You are on page 1of 11

PEMERIKSAAN SEL-SEL IMUN GRANULOSIT DAN

AGRANULOSIT

Nama : Hastya Tri Andini


NIM : B1A017081
Rombongan : II
Kelompok :2
Asisten : Hanif Tri Hartanto

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOBIOLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah
putih. Di dalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-
9000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis,
bila kurang dari 5000 disebut leukopenia. Leukosit dapat melakukan gerakan
amuboid dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler
dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan
penyambung. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai
granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah
cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang bervariasi, yang tidak
mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau bentuk
ginjal (Effendi, 2003).
Menurut Bevelander (1988), Fungsi leukosit adalah sebagai sistim
imunitas atau kekebalan tubuh, bila tubuh kemasukan benda asing misal bakteri
atau virus maka oleh sel sel neutrofil atau limfosit benda asing tersebut akan
difagositosis dimana sel limfosit T akan membunuh langsung atau membentuk
limfokin yaitu suatu substansi yang memperkuat daya fagositosis sedangkan
limfosit B akan mengeluarkan antibodi yang akan menghancurkan benda asing
tersebut.
Sel leukosit terdiri dari 2 kategori yaitu granulosit dan agranulosit.
Granulosit atau disebut juga polimorfonuklear yaitu sel darah putih yang
didalamnya terdapat granula antara lain : eosinofil, basofil, neutrofil. 75 % dari
komponen leukosit adalah sel granulosit dan sel ini dibentuk didalam sumsum
tulang belakang. Agranulosit merupakan bagian dari sel darah putih yang
mempunyai 1 sel lobus dan sitoplasmanya tidak mempunyai granula antara lain
limfosit dan monosit (Paulsen, 2000).

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum kali ini adalah:


1. Mengetahui sel-sel imun granulosit dan agranulosit beserta fungsi dan
bentuknya.
2. Mengetahui prosentase sel-sel imun pada berbagai hewan.
II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi

Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah darah ikan nilem
(Osteochilus vittatus), ayam (Gallus domesticus) dan mencit (Mus musculus) dan
manusia (Homo sapiens), metanol absolut, giemsa 7%, alkohol 70%, dan EDTA.
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah, lancet, spuit, syring,
kapas, mikroskop cahaya, object glass dan cover glass.

B. Cara Kerja

1. Darah diambil kemudian darah diteteskan di ujung object glass.


2. Darah diapus dengan gelas objek dan membentuk sudut 45o.
3. Preparat difiksasi dengan metanol ± 5 menit.
4. Preparat di CKA(cuci kering anginkan).
5. Preparat diwarnai dengan larutan giemsa 7% ± 20 menit.
6. Preparat di CKA (cuci kering anginkan).
7. Diperiksa dengan mikroskop cahaya dari perbesaran kecil ke besar.
8. Sel-sel imun granulosit dan agranulosit di hitung dengan 10 lapang pandang
dan hasilnya dinyatakan dengan persen (%).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Sel-sel Imun Granulosit dan Agranulosit


%
Kelom
Preparat Neutrofil
pok Limfosit Monosit Eosinofil Basofil
Batang Segmen
1 Ayam 40,80 25,20 6,80 9,52 10,20 7,48
2 Mencit 50,00 10,00 13,33 13,33 8,33 3,33
3 Ikan Nilem 37,04 18,52 22,22 7,41 3,70 11,11
4 Manusia 8,82 28,43 17,65 13,73 11,76 19,61
5 Mencit 86,80 1,63 1,63 1,63 6,50 1,63
Perhitungan Persentasi :
1. Limfosit = 10/27 X 100 % = 37,04 %
2. Eosinofil = 1/7 X 100 % = 3,70 %
3. Batang = 6/27 X 100 % = 22,22 %
4. Segmen = 2/27 X 100 % = 7,41 %
5. Monosit = 5/27 X 100 % = 18,52 %
6. Basofil = 3/27 X 100 % = 11,11%

