You are on page 1of 169

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI"

UNTUK MENINGKATKAN AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA


MEWUJUDKAN WILAYAH BEBAS DARI KORUPSI (WBK)
DAN WILAYAH BIROKRASI BERSIH DAN MELAYANI (WBBM)
DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG HAK CIPTA

Pasal 1
(1) Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI"
UNTUK MENINGKATKAN AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA
MEWUJUDKAN WILAYAH BEBAS DARI KORUPSI (WBK)
DAN WILAYAH BIROKRASI BERSIH DAN MELAYANI (WBBM)
DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


Kementerian Hukum dan HAM RI
2017
Implementasi Tata Nilai "Kami Pasti'
Untuk Meningkatkan Akuntabilitas Kinerja Dalam Rangka
Mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK)
dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM)
di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
copyright©
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
Jl. HR Rasuna Said Kav. 4-5 Kuningan, Jakarta Selatan
Website: www.balitbangham.go.id

Tim Pelaksana Penelitian

Pengarah : Ma’mun, Bc.IP., S.H., M.H.


Penanggung Jawab : Drs. Yasmon, M.L.S.
Ketua/Anggota : Edward James Sinaga, S.Si., M.H.
Sekretaris/Anggota : Benyamin Ginting, S.H.
Anggota : 1. Drs. Halasan Pardede
2. Nizar Apriansyah, S.E., M.H.
3. Rr. Susana A.M., S.Sos., M.A.P
4. Taufik H. Simatupang, S.H., M.H.
5. Haryono, S.Sos., M.H.
6. Insan Firdaus, S.H., M.H.
Sekretariat : 1. Maryati, S.Pd., M.Si.
2. Antonio Rajoli Ginting, S.H.
Cetakan Pertama - November 2017
Penata Letak: Bimo Setyoseno
Desain Sampul: Bimo Setyoseno
Sumber gambar sampul:
https://thumb.netz.id/image/2016/10/18/4fa995187878fd9a95591e154545b180.jpg?w=640
http://1.bp.blogspot.com/-75H0v6ButYc/WMDCzrFo8QI/AAAAAAAABP8/4fH2SWGIG
WoEcervfnvWf_OntD8hbv8WwCK4B/s1600/KAMI%2BNPASTI2.jpg
https://fakta.news/wp-content/uploads/2017/10/Gedung-KPK-1.jpg

ISBN: 978-602-6952-72-1

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta

Pracetak oleh:
Tim Pohon Cahaya
Dicetak oleh:
Percetakan Pohon Cahaya
ABSTRAK

Program aksi untuk percepatan pemberantasan dan pencegahan


korupsi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sejak tahun
2015 telah dilaksanakan melalui gerakan revolusi mental “Ayo Kerja,
Kami PASTI“. Pencanangan revolusi mental ini, seharusnya terdapat
benang merah yang saling bersinergi dengan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi dalam suatu wadah yang disebut Wilayah Bebas
dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani. Namun,
hingga saat ini hanya menghasilkan 1 (satu) unit satuan kerja yang
berkategori Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK). Kajian ini bertujuan
untuk menganalisis internalisasi Tata Nilai “Kami PASTI”, kemampuan
sumber daya manusia dalam melaksanakan program “Kami PASTI”,
dan menjabarkan faktor penghambat dalam pemenuhan indikator
Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan
Melayani di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Kajian ini
dilakukan dengan menggunakan pendekatan gabungan metodologi
kualitatif dan kuantitatif yang dalam pengumpulan data dilakukan
melalui pengumpulan data primer dan data sekunder.
Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar pegawai
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mengetahui tata
nilai PASTI dan telah menginternalisasikan nilai-nilai tersebut dalam

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM v
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
pelaksanaan tugas dan fungsi yang diperkuat dengan pembangunan
“Tunas Integritas Kemenkumham” secara nasional di setiap kantor
wilayah. Selain itu, telah melakukan inovasi dengan pengembangan
proyek perubahan yang fokus pada melayani masyarakat. Namun
dalam implementasinya masih ditemukan faktor penghambat
dalam pemenuhan indikator WBK dan WBBM pada satuan kerja di
lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, antara lain
kurangnya data dukung pelaksanaan kegiatan yang telah dilakukan
dan masih belum membuat laporan kegiatan yang telah dilakukan.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


vi KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
KATA SAMBUTAN

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
atas berkat rahmat dan karunia-Nya kajian tentang Implementasi
Tata Nilai “Kami PASTI” untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja
dalam rangka mewujudkan WBK dan WBBM di lingkungan
Kemenkumham dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada
waktunya.
Kajian ini dilaksanakan dalam rangka menindaklanjuti Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi. Untuk mempercepat pemberantasan korupsi, Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia telah melakukan langkah-langkah
menuju terwujudnya Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah
Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK dan WBBM) sejak tanggal 21
Juni 2012. Langkah-langkah menuju terwujudnya WBK dan WBBM
dimulai dengan mencanangkan 17 kantor wilayah sebagai Zona
Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas dari Korupsi. Kemudian,
melalui Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2015 tentang Rencana Strategis
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019,

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM vii
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
telah melakukan Gerakan Revolusi Mental “Ayo Kerja, Kami PASTI“.
Akronim PASTI merupakan singkatan dari Profesional, Akuntabel,
Sinergi, Transparan, dan Inovatif.
Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar pegawai
Kemenkumham telah mengetahui tata nilai PASTI dan telah
menginternalisasikan nilai-nilai tersebut dalam pelaksanaan tugas
dan fungsi yang diperkuat dengan pembangunan “Tunas Integritas
Kemenkumham” secara nasional di setiap kantor wilayah. Selain
itu, telah melakukan inovasi dengan pengembangan proyek
perubahan yang fokus pada melayani masyarakat. Namun dalam
implementasinya masih ditemukan faktor penghambat dalam
pemenuhan indikator WBK dan WBBM pada satuan kerja di
lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, antara lain kurangnya
data dukung pelaksanaan kegiatan yang telah dilakukan dan belum
dibuatnya laporan kegiatan yang telah dilakukan.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu pelaksanaan kajian ini, terutama
personel tim kajian yang telah bekerja dengan baik. Semoga hasil
kajian ini bisa bermanfaat bagi kemajuan Kementerian Hukum dan
HAM.

Jakarta, November 2017


Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM,

Ma’Mun, Bc.IP.,S.H.,M.H
NIP. 19571212 198101 1 001

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


viii KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa atas terselesaikannya Laporan Kajian tentang Implementasi
Tata Nilai “Kami PASTI” untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja
dalam rangka mewujudkan WBK dan WBBM di lingkungan
Kemenkumham.
Laporan ini adalah hasil kegiatan kajian oleh Tim Kajian yang
dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian
dan Pengembangan Hukum dan HAM Nomor PPH-254.UM.01.01
Tahun 2017 tentang Tim Pelaksana Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Implementasi Tata Nilai “Kami PASTI” untuk meningkat­
kan akuntabilitas kinerja dalam rangka mewujudkan WBK dan
WBBM di lingkungan Kemenkumham.
Kajian ini dimulai dengan pengumpulan data awal, penyusunan
riset desain, presentasi awal, penyusunan instrumen, pengumpulan
data lapangan, tabulasi data, hingga sampai pada penyusunan
laporan akhir. Pengumpulan data lapangan dilaksanakan pada bulan
April sampai dengan Mei 2017. Data lapangan diperoleh dari Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan HAM di DKI Jakarta, Sumatera
Utara, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan
Nusa Tenggara Timur

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM ix
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Pada akhirnya, kami sangat berharap Laporan Hasil Kajian
ini dapat bermanfaat dan menjadi referensi semua pihak yang
membutuhkannya, terutama bagi Pimpinan Kementerian Hukum
dan HAM, dalam hal ini Pimpinan Semua Unit Utama dan Pimpinan
Satuan Kerja dalam mengambil langkah-langkah kebijakan strategis
untuk mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah
Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM).

Jakarta, November 2017


Kepala
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan

Drs. Yasmon, M.L.S.


