You are on page 1of 14

Kapata Arkeologi, 12(1), 29-42

ISSN (cetak): 1858-4101


ISSN (elektronik): 2503-0876
http://kapata-arkeologi.kemdikbud.go.id

PERANGKAT SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DALAM


PENELITIAN DAN PENYAJIAN INFORMASI ARKEOLOGI
Geographic Information System (GIS) in Research and Presentation of
Information Archaeology

Muhammad Al Mujabuddawat
Balai Arkeologi Maluku - Indonesia
Jl. Namalatu-Latuhalat Ambon 97118
mujab@kemdikbud.go.id

Naskah diterima: 17/09/2016; direvisi: 14/11 - 30/11/2016; disetujui: 30/11/2016


Publikasi ejurnal: 30/12/2016
Abstract
Archaeology is closely associated with spatial or spatial aspects. Because the material
archeological data such as artifacts, features, buildings, and sites containing the inherent
spatial information in order to keep the data context. The themes of the archaeological
research nowadays often reconstructing the spatial aspects of history and culture. Device
Geographic Information System (GIS) is clearly greatly assist the process of archaeological
research both in the field and during the process of analysis and presentation of information
related to the results of the research. GIS has become the main choice for researchers to
update the development of archeology that have been all-digital, practical, and effective.
Although the use of GIS in archaeological research is very popular in many countries, in fact
the use of GIS in archaeological research in Indonesia is still not that popular. This paper
presents the use of GIS tools that allowed to be applied by archaeologists that can be adopted
in the analysis and presentation of information and research results, conditions of
application of GIS in the current archaeological research, as well as the constraints faced.
This paper shows that recently the archaeologists in Indonesia is very enthusiactic in using
the GIS for the effective spatial analysis tools. The government is also concerned about the
importance of GIS in mapping the spatial data of heritage as well archaeological research
locations in order to support the acceleration of One Map Policy.
Keywords: Geographic Information System (GIS), geospatial, researcher, archeology, One
Map Policy
Abstrak
Ilmu arkeologi sangat erat kaitannya dengan aspek keruangan atau spasial. Karena materi
data arkeologi seperti artefak, fitur, bangunan, dan situs mengandung informasi spasial yang
melekat agar tidak kehilangan data konteksnya. Tema-tema penelitian arkeologi dewasa ini
tidak sedikit yang bertemakan aspek spasial dalam merekonstruksi sejarah dan budaya.
Perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) jelas sangat membantu proses penelitian
arkeologi baik di lapangan maupun saat proses analisis dan penyajian informasi terkait hasil
penelitian semacam itu. SIG menjadi pilihan bagi peneliti arkeologi dalam mengikuti
perkembangan dunia riset yang serba digital, praktis, dan efektif. Walaupun penggunaan
perangkat SIG dalam penelitian arkeologi sangat populer di banyak negara, namun
kenyataannya penggunaan perangkat SIG dalam penelitian arkeologi di Indonesia belum
cukup polpuler. Penelitian ini menyajikan penggunaan perangkat SIG yang memungkinkan
diterapkan oleh peneliti arkeologi yang dapat membantu dalam proses analisis dan penyajian
informasi hasil penelitian, kondisi penerapan perangkat SIG di dalam penelitian arkeologi
saat ini, serta kendala-kendala yang dihadapi. Penelitian ini menunjukkan bahwa dewasa ini
perhatian peneliti arkeologi di Indonesia terhadap peran SIG cukup terbuka mengingat
kebutuhan perangkat analisis spasial yang efektif. Pemerintah juga menaruh perhatian akan
pentingnya SIG dalam memetakan data spasial Cagar Budaya dan Lokasi penelitian
arkeologi dalam rangka mendukung percepatan kebijakan One Map Policy atau kebijakan
Satu Peta.
Kata kunci: Sistem Informasi Geografis (SIG), geospasial, peneliti, arkeologi, Kebijakan
Satu Peta

29
© Kapata Arkeologi – Balai Arkeologi Maluku. Bebas akses di bawah lisensi CC BY-NC-SA.
Nomor Akreditasi: (LIPI) 678/Akred/P2MI-LIPI/07/2015.
PENDAHULUAN kemudian menghasilkan data keruangan baru
Arkeologi ialah ilmu yang mempelajari dalam bentuk peta tematik (statistik visual) yang
tentang budaya masa lampau lewat tinggalan dapat dijadikan dasar dalam penentuan tindakan
materinya (Greene, 2003: 130). Karena telah dan atau kebijakan pelestarian yang bisa
melewati proses berjalannya waktu, material dilakukan bagi situs Cagar Budaya tersebut
tinggalan arkeologi biasanya terbatas (Sujana, 2015: 58-59). Peta juga menjadi hasil
(Simanjuntak, 1999: 8) berbentuk fragmentaris, laporan penelitian sebagai bentuk rekam jejak
antara lain artefak, ekofak, dan fitur. Data penelitian arkeologi di suatu lokasi situs.
arkeologi merupakan cerminan tingkah laku Informasi yang tersaji dalam peta hasil
masa lampau yang telah bias (Schiffer, 1976: penelitian arkeologi dapat menjadi bahan acuan
11). Peran arkeologilah yang merekonstruksi bagi pemangku kebijakan untuk mengambil
dan mengungkap budaya dari tinggalan- kebijakan-kebijakan terkait pengembangan situs
tinggalan tersebut. Tinggalan-tinggalan dan pembangunan daerah.
arkeologis biasanya ditemukan di atas Sejarah penggunaan peta dalam arkeologi
permukaan tanah maupun di dalam tanah. Dalam sudah muncul sejak awal abad ke-20 di Eropa.
proses perjalanannya, penelitian arkeologi Pada awal abad ke-20 di Jerman, penelitian
sangat berkaitan dengan kerja turun lapangan. arkeologi cenderung menekankan perhatian
Perkembangan yang muncul berkaitan dengan terhadap kesimpulan dari sebaran benda dan
metode penelitian lapangan telah dilakukan situs arkeologi dalam satuan-satuan ruang, lalu
dalam penelitian survey dan ekskavasi (Bronson, mengembangkan pembuatan peta-peta sebaran
1978 dalam Simanjuntak, 1999: 11). Penelitian artefak untuk melihat perbedaan-perbedaan serta
arkeologi dilakukan di lokasi ditemukannya menerangkan kompleks-kompleks budaya.
tinggalan-tinggalan arkeologis, tinggalan- Namun cara analisis pada masa itu umumnya
tinggalan arkeologis merupakan data lapangan bersifat intuitif (Clarke, 1977: 2). Pada
dalam penelitian arkeologi. Lokasi perkembangan selanjutnya Cyril Fox
ditemukannya tinggalan-tinggalan arkeologis mengembangkan teknik pemaduan sebaran
didapat oleh Peneliti arkeologi dari berita benda atau situs arkeologi dengan peta sebaran
masyarakat, literatur, sumber sejarah, maupun sumber daya alam dalam suatu wilayah luas
survey langsung di lokasi yang diperkirakan yang mengalami perubahan-perubahan dalam
ditemukannya tinggalan arkeologis (Suantika, kurun waktu beberapa ribu tahun (Fox, 1922;
2012: 188). Lokasi yang mengandung tinggalan 1932 dalam Mundarjito, 1993: 7).
arkeologis disebut Situs (Sharer & Ashmore, Perkembangan hingga saat ini, SIG disadari
1979: 72). Penamaan situs-situs arkeologi sangat penting bagi kalangan arkeolog dan
biasanya merupakan nama daerah, nama lokal, menjadi bagian dari tendensi disiplin arkeologi,
maupun penamaan oleh peneliti. memenuhi relung penting dalam alat metodologi
Pada proses berikutnya, dalam proses seorang arkeolog (Wheatley & Gillings, 2002:
analisis data arkeologi, pemetaan lokasi dalam 20). Walaupun penggunaan SIG mewakili alat
wujud peta dan penggunaan Sistem Informasi metodologi penting dalam mengkaji sebaran
Geografis (SIG) menjadi sangat penting karena benda dalam konteks spasial, namun penting
sangat berkaitan erat dengan analisis konteks diingat bahwa SIG tidak mewakili pendekatan
spasial data tersebut (Shaw & Jameson, 1999: teoritis dalam disiplin arkeologi. Sesuai dengan
538). Istilah pemetaan dalam hal ini ialah suatu pendapat Claxton (1995) serta berdasarkan pada
proses dalam pembuatan atau penyusunan data pengamatan Hodder (1999), bahwa GIS hanya
dalam bentuk peta. Peta ialah gambaran digunakan sebagai alat bantu untuk analisis
permukaan bumi maupun di bawah permukaan arkeologi (Robertson, Seibert, Fernandez, &
bumi yang digambarkan dalam bidang datar Zender, 2006: xix).
dengan skala tertentu (Kresnawati & Pada masa kini, hampir setiap lembaga
Atmadilaga, 2004: 1). Pada perkembangannya baik pemerintah maupun swasta memiliki peta
penyajian peta tidak sebatas pada informasi yang disusun untuk menyajikan informasi
geografi bumi, namun juga dipadukan dengan tematis menyangkut kebijakan maupun tema-
informasi-informasi tematis. Kemampuain SIG tema tertentu. Peta dirasa dapat menyajikan data
dibutuhkan untuk memproses data keruangan yang informatif dan mudah dipahami oleh
yang ada pada sebuah situs Cagar Budaya untuk khalayak umum. Tampilan layout peta dibuat

