You are on page 1of 25

10

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Hipertensi

2.1.1 Pengertian Hipertensi

Tekanan darah tinggi (hipertensi) didefinisikan sebagai

tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih

dari 90 mmHg, berdasarkan pada dua kali pengukuran atau lebih

(Smeltzer & Bare, 2013). Sedangkan menurut Price & Wilson (2006)

hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik 140

mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg.

Stadium awal dari hipertensi, disebut “prehipertensi”

didefenisikan sebagai tekanan darah sistolik antara 120˗139 mmHg dan

tekanan darah diastolik antara 80˗89 mmHg (Hurst, 2016).

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami

peninngkatan darah diatas normal yang ditunjukkan oleh angka systolic

(bagian atas) dan angka diastolic (bagian bawah) pada pemeriksaan

tensi darah menggunakan alat pengukur tekanan darah menggunakan

alat tekanan dara baik yang berupa cuff air raksa (sphygmomanometer)

ataupun alat digital lainnya (Irwan, 2016).

Menurut The Eight Report of the Joint National Committee

(JNC VIII), hipertensi tingkat 1 adalah suatu keadaan dimana tekanan

darah sistolik lebih dari atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan

diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mmHg. Untuk memastikan


11

keadaan tekanan darah yang sebenarnya maka harus dilakukan

pengukuran tekanan darah minimal sebanyak dua kali (JNC 8, 2009).

2.1.2 Patofisiologi Hipertensi

Tekanan darah adalah fungsi berulang-ulang dari cardiac

output karena adanya resistensi periferal (resistensi dalam pembuluh

darah untuk mengalirkan darah). Diameter pembuluh darah ini sangat

mempengaruhi aliran darah. Jika diameter menurun misalnya pada

ateroklerosis, resistensi dan tekanan darah meningkat. Jika diameter

meningkat misalnya dengan adanya terapi obat vasodilator, resistensi

dan tekanan darah menurun. Ada dua mekanisme yang mengontrol

homeostatic dari tekanan, yaitu:

a. Short term control (system saraf simpatik). Mekanisme ini

sebagai respon terhadap penurunan tekanan, sistem saraf simpatik

mensekresikan norepinephrine yang merupakan suatu

vasokontriktor yang akan bekerja pada arteri kecil dan arteriola

untuk meningkatkan resistensi peripheral sehingga tekanan darah

meningkat.

b. Long term control (ginjal). Ginjal mengatur tekanan darah dengan

cara mengontrol volume cairan ekstraseluler dan mensekresikan

renin yang akan mengaktivasi system renin dan angiotensin (Price

& Wilson, 2006).

Salah satu penyebab hipertensi adalah: pengaruh genetik dan

faktor lingkungan dari hal tersebut dapat menyebabkan defek dalam

hemostasis natrium ginjal yang menyebabkan eksresi natrium kurang


12

memadai, sehingga terjadi retensi garam dan air terjadinya

peningkatan plasma dan ECF yang menyebabkan kenaikan hormone

natriuretic dan peningkatan plasma dapat menyebabkan kenaikan

curah jantung yang dapat menyebabkan hipertensi.

Selain itu vasokontriksi fungsional dapat menyebabkan

kenaikan reaktivitas vaskuler yang menyebabkan kenaikan resistensi

perifer totaldan dapat terjadi hipertensi. Efek dalam pertumbuhan dan

struktur otot polos pembuluh juga dapat terjadi peningkatkan

kekebalan dinding pembuluh yang dapat meningkatkan kenaikan

resistensi perifer total sehingga hipertensi (Price & Wilson, 2006)

2.1.3 Etiologi Hipertensi

Faktor resiko hipertensi adalah umur, jenis kelamin, riwayat

keluarga, genetik (faktor resiko yang tidak dapat diubah atau

dikontrol), kebiasaan merokok, konsumsi garam, konsumsi lemak

jenuh, penggunaan jelantah, kebiasaan minum-minuman beralkohol,

obesitas, kurang aktivitas fisik, respon emosional, penggunaan

estrogen (Kemenkes RI, 2013).

Sedangkan menurut Hurst (2016) hipertensi disebabkan oleh

penyempitan arteri yang lebih kecil (arteriol), sehingga darah

memberikan tekanan yang lebih besar pada dinding pembuluh darah.