NIP 19680520 199403 1 002
DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................ v
KATA SAMBUTAN .............................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................. ix
DAFTAR ISI ......................................................................... xi
DAFTAR TABEL .................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR .............................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN ..................................................... 1


A. Latar Belakang ............................................................... 1
B. Pokok Permasalahan ..................................................... 11
C. Tujuan ............................................................................. 12
D. Sasaran ........................................................................... 12
E. Output dan Outcome .................................................... 12
F. Ruang Lingkup ............................................................... 13
G. Metode Penelitian .......................................................... 13
H. Jadwal Pelaksanaan ........................................................ 18
I. Biaya Pelaksanaan .......................................................... 19
J. Personil Tim ................................................................... 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................. 21


A. Implementasi ................................................................. 21
1. Implementasi Kebijakan publik ............................. 21
2. Teori Implementasi ................................................. 25
3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan ....... 32
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM xi
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
B. Profesionalisme .............................................................. 35
C. Akuntabilitas .................................................................. 36
D. Sinergi ............................................................................. 41
1. Konsep Sinergi ......................................................... 41
2. Kepemimpinan Sinergi ............................................ 44
E. Tranparansi .................................................................... 48
F. Inovatif ........................................................................... 52
1. Konsep Inovatif ........................................................ 52
2. Faktor-faktor Pendukung Keberhasilan Inovasi .... 54
3. Perilaku Inovatif ...................................................... 57
4. Dimensi Perilaku Inovatif ....................................... 58
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perilaku Inovatif ...................................................... 59
G. Konsepsi Pelayanan Publik ........................................... 60

BAB III GAMBARAN UMUM LAYANAN


PEMASYARAKATAN DAN KEIMIGRASIAN .......... 69
A. Layanan Pemasyarakatan .............................................. 69
1. Bidang Pembinaan Narapidana
dan Pelayanan Tahanan ........................................... 70
2. Bidang Keamanan dan Ketertiban .......................... 80
3. Bidang Kesehatan dan Perawatan Narapidana ...... 81
4. Bidang Bimbingan Kemasyarakatan
dan Pengentasan Anak............................................. 88
B. Layanan Keimigrasian ................................................... 93
1. Pembuatan Surat Perjalanan Republik Indonesia
(SPRI)/Paspor .......................................................... 94
2. Penerbitan Visa ........................................................ 95
3. Izin Tinggal .............................................................. 97

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


xii KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............. 99
A. Pasti ” Kementerian Hukum dan HAM ........................ 99
1. Kondisi Umum Kemenkumham ............................. 100
2. Visi, Misi, Nilai dan Tujuan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ...... 102
B. Internalisasi Tata Nilai “Kami PASTI” dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi dari satuan kerja
di lingkungan Kemenkumham dalam mendukung
program Percepatan Pemberantasan dan Pencegahan
Korupsi............................................................................ 105
1. Identitas Responden ................................................ 105
2. Internalisasi Kami PASTI ........................................ 107
3. Tata Nilai Sebagai Upaya Pemberantasan ..............
Korupsi ..................................................................... 111
4. Kemenkumham Menuju Organisasi Inovatif ........ 114
C. Implementasi Tata Nilai Dan Program “Kami Pasti”,
Dalam Mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi dan
Wilayah Birokrasi Bersih Dan Melayani
(WBK Dan WBBM) ....................................................... 122
1. Evaluasi Zona Integritas (ZI) Menuju
WBK/WBBM ............................................................ 124
2. Survei Kepuasan Masyarakat .................................. 130
D. Faktor Penghambat Dalam Pemenuhan Indikator
WBK dan WBBM di Lingkungan Kementerian
Hukum dan HAM .......................................................... 137

BAB V PENUTUP ............................................................... 139


A. Kesimpulan .......................................................................... 139
B. Saran ..................................................................................... 143

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 145

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM xiii
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Strata Kanwil Berdasarkan Jumlah UPT ....................... 15


Tabel 2. Kanwil Terpilih Sebagai Lokasi Penelitian ................... 15
Tabel 3. Analisis validitas ............................................................ 131
Tabel 4. Analisis Reliabilitas ........................................................ 132
Tabel 5. Hasil Indeks Kepuasan Masyarakat .............................. 133
Tabel 6. Nilai Indeks Kepuasan Masyarakat UPT Kanim,
Lapas, dan Rutan ........................................................... 136

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


xiv KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tiga Tingkatan Interaksi Menurut Deardrorff


dan Williams .............................................................. 47
Gambar 2. Sinergi Enam Komponen Organisasi Kuantum ...... 48

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM xv
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan
keberhasilan dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan
sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan mencakup
semua aspek kehidupan masyarakat. Efektivitas dan keberhasilan
pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber
daya manusia dan pembiayaan. Diantara dua faktor tersebut yang
paling dominan adalah faktor sumber daya manusianya. Rendahnya
kualitas sumber daya manusia berimplikasi langsung terhadap tugas
dan fungsi yang diembannya. Kualitas tersebut bukan hanya dari
segi pengetahuan atau intelektual saja, akan tetapi juga menyangkut
kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya
tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan
terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan
patologi social (penyakit sosial) yang sangat berbahaya yang
mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 1
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Korupsi telah mengakibatkan kerugian keuangan negara yang
sangat besar. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan
rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji
mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak
ada jawaban lain kalau kita ingin maju, korupsi harus diberantas.
Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak
mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendah maka
jangan harap Negara yang kita cintai ini akan mampu mengejar
ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah
negara yang maju.
Korupsi di Indonesia telah berkembang dalam 3 (tiga) tahap
yaitu elitis, endemik, dan sistematik. Pada tahap elitis, korupsi
masih menjadi patologi social yang khas di lingkungan para elit/
pejabat. Pada tahap endemik, korupsi mewabah menjangkau lapisan
masyarakat luas. Lalu di tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi
sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit penyakit yang
serupa. Penyakit korupsi di Indonesia ini telah sampai pada tahap
sistematik. Perbuatan korupsi merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga korupsi
tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary-
crimes). Dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan
“secara biasa”, tetapi dituntut cara-cara yang “luar biasa“ (extra-
ordinary enforcement).
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia meski memiliki
potensi dalam mendukung pencapaian tujuan dan sasaran
pembangunan nasional namun masih memiliki hambatan dan
permasalahan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki
diantaranya akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan hukum dan

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


2 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
hak asasi manusia.1 Akuntabilitas kinerja dalam penyelenggaraan
pelayanan hukum pada seluruh unit kerja dan mekanisme penegakan
disiplin petugas perlu diperbaiki sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Aspek penegakan disiplin penting
dalam rangka penguatan fungsi-fungsi pengendalian internal dan
pengawasan internal dalam penyelenggaraan seluruh kegiatan
pelayanan hukum di Kementerian Hukum dan HAM yang bermuara
pada upaya pencegahan serta penindakan terhadap aktivitas yang
bertendensi korupsi dan penyalahgunaan kewenangan.
Dari sisi pengawasan, Inspektorat Jenderal menyebutkan
bahwa masih terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
atau irregularities di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM
karena kurangnya penegakan aturan, lemahnya pengawasan secara
berjenjang dari atasan, dan kurangnya upaya-upaya pencegahan
korupsi, kolusi dan nepotisme.2
Dalam upaya pemberantasan korupsi, pada tanggal 9 Desember
2004 pemerintah Indonesia telah menerbitkan Instruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 2004 (Inpres No. 5 Tahun 2004) tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi. Secara umum instruksi ini memerintahkan
kepada para pembantu Presiden untuk melakukan berbagai upaya-
upaya percepatan pemberantasan korupsi, yang dimulai dari internal
pemerintah. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Internal Pemerintah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4890).