30
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 29-42
menarik namun tetap informatif menyajikan ahli di bidang pemetaan. Pemetaan yang
data. Karena itu, penyajian data dalam bentuk dilakukan oleh BPCB berupa tema pemetaan
peta menjadi sangat populer di masa kini. Dalam letak lokasi situs, delineasi situs, dan
bidang arkeologi, data pemetaan menjadi bahan pengembangan situs. Memang dalam perjalanan
analisis yang sangat membantu dalam dua lembaga ini terjadi perdebatan yang
merekonstruksi konteks keruangan (Mundarjito, biasanya para peneliti di Lembaga riset Balai
1993: 37). Peta juga tentunya dapat menjadi Arkeologi cenderung beranggapan penyajian
bentuk penyajian informasi dalam publikasi peta tematis mengenai arkeologi merupakan
hasil penelitian kepada masyarakat. Sajian peta bagian dari BPCB, namun perlu diingat bahwa
juga menjadi sangat penting bagi peneliti dalam sejatinya BPCB merupakan lembaga yang
penulisan laporan penelitian dan artikel ilmiah. memperoleh referensi terkait arkeologi dan
Tanpa adanya peta, informasi keletakan suatu informasi budaya lainnya dari Lembaga riset
situs dirasa kurang lengkap dan belakangan ini yang menelitinya terlebih dahulu, yaitu Balai
menjadi perhatian di kalangan peneliti di Arkeologi. Sehingga tentunya informasi atau
berbagai bidang yang sependapat bahwa peta tema pemetaan yang disajikan seharusnya
adalah bagian dari alat metodologi penelitian berbeda kebutuhannya antara tema yang
ilmiah. berkaitan tentang riset dengan informasi publik
Sejauh ini, penyajian peta tematis hasil yang cenderung bertemakan informasi yang
penelitian arkeologi belum banyak ditemukan di lebih kompleks dan lebih mudah dipahami oleh
Indonesia. Dapat diketahui dari sistem pencarian pemangku kebijakan dan khalayak umum.
google apabila memasukkan kata kunci Mengingat pentingnya pemetaan di
menyangkut situs arkeologi, penelitian bidang arkeologi, Pusat Penelitian Arkeologi
arkeologi, atau artikel arkeologi. Beberapa hasil Nasional (Puslit Arkenas) membentuk Sistem
yang didapat adalah peta-peta umum yang Pemetaan Arkeologi Nasional yang disebut
bersumber dari google. Publikasi peta-peta SPAN. SPAN dibentuk sejak tahun 2010,
tematis yang bersifat informatif dari Lembaga kegiatan awalnya ialah mengadakan pelatihan
riset arkeologi yang berada di bawah Puslit tenaga pemetaan dari 10 Balai Arkeologi se
Arkenas, Balitbang Kemdikbud tidak sebanyak Indonesia yang dilakukan setiap tahun, hingga
peta-peta dari berbagai instansi lainnya, beberapa waktu belakangan SPAN diarahkan
sebagaimana dapat dilihat contohnya dari untuk membantu program Kebijakan Presiden
instansi BNPB yang menginformasikan segala One Map Policy atau Kebijakan Satu Peta. One
bentuk resiko dan penanggulangan bencana Map Policy merupakan program pemerintah
daerah dalam bentuk peta dengan berbagai tema yang merupakan salah satu program utama yang
yang disajikan dalam ratusan lembar peta diinstruksikan langsung oleh Presiden
beragam tema. Bentuk publikasi informasi berdasarkan amanat Undang-undang No. 4 tahun
dalam bentuk peta di Lembaga riset arkeologi 2011 tentang Informasi Geospasial (Indonesia,
dirasa masih kalah dari lembaga yang ada 2011). Dalam menjalankannya, dibawahi oleh
kaitannya di bidang arkeologi namun tidak Menteri Koordinator Perekonomian untuk
menyangkut riset, yaitu BPCB. BPCB (Balai menyusun satu peta yang memuat berbagai
Pelestarian Cagar Budaya) adalah lembaga informasi dari seluruh Kementerian dan
pemerintah yang bergerak di bidang pelestarian Lembaga pemerintah termasuk informasi
cagar budaya di bawah Ditjen Kebudayaan geospasial situs Cagar Budaya dan Lokasi
Kemdikbud. BPCB sebagai lembaga pelestarian Penelitian Kemdikbud yang membawahi
dan pengembangan memang memiliki tugas instansi Balai Arkeologi dan BPCB. Tujuan
pokok dan fungsi yang lebih dekat ke publik program One Map Policy ini secara umum ialah
dibandingkan Balai Arkeologi yang hanya fokus untuk menghindari konflik spasial dalam
di penelitian. Karena itulah dalam menjalankan pengambilan kebijakan, serta dalam rangka
tugas pokok dan fungsinya BPCB memang lebih efisiensi pemerintah dalam menjalankan
familiar dengan konsep pemetaan yang hasilnya program pembangunan (Indonesia, 2016).
untuk publikasi dan acuan penentu arah Sejauh ini, dalam rangka mendukung program
kebijakan. Berdasarkan tugas pokok dan One Map Policy, Puslit Arkenas melalui SPAN
fungsinya, BPCB memang harus memiliki menginstruksikan kepada seluruh Balai
tenaga ahli di beragam bidang, termasuk tenaga Arkeologi sebatas mengumpulkan data

