You are on page 1of 30

PANGKALAN TNI AU ATANG SENDJAJA

RSAU dr. M. HASSAN TOTO

PANDUAN PENGGUNAAN ANTIMIKROBA


PROFILAKSIS DAN TERAPI
DI RSAU dr. M. HASSAN TOTO

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan inayah-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan “Panduan Penggunaan
Antimikroba Profilaksis dan Terapi di RSAU dr. M. Hassan Toto”.
Panduan Penggunaan Antimikroba Profilaksis dan Terapi di RSAU dr. M. Hassan Toto
ini disusun dalam rangka memberikan acuan bagi semua jajaran RSAU dr. M. Hassan Toto
dalam pemberian pelayanan skrining pasien. Melalui panduan ini diharapkan semua tenaga
professional pemberi asuhan serta tenaga terkait lainnya dapat memahami berbagai hal yang
berkaitan dengan penggunaan antimikroba profilaksis dan terapi di RSAU dr. M. Hassan Toto
sesuai dengan Peratura Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika.
Kepada tim penyusun dan semua pihak yang telah berkontriibusi di dalam penyusunan
panduan ini, kami menyampaikan terima kasih atas saran dan kritik yang sangat kami
harapkan untuk penyempurnaan dan perbaikan di masa mendatang.

Bogor, Februari 2019

TIM PENYUSUN
SAMBUTAN PIMPINAN RUMAH SAKIT

Perlu diketahui yang dimaksud dengan resistensi antimikroba adalah ketidak mampuan
antimikroba membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba sehingga penggunaannya
sebagai terapi penyakit infeksi menjadi tidak efektif lagi. Meningkatnya masalah resistensi
antimikroba terjadi akibat penggunaan antimikroba yang tidak bijak dan bertanggung jawab
dan penyebaran mikroba resisten dari pasien ke lingkungannya karena tidak dilaksanakannya
praktik pengendalian dan pencegahan infeksi dengan baik.
Panduan Penggunaan Antimikroba Profilaksis dan Terapi di RSAU dr. M. Hassan Toto
ini disusun dalam rangka memberikan acuan bagi semua jajaran RSAU dr. M. Hassan Toto
dalam pemberian pelayanan skrining pasien. Melalui panduan ini diharapkan semua tenaga
professional pemberi asuhan serta tenaga terkait lainnya dapat memahami berbagai hal yang
berkaitan dengan penggunaan antimikroba profilaksis dan terapi di RSAU dr. M. Hassan Toto
sesuai dengan Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia.

Dalam rangka mengendalikan mikroba resisten di rumah sakit, perlu dikembangkan


program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit. Pengendalian resistensi
antimikroba adalah aktivitas yang ditujukan untuk mencegah dan/atau menurunkan adanya
kejadian mikroba resisten Dalam rangka pengendalian resistensi antimikroba secara luas baik
di fasilitas pelayanan kesehatan maupun di komunitas di tingkat nasional telah dibentuk
Komite Pengendalian Antimikroba oleh Kementerian Kesehatan. Disamping itu telah
ditetapkan program aksi nasional / national action plans on antimicrobial resistance (NAP
AMR) yang didukung oleh WHO. Program pengendalian resistensi antimikroba (PPRA)
merupakan upaya pengendalian resistensi antimikroba secara terpadu dan paripurna di
fasilitas pelayanan kesehatan.

Implementasi program ini di rumah sakit dapat berjalan baik apabila mendapat
dukungan penuh dari pimpinan/direktur rumah sakit berupa penetapan regulasi pengendalian
resistensi antimikroba, pembentukan organisasi pengelola, penyediaan fasilitas, sarana dan
dukungan finansial untuk mendukung pelaksanaan PPRA. Penggunaan antimikroba secara
bijak ialah penggunaan antimikroba yang sesuai dengan penyakit infeksi dan penyebabnya
dengan regimen dosis optimal, durasi pemberian optimal, efek samping dan dampak
munculnya mikroba resisten yang minimal pada pasien. Oleh sebab itu diagnosis dan
pemberian antimikroba harus disertai dengan upaya menemukan penyebab infeksi dan
kepekaan mikroba patogen terhadap antimikroba.