Ada 3 kategori masalah yang dapat menyebabkan hipertensi, antara

lain :

a) Asupan natrium berlebihan

b) Retensi volume akibat penyakit ginjal atau hipotiroidisme


13

Kelebihan produksi aldosteron (penyakit Cushing dan penyakit

Conn) menyebabkan peningkatan retensi natrium dan air.

2.1.4 Klasifikasi

Berikut ini adalah klasifikasi tekanan darah pada orang

dewasa berdasarkan derajat hipertensi yang di kemukakan oleh (JNC

VII) US joitl national committee on the prevention, detection,

evaluasion and treaiment of high blood pressure:

Tabel 2.1
Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC 7

Klasifikasi tekanan Tekanan sistol Tekanan diastolic


darah (mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prahipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 11 ≥ 160 ≥ 100
Sumber: (JNC,VII)

Menurut Irwan (2016) penyakit darah tinggi atau hipertensi

dikenal dengan dua tipe klasifikasi, diantaranya yaitu:

a) Hipertensi primer : suatu kondisi dimana terjadinya tekanan darah

tinggi akibat dampak dari gaya hidup seseorang dan faktor

lingkungan. Seseorang yang pola makanannya tidak terkontrol dan

mengakibatkan kelebihan berat badan atau bahkan obesitas,

merupakan pencetus awal untuk terkena penyakit tekanan darah

tinggi. Begitu pula seseorang yang berada dalam lingkungan atau

kondisi stressor tinggi sangat mungkin terkena penyakit tekanan

darah tinggi, termasuk orang-orang yang kurang olahragapun

biasanya mengalami tekanan darah tinggi.


14

b) Hipertensi skunder : suatu kondisi dimana terjadinya peningkatan

tekanan darah tinggi sebagai akibat seseorang mengalami/

menderita penyakit lainnya seperti gagal jantung, gagal ginjal atau

kerusakan sistem hormon tubuh.

Menurut Betz & Sowden (2009) hipertensi skunder

berhubungan dengan kelainan struktur atau penyakit yang

mendasarinya (ginjal, kardiovaskular, endokrin, sistem saraf pusat,

atau kolagen).

2.1.5 Manifestasi Klinis Hipertensi

Hipertensi (tekanan darah tinggi) biasanya tanpa gejala,

hanya satu cara untuk mendeteksi tekanan darah tinggi yaitu

memeriksakan tekanan darah (Hurst, 2016).

Pemeriksaan fisik pada pasien yang menderita hipertensi

tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi.

Tetapi dapat ditemukan perubahan pada retina, seperti pendarahan,

eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada

kasus berat terdapat edema pupil (edema pada diskus optikus)

(Smeltzer dan Bare, 2013).

Tahapan awal pasien kebanyakan tidak memiliki keluhan.

Keadaan simtomatik maka pasien biasanya peningkatan tekanan darah

disertai berdebar–debar, rasa melayang (dizzy) dan impoten.

Hipertensi vaskuler terasa tubuh cepat untuk merasakan capek, sesak

nafas, sakit pada bagian dada, bengkak pada kedua kaki atau perut

(Sudoyo, 2014). Hipertensi dasar seperti hipertensi sekunder akan


15

mengakibatkan penderita tersebut mengalami kelemahan otot pada

aldosteronisme primer, mengalami peningkatan berat badan dengan

emosi yang labil pada sindrom cushing, polidipsia, poliuria.

Feokromositoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit kepala,

palpitasi, banyak keringat dan rasa melayang saat berdiri (postural

dizzy) (Sudoyo, 2014).

2.1.6 Faktor Resiko Peningkatan Tekanan Darah/Hipertensi

Menurut Irwan (2016) faktor resiko terjadinyaaa

peningkatan darah yaitu :

a) Umur

Penelitian yang dialkukan oelh Gerungan (2017) Hasil yang

diperoleh dari uji statistik antara umur dengan kejadian hipertensi

yaitu ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian

hipertensi dengan nilai probabilitas sebesar 0,000. Akibat

bertambahnya umur, terjadi penurunan fungsi fisiologis dan daya

tahan tubuh yang terjadi karena proses penuaan yang dapat

menyebabkan seseorang rentan terhadap penyakit salah satunya

yaitu hipertensi (Kemenkes RI, 2013).

b) Ras

Kulit hitam lebih beresiko dibandingkan kulit hitam.