31
Perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Penelitian dan Penyajian
Informasi Arkeologi, Muhammad Al Mujabuddawat
informasi atribut Situs yang mencakup koordinat arkeologi. Studi pustaka dilakukan dengan cara
geografis dan informasi umum Situs. mencari referensi terkait dengan Sistem
Dapat kita lihat betapa pemerintah sangat Informasi Geografis, serta bentuk-bentuk
memperhatikan pentingnya informasi peta yang penggunaan dan penyajian data geografis dalam
diwujudkan dalam program One Map Policy, kaitannya dengan penelitian arkeologi. Setelah
maka Lembaga riset arkeologi dirasa perlu memperoleh data yang cukup dari hasil
memiliki pandangan serupa. Tidak perlu observasi dan studi pustaka, maka dilanjutkan
diperdebatkan lagi bahwa pemetaan dalam dengan analisis di aplikasi software yang
penelitian arkeologi merupakan hal yang penting memungkinkan untuk diterapkan di Lembaga
dalam analisis dan penyajian data. Peneliti riset arkeologi guna menganalisis dan
arkeologi sudah saatnya meninggalkan sekadar menyajikan data geospasial. Seluruh rangkaian
gambaran deskriptif tentang lokasi situs atau proses metode tersebut disajikan dalam bentuk
analisis spasial tanpa menyajikan peta, atau kajian di dalam tulisan ini.
menyajikan peta yang bersumber dari google
atau referensi lain yang tentunya memiliki tema HASIL DAN PEMBAHASAN
yang berbeda dari yang dibutuhkan. Dalam Fungsi dan Penerapan SIG dalam
penelitian arkeologi, sudah menjadi barang Penelitian Arkeologi
wajib bahwa data pemetaan menjadi sumber Sistem Informasi Geografis (SIG) ialah
akurat untuk analisis dan penyajian data hasil sistem informasi berbasis komputer yang
penelitian. Saat ini pemetaan dirasa sudah cukup digunakan untuk mengolah dan menyimpan data
maju mengingat banyaknya software yang atau informasi geografis (Aronoff, 1989 dalam
membantu dalam pembuatan peta, analisis data Munajati, Anadra, & Aprianto, 2010: 70). Secara
spasial, serta lembaga-lembaga yang menyajikan umum SIG merupakan suatu komponen yang
database geospasial. Software yang paling terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak,
populer yang banyak digunakan oleh Peneliti, data geografis, dan sumber daya manusia yang
akademisi, maupum khalayak umum di bekerja bersama secara efektif untuk
Indonesia antara lain Mapsource Garmin, memasukan, menyimpan, memperbaiki,
ArcGis, QGis, dan Global Mapper. Software- memperbaharui, mengelola, memanipulasi,
software tersebut memiliki keunggulan masing- mengintegrasikan, menganalisa, dan
masing dalam pembuatan peta, sehingga dalam menampilkan data dalam suatu informasi
prosesnya bisa memadukan beberapa software berbasis geografis (Johnson, 1996 dalam
dalam mengolah data pemetaan. Software dan Yuwono, 2007: 108). SIG mempunyai
database geospasial yang digunakan dalam kemampuan untuk menghubungkan berbagai
mengolah data pemetaan dalam hal ini dikenal data pada suatu titik tertentu di Bumi,
dengan Sistem Informasi Geografis (SIG), maka menggabungkannya, menganalisa, dan akhirnya
dalam tulisan ini mengulas jawaban dari pokok- memetakan hasilnya. Data yang akan diolah
pokok bahasan berikut, pada SIG merupakan data spasial, yaitu sebuah
1. Fungsi dan penerapan SIG dalam penelitian data yang berorientasi geografis dan merupakan
Arkeologi lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu,
2. Bentuk-bentuk penyajian data SIG dalam sebagai dasr referensinya. Sehingga aplikasi SIG
Arkeologi dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti
3. Apa saja kendala-kendala dalam proses SIG lokasi, kondisi, trend, dan pemodelan.
4. Masa depan SIG dalam Penelitian arkeologi Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari
sistem informasi lainnya.
METODE Pada bidang arkeologi, SIG mulai
Berdasarkan kerangka yang telah dikembangkan sejak diadakannya pertemuan
dijabarkan, maka metode yang digunakan dalam ilmiah Society for American Archaeology di
tulisan ini ialah pendekatan kualitatif melalui Amerika pada tahun 1985 yang bertemakan
observasi, studi pustaka, dan aplikasi software. “Sistem Informasi Geografis (SIG) berbasis
Observasi dilakukan dengan cara pengamatan komputer: alat masa depan untuk memecahkan
terhadap sejumlah fenomena mengenai isu-isu problema masa lalu” (Harris & Lock 1990 dalam
penelitian arkeologi yang berkaitan dengan Yuwono, 2007: 115). Perannya di bidang
pendekatan geospasial di Lembaga riset

32
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 29-42
arkeologi semula adalah dalam konteks
Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi yang
banyak menerapkan analisis lokasional. Dalam
aplikasi ini, SIG banyak memberikan masukan
dalam proses pengambilan keputusan. Model
prediksi yang dibangun memungkinkannya
untuk diaplikasikan sebagai perangkat
klasifikasi, kalkulasi, kombinasi, dan visualisasi
kenampakan variabel-variabel spasial. Dengan
berbagai kelebihan tersebut sangatlah beralasan
untuk menjadikan SIG sebagai perangkat
manajemen data utama dalam kegiatan Gambar 1. Ilustrasi hubungan sosial ekonomi situs-
Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi (Judge & situs Negeri Lama berdasarkan lansekap
Sebastian 1988 dalam Yuwono, 2007: 115). (Sumber: Peta dasar BIG dimodifikasi oleh penulis
Penggunaan SIG dalam penelitian arkeologi dengan ArcGis)
disesuaikan berdasarkan tujuan dan tema
penelitiannya. Belakangan ini, aplikasi SIG dan Situs negeri lama yang tak terpisahkan
penelitian arkeologi biasanya diterapkan dalam oleh batas-batas lembah atau lansekap lainnya
kajian arkeologi lansekap. Arkeologi lansekap memudahkan untuk saling berhubungan
mengandung pengertian sebagai cabang (Handoko, 2008: 98). Seperti tampak pada
arkeologi yang menekankan kajian dan ilustrasi pada gambar 1 yang mengiterpretasikan
pendekatannya pada hubungan antara corak dan antara situs negeri lama A, B, dan C lebih mudah
sebaran fenomena arkeologis dengan untuk saling berhubungan karena terletak pada
karakterisik perubahan bentang lahan/fisiografi satu lansekap bukit sehingga hubungan sosial
sekitarnya (Yuwono, 2007: 121). ekonomi mudah terjalin, sedangkan hubungan
Pendekatan arkeologi lansekap antara situs negeri lama A dengan situs negeri
membutuhkan analisis spasial karena lama D dibatasi oleh lansekap lembahan sungai,
menjelaskan hubungan antara sebaran fenomena sehingga kemungkinan hubungan sosial
arkeologi dan konteks geografis. Sehingga ekonomi lebih jarang terjadi. Selain pengamatan
kajian arkeologi lansekap memerlukan yang teliti terhadap lingkungan situs, juga
ketersediaan bentuk-bentuk representasi spasial dibutuhkan ketelitian dalam mencocokkannya
(peta, foto udara, citra satelit), baik dalam dengan peta topografi kawasan. Pengamatan
kedudukannya sebagai data, instrumen analisis, terhadap perbedaan luas areal datar dan tinggi
maupun hasil kajian. Karena suatu lansekap letak situs, tujuannya adalah untuk mengkaji
dibentuk oleh beberapa komponen, terutama apakah berhubungan dengan skala situs dan
bentuk lahan, tanah, air, vegetasi, dan berbagai masyarakat penghuninya atau hanya faktor
bentuk pengaruh manusia, maka diperlukan peta kemampuan adaptasi manusia terhadap
dasar dan berbagai peta tematik, termasuk lingkungan (Handoko, 2008: 98). Pemanfaatan
struktur basis datanya agar dapat dilakukan SIG dan penginderaan jauh dalam bidang
analisis spasial (Yuwono, 2007: 122). Wuri arkeologis terbukti sangat mampu dan efisien
Handoko membuat beberapa model kerangka dalam memberikan informasi spatial landscape
metodologi arkeologi lansekap dalam kajian yang lebih komprehensif. SIG juga dapat
situs-situs negeri lama. Dari beberapa model digunakan sebagai instrumen untuk
tersebut, salah satunya ialah pengamatan mengintegrasikan fakta dan analisa lain dalam
lansekap untuk melihat korelasi antar situs, referensi spasial (Habib & Poniman, 2010: 112).
apakah keletakan situs-situs itu terdapat dalam Sebagai suatu sistem informasi,
satu gugusan atau rangkaian bukit yang sama pengoperasian SIG memerlukan sejumlah
tanpa terpisah atau tanpa batas-batas oleh komponen, antara lain data spasial, software, dan
lembah, sungai, dan sebagainya. Kajian ini hardware. Data spasial ialah data yang
berguna untuk interpretasi konsep hubungan berorientasi geografis yang berisi data lokasi dan
baik sosial maupun ekonomis antar situs data atribut. Data lokasi berkaitan dengan suatu
(Handoko, 2008: 97). informasi koordinat geografi, sedangkan data
atribut ialah data informasi deskriptif tentang