Penggunaan antimikroba secara bijak memerlukan regulasi dalam penerapan dan


pengendaliannya. Pimpinan rumah sakit harus membentuk komite atau tim PPRA sesuai
peraturan perundang-undangan sehingga PPRA dapat dilakukan dengan baik.
PANGKALAN TNI AU ATANG SENDJAJA
RSAU dr. M HASSAN TOTO

KEPUTUSAN KEPALA RSAU dr. M HASSAN TOTO


NOMOR KEP/ / /2018
tentang

PANDUAN PENGGUNAAN ANTIMIKROBA PROFILAKSIS DAN TERAPI DI RUMAH SAKIT


ANGKATAN UDARA dr, M. HASSAN TOTO

KEPALA RSAU dr. M. HASSAN TOTO

Menimbang : Bahwa dalam rangka pemberlakuan Panduan Penggunaan


Antimikroba Profilaksis dan Terapi RSAU dr. M Hassan Toto edisi I Tahun
2019

Mengingat : 1. Peraturan Kepala Staf Angkatan Udara Nomor PKS/VIII/2017 tanggal


17 Agustus 2017 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam
Jabatan di Lingkungan TNI Angkatan Udara.

MEMUTUSKAN

Menetepkan : 1. Panduan Penggunaan Antimikroba Profilaksis dan Terapi edisi 1


Tahun 2019 sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini.

2. Panduan Penggunaan Antimikroba Profilaksis dan Terapi edisi 1


Tahun 2019 sebagaimana dikmaksud angka 1 keputusan ini, digunakan
sebagai acuan bagi tenaga kesehatan di RSAU dr. M Hassan Toto dalam
melaksanakan tugas pokoknya.

3. Keputusan ini berlaku terhitung mulai tanggal ditetapkan, dengan


catatan apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam
keputusan ini akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Bogor
pada tanggal Januari 2019

Kepala RSAU dr. M Hassan Toto,

dr. Ngudiarto, Sp. PD.


Letkol Kes NRP 525847
PANGKALAN TNI AU ATANG SENDJAJA
RSAU dr. M HASSAN TOTO

SURAT PERINTAH
Nomor Sprin/12/II/2019
Menimbang : Bahwa dalam rangka tertib administrasi dan mendukung
pelaksanaan tugas di Lingkungan RSAU dr. M Hassan Toto Lanud Atang
Sendjaja, perlu dikeluarkan surat perintah pelaksanaannya.

Dasar : Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara Nomor Kep/4-PKS/III/2017


tanggal 27 Maret 2017 tentang pemberhentian dari dan pengangkatan
dalam jabatan di Lingkungan Angkatan Udara.

DIPERINTAHKAN

Kepada : Nama, Pangkat/Golongan, NRP/NIP dan Jabatan sebagaimana


tercantum dalam lampiran surat perintah ini.

Untuk : 1. Disamping tugas pokok dan jabatannya sehari-hari, melaksanakan


tugas dan tanggung jawab sebagaimana Tim Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba (PPRA) RSAU dr. M. Hassan Toto Lanud Atang
Sendjaja.

2. Surat perintah ini berlaku sejak tanggal dikeluarkan.

3. Lapor kepada Ka RSAU dr. M. Hassan Toto/Kaunit atas pelaksanaan


tugasnya.

4. Melaksanakan perintah ini dengan rasa tanggung jawab.

Ditetapkan di Bogor
pada tanggal 20 Januari 2019

Kepala RSAU dr. M Hassan Toto,

dr. Ngudiarto, Sp. PD.


Letkol Kes NRP 525847

PANGKALAN TNI AU ATANG SENDJAJA Lampiran Sprin Ka RSAU


RSAU dr. M HASSAN TOTO Nomor Sprin/12/II/2019
Tanggal 20 Februari 2019

DAFTAR PERSONEL YANG DITUNJUK SEBAGAI TIM PROGRAM PENGENDALI RESISTENSI


ANTIMIKROBA (PPRA) RSAU dr. M. HASSAN TOTO LANUD ATANG SENDJAJA
NO NAMA PANGKAT/GOL/NRP/NIP TUGAS TAMBAHAN
1. dr. Dyah Widiastuti, M. Kes., Sp. PK. Kapten Kes / 530432 Ketua PPRA
Letda Kes /
2. dr. Siti Nurindah Rarasati Wakil Ketua I
21729205546652
Letda Kes /
3. dr. Sahid Adi Kusumo Negoro Wakil Ketua II
21819308548131
Letda Kes /
4. dr. Wiwi Hermy P. Sekretaris
21829304548170
5. Ginanjar Prabu, S. Farm., Apt. Lettu Kes / 542431 Tim Farmasi Terapi

