. Available at. Europa Organisation.
2012;Available from: http//www.pcronline.
com/eurointervention/textbook/
pcr-textbook/chapter/3-24.php.
4. Eeckhout E, Carlier S, Lerman A, Kern M. Handbo-
ok of Complications During Percutaneous Coronary
Interventions. London: Taylor and Francis: Informa
Healthcare; 2007.
5. Redwood SR. Coronary Intervention. Euro-
pean heart journal. 2013;34(5):338–344. Ava-
ilable from: http://www.medscape.com/
viewarticle/778734_7.
6. Gumina RJ, Holmes Jr DR. Optimal patient prepa-
ration and selection to avoid complications. Han-
dbook of Complications during Percutaneous Ca-
rdiovascular Interventions. 2006;p. 17.
7. Thygesen K, Alpert J, Jaffe A, Simoons, Chaitman
B, White H. Third Universal Definition of Myoca-
rdial Infarction. 2012;.
8. Doyle BJ, Ting HH, Bell MR, Lennon RJ, Mathew
V, Singh M, et al. Major femoral bleeding com-
plications after percutaneous coronary intervention.

Jurnal Kedokteran
Jurnal Kedokteran
ISSN 2301-5977, e-ISSN 2527-7154

Panduan bagi Penulis Naskah di Jurnal


Kedokteran Unram
Dewan Editor1 *

Abstrak
Naskah yang diterbitkan suatu jurnal dituntut untuk memiliki keseragaman pola dan penampilan. Hal ini
bertujuan untuk memudahkan pembaca dalam membaca isi jurnal tanpa harus terganggu inkonsistensi
penampilan. Untuk itu, Jurnal Kedokteran Unram menyusun aturan sistematika penulisan naskah bagi
penulis yang hendak mengirimkan naskah untuk dimuat di Jurnal Kedokteran Unram. Sistematika
naskah dibedakan berdasarkan jenis naskah yang hendak dikirimkan oleh penulis. Terdapat tiga jenis
naskah, yaitu penelitian, tinjauan pustaka dan laporan kasus. Persyaratan ketiga jenis naskah akan
dibahas pada panduan ini.
Katakunci
panduan penulisan; penelitian; tinjauan pustaka; laporan kasus
1 Jurnal Kedokteran Unram, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