c) Genetik

Penelitian yang dilakukan oleh Kalangi (2015) didapatkan bahwa

hipertensi lebih banyak ditemukan pada anak dengan riwayat

hipertensi positif (8,7%) dibandingkan dengan anak dengan


16

riwayat hipertensi negatif (2,5%). Penelitian juga dilakukan oleh

Azhari (2017 menunjukkan bahwa ada hubungan antara genetik

atau genetik dengan kejadian hipertensi dengan nilai Odds ratio

(OR) = 3,686, ini artinya responden yang mempunyai riwayat

keluarga hipertensi mempunyai peluang sebanyak 3,6 kali untuk

terkena penyakit hipertensi dibandingkan dengan responden yang

tidak mempunyai riwayat keluarga hipertensi dengan tingkat

kepercayaan (95% CI) = 1.650 - 8.231.

d) Geografis

Kehidupan di pantai lebih beresiko dibandingkan dengan

dipegunugan

e) Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Novitaningtyas (2014)

didapatkan hasil bahwa responden yang berjenis kelamin

perempuan lebih cenderung menderita hipertensi daripada laki-

laki. Terdapat 43,7% subjek yang berjenis kelamin perempuan

lebih tinggi menderita hipertensi daripada laki-laki. Denagn nilai

p-value 0,439.

f) Kegemukan

Penelitian yang dilakukan oleh Sulastri (2012) Hasil penelitian

menunjukkan obesitas terbukti merupakan faktor resiko terjadinya

hipertensi, dimana responden yang mengalami obesitas berisiko

untuk hipertensi 1,82 kali jika dibandingkan dengan responden

yang tidak obesitas.


17

g) Respon Emosional berupa stress

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan

kebenaran teori tersebut. Pada penelitian tersebut ditelusuri

perbedaan penurunan emosi pada pasien penyakit kardiovaskular

dengan orang aleksitimia untuk lebih memahami peran dari

disregulasi afek pada peningkatan tekanan darah. Hasil penelitian

memperlihatkan penurunan ekspresi emosi berpotensi

memengaruhi komunikasi interpersonal dan kesulitan psikososial;

dengan demikian berkontribusi pada disregulasi dan peningkatan

risiko penyakit kardiovaskular (McCubbin, 2014).

h) Makanan dan minuman

Makanan yeng mengandung tinggi garam dan tinggi lemak,

minuman yang mengandung alkohol dan sodium

i) Rokok

2.1.7 Pencegahan Hipertensi

Menurut Irwan (2016) pencegahan penyakit hipertensi

meliputi :

a) Mengukur tensi secara teratur

b) Menurunkan berat badan pada obesitas/kegemukan

c) Pembatasan konsumsi garam dapur

d) Menghentimkan konsumsi alkohol

e) Menghentikan kebiasaan merokok

f) Melakukan olahraga teratur dan istirahat yang cukup

g) Diet rendah lemak jenuh


18

h) Menghindari stress

2.1.8 Komplikasi Hipertensi

Hipertensi yang tidak teratasi, dapat menimbulkan

komplikasi yang berbahaya menurut Sudoyo, (2014) seperti :

a) Payah Jantung / infark miokardium

Payah jantung (Congestive heart failure) adalah kondisi jantung

tidak mampu lagi memompa darah yang dibutuhkan tubuh.

Kondisi ini terjadi karena kerusakan otot jantung atau sistem listrik

jantung seperti : infark miokardium.

b) Stroke

Hipertensi adalah faktor penyebab utama terjadi stroke, karena

tekanan darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pembuluh

darah yang sudah lemah menjadi pecah. Bila hal ini terjadi pada

pembuluh darah otak, maka terjadi pendarahan otak yang dapat

berakibat kematian. Stroke juga dapat terjadi akibat sumbatan dari

gumpalan darah yang macet dipembuluh yang sudah menyempit.

c) Kerusakan ginjal

Hipertensi dapat menyempitkan dan menebalkan aliran darah yang

menuju ginjal, yang berfungsi sebagai penyaring kotoran tubuh.

Dengan adanya gangguan tersebut, ginjal menyaring lebih sedikit

cairan dan membuangnya kembali kedarah.

d) Kerusakan penglihatan

Hipertensi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di mata,

sehingga mengakibatkan pengelihatan menjadi kabur atau buta.


