You are on page 1of 30

REFERAT

OBAT ANESTESI UMUM INTRAVENA

Disusun Oleh :

Yosephina Paula Benga Tapowolo, S.Ked

Pembimbing:

dr. Made Artawan, M.Biomed., Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

SMF/BAGIAN ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES

KUPANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani, an-

"tidak, tanpa" dan aesthētos ,"persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah

anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
(1)

Anestesia dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu anestesia umum dan

analgesia lokal. Pada analgesia lokal hilangnya rasa nyeri hanya pada sebagian

tubuh dan tidak disertai hilangnya kesadaran. Pada anestesia umum hilangnya rasa

nyeri terjadi pada seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat

reversibel. (1,2)

Anestesia umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena, intra muskular,

per oral dan per-rektal. Yang paling sering dipakai adalah pemberian secara

inhalasi dan intravena. Obat anestetik yang diberikan secara inhalasi adalah eter,

halotan, enfluran, isofluran, sevofluran dan desfluran. Yang dapat diberikan secara

intravena adalah tiopental, ketamin, propofol, etomidat, diazepam, midazolam.

Yang diberikan secara intramuskular adalah ketamin. Contoh yang dapat

diberikan per rektal adalah diazepam, eter oil. Yang dapat diberikan secara oral

adalah ketamin dan midazolam. (1)

Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur

intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh

otot. Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat – obat ini akan diedarkan

ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target
organ masing –masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan

farmakodinamiknya masing-masing. (1)

Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta

mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan.

Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping

yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek

samping yang sangat minimal.Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek

yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal. (3)

Pemilihan teknik anestesi merupakan hal yang sangat penting,

membutuhkan pertimbangan yang sangat matang dari pasien dan faktor

pembedahan yang akan dilaksanakan, pada populasi umum walaupun regional

anestesi dikatakan lebih aman daripada general anestesi, tetapi tidak ada bukti

yang meyakinkan bahwa teknik yang satu lebih baik dari yang lain, sehingga

penentuan teknik anestesi menjadi sangat penting. (2)

Pemahaman tentang sirkulasi darah sangatlah penting sebelum obat dapat

diberikan secara langsung ke dalam aliran darah, kedua hal tersebut yang menjadi

dasar pemikiran sebelum akhirnya anestesi intravena berhasil ditemukan. (2)


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANESTESIA UMUM

Pada anestesia umum terdapat trias anestesia yaitu hipnotik (hilang

kesadaran), analgetik dan relaksasi. Hipnotik dapat dilakukan dengan

hambatan mental, analgetik dapat dilakukan dengan hambatan sensori dan

relaksasi dengan hambatan refleks dan hambatan motorik. (1)

II. INDIKASI ANESTESIA UMUM (4)

1) Bayi dan anak-anak.

2) Operasi yang luas.

3) Pasien dengan kelainan mental.

4) Bila pasien menolak analgesia lokal.

5) Operasi yang lama.

6) Operasi di mana dengan analgesia lokal tidak praktis dan tidak

menguntungkan.

7) Pasien dalam terapi antikoagulan.

8) Pasien yang alergi terhadap obat analgetik lokal.

III. ANESTESI INTRAVENA(5)

Pemakaian obat anestetik intravena, dilaksanakan untuk:

1. induksi anestesia;

2. induksi dan pemeliharaan anestesia bedah singkat;

3. suplementasi hipnosis pada anestesia atau anal-gesia lokal, dan


4. sedasi pada beberapa tindakan medik.

Anestesia inlravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh

hanya satu macam obat,yaitu :

1. cepat menghasilkan efek hipnosis;

2. mempunyai efek analgesia;

3. disertai oleh amnesia pascaanestesia;

4. dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya;

5. cepat dielimninasi dari tubuh;

6. tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskular; dan

7. pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ.

Untuk mencapai tujuan di atas, kitadapat menggunakan kombinasi

beberapa obat atau cara anestesia lain. Kebanyakan obat anestetik

intravena dipergunakan untuk induksi, tetapi sekarang sudah banyak

dipakai untuk pemeliharaan anestesia atau dikombinasi dengan NzO atau

anestetik inhalasi lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling

berpotensiasi atau efek salahsatu obat dapat menutupi pengaruh obat yang

lain.

IV. JENIS-JENIS ANESTESI INTRAVENA

1. Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol ) (4)

Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia

intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali

digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia

umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun.

Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan

kuman dihambat oleh adanya asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal

tersebut sangat tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas

dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan

kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7-8 Obat ini juga kompatibel dengan

D5W.

a) Mekanisme kerja

Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi

diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA – A (Gamma

Amino Butired Acid).

b) Farmakokinetik

Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat

protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu

metabolit tidak aktif. Waktu paruh propofol diperkirakan berkisar antara 2

– 24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis jauh lebih pendek karena

propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan tepi. Dosis induksi cepat

menyebabkan sedasi ( rata – rata 30 – 45 detik ) dan kecepatan untuk pulih

juga relatif singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml.

Popofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun

relaksasi otot.

c) Farmakodinamik
 Pada sistem saraf pusat

Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis

yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek

analgetik, pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan

kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood

tapi tidak sehebat thiopental. Dapat menurunkan tekanan intrakranial

dan tekanan intraokular sebanyak 35%.

d) Dosis dan penggunaan

 Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.

 Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infus

 Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 µg/kg/min IV

(titrate to effect).

 Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau

apabila digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.

 Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi

yang minimal 0,2%

 Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada

dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah

terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.

e) Efek Samping

Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%.

Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada

pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5


mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan

pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan

secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering

sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol.Propofol

merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati – hati pada

pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan

pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik

(thiopental < propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga

pernah dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi

kasusnya sangat jarang.Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis jaringan

pada ekstravasasi subkutan pada anak-anak akibat pemberian propofol.

2. Tiopenton (5)

Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih dikenal

dengan nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal

yang merupakan obat anestesi umum barbiturat short acting, tiopentol dapat

mencapai otak dengan cepat dan memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam

waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai puncak konsentrasi dan setelah 5 – 10

menit konsentrasi mulai menurun di otak dan kesadaran kembali seperti semula.

Dosis yang banyak atau dengan menggunakan infus akan menghasilkan efek

sedasi dan hilangnya kesadaran. Walaupun terdapat beberapa barbiturat dengan

masa kerja ultra singkat , tiopental merupakan obat terlazim yang dipergunakan

untuk induksi anasthesi dan banyak dipergunakan untuk induksi anestesi.


a) Mekanisme kerja

Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat akan

menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada sistem saraf pusat,

barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinap

komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang beberapa terletak dibatang

otak yang mampu mengontrol beberapa fungsi vital termasuk kesadaran.

Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih berpengaruh pada

sinaps saraf dari pada akson.Barbiturat menekan transmisi

neurotransmitter inhibitor seperti asam gamma aminobutirik (GABA).

Mekanisme spesifik diantaranya dengan pelepasan transmitter (presinap)

dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap).

b) Farmakokinetik

 Absorbsi

Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan secara

intravena untuk induksi anestesi umum pada orang dewasa dan anak –

anak.Perkecualian pada tiopental rektal atau sekobarbital atau metoheksital

untuk induksi pada anak – anak.Sedangkan phenobarbital atau

sekobarbital intramuskular untuk premedikasi pada semua kelompok

umur.

 Distribusi

Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan

tubuh selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf dan jaringan lain yang
kaya akan vaskularisasi, secara perlahan akan mengalami difusi kedalam

jaringan lain seperti hati, otot, dan jaringan lemak. Setelah terjadi

penurunan konsentrasi obat dalam plasma ini terutama oleh karena

redistribusi obat dari otak ke dalam jaringan lemak.

 Metabolisme

Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.

 Ekskresi

Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi terjadi 3

ml/kg/menit dan pada anak – anak terjadi 6 ml/kg/menit.

c) Farmakodinamik

 Pada Sistem saraf pusat

Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan hiperalgesia

pada dosis subhipnotik, menghasilkan penurunan metabolisme serebral

dan aliran darah sedangkan pada dosis yang tinggi akan menghasilkan

isoelektrik elektroensepalogram.Thiopental turut menurunkan tekanan

intrakranial. Manakala methohexital dapat menyebabkan kejang setelah

pemberian dosis tinggi.