33
Perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Penelitian dan Penyajian
Informasi Arkeologi, Muhammad Al Mujabuddawat
suatu lokasi, seperti jenis vegetasi, populasi, 1:100.000. Lembar peta yang diterbitkan oleh
luasan, dan sebagainya. Software yang populer TNI AD dapat diperoleh dengan cara menyurat
digunakan dalam menjalankan SIG ialah resmi ke kantor TNI AD di berbagai wilayah di
ArcView dan ArcGis dari ESRI, Qgis, Indonesia.
Mapsource, dan Global Mapper. Software- Lembar peta lokasi penelitian dijadikan
software tersebut memiliki kelebihan masing- acuan dalam riset medan. Peneliti terlebih
masing, jadi dalam pengoperasian SIG, dapat dahulu melihat kondisi geografis lokasi
menggunakan gabungan beberapa software penelitian yang dituju berdasarkan referensi
dalam membantu analisis penelitian arkeologi. peta. Peneliti dapat menyiapkan target waktu,
Hardware berupa seperangkat komputer yang lokasi, transportasi, persiapan logistik,
mendukung pengoperasian software. Dalam perlengkapan, dan berbagai anggaran lainnya
menjalankan software SIG setidaknya dengan orientasi medan yang berdasar pada peta.
membutuhkan seperangkat komputer atau laptop Namun dengan adanya SIG, maka orientasi
yang memiliki RAM 4 GB agar dapat medan menjadi lebih mudah. Software yang
menjalankan software dengan performa yang biasa digunakan ialah ArcGis. ArcGis ini
baik. Untuk menghasilkan data analisis memiliki perangkat-perangkat lain di dalamnya,
arkeologi dengan menggunakan aplikasi SIG, antara lain ArcMap, ArcGlobe, dan ArcCatalog.
maka memerlukan serangkaian tahap yang harus Untuk menampilkan database peta, maka dengan
dilakukan. Tahap-tahap tersebut mengikuti membuka ArcMap. Dengan membuka software
rangkaian proses penelitian yang berlangsung ini, maka proses riset medan pra penelitian
mulai dari saat observasi di lapangan, tahap dengan jangkauan lebih luas dengan berbagai
analisis, hingga penyajian hasil analisis. kemudahan dari fitur yang tersedia.

Praktek SIG di Lapangan


Persiapan yang dilakukan sebelum
Peneliti dan tim turun ke lapangan salah satunya
ialah orientasi medan. Orientasi medan dalam
hal ini ialah mengumpulkan informasi mengenai
kondisi fisik di lingkungan sekitar situs.
Informasi mengenai medan/kondisi lapangan ini
diantaranya dapat diperoleh dari peta topografi
dan informasi yang ditampilkan dari visualisasi Gambar 2. Tampilan dataset ArcMap
database SIG. Peta topografi atau peta Rupa (Sumber: Peta dasar BIG diolah dalam ArcGis-
Bumi Indonesia (RBI) dicetak oleh Ditjen ArcMap, 2016)
Topografi TNI AD dan Badan Informasi
ArcMap dapat menampilkan dan
Geospasial (BIG). Badan Informasi Geospasial
menghilangkan data spasial yang diinginkan.
adalah Lembaga Pemerintah Non-Kementerian
Data spasial yang dapat ditampilkan antara lain,
yang lahir berdasarkan Undang-Undang No. 4
data geografis batas wilayah, toponimi,
Tahun 2011 yang mempunyai tugas
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di hipsografi, hidrografi, vegetasi, utilitas,
transportasi, lingkungan terbangun, referensi
bidang informasi geospasial (Hakim, Riqqi, &
spasial, hingga data penggunaan lahan. Data
Harto, 2014: 37). Peta topografi dan peta RBI
yang dibuat oleh BIG dan dapat diperoleh yang ingin ditampilkan dapat disesuaikan
berdasarkan kebutuhannya, apabila
biasanya dalam ukuran skala 1:25.000 –
1:250.000. Namun tidak seluruh bagian peta membutuhkan referensi untuk akomodasi, waktu
tempuh, dan rute menuju lokasi penelitian atau
Indonesia memiliki skala 1:25.000, peta RBI
untuk blat luar Jawa sebagian besar berukuran situs, maka tampilkan data transportasi yang
skala 1:50.000 – 1:250.000. Lembar peta RBI berisi sarana jaringan jalan raya, jalur kereta,
jalan setapak, dan lain-lain. Apabila ingin
dapat diperoleh dengan cara membelinya
langsung di Kantor BIG, Bogor atau instansi- mendapatkan referensi tentang lokasi
penelitian/situs, maka biasanya peneliti
instansi yang ditunjuk BIG untuk menjual peta
RBI. Sedangkan Ditjen topografi TNI AD membutuhkan data vegetasi, permukiman,
penggunaan lahan, garis kontur, dan sungai.
mengeluarkan lembar peta berskala 1:50.000 –

34
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 29-42
Setelah menampilkan data spasial yang digunakan untuk analisis orientasi medan di
dibutuhkan, lalu peneliti bisa melanjutkan riset lapangan pra penelitian. Namun dalam penyajian
dan perencanaan dengan membuat rute dan data informasi, ArcGis hampir memiliki semua
ploting lokasi yang akan dituju untuk fitur untuk SIG. Setelah persiapan orientasi
survey/observasi lapangan. medan dengan menggunakan analisis SIG, maka
dapat disiapkan lembar peta cetak print untuk
dibawa ke lapangan. ArcGis mampu membuat
layout lembar peta sesuai dengan kebutuhan data
Gambar 3. Contoh tampilan penampang melintang yang ingin ditampilkan. Dengan adanya
rute perjalanan 1:2 database SIG yang lengkap, maka memudahkan
(Sumber: Data SRTM Worlwide Elevation, diolah peneliti arkeologi untuk melakukan survey
dalam Global Mapper, 2016) geografi situs/lokasi penelitian dengan cakupan
wilayah yang luas dan waktu yang singkat.
Dengan SIG, peneliti juga dapat membuat layout
peta sendiri tak terbatas tanpa harus pembelian
lembar cetak peta yang tentunya memerlukan
dana yang tidak sedikit.