19

Pendarahan pada retina mengakibatkan pandangan menjadi kabur,

kerusakan organ mata dengan memeriksa fundus mata untuk

menemukan perubahan yang berkaitan dengan hipertensi yaitu

retinopati pada hipertensi. Kerusakan yang terjadi pada bagaian

otak, jantung, ginjal dan juga mata yang mengakibatkan penderita

hipertensi mengalami kerusanan organ mata yaitu pandangan

menjadi kabur

2.1.9 Pemeriksaan Hipertensi

Menurut Hurst (2016), pemeriksaan laboratorium standar

dilakukan sebelum memulai setiap rencana terapi hipertensi :

a) Hematokrit

b) Elektrolit serum (kalium, natrium, dan kalsium).

c) Urinalisis

d) Gula darah puasa

e) Pemeriksaan lemak darah puasa (HDL, LDL, trigliserida)

f) EKG

Pemeriksaan tambahan untuk menentukan respon ginjal terhadap

hipertensi

g) Ekskresi albumin urine/protein urine 24 jam (ingat bahwa albumin

adalah molekul besar yang hanya di ekskresikan saat terjadi

kerusakan di glomerulus

h) Rasio albumin/kreatinin

i) Klirens kreatinin

j) Nilai renin.
20

2.1.10 Penatalaksanaan Hipertensi

Pengendalian hipertensi mungkin membutuhkan upaya baik

dari perawat maupun dokter. Perawat harus mengkaji masalah ini,

mengenalinya dan memastikan bahwa intervensi medis di berikan.

Pasien yang menderita hipertensi sedang biasanya tidak diobati secara

akut. Jika tekanan darah diastolik di atas sekitar 105 mmHg, mungkin

perlu diturunkan secara bertahap. Hal ini dapat dilakukan secara

efektif dengan labelatol (Morton, 2012).

Menurut Hurst (2016) penatalaksanaan hipertensi meliputi :

1) Mengurangi berat badan

2) Olahraga teratur

3) Pembatasan natrium

4) Manajemen stres

5) Berhenti merokok

6) Mengurangi konsumsi alkohol

7) Menghindari obat yang dijual bebas yang dapat meningkatkan

tekanan darah (khususnya NSAID).

Sedangkan menurut Klabunde & Richard E (2015), terapi

hipertensi yang paling umum adalah diuretik untuk merangsang

ekskresi natrium dan air melalui ginjal. Pasien hipertensi biasanya

mendapat setidaknya satu jenis obat lagi karena berkurangnya volume

darah akibat diuretik dapat menyebabkan aktivasi sistem

renin˗angiotensin˗aldosteron, yang melawan efek diuretik. Oleh sebab

itu, pasien juga dapat diberi penghambat ACE atau penyekat reseptor
21

angiotensin (angiotensin receptor blocker˗ARB). Meskipun intervensi

farmakologi merupakan modalitas penting dalam tata laksana

hipertensi, perbaikan diet dan olahraga juga terbukti efektif dalam

menurunkan tekanan arteri pada banyak pasien. Penerapan diet yang

seimbang yang mencakup pembatasan asupan natrium dapat

mencegah progresi penyakit, dan pada beberapa kasus, memulihkan

perubahan kardiovaskuler yang disebabkan hipertensi. Olahraga

teratur, terutama olahraga aerobik, menurunkan tekanan arteri dan

memberikan efek menguntungkan terhadap fungsi pembuluh darah.

Menurut Price & Wilson (2006), pengobatan hipertensi dapat

dilakukan dengan pengubahan gaya hidup seperti : penurunan berat

badan, pembatasan asupan alkohol, aktivitas fisik yang teratur,

penurunan asupan natrium, mempertahankan asupan K+ dan Ca++ serta

Mg++ yang memadai dan penghentian merokok.

Menurut Smeltzer & Bare (2013) pengobatan Hipertensi

dibagi 2 yaitu :

1) Pengobatan Farmakologis

Pilih kelas obat yang memiliki efektivitas terbesar, efek

samping terkecil, dan peluang terbesar untuk diterima oleh pasien.

Dua kelas obat tersedia sebagai terapi lini pertama : diuretik dan

penyekat beta.

Dimulai dari satu jenis obat dengan dosis 12,5 – 25 mg

per hari, antara lain :


22

a. Diuretik : furosemid, chlorthalidone, tidak diberikan pada

penderita dengan gangguan ginjal atau gagal ginjal, hati-hati

dapat terjadi hipotensi, hipokalemia, hipomagnesia atau

hiperglikemia, perlu monitoring selama 2 – 4 minggu untuk

menghindari hipokalemia.

b. ACE (Angiotensin Converting Enzyme) Inhibitor : captropil,

ramipil, berperan menghambat pembentukan angiotensin II

sehingga vasokonstriksi pembuluh darah menstimulasi

pelepasan aldosteron, efek sampingnya batuk, kemerah-

merahan, gangguan saraf perasa, neutropenia dan proteinuria,

tidak boleh digunakan pada penderita ARF atau stenosis arteri

bilateral.

c. Calcium channel blockers : nifedipine, verapamil, mencegah

kalsium melewati membran sel pembuluh darah otot polos

sehingga terjadi vasodilatasi arteri, efek sampingnya sakit

kepala, pusing, cepat lelah, dan konstipasi.