*e-mail: jurnal.kedokteran.unram@gmail.com

kan sebagai penulis apabila memenuhi seluruh kriteria


1. Pendahuluan tersebut. Bila seseorang hanya memenuhi sebagian saja,
Jurnal Kedokteran Unram dalam tatakelolanya mengacu dianjurkan untuk mencantumkan namanya di Ucapan
pada rekomendasi dari International Committee of Me- Terima Kasih sebagai kontributor non penulis. 1
dical Journal Editors ((ICMJE). 1 Prinsip-prinsip dalam
rekomendasi tersebut digunakan dalam menyusun pan-
duan ini. Panduan ini akan menyajikan rambu-rambu 3. Persyaratan Umum Naskah
bagi penulis dalam mempersiapkan naskah ilmiah yang
hendak dikirimkan ke Jurnal Kedokteran Unram. Kami • Naskah yang dikirimkan ke Jurnal Kedokteran
menyarankan penulis untuk membaca pula rekomendasi Unram harus bersifat ilmiah. Naskah harus meng-
lengkap dari ICMJE tersebut. andung data dan informasi yang bermanfaat da-
lam memajukan ilmu dan pengetahuan di bidang
kedokteran.
2. Kepengarangan • Naskah yang dikirimkan adalah naskah asli yang
Kepengarangan (authorship) menjadi hal yang menda- belum pernah dipublikasikan dalam penerbitan
sar dalam penerbitan Jurnal Kedokteran Unram. Apabila apapun atau tidak sedang diminta penerbitannya
penulis hanya bekerja seorang diri sejak awal penelitian oleh media lain baik di dalam maupun di luar
hingga akhir terselesaikannya suatu naskah, kepenga- negeri.
rangan serta merta akan menjadi hak tunggal penulis
• Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan
tersebut. Namun, bila ada banyak pihak yang terlibat,
memenuhi kaidah-kaidah penulisan yang baik dan
kepengarangan akan tersebar pada masing-masing pihak
benar.
yang terlibat. Dalam hal ini, penulis yang mengirimkan
naskah ke Jurnal Kedokteran Unram perlu menyampai- • Kalimat dalam naskah harus dituliskan secara lu-
kan informasi mengenai kontribusi pihak-pihak yang gas dan jelas.
terlibat dalam proses penyusunan naskah yang dikirim-
kan. • Sebagai tambahan, penulis diharapkan menyedi-
Berdasar rekomendasi ICMJE, kepengarangan di- akan abstrak berbahasa Inggris untuk digunakan
dasarkan pada empat kriteria, yaitu 1) kontribusi yang sebagai bahan pengindeksan Open Access Initia-
bermakna terhadap perencanaan atau pelaksanaan atau tives (OAI).
analisis atau interpretasi data penelitian, 2) kontribusi
dalam menyusun atau merevisi naskah, 3) kontribusi da- • Penulis mencantumkan institusi asal dan alamat
lam penyelesaian naskah sebelum dikirim ke jurnal dan e-mail sebagai media korespondensi. Apabila ter-
4) pernyataan kesediaan untuk ikut bertanggung jawab dapat lebih dari satu penulis, sebaiknya dituliskan
atas isi naskah. Untuk setiap naskah yang dikirimkan ke alamat e-mail seluruh penulis dengan diberi kete-
Jurnal Kedokteran Unram, seseorang dapat dicantum- rangan satu alamat e-mail yang digunakan sebagai
ii Dewan Penyunting

