You are on page 1of 37

Case Report Session

MORBUS HANSEN

Oleh :

Muhammad Atif Gazali 1840312402

Wafya Melosi Ramschie 1740312291

Pembimbing

Dr. dr. Satya Wydya Yenny, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

dr Ennesta Asri, Sp.KK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2019

0
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Morbus Hansen atau kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang menular, disebabkan
oleh kuman Mycobacterium Leprae. kusta merupakan salah satu penyakit menular yang
menimbulkan masalah yang kompleks, meliputi segi medis hingga masalah sosial, ekonomi,
budaya, kemanan, dan ketahanan nasional. (kemenkes 2012
Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagin
petugas kesehatan karena kecacatan yang dapat ditimbulkannnya. Penyakit kusta pada umumnya
terdapat di negara-negara yang sedang berkembang termasuk salah satu negara tersebut Indonesia.
kemenkes
Kasus kusta selama periode 2008-2013 di Indonesia, angka penemuan kasus baru kusta
tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk. Mengalami
penurunan dari tahun 2011 sebanyak 3.167 jiwa. sedangkan angka
Kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 berjumlah 219.075 kasus dan paling banyak
ditemukan di regional Asia Tenggara (160.132). Jumlah kasus baru kusta yang ditemukan di
Indonesia berdasarkan data WHO tahun 2011 adalah sebesar 20.023 kasus dengan prevalensi awal
tahun 2012 sebesar 23.169 kasus. Angka kejadian kusta di Indonesia dari tahun 2006 hingga 2011
senantiasa mengalami peningkatan.3 Kasus kusta selama periode 2008-2013 di Indonesia, angka
penemuan kasus baru kusta tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000
penduduk. Mengalami penurunan dari tahun 2011 sebanyak 3.167 jiwa. pada tahun 2011-2013
terlihat bahwa sebanyak 14 provindo (42,4%) termasuk dalam bebas kusta tinggi. sedangkan 19
provinsi lainnya (57,6%) termasuk dalam beban kusta rendah. hampir seluruh provinsi di bagian
timur indonesia merupakan daerah dengan beban kusta tinggi. Penyakit kusta dapat mengenai
hampir semua kelompok usia, dari bayi hingga usia lanjut. Selain itu, penyakit ini juga dapat
mengenai laki-laki maupun perempuan serta memiliki kaitan dengan status sosial ekonomi
seseorang.2,3
Permasalahan kusta tidak hanya sekedar menyembuhkan penyakit kusta namun lebih kepada
penyebaran penyakit dan kejadian kecacatan yang terjadi pada penderita kusta. Oleh karena itu,

1
pemerintah telah merancang program-program nasional untuk penatalaksanaan kusta di Indonesia
dengan dibantu oleh WHO.3
Masih tingginya kasus kusta di Indonesia serta adanya peningkatan kasus baru setiap
tahunnya, termasuk Sumatera Barat belum bebas kusta sehingga kusta salah satu permasalahan
yang membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman
yang baik mengenai penyakit ini, baik mengenai patogenesis dan penatalaksanaannya, serta
masalah penularan dan pencegahan penularan serta kecacatannya. Maka dari itu penulis tertarik
untuk mengangkatkan kasus kusta dalam penulisan laporan kasus kali ini.
2. Batasan Masalah
Case report ini akan membahas mengenai kasus kusta dari definisi, epidemiologi, etiologi,
Patogenesis, klasifikasi dan manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, diagnosis
banding, tatalaksana, prognosis, komplikasi, pencegahan
3. Tujuan Penulisan
Penulisan Case Report Session ini bertujuan untuk memahami dan menambah pengetahuan
tentang Kusta.
4. Metode Penulisan
Penulisan Case Report Session ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu
kepada berbagai literatur dan kepustakaan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Morbus Hansen (MH), yang dikenal juga dengan sebutan kusta dan lepra, adalah penyakit

kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan bermanifestasi pada kulit, saraf perifer,

mukosa saluran nafas atas, dan mata.1,2,3

2.2 Etiologi

Morbus Hansen disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Kuman ini merupakan

gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, tahan asam, berbentuk batang, dengan ukuran 1-

8µ, lebar 0,2-0,5 µ, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu. Bakteri ini yang

terutama berkembangbiak dalam sel Schwann saraf, makrofag kulit, dan tidak dapat dikultur dalam

media buatan. Distribusi lesi yang secara klinik predominan pada kulit, mukosa hidung, dan saraf

perifer superfisial menunjukkan pertumbuhan basil ini cenderung menyukai temperatur kurang

dari 37ºC. Masa belah diri kuman ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan

kuman lain yaitu 12-21 hari, oleh karena itu masa tunas menjadi lama yaitu rata-rata 2-5 tahun.2

2.3 Epidemiologi

Kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 berjumlah 219.075 kasus. Jumlah tersebut

paling banyak ditemukan di regional Asia Tenggara (160.132) diikuti regional Amerika (36.832),

regional Afrika (12.673), dan sisanya tersebar di regional lain di dunia.3 Jumlah kasus baru kusta

yang ditemukan di Indonesia berdasarkan data WHO tahun 2011 adalah sebesar 20.023 kasus

dengan prevalensi awal tahun 2012 sebesar 23.169 kasus. Angka kejadian kusta di Indonesia dari

tahun 2006 hingga 2011 senantiasa mengalami peningkatan.3

3
Perkembangan kusta di Indonesia dilihat dari periode 2008-2013, angka penemuan kasus baru

pada tahun 2013 merupakan temuan yang terendah yaitu 6,79 per 100.000 penduduk. Angka

prevalensi kusta berkisar antara 0,79-0,96 per 10.000 penduduk. Data untuk kasus pada anak dari

tahun 2008-2013, pada tahun 2012 merupakan angka tertinggi yaitu 11,40 per 100.000 penduduk.

