You are on page 1of 11

Pertimbangan Eritema Nodosum Leprosum, dengan Penekanan pada Manifestasi

Oralnya

ABSTRAK
Lepra merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae,
yang ditransmisikan dari manusia ke manusia melalui kontak antara pasien yang rentan yang
tidak diobati. Hal ini menunjukkan spektrum klinis yang luas yang berhubungan dengan
kemampuan host untuk menghasilkan respon imun yang spesifik. Lesi disebabkan oleh
proliferasi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang secara signifikan menurun dalam
beberapa tahun ini dengan deteksi awal pada kasus baru. Karena adanya sedikit bukti dan
atau studi, lesi maksilofasial dan mukosa oral akan memberikan informasi yang lebih detail
dan penting mengenai kemampuan transmisi dan imunopatogenesis lepra. Artikel ini
berdasarkan pada literatur untuk membuktikan hubungan antara manifestasi oral pada pasien
virchowian dan faktor imunopatologi. Hubungan antara infeksi pada mukosa oral dan
beberapa temuan patologi seperti keikutsertaan respon imun lokal dalam proteksi melawan
penyakit adalah topik penelitian yang masih belum sepenuhnya diperdalam.
Kata kunci: Lepra; Penyakit Hansen; Manifestasi oral

1. Pendahuluan
Lepra merupakan suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M.leprae,
yang ditransmisikan dari individu ke individu melalui kontak dengan pasien lepra yang
tidak diobati. Hal ini menunjukkan spektrum klinis yang luas yang berhubungan dengan
kemampuan host untuk menghasilkan respon imun. Tempat masuk utama basil adalah
pada saluran napas atas. Masih banyak yang harus dipelajari tentang mekanisme selular
dan molekular yang berperan dalam kegagalan respon imun selular pada lepra. Seperti
yang diketahui, terdapat banyak perubahan dalam proses antigen dan produksi beberapa
interleukin. Respon imun pada lepra melibatkan semua komponen utama dari respon imun,
seperti makrofag, berbagai interleukin, limfosit T dan subpopulasinya, sel NK, limfosit B
dan antibodi. Sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag yang diaktivasi oleh M. leprae,
membuat berbagai pengaruh pada sel-sel dalam sistem imun, yang membantu
meningkatkan mekanisme efek dari lokasi inflamasi.
Pada lepra, seperti infeksi lainnya dimana makrofag merupakan target utama dari
kuman, mekanisme respon imun yang menentukan kesembuhan atau penyakit yang
berhubungan dengan tipe sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun, dimana profil Th1
yang paling banyak menentukan tipe tuberkuloid, sedangkan profil Th2 mengarah ke tipe
lepromatosa. Sehingga merupakan suatu kesulitan besar untuk memprediksi jatuhnya
penyakit menjadi reaksi. Respon selular berhubungan dengan patogenesis reaksi reversal.
Beberapa tahapan reaksi dihasilkan oleh bermacam-macam mekanisme sistem imun yang
akan meningkatkan kerusakan jaringan yang berat dalam perjalanan klinis penyakit dari
pasien. Reaksi lepra berhubungan dengan eksaserbasi imunitas selular, atau membuktikan
efek penanda dari pembentukan kompleks imun, yang dikenal masing-masing dengan
reaksi tipe 1 dan tipe 2.
Identifikasi lesi spesifik pada rongga mulut pada pasien lepra menjadi sangatlah
penting, dan juga hubungannya dengan studi imunopatologi, karena kurangnya literatur.
1
Ada banyak laporan yang membahas lesi oral, namun ada perbedaan lesi yang terdapat
pada regio yang sama.
Penulis melaporkan bahwa lesi kulit muncul bersamaan dengan lesi oral. Memang
sejauh ini masih belum ditemukan. Lebih lagi, ditemukannya sejumlah laporan tentang
peran sitokin di mukosa oral.