 Sistem pernafasan

Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap CO2

menurun terjadi penurunan frekwensi nafas dan volume tidal bahkan dapat

sampai menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik.Dapat juga

menyebabkan refleks laringeal yang lebih aktif berbanding propofol


sehingga menyebabkan laringospasme.Jarang menyebabkan

bronkospasme.

d) Dosis

Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg.Untuk

menghindarkan efek negatif dari tiopental tadi sering diberikan dosis kecil

dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien.

e) Efek samping

Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan

memberikan obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap

barbiturat, sebab hal ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis

yang jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi pada pasien dengan

porfiria akut, karena barbiturat akan menginduksi enzim d-

aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya serangan

akut. Iritasi vena dan kerusakan jaringan akan menyebakan nyeri pada saat

pemberian melalui I.V, hal ini dapat diatasi dengan pemberian heparin dan

dilakukan blok regional simpatis.

3. Ketamin (4)

Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang

memiliki struktur mirip dengan phencyclidine.Ketamin pertama kali disintesis

tahun 1962, dimana awalnya obat ini disintesis untuk menggantikan obat anestetik

yang lama (phencyclidine) yang lebih sering menyebabkan halusinasi dan kejang.

Obat ini pertama kali diberikan pada tentara amerika selama perang Vietnam.
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan

“rapid acting non barbiturate general anesthesia”. Ketalar sebagai nama dagang

yang pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965 yang

digunakan sebagai anestesi umum.

Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan

takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat

menimbulkan muntah – muntah , pandangan kabur dan mimpi buruk.

Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan

persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut

dengan emergence phenomena.

a) Mekanisme kerja

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat

dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik,

sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan

anastesi umum dan juga efek analgesik.

b) Farmakokinetik

 Absorbsi

Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau intramuskular

 Distribusi

Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan

didistribusikan ke seluruh organ.10 Efek muncul dalam 30 – 60 detik

setelah pemberian secara I.V dengan dosis induksi, dan akan kembali
sadar setelah 15 – 20 menit. Jika diberikan secara I.M maka efek baru

akan muncul setelah 15 menit.

 Metabolisme

Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi

beberapa metabolit yang masih aktif.

 Ekskresi

Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui ginjal.

c) Farmakodinamik

Susunan saraf pusat

Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan

mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada

mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu

kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic

appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang.Itu

merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah

pemberian Ketamin. Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya akan

tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi buruk dan

halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi.

Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah

intrakranial.

Konsentrasi plasma (Cp) yang diperlukan untuk hipnotik dan amnesia

ketika operasi kurang lebih antara 0,7 sampai 2,2 µg/ml (sampai 4,0 µg/ml

buat anak-anak). Pasien dapat terbangun jika Cp dibawah 0,5µg/ml.


Ketamin merupakan suatu reseptor antagonis N-Metil-D-aspartat (NMDA)

yang non kompetitif yang menyebabkan :

 Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat

 Mengurangi pembebasan presinaps glutamat

 Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)

Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang berupa:

 Mimpi buruk

 Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari badan)

 Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi

 Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan

 20%-30% terjadi pada orang dewasa

 Dewasa > anak-anak

 Perempuan > laki-laki

Sistem pernafasan

Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi.

Dapat menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya,

sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma.

d) Dosis dan pemberian

Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular

apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak – anak.

Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara I.V atau I.M.

Dosis induksi adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 – 10 mg/Kgbb I.M,


untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi

untuk mendapatkan efek yang diinginkan.

Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu.

Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 – 15 menit dengan dosis

setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.3 Dosis obat untuk

menimbulkan efek sedasi atau analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg IV atau 2

– 4 mg/kg IM atau 5 – 10 µg/kg/min IV drip infus.

e) Efek samping

Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada

mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi

dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan

efek mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat

meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat menyebabkan

terjadinya nistagmus dan diplopia.

f) Kontra indikasi

Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang

telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal

saja.Pada pasien yang menderita penyakit sistemik penggunaanya harus

dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang meningkat, misalnya

pada trauma kepala, tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan

intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi

intraokuler. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif


terhadap obat – obat simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis,

Diabetes militus , PJK dll.

4. Opioid (4)

Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun.

Obat opium didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum somniferum, dan

kata “opium “ berasal dari bahasa yunani yang berarti getah.

Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids.Morphine, meperidine,

fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil merupakan golongan opioid

yang sering digunakan dalam general anestesi.efek utamanya adalah analgetik.

Dalam dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam operasi kardiak.

Opioid berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan efek samping.

a) Mekanisme kerja

Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf

pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , μ,Ќ,δ,σ.

Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif

sebagai analgesia. Farmakodinamik dari spesifik opioid tergantung

ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan apakah reseptornya aktif.

