You are on page 1of 22

REFRAT

PERDARAHAN INTRAKRANIAL

Pembimbing :
dr. Rosita K. Sp. Rad

Oleh :

Amri Muharram 112170005


Intan Rensiska 112170043
M. Taufikqul Hakim 113170047
Sygih Pratama 113170063

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


SMF ILMU RADIOLOGI
RSUD WALED – FK UNSWAGATI
CIREBON
2018
ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia dan kasih

sayangnya kepada semua sehingga kami dapat menyusun referat ini hingga selesai

dengan baik dan lancar.

Terima kasih kami haturkan, terutama kepada dr. Rosita K., Sp.Rad atas

bimbingannya dalam penyusunan referat ini, dan juga teman-teman kelompok

koas 8B yang selalu bersama menuntut ilmu dalam program profesi pendidikan

dokter di RSUD Waled.

Referat ini disusun dalam rangka untuk meningkatkan pengetahuan kami

mengenai perdarahan intrakranial, dari mulai anatomi organ terkait hingga

gambaran radiologis kelainan dari setiap jenis perdarahan intrakranial serta sekilas

mengenai penatalaksanaannya.

Kami merasakan banyak sekali kekurangan dalam penyusunan referat ini,

untuk itu kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan dari pembaca sekalian.

Akhir kata, mudah-mudahan referat ini dapat memberi manfaat bagi penulis

maupun pembaca sekalian. aamiin

Penyusun
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I: PENDAHULUAN...............................................................................1

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................3

Anatomi .................................................................................................3

Patofisiologi ..........................................................................................7

Perdarahan Intrakranial .........................................................................9

Perdarahan Intraserebral......................................................................12

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................15


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdarahan intrakranial (ICH) adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di

dalam kranium, yang mungkin terjadi di ekstradural, subdural, subaraknoid, atau

serebral (parenkimatosa). Perdarahan intrakranial dapat terjadi pada semua umur

dan juga akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor otak dan lain-lain.1,3

ICH menjadi penyebab 8-13% terjadinya stroke dan kelainan dengan spectrum

yang luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan subaraknoid,

ICH umumnya lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat mayor. ICH

yang disertai dengan edema akan mengganggu atau mengkompresi jaringan otak

sekitarnya, menyebabkan disfungsi neurologis. Perpindahan substansi parenkim

otak dapat menyebabkan peningkatan ICP dan sindrom herniasi yang berpotensi

fatal.2

Di Amerika, insiden ICH 12-15/100.000 penduduk, termasuk 350/100.000

kejadian hypertensive hemorage pada orang dewasa. Secara keseluruhan insiden

ICH menurun sejak 1950. Insiden ini lebih tinggi di Asia. Setiap tahun terdapat

lebih dari 20.000 orang di Amerika meninggal karena ICH. Tingkat mortalitas

ICH pada 30 hari adalah 44%. Perdarahan batang otak memiliki tingkat mortalitas

75% dalam 24 jam.2

Tingkat insidensi tinggi pada populasi dengan frekuensi hipertensi tinggi,

termasuk Afrika Amerika. Insidensi ICH juga tinggi di Cina, Jepang dan populasi

Asia lainnya, hal ini mungkin disebabkan karena factor lingkungan (spt. diet kaya

1
2

minyak ikan) dan/faktor genetik. Insiden ICH meningkat pada individu yang

berusia lebih dari 55 tahun dan menjadi 2 kali lipat tiap decade hingga berusia 80

tahun. Risiko relative ICH >7x pada individu yang berusia lebih dari 70 tahun.2

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan referat ini ialah untuk mengetahui dan memahami tentang

definisi, epidemiologi, gejala, tanda terutama di bidang radiologi, diagnosis, dan

penatalaksanaan pendarahan intrakranial

1.3 Manfaat

Hasil dari referat ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan

dan proses pembelajaran bagi dokter muda mengenai pendarahan intracranial.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kepala


Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita
seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.
Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi.
Otak dilindungi oleh: 1
1) SCALP
SCALP/Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling melekat
dan bergerak sebagai satu unit.
SCALP terdiri dari:
 Skin atau kulit
Tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar sebacea.
 Connective Tissue atau jaringan penyambung
Merupakan jaringan lemak fibrosa yang menghubungkan kulit dengan
aponeurosis dari m. occipitofrontalis di bawahnya. Banyak mengandung
pembuluh darah besar terutama dari lima arteri utama yaitu cabang
supratrokhlear dan supraorbital dari arteri oftalmik di sebelah depan, dan
tiga cabang dari karotid eksternal-temporal superfisial, aurikuler
posterior, dan oksipital di sebelah posterior dan lateral. Pembuluh darah
ini melekat erat dengan septa fibrosa jaringan subkutis sehingga sukar
berkontraksi atau mengkerut. Apabila pembuluh ini robek, maka
pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan
kehilangan darah yang bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.
Perdarahan sukar dijepit dengan forcep arteri. Perdarahan diatasi dengan
menekannya dengan jari atau dengan menjahit laserasi.
 Aponeurosis atau galea aponeurotika
Merupakan suatu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakkan dengan bebas,
yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal, menghubungkan
otot frontalis dan otot occipitalis.

3
4

Spatium subaponeuroticum adalah ruang potensial dibawah aponeurosis


epicranial. Dibatasi di depan dan di belakang oleh origo m. Occipito
frontalis, dan meluas ke lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis
pada fascia temporalis.
 Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
Menghubungkan aponeurosis galea dengan periosteum cranium
(pericranium). Mengandung beberapa arteri kecil dan beberapa
v.emmisaria yang menghubungkan v.diploica tulang tengkorak dan sinus
venosus intrakranial. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi
dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, sehingga pembersihan
dan debridement kulit kepala harus dilakukan secara seksama bila galea
terkoyak. Darah atau pus terkumpul di daerah ini dan tidak bisa mengalir
ke region occipital atau subtemporal karena adanya perlekatan
occipitofrontalis. Cairan bisa masuk ke orbita dan menyebabkan
hematom yang bisa jadi terbentuk dalam beberapa waktu setelah trauma
kapitis berat atau operasi kranium.
 Pericranium
Merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang tengkorak.
Sutura diantara tulang-tulang tengkorak dan periousteum pada
permukaan luar tulang berlanjut dengan periousteum pada permukaan
dalam tulang-tulang tengkorak.
5

Gambar 1. Anatomi Kepala

2) Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis cranii (bagian
terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi di daerah ini dilapisi oleh
otot temporalis. Basis cranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselarasi.
Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan isi intracranial. Tulang tengkorak mempunyai 3 lapisan,
yaitu:
a) Tabula interna ( lapisan tengkorak bagian dalam)
b) Diploe (rongga di antara tabula)
c) Tabula eksterna (lapisan tengkorak bagian luar)
Tabula interna mengandung alur-alur yang berisiskan arteria meningea
anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak
menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan
arterial yang di akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat
menimbulkan akibat yang fatal kecuali bila di temukan dan diobati
dengan segera.
6

Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fossa anterior yang
merupakan tempat lobus frontalis, fossa media yang merupakan tempat
lobus temporalis, fossa posterior yang merupakan tempat bagian bawah
batang otak dan cerebellum.
3) Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan,
yaitu:
1. Duramater
Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat fibrosa
yang melekat erat pada pada permukaan dalam kranium. Duramater
terdiri dari dua lapisan, yaitu:
 Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar, dibentuk oleh periosteum
yang membungkus dalam calvaria.
 Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang
kuat
yang berlanjut terus di foramen mágnum dengan duramater spinalis
yang membungkus medulla spinalis.
2. Arakhnoid
Arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan tembus
pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal sebagai
subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi cairan LCS.
3. Piamater
Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada permukaan
korteks cerebri, memiliki sangat banyak pembuluh darah halus, dan
merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam
semua sulkus dan mem-bungkus semua girus.
7