Berdasarkan gambar 2.1 di antara tahun 2011-2013 terlihat sebanyak 14 provinsi termasuk

kedalam beban kusta tinggi, dan 19 provinsi termasuk beban kusta rendah.2

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi

lingkungannya, didapatkan bahwa ada pengaruh etnik dalam distribusi tipe kusta. Misalnya, di

Myanmar, kejadian kusta tipe lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan

etnik India. Begitu pula di Malaysia, dimana kejadian kusta tipe lepromatosa lebih banyak terjadi

pada etnik Cina dibandingkan etnik Melayu atau India.3 Faktor sosial ekonomi juga berperan

dalam kejadian kusta. Adanya peningkatan sosial ekonomi, akan menurunkan bahkan

menghilangkan kejadian kusta.3

Penyakit kusta dapat mengenai semua kelompok usia, berkisar antara bayi sampai usia lanjut

(3 minggu sampai lebih dari 70 tahun) dengan kejadian terbanyak pada usia produktif.3 Jenis

kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, dapat terkena kusta, dengan perbandingan laki-laki

lebih banyak terkena dibandingkan perempuan (kecuali di beberapa negara di Afrika).3

4
2.4 Klasifikasi
Terdapat beberapa jenis klasifikasi MH sebagaimana yang tertera pada tabel berikut ini.1

Madrid Ridley-Jopling WHO


Tuberkuloid Tuberkuloid polar (TT) Pausibasiler (PB)
Tuberkuloid Indefinite
(Ti)
Borderline Tuberkuloid
(BT)
Borderline Mid Borderline (BB) Multibasiler (MB
Borderline Lepromatous
(BL)
Lepromatous indefinite
(Li)
Lepromatosa Lepromatosa polar (LL)
Tabel 2.1 Klasifikasi Morbus Hansen1
Tuberculoid polar (TT) dan lepromatous polar (LL) merupakan tipe yang stabil dan tidak

mungkin berubah.Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid borderline (BB), dan borderline

lepramatous (BL) merupakan bentuk yang tidak stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai derajat

imunitas.Tipe indeterminate (I) tidak dimasukkan ke dalam spektrum.4,5,6

Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari pemeriksaan slit skin

smear.Tipe TT dan BT memiliki jumlah BTA yang rendah oleh karena itu diklasifikasikan ke

dalam pausibasilar. Sementara tipe BB, BL, dan LL memiliki jumlah BTA yang tinggi sehingga

diklasifikasikan ke dalam multibasilar.4

2.5 Patogenesis
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae, disamping itu sel

Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi,

bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi.

Akibatnya aktifitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.2,6

Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa

5
penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian

tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Bila kuman masuk kedalam tubuh maka

tubuh akan bereaksi dengan mengeluarkan makrofag untuk memfagositnya.2

M. Leprae mempunyai patogenesis dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang

mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat

sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain

disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggunggah timbulanya reaksi granuloma

setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit

kusta disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi

selularnya daripada intensitas infeksinya5.

Seseorang yang terinfeksi M.leprae gejala klinis yang akan timbul tgejala klinis yang akan

timbul tergantung dari respon tubuh terhadap mikroorganisme tersebut. Apabila imunitas seluler

orang tersebut bagus dan kuat, maka gejala klinis yang terjadi adalah MH tipe tuberkuloid. Apabila

imunitas selulernya lemah, maka gejala klinisnya adalah MH tipe lepramatosa.5

Patogenesis MH tipe tuberkuloid

Kuman masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dengan kulit penderita atau melalui

inhalasi, kemudian masuk melalui pembuluh limfe dan darah kemudian mencapai target dari basal

antara lain :3

1. Sel Schwann saraf tepi

2. Sel endotel pembuluh darah

3. Sel pericytes pembuluh darah

4. Sel monosit dan makrofag

6
Apabila imunitas seluler penderita tersebut tinggi ditandai dengan uji lepromin yang positif

maka dalam waktu yang singkat sel-sel radang akan datang ke sekitar makrofag atau sel Schwann

tersebut. Tujuan sel radang tersebut adalah memfagosit kuman-kuman dan mengaktifkan

makrofag untuk menghancurkan kuman M. leprae. Namun, efek samping dari peradangan tersebut

akan menyebabkan penekanan pada saraf sehingga proses anestesinya terjadi lebih cepat dan berat.

