You are on page 1of 8

Mewujudkan Gerakan Aku Tidak Mau Menikah Muda Melalui Blog dan

Sosial Media

I Wayan Wiana

PIK-R Yowana Dharma Satya

Universitas Pendidikan Ganesha

Pernikahan ibarat mengayuh sepeda tandem. Kedua belah pihak baik


wanita dan pria harus saling bekerja sama dengan baik sehingga tercipta
keseimbangan dalam rumah tangga. Sebelum mengayuh bahtera rumah tangga,
tentu diperlukan persiapan yang matang dari segi fisik, psikis, dan material. Lalu,
berapakah usia yang ideal untuk menikah? Sejalan dengan hal tersebut, Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menyebutkan bahwa usia
pernikahan yang ideal bagi wanita adalah 21 tahun dan untuk pria minimal 25
tahun. Namun, faktanya berdasarkan hasil survey Badan Pusat Stastistika (BPS)
dan Badan Dunia untuk Anak (UNICEF) angka usia perkawinan usia atau
dibawah usia 18 tahun di Indonesia masih tinggi sekitar 23 persen.

Prestasi yang ditorehkan Indonesia dalam pernikahan dini bahkan


menembus ranking 37 dunia atau dengan kata lain tertinggi kedua di antara
negara-negara ASEAN setelah Kamboja (BKKBN, 2012). Potret buram ini jelas
telah menodai harapan bahwa remaja Indonesia seharusnya mampu melakoni
perannya sebagai tulang punggung bangsa, bukan melakoni peran sebagai isteri
dan suami. Pertanyaannya, mampukah bangsa Indonesia menjawab tantangan
dalam meminimalkan angka pernikahan dini?

Fenomena Tingginya Angka Pernikahan Dini di Indonesia

Pernikahan dini? Ya, sebuah isu yang terlalu lekat dengan kehidupan
sehari-hari. Pernikahan dini merupakan pernikahan yang terjadi di bawah usia
minimal ideal untuk menikah. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional menyebutkan usia minimal ideal untuk menikah bagi perempuan adalah
21 tahun dan pria minimal 25 tahun. Dengan usia tersebut diharapkan sang wanita
akan mampu menjalankan sebuah keluarga yang siap secara mental dan siap
secara fisik untuk hamil dan melahirkan serta siap moril dan material. Namun
fakta di lapangan masih menunjukkan maraknya pernikahan dini di Indonesia.
Bukankah secara usia baik sang pria dan wanita belum siap secara moril dan
materialnya, tetapi justru menempuh bahtera rumah tangga?

Pernikahan dini sering bukan lagi hal yang awam untuk dibicarakan
bahkan di lingkungan sekitar kita ada remaja yang melakukan pernikahan dini
karena berbagai faktor. Pernikahan dini sering terjadi dalam rentang umur 15-19
tahun atau di bawah usia 20 tahun. Berdasarkan hasil survey Badan Pusat
Stastistika (BPS) dan bekerja sama dengan Badan Dunia untuk Anak (UNICEF)
meliris laporan analisis data perkawinan usia anak pertama kalinya di Indonesia.
Pada laporan tersebut angka usia perkawinan usia atau di bawah usia 18 tahun di
Indonesia masih tinggi sekitar 23 persen.

Laporan perdana dari Badan Pusat Stastistika (BPS) dan bekerja sama
dengan Badan Dunia untuk Anak (UNICEF) tersebut juga mengungkap Indonesia
mengalami penurunan angka pernikahan anak yang cenderung stagnan. Analisis
yang dilakukan pada 2015 itu mengungkap bahwa perempuan yang menikah
sebelum 18 tahun hanya menurun 7 persen dalam waktu 7 tahun. BPS juga
mencatat bahwa angka kejadian pernikahan anak lebih banyak terjadi di pedesaan
dengan angka 27,11 persen, dibandingkan di perkotaan yang berada pada 17,09
persen. Lebih lanjut lagi, M Sairi Hasbullah selaku Deputi Bidang Statistik Sosial
BPS menyebutkan bahwa, Indonesia memang tengah memasuki fase peralihan
untuk pembangunan. Namun dibanyak tempat, masih banyak yang tertatih-tatih.
Salah satu yang tertatih-tatih adalah soal angka pernikahan usia anak di Indonesia
yang masih 23 persen. Tergolong masih sangat tinggi.” Masalah pernikahan dini
justru memicu banyak anak yang sudah menikah akan mengalami putus sekolah.
Hal ini dapat menyebabkan semakin sempitnya peluang perempuan muda untuk
memperbaiki kesejahteraan.