2. Permasalahan
Lepra, masih sampai saat ini merupakan salah satu masalah terbesar kesehatan
masyarakat. World Health Organization (WHO), setelah pengenalan multidrug terapi
(MDT), telah mengembangkan program eliminasi lepra pada tahun 2005, yaitu
pengurangan angka prevalensi 1 dari 1000 penduduk, sayangnya tidak tercapai. Brazil
masih menduduki tempat kedua di dunia dalam prevalensi penyakit ini, dengan perkiraan,
6,72 pasien/10.000 penduduk dan dengan perkiraan 45.000 kasus baru setiap tahunnya.
Meskipun menjadi negara endemis lepra kedua terbesar di dunia, Brazil telah memberikan
kontribusi secara signifikan terhadap perubahan statistik. Di negara bagian Bahia, yang
dianggap sebagai daerah prevalensi rata-rata Brazil, ditemukan peningkatan insidensi,
karena sulitnya akses bagi penduduk miskin untuk didiagnosis dan diobati.
Brazil, menurut studi oleh Penna, menyajikan penurunan signifikan secara statistik,
dalam waktu penemuan koefisien berkala.
Namun, pada periode tahun 1990-2008, koefisien berkisar antara 20/100.000
penduduk pada tahun 1990 dan 29,4/100.000 penduduk pada tahun 2003, yang merupakan
klasifikasi “sangat tingi” berdasarkan pada parameter resmi. Namun, bagian utara, timur
laut dan midwest masih merupakan daerah yang angka prevalensi dan insidensinya sangat
tinggi. Brazil, menurut sebuah studi terbaru, menyajikan kecenderungan penurunan
signifikan secara statistik, dalam waktu penemuan koefisien berkala.
Di negara bagian Bahia, menurut beberapa data, cenderung menurun, signifikan
secara statistik dalam waktu penemuan koefisien berkala. Namun, pada periode tahun
1990-2008, koefisien ini berkisar antara 7,52/100.000 penduduk pada tahun 1991 dan
29,32/100.000 penduduk pada tahun 2003, menunjukkan peringkat yang "tinggi" untuk
periode kedua, kurang dari parameter resmi yang di negara Brazil (Tabel 1 dan 2).
Laporan aktif dari koefisien prevalensi per 10.000 penduduk pada tahun 2000
adalah 1,5 (di negara bagian) dan 1,3 (di ibukota), meningkat masing-masing menjadi 2,4
dan 4 pada tahun 2002. Sedangkan koefisien insidensi di periode yang sama berkisar 1,3
hingga 1,2 di Negara bagian, dan 1,2 hingga 0,8 di ibukota.

2
Penurunan kasus anak di bawah usia 15 tahun merupakan prioritas dari Program
Pengendalian Lepra Nasional (PNCH), yang menjadi indikator lepra di PAC-More Health.
Temuan kasus-kasus pada kelompok umur ini harus dilakukan dengan wabah penyakit
yang terjadi dan modal transmisi serta pemantauan epidemiologinya untuk pengendalian
penyakit lepra.
Koefisien deteksi di Bahia pada kelompok umur ini pada periode dari tahun 2001
hingga 2008, menyajikan peringkat yang “tinggi” (Tabel 3). Distribusi spasial kasus anak-
anak dibawah usia 15 tahun pada tahun 2008 menunjukkan bahwa terdapat informasi pada
anak-anak di 65 kota (15,6%) di negara bagian, yang mana dikelilingi oleh daerah yang
terdapat kasus tetapi tidak dilaporkan maupun yang tidak sama sekali. Perlu dicatat bahwa
kota-kota dari negara bagian ini masuk dalam sepuluh area peningkatan risiko deteksi
kasus lepra, yang dijelaskan studi cluster. Parameter Program Tindakan Prioritas
Pemantauan Kesehatan (PAV) yang mengamati persentase rata-rata ketika menilai derajat
disabilitas (GIF) dalam diagnosis adalah 87,3% untuk periode ini, dianggap “tetap”. GIF 2,
indikator penting untuk deteksi awal, berfluktuasi antara 3,1% sampai 8,5%, menunjukkan
peringkat yang “rendah” hingga “sedang” pada periode ini, berdasarkan parameter.
Evaluasi GIF dalam penyembuhan dianggap “berbahaya” pada periode ini, dengan rata-
rata 47,7% yang dievaluasi. Proporsi kontak yang diperiksa menunjukkan rata-rata 40%,
bervariasi dari 69,7% tahun 2001 dan 30,2% tahun 2008, terus masuk klasifikasi
"berbahaya". Persentase kesembuhan dalam kohort menunjukkan rata-rata 68,7%, yang
dianggap "berbahaya", kisaran antara 60% tahun 2003 dan 80,2% tahun 2006 (Tabel 4).

