Professional Documents
Culture Documents
MORBUS HANSEN
Oleh :
Pembimbing
2019
0
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Morbus Hansen atau kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang menular, disebabkan
oleh kuman Mycobacterium Leprae. kusta merupakan salah satu penyakit menular yang
menimbulkan masalah yang kompleks, meliputi segi medis hingga masalah sosial, ekonomi,
budaya, kemanan, dan ketahanan nasional. (kemenkes 2012
Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagin
petugas kesehatan karena kecacatan yang dapat ditimbulkannnya. Penyakit kusta pada umumnya
terdapat di negara-negara yang sedang berkembang termasuk salah satu negara tersebut Indonesia.
kemenkes
Kasus kusta selama periode 2008-2013 di Indonesia, angka penemuan kasus baru kusta
tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk. Mengalami
penurunan dari tahun 2011 sebanyak 3.167 jiwa. sedangkan angka
Kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 berjumlah 219.075 kasus dan paling banyak
ditemukan di regional Asia Tenggara (160.132). Jumlah kasus baru kusta yang ditemukan di
Indonesia berdasarkan data WHO tahun 2011 adalah sebesar 20.023 kasus dengan prevalensi awal
tahun 2012 sebesar 23.169 kasus. Angka kejadian kusta di Indonesia dari tahun 2006 hingga 2011
senantiasa mengalami peningkatan.3 Kasus kusta selama periode 2008-2013 di Indonesia, angka
penemuan kasus baru kusta tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000
penduduk. Mengalami penurunan dari tahun 2011 sebanyak 3.167 jiwa. pada tahun 2011-2013
terlihat bahwa sebanyak 14 provindo (42,4%) termasuk dalam bebas kusta tinggi. sedangkan 19
provinsi lainnya (57,6%) termasuk dalam beban kusta rendah. hampir seluruh provinsi di bagian
timur indonesia merupakan daerah dengan beban kusta tinggi. Penyakit kusta dapat mengenai
hampir semua kelompok usia, dari bayi hingga usia lanjut. Selain itu, penyakit ini juga dapat
mengenai laki-laki maupun perempuan serta memiliki kaitan dengan status sosial ekonomi
seseorang.2,3
Permasalahan kusta tidak hanya sekedar menyembuhkan penyakit kusta namun lebih kepada
penyebaran penyakit dan kejadian kecacatan yang terjadi pada penderita kusta. Oleh karena itu,
1
pemerintah telah merancang program-program nasional untuk penatalaksanaan kusta di Indonesia
dengan dibantu oleh WHO.3
Masih tingginya kasus kusta di Indonesia serta adanya peningkatan kasus baru setiap
tahunnya, termasuk Sumatera Barat belum bebas kusta sehingga kusta salah satu permasalahan
yang membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman
yang baik mengenai penyakit ini, baik mengenai patogenesis dan penatalaksanaannya, serta
masalah penularan dan pencegahan penularan serta kecacatannya. Maka dari itu penulis tertarik
untuk mengangkatkan kasus kusta dalam penulisan laporan kasus kali ini.
2. Batasan Masalah
Case report ini akan membahas mengenai kasus kusta dari definisi, epidemiologi, etiologi,
Patogenesis, klasifikasi dan manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, diagnosis
banding, tatalaksana, prognosis, komplikasi, pencegahan
3. Tujuan Penulisan
Penulisan Case Report Session ini bertujuan untuk memahami dan menambah pengetahuan
tentang Kusta.