Gambar 3.1 Lapang Pandang 1 Gambar 3.2 Lapang Pandang 2

Gambar 3.3 Lapang Pandang 3 Gambar 3.4 Lapang Pandang 4


Gambar 3.5 Lapang Pandang 5 Gambar 3.6 Lapang Pandang 6

Gambar 3.7 Lapang Pandang 7 Gambar 3.8 Lapang Pandang 8

Gambar 3.9 Lapang Pandang 9 Gambar 3.10 Lapang Pandang 10


B. Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang dilaksanakan diperoleh data bahwa dalam
apusan darah sampel mencit yang diamati dibawah mikroskop dalam beberapa
lapang pandang berbeda diperoleh hasil bahwa ditemukan basofil (11,11%), Hal
ini tidak sesuai dengan nilai normal basofil dalam darah yaitu 0-1% berarti sampel
darah dalam keadaan tidak sehat, jumlah neutrofil terbagi dalam neutrofil batang
22,22% dan neutrofil segmen 7,41%, eosinofil 3,7%, limfosit sebanyak 37,04%,
monosit sebanyak 18,52%. Hal ini tidak sesuai dengan nilai normal darah dimana
Neutrofil Segmen 50 -70 %, Neutrofil batang 2 – 6 %, Eosinofil 1 – 3 %, Monosit
2 – 8 %, (Underwood, 1999). Perbedaan persentase ini dimungkinkan terjadi
karena ketidaktelitian praktikan dalam mengamati dan menghitung sel-sel sistem
imun karena perbedaan sel-sel leukosit satu dengan yang lainnya tidak terlihat
dengan jelas. Hal tersebut bisa juga karena orang yang diamati sel darahnya dalam
keadaan tidak normal atau sedang terinfeksi penyakit sehingga jumlah sel darah
bisa berkurang atau lebih (Wildman,1995).
Sistem imun adalah suatu mekanisme pertahanan tubuh dari segala macam
zat atau bahan yang membahayakan. Pertahanan imun terdiri dari sistem imun
alamiah atau non-spesifik dan spesifik (Labreque & Cermakian, 2015). Sistem
imun non spesifik merupakan pertahanan terdepan tubuh terhadap
mikroorganisme dan benda-benda asing yang akan masuk dalam tubuh. Pada
sistem imun non spesifik terdapat sel yang berperan penting, ialah sel makrofag.
Makrofag sebagai efektor pada sistem imun, berperan memusnahkan kuman atau
patogen yang akan merusak tubuh baik melalui mekanisme fagositosis langsung
maupun melalukan peran lainnya sebagai antigen presenting cell (APC) (Yusuf et
al., 2019). Sistem imun spesifik hanya dapat menghancurkan benda asing yang
sudah dikenal sebelumnya sehingga disebut spesifik. Bila tubuh terpajan kembali
dengan benda asing yang sama , maka benda asing tersebut akan dikenal lebih
cepat kemudian dihancurkan (Baratawidjaya, 2002).
Tahapan respon system imun terhadap antigen adalah makrofag akan
memakan antigen tersebut yang kemudian membawanya munuju ke sel T
penolong (helper T cell) untuk dikenali. Sel T penolong akan mensekresikan
molekul yang dinamakan interleukin yakni sebuah molekul yang dapat
mengaktifkan sel limfosit B agar mengikat antigen tersebut dan membuat
antibodi. Antibodi yang dihasilkan berupa protein dan akan tersimpan dalam
plasma darah dan cairan limfa (Sudiono, 2014).
Ada beberapa cara yang dilakukan antibodi dalam menghancurkan
antigen yakni netralisasi, penggumpalan (aglutinasi), pengendapan dan
pengaktifan sistem komplemen atau protein komplemen. Netralisasi yaitu
pemblokiran tempat-tempat yang digunakan oleh antigen untuk berikatan.
Pemblokiran ini menyebabkan tempat tersebut menjadi tidak aktif dan dilakukan
dengan cara menempati tempat tersebut. Selain itu, netralisasi juga dilakukan
dengan cara menyelimuti bagian racun dari patogen sehingga menjadi aman pada
saat dimakan oleh sel fagosit. Penggumpalan patogen dapat dilakukan dengan
mudah oleh antibodi karena pada antibodi terdapat minimal dua daerah ikatan
(binding site). Bila ini dilakukan, maka pemusnahan patogen dapat dilakukan
lebih efektif karena sudah terkumpul sehingga tinggal menunggu dimakan oleh sel
fagosit. Pengendapan hampir mirip dengan penggumpalan, hanya saja hal ini
terjadi bila patogen terlarut bersama antibodi. Disini antibodi akan membuat
patogen tidak bisa bergerak sehingga memudahkan kerja sel fagosit untuk
memakannya. Pengaktifan sistem komplemen merupakan perpaduan antara
antibodi dengan protein komplemen untuk menghancurkan patogen. Caranya
yakni dengan membuat lobang pada dinding sel patogen sehingga lisozim dapat
masuk ke dalam patogen dan melakukan penghancuran dari dalam (Sudiono,
2014).
Metode apus merupakan pembuatan preparat dengan cara mengoles atau
membuat selaput tipis dari bahan yang berupa cairan. Metode apus dipakai untuk
pembuatan sediaan darah sehingga disebut apusan darah.Apusan darah merupakan
salah satu cara mengamati materi-materi yang ada dalam darah baik materi padat
maupun cair. Sediaan apusan darah adalah suatu sarana untuk menilai berbagai
unsur sel darah tepi, seperti leukosit, eritrost, trombosit. Digunakan untuk
mengidentifikasi adanya parasite seperti malaria, mikrofilaria,dll. Sediaan apus