Gambar 2. Susunan struktur kepala

2.2. Patofisiologi Cedera Kepala Secara Umum


Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari bagian
terluar hingga bagian terdalam. Setiap komponen yang terlibat memiliki kaitan
yang erat dengan mekanisme cedera yang terjadi. Ditinjau dari sudut tipe beban
yang menimpa kepala, secara garis besar mekanisme trauma kepala dapat
dikelompokkan dalam dua tipe yaitu beban statis (static loading) dan beban
dinamis (dynamic loading). Beban statis timbul perlahan-lahan yang dalam hal ini
tenaga tekanan mengenai kepala secara bertahap. Walaupun sebenarnya
mekanisme ini tidak lazim, namun hal ini bisa terjadi bila kepala mengalami
gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung dalam periode waktu
yang lebih dari 200 milidetik. Bila kekuatan tenaga tersebut cukup besar dapat
mengakibatkan terjadinya keretakan tulang (egg-shell fracture), fraktur multiple
atau komunitif dari tengkorak, atau dasar tulang tengkorak.1,2
Mekanisme trauma kepala yang lebih umum terjadi adalah akibat beban
dinamis, dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat
(kurang dari 200 milidetik). Durasi pembebanan yang terjadi merupakan salah
satu faktor yang penting dalam menentukan jenis trauma kepala yang terjadi.
Beban dinamis ini dibagi menjadi dua jenis yaitu beban guncangan (impulsive
loading) dan beban benturan (impact loading). Beban guncangan (impulsive
loading) terjadi bila kepala mengalami kombinasi antara percepatan-perlambatan
(akselerasi-deselerasi) secara mendadak, kepala yang diam secara tiba-tiba
digerakkan secara mendadak. Atau sebaliknya bila kepala yang sedang bergerak
8

tiba-tiba dihentikan tanpa mengalami suatu benturan. Sedangkan beban benturan


(impact loading) merupakan jenis beban dinamis yang lebih sering terjadi dan
biasanya merupakan kombinasi kekuatan beban kontak (contact force) dan
kekuatan beban inersial (inertial force). Respon kepala terhadap beban-beban ini
tergantung dari objek yang membentur kepala. Efek awal dapat sangat minimal
pada beban tertentu, terutama bila kepala dijaga sedemikian rupa sehingga ia tidak
bergerak waktu kena benturan. Sebaliknya, akibat yang paling hebat dapat terjadi
bila energi benturan dihantarkan ke kepala sebesar tenaga kontak dan selanjutnya
menimbulkan efek gabungan yang dikenal sebagai fenomena kontak.
Kerusakan otak akibat trauma, bukan cedera misal, dapat dikategorikan
menjadi cedera otak primer dan sekunder. Gaya mekanis yang bekerja pada waktu
cedera akan menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah, akson, sel-sel saraf,
dan glia dari otak. Semua hal ini akan memicu serangkaian perubahan sekunder
sehingga terjadi perubahan pada kompleks selular, inflamasi, neurokimiawi, dan
metabolik. Pola pendekatan tradisional terhadap cedera otak telah membagi
patofisiologi cedera otak menjadi cedera primer dan sekunder. Hal ini berarti
cedera primer merupakan cedera yang bersifat mendadak dan sebagian besar
irreversibel. Gaya mekanis yang timbul akan menyebabkan kerusakan jaringan
yang bersifat progresif. Deformitas yang timbul dapat langsung merusak
pembuluh darah, akson, neuron, dan glia. Kerusakan yang timbul dapat bersifat
fokal, multifokal, atau difus. Semua pola kerusakan ini akan memicu dimulainya
proses-proses perubahan yang dinamis yang berbeda untuk masing-masing
komponen tersebut Sedangkan cedera sekunder yang terjadi pada otak disebabkan
oleh cedera yang tidak terjadi pada otak itu sendiri, penyebabnya dapat berupa
hipotensi dan hipoksia, peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran
darah otak akibat edema otak dan efek massa dari hematoma intrakranial,
hidrosefalus, dan infeksi. Berbagai tipe kerusakan otak sekunder ini secara
potensial masih bersifat reversibel sehingga dengan penanganan yang adekuat
dapat dipulihkan. Penelitian terbaru telah membuktikan bahwa proses cedera tidak
hanya terjadi sesaat pada waktu cedera, namun berlangsung bahkan beberapa jam
setelah awal kejadian. Benturan pada kepala dapat menyebabkan gangguan fungsi
otak yang mendadak, disertai perdarahan interstisial dalam substansia otak, tanpa
9