4. Metode Penulisan
Penulisan Case Report Session ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu
kepada berbagai literatur dan kepustakaan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Morbus Hansen (MH), yang dikenal juga dengan sebutan kusta dan lepra, adalah penyakit
kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan bermanifestasi pada kulit, saraf perifer,
2.2 Etiologi
Morbus Hansen disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Kuman ini merupakan
gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, tahan asam, berbentuk batang, dengan ukuran 1-
8µ, lebar 0,2-0,5 µ, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu. Bakteri ini yang
terutama berkembangbiak dalam sel Schwann saraf, makrofag kulit, dan tidak dapat dikultur dalam
media buatan. Distribusi lesi yang secara klinik predominan pada kulit, mukosa hidung, dan saraf
perifer superfisial menunjukkan pertumbuhan basil ini cenderung menyukai temperatur kurang
dari 37ºC. Masa belah diri kuman ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan
kuman lain yaitu 12-21 hari, oleh karena itu masa tunas menjadi lama yaitu rata-rata 2-5 tahun.2
2.3 Epidemiologi
Kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 berjumlah 219.075 kasus. Jumlah tersebut
paling banyak ditemukan di regional Asia Tenggara (160.132) diikuti regional Amerika (36.832),
regional Afrika (12.673), dan sisanya tersebar di regional lain di dunia.3 Jumlah kasus baru kusta
yang ditemukan di Indonesia berdasarkan data WHO tahun 2011 adalah sebesar 20.023 kasus
dengan prevalensi awal tahun 2012 sebesar 23.169 kasus. Angka kejadian kusta di Indonesia dari
3
Perkembangan kusta di Indonesia dilihat dari periode 2008-2013, angka penemuan kasus baru
pada tahun 2013 merupakan temuan yang terendah yaitu 6,79 per 100.000 penduduk. Angka
prevalensi kusta berkisar antara 0,79-0,96 per 10.000 penduduk. Data untuk kasus pada anak dari
tahun 2008-2013, pada tahun 2012 merupakan angka tertinggi yaitu 11,40 per 100.000 penduduk.
Berdasarkan gambar 2.1 di antara tahun 2011-2013 terlihat sebanyak 14 provinsi termasuk
kedalam beban kusta tinggi, dan 19 provinsi termasuk beban kusta rendah.2
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi
lingkungannya, didapatkan bahwa ada pengaruh etnik dalam distribusi tipe kusta. Misalnya, di
Myanmar, kejadian kusta tipe lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan
etnik India. Begitu pula di Malaysia, dimana kejadian kusta tipe lepromatosa lebih banyak terjadi
pada etnik Cina dibandingkan etnik Melayu atau India.3 Faktor sosial ekonomi juga berperan
dalam kejadian kusta. Adanya peningkatan sosial ekonomi, akan menurunkan bahkan
Penyakit kusta dapat mengenai semua kelompok usia, berkisar antara bayi sampai usia lanjut
(3 minggu sampai lebih dari 70 tahun) dengan kejadian terbanyak pada usia produktif.3 Jenis
kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, dapat terkena kusta, dengan perbandingan laki-laki
4
2.4 Klasifikasi
Terdapat beberapa jenis klasifikasi MH sebagaimana yang tertera pada tabel berikut ini.1
mungkin berubah.Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid borderline (BB), dan borderline
lepramatous (BL) merupakan bentuk yang tidak stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai derajat
Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari pemeriksaan slit skin
smear.Tipe TT dan BT memiliki jumlah BTA yang rendah oleh karena itu diklasifikasikan ke
dalam pausibasilar. Sementara tipe BB, BL, dan LL memiliki jumlah BTA yang tinggi sehingga
2.5 Patogenesis
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae, disamping itu sel
Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi,
bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi.