Peradangan yang terjadi hanya sekitar sel Schwann yang terbatas pada saraf kulit saja, tidak masuk

ke pembuluh darah sehingga lesinya sedikit dan asimetris, berbatas tegas karena dibatasi oleh sel

radang, kelenjar ekrin dan pilosebaseus akan tertekan yang menyebabkan keringat berkurang, kulit

kering dan rambut kulit tidak ada.3

Patogenesis MH tipe lepramatosa

Sistem imun seluler yang rendah dan ditandai dengan uji lepromin negative, maka proses

fagositasis yang terjadi lemah, sehingga kuman akan bermultiplikasi lebih banyak di dalam sel

makrofag atau sel Schwann. Makrofag akan berubah menjadi sel Virchow atau Foam cell yang

mengandung banyak kuman basil. Apabila kuman basil sudah terlalu banyak Foam cell akan

pecah sehingga kuman basil akan keluar, lalu di tangkap oleh sel Schwann yang lain sehingga

terjadi penyebaran sesuai dengan jaras saraf tepi. Kemudian kuman basil akan masuk kedalam

aliran darah dan menimbulkan lesi pada kulit dengan jumlah banyak, simteris, batas tegas, dengan

anestesi yang lama terjadi.3

Patogenesis MH tipe Borderline

Pada MH tipe ini klinisnya berada di antara tipe tuberkuloid dan lepromatosa.

7
2.6 Manifestasi klinis
Secara klinis, sifat lesi (jumlah, morfologi, distribusi, permukaan, anestesia) dan kerusakan

saraf dapat mengarahkan kita untuk menegakkan diagnosis kearah tuberkuloid atau lepromatosa.

Semakin ke arah tuberkuloid, biasanya ditandai dengan lesi berbentuk makula saja / makula yang

dibatasi infiltrat dengan permukaan kering bersisik, anestesia jelas, berjumlah 1-5, tersebar

asimetris, kerusakan saraf biasanya terlokalisasi sesuai letak lesinya. Di sisi lain, semakin

mengarah ke tipe lepromatosa, lesi akan lebih polimorfik (makula, infiltrat difus, papul, nodus)

dengan permukaan yang halus berkilat, anestesia tidak ada sampai tidak jelas, berjumlah banyak

(>5 lesi), dan biasanya tersebar simetris, kerusakan saraf biasanya lebih luas. 4,6

Karena pemeriksaan slit skin smear tidak selalu tersedia, maka pada tahun 1995 WHO

menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan lesi di kulit dan kerusakan saraf.3

PB MB
1.Lesi kulit (makula yang  1-5 lesi  > 5 lesi
datar, papul yang  Hipopigmentasi/eritema  Distribusi simetris
meninggi, infiltrat, plak  Distribusi tidak simetris
eritem, nodus)

2.Kerusakan saraf  Hilangnya sensasi yang  Hilangnya sensasi


(menyebabkan hilangnya jelas kurang jelas
sensasi/kelemahan otot  Hanya satu cabang saraf  Banyak cabang saraf
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)
Tabel 2.2 Klasifikasi Klinis Kusta Berdasarkan WHO 19953

8
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa
makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regrasi atau
central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata.Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak
adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman
MH.1,7,8

2. Tipe Boderline Tuberkuloid (BT)


Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai
lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi hipopigmentasi, kekeringan kulit
atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan
biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.1

3. Tipe Mid Borderline (BB)


Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit
MH.Merupakan bentuk dimorfik.Lesi dapat berupa makula infiltratif, permukaan lesi dapat
berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung
simetris.Lesi sangat bervariasi baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan
lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini. 1,9

4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)


Lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat
menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Papul dan nodus
lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk
pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan bagian pinggir dalam
infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pingir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched
out.1 Tanda-tanda kerusakan saraf berupa kerusakan sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya
keringat, dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf
dapat teraba pada tempat-tempat penebalan saraf.1

9
5. Tipe Lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas
tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.Distribusi lesi khas,
yakni di wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan di badan mengenai bagian
yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah.1
Pada stadium lanjut terdapat penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis
muka menjadi kasar, dan cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai dengan madarosis,
iritis, keratitis.Lebih lanjut dapat terjadi deformitas hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar
limfe, orkitis yang selanjutnya dapat terjadi atrofi testis.1
Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anaesthesia.Bila
menjadi progresif, muncul makula dan papula baru sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus.
Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang
menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.1
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit
tersebut.yaitu:8,9,10
a. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia
b. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak.
c. Adanya pelebaran saraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, auricularis, magnus serta
peroneus.
d. Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
e. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit
f. Alis rambut rontok
g. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leonina (muka singa).

10
2.7 Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan gejala-gejala utama
atau “Cardinal signs”, yaitu :
a. Lesi kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berupa bercak keputih-putihan (hipopigmentsi) atau kemerahan
(eritematous) yang mati rasa.
b. Penebalan saraf yang disertai dengan gangguan fungsi
Penebalan gangguan fungsi saraf yang terjadi merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
tepi (neuritis perifer) dan tergantung area yang dilayani oleh saraf tersebut, dan dapa berupa:
- Gangguan fungsi sensorik : mati rasa/ kurang rasa
- Gangguan fungsi motorik : paresis atau paralysis
- Gangguan fungsi otonom : kulit kering.
c. Basil tahan asam (BTA)
Bahan pemeriksaan diambil dari kerokan kulit (skin smear) pada cuping telinga serta bagian
aktif suatu lesi kulit. Bila pada kulit atau saraf seseorang ditemukan kelainan yang tidak khas
untuk penyakit kulit lain dan menurut pengalaman kemungkinan besar mengarah ke kusta,
maka kita dapat menetapkan seseorang tersebut sebagai suspek kusta.