3
3. Manifestasi Klinis pada Lepra
Beberapa penyakit menunjukkan spektrum yang luas dari bentuk patologis dan
klinis pada lepra, dimana kita dapat menemukan pasien dengan lesi tunggal yang sembuh
spontan, dan juga individu dengan lesi generalisata yang sesuai dengan tingkat keparahan
dan perluasan dari penyakit. Klasifikasi Madrid membagi lepra dalam kelompok dua
bagian: tuberkuloid dan lepromatosa, dan klasifikasi lainnya dalam indeterminate dan
borderline.
Pada tahun 1966, Ridley dan Jopling membagi lepra dalam lima tipe berdasarkan
klinis, patologi dan imunologi yaitu : Tuberculoid (TT), borderline Tuberculoid (BT),
borderline-borderline (BB), borderline Lepromatosa (BL) dan lepromatosa-Lepromatosa
(LL). Tipe tidak tetap dan tipe neural tidak termasuk dalam klasifikasi ini.
Untuk tujuan kerja pasien rawat jalan di lapangan, WHO menyerderhanakan
klasifikasi ke dalam pausibasiler (PB), dimana pasien menunjukkan basiloskopi negatif
dan atau hingga 5, lesi kulit, dan multibasiler (MB) untuk pasien dengan basiloskopi
positif dan lesi yang menyebar luas.
Menurut penulis, lesi saraf biasanya mendahului lesi kulit. Menyerang terutama di
sistem saraf perifer (PNS). Manifestasi pertama dijumpai pada bagian yang paling sensitif,
yang merupakan struktur anatomi pertama yang berhubungan dengan saraf "ramuscles"
(komponen distal dari PNS), yang berkembang ke bagian proksimal, mempengaruhi saraf
sekunder, dan, akhirnya, batang saraf perifer. Ini akan menjadi bengkak, nyeri pada saat
dipalpasi atau perkusi.
Klasifikasi indeterminate menunjukkan keadaan awal dimana gambaran histologis
dan klinis yang tidak pasti. Lesi kulit berupa makula yang tidak jelas, hipopigmentasi dan
regio hipoestesi termal, dapat terjadi perubahan sensibilitas rangsang raba dan nyeri.
Kemampuan imunitas pasien tidak jelas pada lepra tipe ini.
Pada tahap ini, sesuai dengan kemampuan respon imun pasien, penyakit dapat
berkembang menjadi berbagai jenis tipe lepra, tetapi dapat juga sembuh spontan.
Tipe tuberkuloid, lesi terpisah atau satu-satu, makula atau infiltrat. Terdapat lesi
hipopigmentasi yang tersebar asimetris.
Pada wajah, yang kaya akan inervasi persarafan, hipoestesi biasanya sulit dijumpai.
Pada tipe borderline atau dimorfik, kita dapat menjumpai campuran elemen dari dua
kutub lepra, yaitu tipe lepromatosa atau tipe tuberkuloid.
Antibodi dalam konsentrasi rendah, ketika diperiksa, walaupun imunitas seluler
tetap atau eksaserbasi.
Kebanyakan pasien lepra berkembang menjadi tipe borderline, dimana kekebalan
tubuh tidak stabil. Berdasarkan data klinis, tes bakteriologi, pasien-pasien ini cenderung
menjadi tipe dimorfotuberkuloid atau borderline-lepromatosa.
Pada lepra lepromatosa atau wirchovian dalam tipe karakteristik penyebaran,
lesinya tidak berbatas tegas. Bahkan pada tipe ini, kami dapat mengamati, khususnya
rinitis dapat muncul awal dan spesifik, oleh infiltrat difus, kadang bersama “hansenoma”
kemudian, ulserasi dan perforasi dapat terjadi dan destruksi septum nasal.

4
4. Manifestasi Oral
Sangat sedikit perhatian yang diberikan pada lesi oral lepra. Perhatian lebih besar
dimulai tahun 1930 oleh Pavloff. Penulis ini mempublikasikan jurnal tentang lesi di
hidung dan mulut, disusul jurnal lainnya yang menyoroti regio lesi pada membran mukosa
di bibir, pipi dan leher.
Pavloff menunjukkan frekuensi lesi yang lebih tinggi di palatum lunak, uvula dan
pilar tenggorokan. Tidak ada kelainan yang ditemukan pada pipi dan gusi. Di bibir dan
lidah, nodul dapat dijumpai. Penulis ini juga meyebutkan beberapa lesi yang terlihat pada
pangkal dan samping lidah, dan glositis sklerotik, lidah geografis dan peningkatan papila
fungiformis.
Sebagian besar jurnal yang dipublikasikan menyebutkan selalu dijumpai insidensi
yang lebih tinggi lesi pada palatum keras, palatum lunak dan uvula.
Sebagian besar jurnal ini merupakan pasien lepromatosa, atau pasien tipe lepra
intermediate yang cenderung mengarah kutub lepromatosa.
Bentuk lesi yang paling sering muncul dalam studi ini adalah: infiltrat, hansenoma
dan ulserasi. Beberapa studi menyebutkan lesi-lesi tersebut tidak berhubungan dengan M.
leprae dan bukan merupakan lesi spesifik pada pasien lepra.
Namun, ada beberapa studi yang menyertakan studi imunohistokimia dari mukosa
oral.
Studi basiloskopi positif pada mukosa oral yang tampak sehat telah dijelaskan oleh
penulis pada tahun 1939, yang memeriksa 456 pasien lepromatosa dan tipe lainnya,
menemukan frekuensi keseluruhan pada lepromatosa, 19,1% lesi pada rongga mulut, dan
2,09% pada bibir, 1,4% pada lidah, 11,7% pada palatum keras, 5,9% pada palatum lunak
dan 3,2% pada uvula.
Perubahan yang terjadi pada rongga mulut pasien lepra dijelaskan tahun 1970 dari
tipe lepra dan evolusi waktunya. Studi yang dilakukan tahun 1973 menemukan bahwa lesi-
lesi lepra pada mukosa oral, dijelaskan muncul pada tahap lanjut dari penyakit, dijumpai
pada tipe tuberkuloid dan indeterminate. Kebanyakan penulis menyebutkan mukosa nasal
merupakan tempat utama kontaminasi dan eliminasi basil lepra. Dengan munculnya
pengobatan spesifik dimulai dari sulfon, telah dibuktikan lesi yang menyembuh selama
durasi terapi. Beberapa peneliti menyayangkan mengapa para dokter gigi belum banyak
membantu dalam mengenali lesi oral dalam rangka pencegahan.
Mengenai keterlibatan mukosa oral pada lepra, beberapa studi telah dilakukan pada
lesi spesifik di area ini dan, walaupun jarang, penelitian dalam bidang ini telah menarik
minat dari para peneliti.
Penulis meminta para ahli kesehatan yang bekerja pada bidang lepra, termasuk
dokter gigi, untuk mengenal lesi spesifik penyakit di mukosa oral.