6. Nia PTT Farmasi


PNS II D /
7. Souffi Apriandinni Tim Keperawatan
19820403205012010
PNS II D /
8. Rince Nopita Tim Keperawatan
19811101200712202
PNS II D /
9. Nunik Nurhayati Tim Keperawatan
1985806292008122001
PNS II D /
10. Rika Dewi Tim Keperawatan
19840313009122002
PNS II D /
11. Marisi Sitanggang Tim Keperawatan
197601242010122001
12. Liska PTT Tim Laboratorium
13. Habib Hujair PTT Tim Laboratorium
14. Naziah PTT Tim Laboratorium

Kepala RSAU dr. M. Hassan Toto,

dr. Ngudiarto, Sp. PD.


Letkol Kes NRP 525847

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

ADRs : Adverse Drug Reactions


ARV : Anti Retro Viral
American Society of
ASA : Anesthesiologists
ATC : Anatomical Therapeutic Chemical
AUC : Area Under Curve
CAP : Community-Acquired Pneumonia
Cl : Creatinine clearance
cr
CMV : Cytomegalovirus
CVP : Central Venous Pressure
DDD : Defined Daily Doses
Extended Spectrum Beta-
ESBL : Lactamase
ESO : Efek Samping Obat
G6PD : Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase
IDO : Infeksi Daerah Operasi
IGD : Instalasi Gawat Darurat
ILO : Infeksi Luka Operasi
KHM : Kadar Hambat Minimal
Liquor Cerebrospinalis/Likuor
LCS : Serebrospinalis
MDRO : Multidrug -Resistant Organisms
MESO : Monitoring Efek Samping Obat
MIC : Minimal Inhibitory Concentration
Methicillin Resistant Staphylococcus
MRSA : ureus
PAE : Post-Antibiotic Effect
PBP : Penicillin Binding Protein
PPA : Pedoman Penggunaan Antimikroba
PPP : Profilaksis Pasca Pajanan
Program Pengendalian Resistensi
PPRA : ntibiotika
RAST : Radio Allergosorbent Test CT

DAFTAR ISI

Daftar Isi……………………………………………………………………………………….. iv
Daftar Tabel……………………………………………………………………………………. vi
Daftar Gambar…………………………………………………………………………………. vii

BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………... 1
1.2 Tujuan…………………………………………………………………..... 2
1.3 Definisi............................................................................................... 3
1.4 Daftar Singkatan……………………………………………................... 3
1.5 Masa Berlaku……………………………………………………………. 3
1.6 Kelebihan dan Keterbatasan…………………………………………... 4

BAB 2. INDIKASI PENGGUNAAN ANTIMIKROBA……………………………………… 5


2.1 Prinsip Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pembedahan…….......... 5
2.2 Prinsip Penggunaan Antimikroba pada Terapi Empiris dan Definitif 8

BAB 3. DAFTAR KASUS DAN ALUR PENANGANAN PASIEN ................................... 12


3.1 Alur Penanganan Pasien………....................................................... 12

BAB 4. KLASIFIKASI DAN CARA PENGGUNAAN ANTIMIKROBA …........................... 13


4.1 Klasifikasi dan Cara Penggunaan Antimikroba….............................. 13

BAB 5. CATATAN KHUSUS PADA PASIEN DENGAN KONDISI TERTENTU ............... 19


5.1 Kategori Keamanan Antimikroba Pada Kehamilan ............................ 19
5.2 Daftar Keamanan Obat Antimikroba Pada Kehamilan……………….. 19
5.3 Daftar Antibiotik yang Perlu Dihindari dan Dikontraindikasi
pada Wanita Menyusui…………………………………………………… 19
5.4 Penyesuaian Dosis Pada Gangguan Ginjal………………………….… 19
5.5 Saat Pemberian Antimikroba……………………………………………. 19

BAB 6. PENUTUP………………………………………………………………….......... 20

PANGKALAN TNI AU ATANG SENDJAJA Lamp Kep Ka RSAU dr. M. Hassan Toto
RSAU dr. M. HASSAN TOTO Nomor Kep/ /XII/2018
Tanggal Desember 2018