Untuk menegakkan diagnosis kusta, diperlukan paling sedikit satu tanda utama.Tanpa tanda
utama, seseorang hanya boleh ditetapkan sebagai tersangka (suspek) kusta. Saraf perifer yang
perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak. Gejala-gejala kerusakan
saraf adalah :

N. ulnaris :
a. Anestesi pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
b. Clawing kelingking dan jari manis
c. Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis media.

11
N. medianus:
a. Anesteshia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tangah.
b. Tidak mampu aduksi ibu jari.
c. Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.
d. Ibu jari kontraktur.
e. Trofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
N. Radialis:
a. Anesthesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk.
b. Tangan gantung
c. Tak mampu ekstensi jari-jari
N. Poplitea lateralis:
a. Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis.
b. Kaki gantung
c. Kelemahan otot peroneus.
N. Tibialis Posterior:
a. Anesthesia telapak kaki
b. Claw toes
c. Paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis.
N.Facialis:
a. Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus.
b. Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir.
N. Trigeminus:
a. Anesthesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

12
1.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakterioskopik1
a. Pemeriksaan BTA dengan Ziehl-Nielsen
Bahan pemeriksaan diambil dari 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dan 2 atau 4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif.
b. Indeks Morfologi
Untuk menentukan persentasi BTA hidup atau mati
Rumus:
Jumlah BTA solid x 100 % = X %
Jumlah BTA solid + non solid
Guna:Untuk melihat keberhasilan terapi, melihat resistensi kuman BTA, dan melihat
infeksiositas penyakit
c. Indeks Bakteri
Untuk menentukan klasifikasi penyakit Lepra, dengan melihat kepadatan BTA tanpa
melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/ granular).
Tabel 1.3 Indeks Bakteri1
0 BTA -
1 – 10/ 100 L.P +1
1 – 10/ 10 L.P +2
1 – 10/ 1 L.P +3
10 – 100/ 1 L.P +4
100 – 1000/ 1 L.P +5
> 1000/ 1 L.P +6

2. Pemeriksaan histopatologik1
Untuk membedakan tipe TT & LL
a. Pada tipe TT ditemukan tuberkel (Giant cell, limfosit)
b. Pada tipe LL ditemukan sel busa (Virchow cell/ sel lepra) yi histiosit dimana di dalamnya
BTA tidak mati, tapi berkembang biak membentuk gelembung. Ditemukan lini tenang
(subepidermal clear zone).

13
3. Pemeriksaan serologik1
a. Tes ELISA
b. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Partikel Aglutination)
c. ML dipstick

2.8 Pengobatan
Paket terapi multiobat (MDT/Multi Drug Therapy)1,4
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan
dua tipe terapi multiobat standar.Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta
lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan
untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson

Gambar 2.2 Regimen MDT

Regimen pengobatan MDT


MDT adalah kombinasi dua atau lebih obat antikusta, salah satunnya rifampisin sebagai
antikustayang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti kusta lain bersifat bakteriostatik.

14
Berikut merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT:
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibawah ini:
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe
Berikut merupakan regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang
direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:

Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keteranga


n
Minum
Rifampisin 300mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln didepan
petugas
Berdasarka
Minum di
n berat
25 mg/bln 50mg/bln 100 mg/bln depan
badan
DDS petugas
100 Minum di
25 mg/hari 50 mg/hari
mg/hari rumah
Tabel 1.4 Pengobatan Morbus Hansen Pausibasiler
Keterangan:
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum diminum didepan petugas)
 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600 mg)
 1 tablet dapson/DDS 100mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
 1 tablet dapson/DDS100 mg
Satu blister untuk satu bulan, dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.

15
Keteranga
Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th
n
Minum
Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln didepan
petugas
Minum
25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln didepan
Dapson petugas
Berdasarka
Minum
n berat 25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln
dirumah
badan
Minum
100 mg/bln 150 mg/bln 300 mg/bln didepan
petugas
Lampren
50 mg
50 mg 2x 50 mg Minum
setiap 2
seminggu perhari dirumah
hari
Tabel 1.5 Pengobatan Morbus Hansen Multibasiler
Keterangan:
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
 3 tablet lampren @ 100mg (300 mg)
 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
 1 tablet lampren50 mg
 1 tablet dapson/DDS 100 mg
satu blister untuk satu bulan. Dibutuhkan 6 blister ya g diminum selam 6-9 bulandosis MDT MB
untuk anak (10-15 tahun).
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminumdi depan petugas)
 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
 1 tablet dapson/DDS 50 mg