1 Lampiran Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor 7 tahun 2015 Tentang Rencana strategis Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Tahun 2015 – 2019, hlm. 41.
2 Ibid, hlm. 43.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 3
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Salah satu upaya pencegahan korupsi yang paling efektif selain
penindakan adalah penguatan penyelenggaraan Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah (SPIP). Sistem Pengendalian Intern (SPI) adalah
proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan
secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk
memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi
melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan
keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan. SPI yang diselenggarakan secara menyeluruh
di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah disebut SPI
Pemerintah (SPIP). SPIP wajib dilaksanakan oleh menteri/pimpinan
lembaga, gubernur, dan bupati/walikota untuk mencapai pengelolaan
keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Jika
dilaksanakan dengan baik dan benar, SPIP akan memberi jaminan
di mana seluruh penyelenggara negara mulai dari pimpinan hingga
pegawai di instansi pemerintah akan melaksanakan tugasnya dengan
jujur dan taat pada peraturan. Dengan demikian, tidak akan terjadi
penyelewengan yang dapat menimbulkan kerugian negara. Salah
satu indikator keberhasilan penerapan SPIP adalah keandalan dalam
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan
Kementerian/Lembaga (LKKL), dan Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD). Dengan penerapan SPIP diharapkan akan dapat
diwujudkan pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel.
Menindaklanjuti Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tersebut, Kementerian
Hukum dan HAM telah melakukan langkah-langkah menuju
terwujudnya Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi
Bersih dan Melayani (WBK dan WBBM). Namun sejak pencanangan
wilayah bebas korupsi mulai tahun 2004 sampai saat ini, dari 814

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


4 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
satuan kerja yang ada di Kemenkumham3  hanya satu unit kerja/
satuan kerja yang telah memperoleh predikat WBK/WBBM, yaitu
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang. Tentu ini menjadi
“pekerjaan rumah” Kemenkumham untuk menyelesaikan problema
ini, sehingga unit kerja/satuan kerja lainnya dapat memperoleh
predikat wilayah WBK/WBBM.
Seperti diketahui, Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Kemenkumham) merupakan Kementerian ke-5 yang
mencanangkan sebagai Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah
Bebas dari Korupsi. Kemenkumham mencanangkan pembangunan
zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi (WBK) sejak
tanggal 21 Juni 2012 pada 17 kantor wilayah. Pencanangan tersebut
ditandai dengan penandatanganan piagam pencanangan ZI oleh
Menkumham disaksikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi, Ketua KPK, dan Ketua Ombudsman.
Pencanangan tersebut sebelumnya telah didahului dengan
penandatanganan Pakta Integritas oleh seluruh pegawai, pejabat di
lingkungan Kemenkumham.
Proses Pembangunan Zona Integritas (ZI) Menuju Wilayah Bebas
dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayaani (WBBM)
adalah Proses pembangunan Zona Integritas yang merupakan tindak
lanjut pencanangan yang telah dilakukan oleh pimpinan instansi
pemerintah. Proses pembangunan Zona Integritas difokuskan pada
penerapan program Manajemen Perubahan, Penataan Tatalaksana,
Penataan Manajemen SDM, Penguatan Pengawasan, Penguatan

3 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia terdiri dari 814 satuan kerja yang
meliputi 11 Unit Eselon I, 33 Kantor Wilayah, 5 Balai Harta Peninggalan, 121
Kantor Imigrasi, 13 Rumah Detensi Imigrasi, 18 Perwakilan RI di Luar Negeri, 263
Lembaga Pemasyarakatan, 215 Rumah Tahanan Negara, 71 Balai Pemasyarakatan,
63 Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara dan 1 Rumah Sakit. Jumlah Pegawai
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebanyak 44.178 orang (Per Juni 2014).

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 5
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Akuntabilitas Kinerja, dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
yang bersifat konkrit. Dalam membangun Zona Integritas, pimpinan
instansi pemerintah menetapkan satu atau beberapa unit kerja yang
diusulkan sebagai Wilayah Bebas Korupsi/Wilayah Birokrasi Bersih
Melayani.
Predikat menuju WBK adalah predikat yang diberikan kepada
unit kerja/satuan kerja yang memenuhi sebagian besar manajemen
perubahan, penataan tatalaksana, penataan sitem Manjemen SDM,
penguatan pengawasan, dan penguatan akuntabilitas kinerja,
sedangkan predikat menuju WBBM adalah predikat yang diberikan
kepada suatu unit kerja/satuan kerja yang sebelumnya telah
mendapat predikat menuju WBK dan memenuhi sebagian besar
manajemen perubahan, penataan tatalaksana, penataan sistem
manajemen SDM, penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas
kinerja, dan penguatan kualitas pelayanan publik.
Adapun Pemilihan unit kerja/satuan kerja yang diusulkan
mendapat predikat menuju WBK/menuju WBBM mem­
perhatikan beberapa syarat yang telah ditetapkan, diantaranya:
1. Setingkat eselon I sampai dengan eselon III.
2. Dianggap sebagai unit yang penting/strategis dalam  melakukan 
pelayanan  publik.
3. Mengelola  sumber  daya  yang cukup besar.
4. Memiliki tingkat keberhasilan reformasi birokrasi yang cukup
tinggi di unit kerja/satuan kerja tersebut.

Untuk memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi


selanjutnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025
dan Jangka Menengah tahun 2012-2014. Dalam pasal 3 Peraturan

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


6 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 mengamanahkan bahwa
“Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah menjabarkan dan
melaksanakan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi sebagaimana dalam pasal 2, melalui Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi (PPK) yang ditetapkan setiap 1 (satu) tahun”.
Kemudian pada Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2014 tentang
Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tahun 2014 dalam
diktum ketiga dijabarkan bahwa “Aksi PPK tahun 2014 sebagaimana
dimaksud dalam diktum pertama, berpedoman pada strategi-
strategi: pencegahan, penegakan hukum, peraturan perundang-
undangan, kerjasama internasional dan penyelamatan aset hasil
korupsi, pendidikan dan budaya anti korupsi, dan mekanisme
pelaporan.
Kemudian untuk penetapan unit kerja/satuan kerja yang
berstatus WBK, Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan Peraturan
Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor M.HH-01.
PW.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Penetapan Wilayah Bebas
Korupsi (WBK) Kementerian Hukum dan HAM. Dalam pasal 3
Permenkumham ini dijelaskan bahwa ruang lingkup pelaksanaan
WBK di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, meliputi :
penerapan sistem pengendalian intern pemerintah, komitmen
pimpinan unit kerja terhadap percepatan pemberantasan dan
pencegahan korupsi, penetapan kinerja, penetapan area WBK,
serta monitoring dan evaluasi. Sedangkan dalam pasal 8 dikatakan
bahwa Inspektorat Jenderal melaksanakan monitoring, evaluasi, dan
penilaian atas laporan pelaksanaan WBK dan hasilnya dilaporkan
kepada Menteri untuk ditetapkan sebagai Unit Kerja WBK.
Pencanangan program aksi untuk Percepatan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi, serta Gerakan Revolusi Mental pada Kabinet
Kerja sesuai dengan Direktif Presiden melalui jalan perubahan
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 7
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
JOKOWI-JK untuk rakyat Indonesia, yang berisikan 3 (tiga) aspek
perubahan yaitu : menghadirkan negara yang bekerja, kemandirian
yang mensejahterakan, dan revolusi mental. Seiring dengan itu
Kementerian Hukum dan HAM melalui Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2015
Tentang Rencana Strategis Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia tahun 2015-2019 juga telah melakukan Gerakan Revolusi
Mental “Ayo Kerja, Kami PASTI“. Akronim “PASTI” merupakan
singkatan dari Profesional, Akuntabel, Sinergi, Transparan, dan
Inovatif.
Pemahaman tata nilai yang terkandung dalam Gerakan Revolusi
Mental “Ayo Kerja, Kami PASTI “ adalah sebagai berikut :
• Profesional : bekerja dengan kerangka acuan yang jelas, jadwal
yang tepat , dan mekanisme yang benar.
Aparat Kementerian Hukum dan HAM adalah aparat yang bekerja
keras untuk mencapai tujuan organisasi melalui penguasaan
bidang tugasnya, menjunjung tinggi etika dan integritas profesi.
• Akuntabel : pertanggungjawaban yang akuntabel , prinsip
efektivitas dan efisiensi , serta mendahulukan yang strategis dan
prioritas.
Setiap kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
oleh aparat Kementerian Hukum dan HAM dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan
ketentuan atau peraturan yang berlaku.
• Sinergi : kembangkan kompetensi sesuai tugas dan fungsi,
satukan energi , dan komunikasi yang efektif.
Komitmen untuk membangun dan memastikan hubungan
kerjasama yang produktif serta kemitraan yang harmonis
aparat Kementerian Hukum dan HAM dengan para pemangku

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


8 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
kepentingan untuk menemukan dan melaksanakan solusi
terbaik, bermanfaat dan berkualitas.
• Transparan: prosedur permohonan, proses pelayanan,
kejelasan tarif , kejelasan waktu penyelesaian, fasilitas lain yang
mendukung standar pelayanan prima.
Kementerian Hukum dan HAM menjamin akses atau kebebasan
bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang
penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang
kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-
hasil yang dicapai.
• Inovatif : mengoptimalkan diri untuk berkreatif, pengembangan
inisiatif, melakukan pembaharuan dalam pelaksanaan tugas dan
fungsi.
Kementerian Hukum dan HAM mendukung kreativitas dan
mengembangkan inisiatif untuk selalu melakukan pembaharuan
dalam penyelenggaraan tugas dan fungsinya.