Akibatnya aktifitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.2,6
Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa
5
penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian
tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Bila kuman masuk kedalam tubuh maka
M. Leprae mempunyai patogenesis dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang
mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat
sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggunggah timbulanya reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit
kusta disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi
Seseorang yang terinfeksi M.leprae gejala klinis yang akan timbul tgejala klinis yang akan
timbul tergantung dari respon tubuh terhadap mikroorganisme tersebut. Apabila imunitas seluler
orang tersebut bagus dan kuat, maka gejala klinis yang terjadi adalah MH tipe tuberkuloid. Apabila
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dengan kulit penderita atau melalui
inhalasi, kemudian masuk melalui pembuluh limfe dan darah kemudian mencapai target dari basal
antara lain :3
6
Apabila imunitas seluler penderita tersebut tinggi ditandai dengan uji lepromin yang positif
maka dalam waktu yang singkat sel-sel radang akan datang ke sekitar makrofag atau sel Schwann
tersebut. Tujuan sel radang tersebut adalah memfagosit kuman-kuman dan mengaktifkan
makrofag untuk menghancurkan kuman M. leprae. Namun, efek samping dari peradangan tersebut
akan menyebabkan penekanan pada saraf sehingga proses anestesinya terjadi lebih cepat dan berat.
Peradangan yang terjadi hanya sekitar sel Schwann yang terbatas pada saraf kulit saja, tidak masuk
ke pembuluh darah sehingga lesinya sedikit dan asimetris, berbatas tegas karena dibatasi oleh sel
radang, kelenjar ekrin dan pilosebaseus akan tertekan yang menyebabkan keringat berkurang, kulit
Sistem imun seluler yang rendah dan ditandai dengan uji lepromin negative, maka proses
fagositasis yang terjadi lemah, sehingga kuman akan bermultiplikasi lebih banyak di dalam sel
makrofag atau sel Schwann. Makrofag akan berubah menjadi sel Virchow atau Foam cell yang
mengandung banyak kuman basil. Apabila kuman basil sudah terlalu banyak Foam cell akan
pecah sehingga kuman basil akan keluar, lalu di tangkap oleh sel Schwann yang lain sehingga
terjadi penyebaran sesuai dengan jaras saraf tepi. Kemudian kuman basil akan masuk kedalam
aliran darah dan menimbulkan lesi pada kulit dengan jumlah banyak, simteris, batas tegas, dengan
Pada MH tipe ini klinisnya berada di antara tipe tuberkuloid dan lepromatosa.
7
2.6 Manifestasi klinis
Secara klinis, sifat lesi (jumlah, morfologi, distribusi, permukaan, anestesia) dan kerusakan
saraf dapat mengarahkan kita untuk menegakkan diagnosis kearah tuberkuloid atau lepromatosa.
Semakin ke arah tuberkuloid, biasanya ditandai dengan lesi berbentuk makula saja / makula yang
dibatasi infiltrat dengan permukaan kering bersisik, anestesia jelas, berjumlah 1-5, tersebar
asimetris, kerusakan saraf biasanya terlokalisasi sesuai letak lesinya. Di sisi lain, semakin
mengarah ke tipe lepromatosa, lesi akan lebih polimorfik (makula, infiltrat difus, papul, nodus)
dengan permukaan yang halus berkilat, anestesia tidak ada sampai tidak jelas, berjumlah banyak
(>5 lesi), dan biasanya tersebar simetris, kerusakan saraf biasanya lebih luas. 4,6
Karena pemeriksaan slit skin smear tidak selalu tersedia, maka pada tahun 1995 WHO
menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan lesi di kulit dan kerusakan saraf.3
PB MB
1.Lesi kulit (makula yang 1-5 lesi > 5 lesi
datar, papul yang Hipopigmentasi/eritema Distribusi simetris
meninggi, infiltrat, plak Distribusi tidak simetris
eritem, nodus)
8
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa
makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regrasi atau
central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata.Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak
adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman
MH.1,7,8
9
5. Tipe Lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas
tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.Distribusi lesi khas,
yakni di wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan di badan mengenai bagian
yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah.1
Pada stadium lanjut terdapat penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis
muka menjadi kasar, dan cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai dengan madarosis,
iritis, keratitis.Lebih lanjut dapat terjadi deformitas hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar
limfe, orkitis yang selanjutnya dapat terjadi atrofi testis.1
Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anaesthesia.Bila
menjadi progresif, muncul makula dan papula baru sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus.
Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang
menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.1
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit
tersebut.yaitu:8,9,10
a. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia
b. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak.
c. Adanya pelebaran saraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, auricularis, magnus serta
peroneus.
d. Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
e. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit
f. Alis rambut rontok
g. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leonina (muka singa).
10
2.7 Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan gejala-gejala utama
atau “Cardinal signs”, yaitu :
a. Lesi kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berupa bercak keputih-putihan (hipopigmentsi) atau kemerahan
(eritematous) yang mati rasa.
b. Penebalan saraf yang disertai dengan gangguan fungsi
Penebalan gangguan fungsi saraf yang terjadi merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
tepi (neuritis perifer) dan tergantung area yang dilayani oleh saraf tersebut, dan dapa berupa:
- Gangguan fungsi sensorik : mati rasa/ kurang rasa
- Gangguan fungsi motorik : paresis atau paralysis
- Gangguan fungsi otonom : kulit kering.
c. Basil tahan asam (BTA)
Bahan pemeriksaan diambil dari kerokan kulit (skin smear) pada cuping telinga serta bagian
aktif suatu lesi kulit. Bila pada kulit atau saraf seseorang ditemukan kelainan yang tidak khas
untuk penyakit kulit lain dan menurut pengalaman kemungkinan besar mengarah ke kusta,
maka kita dapat menetapkan seseorang tersebut sebagai suspek kusta.
Untuk menegakkan diagnosis kusta, diperlukan paling sedikit satu tanda utama.Tanpa tanda
utama, seseorang hanya boleh ditetapkan sebagai tersangka (suspek) kusta. Saraf perifer yang
perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak. Gejala-gejala kerusakan
saraf adalah :
N. ulnaris :
a. Anestesi pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
b. Clawing kelingking dan jari manis
c. Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis media.
11
N. medianus:
a. Anesteshia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tangah.
b. Tidak mampu aduksi ibu jari.
c. Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.
d. Ibu jari kontraktur.
e. Trofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
N. Radialis:
a. Anesthesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk.
b. Tangan gantung
c. Tak mampu ekstensi jari-jari
N. Poplitea lateralis:
a. Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis.
b. Kaki gantung
c. Kelemahan otot peroneus.
N. Tibialis Posterior:
a. Anesthesia telapak kaki
b. Claw toes
c. Paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis.
N.Facialis:
a. Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus.
b. Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir.
N. Trigeminus:
a. Anesthesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
12
1.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakterioskopik1
a. Pemeriksaan BTA dengan Ziehl-Nielsen
Bahan pemeriksaan diambil dari 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dan 2 atau 4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif.
b. Indeks Morfologi
Untuk menentukan persentasi BTA hidup atau mati
Rumus:
Jumlah BTA solid x 100 % = X %
Jumlah BTA solid + non solid
Guna:Untuk melihat keberhasilan terapi, melihat resistensi kuman BTA, dan melihat
infeksiositas penyakit
c. Indeks Bakteri
Untuk menentukan klasifikasi penyakit Lepra, dengan melihat kepadatan BTA tanpa
melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/ granular).
Tabel 1.3 Indeks Bakteri1
0 BTA -
1 – 10/ 100 L.P +1
1 – 10/ 10 L.P +2
1 – 10/ 1 L.P +3
10 – 100/ 1 L.P +4
100 – 1000/ 1 L.P +5
> 1000/ 1 L.P +6
2. Pemeriksaan histopatologik1
Untuk membedakan tipe TT & LL
a. Pada tipe TT ditemukan tuberkel (Giant cell, limfosit)
b. Pada tipe LL ditemukan sel busa (Virchow cell/ sel lepra) yi histiosit dimana di dalamnya
BTA tidak mati, tapi berkembang biak membentuk gelembung. Ditemukan lini tenang
(subepidermal clear zone).