terputusnya kontinuitas otak dalam hal ini jaringan otak tampak berwarna merah
tua, berlumuran darah, dan sangat edematous. Apabila benturan kepala cukup
keras sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak, maka pembuluh
darah yang berada di bawah fraktur dapat ikut terluka atau robek, sehingga timbul
perdarahan. Apabila tidak terjadi fraktur tulang tengkorak, pembuluh darah di
bawah tempat benturan dapat pecah juga karena gaya kompresi yang timbul akibat
osilasi indentasi. Dengan demikian terjadi perdarahan di bawah duramater dan
terbentuklah hematom subdural. Gangguan kesadaran merupakan gejala yang
sering menyertai cedera otak. Dalam hal ini naik turunnya derajat kesadaran dan
lamanya gangguan kesadaran, merupakan salah satu petunjuk sangat penting dari
maju mundurnya keadaan pasien dengan cedera otak. Kesadaran yang makin
menurun menunjukkan suatu keadaan yang memburuk.

2.3. Perdarahan Intrakranial


1. Hematoma Ekstraserebral
Hematoma ekstraserebral menghasilkan gejala neurologis yang dahsyat
yang dapat kembali pulih sempurna jika ditangani sejak awal.4
a. Perdarahan epidural biasanya berasal dari pembuluh darah arterial dan
seringkali terjadi akibat fraktur tempurung kepala yang mencederai arteri
meningea media. Perdarahan epidural dapat juga terjadi tanpa adanya fraktur,
terutama pada anak. Pasien biasanya datang dengan penurunan neurologis setelah
sebuah periode lucid interval. Pemeriksaan CT menunjukkan gambaran
ekstraaksial dengan atenuasi tinggi (hiperdens) berbentuk bikonfeks dan berbatas
tegas, biasanya tidak melewati sutura kepala dimana lapisan periosteal dura
terhubung dengan rapat. 4

b. Perdarahan subdural secara khas berasal dari pembuluh darah vena dan terjadi
akibat regangan dan pecahnya vena kortikal sebagaimana posisinya yang
melintasi ruang subdural. Pemeriksaan CT menunjukkan gambaran berbentuk
kresens (bulan sabit), ekstraaksial, atenuasi tinggi (hiperdens) yang secara khas
bertempat di lengkungan tempurung kepala. Hematoma subdural dapat juga
nampak di sepanjang falx dan tentorium. Karena falx dan tentorium merupakan
10

sebuah lipatan dura, gambaran lesinya di subdural tidak melewati struktur


tersebut.4

Gambar 3. Perdarahan Epidural. CT aksial (a) menunjukkan lesi hiperdens


ekstraaksial bikonveks dengan efek massa. Tampak pneumosefalus intrakranial
(panah), sebuah tanda indirek adanya fraktur. (b) menunjukkan fraktur depresi
yang mendasari.4

Gambar 4. Perdarahan Subdural. CT aksial (a) menunjukkan hematoma temporal


akut, tampak sebuah lesi hiperdens berbentuk bulan sabit ekstra aksial (*) dengan
efek massa. (b) menunjukkan hematoma subdural akut yang meluas sepanjang
falx (panah). (c) menunjukkan hematoma subdural akut kiri (*), nampak sebagai
lesi ekstraaksial isodens dengan korteks otak. T1-MRI aksial (d) menunjukkan
intensitas sinyal yang tinggi hematoma subdural subakut (panah) pada pasien
yang berbeda.4
11

c. Perdarahan subaraknoid
Perdarahan subaraknoid (PSA) nontraumatik paling sering disebabkan oleh ruptur
aneurisma. Sakit kepala yang berat dan tiba-tiba adalah gejala yang paling umum.
Lokasi umum ruptur aneurisma termasuk wilayah arteri komunikans anterior
(33%), arteri serebri media (30%), arteri komunikans posterior (25%), dan arteri
basilar (10%). Terkadang, ruptur dapat terjadi di arteri oftalmika atau di arteri
karotis interna kavernosa atau arteri cerebral posterior inferior:4
1. Pemeriksaan CT lebih dari 90% sensitif untuk mendeteksi PSA akut
karena peningkatan kepadatan darah beku.
2. Pemindaian cepat penting, karena sensitivitas CT untuk SAH menurun
menjadi 66% pada hari ke-3.
3. PSA nontraumatik membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut oleh CTA
untuk mengidentifikasi aneurisma.
4. Hidrosefalus dan vasospasme merupakan komplikasi yang umum dan
merurpakan komplikasi PSA potensial yang dapat ditangani.
Evaluasi dan manajemen PSA aneurisma telah banyak berubah selama 10 tahun
terakhir karena aplikasi yang lebih luas dari CTA dan embolisasi kumparan
endovaskular.4