Adapun tujuan penerapan tata nilai “PASTI” (Profesional,


Akuntabel, Sinergi, Transparan, dan Inovatif) adalah :
1. Senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengutamakan kejujuran dan pengabdian dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat, sebagai bentuk dukungan dalam
menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa
dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara.
3. Menjunjung tinggi integritas dan kehormatan sebagai aparatur
negara dalam rangka memperkuat kehadiran negara dalam
melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas
korupsi, martabat, dan terpercaya.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 9
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
4. Membangun karakter bangsa dengan semangat kerja keras, kerja
cerdas, inovatif dan berkepribadian.
5. Menciptakan semangat Bhinneka Tunggal Ika dalam setiap
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta
senantiasa berdikari dan bergotong-royong guna menguatkan
nilai-nilai Persatuan Indonesia.

Sedangkan manfaat yang diperoleh dari Gerakan Revolusi


Mental “Ayo Kerja, Kami PASTI “ ini adalah seluruh aparatur
Kementerian Hukum dan HAM menjadi manusia yang sehat,
cerdas, dan berkepribadian, sehingga mampu berperan aktif dalam
mensukseskan sasaran pembangunan nasional yang diemban oleh
Kementerian Hukum dan HAM.
Pelaksanaan tata nilai “PASTI” (Profesional, Akuntabel, Sinergi,
Transparan, dan Inovatif) adalah :
1. Gerakan “Ayo Kerja, Kami PASTI” sudah dilaksanakan secara
menyeluruh dan dimulai serentak pada tanggal 1 Juni 2015 di
814 satuan kerja Kementerian Hukum dan HAM di seluruh
Indonesia.
2. Pencanangan awal adalah melalui Apel Serentak di seluruh
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM dipimpin
oleh para pejabat eselon I. Profesional, Akuntabel, Sinergi,
Transparan, dan Inovatif.
3. Selanjutnya dikeluarkan Instruksi Menteri untuk masing-
masing satuan kerja untuk melakukan : penyerahan dokumen
pedoman kerja antara lain : Peraturan Menteri tentang Target
Kinerja Tahun 2015, Surat Keputusan Menteri tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penganggaran, Pengelolaan Keuangan, dan Barang
Milik Negara serta Laporan Kinerja, dan Instruksi Menteri

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


10 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
tentang Pelaksanaan Kesepakatan Bersama Unit Eselon I dan
Kantor Wilayah dalam Penyusunan Anggaran Tahun 2016.
4. Deklarasi “Ayo Kerja, Kami PASTI” oleh seluruh pegawai
Kementerian Hukum dan HAM dengan melaksanakan Target
Kinerja Kementerian Hukum dan HAM yang disahkan melalui
Peraturan Menteri.

Dari uraian tentang program aksi untuk percepatan


pemberantasan dan pencegahan korupsi yang telah diatur
dengan beberapa peraturan perundang-undangan dan gerakan
revolusi mental “Ayo Kerja, Kami PASTI“ yang telah dicanangkan
di Kemenkumham seharusnya terdapat benang merah yang saling
bersinergi antara tata nilai “Kami PASTI” dengan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi (PPK) dalam suatu wadah yang disebut Wilayah
Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani
(WBK dan WBBM). Sehubungan dengan itu dipandang perlu
dilakukan suatu pengkajian tentang : Implementasi Tata Nilai “Kami
PASTI” untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja dalam rangka
mewujudkan WBK dan WBBM di lingkungan Kemenkumham.

B. Pokok Permasalahan
1. Bagaimana internalisasi Tata Nilai “Kami PASTI” dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi dari satuan kerja di lingkungan
Kemenkumham terutama dalam mendukung program
Percepatan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi?
2. Apakah Sumber Daya Manusia yang ada di Kemenkumham dapat
melaksanakan tata nilai dan program “Kami PASTI”, serta dapat
memberikan kontribusi dalam mewujudkan Wilayah Bebas dari
Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK dan
WBBM)?

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 11
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
3. Apa faktor penghambat dalam pemenuhan indikator WBK dan
WBBM di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM?

C. Tujuan
1. Untuk menganalisis internalisasi Tata Nilai “Kami PASTI” dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi dari satuan kerja di lingkungan
Kemenkumham terutama dalam mendukung program
Percepatan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi.
2. Untuk menganalisis kemampuan Sumber Daya Manusia yang
ada di Kemenkumham dapat melaksanakan tata nilai dan
program “Kami PASTI”, serta dapat memberikan kontribusi
dalam mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah
Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK dan WBBM).
3. Untuk menjabarkan faktor penghambat dalam pemenuhan
indikator WBK dan WBBM di lingkungan Kementerian Hukum
dan HAM.

D. Sasaran
Terwujudnya rekomendasi kebijakan terkait kontribusi Sumber
Daya Manusia di lingkungan Kemenkumham dalam mewujudkan
Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan
Melayani (WBK dan WBBM).

E. Output dan Outcome


Output:
Rekomendasi Kebijakan dan Buku hasil pengkajian dan
Pengembangan tentang Implementasi Tata Nilai “Kami PASTI”

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


12 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja dalam rangka
mewujudkan WBK dan WBBM di lingkungan Kemenkumham.
Outcome:
Meningkatnya budaya kerja “Kami PASTI” bagi pegawai di
lingkungan Kemenkumham dan terwujudnya WBK dan WBBM.

F. Ruang Lingkup
Pengkajian ini dibatasi aspek-aspek yang berkaitan dengan
kebijakan dalam program pencegahan pemberantasan korupsi,
internalisasi tata nilai “Kami PASTI” bagi pegawai dan upaya-
upaya untuk mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah
Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK dan WBBM) di lingkungan
Kemenkumham.

G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Pengkajian ini merupakan pengkajian kebijakan (Policy
Research), yang bertujuan untuk merumuskan kebijakan
yang harus dilakukan atas suatu kepentingan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan gabungan kualitatif dan kuantitatif
yang dalam pengumpulan data dilakukan melalui pengumpulan
data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui
wawancara mendalam dengan beberapa narasumber yang
kompeten dan pembagian kuesioner, sedangkan data sekunder
diperoleh melalui dokumen-dokumen yang memiliki korelasi
dengan objek kajian.
Aplikasi metode kualitatif dalam penelitian kebijakan
dilakukan dengan menempuh langkah-langkah sebagai berikut:

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 13
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
a) Merumuskan masalah sebagai fokus studi penelitian
kebijakan.
b) Mengumpulkan data lapangan.
c) Menganalisis data.
d) Merumuskan hasil studi.
e) Menyusun rekomendaasi untuk pembuatan kebijakan.