16
Satu blister untuk satu bulan.dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan
Monitoring dan Evaluasi Pengobatan
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat
2. Apabila pasien terlambat mengambil obat, paling lama dalam satu bulan harus dilakukan
pelacakan
3. RFT dapat dinyatakn setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan labolatorium.
Setelah RFT pasien dikeluarkan dari register kohort
4. Pasien yang sudah RFT namun memiliki faktor risiko:
 Cacat tingkat 1 atau 2
 Pernah mengalami reaksi
 BTA pada awal pengobatan posisitf >3 (ada nodul atau infiltrat) dilakukan
pengamatan secara resmi
5. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan
dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
6. Selama pengobatan PB, pemeriksaan klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan
pada akhir pengobatan. Pemeriksaan minimal dilakukan setiap tahun selama 2 tahun, jika
tidak ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau disebut release from control (RFC)
7. Pasien MB yang telah mendapatkan pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18
bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
8. Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) pada MB secara klinis dan
bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Jika bakterioskopis tetap negatif dan
klinis keaktifan baru, maka dinyatakan RFC
9. Penderita MB yang resisten terhadap rifampisin biasanya akan resisten pula dengan DDS
sehingga hanya bisa mendapat klofazimin (lampren). Dalam hal ini rejimen pengobatan
menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6
bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg
setiap hari selama 18 bulan.

17
10. Default
Jika seorang pasien PB tidak mengambil minum obatnya lebih dari 3 bulan dan pasien MB
lebih dari 6 bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya untuk memnyelesaikan
pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka yang bersangkutan dinyatakan default
11. Relaps/kambuh
Pasien dinyatakan relaps bila setelah RFT timbul lesi baru pada kulit.untuk menyatakanrelaps
harus dikonfirmasikan kepada dokter kusta yang memiliki kemampuan klinis dalam
mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi
peningkatan IB 2+ atau lebih bila dibandingkan dengan saat diagnosis. Pasien tersangka relaps
sebaiknya dikonsultasikan/dirujuk untuk mendapat kepastian diagnosis sebelum diobati.
12. Indikasi pengeluaran pasien dari register kohort adalah: RFT, meninggal, pindah, salah
diagnosis, ganti klasifikasi, default.
13. Pada keadaan-keadaan khusus (misalnya akses yang sulit ke pelayanan kesehatan) dapat
diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan penyuluhan lengkap mengenai efek
samping, tanda-tanda reaksi, agar secepatnya kembali kepelayanan kesehatan.

1.11 Reaksi Kusta


Reaksi kusta adalah suatu keadaan gejala dan tanda radang akut lesi penderita kusta yang
terjadi dalam perjalanan penyakitnya, yang diduga disebabkan hipersensitivitas akut terhadap Ag
basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada. Ada dua tipe reaksi
berdasarkan hipersensitivitas yang menyebabkannya ;
1.Tipe1: disebabkan oleh hipersensitivitas seluler (Reversal Reaction)
2.Tipe2: disebabkan oleh hipersensitivitas humoral (Eritema Leprosum Nodosum)
Manifestasi / gambaran klinis reaksi kusta:

18
REAKSI TIPE 1
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Lesi kulit yang telah ada Lesi yang telah ada menjadi
dan menjadi eritematosa. eritematosa, timbul lesi baru
yang kadang-kadang disertai
panas dan malaise

Saraf Membesar, tidak nyeri, Membesar, nyeri, fungsi


fungsi tidak terganggu, terganggu, berlangsung lebih
berlangsung kurang dari 6 dari 6 minggu.
minggu.

Kulit dan saraf Lesi yang telah ada menjadi Lesi kulit yang eritematosa
lebih eritematosa, nyeri pada disertai ulserasi atau edem
saraf berlangsung kurang pada tangan / kaki. Saraf
dari 6 minggu. membesar, nyeri, dan
fungsinya terganggu,
Berlangsung sampai 6 minggu
atau lebih.

REAKSI TIPE 2
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Timbul sedikit nodus Banyak nodus yang nyeri


yangbeberapadiantaranya terj dan
adi ulserasi. Disertai demam mengalamt ulserasi disert
ringan dan malaise. ai demam tinggi dan
malaise.

Saraf Saraf membesar tetapi nyeri Saraf


dan fungsinya tidak terganggu. membesar, nyeri, dan
fungsinya terganggu.

Mata Tidak ada gangguan Nyeri, penurunan visus, dan


merah di sekitar limbus.

Testis Lunak, tidak nyeri. Lunak, nyeri, dan membesar.

Kulit, saraf mata, Gejalanya seperti Gejalanya seperti tersebut


dan testis bersama – tersebut diatas. diatasdisertai
sama keadaan sakityang keras dan
nyeri yang sangat.

19
1.12 Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.Kesembuhan bergantung
pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan.Terkadang asien dapat mengalami kelumpuhan
bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun2.

20
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn.A

Umur/tanggal lahir : 67 tahun / 21 April 1962

JenisKelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Nelayan

Pendidikan : SD

Alamat : Jl. Betung Kecamatan Batang Kapas, Kabupaten

Pesisir Selatan

No HP : 082386312003

Status Perkawinan : Belum menikah

Negeri Asal : Pesisir Selatan

Agama : Islam

Suku : Minang

Tanggal Pemeriksaan : 6 Juni 2017

3.2 ANAMNESIS

Seorang pasien laki-laki usia 32 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M.

Djamil Padang pada tanggal 6 Juni 2017 dengan:

3.2.1 KELUHAN UTAMA

Muncul bercak-bercak merah yang semakin merah pada punggung tangan kanan,

punggung tangan kiri, paha kanan dan paha kiri yang mati rasa sejak 1 bulan yang lalu.