Gambar 5. Perdarahan Subarakhnoid. Ini terjadi akibat ruptur aneurisma4


12

d. Perdarahan intraventrikular
Perdarahan intraventrikular (IVH) dapat terjadi akibat robekan rotasional dari
vena subependymal pada permukaan ventrikel atau dengan perluasan langsung
dari hematoma parenkim ke dalam sistem ventrikulars. Selain itu, mungkin terjadi
akibat dari aliran retrograde SAH ke sistem ventrikel melalui foramina ventrikel
keempat. Pada CT, IVH tampak sebagai materi hiperdens berlapis yang sebagian
atau sepenuhnya mengisi sistem ventrikel. Hal ini dapat menyebabkan
hidrosefalus dengan obstruksi pada tingkat aqueduct atau vili arachnoid.4

Gambar 6. Cedera aksonal difus dengan perdarahan intraventrikular

2. perdarahan intraserebral
Perdarahan otak dapat dibagi menjadi perdarahan subaraknoid dan intraparenkim.
Pencitraan penting untuk menentukan lokasi perdarahan dan menunjukkan
komplikasi yang hubungan dan mencari lesi yang mendasarinya. Pada CT,
perdarahan akut tampak hiperdens (khasnya 50–100 Hounsfield unit).
Sebagaimana darah menjadi tua dan rusaknya molekul globin, perdarahan
kehilangan tampilan hiperdensnya, dimulai dari bagian perifer menuju ke sentral
lesi. Kontraksi bekuan juga mendukung temuan ini. Perdarahan menjadi isodens
dengan otak (4 hari sampai 2 minggu, bergantung ukuran bekuan) dan akhirnya
hipodens (2-3 minggu). Sinyal MRI yang berasal dari darah bergantung terutama
status oksidasi hemoglobin, status kimiawi senyawa yang mengandung besi, dan
integritas membran sel darah merah.4
13

Tabel 1. Karakteristik gambaran darah pada MRI bergantung stadium


perdarahannya4
Stadium Waktu Hemoglobin T1 T2
Hiperakut <24 jam Oksihemoglobin Iso Hiper
Akut 1-3 hari Deoksihemoglobin Iso Hipo
Subakut 3-7 hari Methemoglobin Hiper Hipo
awal pada SDM
Subakut >7 hari Bebas Hiper Hiper
lambat Methemoglobin
Kronik >14 hari Hemosiderin Iso/hipo Hipo

Perdarahan intraserebral mungkin tidak dapat dibedakan secara klinis dari


infark serebral, perdarah subaraknoid, dan stroke iskemik. Pada perdarahan
intraserebral, nyeri kepala, mual dan muntah seringkali mendahului defisit
neurologis, berlawanan dengan perdarahan subaraknoid, nyeri kepala biasanya
lebih tersembunyi. Pada perdarahan intraserebral hipertensif, perdarahan biasanya
terjadi pada putamen, talamus, pons, atau serebelum (penurunan frekuensi), dan
temuan pemeriksaan klinis dapat berhubungan pada area tersebut. Perdarahan
serebelar umumnya berhubungan dengan pusing, muntah, atakasia trunkal yang
khas, kelumpuhan pandangan, dan depresi tingkat kesadaran. pasien dengan
perdarahan serebelar lebih memungkinkan memiliki progresi gejala yang cepat
dan mungkin membutuhkan intervensi yang lebih agresif daripada pasien dengan
bentuk perdarahan intraserebral lainnya.5
Diagnosis banding perdarahan intraserebral serupa dengan perdarahan
subaraknoid. Anamnesis, kecepatan progresi gejala, dan gambaran klinis lainnya
mungkin akan menduga bahwa perdarahan intraserebral-lah yang paling mungkin
daripada perdarahan subaraknoid atau stroke iskemik, tetapi gambaran tersebut
secara mandiri tidak adekuat untuk membuat diagnosis klinis. CT dan MRI
masing-masing memiliki kelebihan dalam mengevaluasi pasien dengan
perdarahan intraserebral. CT lebih unggul untuk menggambarkan perluasan
perdarahan ke dalam ventrikel, sedangkan MRI lebih unggul pada
menggambarkan lesi struktural yang mendasari. Modalitas lain dapat
14