Gambar 4. Contoh tampilan 3D lansekap lokasi


penelitian
(Sumber: Data SRTM Worlwide Elevation, diolah
dalam Global Mapper, 2016)

Pembuatan rute mungkin dibutuhkan


apabila lokasi yang dituju berada cukup jauh dari
permukiman dan diperlukan proses tempuh
dengan berjalan kaki, maka penyiapan rencana
rute tracking menjadi sangat penting. Apabila
kontur rute tracking harus melewati lokasi Gambar 5. Lembar Peta untuk dicetak
berupa pegunungan atau perbukitan, maka perlu (Sumber: Peta dasar BIG diolah dalam ArcGis-
diperhatikan vegetasi lokasi dan garis kontur ArcMap, 2016)
untuk memilih rute terbaik dan paling aman,
serta perlengkapan keselamatan yang harus Lembar peta yang telah dicetak dapat
dibawa. Pembuatan penampang melintang dibawa ke lokasi penelitian untuk membantu
sangat diperlukan untuk memperkirakan kondisi analisis di lapangan. Namun apabila lokasi
geografis yang akan ditempuh. Untuk membuat penelitian berada dekat dengan permukiman
tampilan penampang melintang dapat dibuat yang tersedia listrik, maka dapat langsung saja
manual dengan mengkalkulasikan jarak tempuh membawa laptop yang memiliki software SIG
dengan garis kontur yang dilewati, namun dalam untuk analisis. Saat analisis di lapangan,
aplikasi SIG semuanya bisa dilakukan dengan perlengkapan/peralatan standar untuk merekam
komputer. Software yang dapat digunakan untuk data untuk SIG adalah Global Positioning
membuat penampang melintang ini ialah Global System (GPS) dan lembar peta atau laptop yang
Mapper. Global Mapper dapat menampilkan memiliki software SIG. GPS tersedia dengan
data geografis dalam bentuk 3D, dan dapat berbagai merk, namun GPS yang populer
menampilkan penampang melintang dari rute digunakan ialah GPS bermerk Garmin. Ragam
yang dibuat. Tampilan geografis lokasi GPS Garmin saat ini sudah cukup baik merekam
penelitian/situs dalam bentuk 3D juga terkadang data spasial dengan akurasi rata-rata ialah radius
dibutuhkan untuk melihat kondisi situs dalam 5-2 meter, bahkan bisa sampai akurasi radius 1
bentuk gambaran lansekap yang lebih nyata. meter. Namun perlu disadari, penggunaan GPS
Penggunaan Global Mapper cenderung hanya untuk mendokumentasikan data spasial
lebih banyak digunakan untuk mendukung dalam cakupan wilayah yang luas, seperti situs,
proses analisis. Dalam tahap ini, Global Mapper atau keletakkan fitur-fitur arkeologi. GPS

35
Perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Penelitian dan Penyajian
Informasi Arkeologi, Muhammad Al Mujabuddawat
sebaiknya tidak digunakan untuk berdasarkan UU no. 11 tahun 2010 tentang
mendokumentasikan data spasial dalam satu Cagar Budaya, jenis Cagar Budaya itu dapat
lokasi atau denah yang sempit karena akurasi disimpulkan antara lain Bangunan, Struktur,
GPS dalam mendokumentasikan data spasial Situs, dan Kawasan. Representasi lokasi dalam
yang tidak akurat 100%. Dokumentasi spasial peta ialah berupa titik, namun apabila format
yang dimaksud adalah semua upaya pendataan titik merepresentasikan suatu Situs atau
dan identifikasi objek dipermukaan bumi yang Kawasan yang memiliki luas keruangan yang
menyertakan data koordinat lokasi sebagai lebih besar maka format titik yang dipilih harus
referensi spasial (Sumarno, 2014: 3). Dalam cukup merepresentasikan keletakkannya di
proses pendokumentasian data spasial untuk lokasi tersebut. Apabila suatu Cagar Budaya
denah suatu bangunan, situs, atau mungkin kotak yang sudah memiliki Datum Poin yang secara
ekskavasi yang ukuran luas keruangannya relatif resmi ditetapkan, maka Datum Poin itulah yang
kecil, maka sebaiknya menggunakan GPS direpresentasikan sebagai format titik lokasinya,
Geodetik, atau perekaman menggunakan namun apabila suatu Cagar Budaya belum
teodolit atau totalstation. memiliki Datum Poin yang ditetapkan, maka
SIG sangat membantu dalam proses perlu kembali kepada analisis seorang peneliti
survey kawasan penelitian. Sebaran data spasial untuk menetapkan titik akuisisinya.
arkeologi dan lansekap situs yang sangat luas
dapat direkam dan dianalisis lewat perangkat Pengolahan Data SIG
SIG. Eksplorasi atau survey lapangan di situs
arkeologi untuk merekam lansekap yang
sebelumnya memerlukan jangka waktu yang
cukup lama dengan biaya dan tenaga yang tidak
sedikit menjadi lebih efektif dengan database
peta yang dapat diolah dalam SIG, sehingga
hanya memerlukan waktu yang singkat dan
sedikit biaya. Dengan adanya perekaman SIG,
maka menghindari konflik lokasi serta
penamaan situs dan kotak ekskavasi yang telah Gambar 7. Tampilan Mapsource
diekskavasi sebelumnya. (Sumber: Balai Arkeologi Maluku, 2016)

Hasil akuisisi data lokasi di lapangan


menggunakan GPS dieksport ke dalam
mapsource. Mapsource ialah software bawaan
dari GPS Garmin sebagai sarana untuk
memindahkan data dari GPS ke dalam komputer.
Data dari GPS diimport menggunakan
mapsource dalam bentuk data *.gpx, atau *.gdb.
Gambar 6. Contoh GPS handheld Garmin 76CSx Pada mapsource, peneliti dapat melakukan
(Sumber: Balai Arkeologi Maluku, 2016) pengecekan kembali terhadap data spasial hasil
akuisisi di lapangan. Pengecekan data dilakukan
Penggunaan GPS di dalam penelitian untuk melihat kebenaran lokasi data,
arkeologi sangat populer di kalangan peneliti menghindari konflik tumpang tindih data, dan
saat ini. Jenis GPS yang digunakan ialah GPS menghapus data yang tidak relevan. Pengecekan
handheld atau GPS genggam yang mudah ini penting dilakukan agar tidak ada kesalahan
dibawa. Pendokumentasian koordinat (akuisisi) dalam penyusunan basis data.
suatu lokasi terbagi berdasarkan besaran luas Setelah peneliti selesai melakukan
keruangannya. Sampai saat ini tidak ada aturan pengecekan data di dalam mapsource, artinya
resmi dalam akuisisi lokasi menggunakan GPS, data spasial tersebut layak dimasukkan ke dalam
akuisisi lokasi biasanya improvisasi peneliti di basis data. Basis data spasial dibuat di dalam
lapangan sesuai kebutuhan data lokasi yang akan format Ms. Excel 97-2003 *.xls agar dapat
direpresentasikan sesuai ukuran skala peta yang dibaca oleh software-software SIG lainnya.
akan dibuatnya. Namun bila ditelaah Membangun basis data spasial terdiri dari