5. Aspek Respon Imun pada Lepra


5.1. Aspek Umum
Sedikit yang diketahui tentang faktor-faktor ini yang melawan infeksi dan
penyakit setelah paparan dari M. leprae namun, terjadi aktivasi komplemen yang
meningkatkankan fagositosis M. leprae. Ketika basil kontak dengan sel fagositosis dari
host, itu akan terjadi fagositosis dan memulai untuk dilakukannya mekanisme perubahan
5
intraseluler yang bertindak sebagai eliminasi dari kuman. Imunitas seluler nonspesifik
telah dievaluasi oleh beberapa tes pada penderita lepra, namun, beberapa narasumber
melaporkan bahwa hasil ini memiliki ketidakselarasan.
Peneliti lain dengan mengevaluasi serangkaian tes, mempertimbangkan ada
gangguan nonspesifik dari imunitas seluler pada pasien lepromatosa. Pekerjaan
dilakukan dengan menggunakan parameter seperti menghitung limfosit T dan B dalam
transformasi darah perifer dari limfosit, uji penghambatan makrofag (MIF) dan
kelangsungan hidup allograft yang berkepanjangan, menurut narasumber ini, ini tidak
semuanya bertentangan, yang menjelaskan defisiensi imunitas selular di pasien
lepromatosa. Bukti menunjukkan bahwa sistem ini adalah micobakterial yang
bergantung pada oksigen, bagaimanapun, metode lain dari pembunuhan intraselular
seperti sistem independen oksigen yang mungkin terlibat dalam pembunuhan M. leprae
in vivo. Tidak ada bukti adanya defek di barrier kulit alami atau membran mukosa pada
individu yang rentan terhadap lepra, dan tidak ada peran yang didirikan untuk IgA dalam
pertahanan terhadap M. leprae.
Makrofag dari pasien tuberkuloid dan lepromatosa mungkin tidak efisien dalam
rekognisi dan presentasi dari beberapa antigen mycobacterium. Hipersensitivitas selular
bergantung pada limfosit T spesifik yang berhubungan dengan makrofag. Ini berperan
untuk resisten infeksi dari M. leprae.
Parameter utama dari evaluasi imunitas selular adalah tes Mitsuda. Narasumber
dari tes ini (1919) menemukan setelah injeksi intradermal pada suspensi hansenoma,
ditunjukkan pada pasien tuberculoid reaksi positif pada tiga minggu pertama, dimana ini
negatif pada pasien wirchovian.
Berdasarkan dari Modlin dkk, korelasi terbalik antara imunitas selular dan
imunitas humoral diinvestigasi pada istilah dari respons imun adaptif. Subpopulasi
berbeda dari sel T berhubungan dengan respons melawan M. leprae, meliputi sel CD4
dan CD8 dan bentuk dari sitokin yang mereka hasilkan. Sel CD4 menghasilkan bentuk
tipe 1 atau sitokin Th1, meliputi predominan IFN-γ di lesi lepromatosa tuberculoid,
dimana sel T CD8 yang menghasilkan gambaran tipe 2 atau sitokin Th2, meliputi IL-4
juga prevalen di L-lep. Dengan cara ini lepra memberikan model yang baik untuk
investigasi mekanisme melalui penentuan sistem imun bawaan, dan awal dari penyakit
infeksi.