dipertimbangkan sebagaimana pemeriksaan awal untuk mendiagnosis perdarahan


intraserebral. Kemampuan yang luas dari CT menjadikan sebuah CT nonkontras
sebagai pilihan utama pada pemeriksaan awal di IGD.5
Penambahan kontras dapat memudahkan penemuan massa atau aneurisma.
Angiografi serebral dapat berguna pada beberapa pasien dalam kondisi stabil yang
tidak memerlukan tindakan bedah darurat, terutama pada mereka yeng tidak
memiliki riwayat perdarahan tersembunyi dan pada mereka yang berusia <45
tahun tanpa hipertensi. Pemeriksaan tambahan harus dilakukan untuk
menyingkirkan patologi lain atau untuk mempersiapkan tindakan bedah, jika
dibutuhkan, termasuk pemeriksaan darah lengkap, kadar elektrolit, kadar
kreatinin, kadar glukosa, elektrokardiogram, radiografi dada, pemeriksaan
pembekuan darah, dan pemeriksaan tipe darah. Pemeriksaan kehamilan urin dan
pemeriksaan dari penyalahgunaan obat-obatan harus dilakukan dengan tepat
sesuai kebutuhan.5

Gambar 6. Perdarahan intraserebral


15

Terapi Pendarahan Intra Kranial


1. Terapi Medikamentosa
a. Cairan Intravena
Prinsip manajemen adalah mempertahankan perfusi serebral yang adekuat
dengan menjaga tekanan atau bahkan menaikkan tekanan darah. Cairan intravena
diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan
normovolemia, jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan hipoglikemia yang berakibat buruk
pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan
garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan
untuk mencegah terjadinya edema otak.3 Strategi terbaik adalah mempertahankan
volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik.
Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa
menyebabkan edema otak.2
b. Hiperventilasi
Hiperventilasi segera adalah tindakan life saving yang bisa mencegah atau
menunda herniasi pada pasien yang mengalami trauma kapitis parah. Gol tindakan
ini adalah menurunkan PCO2 ke rentang 30-35 mmHg. Hiperventilasi akan
menurunkan ICP dengan menyebabkan vasokonstriksi serebri; dengan onset efek
dalam 30 detik. Hiperventilasi menurunkan ICP sekitar 25% pada rata-rata pasien;
jika pasien tidak berespon terhadap intervensi ini, prognosisnya secara umum
adalah buruk. Hiperventilasi berkepanjangan tidak dianjurkan karena bisa
menyebabkan vasokonstriksi dan iskemi. Hiperventilasi profilaksis juga tidak
dianjurkan. Hiperventilasi hanya dilakukan pada pasien trauma kapitis parah yang
mengalami penurunan neurologis atau menunjukkan tanda herniasi.8 Selain itu,
hiperventilasi dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya asidosis.7
c. Manitol
Jika pasien tidak berespon terhadap intubasi dan hiperventilasi dan ada
kecurigaan hematom ekstra-aksial maupun herniasi, penggunaan diuretika
osmotik, seperti manitol atau HTS, harus dipertimbangkan. Indikasi penggunaan
agen osmotik adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadi koma, dilatasi
16