21
3.2.2 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

 Muncul bercak-bercak merah yang semakin merah pada punggung tangan kanan,

punggung tangan kiri, paha kanan dan paha kiri yang mati rasa sejak 1 bulan yang lalu.

Awalnya bercak merah muncul sebesar logam di tungkai bawah kiri sejak satu tahun yang

lalu kemudian bercak merah menyebar ke tungkai bawah kanan, lengan kiri dan kanan

disertai rasa panas dan kesemutan sejak ± 4 bulan yang lalu. Bercak tidak terasa gatal dan

semakin kemerahan sejak ± 1 bulan yang lalu.

 Pasien sebelumnya berobat ke puskesmas lalu dirujuk ke RSUD Painan beberapa hari

sebelum datang ke poliklinik kulit dan kelamin, dan pasien dianjurkan untuk langsung

berobat ke RSUP Dr. M. Djamil Padang ± 1 bulan yang lalu.

 Di RSUP Dr. M. Djamil Padang, pasien diberi obat oral MDT MB dan parasetamol, obat

sudah dimakan selama satu bulan. Pasien juga mendapatkan obat topical Tupepe yang

dioles dua kali sehari pada lesi namun pasien mengaku bahwa pasien hanya mengoles obat

saat ingat saja.

 Riwayat demam sebelumnya tidak ada

 Riwayat batuk tidak ada.

 Riwayat vaksinasi BCG saat kecil tidak diketahui.

 Riwayat sandal sering terlepas sendiri tanpa disadari ada sejak ± 3 bulan yang lalu.

 Riwayat menjatuhkan benda tanpa disadari ketika dipegang tidak ada.

 Riwayat mengalami luka yang tidak disadari tidak ada.

 Penglihatan berkurang tidak ada, mata berair tidak ada, riwayat tidak bisa menutup mata

tidak ada.

22
 Tidak ada riwayat kerontokan rambut dan bulu mata.

 Tidak ada riwayat kaku pada jari tangan dan kaki.

 Tidak ada riwayat lemah pada tungkai.

 Tidak ada riwayat nyeri sendi.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.

 Riwayat batuk-batuk disangkal.

Riwayat Penyakit keluarga/atopi/alergi

- Riwayat bersin-bersin pagi hari tidak ada.

- Riwayat alergi makanan tidak ada.

- Riwayat alergi obat tidak ada.

- Riwayat asma tidak ada.

- Riwayat kaligata tidak ada.

- Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat atopi seperti yang disebutkan di

atas.

Riwayat Sosio-Ekonomi

- Pasien berdomisili di Lubuk Gambia kecamatan Bayang, Pesisir Selatan tinggal bersama

ayah, ibu, kakak, adik, adik ipar, dan keponakan.

- Pasien mengatakan bahwa kakak kandung pasien menderita keluhan yang sama seperti

bercak kemerahan dan terasa baal seperti pada pasien sejak 2 tahun yang lalu.

Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

23
Kesadaran : Komposmentis kooperatif

Nadi : 90x/menit

Berat Badan : 48 kg

Tinggi badan : 165 cm

Status gizi : Berat badan kurang

Suhu : Afebris

Frekuensi Nafas : 20x/ menit

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Kuku : Tidak ditemukan kelainan

Rambut : Tidak mudah rontok, botak setempat tidak ada

KGB : Tidak ada pembesaran KGB

Pemeriksaan thorak : Diharapkan dalam batas normal

Pemeriksaan abdomen : Diharapkan dalam batas normal

Status Dermatologikus

Lokasi : Tungkai kanan, tungkai kiri, lengan kanan, lengan kiri, paha kiri dan paha kanan

Distribusi : Regional

Bentuk : Tidak khas

Susunan : Tidak khas

Batas : Tegas dan Tidak tegas

Ukuran : Plakat

Efloresensi : Plak eritem, makula hipopigmentasi, punch out, skuama

24
Foto

25
26
27
Status Venerologikus : Diharapkan dalam batas normal

Kelainan selaput : Diharapkan dalam batas normal

Kelainan kuku : Jaringan sekitar kuku tidak ditemukan kelainan

Kelainan rambut : Tidak mudah rontok, botak setempat tidak ada

Kelainan Kelenjar Limfe : Tidak terdapat pembesaran KGB

Pemeriksaan Sensibilitas:

 Rasa raba : Hipoestesi pada kedua lesi tangan dan lesi tungkai

 Rasa tusuk : Hipoestesi pada kedua lesi tangan dan lesi tungkai

 Rasa suhu : Hipoestesi pada kedua lesi tangan dan lesi tungkai

Pembesaran Saraf Perifer:

 N. aurikularis magnus D/S : Tidak ada pembesaran

 N. ulnaris D/S : Tidak ada pembesaran

 N. peroneus lateral D/S : Tidak ada pembesaran

 N. tibialis posterior D/S : Tidak ada pembesaran

Pemeriksaan Motoris:

 M. orbicularis oculi : 5/5

 M. abductor digiti minimi : 5/5

 M. interoseous dorsalis : 5/5

 M. abductor pollicis brevis : 5/5

 M. tibialis anterior : 5/5

Pemeriksaan kecacatan :