2. Populasi dan Sampel


Populasi adalah keseluruhan gejala/satuan yang ingin
diteliti, atau dengan kata lain populasi merupakan obyek atau
subyek yang menunjukkan keseluruhan wilayah atau grup dari
orang-orang atau peristiwa yang mempunyai kaitan dengan
permasalahan yang diteliti.
Populasi penelitian ini adalah Kantor wilayah (Kanwil) di
lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI yang berjumlah
33 Kanwil. Teknik penarikan sampel yang dilakukan dalam
penelitian ini dengan non probability sampling dengan cara
mengambil sampel secara sengaja (purpossive judgment
sampling). Namun, sebelum dilakukan secara purpossive
judgment sampling terlebih dahulu dilakukan stratifikasi Kanwil
berdasarakan jumlah UPT. Setelah menjadi 3 strata, kemudian
dipilih tujuh kantor wilayah sebagai lokus yang mewakili
Kanwil ketiga strata tersebut dan sekaligus keterwakilan wilayah
Barat, Tengah, dan Timur. Lokasi yang terpilih: Yogyakarta,
NTT, Sumut, Jateng, Jabar, Sulsel, dan DKI Jakarta. Selain di
Kanwil, pengambilan data juga dilakukan di UPT-UPT. Dari
Kanwil terpilih tersebut kemudian ditentukan secara purpossive
judgment sampling untuk menentukan 5 UPT yang mewakili
UPT Keimigrasian dan UPT Pemasyarakatan.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


14 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Tabel 1
Strata Kanwil Berdasarkan Jumlah UPT
JUMLAH JUMLAH JUMLAH
KANWIL KANWIL KANWIL
UPT<15 UPT 15-23 UPT>23
BENGKULU 9 KEPRI 18 ACEH 29
BABEL 11 JAMBI 15 SUMUT 47
YOGYAKARTA 14 LAMPUNG 21 RIAU 28
NTB 13 BANTEN 15 SUMBAR 26
KALTENG 14 BALI 16 SULSEL 24
GORONTALO 4 NTT 22 JABAR 39
SULBAR 8 KALBAR 23 JAKARTA 26
SULTENG 14 KALSEL 18 JATENG 68
SULTRA 10 KALTIM 18 JATIM 62
MALUT 10 SULUT 19 SUMSEL 32
PAPUA BARAT 11 MALUKU 19
PAPUA 19
Sumber : Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

Tabel 2
Kanwil Terpilih Sebagai Lokasi Penelitian

JUMLAH JUMLAH JUMLAH KANWIL


KANWIL
UPT<15 UPT UPT>23 BELUM
KANWIL PERCON-
15-23 PERCON-
TOHAN
TOHAN
JATENG (68) - - √ √ -
SUMUT (47) - - √ √ -
JABAR (39) - - √ √ -
JAKARTA (26) - - √ √ -
SULSEL (24) - - √ √ -
NTT (22) - √ - - √
YOGYAKARTA
√ - - √ -
(14)
Sumber : Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Inspektorat Jenderal KEMENKUMHAM

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 15
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Responden pada Kanwil terpilih adalah unsur pimpinan di kanwil
yaitu Kakanwil, dan lima responden dari masing-masing divisi.
Sementara, dari UPT Imigrasi dan UPT Pemasyarakatan ditentukan
Kepala UPT dan lima responden dari masing-masing UPT terpilih.

3. Jenis Data
Adapun data yang dikumpulkan dalam menunjang penelitian
ini terdiri dari dua jenis, yaitu:
a) Data Primer
Data primer adalah yang langsung dikumpulkan oleh peneliti
dari lapangan, yaitu data yang diambil dari responden. Data
ini merupakan jawaban dari kuesioner yang dibagikan
kepada responden dan hasil wawancara.
b) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang bukan berasal dari sumber
pertamanya, dimana data ini dapat diperoleh dari arsip-arsip
atau dokumen lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian
ini.

4. Sumber Data
Menurut Arikunto “yang dimaksud dengan sumber data
dalam pengkajian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.4
”Mengingat penelitian ini difokuskan pada Implementasi Tata Nilai
“Kami PASTI” untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja dalam
rangka mewujudkan WBK dan WBBM di Unit eselon I, Kanwil, dan
UPT maka sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari Unit
eselon I, Kanwil, dan UPT Kemenkumham.

4 Arikunto, S., Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Ed Revisi. Jakarta :


Rineka Cipta, hlm.172, 2010.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


16 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
5. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Prosedur pengumpulan data primer dalam penelitian
ini dengan menggunakan kuesioner yang dibagikan langsung dan
pedoman wawancara kepada responden yaitu jajaran pimpinan di
Kanwil dan UPT untuk diisi jawabannya sesuai pertanyaan dalam
rangka mendapatkan data yang dibutuhkan. Setelah kuesioner
tersebut dibagikan, responden diberikan arahan dan petunjuk
untuk pengisian instrumen. Responden dapat menjawab langsung
kuesioner yang telah dibagikan menurut pengetahuan dan
pemahaman serta pengalaman kerja yang telah dilaluinya dalam
waktu lebih kurang 1 (satu) minggu, kemudian mengembalikan
kuesioner itu kembali kepada peneliti.
Kuesioner yang dibagikan memuat pertanyaan tentang
hal-hal yang terkait dengan Implementasi Tata Nilai “Kami
PASTI”, akuntabilitas kinerja dan WBK/WBBM di lingkungan
Kemenkumham.
Data sekunder dapat dikumpulkan oleh peneliti melalui catatan
ataupun permintaan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian
kepada Unit eselon I, Kanwil, dan UPT yang menjadi objek penelitian.

6. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah merupakan alat ukur yang
dikembangkan yang mengacu pada karakteristik variabel penelitian
yang diukur. Dalam penelitian ini instrumen pengumpulan data
yang digunakan adalah melalui angket atau kuesioner dan pedoman
wawancara. Angket atau kuesioner yang digunakan dalam penelitian
ini adalah angket bersruktur yang terdiri-dari pertanyaan dengan
jawaban berupa pilihan ganda (multiplechoice) yang terdiri dari
empat pilihan jawaban dan responden memilih jawaban yang paling

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 17
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
sesuai dan tepat. Sistem penilaian kuesioner dilakukan dengan
memberikan skor pada masing-masing jawaban, yakni 4 (empat)
untuk pilihan jawaban a, 3 (tiga) untuk pilihan jawaban b, 2 (dua)
untuk pilihan c, dan 1 (satu) untuk pilihan jawaban d. Sistem
penilaian kuesioner ini diolah oleh peneliti.

7. Teknik Analisis Data


Dari data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis
untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dalam melakukan analisis
dilakukan terlebih dahulu dilakukan Uji Coba Instrumen. Uji coba
instrumen dilakukan untuk menentukan tingkat kesahihan dan
kehandalan instrumen yang sudah disusun dengan melakukan uji
validitas dan reliabilitas.
Kegiatan penghitungan statistik memakai program SPSS
(Statistical Package for Social Sciences) versi 22,0 for Windows.
Penggunaan aplikasi SPPS agar dapat diperoleh perhitungan statistik
distribusi frekuensinya. Selain dilakukan distribusi frekuensi,
dilakukan penentuan nilai dominan Internalisasi Tata Nilai “Kami
PASTI” dalam pelaksanaan tugas dan fungsi dari satuan kerja di
lingkungan Kemenkumham dalam mendukung program Percepatan
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi. Kemudian dilakukan juga
untuk menganalisis penentuan indeks dari pelayanan yang dilakukan
terhadap masyarakat.

H. Jadwal Pelaksanaan
Pengkajian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari sampai
dengan September 2017.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


18 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
I. Biaya Pelaksanaan
Biaya dalam kegiatan pengkajian ini dibebankan pada Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Badan Penelitian dan Pengembangan
Hukum dan HAM Tahun Anggaran 2017.

J. Personel Tim
Personel Tim Pelaksana Penelitian “Implementasi Tata Nilai
“Kami PASTI” untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja
dalam rangka mewujudkan WBK dan WBBM di lingkungan
Kemenkumham berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan
Penelitian Hukum dan HAM RI Nomor : PPH-254.UM.01.01 Tahun
2017 dengan susunan sebagai berikut:

Pengarah : Ma’mun, Bc.IP., S.H., M.H.