pupil, pupil anisokor, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam
observasi.3. Manitol dipilih sebagai drug of choice dengan HTS sebagai alternatif.
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat.3 Sediaan yang
tersedia biasanya berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dengan dosis 0,25-1
g/kgBB. Manitol mengurangi edem serebri dengan menciptakan gradient osmotis
yang akan menarik cairan dari jaringan ke intravascular untuk kemudian
dikeluarkan melalui diuresis.1 Efek osmosis terjadi dalam hitungan menit dan
mencapai puncak sekitar 60 menit setelah bolus dimasukkan. Efek penurunan ICP
bolus tunggal manitol bertahan sekitar 6-8 jam. 3 Dosis tinggi manitol tidak boleh
diberikan pada penderita yang hipotensi karena manitol adalah diuretik osmotik
yang poten dan akan memperberat hipovolemia.3 HTS pada konsentrasi 3,1%-
23% digunakan untuk merawat pasien yang menderita trauma kapitis dan
kenaikan ICP. HTS menyebabkan penyebaran volume plasma, mengurangi
vasospasme, dan mengurangi respon inflamasi pascatrauma. HTS bermanfaat
pada trauma kapitis yang terjadi pada anak dan edem serebri.
d. Furosemid (Lasix)
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK.3 Dosis yang biasa
diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus intravena.3 Furosemid tidak boleh
diberikan pada penderita dengan hipotensi karena akan memperberat hipovolemia.
e. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap
obat-obatan lain. Barbiturat bekerja dengan cara “membius" pasien sehingga
metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen
juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung
dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.1
Hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat. Oleh karena itu, obat ini
tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.11
f. Antikonvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma kepala tumpul dan
50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma bukan prediksi epilepsi tetapi
kejang dini bisa memperburuk secondary brain injury dengan menyebabkan
hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan peningkatan ICP.9 Terdapat
17

3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi pasca trauma, yaitu kejang awal
yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau fraktur depresif.
Penelitan menunjukkan, pemberian antikonvulsan bermanfaat mengurangi kejang
dalam minggu pertama setelah cedera namun tidak setelah itu. Namun penelitian
lain menyebutkan, penggunaan antikonvulsan tidak mengurangi risiko serangan
kejang secara bermakna. Penggunaan obat antiepilepsi profilaksis pada trauma
kapitis akut dilaporkan menurunkan risiko kejang sekitar 66%, walau profilaksis
kejang dini tidak mencegah kejang pasca trauma. Tujuan terapi antiepilepsi adalah
untuk mencegah akibat tambahan yang disebabkan trauma.12 Kejang harus
dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30-60 menit)
dapat menyebabkan cedera otak sekunder.3 Benzodiazepine dipilih sebagai first-
line antikonvulsan. Lorazepam (0.05-0.15 mg/kg IV, tiap 5 menit hingga total 4
mg) sangat efektif menggagalkan serangan epilepsy. Pillihan lain adalah
diazepam. Untuk antikonvulsan jangka panjang, fenitoin atau fosfenitoin bisa
diberikan.11

2.Terapi Konservatif
Keadaan di bawah ini memerlukan pengelolaan medik konservatif, karena
pembedahan tidak akan membawa hasil lebih baik. Kriteria trauma kapitis yang
hanya memerlukan penatalaksanaan konservatif adalah sebagai berikut:
- Fraktura basis kranii - ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak
mata
- Racoon eyes atau memar diatas prosesus mastoid (battle’s sign) dan
atau kebocoran cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau
hidung.
- Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran temporer
- Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan
tulang yang
- Menembus dura dan jaringan otak
- Hematoma intraserebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut atau
progresif akibat contusio.
18

Pada hematoma intraserebral yang luas dapat ditatalaksana dengan


hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial
sebagai usaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk
hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya
elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis.

3. Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat:
- Volume hematoma > 25 ml
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana (burr
hole). Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma. Indikasi operasi di
bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika
untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi.
Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
- > 25 cc  desak ruang supra tentorial
- > 10 cc  desak ruang infratentorial
- > 5 cc  desak ruang thalamus

Indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan


- Penurunan klinis
- Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif
- Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell RS, Sugiharto L. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta; EGC.


2011.
2. Frank G, Goel A. Intracranial Haemorrhage. http://radiopedia.org/ diakses
pada 5 agustus 2018
3. Joseph PB, Harold PA, et.all. Guidelines for the Management of
Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. AHA Scientific Statement.
https://stroke.ahajournals.org diakses pada 5 agustus 2018
4. Birchard (eds.) et. al. Critical observations in radiology for medical
students. Wiley-Blackwell. United Kingdom: 2015 p102
5. Tintinalli JE (eds.) et.al. Tintinalli’s Emergency Medicine: a
Comprehensive Study Guide, 8th edition. McGraw-Hill Education. USA:
2016 p1140

15

You might also like