Secara nasional, Badan Pusat Statistik menyebutkan pernikahan usia anak


mengalami penurunan secara bertahap dari 33 persen pada 1985 menjadi 26
persen pada 2010, BPS dan UNICEF menilai bahwa angka kejadian pernikahan
usia anak relatif konstan. Saat ini didunia, tercatat sebanyak lebih dari 700 juta
perempuan menikah ketika mereka belum menginjak 18 tahun. Sementara itu, di
kawasan Asia Pasifik, sebanyak 16 persen perempuan telah menikah sebelum
dianggap pantas secara biologis. Berdasarkan data Susenas 2008-2012 dan
Susenas Penduduk 2010, mencatat sekitar 340.000 anak perempuan dibawah 18
tahun menikah setiap tahunnya. Peningkatan terjadi pada perempuan usia antara
15-18 tahun. Perkawinan di bawah usia 15 tahun mungkin tidak mencerminkan
angka kejadian sesungguhnya karena banyak dari perkawinan ini tersamarkan
sebagai perkawinan anak perempuan di atas 16 tahun atau tidak terdaftar.

Di Indonesia sendiri regulasi terkait perkawinan telah diatur dalam


Undang-Undang RI No. 1 tahun 1974 dan juga dalam PP No. 9 tahun 1975 yang
dengan jelas mengatur tentang usia minimal perkawinan, pengertian dan tujuan
perkawinan, syarat-syarat perkawinan, dan juga tentang perceraian. Pernikahan
yang berlangsung dengan landasan cinta antara pihak pria dan wanita memang
tidak salah. Namun, pernikahan yang dini tanpa adanya perencanaan yang matang
justru merupakan kesalahan yang akan memicu bencana. Berdasarkan data Bali
Post (2014), hasil survei Badan KBPP Buleleng menunjukkan usia rata-rata
pernikahan di Buleleng adalah 20 tahun, sementara di Provinsi Bali 21 tahun.
Sedangkan, angka ibu melahirkan pada rentang usia 15-19 tahun di Buleleng
tercatat 53 kelahiran per seribu perempuan, sedangkan di Bali 48 kelahiran per
seribu perempuan.

Remaja cenderung ingin melakukan pernikahan dini karena dorongan


keluarga. Faktor keluarga berupa sebuah paksaan dari orang tua dan keluarga
untuk segera menikah demi kepentingan tertentu ataupun memang murni
keinginan orang tuanya. Padahal umur baik wanita dan atau pria belum memenuhi
untuk melakukan pernikahan. Kembali lagi kepada faktor-faktor yang
mempengaruhi pernikahan dini salah satunya yaitu faktor individu. Faktor
individu tersebut muncul dari remaja sendiri karena kecelakaan. Kecelakaan”
yang dimaksud adalah kehamilan di luar nikah akibat dari hubungan seks bebas
yang dilakukan sehingga memicu untuk melakukan pernikahan dini padahal
umurnya belum ideal.

Dampak negatif dari pernikahan dini yang mulai diabaikan oleh orang tua
dari kedua belah pihak salah satunya adalah penyakit bagi wanita. Penyakit
tersebut antara lain, kanker leher rahim, neoritis depresi, dan penyakit infeksi
seksual. Menurut data Badan Pusat Statistik (2015), anak perempuan usia 10-14
tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus
kehamilan dan persalinan daripada perempuan usia 20-24 tahun dan secara global
kematian yang disebabkan oleh kehamilan merupakan penyebab utama kematian
anak perempuan usia 15-19 tahun. Menurut perspektif psikologi, dampak yang
ditimbulkan dari pernikahan dini, yaitu pertengkaran yang relatif sering karena
kondisi emosional pria dan wanita yang masih labil. Selain itu, risiko ibu
meninggal ataupun risiko bayi meninggal atau bahkan risiko keduanya meninggal
baik ibu maupun anak, walaupun bayinya lahir selamat kemungkinan besar akan
lahir prematur. Risiko kematian ibu dan anak karena tulang panggulnya masih
terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan

Risiko timbulnya kanker leher rahim tidak dapat diabaikan sebagai akibat
pernikahan dini. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Apabila
terpapar human papilloma virus atau HPV, maka pertumbuhan sel akan
menyimpang menjadi kanker. Leher rahim ada dua lapis epitel, epitel skuamosa
dan epital kolumner. Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif
terutama pada usia muda. Epitel kulumner akan berubah menjadi epitel skuamosa.
Perubahannya disebut metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan
menyimpang menjadi dysplasia yang merupakan awal dari kanker. Pada usia lebih
tua diatas 20 tahun, sel sel sudah matang, sehingga risiko makin kecil. Gejala awal
perlu diwaspadai, keputihan yang berbau, gatal, serta pendarahan setelah
senggama. Jika diketahui pada stadium sangat dini atau prakanker, kanker leher
Rahim bisa diatasi secara total. Untuk itu perempuan yang aktif secara seksual
dianjurkan melakukan tes Papsmear 2-3 tahun sekali.

Risiko penyakit yang kedua yaitu neoritis depresi berupa depresi berat atau
neuritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian
yang berbeda. Pada pribadi tertutup akan membuat si remaja menarik diri dari
pergaulan, menjadi pendiam, dan tidak mau bergaul dengan orang disekitarnya
atau bahkan menjadi gila. Sementara itu, depresi berat pada pribadi terbuka sejak
kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan
amarahnya, seperti perang piring, anak dicekik, dan sebagainya. Melihat dampak
yang ditimbulkan dari kaca mata psikologis kedua bentuk depresi ini yang
ditimbulkan dari pernikahan dini ini tergolong berbahaya.

Minimnya persiapan mental dari remaja justru menjadi cikal bakal


terciptanya benih-benih konflik yang berujung pada perceraian. Kestabilan emosi
umumnya terjadi pada usia 24 tahun karena pada saat itulah orang mulai
memasuki usia dewasa. Masa remaja, boleh dibilang baru berhenti pada usia 19
tahun dan pada usia 20-24 tahun dalam psikologi dikatakan sebagai usia dewasa
muda. Pada masa ini biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa
dewasa yang lebih stabil. Dengan demikian, pernikahan yang dilakukan di bawah
20 tahun secara psikologis sang remaja masih ingin berpetualang menemukan jati
dirinya. Namun, dari segudang risiko yang ditimbulkan, ternyata masih belum
cukup untuk mengenolkan angka pernikahan dini khususnya di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah generasi muda abai terhadap risiko yang ditimbulkan dari
pernikahan dini tersebut? Ataukah generasi muda kurang mendapatkan informasi
tentang pernikahan dini?

Buleleng masih mencatat prestasi kedua tertinggi di Bali dari segi


pernikahan dini. Mengingat masih tingginya angka pernikahan dini, justru
menimbulkan tanya, mengapa Buleleng dengan pusatnya kota Singaraja yang
dikenal sebagai kota pendidikan justru tidak mampu membendung angka
pernikahan dini? Sejalan dengan program Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional, yaitu Generasi Berencana yang diharapkan mampu
menjawab tantangan meningkatkan kualitas kependudukan Indonedia dengan
mengurangi angka pernikahan dini. Sosialisasi program Generasi Berencana tidak
cukup hanya melalui sosialisasi secara verbal. Terlebih lagi sosialisasi tersebut
hanya dilakukan dalam hitungan jam kepada remaja dengan jumlah yang terbatas.
Oleh karena itu, diperlukan suatu inovasi dalam rangka memperluas sosialisasi
program Generasi Berencana, yaitu melalui pemanfaatan blog dan iklan.
Pemanfaatan Sosial Media

Guna memenuhi harapan menuju Generasi Emas Indonesia 2045, maka


harus digencarkan penyebarluasan Gerakan Aku Tidak Mau Menikah Muda
dengan sebuah blog mengenai informasi-informasi tentang program Generasi
Berencana, yaitu Triad KRR, Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP), life skill, 8
fungsi keluarga, dan lain-lain. Selain itu, pemanfaatan social media juga
dikolaborasikan dengan informasi tentang pernikahan dini tersebut. Diharapkan
dengan pemanfaatan blog dan sosial media ini yang berisi tentang materi Generasi
Berencana, khususnya Triad KRR, Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) untuk
meminimalisir pernikahan dini dapat diakses secara luas.