Penanggung Jawab : Drs. Yasmon, M.L.S.
Ketua/Anggota Tim : Edward James Sinaga, S.Si., M.H.
Sekretaris/Anggota : Benjamin Ginting, S.H.
Tim
Anggota : Drs. Halasan Pardede
Nizar Apriansyah, S.E., M.H.
Rr. Susana A.M. , S.Sos., M.AP.
Taufik H. Simatupang, S.H., M.H.
Haryono, S.Sos.
Insan Firdaus, S.H., M.H.
Sekretariat : Maryati, S.Pd., M.Si.
Antonio Rajoli Ginting, S.H.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 19
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Implementasi
1. Implementasi Kebijakan publik
Secara umum istilah implementasi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti pelaksanaan atau penerapan. Istilah implementasi
biasanya dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk
mencapai tujuan tertentu.
Kamus Webster, merumuskan bahwa to implement
(mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying
out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give
practicia effect to (menimbulkan dampak atau akibat terhadap
sesuatu). Pengertian tersebut mempunyai arti bahwa untuk
mengimplementasikan sesuatu harus disertakan sarana yang
mendukung yang nantinya akan menimbulkan dampak atau akibat
terhadap sesuatu itu.
Pengertian implementasi di atas apabila dikaitkan dengan
kebijakan adalah bahwa sebenarnya kebijakan itu hanya
dirumuskan lalu dibuat dalam suatu bentuk positif seperti undang-
undang dan kemudian didiamkan dan tidak dilaksanakan atau
diimplementasikan, tetapi sebuah kebijakan harus dilaksanakan

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 21
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
atau diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang
diinginkan. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat,
karena di sini masalah- masalah yang kadang tidak ditemukan
di dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama
adalah konsistensi implementasi.
Implementasi kebijakan dapat dikatakan suatu proses yang
dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas
atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu
hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau
dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu :
tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih. Berikut akan
dijelaskan mengenai konsep implementasi yang dipaparkan oleh
beberapa ahli.
Budi Winarno mengatakan bahwa implementasi kebijakan
dibatasi sebagai menjangkau tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh individu-individu pemerintah dan individu-individu swasta
(kelompok-kelompok) yang diarahkan untuk mencapai tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan
kebijaksanaan sebelumnya.5
Sementara Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier sebagaimana
dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab, mengatakan bahwa6 :
“Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi
sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan
merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni
kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah

5 Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Pressindo,
2002, hlm.150.
6 Abdul Wahab, Solichin, Analisis Kebijaksaan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara, 2008.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


22 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang
mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya
maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat
atau kejadian-kejadian.
Dari pandangan kedua ahli di atas dapat dikatakan bahwa suatu
proses implementasi kebijaksanaan itu sesungguhnya tidak hanya
menyangkut perilaku badan-badan adminstratif yang bertanggung
jawab untuk melaksanakan suatu program yang telah ditetapkan
serta menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan
pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi,
dan sosial yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi segala pihak yang terlibat, sekalipun dalam hal ini
dampak yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan.
Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan
sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu
(kelompok- kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan-keputusan sebelumnya.7 Sementara, Michael Howlett
dan M. Ramesh dalam buku Subarsono mengatakan bahwa:
“implementasi kebijakan adalah proses untuk melakukan kebijakan
supaya mencapai hasil.8”
Dari defenisi di atas dapat diketahui bahwa implementasi
kebijakan terdiri dari tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau
kegiatan pencapaian tujuan, dari hasil kegiatan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang
dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas
atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu

7 Winarno, Budi, op.cit. hlm.102.


8 Subarsono, AG., Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006, hlm.13.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 23
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu
sendiri. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur
atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output),
yaitu : tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.
Meter dan Horn mengemukakan bahwa terdapat enam
variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni9:
a) Standar dan sasaran kebijakan, di mana standar dan sasaran
kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir
apabila standar dan sasaran kebijakan kabur,
b) Sumber daya, dimana implementasi kebijakan perlu
dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun
sumber daya non manusia.
c) Hubungan antar organisasi, yaitu dalam benyak program,
implementor sebuah program perlu dukungan dan koordinasi
dengan instansi lain, sehingga diperlukan koordinasi dan kerja
sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
d) Karakteristik agen pelaksana, yaitu mencakup struktur birokrasi,
norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam
birokrasi yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi
suatu program.
e) Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup
sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung
keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-
kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi
implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni
mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang
ada di lingkungan, serta apakah elite politik mendukung
implementasi kebijakan.

9 ibid, hlm.99.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


24 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
f) Disposisi implementor yang mencakup tiga hal yang penting,
yaitu respon implementor terhadap kebijakan, yang akan
mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan,
kognisi yaitu pemahaman terhadap kebijakan, intensitas
disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh
implementor.

2. Teori Implementasi
Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari
sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci.
Implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaaan sudah
dianggap fix. Berikut ini beberapa pengertian tentang implementasi
menurut para ahli.
Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan
atau penerapan. Majone dan Wildavsky dalam Buku Nurdin dan
Usman, mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Begitu
juga Browne dan Wildavsky mengemukakan bahwa ”implementasi
adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”.10 Pengertian
implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga
dikemukakan oleh McLaughin. Adapun Schubert mengemukakan
bahwa ”implementasi adalah sistem rekayasa.11”
Subarsono mengemukakan beberapa teori dari beberapa ahli
mengenai implementasi kebijakan, yaitu12:
a. Teori George C. Edward
Dalam pandangan Edward III, implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu13 :

10 Usman, Nurdin, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum. Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada, 2004, hlm.70.
11 Usman, Nurdin, loc.cit.
12 Subarsono, AG., op.cit. hlm.89.
13 Subarsono, AG., op.cit. hlm.90-92.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 25
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
1) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan
mensyaratkan agar implementor mengetahui apa
yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan
dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada
kelompok sasaran (target group), sehingga akan
mengurangi distorsi imlpementasi.
2) Sumber daya, dimana meskipun isi kebijakan telah
dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi
apabila implementor kekurangan sumber daya untuk
melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan
efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber
daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan
sumber daya financial.
3) Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang
dimiliki oleh implementor. Apabila implementor
memiliki disposisi yang baik, maka implementor
tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik
seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.
Edward III menyatakan bahwa sikap dari pelaksana
kadangkala menyebabkan masalah apabila sikap
atau cara pandangnya berbeda dengan pembuat
kebijakan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi
dapat mempertimbangkan atau memperhatikan aspek
penempatan pegawai (pelaksana) dan insentif.14
4) Struktur Birokrasi, merupakan susunan komponen
(unit-unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan
adanya pembagian kerja serta adanya kejelasan

14 Edward III, George C., Implementing Public Policy, Washington: Congressional


Quarterly Press, 1980, hlm.98.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


26 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-
beda diintegrasikan atau dikoordinasikan, selain itu
struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi
pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan
struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung
melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape,
yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang
menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek
dari stuktur organisasi adalah Standard Operating
Procedure (SOP) dan fragmentasi.15

b. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatlier


Teori ini berpendapat bahwa terdapat tiga kelompok variabel
yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu16:
Karakteristik masalah (tractability of the problems), yaitu:
1) Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan
dimana di satu pihak terdapat beberapa masalah
sosial yang secara teknis mudah dipecahkan, seperti
kekurangan persediaan air bersih bagi penduduk.
2) Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran. Hal
ini berarti bahwa suatu program akan relatif mudah
diimplementasikan apabila kelompok sasarannya
adalah homogen, karena tingkat pemahaman kelompok
sasaran relative sama.
3) Proporsi kelompok sasaran terhadap total
populasi, dimana sebuah program akan relatif sulit
diimplementasikan apabila sasarannya mencakup
semua populasi dan sebaliknya sebuah program relatif