Aktivasi reseptor opiat menghambat presinaptik dan respon postsinaptik

terhadap neurotransmitter ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron

nosiseptif.
b) Farmakokinetik

 Absorbsi

Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin

intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60 menit.

Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode efektif

menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10 menit)

analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20 μg/Kg) dan dewasa (200-

800 μg).

 Distribusi

Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak

yang rendah dan morfin memperlambat laju melewati sawar darah

otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih panjang.

Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi singkat

setelah injeksi bolus.

 Metabolisme

Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar,

aliran darah hepar.Produk akhir berupa bentuk yang tidak aktif.

 Ekskresi

Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati

bilier dan tergantung pada aliran darah hepar. 5 – 10% opioid

diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit aktif, remifentanil

dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot polos esterase.


c) Farmakodinamik

Sistem pernafasan

Dapat menyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan

frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun .PaCO2

meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul sehingga kurve respon CO2

menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga mampu menimbulkan

depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau kelenturan otot nafas,

opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada dosis tertentu.

Sistem gastrointestinal

Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan

lambung juga terhambat.

d) Dosis dan pemberian

Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena

0,5 mg/Kgbb, sedangkan morfin sepersepuluh dari petidin dan fentanil

seperseratus dari petidin.

5. Benzodiazepin (5)

Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah

Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam

dan lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene

glycol. Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau

Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu
berhubungan bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam merupakan

benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.

a) Mekanisme kerja

Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, anxiolitik,

amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di sentral.

Benzodiazepine bekerja di reseptor ikatan GABAA.Afinitas pada reseptor

GABAA berurutan seperti berikut lorazepam > midazolam > diazepam.

Reseptor spesifik benzodiazepine akan berikatan pada komponen gamma

yang terdapat pada reseptor GABA.

b) Farmakokinetik

Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan

muncul setelah 4 - 8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan

waktu paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan

menyebabkan terjadinya akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri.

Midazolam dan diazepam didistribusikan secara cepat setelah injeksi

bolus, metabolisme mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.

Clearance in ml/kg/min

Short Midazolam 6-11

Intermediate Lorazepam 0.8-1.8

Long Diazepam 0.2-0.5


c) Farmakodinamik

Sistem Pernafasan

Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal , depresi pusat

nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien

dengan retardasi mental.

d) Dosis

Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.

 Untuk preoperatif digunakan 0,5 – 2,5mg/kgbb

 Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 – 5 mg

 Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena.

 Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.

e) Efek samping

Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika digunakan sebagai

sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat menyebabkan iritasi pada vena dan

trombophlebitis. Benzodiazepine turut memperpanjang waktu sedasi dan

amnesia pada pasien. Efek Benzodiazepines dapat di reverse dengan

flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan 0.5 - 1

mcg/kg/menit berikutnya.

6. Pelumpuh Otot (5)

Obat dalam golongan ini menghambat trans-misi neuromuskuler sehingga

menimbulkan kelum-puhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerja-nya,

obat ini dapat dibagi dalam dua golongan,yaitu: (1 ) obat penghambat


kompetitif yang menstabilkan membran, misalnya d-tubokurarin; dan (2)obat

penghambat secara depolarisasi persisten misalnya suksinilkolin.

a) Farmakodinamik

Susunan saraf pusat.

Semua pelumpuh otot,kecuali β-eritroidin, adalah senyawa amonium

kuartener maka tidak menimbulkan efek sentral karena tidak dapat

menembus sawar darah otak. β-eritroidin yang merupakan amin tersier

adalah satu-satu-nya pelumpuh otot yang dapal menyebabkan depresi SSP.

Ganglion otonom.

Seperti nikotin, suksinilkolin atau C10 mempunyai efek bifasik terhadap

ganglion otonom: perangsangan diikuti dengan penghambatan.

Perangsangan ganglion parasimpatis(menimbulkan bradikardi) dan

ganglion simpatis(menimbulkan peningkatan lekanan darah) lebih sering

terjadi pada pemberian suksinilkolin. Pada dosis yang tinggi sekali, dapat

terjadi penghambatan ganglion.

Hanya d-Tc yang memperlihatkan efek penghambatan ganglion (takikardi

dan penurunan tekanan darah) yang cukup besar. Tetapi dosis d-Tc yang

diperlukan untuk menghambat ganglion, termasuk medula adrenal, jauh

lebih besar daripada untuk menghambat hubungan saraf otot, sehingga

dalam pemakaian terapi, penghambatan ganglion tidak merupakan masalah.