2) Pendekatan Nonfarmakologi

Menurut Smeltzer & Bare (2013), banyak aktivitas

keperawatan nonfarmakologis yang dapat membantu dalam

menghilangkan nyeri. Meskipun tindakan tersebut bukan

merupakan pengganti untuk obat-obatan, tindakan tersebut

mungkin diperlukan atau sesuai untuk mempersingkat episode

nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik atau menit. Dalam

hal lain, terutama saat nyeri hebat yang berlangsung selama


23

berjam-jam atau berhari-hari, mengkombinasikan teknik

nonfarmakologis dengan obat-obatan mungkin cara yang paling

efektif untuk menghilangkan nyeri Jenis-jenis tindakan

nonfarmakologis adalah : stimulasi dan massase kutaneus, terapi es

dan panas, stimulasi saraf elektris transkutan, distraksi, relaksasi,

imajinasi terbimbing, dan hypnosis.

Pendekatan nonfarmakologi untuk penurunan tekanan

darah menurut Smeltzer & Bare (2013) mencakup :

a. Penurunan berat badan : BB lebih dari 10% dari ideal harus

diturunkan dengan batasi lemak dan kolesterol.

b. Mengontrol tekanan darah

c. Pembatasan alkohol dan natrium : batasi intake alkohol tidak

lebih dari 1 ons ethanol per hari, batasi intake natrium 2 gram (5

gram dapur) per hari dan ikut program penghentian merokok.

d. Olahraga teratur : jalan kaki mulai 10 – 15 menit dan meningkat

hingga 30 – 45 menit, 3 – 5 kali perminggu.

e. relaksasi seperti relaksasi nafas dalam dan relaksasi otot

progresif dan hindari stress dengan mengidentifikasi situasi

stress di rumah dan tempat kerja, memodifikasi reaksi, meditasi,

relaksasi, visualisasi.

f. Diet DASH (Dietary Approsches to Stop Hypertension) tinggi

buah, sayuran, dan produk susu rendah lemak telah terbukti

menurunkan tekanan darah tinggi, diet tinggi kalsium, kalium

dan magnesium.
24

2.2 Respon Emosi

2.2.1 Pengertian Respon Emosi

Respon emosi yaitu pengalaman yang sadar dan memberikan

pengaruh pada aktivitas tubuh dan menghasilkan sensasi organik

(Kusumawati, 2011).

Perubahan dalam lingkungan internal dan eksternal dapat

mengganggu fungsi organism sehingga penting bagi organism tersebut

untuk beradaptasi terhadap stresor agar dapat bertahan. Jadi stresor

merupakan stimuli yang mengawali atau memicu perubahan yang

menimbulkan stress, stress mewakili kebutuhan yang tidak terpenuhi,

biasa berupa kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan, dan

spiritual (Potter & Perry, 2010)

Emosi merupakan perpaduan dari beberapa perasaan yang

mempunyai intensitas yang relatif tinggi, dan menimbulkan suatu

gejolak suasana batin, suatu stirred up or aroused state of the human

organization. Emosi seperti hal nya juga perasaan juga membentuk

suatu kontinum, bergerak dari emosi positif sampai dengan bersifat

negatif (Sukmadinata, 2011).

2.2.2 Ciri-Ciri Emosi

Menurut Sukmadinata (2011), minimal ada 4 ciri emosi yaitu

sebagai berikut:

a. Pengalaman emosi.

Pengalaman emosi bersifat pribadi dimana kehidupan

emosional seorang individu tumbuh dari pengalaman emosionalnya


25

sendiri. Pengalaman emosional ini sangat subjektif dan bersifat

pribadi, berbeda antara seorang individu dengan individu lainnya.

Ada perangsang perangsang tertentu yang secara umum

menimbulkan rangsangan emosional yang sama kepada individu,

seperti rasa takut akan binatang buas, api, suara keras dan

sebagainya. Sebagian besar rangsangan emosional muncul melalui

dan terjadi karena pengalaman emosional ini tidak selalu terjadi

secara sadar bisa juga berlangsung secara tidak sadar. Kadang-

kadang seseorang tidak mengerti mengapa ia merasa takut terhadap

sesuatu atau seseorang yang tidak ketahui kesalahannya.

b. Perubahan aspek jasmaniah.