media korespondensi. Apabila tidak ada keterang- mempelajari teknik pelaporan berbagai metode pene-
an khusus mengenai e-mail korespondensi, secara litian kedokteran dan kesehatan yang dapat dilihat di
otomatis alamat e-mail penulis utama akan digu- http://www.equator-network.org/.
nakan sebagai e-mail korespondensi. Pendahuluan memberikan latar belakang singkat
mengenai pentingnya penelitian dan tujuan penelitian.
• Naskah dikirimkan melalui sistem publikasi da-
Metode memaparkan rancangan, tatacara pelaksana-
lam jaringan Jurnal Kedokteran Unram yang da-
an hingga analisis yang dilakukan. Ketika penelitian
pat diakses melalui http://jku.unram.ac.
menggunakan subjek manusia atau hewan coba, pe-
id.
nelti perlu menyampaikan apakah prosedur telah me-
• Naskah dapat diedit oleh redaksi tanpa mengu- lalui proses telaah dari suatu komisi etik penelitian.
bah isi untuk disesuaikan dengan format penulis- Hasil telaah tersebut (ethical clearance) dilampirkan
an yang telah ditetapkan oleh Jurnal Kedokteran bersama naskah. Apabila tidak ada ethical clearan-
Unram. ce, peneliti perlu memaparkan apakah prosedurnya me-
menuhi kaidah Deklarasi Helsinki yang isinya dapat
• Naskah yang diterima beserta semua gambar yang diakses di www.wma.net/en/30publications/
menyertainya menjadi milik sah penerbit, baik 10policies/b3/index.html.
secara keseluruhan atau sebagian, dalam bentuk Pada paparan metode, penulis perlu melaporkan ana-
cetakan atau elektronik tidak boleh dikutip tanpa lisis statistik yang digunakan. Pelaporan analisis statis-
ijin tertulis dari penerbit. tik dianjurkan memenuhi panduan SAMPL (Statistical
• Semua data, pendapat, atau pernyataan yang ter- Analyses and Methods in the Published Literature) 2
dapat dalam naskah merupakan tanggung jawab agar mempunyai manfaat yang lebih besar bagi para
penulis. Penerbit, dewan redaksi, dan seluruh pembaca.
staf Jurnal Kedokteran Unram tidak bertanggung
jawab atau tidak bersedia menerima kesulitan ma- Kasus
upun masalah apapun sehubungan dengan akibat Kelompok naskah kedua adalah naskah yang ditujukan
ketidaktepatan, kesesatan data, pendapat, maupun untuk dimuat di Bagian Kasus Jurnal Kedokteran Unram.
pernyataan terkait isi naskah. Kelompok naskah ini terdiri atas Laporan Kasus dan
Penalaran Klinis. Naskah dibatasi 2.700 kata dengan
• Naskah yang diterima akan diberitahukan kepada
maksimal 5 tabel dan gambar (total) dan maksimal 25
penulis dan ditentukan segera untuk kemungkinan
pustaka rujukan.
penerbitannya. Naskah yang diterima dan gambar
Terdapat sedikit perbedaan antara Laporan Kasus
penyerta tidak dikembalikan. Penulis akan me-
dan Penalaran Klinis. Laporan Kasus berisi satu hingga
nerima cetak coba (galley proof ) untuk diperiksa
tiga pasien atau satu keluarga. Kasus dipaparkan secara
sebelum jurnal diterbitkan.
lengkap dan dibahas hal-hal yang membuat kasus terse-
• Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberi- but menarik secara ilmiah. Penalaran Klinis berisi satu
tahukan melalui sistem publikasi dalam jaringan kasus yang dikupas secara bertahap dalam konteks pe-
Jurnal Kedokteran Unram. Makalah yang tidak ngambilan keputusan klinis. Data anamnesis, pemerik-
dimuat akan dikembalikan. saan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien disajikan
satu per satu untuk memberikan gambaran mengenai
proses penalaran klinis ketika suatu data diolah menjadi
4. Jenis-jenis Naskah informasi oleh seorang klinisi.
Bilamana diperlukan penulis dapat mengirimkan le-
Jurnal Kedokteran Unram menerima beberapa jenis nas-
bih banyak gambar untuk dimuat sebagai suplemen.
kah untuk dimuat dalam bagian yang bersesuaian dalam
Gambar tersebut tidak akan masuk dalam badan nas-
jurnal. Masing-masing jenis mempunyai persyaratan
kah namun akan disediakan tautannya di laman jurnal.
yang harus dipenuhi oleh penulis. Berikut ini adalah
Judul naskah dibatasi maksimal 15 kata. Abstrak diba-
keterangan mengenai jenis-jenis naskah tersebut.
tasi maksimal 250 kata. Isi naskah Kasus berisi Pen-
Penelitian dahuluan, Paparan Kasus, Pembahasan dan Kesimpul-
Jenis naskah pertama adalah naskah yang ditujukan an. Teknik pelaporan kasus klinis juga dapat dilihat di
untuk dimuat di Bagian Penelitian Jurnal Kedokteran http://www.equator-network.org/.
Unram. Naskah penelitian merupakan laporan hasil pe-
nelitian yang dilakukan oleh penulis. Naskah dibatasi Tinjauan Pustaka
3.000 kata, disertai abstrak, memuat maksimal 5 tabel Kelompok naskah ketiga adalah naskah yang dituju-
dan gambar (total) dan maksimal 40 pustaka rujukan. Ju- kan untuk dimuat di Bagian Tinjauan Pustaka Jurnal
dul naskah dibatasi maksimal 15 kata. Abstrak dibatasi Kedokteran Unram. Naskah tinjauan pustaka dibatasi
maksimal 250 kata. maksimal 5.000 kata. Naskah dapat dilengkapi dengan
Isi naskah Penelitian mempunyai struktur berupa maksimal 7 tabel dan gambar (total) dan maksimal 40
Pendahuluan, Metode, Hasil dan Pembahasan, serta Ke- pustaka rujukan. Judul naskah dibatasi maksimal 15
simpulan. Untuk naskah penelitian, penulis dianjurkan kata. Abstrak dibatasi maksimal 250 kata.