Galamin pada dosis terapi memblok N. vagus di jantung pada reseptor mus-

karinik (menimbulkan takikardi). Pankuronium,alkuronium dan metokurin


kurang memperlihatkan penghambalan ganglion pada dosis klinis yang

lazim. Atrakurium dan vekuronium lebih selektif lagi.

Kardiovaskuler.

d-Tubokurarin tidak menimbulkan elek langsung terhadap jantung maupun

pembuluh darah. Hipotensi timbul karena vasodilatasi perifer akibat

penglepasan histamin dan penghambatan ganglion, dan ini terjadi pada

pemberian lV yang cepat dengan dosis besar. Kehilangan tonus otot rangka

mempengaruhi alir balik vena, dan ini dapat memperburuk kolaps

kardiovaskuler. Sebaliknya pankuronium bila disuntikkan dengan cepat

dapat menaikkan tekanan darah, mungkin akibat stimulasi ganglia.

Atrakurium dan vekuronium hanya sedikit mempengaruhi tekanan darah

dan denyut jantung,

Lain-lain.

Berkurangnya tonus dan motilitas gastrointestinal terutama akibat

penghambatan ganglion. Obat penghambat secara depolarisasi persisten

dapat melepaskan K* dengan cepat dari dalam sel. Hal ini dapat

menyebabkan memanjangnya apnea pada penderita dengan gangguan

elektrolit. Obat-obat ini juga harus dihindarkan pada penderita dengan luka

bakar atau trauma jaringan lunak yang luas; mereka ini seringkali

membutuhkan dosis obat penghambat kompetitif yang lebih tinggi.

Sebalik-nya, neonatus mungkin lebih sensitif terhadap penghambat

kompetitif dan lebih resisten terhadap penghambat depolarisasi persisten


b) Farmakokinetik

Semua pelumpuh otot tidak diserap denganbaik melalui usus kecuali β-

eritroidin, yang merupakan amin tersier. d-Tubokurarin yang merupakan

bahan aktif dalam racun panah tidak menyebabkan keracunan jika daging

hewan yang mati terpanah itu dimakan oleh orang lndian. Namun

tubokurarin di-serap dengan baik melalui penyuntikan lM. Pada manusia,

2/3 dari dosis d d-Tubokurarin diekskresi utuh dalam urin. Walaupun efek

paralisis mulai menghilang dalam waktu 20 menit setelah suntikan lV,

beberapa gejala masih terlihat sampai 2-4 jam atau lebih. Distribusi,

eliminasi dan masa kerja metokurin sama dengan tubokurarin. Panku-

ronium sebagian mengalami hidroksilasi di hati,tetapijuga mempunyai

masa kerja yang sama. Atrakurium dikonversi oleh esterase plasma dan

secara spontan menjadi metabolit yang kurang aktif ; hal ini menyebabkan

masa kerjanya setengah dari masa kerja pankuronium (sekitar 30 menit).

Vekuronium sebagian mengalami metabolisme, masa kerjanya juga

setengah masa kerja pankuronium, dan tidak memperlihatkan akumulasi

pada pemberian berulang. Galamin dan C10 hampir seluruhnya dieks-kresi

utuh melalui ginjal. Suksinilkolin dengan cepat dihidrolisis oleh

pseudokolinesterase yang banyak terdapat dalam hepar dan plasma,

sehingga masa kerjanya sangat pendek. Di antara penderita dengan apne

yang berkepanjangan setelah pemberian suksinilkolin,sebagian mempunyai

kolinesterase plasma yang atipik atau defisiensi enzim tersebut akibat


kelainan genetik, penyakit hati atau gangguan gizi; tetapi pada beberapa

orang, aktivitas esterase plasma normal.

c) Interaksi Dengan Obat Lain

1. Anestetik umum.

Eter, halotan, metoksifluran,isofluran, enfluran, siklopropan dan

fluroksen memperlihatkan efek stabilisasi membran pasca sinaps,maka

bekerja sinergistik dengan obat-obat penghambat kompetitif. Oleh

karena itu, pada penggunaan bersama anestetik umum tersebut diatas,

dosis pelumpuh otot kompetitif harus dikurangi. Terutama pada

penggunaan bersama eter, dosis pelumpuh otot kompetitif 1/3-1/2 kali

dosis biasanya.