Pada waktu individu menghayati sesuatu emosi, maka

terjadi beberapa perubahan pada aspek jasmani. Perubahan-

perubahan tersebut tidak selalu terjadi secara serempak, mungkin

yang satu mengikuti yang lainnya.Demikian juga intensitas kekuatan

perubahan pada suatu aspek berbeda dengan aspek lainnya. Pada

seseorang individu kalau ia marah maka perubahan yang paling kuat

terjadi pada debar jantungnya, sedangkan yang lain pada

pernafasannya dan sebagainya. Dalam jenis-jenis emosi yang kuat

seperti marah, takut, rangsangan seksual dan sebagainya, pekerjaan

jantung dan tekanan darah mengalami perubahan. Debaran jantung

bertambah kuat, mengakibatkan jumlah darah yang dipompa lebih

banyak, hal ini akan meningkatkan tekanan darah, pada waktu

menghayati sesuatu, terjadi pula perubahan pada pernafasan.


26

Jalannya pernafasan mungkin lebih cepat atau lambat, tambah dalam

atau dangkal.

c. Emosi di ekspresikan dalam perilakunya.

Emosi yang dihayati oleh seseorang diekspresikan dalam

perilakunya, terutama dalam ekpresi roman muka dan suara/bahasa.

Seseorang yang sedang mengalami rasa takut atau marah akan dapat

dilihat dari gerak gerik tubuhnya, tetapi akan lebih jelas nampak

pada roman mukanya. Wajah yang memarah dengan raut muka yang

tegang, mata melotot dan gigi gemeretak adalah eksprei roman muka

dari seseorang yang sedang marah. Seseorang yang mengalami

ketakutan mengekspresikan wajah yang pucat, meringis gemetar dan

sebagainya.Menurut beberapa penelitian ekspresi emosi melalui

roman muka ini berbeda antara suatu lingkungan kebudayaan dengan

kebudayaan lainnya.Hal ini berarti bahwa ekspresi roman muka

dipengaruhi kebudayaan.

d. Emosi sebagai motif.

Emosi sebagai motif merupakan suatu tenaga yang

mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan. Demikian juga

halnya dengan emosi, dapat mendorong sesuatu kegiatan apakah

menjauh atau mendekati seseorang objek yang memberikan

rangsangan emosional.Seseorang yang sedang marah mungkin ingin

memukul orang yang merangsang amarahnya, orang yang sedang

takut berusaha menjauhi objek yang ditakutinya.Secara umum

berlaku ketentuan, bahwa emosi yang menyenangkan mendekatkan


27

kepada objek dan emosi tidak menyenangkan menjauhkan. Emosi

merupakan suatu motif sebab keduanya berasal dari kata latin yang

sekarang, yaitu motive dari movere berarti to move out of (bergerak),

sedangkan emotion dari emovere yang berarti to move out of

berkerak keluar dari. Keduanya berarti bergerak atau menggerakkan.

2.2.3 Klasifikasi Respon Emosi

Goleman (2015) mengatakan emosi negatif adalah perasaan

individu yang dirasakan kurang menyenangkan (takut, khawatir, cemas,

benci, marah, tidak senang, pasrah, kecewa) sehingga mempengaruhi

sikap dan perilaku individu dalam berhubungan dengan orang lain.

Emosi positif yaitu emosi yang menimbulkan perasaan positif pada

orang yang mengalaminya, diantaranya cinta, sayang, senang, gembira,

kagum, ingin, dan sebagainya.

Kehidupan emosi sangat kompleks, banyak macam ragamnya

dan tiap macam emosi bervariasi pula muatannya, sifatnya serta

intensitasnya.Berdasarkan muatannya, ada emosi yang mengarah pada

hal positif dan ada pula yang mengarah ke hal negatif.Ada emosi yang

bersifat kontruktif dan juga bersifat destruktif.Ada yang sangat kuat

intensitasnya, tetapi ada juga yang sangat lemah dan halus.Ada emosi

yang menunjukkan manifestasi dari pribadi yang sehat dan kurang sehat

(Sukmadinata, 2011).
28

Berikut adalah klasifikasi respon emosi:

a. Takut cemas dan khawatir

Ketiga macam emosi ini berkenaan dengan adanya rasa

terancam oleh sesuatu.Pada rasa takut ancaman ini lebih khusus dan

jelas sedangkan pada cemas dan khawatir objek yang

mengancamnya tidak begitu jelas. Seseorang merasa khawatir karena

menghadapi sesuatu situasi yang tidak bisa memberi jawaban yang

jelas, tidak bisa mengharapkan suatu pertolongan dengan dan tidak

ada harapan yang akan mengharapkan hasil. Kecemasan

dankekhawatiran memiliki nilai positif, asalkan intensitasnya tidak

begitu kuat, sebab kecemasan dan kekhawatiran yang ringan dapat

merupakan motivasi. Kecemasan dan kekhawatiran yang sangat kuat

bersifat negatif sebab dapat menyebabkan gangguan baik secara

psikis maupun fisik.

b. Marah dan permusuhan

Marah dan permusuhan merupakan suatu perasaan yang

dihayati oleh seseoang atau suatu kelompok yang cenderung bersifat

menyerang.Pada umumnya kedua jenis emosi ini diberi konotasi

negatif, walaupun sesungguhnya suatu kondisi yang normal.

Keduanya merupakan suatu cara individu menyesuaikan diri dengan

lingkungan dan memenuhi kebutuhan melalui bentuk prilaku agresif

atau menyerang. Marah dan permusuhan terhadap sesuatu perbuatan

atau keadaan negatif asalkan intensitas penghayatannya tidak terlalu

kuat serta dinyatakan dengan cara yang kontruktif pula.


29

c. Rasa bersalah dan rasa duka

Kedua emosi ini dialami seseorang karna kegagalan atau

kesalahan dalam melakukan sesuatu perbuatan yang berkenaan

dengan normal. Seperti halnya dengan jenis-jenis emosi yang lain,

keduanya memiliki nilai positif apabila intensitasnya tidak terlalu

dan diterima sebagai koreksi terhadap dirinya. Apabila intensitasnya

terlalu kuat dan dialami dalam tempo yang cukup panjang, maka

akan memberi dampak negatif.

2.2.4 Pengukuran Respon Emosi

Salah satu skala yang memiliki nilai reabilitas yang tinggi dan

yang paling sering digunakan untuk mengukur respon emosional adalah

skala Positive Affect Negative Affect Schedule (PANAS). Skala

Positive Affect Negative Affect Schedule (PANAS) yang

dikembangkan oleh Watson, dkk. Positive Affect Negative Affect Scale

(PANAS) adalah alat yang digunakan untuk mengukur tingkat

terjadinya afek positif dan afek negatif dalam satu waktu dengan

menggunakan skala Likert. Afek positif dan afek negatif yang dijadikan

item pada alat ukur ini adalah afek yang dipilih oleh Watson dkk.

(1988) dari item yang termasuk ke dalam 20 kategori afek Zevon dan

Tellegen (Crowford, 2004).

Alat ukur PANAS yang dibuat Watson dkk menanyakan

seberapa besar responden merasakan afek tertentu, namun mereka juga

memberikan validitas faktor untuk konstruksi PANAS dengan

menggunakan skala frekuensi. Instruksi mengenai waktu dapat dipilih


30

antara ‘pada saat ini’, ‘hari ini’, ‘beberapa hari yang lalu’, ‘beberapa

minggu yang lalu’, ‘tahun lalu’, dan ‘secara umum’. Instruksi tersebut

dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan peneliti. Instruksi jangka pendek

seperti ‘pada saat ini’ dan ‘hari ini’ sensitif terhadap fluktuasi mood

seseorang, sedangkan instruksi jangka panjang seperti ‘tahun kemarin’

atau ‘secara umum’ lebih menggambarkan trait seseorang. Pada

kuesioner ini, peneliti memutuskan untuk mengambil instruksi

‘beberapa hari kemarin’, yang dioperasionalisasikan menjadi ‘tiga hari

yang lalu’. Instruksi tersebut dipilih karena jangkauannya akan lebih

luas daripada sekedar ‘pada saat ini’ dan ‘hari ini’, tapi masih cukup

akurat untuk diingat oleh responden.