13
3. Pemeriksaan serologik1
a. Tes ELISA
b. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Partikel Aglutination)
c. ML dipstick
2.8 Pengobatan
Paket terapi multiobat (MDT/Multi Drug Therapy)1,4
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan
dua tipe terapi multiobat standar.Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta
lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan
untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson
14
Berikut merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT:
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibawah ini:
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe
Berikut merupakan regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang
direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:
15
Keteranga
Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th
n
Minum
Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln didepan
petugas
Minum
25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln didepan
Dapson petugas
Berdasarka
Minum
n berat 25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln
dirumah
badan
Minum
100 mg/bln 150 mg/bln 300 mg/bln didepan
petugas
Lampren
50 mg
50 mg 2x 50 mg Minum
setiap 2
seminggu perhari dirumah
hari
Tabel 1.5 Pengobatan Morbus Hansen Multibasiler
Keterangan:
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
3 tablet lampren @ 100mg (300 mg)
1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet lampren50 mg
1 tablet dapson/DDS 100 mg
satu blister untuk satu bulan. Dibutuhkan 6 blister ya g diminum selam 6-9 bulandosis MDT MB
untuk anak (10-15 tahun).
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminumdi depan petugas)
2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet lampren 50 mg selang sehari
1 tablet dapson/DDS 50 mg
16
Satu blister untuk satu bulan.dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan
Monitoring dan Evaluasi Pengobatan
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat
2. Apabila pasien terlambat mengambil obat, paling lama dalam satu bulan harus dilakukan
pelacakan
3. RFT dapat dinyatakn setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan labolatorium.
Setelah RFT pasien dikeluarkan dari register kohort
4. Pasien yang sudah RFT namun memiliki faktor risiko:
Cacat tingkat 1 atau 2
Pernah mengalami reaksi
BTA pada awal pengobatan posisitf >3 (ada nodul atau infiltrat) dilakukan
pengamatan secara resmi
5. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan
dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
6. Selama pengobatan PB, pemeriksaan klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan
pada akhir pengobatan. Pemeriksaan minimal dilakukan setiap tahun selama 2 tahun, jika
tidak ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau disebut release from control (RFC)
7. Pasien MB yang telah mendapatkan pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18
bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
8. Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) pada MB secara klinis dan
bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Jika bakterioskopis tetap negatif dan
klinis keaktifan baru, maka dinyatakan RFC
9. Penderita MB yang resisten terhadap rifampisin biasanya akan resisten pula dengan DDS
sehingga hanya bisa mendapat klofazimin (lampren). Dalam hal ini rejimen pengobatan
menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6
bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg
setiap hari selama 18 bulan.
17
10. Default
Jika seorang pasien PB tidak mengambil minum obatnya lebih dari 3 bulan dan pasien MB
lebih dari 6 bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya untuk memnyelesaikan
pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka yang bersangkutan dinyatakan default
11. Relaps/kambuh
Pasien dinyatakan relaps bila setelah RFT timbul lesi baru pada kulit.untuk menyatakanrelaps
harus dikonfirmasikan kepada dokter kusta yang memiliki kemampuan klinis dalam
mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi
peningkatan IB 2+ atau lebih bila dibandingkan dengan saat diagnosis. Pasien tersangka relaps
sebaiknya dikonsultasikan/dirujuk untuk mendapat kepastian diagnosis sebelum diobati.
12. Indikasi pengeluaran pasien dari register kohort adalah: RFT, meninggal, pindah, salah
diagnosis, ganti klasifikasi, default.
13. Pada keadaan-keadaan khusus (misalnya akses yang sulit ke pelayanan kesehatan) dapat
diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan penyuluhan lengkap mengenai efek
samping, tanda-tanda reaksi, agar secepatnya kembali kepelayanan kesehatan.