Indonesia sebagai negara dengan jumlah pemakaian internet mencapai 82


juta orang dengan 80% penggunanya adalah kalangan remaja (Kementerian
Komunikasi dan Informatika, 2014). Berdasarkan data CNN (2015) terdapat lima
hal yang sering dilakukan pengguna internet, yaitu mengakses media sosial, pesan
instan, data dan informasi, dan streaming video. Inovasi baru dengan pemanfaatan
web dan iklan di media sosial yang berisikan informasi tentang program Generasi
Berencana, khususnya Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) ini mengingat
remaja di Indonesia sebagian besar telah mempunyai smart phone yang dapat
digunakan untuk mengakses blog dengan mewujudkan gerakan “Aku Tidak Mau
Menikah Muda”.

Inovasi baru dengan pemanfaatan social media sebagai media untuk


menggencarkan gerakan “Aku Tidak Mau Menikah Muda” dengan selogan yang
menarik dan mudah diingat diharapkan juga akan selalu diingat oleh pembacanya
yang lebih penasaran tentang apa itu gerakan “Aku Tidak Mau Menikah Muda” .
Web ini berbeda dengan web lain karena berisi edukasi tentang materi Generasi
Berencana (GenRe), khususnya Triad KRR dan Pendewasaan Usia Perkawinan
(PUP) yang merupaka program preventif untuk pernikahan dini. Materi ini
dikemas dalam sebuah blog dengan konten berupa gambar-gambar dan desain
yang lebih modern juga bisa diselipkan beberapa isu terkait pernikahan dini di
dalamnya sehingga pembaca semakin penasaran dan mendapatkan informasi yang
kebih update. Informasi tentang Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) tidak
hanya berupa teks, melainkan juga dapat berupa gambar, video, dan iklan yang
dimuat dalam blog. Desain blog dan iklan yang lebih modern dan unik juga
diambil karena dapat diselipkan di setiap web yang ada di dunia maya tersebut.
Akibatnya, dapat dengan mudah ditemukan oleh masyarakat umum khususnya
remaja-remaja yang belum mengakses blog tersebut sehingga lebih banyak untuk
dibuka oleh para remaja.

Sosialisasi program-program Generasi Berencana melalui pemanfaatan


blog dan social media ini diharapkan mammpu menjawab tantangan untuk
meminimalkan bahkan mengenolkan angka pernikahan di Indonesia. Blog
tersebut dibuat berdasarkan kreativitas dari mahasiswa. Pembuatan blog dari
mahasiswa tersebut merupakan suatu bentuk edukasi. Hal ini dikarenakan
pembuat blog harus memahami konten yang akan diisi terlebih dahulu dalam blog
tersebut. Setelah mengakses blog tersebut, pengguna internet, khususnya remaja
dapat memperoleh informasi secara komprehensif tentang materi Generasi
Berencana. Apabila materi Generasi Berencana dapat dipahami secara benar,
maka akan tertanam menjadi suatu bentuk pemahaman yang memicu timbulnya
sikap untuk tidak menikah muda.

Sejalan dengan teori penyebaran informasi dari satu pengguna, diharapkan


informasi tersebut dapat disebarkan lagi ke teman-teman maupun orang-orang
terdekat baik secara langsung maupun lewat media sosial. Sebuah kolaborasi yang
berawal dari kepedulian mahasiswa sebagai agent of change terhadap masa depan
bangsa. Sebuah kolaborasi baru berupa sosialisasi program Generasi Berencana
dengan kemasa blog dan pemanfaatan social media sebagai langkah tepat dalam
menyukseskan program BKKBN dalam meminimalisir bahkan mengenolkan
angka pernikahan dini. Melalui pemanfaatan keduanya bukan tidak mungkin,
angka pernikahan dini di Buleleng terlebih lagi di Indonesia menjadi berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2015. Pernikahan Usia Anak Masih Marak di Indonesia
Bali Post. 2014. Tekan Pernikahan Dini Badan KB Buleleng Gandeng Guru.
http://222.124.220.45/read/bali/2014/09/05/20657/tekan-pernikahan-dini-
badan-kb-buleleng-gandeng-guru.html. Diakses 1 Mei 2018

CNN Indonedia. 2016. Pernikahan Usia Anak Masih Marak di Indonesia.


http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160723074431-277-
146515/pernikahan-usia-anak-masih-marak-di-indonesia/. Diakses 1 Mei
2018

Kementrian Komunikasi dan Informatika RI. 2014. Kemkoninfo: Pengguna


Internet Capai 82 Juta.
https://kominfo.go.id/content/detail/3980/kemkominfo-pengguna-internet-
di-indonesia-capai-82-juta/0/berita_satker. Diakses 1 Mei 2018

You might also like