Maria I E Ndiwa 1408010060 Kaitan faktor lingkungan (iklim) dengan penyakit (DBD) Sebaran Kasus Berdasarkan Waktu dan Perubahan Iklim Menurut teori The Environmental of Health, Hendrik L. Blum (1974) membagi konsep sehat menjadi empat faktor yang berperan dalam status kesehatan. Empat faktor tersebut adalah faktor hereditas, faktor pelayanan kesehatan, gaya hidup, dan faktor lingkungan. Berdasarkan faktor tersebut, faktor lingkungan yang berperan terbesar dalam mempengaruhi status kesehatan. Lingkungan sendiri adalah semua faktor luar yang berpengaruh pada suatu individu yang Dapat berupa lingkungan sosial, lingkungan Biologis, dan lingkungan fisik (M. N. Bustan,1997:67). Lingkungan fisik sendiri bisa berarti air, udara, tanah, radiasi, iklim dan lain-lain. Secara umum, iklim didefinisikan sebagai kondisi rata-rata suhu, curah hujan, tekanan udara, dan angin dalam jangka waktu yang panjang, antara 30 sampai 100 tahun. Pada intinya iklim adalah pola cuaca yang terjadi selama bertahun-tahun. Sementara cuaca itu sendiri adalah kondisi harian suhu, curah hujan, tekanan udara dan angin. Jadi, yang dimaksud perubahan iklim adalah perubahan pada pola variabel iklim yang telah terjadi dalam jangka waktu lama, setidaknya puluhan tahun. Studi menunjukkan bahwa penyakit yang dibawa oleh vektor nyamuk sangat sensitif Terhadap kondisi iklim. Suhu telah membatasi rentang geografis nyamuk. Panas yang ekstrim dapat membunuh nyamuk, tetapi suhu yang hangat dapat meningkatkan kelangsungan hidup, aktivitas mengigit, dan masa inkubasi ekstrinsik yaitu tingkat dimana patogen matang di dalam diri nyamuk (Namasha Schelling, 2007:7). Beberapa variabel iklim dapat mempengaruhi transmisi penyakit. Namun, terdapat empat variabel utama yang dianggap paling signifikan dalam mempengaruhi penyakit dengan lingkungannya. Keempat variabel tersebut adalah suhu, curah hujan, kelembaban dan angin (Paul E. Parham,2010:44). Angin dapat berpengaruh pada penerbangan dan penyebaran nyamuk.Bila kecepatan angin 11-14 m/detik atau 25-31 mil/jam, akan menghambat penerbangan nyamuk. Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan tenggelam yang merupakan saat terbang nyamuk ke dalam atau luar rumah, adalah salah satu faktor yang ikut menentukan jumlah kontak antara manusia dan nyamuk. Jarak terbang nyamuk (flight range) dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung arah angin (Widya Hary Cahyati, 2006:46). Indeks Curah Hujan (ICH) yang merupakan perkalian curah hujan dan hari hujan dibagi dengan jumlah hari pada bulan tersebut. ICH tidak secara langsung mempengaruhi perkembang-biakan nyamuk, tetapi berpengaruh terhadap curah hujan ideal. Curah hujan ideal artinya air hujan tidak sampai menimbulkan banjir dan air menggenang di suatu wadah/media yang menjadi tempat perkembang-biakan nyamuk yang aman dan relatif masih bersih (misalnya cekungan di pagar bambu, pepohonan, kaleng bekas, ban bekas, atap atau talang rumah). Tersedianya air dalam media akan menyebabkan telur nyamuk menetas dan setelah 10 – 12 hari akan berubah menjadi nyamuk. Bila manusia digigit oleh nyamuk dengan virus dengue maka dalam 4 - 7 hari kemudian akan timbul gejala DBD. Sehingga bila hanya memperhatikan faktor risiko curah hujan, maka waktu yang dibutuhkan dari mulai masuk musim hujan hingga terjadinya insiden DBD adalah sekitar 3 minggu. Dari Gambar 10 – 13 dapat dilihat pengaruh ICH terhadap AI DBD pada provinsi dengan AI DBD tinggi (DKI Jakarta dan Kalimantan Timur) dan AI DBD rendah (Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat). Provinsi DKI Jakarta dimana terdapat bulanbulan ICH sangat rendah hingga nol, tampak setelah puncak kenaikan ICH, 1 - 4 bulan kemudian diikuti dengan kenaikan AI DBD (Gambar 10). Berbeda dengan provinsi Kalimantan Timur, yang mempunyai ICH rata-rata tinggi setiap tahun, pola kenaikan AI sesudah kenaikan curah hujan tidak tampak (Gambar 11). DKI Jakarta dan Kalimantan Timur yang merupakan daerah berisiko tinggi dan sepanjang tahun kasus selalu ada di atas 55 per 100.000 penduduk. Provinsi Sulawesi Barat yang mempunyai AI rendah dan terdapat bulan-bulan ICH sangat rendah hingga nol seperti di DKI Jakarta, tampak pada puncak ICH dan hingga satu bulan berikutnya diikuti dengan puncak AI (Gambar 12). Sedangkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur dimana ICH rata-rata rendah, AI mulai meningkat saat mulai masuk musim hujan dan mencapai puncak hingga dua bulan sesudah ICH puncak (Gambar 13). Berdasarkan pengamatan terhadap ICH yang dihubungkan dengan kenaikan jumlah kasus DBD, maka pada daerah dengan ICH tinggi perlu kewaspadaan sepanjang tahun, sedangkan daerah yang terdapat musim kemarau maka kewaspadaan terhadap DBD dimulai saat masuk musim hujan, namun ini bila faktor-faktor risiko lain telah dihilangkan/tidak ada. TOPIK UTAMA Gambar 10. Pola ICH dan Angka Insiden DBD DKI Jakarta (AI tinggi) Tahun 2009 Sumber :