5.2. Aspek Imunitas Bawaan


Sel-sel sistem imunitas bawaan disediakan dengan sekuensi pengkodean dari
bentuk reseptor rekognisi (PRRs), yang mana mengenali reseptor molekular yang
berhubungan dengan patogen (PAMPs), yang mana akan dibagikan antara kelompok
patogen.
Beberapa toll-like receptors (TLRs) memediasi pengenalan imunitas bawaan dari
M. tuberculosis dan spesies yang berhubungan. Pada dasarnya, aktivasi heterodimer
TLR2/1 oleh lipopeptida M. leprae menginduksi produksi sitokin seperti TNF-α, sebagai
bagian dari respon inflamasi akut dan IL-12, yang memediasi peran respon imunitas
bawaan untuk menginstruksikan respons adaptif tipe 1 atau produksi sitokin Th1.

6
Sejumlah mekanisme yang mengatur fungsi TLR di lepra telah
diidentifikasi.Selain kemampuan untuk regulasi kebawah dari IL-4 ekspresi dari
TLR2/1, juga menghambat respons sitokin yang disebabkan oleh TLR2/1. IL-10 tidak
berpengaruh pada ekspresi TLR2/1 tapi menghambat sekresi sitokin yang diinduksi oleh
TLR2/1.
Polimorfisme gen TLR1 dan TLR2 telah diinvestigasi pada pasien lepra, tetapi
tidak ada data yang meyakinkan untuk menunjukkan bahwa polimorfisme gen TLR1
dapat berkontribusi pada respon TLR2/1 melawan lipopeptida, dan patogenesis penyakit.
Kemampuan TLRs untuk menginduksi aktivitas antimikroba adalah aspek utama
dari peran mereka dalam imunitas bawaan. Ada bukti yang menunjukkan bahwa kerja
dari mikroba pada vitamin D dapat menyebabkan timbulnya onset dari penyakit lepra.
Analisis profil ekspresi gen pada lesi lepra menunjukkan bahwa pengkodean gen
untuk komponen-komponen kunci dalam jalur mikroba dari vitamin D yang
diekspresikan berbeda pada lesi T-lep dibandingkan dengan L-lep.
Lepra telah memberikan model yang menarik untuk investigasi peran kunci dari
sistem imunitas bawaan manusia dalam pertahanan host dalam kaitannya dengan
kerentanan terhadap infeksi mikroba, harapan bahwa pengetahuan ini dapat memberikan
kontribusi untuk intervensi terapetik baru untuk lepra dan penyakit menular lainnya
dalam konotasi seluruh dunia.

6. Sitokin dan Bagian Sel T


Sitokin adalah mediator mekanisme dimana fungsi utama adalah untuk modulasi
interaksi selular dan yang mana peptida disintesis oleh sel dengan respon potensial setelah
aktivasi. Sitokin yang larut oleh produk adalah sel T yang mana penting dalam infeksi
mycobacterium. Respons imunitas dari sel T memiliki peranan penting dalam penyakit
Hansen.
Sekarang kami mengetahui bahwa CD4 manusia memiliki fungsi yang berbeda pada
subpopulasi dimana berbeda dalam pola dari masing-masing produksi Th1 dan Th2,
imunitas selular dan humoral.
TNF-α adalah mediator utama respons host untuk bakteri Gram, dan juga mungkin
memiliki pengaruh pada respons dari organisme infeksi lainnya. Sumber utamanya adalah
fagosit mononuklear aktivasi LPS, meskipun sel T dari stimulasi antigen, aktivasi dari sel
NK dan aktivasi sel masti yang juga akan mensekresikan protein ini.
Kerja biologis dari TNF, seperti LPS, adalah pemahaman yang terbaik sebagai fungsi
dari kuantitas. Kerja utama TNF dalam konsentrasi rendah berkisar dari induksi sel endotel
vaskular untuk mengekspresikan permukaan baru reseptor (molekul adhesi) yang
menyebabkan permukaan sel endotel menjadi adhesif untuk leukosit, neutrofil, kemudian
ke monosit dan limfosit serta bertindak atas neutrofil untuk meningkatkan adhesi ke sel
endotel. Kerja ini memberikan kontribusi pada akumulasi leukosit pada lokasi inflamasi,
dan fisiologis, adalah efek lokal yang paling penting dari TNF.
TNF mengaktifkan leukosit inflamasi untuk membunuh mikroba, merangsang fagosit
mononuklear dan sel-sel lain untuk menghasilkan sitokin, termasuk IL-1, IL-6, TNF yang
lebih dan kemokin.