2. Antibiotik.

Golongan aminoglikosida (streptomisin, gentamisin dan lain-lain)

menyebabkan hambatan neuromuskuler melalui hambatan penglepasan

ACh dari ujung saraf motorik (karena berkompetisi dengan ion Ca) dan

juga melalui sedikit stabilisasi membran pascasinaps. Hambatan ini

dapat diantagonisasi oleh ion Ca. Golongan tetrasiklin juga

menghambat transmisi neuromuskuler, mungkin karena membentuk

kelat (chelate) dengan ion Ca. Hambatan ini juga dapat diantagonisasi

dengan ion Ca. Golongan peptida (polimiksin B, kolistin), linkomisin

dan klindamisin memblok transmisi neuromuskuler melalui mekanisme

yang belum di-ketahui. Oleh karena itu, pada penderita yang sedang

diobati dengan salah satu antibiotik tersebut di atas, pemberian


pelumpuh otot harus disertai pertimbangan tentang (1) besarnya dosis

dan (2)penggunaan garam kalsium bila pernapasan spontan tidak segera

kembali.

3. Kalsium antagonis.

Golongan obat ini juga meningkatkan blok neuromuskuler oleh

penghambat kompetitif maupun depolarisasi persisten. Mekanismenya

tidak jelas apakah akibat hambatan penglepasan ACh dari ujung saraf

motorik atau melalui stabilisasi membran pascasinaps.

4. Antikolinesterase.

Neostigmin, piridostigmin dan edrofonium dapat mengantagonisasi

hambatan kompetitif pada sambungan saraf-otot melalui pre-servasi

ACh endogen maupun efek langsungnya. Oleh karena itu, obat-obat

tersebut dapat digunakan sebagai antagonis pada keracunan obat-obat

pelumpuh otot kompetitif. Neostigmin atau edrofonium juga digunakan

untuk mempercepat pulihnya penderita dari efek pelumpuh otot

kompetitif sehabis operasi. Atropin diberikan bersama untuk mencegah

perangsangan reseptor muskarinik. Telah disebutkan bahwa

antikolinesterase bekerja sinergistik dengan obat-obat pelumpuh otot

secara depolarisasi persisten sehingga akan meningkatkan hambatan

neuromuskuler.

5. Lain-lain.

Obat-obat lain yang juga berinteraksi dengan pelumpuh otot golongan 1

atau golongan 2 adalah trimetafan, analgesik opiat, prokain, lidokain,


kuinidin, fenitoin, propranolol, kortikosteroid,glikosida jantung,

klorokuin, katekolamin, diuretik,garam Mg*', dan fenelzin.

d) Intoksikasi

Efek toksik yang ditimbulkan oleh obat golongan ini disebabkan dosis

berlebih atau sinergisme dengan berbagai macam obat. Yang paling sering

dialami ialah apne yang lerlalu lama, kolaps kardiovaskular dan akibat

penglepasan histamin. Paralisis pernapasan harus diatasi dengan napas

buatan tekanan positif dengan O2 dan pemasangan pipa endotrakeal sampai

napas kembali normal. Bila digunakan obat penghambat kompetitif,

pulihnya napas dapat dipercepat dengan peberian neostigmin metilsulfat

(0,5-2 mg lV) atau edrofonium (10 mg lV, dapat diulangi bila perlu),

bersama atropin untuk menghambat perangsangan muskarinik. Neostigmin

atau edrofonium hanya mengantagonisasi kelemahan otot, sedangkan

hipotensi atau bronkospasme dapat diperburuk. Kolaps kardiovaskuler

dapat diatasi dengan pemberian obat simpatomimetik dan merebahkan pen-

derita dengan kepala lebih rendah untuk membantu kembalinya darah ke

jantung dari otot yang lumpuh. Efek dari histamin yang dilepaskan dapat

dicegah dengan pemberian antihistamin sebelumnya.

e) Sediaan dan posologi

Pelemas otot diberikan parenteral dan hampir selalu secara lV. Obat

golongan ini hanya digunakan oleh ahli anestesiologi dan klinisi lain yang

berpengalaman dan di tempat yang dilengkapi dengan sarana untuk

pernapasan buatan dan resusitasi kardiovaskuler. d-Tubokurarin klorida


tersedia sebagai larutan mengandung 3 mg/ml untuk suntikan lV. Karena

menimbulkan hipotensi, penggunaannya makin berkurang. Untuk anestesia

bedah ringan, obat ini diberikan sebagai dosis tunggal 6-9 mg lV pada

orang dewasa. Bila perlu, 1/2 dosis ini dapat diberikan lagi setelah 3-5

menit. Dengan anestetik umum tertentu (halotan, isofluran, dan enfluran),

harus digunakan dosis yang lebih rendah.