yang dibuat dan dipulas dengan baik merupakan syarat mutlak untuk
mendapatkan hasil pemeriksaan yang terbaik adalah darah segar dari kapiler
(Budiyono, 1998).
Sel-sel imun dibagi menjadi lima jenis tipe berdasarkan bentuk
morfologinya yaitu basofil, eosinofil, neutrofil, limfosit dan monosit. Masing-
masing jenis sel darah putih ini memiliki ciri khas dan fungsi yang berbeda.
Eosinofil merupakan granulosit polimorfonuklear-eosinofilik. Jumlah eosinofil
dalam aliran darah berkisar antara 2-8% dari jumlah leukosit. Sel ini berkembang
dalam sumsum tulang sebelum bermigrasi ke dalam aliran darah serta memiliki
jangka hidup 3-5 hari. Eosinofil memiliki diameter sekitar 7 µm. Fungsi utama
eosinofil adalah menetralisir adanya bahan-bahan toksik, sehingga keberadaannya
dalam jumlah besar di tempat-tempat tertentu berhubungan dengan adanya reaksi
antigen-antibodi serta pada tempat tertentu tersebut melakukan penetrasi terhadap
bahan asing di dalam tubuh (Ganong, 2000).
Neutrofil adalah fagosit, pemain utama dalam memerangi infeksi bakteri
dan virus. Penurunan neutrofil di bawah 1.000 sel per mikroliter meningkatkan
risiko pengembangan infeksi. Neutrofil adalah “responden pertama” dalam
peradangan: yang pertama di tempat kejadian untuk menghancurkan bakteri dan
virus. Neutrofil memiliki jangka hidup yang pendek, hanya sekitar 10 jam.
Neutrofil belum matang, yang disebut band, banyak di infeksi yang aktif.
Penurunan neutrofil dikenal sebagai neutropenia, penyebab neutropenia termasuk
pengobatan kemoterapi, infeksi bakteri dan virus, dan reaksi alergi (Ganong,
2000).
Basofil adalah jenis sel darah putih yang memiliki jumlah persentase 0,01-
0,03 % dari total keseluruhan jumlah jenis sel darah putih yang lainnya. Basofil
memiliki granul di atas sitoplasmanya dan dua lobus. Basofil sendiri adalah salah
satu kelompok granulosit yang mampu keluar kearah jaringan tubuh tertentu. Cara
kerja sel basofil adalah jika terjadi reaksi alergi pada tubuh kita. Sehingga dengan
timbulnya reaksi alergi tersebut, basofil akan keluar dan menangkap allergen
tersebut lalu mengeluarkan histamin. Histamin tersebut akan menyebabkan
pembuluh darah berdilatasi (membesar), jadi semakin banyak allergen yang
masuk ke dalam tubuh, semakin banyak pula jumlah basophil yang bekerja untuk
melawannya. Jumlah sel basofil yang meningkat di dalam darah disebut dengan
basifilia. Ciri-ciri sel basofil adalah memiliki sifat fagosit, berdiameter antara 12-
15 mikrometer, mempunyai jumlah 0,01-0,03 % per millimeter darah, memiliki
granula yang besar, terbentuk pada sumsum tulang, berbentuk U dan berbintik,
terkadang berwarna biru dan mempunyai inti yang tidak bersegmen (Saanin,
1968).
Monosit merupakan leukosit yang memiliki ukuran terbesar, berdiameter
15-20 µm dan jumlahnya 3–9% dari seluruh sel darah putih. Sitoplasma sel ini
dibagimenjadi dua bagian, yaitu berwarna cerah dan berwarna lebih gelap.
Sitoplasmanya terlihat berwarna biru keabu–abuan dengan tepi inti yang tidak
beraturan, inti kromatin monosit cenderung lebih menyatu, serta pada sitoplasma
tampak adanya vakuola dan seperti berbusa. Monosit berperan sebagai prekursor
untuk makrofag, dan sel ini akan mencerna dan membaca antigen (Bacha &
Linda, 2000 dalam Lokapirnasari & Yulianto, 2014).
Limfosit terdiri dari kelompok terbesar dari sel-sel darah putih, 20 sampai
40 persen dari sel-sel darah putih adalah limfosit. Ada tiga jenis limfosit: sel T, sel
B dan sel-sel pembunuh alami. Sel B membuat antibodi yang menyerang antigen
asing. Sel T dan sel-sel pembunuh alami menyerang sel-sel asing dan juga
membuat racun yang merusak penyerang. Peningkatan limfosit biasanya
menunjukkan infeksi virus atau beberapa jenis infeksi bakteri. Sejumlah
penurunan sel T ditemukan dalam infeksi, sel-sel tumor dan virus HIV (Septiano
et al., 2015).
Metode perhitungan sel imun dilakukan dengan cara mengamati apusan di
bawah mikroskop dan diambil 10 lapang pandang untuk kemudian dialkukan
perhitungan leukosit dan di amati jenis-jenis leukosit yang terdapat dalam sel
darah preparat. Adapun faktor yang mempengaruhi fluktuasi jenis sel imun antara
lain faktor umur, tingkat stress, metabolik, lingkungan, nutrisi, dan hormon. Saat
masih bayi, sistem imun belum matang seutuhnya. Hal tersebut perpengaruh pada
jumlah sel leukosit. Saat dewasa sel leukosit mulai banyak dan akan menurun
jumlahnya saat memasuki usia lanjut. Saat stress produksi antibodi akan menurut
dan menyebabkan sel-sel yang berperan dalam sistem imun sedikit (Pearce, 2006).
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan praktikum dapat diambil kesimpulan