PANDUAN PENGGUNAAN ANTIMIKROBA PROFILAKSIS DAN TERAPI


DI RSAU dr. M. HASSAN TOTO

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Resistensi mikroba terhadap antimikroba (disingkat: resistensi antimikroba,


antimicrobial resistance, AMR) telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia, dengan
berbagai dampak merugikan dapat menurunkan mutu pelayanan kesehatan. Muncul dan
berkembangnya resistensi antimikroba terjadi karena tekanan seleksi (selection pressure)
yang sangat berhubungan dengan penggunaan antimikroba, dan penyebaran mikroba resisten
(spread). Tekanan seleksi resistensi dapat dihambat dengan cara menggunakan secara bijak,
sedangkan proses penyebaran dapat dihambat dengan cara mengendalikan infeksi secara
optimal.
Resistensi antimikroba yang dimaksud adalah resistensi terhadap antimikroba yang
efektif untuk terapi infeksi yang disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, dan parasit. Bakteri
adalah penyebab infeksi terbanyak maka penggunaan antibakteri yang dimaksud adalah
penggunaan antibiotik.
Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) tahun 2000-2005
pada 2494 individu di masyarakat, memperlihatkan bahwa 43% Escherichia coli resisten
terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain: ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan
kloramfenikol (25%). Sedangkan pada 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan
81% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin (73%),
kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%). Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa masalah resistensi antimikroba juga terjadi di Indonesia.
Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa di Surabaya dan Semarang terdapat masalah
resistensi antimikroba, penggunaan antibiotik yang tidak bijak, dan pengendalian infeksi yang
belum optimal. Penelitian AMRIN ini menghasilkan rekomendasi berupa metode yang telah
divalidasi (validated method) untuk mengendalikan resistensi antimikroba secara efisien. Hasil
penelitian tersebut telah disebarluaskan ke rumah sakit lain di Indonesia melalui lokakarya
nasional pertama di Bandung tanggal 29-31 Mei 2005, dengan harapan agar rumah sakit lain
dapat melaksanakan “self-assessment program” menggunakan “validated method” seperti
yang dimaksud di atas. Pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi di
masing-masing rumah sakit, sehingga akan diperoleh data resistensi antimikroba, data
penggunaan antibiotik, dan pengendalian infeksi di Indonesia. Namun, sampai sekarang
gerakan pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit secara nasional belum
berlangsung baik, terpadu, dan menyeluruh sebagaimana yang terjadi di beberapa negara.
Berbagai cara perlu dilakukan untuk menanggulangi masalah resistensi antimikroba ini
baik di tingkat perorangan maupun di tingkat institusi atau lembaga pemerintahan, dalam kerja
sama antar-institusi maupun antar-negara. WHO telah berhasil merumuskan 67 rekomendasi
bagi negara anggota untuk melaksanakan pengendalian resistensi antimikroba. Di Indonesia
rekomendasi ini tampaknya belum terlaksana secara institusional. Padahal, sudah diketahui
bahwa penanggulangan masalah resistensi antimikroba di tingkat internasional hanya dapat
dituntaskan melalui gerakan global yang dilaksanakaan secara serentak, terpadu, dan
bersinambung dari semua negara. Diperlukan pemahaman dan keyakinan tentang adanya
masalah resistensi antimikroba, yang kemudian dilanjutkan dengan gerakan nasional melalui
program terpadu antara rumah sakit, profesi kesehatan, masyarakat, perusahaan farmasi, dan
pemerintah daerah di bawah koordinasi pemerintah pusat melalui kementerian kesehatan.
Gerakan penanggulangan dan pengendalian resistensi antimikroba secara paripurna ini
disebut dengan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA).
Dalam rangka pelaksanaan PPRA di rumah sakit, maka perlu disusun pedoman
pelaksanaan agar pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit di seluruh Indonesia
berlangsung secara baku dan data yang diperoleh dapat mewakili data nasional di Indonesia.

1.2 Pengertian

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh agen biologi (virus, bakteri,
parasit, jamur), bukan disebabkan faktor fisik (seperti luka bakar) atau kimia (seperti
keracunan)

Antimikroba adalah bahan-bahan/obat-obat yang digunakan untuk memberantas/


membasmininfeksi mikroba khususnya yang merugikan manusia

Antibiotika adalah suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang
dalam konsentrasi kecil mempunyai kemampuan menghambat atau membunuh
mikroorganisme lain

Antijamur adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang


disebabkan oleh jamur
Antivirus adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang
disebabkan oleh virus

Antiparasit adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang


disebabkan oleh parasit

Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya


kerja antimikroba

1.3 Tujuan

Pedoman ini dimaksudkan untuk menjadi acuan dalam pelaksanaan program


pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit, agar berlangsung secara baku, terpadu,
berkesinambungan, terukur, dan dapat dievaluasi.