Jurnal Kedokteran
Panduan Penulis iii

Isi naskah Tinjauan Pustaka bebas, namun harus • Halaman kedua adalah halaman abstrak berbaha-
memuat Pendahuluan, Kesimpulan dan Daftar Pusta- sa Indonesia. Judul naskah dituliskan lagi di baris
ka. Pendahuluan memberikan latar belakang pentingnya paling atas. Di bawah judul diberikan satu baris
suatu topik dibahas dalam suatu tinjauan pustaka. Ba- kosong, diikuti dengan judul singkat naskah. Di
tang tubuh isi paparan tinjauan pustaka disusun sesuai bawah judul singkat naskah diberikan satu baris
kebutuhan penulis. Naskah diakhiri dengan kesimpul- kosong, diikuti dengan abstrak. Untuk naskah
an mengenai hal-hal kunci yang dianggap penting oleh Penelitian, abstrak ditulis dengan struktur 4 pa-
penulis terkait informasi dalam naskah. ragraf, yaitu latar belakang, metode, hasil, dan
kesimpulan. Masing-masing paragraf didahului
nama paragraf dengan dipisahkan tanda titik dua
5. Penyiapan Berkas Naskah (:). Untuk naskah Tinjauan Pustaka dan Kasus,
abstrak ditulis sebagai satu paragraf utuh. Kata-
Penulis perlu mempersiapkan berkas naskah sebelum kunci dituliskan setelah abstrak dengan dipisah-
melakukan prosedur pengiriman naskah di laman Jurnal kan satu baris kosong. Katakunci dapat berupa
Kedokteran Unram. Berikut ini panduan terkait penyi- kata atau frase pendek. Setiap naskah dapat diberi
apan berkas naskah. 3 sampai 7 katakunci.

Format Berkas • Halaman ketiga adalah halaman abstrak berbaha-


sa Inggris. Isi halaman ini sama seperti halaman
Jurnal Kedokteran Unram menerima format berkas nas-
kedua namun diterjemahkan ke dalam Bahasa Ing-
kah berupa *.odt, *.rtf, *.wps, *.doc, *.docx, dan *.pdf.
gris.
Format berkas gambar terkait naskah berupa *.jpg dan
*.png dengan resolusi minimal 300 dpi. • Halaman keempat dan seterusnya digunakan un-
tuk menuliskan inti naskah sesuai jenisnya.
Ukuran kertas dan margin
• Naskah ditulis di kertas ukuran A4 (21,0 x 29,7 • Apabila penulis perlu menyampaikan terimakasih
cm2 ) kepada kontributor non penulis, setelah halaman
inti naskah dapat dituliskan Ucapan Terima Kasih.
• Batas-batas area pengetikan adalah batas kiri dan Ucapan Terima Kasih ditulis dengan kalimat yang
batas atas sebesar 3 cm, sedangkan batas kanan singkat dan jelas mengenai siapa dan apa peran
dan batas bawah sebesar 2,5 cm. kontributor non penulis tersebut.
• Daftar Pustaka dituliskan pada halaman baru. Daf-
Jenis huruf, ukuran huruf, dan spasi tar Pustaka ditulis menggunakan metode Vanco-
• Naskah ditulis menggunakan huruf Times New uver sesuai pedoman yang dikeluarkan ICMJE.
Roman atau Times berukuran 12 pt kecuali hal- Panduan lengkap dan contoh penulisan berbagai
hal yang diatur khusus pada poin-poin berikut. sumber pustaka dapat dilihat di sumber yang dire-
komendasikan ICMJE. 3;4
• Huruf cetak miring digunakan sesuai kaidah Eja-
an Bahasa Indonesia (EBI). • Tabel dan gambar diletakkan sesudah halaman
Daftar Pustaka. Gambar diletakkan setelah ha-
• Judul artikel ditulis menggunakan huruf berukur- laman tabel. Masing-masing tabel dan gambar di-
an 14 pt mulai pada halaman baru. Judul tabel diletakkan
di atas tabel dengan nomor angka Arab dimulai
• Judul bagian dan subbagian dicetak tebal.
dari angka 1. Judul gambar diletakkan di bawah
• Tabel ditulis menggunakan huruf berukuran 10 gambar dengan nomor angka Arab dimulai dari
pt. angka 1. Gambar diberi nomor urut terpisah dari
nomor urut tabel. Urutan penomoran tabel dan
• Spasi yang digunakan adalah 1,5 pada keseluruh- gambar sesuai urutan perujukannya dalam nas-
an teks kecuali tabel menggunakan spasi 1. kah. Pastikan bahwa kalimat dalam naskah telah
merujuk ke tabel dan gambar yang tepat.
Susunan Naskah
• Semua halaman diberi nomor halaman menggu-
nakan angka Arab di bagian bawah halaman di 6. Penyiapan Berkas Dokumen
tengah-tengah. Pendukung
• Halaman pertama berisi judul naskah, informasi Format Berkas
penulis dan informasi naskah. Informasi penulis Untuk berkas dokumen pendukung hasil scan, format
meliputi nama, afiliasi dan e-mail koresponden- yang diterima adalah format gambar berupa *.jpeg atau
si. Informasi naskah meliputi bagian yang dituju, *.jpg dengan resolusi 150 dpi. Berkas dapat juga ber-
jumlah tabel dan gambar, serta catatan bila ada bentuk PDF dengan pilihan berkas yang memadai untuk
hal-hal khusus yang hendak disampaikan. dibaca dalam jaringan dan memadai untuk dicetak.