36
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 29-42
membuat template berdasarkan data yang ArcGis memiliki fitur yang lengkap dan sangat
tersedia dan entry data ke dalam basis data yang mumpuni dalam mengolah data spasial hingga
telah disiapkan tersebut. Basis data yang menampilkannya dalam bentuk peta.
dibangun berupa file geodatabase (ESRI Setelah basis data ditampilkan dalam
ArcMap based). Geodatabase adalah basis data software ArcMap dalam bentuk sebaran titik,
relasional yang memuat data spasial atau maka pada saat itulah peneliti melakukan
informasi geografis. Geodatabase terdiri dari analisis spasial. Analisis spasial dilakukan sesuai
klas fitur (spasial) dan tabel (non spasial). Data dengan kebutuhan berdasarkan tema penelitian
yang telah melalui proses digitasi dan yang dibuat oleh peneliti. Software ArcMap
pengolahan citra dimasukkan (upload) ke dalam menyediakan fitur-fitur lengkap yang membantu
personal geodatabase menggunakan peneliti dalam analisis data. Namun,
ArcCatalog. Kelebihan dari personal kelengkapan fitur ArcMap harus ditunjang pula
geodatabase adalah kemampuannya untuk oleh ketersediaan atribut database peta dasarnya.
menyimpan beragam data (vektor, raster, survey Atribut-atribut tersebut menyangkut informasi
data, tabel) dan menyimpan hubungan spasial geofisik peta, yaitu hipsografi, hidrografi, data
(topologi, network) serta pengelolaan atribut lingkungan terbangun, data transportasi,
(domain, joining ID, null value) (Riadi, Syafi’i, toponimi, utilitas, dan vegetasi. Semakin banyak
& Widodo, 2011: 73). Struktur basis data berisi ketersediaan data geofisik tersebut, maka akan
atribut-atribut informasi situs atau lokasi titik. semakin membantu peneliti dalam menganalisis
Format struktur basis data spasial yang semakin data geospasial karena banyaknya informasi
lengkap maka semakin baik. Informasi dasar spasial yang diperoleh.
yang harus ada ialah, nama Situs atau lokasi dan
koordinat decimal degree. Informasi dalam basis
data spasial yang berguna antara lain, kode situs,
datum poin, letak administrasi, koordinat UTM,
koordinat degree minute second (DMS), elevasi,
kategorisasi situs, periode penanggalan, riwayat
penelitian, waktu pendataan, dan lain-lain.
Namun pada kenyataannya tidak semua basis
data yang dibuat oleh peneliti arkeologi berisi
informasi selengkap itu. Gambar 9. Menampilkan Basis Data dalam ArcMap
(Sumber: Balai Arkeologi Maluku, 2016)
Bentuk Penyajian Data SIG
Apabila atribut database peta dasar kurang
mencukupi, maka dapat menambahkan referensi
peta dasar lain yang diperoleh dari hasil scan
lembar peta tematik yang sudah tersedia atau
citra satelit. Citra satelit berasal dari teknologi
penginderaan jauh yang menghasilkan berbagai
jenis citra yang direkam dengan berbagai sensor
(multisensor) yang mampu menghasilkan citra
Gambar 8. Contoh Struktur Basis Data Spasial dengan multi resolusi. Citra Landsat merupakan
(Sumber: Balai Arkeologi Maluku, 2016) salah satu citra yang sangat populer dan banyak
Basis data spasial dalam bentuk Ms. Excel digunakan di Indonesia sejak era
yang telah dibuat merupakan informasi yang berkembangnya citra satelit multisensor. Citra
dapat dijadikan referensi untuk keperluan Landsat MSS, Landsat TM, sampai dengan
analisis peneliti. Basis data spasial juga Landsat ETM+ sudah banyak dimanfaatkan
merupakan arsip penelitian yang dapat dijadikan dalam berbagai bidang terapan di Indonesia
referensi untuk penelitian-penelitian mendatang. karena memiliki resolusi spektral dan spasial
Basis data spasial yang sudah memuat informasi yang sesuai disamping harganya yang cukup
dasar yang diperlukan dapat ditampilkan dalam murah dan ketersediaannya yang memadai
bentuk Peta menggunakan software-software (Murti, 2012: 85). Software ArcMap memiliki
geospasial, seperti ArcMap ArcGis. Software fitur georeference yang dapat menyatukan

37
Perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Penelitian dan Penyajian
Informasi Arkeologi, Muhammad Al Mujabuddawat
beberapa data spasial seperti citra satelit, arsip relatif sempit atau kecil, maka dibuatlah peta
peta tematik, atau peta denah situs yang pernah berskala besar yaitu <1:10.000. Namun apabila
dibuat. Georeference ialah memasukkan peta berisi informasi spasial dalam lingkup
koordinat bumi ke dalam peta. Proses ini keruangan yang relatif luas atau besar maka
dilakukan agar lembar citra satelit, peta tematik, dibuatlah peta berskala kecil yaitu >1:10.000.
peta denah situs, atau peta lainnya memiliki Ukuran frame peta yang akan disajikan pun
sifat-sifat proyeksi sesuai dengan kondisi disesuaikan dengan kebutuhan detil data yang
lapangan. Tujuan dari georeference ini ialah ingin ditampakkan. Semakin detail dan banyak
sebagai referensi peta dasar alternatif, dan juga data atau informasi yang ingin ditampakkan,
sebagai proses koreksi lembar data spasial maka semakin besar pula ukuran framenya,
dengan data spasial lainnya. namun ukuran frame juga relatif tergantung
kebutuhan peneliti dalam bentuk apa dan dimana
melampirkannya. Dengan georeference dari
beberapa informasi spasial berbeda maka
peneliti dapat mengoreksi kesalahan-kesalahan
dari informasi spasial, serta dapat melengkapi
kekurangan-kekurangan dari data informasi
spasial.
Gambar 10. Lembar Foto Citra Satelit di Sekitar
Situs Fort Oranje, Ternate
(Sumber: https://www.google.co.id/maps/, 2016)

Gambar 12. Contoh Lampiran Peta pada Laporan


Hasil Penelitian Arkeologi
(Sumber: Balai Arkeologi Maluku 2016)
Gambar 11. Georeference Lembar Citra Satelit
dengan Gambar Arsip Denah Situs
Peta Informasi Spasial Tematik
(Sumber: Balai Arkeologi Maluku, 2016)
Peta yang akan dilampirkan pada sebuah
Setelah proses analisis spasial selesai naskah jurnal atau laporan hasil penelitian
dilakukan dengan ArcMap, peneliti dapat arkeologi haruslah memuat informasi spasial
menyajikannya dalam bentuk file lembar peta yang mewakili atau menerjemahkan isi dari
*.jpg yang siap untuk dicetak sebagai lampiran badan naskah. Fungsi peta ialah memuat
hasil penelitian. ArcGis dapat membantu dalam informasi spasial geografis yang mampu
proses pembuatan layout peta yang sesuai memudahkan penerjemahan informasi spasial
dengan kebutuhan. Hasil layout peta disajikan yang tidak cukup dituangkan dalam bentuk
dalam berbagai ekstensi file, seperti *.jpg, *.pdf, tulisan. Informasi-informasi spasial dapat
*.png, dan lainnya. Penyajian peta dibutuhkan dikemas ke dalam sebuah peta tematik, yaitu
sebagai lampiran pendukung hasil analisis peta yang berisi informasi spasial tertentu yang
penelitian maupun data referensi tulisan yang lebih spesifik. Pada penelitian arkeologi, bentuk-
dapat dituangkan ke dalam bentuk laporan bentuk sajian peta yang perlu dilampirkan sangat
penelitian maupun naskah jurnal ilmiah. erat berkaitan dengan informasi tematik
Penyajian peta dapat disesuaikan arkeologi. Kajian dan analisis arkeologi yang
berdasarkan kebutuhannya. Apabila peta berisi merupakan hasil penelitian di lapangan dan
informasi spasial dalam lingkup keruangan yang bertemakan kajian spasial pastilah memerlukan
lampiran peta. Dewasa ini, kajian arkeologi