1.4 Masa Berlaku

Masa berlaku pedoman penggunaan antibiotik di RSAU dr. M. Hassan Toto adalah
mulai tahun 2019.

1.5 Kelebihan dan keterbatasan pedoman

1. Kelebihan

Kelebihan dari adanya pedoman penggunaan antibiotik antara lain :

a. Dokter pengguna dimudahkan untuk menentukan antibiotik yang akan digunakan


untuk pasiennya

b. Pedoman berupa buku saku sehingga memudahkan dokter pengguna untuk


membawa pedoman ini

2. Keterbatasan
Keterbatasan pedoman penggunaan antara lain :

a. Pedoman bersifat umum. Dokter pengguna harus menilai pasien secara individual
dengan kondisi yang berbeda – beda setiap pasiennya
b. Ilmu pengetahuan yang selalu menyajikan kebaruan merupakan salah satu
pertimbangan dokter dalam memberikan antibiotik. Dokter juga diharapkan untuk
selalu menambah pengetahuan sehingga dapat memberikan pelayanan pemberian
antibiotik yang terbaik bagi pasien dan keluarga.

BAB 2
INDIKASI PENGGUNAAN ANTIMIKROBA

2.1 Prinsip Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pembedahan

Pemberian antibiotika sebelum (30–60 menit sebelum insisi pertama), saat dan
hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-
tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan
pada saat operasi, konsentrasi antibiotika di jaringan target operasi sudah mencapai
kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri kulit dan lingkungan
(Avenia, 2009).

Prinsip penggunaan antibiotika profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga
mempertimbangkan konsentrasi antibiotika dalam jaringan saat mulai dan selama
operasi berlangsung. Rekomendasi antibiotika yang digunakan pada profilaksis bedah
dapat dilihat pada kebijakan penggunaan antibiotika profilaksis bedah/tindakan medis
dan PPA.

1. Tujuan pemberian antibiotika profilaksis pada kasus pembedahan:

a. Menurunkan dan mencegah kejadian Infeksi Daerah Operasi (IDO).

b. Menurunkan mordibitas dan mortalitas pasca operasi.

c. Menghambat munculnya flora normal resisten antibiotika.

d. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.

2. Indikasi penggunaan antibiotika profilaksis ditentukan berdasarkan kelas operasi,


yaitu operasi bersih dan bersih kontaminasi.

3. Dasar pemilihan jenis antibiotika untuk tujuan profilaksis:

a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus
bersangkutan (EMPIRIS).

b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri.

c. Toksisitas rendah.

d. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi.

e. Bersifat bakterisidal.

f. Harga terjangkau.

4. Rute pemberian

a. Antibiotika profilaksis diberikan secara intravena.


b. Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian
antibiotika intravena drip.

5. Waktu pemberian

Antibiotika profilaksis diberikan ≤ 30 – makismal 60 menit sebelum insisi kulit.

6. Dosis pemberian

Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan
dengan baik, maka diperlukan antibiotika dengan dosis yang cukup tinggi. Pada
jaringan target operasi kadar antibiotika harus mencapai kadar hambat minimal 2
kali kadar terapi.

7. Lama pemberian

Durasi pemberian adalah dosis tunnggal.

Dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih dari 1500 ml atau
operasi berlangsung lebih dari 3 jam (SIGN, 2008).

8. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya ILO, antara lain:

a. Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification) (SIGN, 2008).