18
REAKSI TIPE 1
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Lesi kulit yang telah ada Lesi yang telah ada menjadi
dan menjadi eritematosa. eritematosa, timbul lesi baru
yang kadang-kadang disertai
panas dan malaise
Kulit dan saraf Lesi yang telah ada menjadi Lesi kulit yang eritematosa
lebih eritematosa, nyeri pada disertai ulserasi atau edem
saraf berlangsung kurang pada tangan / kaki. Saraf
dari 6 minggu. membesar, nyeri, dan
fungsinya terganggu,
Berlangsung sampai 6 minggu
atau lebih.
REAKSI TIPE 2
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
19
1.12 Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.Kesembuhan bergantung
pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan.Terkadang asien dapat mengalami kelumpuhan
bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun2.
20
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Tn.A
JenisKelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Nelayan
Pendidikan : SD
Pesisir Selatan
No HP : 082386312003
Agama : Islam
Suku : Minang
3.2 ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki usia 32 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M.
Muncul bercak-bercak merah yang semakin merah pada punggung tangan kanan,
punggung tangan kiri, paha kanan dan paha kiri yang mati rasa sejak 1 bulan yang lalu.
21
3.2.2 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Muncul bercak-bercak merah yang semakin merah pada punggung tangan kanan,
punggung tangan kiri, paha kanan dan paha kiri yang mati rasa sejak 1 bulan yang lalu.
Awalnya bercak merah muncul sebesar logam di tungkai bawah kiri sejak satu tahun yang
lalu kemudian bercak merah menyebar ke tungkai bawah kanan, lengan kiri dan kanan
disertai rasa panas dan kesemutan sejak ± 4 bulan yang lalu. Bercak tidak terasa gatal dan
Pasien sebelumnya berobat ke puskesmas lalu dirujuk ke RSUD Painan beberapa hari
sebelum datang ke poliklinik kulit dan kelamin, dan pasien dianjurkan untuk langsung
Di RSUP Dr. M. Djamil Padang, pasien diberi obat oral MDT MB dan parasetamol, obat
sudah dimakan selama satu bulan. Pasien juga mendapatkan obat topical Tupepe yang
dioles dua kali sehari pada lesi namun pasien mengaku bahwa pasien hanya mengoles obat
Riwayat sandal sering terlepas sendiri tanpa disadari ada sejak ± 3 bulan yang lalu.
Penglihatan berkurang tidak ada, mata berair tidak ada, riwayat tidak bisa menutup mata
tidak ada.
22
Tidak ada riwayat kerontokan rambut dan bulu mata.
- Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat atopi seperti yang disebutkan di
atas.
Riwayat Sosio-Ekonomi
- Pasien berdomisili di Lubuk Gambia kecamatan Bayang, Pesisir Selatan tinggal bersama
- Pasien mengatakan bahwa kakak kandung pasien menderita keluhan yang sama seperti
bercak kemerahan dan terasa baal seperti pada pasien sejak 2 tahun yang lalu.
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
23
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Nadi : 90x/menit
Berat Badan : 48 kg
Suhu : Afebris
Status Dermatologikus
Lokasi : Tungkai kanan, tungkai kiri, lengan kanan, lengan kiri, paha kiri dan paha kanan
Distribusi : Regional
Ukuran : Plakat
24
Foto
25
26
27
Status Venerologikus : Diharapkan dalam batas normal
Pemeriksaan Sensibilitas:
Rasa raba : Hipoestesi pada kedua lesi tangan dan lesi tungkai
Rasa tusuk : Hipoestesi pada kedua lesi tangan dan lesi tungkai
Rasa suhu : Hipoestesi pada kedua lesi tangan dan lesi tungkai
Pemeriksaan Motoris:
Pemeriksaan kecacatan :
28
Xerosis kutis : ada
Resume
Seorang pasien laki-laki usia 32 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP Dr. M.Djamil Padang pada tanggal 6 Juni 2017 dengan keluhan utama muncul bercak-
bercak merah yang semakin merah pada punggung tangan kanan, punggung tangan kiri, paha
kanan dan paha kiri yang mati rasa sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya bercak merah muncul sebesar
logam di tungkai bawah kiri sejak satu tahun yang lalu kemudian bercak merah menyebar ke
tungkai bawah kanan, lengan kiri dan kanan disertai rasa panas dan kesemutan sejak ± 4 bulan
yang lalu. Bercak tidak terasa gatal dan semakin kemerahan sejak ± 1 bulan yang lalu. Riwayat
sandal sering terlepas sendiri tanpa disadari ada sejak ± 3 bulan yang lalu. Pasien rujukan dari
RSUD Painan. Di RSUP Dr. M. Djamil Padang, pasien diberi obat oral MDT MB, dan
parasetamol, obat sudah dimakan selama satu bulan. Pasien juga mendapatkan obat topical Tupepe
yang dioles dua kali sehari pada lesi. Pasien mengatakan bahwa kakak kandung pasien menderita
keluhan yang sama seperti bercak kemerahan dan terasa baal seperti pada pasien sejak 2 tahun
yang lalu.