 Mutilasi : tidak ada

 Atrofi otot : tidak ada

28
 Xerosis kutis : ada

 Ulkus trofik : tidak ada

 Madarosis : tidak ada

 Lagoftalmus : tidak ada

 Claw hand : tidak ada

 Wrist drop : tidak ada

 Dropped foot : tidak ada

 Facies leonina : tidak ada

Resume

Seorang pasien laki-laki usia 32 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin

RSUP Dr. M.Djamil Padang pada tanggal 6 Juni 2017 dengan keluhan utama muncul bercak-

bercak merah yang semakin merah pada punggung tangan kanan, punggung tangan kiri, paha

kanan dan paha kiri yang mati rasa sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya bercak merah muncul sebesar

logam di tungkai bawah kiri sejak satu tahun yang lalu kemudian bercak merah menyebar ke

tungkai bawah kanan, lengan kiri dan kanan disertai rasa panas dan kesemutan sejak ± 4 bulan

yang lalu. Bercak tidak terasa gatal dan semakin kemerahan sejak ± 1 bulan yang lalu. Riwayat

sandal sering terlepas sendiri tanpa disadari ada sejak ± 3 bulan yang lalu. Pasien rujukan dari

RSUD Painan. Di RSUP Dr. M. Djamil Padang, pasien diberi obat oral MDT MB, dan

parasetamol, obat sudah dimakan selama satu bulan. Pasien juga mendapatkan obat topical Tupepe

yang dioles dua kali sehari pada lesi. Pasien mengatakan bahwa kakak kandung pasien menderita

keluhan yang sama seperti bercak kemerahan dan terasa baal seperti pada pasien sejak 2 tahun

yang lalu.

29
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologikus dengan lokasi tungkai kanan,

tungkai kiri, lengan kanan, lengan kiri, paha kiri dan paha kanan, dengan distribusi regional, bentuk

dan susunan yang tidak khas, batas tegas dan tidak tegas, ukuran plakat dan efloresensi berupa

plak eritem, makula hipopigmentasi, punch out, skuama. Pada pemeriksaan sensibilitas raba, tusuk

dan suhu didapatkan hipoestesi pada kedua lesi tangan dan lesi tungkai.

Diagnosis Kerja

Morbus Hansen tipe BB dengan reaksi reversal ringan

Diagnosis Banding

 Morbus Hansen tipe BT dengan reaksi reversal ringan

 Tinea Korporis pada bagian paha kanan dan paha kiri

Pemeriksaan Rutin

 Pemeriksaan BTA

o Pada kedua aurikula : 5+

o Pada lesi di tangan : 5+

 Pemeriksaan KOH

Pada pemeriksaan KOH tidak ditemukan hifa panjang

Pemeriksaan Anjuran

Pemeriksaan biopsi histopatologik

Diagnosis

Morbus Hansen tipe BT dengan reaksi reversal ringan

Tatalaksana

Terapi Umum:

30
 Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit kusta bukan merupakan penyakit kutukan,

melainkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, dan dapat menular bila terjadi kontak

dalam waktu lama (beberapa tahun).

 Sering memeriksa kaki jika ada yang luka atau lecet sedikit apapun.

 Segera rawat dan istirahatkan kaki (jangan diinjakkan) jika ada luka, memar atau lecet.

 Kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah-pecah.

 Menganjurkan kepada pasien untuk kontrol secara teratur.

 Edukasi anggota keluarga yang serumah agar diperiksa karena kusta dapat muncul tanpa

gejala klinis yang jelas.

 Menjaga kebersihan kulit dengan mandi 2 kali sehari.

Terapi Khusus:

 Regimen MDT MB

Minum depan petugas : Minum di rumah


- Rifampisin 600mg/bulan - DDS 100mg/hari
- DDS 100mg/bulan - Klofazimine 50mg/hari
- Klofazimine 300mg/bulan
 Neurodex 3x1 tab

 Paracetamol 500mg 3xsehari

 Krim Tupepe 10% 2xsehari

Prognosis

 Quo ad Vitam : Bonam

 Quo ad Sanam : Bonam

 Quo ad Functionam : Dubia ad bonam

 Quo ad kosmetikum : Dubia ad bonam

31
dr. Haura Rismita
SIP : 1310311002017

Praktek Umum
Hari : Senin – Jum’at
Jam : 17.00-20.00
Alamat : Jl. Perintis kemerdekaan no. 51Padang
No Telp : (0751) 64123

Padang, 6 Juni 2017

R/ MDT MB paket 1 bulan No.I


S 1 dd tab I
R/ Neurodex tab No. XC
S 3 dd tab I
R/ Paracetamol 500mg tab No. XXX
S3dd tab I
R/ Tupepe 10% krim No.II
S u e 2x/hari pada kulit kering di kedua tangan dan tungkai

Pro : Tn. ZA
Umur : 32 tahun
Alamat : Pesisir Selatan

32
BAB IV
DISKUSI

Telah diperiksa seorang pasien laki-laki usia 67 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan

Kelamin RSUP Dr. M.Djamil Padang pada tanggal 23 Mei 2019 dengan keluhan utama muncul

bercak-bercak merah yang semakin merah pada punggung tangan kanan, punggung tangan kiri,

paha kanan dan paha kiri yang mati rasa sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya bercak merah muncul

sebesar logam di tungkai bawah kiri sejak satu tahun yang lalu kemudian bercak merah menyebar

ke tungkai bawah kanan, lengan kiri dan kanan disertai rasa panas dan kesemutan sejak ± 4 bulan

yang lalu. Bercak tidak terasa gatal dan semakin kemerahan sejak ± 1 bulan yang lalu. Bercak mati

rasa merupakan salah satu tanda kardinal untuk mendiagnosis morbus hansen.