Tabel 2. Kelas Operasi dan Penggunaan Antibiotika


b. kor ASA (American Society of Anesthesiologist)
Kor ASA
1 Normal dan sehat
2 Kelainan Sistemik Ringan
3 Kelainan Sistemik Berat, aktivitas terbatas
4 Kelainan sistemik berat yang sedang menjalani pengobatan untuk
life support
5 Keadaan sangat kritis, tidak memiliki harapan hidup, diperkirakan
hanya bias bertahan sekitar 24 jam dengan atau tanpa operasi.

c. Lama rawat inap sebelum operasi


Lama rawat inap 3 hari atau lebih sebelum operasi akan meningkatkan kejadian
ILO.

d. Ko-morbiditas (DM, hipertensi, hipertiroid, gagal ginjal, lupus, dll)

e. Indeks Risiko
Dua ko-morbiditas (skor ASA > 2) dan lama operasi dapat diperhitungkan
sebagai indeks risiko.
Tabel 5. Indeks Risiko
Indeks Risiko Definisi
0 Tidak ditemukan faktor risiko
1 Ditemukan 1 faktor risiko
2 Ditemukan 2 faktor risiko

e. Pemasangan implan
Pemasangan implan pada setiap tindakan bedah dapat meningkatkan kejadian
IDO.

2.2 Prinsip Penggunaan Antimikroba pada Terapi Empiris dan Definitif

1. Antibiotika Terapi Empiris


a. Penggunaan antibiotika untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotika pada
kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya.

b. Tujuan pemberian antibiotika untuk terapi empiris adalah eradikasi atau


penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.

c. Indikasi

Ditemukan sindroma klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu


yang paling sering menjadi penyebab infeksi.

1) Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotika data epidemiologi dan pola
resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat.

2) Kondisi klinis pasien.

3) Ketersediaan antibiotika.

4) Kemampuan antibiotika untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang


terinfeksi.

5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat


digunakan antibiotika kombinasi
d. Rute pemberian

Antibiotika oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada
infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotika
parenteral (Cunha, BA., 2010).

e. Lama pemberian

Antibiotika empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya harus
dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta
data penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim PPRA Kemenkes RI., 2010).

f. Evaluasi penggunaan antibiotika empiris dapat dilakukan seperti pada tabel


berikut (Cunha, BA., 2010; IFIC., 2010).

Tabel 1. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Empiris


Hasil Klinis Sensitivitas indak Lanjut
Kultur
+ Membaik Sesuai Lakukan sesuai prinsip “DeEskalasi”
+ Membaik Tidak Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi

+ Tetap/Memburuk Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi

+ Tetap/Memburuk Tidak Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi

- Membaik 0 Evaluasi Diagnosis dan Terapi


- Tetap/Memburuk 0 Evaluasi Diagnosis dan Terapi

2. Antibiotika untuk Terapi Definitif

a. Penggunaan antibiotika untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotika


pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
resistensinya (Lloyd., 2010).

b. Tujuan pemberian antibiotika untuk terapi definitif adalah eradikasi atau


penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi,
berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi.
c. Indikasi

Sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi.

d. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotika.

1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.

2) Sensitivitas.

3) Biaya.

4) Kondisi klinis pasien.

5) Diutamakan antibiotika lini pertama/spektrum sempit.

6) Ketersediaan antibiotika (sesuai formularium rumah sakit).

7) Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang


terkini.

8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.

e. Rute pemberian antibiotika oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi
infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan
antibiotika parenteral (Cunha, BA., 2010). Jika kondisi pasien memungkinkan,
pemberian antibiotika parenteral harus segera diganti dengan antibiotika per oral.

Lama pemberian antibiotika definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi
bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi
berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya ( F C.,
2010; Tim PPRA Kemenkes RI., 2010).
BAB 3
DAFTAR KASUS DAN ALUR PENANGANAN PASIEN

3.1 Alur Penanganan Pasien


Antimikroba yang diberikan pada pasien infeksi adalah yang sesuai dengan Pedoman
Penggunaan Antimikroba dan Formularium Nasional, apabila akan digunakan antimikroba
yang tidak sesuai dengan ketentuan diatas maka harus menempuh alur berikut ini :
Resep Antimikroba diluar PPA
dan/atau Formularium Nasional

Konsultasi dengan Dokter


Penanggung Jawab Pasien
Catatan :
1. Bila terdapat ketidaksesuaian antara diagnosis, kondisi klinis pasien, hasil kultur mikrobiologi,
dengan pemilihan antibiotika (PPAM/ Formularium Nasional/ Formularium Pendamping RS),
mohon menghubungi PIC SMF masing-masing.