Jurnal Kedokteran
iv Dewan Penyunting

Dokumen Pendukung
Penulis perlu mempersiapkan scan dokumen pendukung
sebelum melakukan proses unggah.
Form Kontribusi Penulis
Form kontribusi berisi biodata singkat seluruh penulis,
kontribusi yang diberikan dan pernyataan telah menye-
tujui isi naskah.
Pernyataan Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan (Conflict of Interest), bila ada, perlu
dijelaskan oleh penulis untuk menghilangkan keraguan
ilmiah mengenai isi naskah.
Salinan Ethical Clearance
Salinan ethical clearance dilampirkan bila penelitian
menggunakan data terkait subjek manusia atau hewan
coba.

7. Pendaftaran Naskah
Pendaftaran naskah untuk diterbitkan di Jurnal Kedok-
teran Unram dilakukan melalui laman sistem publikasi
dalam jaringan. Untuk dapat mendaftarkan naskahnya,
penulis harus membuat akun penulis di laman tersebut.
Prosedur pendaftaran naskah selengkapnya dapat dilihat
di laman tersebut.

8. Penutup
Demikian panduan penulisan naskah ini disusun, hal-hal
yang belum diatur dalam panduan ini dapat ditanyakan
ke redaktur pelaksana melalui email yang tercantum di
laman Jurnal Kedokteran Unram. Selamat menulis.

Daftar Pustaka
1. International Committee of Medical Journal Editors.
Recommendations for the conduct, reporting, editing
and publication of scholarly work in medical jour-
nals; 2015. Available from: http://www.icmje.
org/recommendations.
2. Lang TA, Altman DG. Statistical Analyses and Me-
thods in the Published Literature: The SAMPL Gui-
delines*. Guidelines for Reporting Health Research:
A User’s Manual. 2014;p. 264–274.
3. Patrias K, Wendling DL, United States, Department
of Health and Human Services, National Library of
Medicine (U S ). Citing medicine the NLM style
guide for authors, editors, and publishers. Bethesda,
Md.: Dept. of Health and Human Services, National
Institutes of Health, U.S. National Library of Medi-
cine; 2007. Available from: http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/books/NBK7256/.
4. U S National Library of Medicine. Samples of For-
matted References for Authors of Journal Articles;
2016. Available from: https://www.nlm.nih.
gov/bsd/uniform_requirements.html.

Jurnal Kedokteran

You might also like