7
Interleukin 10, yang diproduksi oleh limfosit T, Th-1 dan Th-2, sel Langerhans,
makrofag dan keratinosit adalah imunosupresor dan imunostimulator. Dalam limfosit Th-
1, akan menekan sintesis sitokin mereka, menurunkan respons yang diperantarai sel,
sedangkan di limfosit B, meningkatkan proliferasi dan produksi antibodi. Fungsi yang
menjelaskan antigen dan proliferasi dari TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 dan GM-CSF
dipresentasikan menurun pada makrofag.
Selain limfokin yang diproduksi oleh limfosit, ada banyak sitokin lain yang
berpartisipasi dalam interaksi sel dari substrat imunitas. Menurut narasumber yang sama,
dua kegiatan utama IL-10 adalah untuk menghambat produksi sitokin (misalnya. TNF, IL-
1, kemokin dan IL-12) oleh makrofag dan menghambat fungsi pinggiran makrofag di
aktivasi sel T. Efek yang terakhir ini karena berkurangnya ekspresi dari molekul MHC II
CL dan mengurangi ekspresi kostimulasi tertentu (misalnya B7). Efek bersih dari kerja ini
adalah untuk menghambat peradangan yang dimediasi oleh imunitas oleh sel T. Sebagai
tambahan dari efek penghambatan dari makrofag, IL-10 memiliki kerja stimulasi pada sel
B. Di sisi lain, ada interleukin-4 sebagai fungsi fisiologi utama yang mengatur respons
imunitas yang dimediasi oleh IgE dan sel mast/eosinofil. Sumber utama dari IL-4 dan
limfosit T CD4+, terutama berkaitan dengan subpopulasi Th-2.
Beberapa sel T CD8 juga mampu menghasilkan IL-4 serta aktivasi sel mast dan
basofil. IL-4 merupakan faktor pertumbuhan dan diferensiasi untuk sel T, terutama untuk
subpopulasi sel Th-2, dan faktor pertumbuhan untuk sel mast, bertindak secara sinergis
dengan IL-3 dalam menstimulasi proliferasi dari sel ini.
Interferon-gamma, juga disebut interferon imunitas atau tipe II diproduksi oleh sel T
CD4+ dan CD8 + yang diaktifkan dan oleh sel NK. IFN merupakan aktivator ampuh untuk
fagosit mononuklear. Secara tidak langsung menginduksi sintesis enzim yang memediasi
upaya pernapasan, yang memungkinkan makrofag untuk membunuh mikroba fagositosis,
itu adalah faktor pengaktifan utama dari Makrofag.
Di antara banyak fungsi yang dilakukan oleh IFN-γ, kami tahu bahwa memperkuat
fase rekognisi dari respons imunitas dengan mempromosikan aktivasi sel T helper CD4 +
terbatas untuk Kelas II, mendorong diferensiasi limfosit T dan merangsang aktivitas
sitolitik dari sel NK.
Sel sistem imunitas (misalnya sel T dan monosit) mensintesis terutama TGF-β1.
Kedua sel T diaktifkan oleh antigen seperti fagosit mononuklear diaktifkan oleh LPS,
mensekresi biologis aktif dari TGF-β1.
TGF-β menghambat pertumbuhan berbagai tipe sel dan merangsang lainnya. Banyak
waktu, hal itu dapat menghambat atau merangsang pertumbuhan tipe sel yang sama.
Sebagai sitokin, TGF-β berpotensi penting karena ini antagonis dengan banyak respon
limfosit.

6.1. Sitokin pada Tipe Tuberkuloid


Pada lepra tuberkuloid, gambaran manifestasi berhubungan dengan eksaserbasi
dari respon imunitas yang mengarahkan ke pembentukan dari granuloma yang akan
ditetapkan, pembatasan dari luka dan tendensi untuk destruksi sempurna dari basil.

8
Banyak laboratorium telah menganalisis sitokin yang dihasilkan oleh sel T pada
pasien tuberculoid dan individual yang sehat yang terpapar, seperti untuk siapapun
dengan imunitas selular terhadap M. leprae.
Penemuan yang konsisten dimana sel T reaktivasi dari M. leprae dari pasien
tuberculoid adalah predominan fenotip Th-1. Mereka menghasilkan level tinggi dari
IFN-γ dan menurunkan atau tidak mendeteksi level dari IL-4.
Gilka Kaplin, tahun 1989, menginjeksi tipe sitokin IFN-γ dan IL-2 pada lesi
lepromatosa dan mengobservasi tanda bukti dan peningkatan signifikan pada degradasi
M. leprae, menjelaskan hubungan yang mungkin antara sitokin Th-1 dan eliminasi
bakteri.