Pengambilan spesimen mikrobiologi harap dilakukan sebelum antibiotika pertama masuk dan
evaluasi tiap 3-5 hari (kondisi klinis, hasil lab, dasar, kultur spesimen.
BAB 4
KLASIFIKASI DAN CARA PENGGUNAAN ANTIMIKROBA

4.1 Klasifikasi dan cara penggunaan antimikroba

22
23
24
25
Keterangan :

Cara pemberian sediaan injeksi (rute) :


IM : intramuscular
IV : intravena
IVFD : intravena fluid drip

26
Injeksi intravena dapat diberikan dengan berbagai cara, untuk jangka waktu yang pendek atau untuk waktu yang lama,
seperti berikut ini:

a. Injeksi bolus. Injeksi dengan volume kecil, biasanya diberikan dalamwaktu 3 - 5 menit kecuali ditentukan lain
untuk obat-obatan tertentu.

b. Infus (IVFD). Infus dapat diberikan secara singkat (intermittent) atau terus-menerus (continuous):

 Infus singkat (intermittent infusion). Infus singkat diberikan selama 10 menit atau lebih lama. Waktu
pemberiaan infus singkat sesungguhnya jarang lebih dari 6 jam per dosis.

 Infus kontinu (continuous infusion). Infus kontinu diberikan selama 24 jam. Volume infus dapat beragam
mulai dari volume infus kecil diberikan secara subkutan dengan pompa suntik (syringe pump), misalnya 1 ml
per jam, hingga 3 liter atau lebih selama 24 jam, misalnya nutrisi parenteral.

27
BAB 5
CATATAN KHUSUS PADA PASIEN DENGAN KONDISI TERTENTU

5.1 Kategori Keamanan Antimikroba Pada Kehamilan

Kategori keamanan antimikroba pada kehamilan adalah sebagai berikut:

a. Kategori A: Studi pada wanita menunjukan tidak adanya risiko terhadap


janin di trimester pertama kehamilan.

b. Kategori B: Studi pada hewan percobaan yang sedang reproduksi tidak


menunjukan adanya gangguan pada fetus dalam trimester pertama, tidak
ada studi pada wanita hamil.

c. Kategori C: Studi pada hewan percobaan menunjukan gangguan


teratogenik/embrionik tetap, pada wanita hamil tidak ada penelitian. Hanya
digunakan bila manfaat lebih besar daripada risiko pada janin

d. Kategori D: Jelas ada gangguan pada janin manusia. Hanya dapat


digunakan pada keadaan untuk menyelamatkan nyawa penderita.

e. Kategori X: Studi pada hewan percobaan maupun manusia


menunjukan adanya gangguan pada janin. Obat ini merupakan kontra
indikasi untuk dipakai pada kehamilan.

5.2 Daftar Keamanan Obat Antimikroba Pada Kehamilan.

Daftar keamanan obat antimikroba pada kehamilan dapat dilihat pada


lampiran C.

5.3 Daftar Antibiotik yang Perlu Dihindari dan Dikontraindikasi pada Wanita
Menyusui.

Daftar obat antimikroba yang perlu dihindari dan dikontraindikasikan pada


wanita menyusui dapat dilihat pada lampiran D.

5.4 Penyesuaian Dosis Pada Gangguan Ginjal.

Penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal,


dapat dilihat pada lampiran E.

5.5 Saat Pemberian Antimikroba.

Saat pemberian antimikroba dapat dilihat pada lampiran F.

28
BAB 6
PENUTUP

1. Resistensi Antimikroba dapat dihambat melalui berbagai upaya


2. Diperlukan kerja sama lintas sektor untuk menghambat resistensi antimikroba dan
penyebarannya didukung Regulasi dan Pedoman PPRA
3. Seluruh lintas sektor yang terlibat perlu membangun dan mengimplementasikan
bersama Rencana Aksi Nasional /RAN (NAP)
4. Akreditasi Membangun budaya mutu dan keselamatan pasien adalah kebutuhan RS
serta mendukungTercapainya Program Nasional : PPRA
5. Perlu pemenuhan sarana, prasarana, alkes, farmasi, SDM, regulasi, penggunaan IT
dan tata kelola yang baik agar didapatkan produk rumah sakit yang bermutu.
6. Standar Nasional Akreditasi RS (SNARS) Edisi 1 yang berlaku 1 Januari 2018
diharapkan lebih baik dalam memberikan kontribusi dalam pembangunan budaya
mutu dan keselamatan pasien RS termasuk Pelaksanaan Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba (PPRA) di RS

29

You might also like