29
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologikus dengan lokasi tungkai kanan,
tungkai kiri, lengan kanan, lengan kiri, paha kiri dan paha kanan, dengan distribusi regional, bentuk
dan susunan yang tidak khas, batas tegas dan tidak tegas, ukuran plakat dan efloresensi berupa
plak eritem, makula hipopigmentasi, punch out, skuama. Pada pemeriksaan sensibilitas raba, tusuk
dan suhu didapatkan hipoestesi pada kedua lesi tangan dan lesi tungkai.
Diagnosis Kerja
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan BTA
Pemeriksaan KOH
Pemeriksaan Anjuran
Diagnosis
Tatalaksana
Terapi Umum:
30
Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit kusta bukan merupakan penyakit kutukan,
melainkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, dan dapat menular bila terjadi kontak
Sering memeriksa kaki jika ada yang luka atau lecet sedikit apapun.
Segera rawat dan istirahatkan kaki (jangan diinjakkan) jika ada luka, memar atau lecet.
Kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah-pecah.
Edukasi anggota keluarga yang serumah agar diperiksa karena kusta dapat muncul tanpa
Terapi Khusus:
Regimen MDT MB
Prognosis
31
dr. Haura Rismita
SIP : 1310311002017
Praktek Umum
Hari : Senin – Jum’at
Jam : 17.00-20.00
Alamat : Jl. Perintis kemerdekaan no. 51Padang
No Telp : (0751) 64123
Pro : Tn. ZA
Umur : 32 tahun
Alamat : Pesisir Selatan
32
BAB IV
DISKUSI
Telah diperiksa seorang pasien laki-laki usia 67 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Dr. M.Djamil Padang pada tanggal 23 Mei 2019 dengan keluhan utama muncul
bercak-bercak merah yang semakin merah pada punggung tangan kanan, punggung tangan kiri,
paha kanan dan paha kiri yang mati rasa sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya bercak merah muncul
sebesar logam di tungkai bawah kiri sejak satu tahun yang lalu kemudian bercak merah menyebar
ke tungkai bawah kanan, lengan kiri dan kanan disertai rasa panas dan kesemutan sejak ± 4 bulan
yang lalu. Bercak tidak terasa gatal dan semakin kemerahan sejak ± 1 bulan yang lalu. Bercak mati
rasa merupakan salah satu tanda kardinal untuk mendiagnosis morbus hansen.