6.2. Sitokin pada Tipe Lepromatosa


Tipe lepromatosa dikarakteristik dengan defisiensi dari respons imunoselular,
berlebihnya multiplikasi basil, dan diseminasi dari basil ke viscera dan jaringan saraf.
Hasilnya masih belum begitu jelas pada pelepasan sitokin oleh sel T dalam tipe
kusta.Pertanyaan apakah sitokin yang terlibat dalam non-responsif di lepromatosa adalah
penting dan harus diperiksa.
Beberapa peneliti mempelajari pola sitokin pada lesi in situ melalui tes PCR dan
menemukan bahwa pada lesi lepromatosa untuk mRNA, sitokin Th-2 yang diperkaya
dengan IL-4, IL-5 dan IL-10, sedangkan IFN- γ dan IL-12 tidak ada.
Padmini Salgami mempelajari produksi sitokin oleh sel T pada lepra
lepromatosa, serta Tuna Mutis dan banyak peneliti lainnya, mengatakan bahwa mungkin
ada sumber lain yang berasal dari sel T, mekanisme non-responsif, dan variabel lain
yang dikenal yang dapat menimbulkan perbedaan yang diamati dalam kaitannya dengan
peran sitokin tertentu akan dipelajari.

6.3. Hubungan antara Sitokin dan Manifestasi Klinis


Sebagai tambahan dari gambaran klinis, pasien lepra lepromatosa yang ada
selama pengobatan spesifik, reaksi lepra, nodul eritema, demam, astenia, artralgia dan
penemuan tipikal lainnya dari reaksi inflamasi akut.
Reaksi tipe 2 – ENH – sering pada HIV adalah reaksi inflamasi akut, sistemik,
melibatkan pembentukan dari kompleks imunitas yang bersirkulasi di darah perifer dan
menunjukkan manifestasi klinis yang sering dari eritema nodosum leprosum. Ini akan
mempengaruhi pasien multibasiler, bertanggung jawab untuk morbiditas, terutama
berulangnya eritema nodosum. Patologi ENL melibatkan deposit dari kompleks imun
dan perubahan dari respons imunitas yang dimediasi oleh sel. Episode ENL dirangsang
oleh deposit dari kompleks imun di jaringan.
Ada peningkatan dari TNF-α yang mana berhubungan dengan destruksi dari M.
leprae, pembentukan granuloma, peningkatan dari C-reaktif protein (CRP), stimulasi
dari reaksi inflamasi akut, dan ini terlibat dalam pertahanan, pada aktivitas makrofag,
dan reaksi dari ENL, yang menekan kondisi umum pasien (FOSS, 1993).
Pada respons inflamasi akut terjadi peningkatan dari IL-1, IL-6 dan TNF-α
dimana IL-1 dan IL-6 akan bertindak sebagai hepatosit yang akan menstimulasi produksi
dari protein inflamasi akut. Level dari IL-1 dan TNF- α meningkat pada HT dan DT, dan
9
menurun pada pasien HD dan DV.Ini juga diobservasi adanya peningkatan dari IL-4
pada pasien lepromatosa.Pada bentuk basil, ada peningkatan dari konsentrasi antibodi
anti-PGL1 yang berhubungan dengan peningkatan IL-4 dan penurunan IL-1 dan TNF- α.
Ini juga diobservasi selama MDT menurun pada IL-4 dan anti-PGL1 (basil yang
mengalir) dan peningkatan dari TNF-α. Perubahan imunolgi yang dinilai di darah
perifer, atau kultur dibandingkan dengan hasil imunohistokimia menunjukkan bahwa
pada pasien DV dan VV terjadi peningkatan dari TGF-β1 dan sel CD8+ di infiltrat dan
tidak adanya TGF-β1 dan peningkatan dari sel CD4+ pada pasien dengan TD dan TT.