Skor untuk dimensi afek positif didapatkan dari item:

- Tertarik pada sesuatu (no.1.) - Kuat (no.5)

- Gembira (no.3) - Bersemangat (no.9)

- Bangga (no.10) - Memiliki tekad (no.16)

- Waspada (no.12) -Memberikan perhatian (no.17)

- Terinspirasi (no.14) - Aktif (no. 19)

Sedangkan skor untuk dimensi afek negatif didapatkan dari nilai item:

- Tertekan (no.2) - Mudah tersinggung (no.11)

- Kecewa (no. 4) - Malu (no. 13)

- Bersalah (no.6) - Gugup (no. 15)

- Takut (no.7) - Gelisah (no.18)

- Kasar (no.8) - Khawatir (no.20)


31

Pada penyusunan awal alat ukur PANAS, skala yang

digunakan adalah skala tingkat. Setiap item akan dijawab dengan angka

1-5, di mana angka 1 berarti responden merasakan suatu perasaan

dalam tingkat sangat kecil atau tidak sama sekali pada satu waktu,

angka 2 menunjukkan tingkat yang kecil, angka 3 menunjukkan tingkat

yang sedang, angka 4 menunjukkan tingkat yang besar, dan angka 5

menunjukkan tingkat yang sangat besar.

Skor maksimal dari masing-masing dimensi adalah 50,

sedangkan skor minimal yang bisa didapatkan dari masing-masing

dimensi adalah 10. Interpretasi skor dari PANAS akan diberikan

dengan cara mengurangi mean dari afek positif dengan mean afek

negatif yang ada. Pengurangan tersebut menghasilkan apa yang

dinamakan affect balance. Apabila responden lebih sering merasakan

adanya afek positif dibandingkan adanya afek negatif, maka komponen

afektif responden dapat dikatakan baik.

2.2.5 Hubungan Antara Respon Emosi dengan Hipertensi

Ketika seseorang memiliki afek negatif dalam tubuh maka

tubuh akan memroduksi hormon yang dapat meningkatkan tekanan

darah, peningkatan tekanan darah inilah yang memicu terjadinya

komplikasi hipertensi. Komplikasi ini kemudian dapat memengaruhi

emosi itu sendiri dan menimbulkan kecemasan (McCubbin at, al, 2014).

Respons emosional merupakan tanda seseorang mengalami

suatu kondisi yang memerlukan adaptasi. Dalam batas wajar respons

emosional akan menimbulkan dampak positif bagi mental seseorang,


32

tetapi respons emosional yang berkepanjangan akan merusak

mekanisme fungsional tubuh. Mekanisme yang mendasarinya adalah

adanya perubahan aksis hipothalamo pituitary adrenal (HPA) yang

dipicu oleh respons emosional. Seperti yang telah diketahui, respons

emosional yang negatif dapat menyebabkan pengeluaran hormon

adrenalin, yang bila terus menerus diproduksi akan mengaktivasi

perubahan aksis HPA. Perubahan ini menyebabkan meningkatnya

tekanan darah (Widmaier E, 2009).

Journal of the American Heart Association (2012) menyatakan

bahwa ada keterkaitan antara respon emosional seperti marah dengan

kesehatan jantung. Disebutkan bahwa orang yang amarahnya meledak-

ledak akan mengakibatkan jantungnya tidak teratur (atrial fibrillation/

AF). AF tersebut akan meningkatkan resiko penggumpalan darah

menuju otak, sehingga berakhir dengan gejala stroke.

Emosi negatif sering dihubungkan dengan peningkatan tekanan

darah. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa intensitas marah yang

tinggi dan menekan ekspresi marah tersebut meningkatkan resiko untuk

Hipertensi (Markovitz, 2013). Penelitian lain menunjukkan bahwa

emosi positif ternyata mempunyai pengaruh melebihi emosi negatif

terhadap Hipertensi. Orang yang mempunyai emosi positif yang tinggi

walaupun memiliki emosi negatif, resiko mengalami hipertensi

berikutnya lebih rendah dibanding orang yang memiliki emosi positif

yang rendah. Bukti epidemiologis terbaru menunjukkan bahwa emosi

negatif dapat berperan penting dalam perkembangan berbagai penyakit,


33

seperti diabetes dan hipertensi (Carnethon, Kinder, Fair, Stafford, &

Fortmann, 2013).
34

2.3 Kerangka Teori

Bagan 2.1
Kerangka Teori
Gambaran Respon Emosional Pada Penderita Hipertensi

Penyebab

 Umur
 Ras
 Genetik Tekanan darah
 Geografis penderita hipertensi
 Jenis Kelamin
 Kegemukan
 Respon Emosional
berupa stress
 Makanan dan minuman
 Rokok

Sumber : Irwan (2016)

You might also like