Berdasarkan anamnesis, pasien dicurigai menderita morbus hansen, yaitu suatu penyakit
menular kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Sebagai penyakit yang tampilan
klinisnya berupa lesi polimorfik, perlu untuk mengidentifikasi dengan cermat lesi primer yang
ditemukan. Hal ini dikarenakan lesi yang ditemukan bisa jadi mirip dengan kondisi kelainan kulit
tertentu. Pada pasien ditemukan lesi primer berupa plak eritem dengan makula hipopigmentasi
ditengahnya, lesi seperti ini umum pada infeksi jamur, namun pada infeksi jamur lesi biasanya
gatal dan meluas karena terdapat invasi pada seluruh lapisan stratum korneum oleh jamur dan
aktivasi respon imun pejamu. Hal yang membedakan lesi pasien dengan infeksi jamur adalah lesi
tidak gatal dan terasa mati rasa (seperti yang sudah dijelaskan dalam tinjauan pustaka bahwa M.
leprae merupakan organisme intraseluler obligat yang menyerang saraf perifer sebagai afinitas
pertama).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologikus dengan lokasi tungkai kanan,
tungkai kiri, lengan kanan, lengan kiri, paha kiri dan paha kanan, dengan distribusi regional, bentuk
33
dan susunan yang tidak khas, batas tegas dan tidak tegas, ukuran plakat dan efloresensi berupa
plak eritem, makula hipopigmentasi, punch out, skuama. Secara klinis, sifat lesi dan kerusakan
saraf dapat mengarahkan untuk menegakkan diagnosis ke arah tuberkuloid atau lepromatosa. Lesi
berbentuk makula yang dibatasi infiltrat, dengan permukaan kering bersisik, anestesia jelas,
berjumlah 1-5 lesi biasanya mengarahkan ke diagnosis tuberkuloid, sementara tipe lepromatosa
lesi akan lebih polimorfik dengan permukaan halus berkilat, dengan permukaan yang halus
berkilat, anestesia tidak ada sampai tidak jelas, berjumlah banyak (>5 lesi), dan biasanya tersebar
simetris, kerusakan saraf biasanya lebih luas. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan adanya
gangguan sensorik yang kurang jelas dan mengenai banyak cabang saraf sehingga dapat
didiagnosa untuk MH tipe Multibasiler, sedangkan pada pemeriksaan saraf perifer tidak
dari 3 tanda cardinal, yaitu ada nya bercak kulit mati rasa, penebalan saraf tepi dan pemeriksaan
BTA. Untuk memastikan diagnosa pasien di lakukan pemeriksaan BTA dengan sampel di ambil
dari kedua cuping telinga dan di lesi. Pemeriksaan penunjang yaitu dilakukan adalah pemeriksaan
rutin basil tahan asam dengan pewarnaan Ziehl Neelsen didapatkan BTA 5+ pada kedua aurikula
dan lesi tangan . Berdasarkan kriteria diagnostik Ridley dan Jopling, hasil pemeriksaan BTA yang
Pengobatan untuk penyakit ini harus cepat dan tepat, terapi yang diberikan pada pasien
didasarkan pada terapi sesuai rekomendasi WHO. Pada pasien ini diberikan MDT untuk
multibasilar. Tatalaksana yang diberikan kepada pasien berupa tatalaksana umum dan khusus.
Pada tatalaksana umum diberikan edukasi mengenai penyakit pasien, penularan, komplikasi yang
mungkin terjadi, selain itu diberikan pula edukasi mengenai pengobatan untuk kusta dengan benar
serta cara mencegah timbulnya komplikasi akibat adanya keadaan mati rasa pada kulit pasien.
34
Penatalaksanaan medikamentosa yang diberikan adalah multi drug therapy (MDT). Regimen
MDT diberikan sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi, memperpendek masa
pengobatan, mempercepat pemutusan mata rantai penularan. Regimen MDT yang diberikan untuk
pasien morbus hansen multibasiler pada pasien ini adalah Rifampisin 600 mg tiap bulan, DDS 100
mg/hari, Klofamizin 300 mg setiap bulan, diteruskan 50 mg/hari. Pengobatan diberikan sebanyak
35
DAFTAR PUSTAKA
1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai
4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Fritzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6th Edition.
5. World Health Organization. WHO model prescribing information: drug used in leprosy.
Lingkungan. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Kemenkes RI;
2012.
36