Professional Documents
Culture Documents
Sosial Media
I Wayan Wiana
Pernikahan dini? Ya, sebuah isu yang terlalu lekat dengan kehidupan
sehari-hari. Pernikahan dini merupakan pernikahan yang terjadi di bawah usia
minimal ideal untuk menikah. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional menyebutkan usia minimal ideal untuk menikah bagi perempuan adalah
21 tahun dan pria minimal 25 tahun. Dengan usia tersebut diharapkan sang wanita
akan mampu menjalankan sebuah keluarga yang siap secara mental dan siap
secara fisik untuk hamil dan melahirkan serta siap moril dan material. Namun
fakta di lapangan masih menunjukkan maraknya pernikahan dini di Indonesia.
Bukankah secara usia baik sang pria dan wanita belum siap secara moril dan
materialnya, tetapi justru menempuh bahtera rumah tangga?
Pernikahan dini sering bukan lagi hal yang awam untuk dibicarakan
bahkan di lingkungan sekitar kita ada remaja yang melakukan pernikahan dini
karena berbagai faktor. Pernikahan dini sering terjadi dalam rentang umur 15-19
tahun atau di bawah usia 20 tahun. Berdasarkan hasil survey Badan Pusat
Stastistika (BPS) dan bekerja sama dengan Badan Dunia untuk Anak (UNICEF)
meliris laporan analisis data perkawinan usia anak pertama kalinya di Indonesia.
Pada laporan tersebut angka usia perkawinan usia atau di bawah usia 18 tahun di
Indonesia masih tinggi sekitar 23 persen.
Laporan perdana dari Badan Pusat Stastistika (BPS) dan bekerja sama
dengan Badan Dunia untuk Anak (UNICEF) tersebut juga mengungkap Indonesia
mengalami penurunan angka pernikahan anak yang cenderung stagnan. Analisis
yang dilakukan pada 2015 itu mengungkap bahwa perempuan yang menikah
sebelum 18 tahun hanya menurun 7 persen dalam waktu 7 tahun. BPS juga
mencatat bahwa angka kejadian pernikahan anak lebih banyak terjadi di pedesaan
dengan angka 27,11 persen, dibandingkan di perkotaan yang berada pada 17,09
persen. Lebih lanjut lagi, M Sairi Hasbullah selaku Deputi Bidang Statistik Sosial
BPS menyebutkan bahwa, Indonesia memang tengah memasuki fase peralihan
untuk pembangunan. Namun dibanyak tempat, masih banyak yang tertatih-tatih.
Salah satu yang tertatih-tatih adalah soal angka pernikahan usia anak di Indonesia
yang masih 23 persen. Tergolong masih sangat tinggi.” Masalah pernikahan dini
justru memicu banyak anak yang sudah menikah akan mengalami putus sekolah.
Hal ini dapat menyebabkan semakin sempitnya peluang perempuan muda untuk
memperbaiki kesejahteraan.
Dampak negatif dari pernikahan dini yang mulai diabaikan oleh orang tua
dari kedua belah pihak salah satunya adalah penyakit bagi wanita. Penyakit
tersebut antara lain, kanker leher rahim, neoritis depresi, dan penyakit infeksi
seksual. Menurut data Badan Pusat Statistik (2015), anak perempuan usia 10-14
tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus
kehamilan dan persalinan daripada perempuan usia 20-24 tahun dan secara global
kematian yang disebabkan oleh kehamilan merupakan penyebab utama kematian
anak perempuan usia 15-19 tahun. Menurut perspektif psikologi, dampak yang
ditimbulkan dari pernikahan dini, yaitu pertengkaran yang relatif sering karena
kondisi emosional pria dan wanita yang masih labil. Selain itu, risiko ibu
meninggal ataupun risiko bayi meninggal atau bahkan risiko keduanya meninggal
baik ibu maupun anak, walaupun bayinya lahir selamat kemungkinan besar akan
lahir prematur. Risiko kematian ibu dan anak karena tulang panggulnya masih
terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan
Risiko timbulnya kanker leher rahim tidak dapat diabaikan sebagai akibat
pernikahan dini. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Apabila
terpapar human papilloma virus atau HPV, maka pertumbuhan sel akan
menyimpang menjadi kanker. Leher rahim ada dua lapis epitel, epitel skuamosa
dan epital kolumner. Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif
terutama pada usia muda. Epitel kulumner akan berubah menjadi epitel skuamosa.
Perubahannya disebut metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan
menyimpang menjadi dysplasia yang merupakan awal dari kanker. Pada usia lebih
tua diatas 20 tahun, sel sel sudah matang, sehingga risiko makin kecil. Gejala awal
perlu diwaspadai, keputihan yang berbau, gatal, serta pendarahan setelah
senggama. Jika diketahui pada stadium sangat dini atau prakanker, kanker leher
Rahim bisa diatasi secara total. Untuk itu perempuan yang aktif secara seksual
dianjurkan melakukan tes Papsmear 2-3 tahun sekali.
Risiko penyakit yang kedua yaitu neoritis depresi berupa depresi berat atau
neuritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian
yang berbeda. Pada pribadi tertutup akan membuat si remaja menarik diri dari
pergaulan, menjadi pendiam, dan tidak mau bergaul dengan orang disekitarnya
atau bahkan menjadi gila. Sementara itu, depresi berat pada pribadi terbuka sejak
kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan
amarahnya, seperti perang piring, anak dicekik, dan sebagainya. Melihat dampak
yang ditimbulkan dari kaca mata psikologis kedua bentuk depresi ini yang
ditimbulkan dari pernikahan dini ini tergolong berbahaya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2015. Pernikahan Usia Anak Masih Marak di Indonesia
Bali Post. 2014. Tekan Pernikahan Dini Badan KB Buleleng Gandeng Guru.
http://222.124.220.45/read/bali/2014/09/05/20657/tekan-pernikahan-dini-
badan-kb-buleleng-gandeng-guru.html. Diakses 1 Mei 2018