Metokurin yodida tersedia sebagai larutan 2mg/ml. Preparat ini 2 kali lebih

kuat daripada d-tubokurarin. Dosis cukup setengah dosis. Galamin

trietyodida tersedia sebagai larutan20 mg/ml. Dosis biasanya ialah 1,0

mg/kg lV, dan bila perlu dapat diulangi setelah 30-40 menit dengan dosis

0,5-1,0 mg/kg. Suksinilkolin klorida tersedia sebagai bubuk steril 0,5-1 ,0

gram, dan dalam larutan untuk suntikan lV yang mengandung 20, 50 atau

100 mg/ml. Untuk prosedur bedah yang singkat pada orang dewasa, dosis

lV biasanya 0,6 mg/kg, tetapi dosis optimal bervariasi antara 0,3-1,1

mg/kg. Untuk prosedur yang lebih lama, obat ini diberikan sebagai infus

dengan dosis yang bervariasi antara 0,5- 5,0mg atau lebih per menit.

Derajat relaksasi otot dapat diatur dengan kecepatan infus.

Dekametonium (Cl0) tersedia sebagai larutan steril, berisi 1 mg/ml. Dosis

awal: 0,5-3,0 mg lV dengan kecepatan 0,5 mg/menit; dapat ditambah

setelah 10-30 menit. Pankuronium bromida tersedia sebagai larutan 1-2

mg/ml. Dosis lVawal biasanya 0,04-0,10mg/kg. Vekuronium bromida

tersedia dalam vial berisi 10 mg. Dosis lV awal biasanya 0,08-0,1 mg/kg,

Bila perlu ditambah dengan 0,01- 0,015 mg/kg.


Atrakurium besilat tersedia sebagai larutan10 mg/ml, Dosis awal lV 0,4-0,5

mg/kg. Dosis penunjang seperlima dosis awal. Alkuronium klorida tersedia

sebagai larutan 5 mg/ml. Dosis awal lV 0,2-0,3 mg/kg, Heksafluorenium

bromida ialah suatu inhibitor selektif kolinesterase plasma dengan sifat

pelumpuh otot kompetitif yang lemah. Obat ini diberikan untuk

memperpanjang efek suksinilkolin dan mengurangi fasikulasi awal akibat

suksinilkolin. Tersedia sebagai larutan 20 mg/ml. Setelah dosis

heksafluronium 0,4 mg/kg lV (maksimal 36 mg), dosis awal suksinilkolin

0,2 mg/kg lV (maksimum 18 mg) mempunyai masa kerja 20-30 menit.

Fazadinium bromid digunakan di Eropa sebagai penghambat "kompetitif

yang kerjanya cepat. Mula kerjanya cepat dan dimetabolisme oleh hati pada

penderita dengan gangguan fungsi ginjal.


BAB III

PENUTUP

Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani, an-

"tidak, tanpa" dan aesthētos ,"persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah

anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.

Anestesia dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu anestesia umum dan

analgesia lokal. Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan

melalui jalur intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun

pelumpuh otot. Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat – obat ini akan

diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan

menuju target organ masing –masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan

farmakodinamiknya masing-masing.

Pemilihan teknik anestesi merupakan hal yang sangat penting,

membutuhkan pertimbangan yang sangat matang dari pasien dan faktor

pembedahan yang akan dilaksanakan, pada populasi umum walaupun regional

anestesi dikatakan lebih aman daripada general anestesi, tetapi tidak ada bukti

yang meyakinkan bahwa teknik yang satu lebih baik dari yang lain, sehingga

penentuan teknik anestesi menjadi sangat penting.


DAFTAR PUSTAKA

1. Kolegium Anestesiologi & Reanimasi Indonesia, Modul Pendidikan


Dokter Spesialis Anestesiologi Dan Reanimasi. 2008

2. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia .2009.

3. Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian


Anestesiologi danTerapi FK UI. Jakarta

4. Goodman and Gilman’s. 1985. The pharmacological bases of therapeutics.


7’th edition. New York

5. Syarif, Amir, dkk. 2001. Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta

You might also like