bahwa:
1. Macam macam sel imun ada dua yaitu granulosit dan agranulosit. Granulosit
terdiri dari limfosit yang berfungsi untuk menghasilkan antibodi dan monosit
berfungsi untuk menghancurkan sel-sel asing. Monosit yang berada dalam
jaringan disebut makrofag. Sel limfosit granulosit dimana memiliki tiga jenis
antara lain basofil yang memiliki fungsi untuk memberi reaksi antigen dan alergi
dengan mengaktifkan histamine, neutrofil merupakan sel darah granulosit yang
paling banyak ditemukan pada kebanyakan hewan, dan eusinofil yang berfungsi
melawan parasit.
2. Presentase sel darah pada berbagai preparat untuk limfosit nilai tertinggi
diperoleh oleh mencit (86,80%), monosit presentasi tertinggi terdapat pada
manusia (28,43%), neutrofil terbanyak terdapat pada manusia (33,08%), eusinofil
terbanyak terdapat pada manusia (11,76%), dan basofil terbanyak terdapat pada
manusia (19,61%).
DAFTAR PUSTAKA

Baratawijaja, K. G., 2002. Imunologi Dasar. Edisi 5. Jakarta: FKUI Press.


Bevelander, G. & Ramaley, J. A., 1988. Dasar-dasar Histologi. Jakarta: Erlangga.
Budiyono. 1998. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC.
Effendi, Z., 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh.
Sumatera: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Ganong, W. F., 2000. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Labrecque, N. & Cermakian, N., 2015. Circadian clocks in the immune


system. Journal of biological rhythms, 30(4), pp. 277-290.
Lokapirnasari, W. P. & Yulianto, A. B., 2014. Gambaran Sel Eosinofil, Monosit, dan
Basofil Setelah Pemberian Spirulina pada Ayam yang Diinfeksi Virus Flu
Burung. Jurnal Veteriner, 15(4), pp. 499-505

Paulsen, D. F., 2000. Histology & Cell Biology 4th ed. Singapore: Lange Medical
Books/McGraw-Hill.

Pearce, E., 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.

Saanin, H., 1968. Biologi Umum. Yogyakarta: Kanisius. (LIPI), L. I. P. I., 2009.
Kolesterol. Pangan dan Kesehatan. Bogor : UPT - Balai Informasi
Teknologi.
Septianto, D. R., Ardana, I. B. K., Sudira, I. W., & Dharmayudha, A. A. G. O., 2015.
Profil Hematologi (Diferensial Leukosit, Total Leukosit, dan Trombosit) pada
Mencit dengan Pemberian Jamu Temulawak (Curcuma xanthorriza, Roxb)
Secara Oral. Buletin Veteriner Udayana, 7(1), pp. 34-40.

Sudiono, J., 2014. Sistem Kekebalan Tubuh. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Underwood, J. C. E., 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: EGC.

Widman, F. K., 1995. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemerikasaan Laboratorium.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Yusuf, M. I., Firdayanti. & Wahyuni., 2019. Peningkatan Imunitas Non Spesifik
(Innate Immunity) Mencit Balb/C yang Diberi Ekstrak Etanol Daun
Tumbuhan Galing (Cayratia Trifolia L. Domin). Medical Sains, 3(2), pp. 83-
92.

You might also like