6.4. Pernyataan Reaksi


Mungkin masalah terbesar dari penanganan dan pengontrolan lepra adalah
terjadinya reaksi lepra. Respon imunitas selular telah dipertanyakan dimana akan terlibat
dalam patogenesis dari reaksi reversal. Robert Modlin menganalisis pola sitokin di lesi
tipe 1 dan tipe 2 dan menemukan tanda sitokin, mirip dengan tipe Th-1, dimana
predominan pada reaksi reversal, sedangkan tipe Th-2 dieksaserbasi pada eritema
nodosum leprosum.
Kaplan Gilda menunjukkan bahwa TNF-α dan IL-6 meningkat banyak pada
pasien ENL. Namun, berdasarkan pada Ottenhoff, imunopatologi dari reaksi tipe 1 dan
tipe 2 berhubungan dengan banyak gambaran sitokin yang berbeda.
Berdasarkan studi Ottenhoff, sitokin Th-1 akan menghambat Th-2 dan
sebaliknya. Karena sitokin penting sebagai regulator, mereka akan memberikan bentuk
baru dari imunoterapi untuk reaksi lepra.
Episode reaksi adalah terjadi akut yang mungkin terjadi pada lepra, sebagai
manifestasi dari sistem imunitas pasien dan dapat dalam dua tipe. Reaksi tipe 1, yang
dikenal dengan Reversal, lebih sering di HD dan HT, yang dikarakteristik dengan
eritema dan edema dari lesi dan atau penebalan dari saraf (neuritis). Dan reaksi tipe 2,
atau ENL, dimana kebanyakan dari pasien yang terkena adalah lepromatosa. Mereka
memiliki nodus eritematosa yang nyeri di manapun di tubuh. Ini dapat berkembang
menjadi neuritis.
Reaksi tipe 2 adalah hipersensitivitas humoral dan terjadi di DV dan VV. Ini
dapat terjadi pada pengobatan pasien, tetapi sering terjadi selama pengobatan atau
setelah meninggalkan rumah sakit.
Pada reaksi tipe 2 terjadi: peningkatan level dari PCR; peningkatan dari ROI
(reaktif intermediate dari oksigen), dan sitokin TNF-α, IFN-γ, IL-1, IL-5 dan anti PGL 1
dan IL-4 dan TGF-β menurun.
Kementrian kesehatan memanggil perhatian untuk isu yang sangat penting yang
berhubungan dengan respons imunitas pada lepra lepromatosa, karena ini ditemukan
bahwa pasien dengan tipe lepra ini memiliki sejumlah kecil dari sel T yang responsibel
untuk produksi dan generasi dari klone anti-Mycobacterium leprae. Perubahan ini belum
dipahami dengan sempurna, tetapi ini dipercaya bahwa ada malfungsi dari mekanisme
dari presentasi Mycobacterium leprae terhadap limfosit atau tidak adanya reaktif limfosit
di basil.

10
7. Ulasan Akhir
Selain perbedaan epidemiologi dan pengetahuan yang belum jelas, khususnya
hubungan kuman dengan host, terutama yang menyangkut manifestasi oral, informasi
yang ada dapat digunakan untuk melihat masalah operasional yang menunjukkan
kebutuhan yang lebih banyak akan keterlibatan situasi dalam pelaksanaan tindakan
strategis yang disediakan oleh Pact for life, PAVS dan PAC-More Health, untuk
meningkatkan kepedulian terhadap pasien lepra, atau akibat dari penyakit.
Program Nasional Eliminasi Lepra di Brazil dikembangkan dalam rangka komitmen
negara untuk mengurangi lepra sebagai masalah kesehatan masyarakat, yang telah
dijelaskan Kementerian Kesehatan. Program ini dibagi dalam tiga poin dasar:
memperbaharui data dari pemantauan pasien untuk interpretasi terpercaya dari masalah
lepra di Brazil, ide untuk mengurangi angka prevalensi dan memotong rantai penularan
lepra dengan mendiagnosis awal dan pengobatan MDT standard dan pengurangan stigma
dengan mendeteksi dini pasien dan pemantauan dari sosial tergantung pada deteksi dini
dan penilaian kecacatan fisik, dan rehabilitasi kecacatan yang terjadi.
Kampanye untuk memerangi lepra oleh pemerintah federal berupa menyediakan
informasi sebanyak-banyaknya kepada penduduk Brazil sehingga mereka dapat aktif
melakukan pencegahan. Semakin cepat didiagnosis, semakin baik. Setiap tahunnya,
terdapat 47.000 kasus baru di Brazil. Pada pertengahan pertama tahun ini tercatat 201
kasus di Salvador, berkurang jumlahnya dari data sebelumnya.
"Lepra masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara ini, tetapi sebuah
survei baru oleh Kementerian Kesehatan mengungkapkan terjadinya penurunan 27,5%
dari total kasus baru antara tahun 2003 dan 2009, dari angka 51.941 menjadi 37.610. Pada
periode yang sama, jumlah pelayanan pasien dalam pengobatan meningkat 45,9%. Antara
tanggal 25 sampai 31 Januari, kementerian menyampaikan kampanye di media "Kesehatan
adalah baik untuk diketahui", dengan fokus pada lepra. Tujuannya adalah untuk
mendorong populasi menemukan sentra-sentra yang dapat melakukan diagnosis dan
pengobatan. Semakin cepat teridentifikasi lepra, lebih kecil kemungkinan cacat.”
“Selain penurunan signifikan dari koefisien prevalensi dari lepra di Bahia, dimana 1,9
kasus/10.000 penduduk, negara mendukung tindakan yang berkesinambungan untuk
mengeliminasi lepra, dinilai dengan media standard endemis menengah berdasarkan pada
parameter prevalensi.”

11

You might also like