Berdasarkan anamnesis, pasien dicurigai menderita morbus hansen, yaitu suatu penyakit

menular kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Sebagai penyakit yang tampilan

klinisnya berupa lesi polimorfik, perlu untuk mengidentifikasi dengan cermat lesi primer yang

ditemukan. Hal ini dikarenakan lesi yang ditemukan bisa jadi mirip dengan kondisi kelainan kulit

tertentu. Pada pasien ditemukan lesi primer berupa plak eritem dengan makula hipopigmentasi

ditengahnya, lesi seperti ini umum pada infeksi jamur, namun pada infeksi jamur lesi biasanya

gatal dan meluas karena terdapat invasi pada seluruh lapisan stratum korneum oleh jamur dan

aktivasi respon imun pejamu. Hal yang membedakan lesi pasien dengan infeksi jamur adalah lesi

tidak gatal dan terasa mati rasa (seperti yang sudah dijelaskan dalam tinjauan pustaka bahwa M.

leprae merupakan organisme intraseluler obligat yang menyerang saraf perifer sebagai afinitas

pertama).

Dari pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologikus dengan lokasi tungkai kanan,

tungkai kiri, lengan kanan, lengan kiri, paha kiri dan paha kanan, dengan distribusi regional, bentuk

33
dan susunan yang tidak khas, batas tegas dan tidak tegas, ukuran plakat dan efloresensi berupa

plak eritem, makula hipopigmentasi, punch out, skuama. Secara klinis, sifat lesi dan kerusakan

saraf dapat mengarahkan untuk menegakkan diagnosis ke arah tuberkuloid atau lepromatosa. Lesi

berbentuk makula yang dibatasi infiltrat, dengan permukaan kering bersisik, anestesia jelas,

berjumlah 1-5 lesi biasanya mengarahkan ke diagnosis tuberkuloid, sementara tipe lepromatosa

lesi akan lebih polimorfik dengan permukaan halus berkilat, dengan permukaan yang halus

berkilat, anestesia tidak ada sampai tidak jelas, berjumlah banyak (>5 lesi), dan biasanya tersebar

simetris, kerusakan saraf biasanya lebih luas. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan adanya

gangguan sensorik yang kurang jelas dan mengenai banyak cabang saraf sehingga dapat

didiagnosa untuk MH tipe Multibasiler, sedangkan pada pemeriksaan saraf perifer tidak

didapatkan adanya pembesaran saraf. Untuk menegakkan diagnosa MH berdasarkan minimal 1

dari 3 tanda cardinal, yaitu ada nya bercak kulit mati rasa, penebalan saraf tepi dan pemeriksaan

BTA. Untuk memastikan diagnosa pasien di lakukan pemeriksaan BTA dengan sampel di ambil

dari kedua cuping telinga dan di lesi. Pemeriksaan penunjang yaitu dilakukan adalah pemeriksaan

rutin basil tahan asam dengan pewarnaan Ziehl Neelsen didapatkan BTA 5+ pada kedua aurikula

dan lesi tangan . Berdasarkan kriteria diagnostik Ridley dan Jopling, hasil pemeriksaan BTA yang

positif pada morbus hansen adalah tipe multibasiler.

Pengobatan untuk penyakit ini harus cepat dan tepat, terapi yang diberikan pada pasien

didasarkan pada terapi sesuai rekomendasi WHO. Pada pasien ini diberikan MDT untuk

multibasilar. Tatalaksana yang diberikan kepada pasien berupa tatalaksana umum dan khusus.

Pada tatalaksana umum diberikan edukasi mengenai penyakit pasien, penularan, komplikasi yang

mungkin terjadi, selain itu diberikan pula edukasi mengenai pengobatan untuk kusta dengan benar

serta cara mencegah timbulnya komplikasi akibat adanya keadaan mati rasa pada kulit pasien.

34
Penatalaksanaan medikamentosa yang diberikan adalah multi drug therapy (MDT). Regimen

MDT diberikan sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi, memperpendek masa

pengobatan, mempercepat pemutusan mata rantai penularan. Regimen MDT yang diberikan untuk

pasien morbus hansen multibasiler pada pasien ini adalah Rifampisin 600 mg tiap bulan, DDS 100

mg/hari, Klofamizin 300 mg setiap bulan, diteruskan 50 mg/hari. Pengobatan diberikan sebanyak

12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:

Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI; 2015.h. 73-88.

2. Buxton K.P. ABC of Dermatology, 4th ed (BMJ Books); 2003.p.109-10.

3. Lewis S. Leprosy. Update 4 Februari 2010. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall, 19 Juni 2016.

4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Fritzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6th Edition.

Mc Graw Hill; 2008.h. 665-71.

5. World Health Organization. WHO model prescribing information: drug used in leprosy.

Diunduh dari: http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html, 13 Mei 2017.

6. Kementerian Kesehatan RI, Dierktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Kemenkes RI;

2012.

36

You might also like