38
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 29-42
lansekap cenderung lebih populer, sehingga peta dipastikan akan menghilangkan makna
yang memuat analisis arkeologi lansekap kerap konteksnya, sehingga dapat mempengaruhi
disajikan dalam sebuah artikel jurnal maupun analisis peneliti. Perlu adanya pertimbangan dari
laporan hasil penelitian arkeologi. Dalam hal seorang peneliti arkeologi dalam akuisisi titik
lain, ada pula peta arsip hasil penelitian yang koordinat dengan menggunakan GPS.
biasanya tidak dilampirkan dalam publikasi Kekurangan GPS dalam mengakuisisi titik
ilmiah, namun digunakan dalam analisis koordinat menjadi masalah ketika peneliti
arkeologi, yaitu peta delineasi situs, peta denah arkeologi melakukan pemetaan di dalam wilayah
keruangan situs, peta grid ekskavasi arkeologi, keuangan yang relatif sempit, seperti di lokasi
dan lain-lain. Dengan menyajikan peta tematik, kotak ekskavasi dan pemetaan situasi kotak
maka cukup mempertajam analisis arkeologi. ekskavasi berukuran 2x2 m atau bahkan 1x1 m.
Dalam melakukan pemetaan di lokasi seperti itu,
Kendala-kendala Peneliti Arkeologi jelas seharusnya GPS tidak bisa digunakan, perlu
dalam Penerapan SIG alat seperti total station atau GPS geodetik untuk
Perangkat Sistem Informasi Geografis memetakannya. Namun pada kenyataannya,
(SIG) penggunaannya sangat praktis dan sangat peneliti arkeologi di lembaga riset arkeologi di
membantu kinerja Peneliti terutama yang Indonesia tidak memiliki dukungan peralatan
membutuhkan aplikasi untuk membantu analisis dan perlengkapan selengkap itu. Sehingga
spasial. Namun pada kenyataannya kendala- proses pemetaan manual dengan improvisasi
kendala dalam penggunaan dan penerapan peneliti itu sendiri sangat dibutuhkan, kecuali
aplikasi SIG tetap ada. SIG itu terdiri atas memang sengaja mendatangkan tenaga ahli
rangkaian berbagai informasi data yang saling untuk situasi semacam itu.
mendukung. Informasi-informasi tersebut Proses pencatatan basis data geospasial
dimulai dari proses input data informasi spasial hasil penelitian arkeologi belum memiliki
di lapangan, pembuatan struktur basis data, prosedur dan struktur yang seragam di seluruh
ketersediaan database peta dasar, hingga proses lembaga riset arkeologi Indonesia. Bahkan
penyajian peta jadi pada software aplikasi SIG. kenyataannya pada saat ini peneliti arkeologi
Saat ini peneliti arkeologi sangat mengenal masih kesulitan dalam memperoleh basis data
penggunaan GPS. GPS tidak dapat lepas dari geospasial pada penelitian-penelitian yang
salah satu alat yang wajib dibawa ke lapangan pernah berlangsung akibat arsip basis data belum
saat melakukan penelitian, tujuannya yaitu tersedia atau belum pernah dibuat. Kebanyakan
akuisisi titik koordinat benda yang memiliki peneliti hanya sekadar melampirkan data spasial
indikasi arkeologis di lapangan dan alat navigasi dalam sebuah laporan penelitian, dan bukanlah
yang paling umum. Mengutip ungkapan dalam struktur basis data yang dapat dibaca oleh
Yuwono salah seorang ahli geoarkeologi, ‘GPS perangkat SIG. Arsip basis data geospasial
sekarang ini bak kacang goreng, siapa pun tentunya sangat penting bagi peneliti arkeologi
menggunakan GPS dan menginput berbagai yang akan melakukan analisis spasial di masa
data spasial dengan GPS.’ Artinya di kalangan datang. Arsip basis data geospasial juga turut
peneliti arkeologi pun demikian, GPS memuat riwayat penelitian yang pernah
merupakan alat andalan untuk mengakuisisi data berlangsung di suatu lokasi penelitian. Format
koordinat. Karena hanya GPS yang tersedia, struktur informasi basis data spasial arkeologi
maka semua data diinput menggunakan GPS. perlu disusun seragam untuk kebutuhan arsip
Seperti yang telah disebutkan bahwa GPS penelitian di seluruh lembaga riset arkeologi di
relevan digunakan untuk akuisisi data titik Indonesia.
koordinat bangunan, lokasi dalam lingkup Dalam melakukan analisis spasial
kewilayahan yang besar, karena akurasi GPS menggunakan aplikasi SIG tentu membutuhkan
yang paling tinggi ialah satu meter, artinya basemap atau peta dasar dalam bentuk *.shp file
resiko kesalahan koordinatnya ialah melenceng atau *.gdb. Peta dasar tersebut memuat peta
di dalam radius satu meter. Kalau mengakuisisi wilayah, batas administrasi, hipsografi,
titik koordinat sebuah benda artefaktual yang hidrografi, vegetasi, utilitas, lingkungan
berukuran cm atau sebuah temuan di dalam terbangun, dan lain-lain yang diperlukan untuk
kotak ekskavasi menggunakan GPS maka membantu proses analisis arkeologi. Namun
kendala yang dihadapi oleh peneliti arkeologi

39
Perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Penelitian dan Penyajian
Informasi Arkeologi, Muhammad Al Mujabuddawat
ialah perolehan peta dasar tersebut. Sebelum pengetahuan terhadap ilmu SIG di jurusan
kehadiran portal geospasial Badan Informasi arkeologi baru diterapkan beberapa tahun
Geografis (BIG) di laman terakhir ini. Departemen Arkeologi UGM dan
http://tanahair.indonesia.go.id/ dan UNHASsudah memasukkan kurikulum
http://portal.ina-sdi.or.id/, untuk memperoleh mengenai aplikasi SIG arkeologi sebagai mata
peta dasar ialah dengan mengunduhnya di kuliah wajib jurusan.
portal-portal asing yang tidak sedikit merupakan
portal berbayar. Data peta dasar hasil unduhan Masa Depan SIG dalam Penelitian
dari portal asing sebenarnya seringkali dijumpai Arkeologi
kesalahan-kesalahan pada beberapa model data, Sistem informasi geografis merupakan
baik data poligon, titik, hingga toponimi, serta bagian dari kemajuan teknlogi informasi. Salah
akurasi data spasial Indonesia yang disediakan satu perkembangan di dalam bidang sistem
oleh portal-portal asing tidak mampu memenuhi informasi geografis adalah WebGIS. WebGIS
kebutuhan peneliti arkeologi yang meneliti adalah suatu sistem yang dapat terhubung ke
hingga ke pelosok daerah di Indonesia. dalam jaringan internet yang digunakan untuk
Kehadiran portal yang disediakan oleh BIG mengumpulkan, menyimpan dan menampilkan
untuk publik secara gratis di sekitar tahun 2014 data informasi bergeoreferensi atau data yang
merupakan kabar baik, namun kenyataan hingga mengidentifikasikan lokasi objek tanpa adanya
saat ini beberapa wilayah Indonesia yang bukan kebutuhan penggunaan software Sistem
wilayah prioritas pembangunan masih belum Informasi Geografis (Painho, Peixoto, Cabral, &
memiliki akurasi data yang mumpuni. Namun Sena, 2001 dalam Maharoesman, Suwardhi, &
harapan ke depan BIG dapat menyediakan Indrajaya, 2013: 36). Pada umumnya sistem
seluruh data spasial wilayah Indonesia yang informasi geografis konvensional membutuhkan
merata. software khusus untuk dapat mengaksesnya,
Kendala lain dalam penerapan perangkat sedangkan WebGIS memiliki akses data yang
SIG ialah sumber daya manusia (SDM) yang lebih mudah karena tidak membutuhkan
mampu mengaplikasikannya. Seperti yang software khusus tersebut. Sehingga WebGIS
sudah banyak diketahui, bahwa penerapan dapat diartikan sebagai GIS yang dapat diakses
perangkat SIG bagi sebagian besar peneliti di melalui jaringan internet (Maharoesman,
Lembaga riset arkeologi masih dikenal sebagai Suwardhi, & Indrajaya, 2013: 36).
‘barang’ baru. Dalam satu Lembaga riset Munculnya kebijakan Presiden mengenai
arkeologi, tenaga ahli yang bisa menerapkan One Map Policy atau Kebijakan Satu Peta di
aplikasi SIG bisa dihitung dengan jari, itu pun tahun 2015 cukup menambah perhatian
sebagian bukan merupakan tenaga peneliti. Kemdikbud sebagai Lembaga tertinggi yang
Kegiatan Sistem Pemetaan Arkeologi Nasional membawahi Lembaga riset Arkeologi terhadap
(SPAN) sejak 2010 cukup rutin dalam perangkat SIG di instansi-instansi di bawahnya.
pengembangan aplikasi SIG di kalangan Balai Instansi di bawah Ditjen Kebudayaan dan
Arkeologi, namun SDM yang dilibatkan hanya Balitbang turut dilibatkan dalam percepatan
perwakilan tenaga teknis yang dianggap mampu Kebijakan Presiden ini. Data-data titik Cagar
menerapkan perangkat SIG di instansinya. Budaya dan lokasi penelitian arkeologi menjadi
Proses transfer ilmu pun kurang berjalan dengan bahan utama untuk diinput dalam mendukung
baik karena kesibukan masing-masing peneliti percepatan Kebijakan Satu Peta. Berkat
dan tidak semua peneliti memandang perlu Kebijakan tersebut, cukup membuka mata para
untuk menerapkan aplikasi SIG dalam pemangku kebijakan terhadap perhatian akan
penelitiannya. Kendala SDM ini memang pentingnya database geospasial yang terstruktur
kembali kepada keilmuan Sarjana arkeologi dalam satu jaringan di Lembaga riset arkeologi.
yang tidak dibekali pengetahuan tentang SIG di Rencana dalam waktu dekat Kemdikbud akan
bangku kuliah. Sarjana arkeologi yang memiliki meluncurkan WebGIS sebagai perangkat
pengetahuan mengenai aplikasi SIG tentunya database geospasial yang berisi informasi
harus mengambil mata kuliah lintas Fakultas ke terbuka mengenai data Cagar Budaya dan Lokasi
jurusan geografi yang memang tidak dijadikan penelitian arkeologi dengan Balai Arkeologi
sebagai mata kuliah wajib jurusan arkeologi. sebagai salah satu instansi penginput datanya.
Kesadaran akan pentingnya pembekalan

40
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 29-42
Routledge.
KESIMPULAN Habib, S., & Poniman, A. (2010). Pemanfaatan GIS
Perangkat Sistem Informasi Geografis untuk Rekontruksi Kawasan Strategis Nasional
(SIG) jelas sangat membantu proses penelitian Trowulan. Globe, 12(2), 101–113.
Hakim, Y. F., Riqqi, A., & Harto, A. B. (2014).
arkeologi baik di lapangan maupun saat proses
Kontrol Kualitas dalam Alur Produksi
analisis dan penyajian informasi terkait hasil Kartografi Peta di Badan Informasi Geospasial.
penelitian. SIG menjadi pilihan bagi peneliti Jurnal Ilmiah Geomatika, 20(1), 37–46.
arkeologi dalam mengikuti perkembangan dunia Handoko, W. (2008). Kajian Arkeologi Lanskap
riset yang serba digital, praktis, dan efektif. dalam Konteks Penelitian Situs-situs Negeri
Gabungan dari SIG dan arkeologi telah Lama di Maluku: Sebuah Kerangka Metodologi.
menyempurnakan studi dari dimesi tingkah laku Kapata Arkeologi, 4(6), 84–105.
manusia di masa lalu, dikarenakan semua data Hodder, I. (1999). The Archaeological Process: An
arkeologi membawa aspek spasial. SIG bisa Introduction. Oxford: Blackwell.
memproses dengan baik sejumlah besar volume https://www.google.co.id/maps/. (2016). maps
image.
data, terutama data geografis. Hal ini bisa
Indonesia. Undang-Undang tentang Informasi
menjadikan SIG sebagai perangkat yang Geospasial, Pub. L. No. 4 (2011). Indonesia.
mengurangi biaya penelitian secara efektif Indonesia. Peraturan Presiden, Pub. L. No. 9 (2016).
hingga mampu menampilkan data secara visual Indonesia.
yang lebih komprehensif. Tidak hanya efektif Kresnawati, D. K., & Atmadilaga, A. H. (2004).
dalam penyajian peta, dengan perangkat SIG, Panduan Membaca Peta Rupabumi Indonesia.
peneliti arkeologi dapat menggabungkan dan Bogor: Bakosurtanal.
menganalisa tipe-tipe data yang berbeda dalam Maharoesman, Z. R., Suwardhi, D., & Indrajaya, A.
rangka menciptakan data baru. Diharapkan (2013). Pembangunan Sistem Informasi
perangkat SIG di dunia penelitian arkeologi akan Geografis Berbasis Web untuk Kegiatan
Ekskavasi Situs Warisan Budaya Indonesia
memegang peran yang cukup penting sehingga
(Studi Kasus: Komplek Candi Batujaya). Jurnal
mampu meningkatkan kualitas hasil penelitian Konservasi Cagar Budaya Borobudur, 7(2), 35–
arkeologi Indonesia. 43.
Munajati, S. L., Anadra, R., & Aprianto, A. (2010).
Ucapan Terima Kasih Penentuan Sentra Peta di Wilayah Jakarta
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dengan Menggunakan Sistem Informasi
Pusat Arkeologi Nasional yang telah secara rutin Geografis. Globe, 12(1), 68–81.
dan berkomitmen dalam pengembangan Sistem Mundarjito. (1993). Pertimbangan Ekologi dalam
Pemetaan Arkeologi Nasional (SPAN). Terima Penempatan Situs Masa Hindu-Buda di Daerah
kasih pula kepada Ditjen Kebudayaan Yogyakarta: Kajian Arkeologi-Ruang Skala
Makro. Universitas Indonesia.
Kemdikbud yang telah berusaha dalam
Murti, S. H. (2012). Pengaruh Resolusi Spasial pada
mendukung percepatan kebijakan Satu Peta. Citra Penginderaan Jauh terhadap Ketelitian
Berkat itu, penulis memperoleh informasi dalam Pemetaan Penggunaan Lahan Pertanian di
menyelesaikan riset kecil untuk tulisan ini. Kabupaten Wonosobo. Jurnal Ilmiah
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menambah Geomatika, 18(1), 84–94.
wawasan ilmu. Riadi, B., Syafi’i, A., & Widodo, H. M. (2011).
Pembangunan Sistem Informasi Spasial: Studi
***** Kasus Kabupaten Pidiejaya, Provinsi Aceh.
Globe, 13(1), 69–76.
DAFTAR PUSTAKA Robertson, E. C., Seibert, J. D., Fernandez, D. C., &
Clarke, D. L. (1977). Spatial Archaeology. London: Zender, M. U. (2006). Space and Spatial
Academic Press. Analysis in Archaeology. Calgary: University of
Claxton, J. B. (1995). Future Enhancements to GIS: Calgary Press.
Implications for Archaeological Theory. In G. Schiffer, M. B. (1976). Behavioral Archaeology. New
Lock & Z. Stančič (Eds.), Archaeology and York: Academic Press.
Geographical Information Systems (pp. 335– Sharer, R. J., & Ashmore, W. (1979). Fundamentals
348). London: Taylor and Francis. of Archaeology. California:
Greene, K. (1995). Archaeology: An Introduction, Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
The History, Principles and Methods of Modern Shaw, I., & Jameson, R. (1999). A Dictionary of
Archaeology. Archaeology (3rd ed.). London: Archaeology. Oxford: Blackwell.

41
Perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Penelitian dan Penyajian
Informasi Arkeologi, Muhammad Al Mujabuddawat
Simanjuntak, T. (1999). Metode Penelitian
Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional.
Suantika, I. W. (2012). Pengelolaan Sumberdaya
Arkeologi. Forum Arkeologi, 25(3), 185–205.
Sujana, U. (2015). Peran Sistem Informasi Geografis
dalam Kajian Delineasi dan Zonasi Situs
Liangan. Korakora, 2, 58–65.
Sumarno. (2014). Pemanfaatan WebGIS “Petakita”
untuk Dokumentasi dan Sosialisasi Objek
Arkeologi. Jurnal Itenas Rekayasa, 18(1), 1–8.
Wheatley, D., & Gillings, M. (2002). Spatial
Technology and Archaeology: The
Archaeological Applications of GIS. London:
Taylor & Francis.
Yuwono, J. S. E. (2007). Kontribusi Aplikasi Sistem
Informasi Geografis (SIG) dalam Berbagai
Skala Kajian Arkeologi Lansekap. Berkala
Arkeologi, XXVII(2), 107–136.

42
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 1, Juli 2016: 29-42

You might also like