15 Ibid, hlm.125.
16 Subarsono, AG., op.cit. hlm.94.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 27
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
mudah diimplementasikan apabila jumlah kelompok
sasarannya tidak terlalu besar.
4) Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan
dimana sebuah program yang bertujuan memberikan
pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif mudah
diimplementasikan dibanding program yang bertujuan
untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat.
Karakteristik kebijakan (ability of statue to structure
implementation), yaitu :
1) Kejelasan isi kebijakan, yaitu, karena semakin jelas dan
rinci isi sebuah kebijakan, maka akan lebih mudah
diimplementasikan, karena implementor mudah
memahami dan menerjemahkan dalam tindakan nyata.
2) Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan
teoritis, di mana kebijakan yang memiliki dasar teoritis
memiliki sifat lebih mantap karena sudah teruji,
meskipun untuk beberapa lingkungan tertentu perlu
ada modifikasi.
3) Besarnya alokasi sumber daya financial terhadap
kebijakan tersebut, di mana sumber daya keuangan
adalah faktor krusial untuk setiap program sosial,
setiap program juga memerlukan dukungan staf
untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi
dan teknis, serta memonitor program yang semuanya
memerlukan biaya.
4) Seberapa besar adanya ketertarikan dan dukungan antar
berbagai institusi pelaksana, di mana kegagalan kerja
sering disebabkan oleh kurangnya koordinasi vertikal
dan horizontal antar instansi yang terlibat dalam
implementasi program.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


28 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
5) Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan
pelaksana.
6) Tingkat komitmen aparat, terhadap tujuan kebijakan.
Kasus korupsi yang terjadi di negara-negara dunia
ke tiga, khususnya Indonesia salah satu sebabnya
adalah rendahnya tingkat komitmen aparat untuk
melaksanakan tugas dan pekerjaan atau program-
program.
7) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk
berpastisipasi dalam implementasi kebijakan, di
mana suatu program yang memberikan peluang luas
bagi masyarakat untuk terlibat akan relatif mendapat
dukungan di banding program yang tidak melibatkan
masyarakat.

Lingkungan kebijakan (nonstatutory variable effecting


implementation), yaitu :
1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat
kemajuan teknologi dimana masyarakat yang sudah
terbuka dan terdidik akan relatif mudah menerima
program pembaharuan dibanding dengan masyarakat
yang masih tertutup dan tradisional.
2) Dukungan publik sebuah kebijakan, dimana
kebijakan yang memberikan insentif biasanya mudah
mendapatkan dukungan publik, sebaliknya kebijakan
yang bersifat dis-intensif, misalnya kenaikan harga BBM
akan kurang mendapatkan dukungan publik.
3) Sikap dari kelompok pemilih (constituency goups),
dimana kelompok pemilih yang ada dalam masyarakat
dapat mempengaruhi implementasi kebijakan melalui

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 29
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
berbagai cara, yaitu kelompok dapat melakukan
intervensi terhadap keputusan yang dibuat badan-badan
pelaksana melalui berbagai komentar dengan maksud
untuk mengubah keputusan, dan kelompok pemilih
dapat memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui
kritik yang dipublikasikan terhadap badan-badan
pelaksana.
4) Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat
dan implementor pada akhirnya, komitmen aparat
pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah
tertuang dalam kebijakan adalah variabel yang paling
krusial, sehingga aparat pelaksana harus memiliki
keterampilan dalam membuat prioritas tujuan dan
selanjutnya merealisasikan prioritas tujuan tersebut.

c. Teori Donald S.Van Meter dan Carl E. Van Horn


Meter dan Horn mengemukakan bahwa terdapat lima
variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu17:
1) Standar dan sasaran kebijakan, di mana standar dan
sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga
dapat direalisir apabila standar dan sasaran kebijakan
kabur.
2) Sumber daya, dimana implementasi kebijakan perlu
dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia
maupun sumber daya non manusia.
3) Hubungan antar organisasi, yaitu dalam banyak
program, implementor sebuah program perlu dukungan
dan koordinasi dengan instansi lain, sehingga

17 Subarsono, AG., op.cit., hlm.99.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


30 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi
bagi keberhasilan suatu program.
4) Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup stuktur
birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan
yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan
mempengaruhi implementasi suatu program.
5) Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini
mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat
mendukung keberhasilan implementasi kebijakan,
sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan
memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan,
karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau
menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di
lingkungan, serta apakah elite politik mendukung
implementasi kebijakan.
6) Disposisi implementor yang mencakup tiga hal yang
penting, yaitu respon implementor terhadap kebijakan,
yang akan mempengaruhi kemauannya untuk
melaksanakan kebijakan, kognisi yaitu pemahaman
terhadap kebijakan, intensitas disposisi implementor,
yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

d. Teori G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli


Teori ini berpendapat bahwa terdapat empat kelompok
variabel yang dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu
program, yakni; kondisi lingkungan; hubungan antar organisasi;
sumber daya organisasi untuk implementasi program;
karakteristik dan kemampuan agen pelaksana.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 31
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
e. Teori David L. Wimer dan Aidan R.Vining
Welmer dan Vining, mengemukakan bahwa terdapat tiga
kelompok variabel besar yang dapat mempengaruhi keberhasil­
an implementasi suatu program, yaitu18:
1) Logika kebijakan. Dimana hal ini dimaksudkan
agar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal
(reasonable) dan mendapatkan dukungan teoritis.
2) Lingkungan tempat kebijakan dioperasikan akan
mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu
kebijakan, dimana yang dimaksud lingkungan dalam
hal ini mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi,
hankam, dan fisik, atau geografis. Suatu kebijakan
yang berhasil pada suatau daerah, bisa saja gagal
diimplementasikan pada daerah lain yang berbeda.
3) Kemampuan implementor kebijakan. Tingkat
kompetensi implementor mempengaruhi keberhasilan
implementasi suatu kebijakan.

3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan


Menurut Bambang Sunggono, implementasi kebijakan
mempunyai beberapa faktor penghambat, yaitu:

a. Isi Kebijakan
Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih
samarnya isi kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak
cukup terperinci, sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau
program-program kebijakan terlalu umum atau sama sekali tidak
ada. Kedua, karena kurangnya ketetapan intern maupun ekstern
dari kebijakan. Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasikan

18 Subarsono, AG., op.cit., hlm.103.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


32 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
dapat juga menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan
yang sangat berarti. Keempat, penyebab lain dari timbulnya
kegagalan implementasi suatu kebijakan publik dapat terjadi
karena kekurangan-kekurangan yang menyangkut sumber daya-
sumber daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu,
biaya/dana, dan tenaga manusia.

b. Informasi
Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para
pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai informasi
yang perlu atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan
perannya dengan baik. Informasi ini justru tidak ada,
misalnya akibat adanya gangguan komunikasi.

c. Dukungan
Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit
apabila pada implementasinya tidak cukup dukungan untuk
melaksanakan kebijakan tersebut.

d. Pembagian potensi
Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya
implementasi suatu kebijakan publik juga ditentukan aspek
pembagian potensi diantaranya para pelaku yang terlibat dalam
implementasi. Dalam hal ini berkaitan dengan diferensiasi
tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur organisasi
pelaksana dapat menimbulkan masalah-masalah apabila
pembagian wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan
dengan pembagian tugas atau ditandai oleh adnya pembatasan-
pembatasan yang kurang jelas. Adanya penyesuaian waktu
khususnya bagi kebijakan-kebijakan yang kontroversi yang
lebih banyak mendapat penolakan warga masyarakat dalam
implementasinya.
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 33
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Menurut James Anderson, faktor-faktor yang menyebabkan
anggota masyarakat tidak mematuhi dan melaksanakan suatu
kebijakan publik, yaitu :
1) Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum,
dimana terdapat beberapa peraturan perundang-undangan
atau kebijakan publik yang bersifat kurang mengikat individu-
individu :
2) Karena anggota masyarakat dalam suatu kelompok atau
perkumpulan dimana mereka mempunyai gagasan atau
pemikiran yang tidak sesuai atau bertentangan dengan peraturan
hukum dan keinginan pemerintah.
3) Adanya keinginan untuk mencari keuntungan dengan cepat
diantara anggota masyarakat yang cenderung membuat orang
bertindak dengan menipu atau dengan jalan melawan hukum.
4) Adanya ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran”
kebijakan yang mungkin saling bertentangan satu sama lain,
yang dapat menjadi sumber ketidakpatuhan orang pada hukum
atau kebijakan publik.
5) Apabila suatu kebijakan ditentang secara tajam (bertentangan)
dengan sistem nilai yang dimuat masyarakat secara luas atau
kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.

Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan


dan mempunyai manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat.
Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan manusia sebagai
anggota masyarakat harus sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
pemerintah atau negara, sehingga apabila perilaku atau perbuatan
mereka tidak sesuai dengan keinginan pemerintah atau negara,
maka suatu kebijakan publik tidaklah efektif.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


34 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
B. Profesionalisme
Istilah profesionalisme berasal dari kata professio, yang
dalam bahasa Inggris, professio memiliki arti A vocation or
occupation reguiring advanced training in some liberal art or
science and usually involving menthal rather than manual work,
as teaching engineering, writin.19 Dari kata profesional tersebut
lahir arti professional quality, atau status. Terpenuhinya kecocokan
antara kemampuan aparatur dengan kebutuhan tugas merupakan
syarat terbentuknya aparatur yang profesional. Artinya, keahlian
dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin
dicapai oleh sebuah organisasi. Apabila suatu organisasi berupaya
untuk memberikan pelayanan publik secara prima, maka organisasi
tersebut mendasarkan profesionalisme terhadap tujuan yang ingin
dicapai.
Dalam pandangan Tjokrowinoto, dijelaskan bahwa yang dimak­
sud dengan profesionalisme adalah kemampuan untuk merencana­
kan, mengkoordinasikan, dan melaksanakan fungsinya secara efisien,
inovatif, lentur, dan mempunyai etos kerja tinggi. Menurut pendapat
tersebut, kemampuan aparatur lebih diartikan sebagai kemampuan
melihat peluang-peluang yang ada bagi pertumbuhan ekonomi,
kemampuan untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dengan
mengacu kepada misi yang ingin dicapai, dan kemampuan dalam
meningkatkan masyarakat untuk tumbuh dan berkembang dengan
kekuatan sendiri secara efisien, melakukan inovasi yang tidak terikat
pada prosedur administrasi, bersifat fleksibel serta memiliki etos kerja
yang tinggi.20 Pandangan lain, seperti Siagian menyatakan bahwa

19 Merriam-Webster, Dictionary, 1960, p.1163.


20 Moeljarto, Tjrokrowinoto. Pemberdayaan: Konsep, Implementasi dan Kebijakan.
Jakarta: CSIS, 1996, hlm.191.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 35
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
yang dimaksud dengan profesionalisme adalah keandalan dalam
pelaksanaan tugas, sehingga terlaksana dengan mutu tinggi, waktu
yang tepat, cermat, dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan
diikuti oleh pelanggan. Terbentuknya aparatur profesional menurut
pendapat tersebut memerlukan pengetahuan dan keterampilan
khusus yang dibentuk melalui pendidikan dan pelatihan sebagai
instrumen pemutakhiran.21 Pengetahuan dan keterampilan khusus
yang dimiliki oleh aparat menjadi bekal untuk menjalankan tugas
dan menyelenggarakan pelayanan publik dengan mutu tinggi, tepat
waktu, dan prosedur yang sederhana. Kemampuan dan keahlian
yang terbentuk juga harus diikuti dengan perubahan iklim dalam
dunia birokrasi yang cenderung bersifat kaku dan tidak fleksibel.22
Profesionalisme Pegawai Negeri Sipil adalah terpenuhinya
kecocokan antara kemampuan aparatur dengan kebutuhan tugas
merupakan syarat terbentuknya aparatur yang profesional. Artinya,
keahlian dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang
dicapai oleh sebuah organisasi. Apabila suatu organisasi berupaya
untuk memberikan pelayanan publik secara prima, maka organisasi
tersebut mendasarkan profesionalisme terhadap tujuan yang ingin
dicapai.23

C. Akuntabilitas
Menurut Taliziduhu Ndraha, konsep akuntabilitas berawal
dari konsep pertanggungjawaban. Konsep pertanggungjawaban
dapat dijelaskan dari adanya wewenang. Sementara itu, wewenang

21 Sondang Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Ghalia Indonesia,


2000, hlm.163.
22 Tangkilisan, Hessel Nogi S., Manajemen public, Jakarta: Gramedia widiasarana
Indonesia, 2005, hlm.221.
23 Ibid, hlm.225.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


36 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
memiliki arti kekuasaan yang sah. Menurut Weber ada tiga macam
tipe ideal wewenang, yaitu: wewenang tradisional, wewenang
karismatik, dan wewenang legal rational. Dalam perkembanganya,
muncul konsep baru tentang wewenang yang dikembangkan oleh
Chester I. Barnard, yang bermuara pada prinsip bahwa penggunaan
wewenang harus dapat dipertanggungjawabkan.24
Darwin sebagaimana dikutip Joko Widodo, membedakan kon-
sep pertanggungjawaban menjadi tiga, yaitu: akuntabilitas (account­
ability), responsibilitas (responsibility) dan responsivitas (responsive-
ness). Sebelum menjelaskan tentang pertanggungajawaban sebagai
akuntabilitas (accountability), di sini akan dijelaskan lebih dahulu
pertanggungjawaban sebagai responsibilitas (responsibility) dan se-
bagai responsivitas (responsiveness).
Responsibilitas (responsibility) merupakan konsep yang
berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi teknis
yang dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam menjalankan
tugasnya. Administrasi negara dinilai responsibel apabila pelakunya
memiliki standar profesionalisme atau kompetensi teknis
yang tinggi. Sedangkan konsep responsivitas (responsiveness)
merupakan pertanggungjawaban dari sisi yang menerima pelayanan
(masyarakat). Seberapa jauh mereka melihat administrasi negara
(birokrasi publik) bersikap tanggap (responsive) yang lebih tinggi
terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan dan
aspirasi mereka.
Pertanggungjawaban sebagai akuntabilitas (accountability)
merupakan suatu istilah yang pada awalnya diterapkan untuk
mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat untuk

24 Taliziduhu Ndraha, Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru), Jakarta: Rineka Cipta,


2003, hlm. 85.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 37
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
tujuan di mana dana publik tadi ditetapkan dan tidak digunakan
secara ilegal. Dalam perkembangannya, akuntabilitas digunakan
juga bagi pemerintah untuk melihat akuntabilitas efisiensi ekonomi
program. Akuntabilitas menunjuk pada institusi tentang “cheks and
balance” dalam sistem administrasi.25
Mohamad Mahsun membedakan akuntabilitas dan respon­
sibilitas. Menurutnya keduanya merupakan hal yang saling
berhubungan tetapi akuntabilitas lebih baik dan berbeda dengan
responsibilitas. Akuntabilitas didasarkan pada catatan/laporan
tertulis sedangkan responsibilitas didasarkan atas kebijaksanaan.
Akuntabilitas merupakan sifat umum dari hubungan otoritasi
asimetrik, misalnya yang diawasi dengan yang mengawasi, agen
dengan prinsipal atau antara yang mewakili dengan yang diwakili.
Dari segi fokus dan cakupannya, responsibility lebih bersifat internal
sedangkan akuntabilitas lebih bersifat eksternal.26
Mohamad Mahsun juga membedakan akuntabilitas dalam arti
sempit dan arti luas. Akuntabilitas dalam pengertian yang sempit
dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban yang mengacu
pada siapa organisasi (atau pekerja individu) bertangung jawab
dan untuk apa organisasi bertanggung jawab. Sedang pengertian
akuntabilitas dalam arti luas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak
pemegang amanah (agen) untuk memberikan pertanggungjawaban,
menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan
kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi

25 Joko Widodo, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah), Surabaya: Insan Cendekia,
2001, hlm. 148.
26 Mohamad Mahsun, Pengukuran Kinerja Sektor Publik , Yogyakarta: BPFE, 2006,
hlm. 84.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


38 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk
meminta pertanggungjawaban tersebut.27
Menurut The Oxford Advance Learner’s Dictionary sebagaimana
dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara, akuntabilitas
diartikan sebagai “required or excpected to give an explanation for
one’s action”. Akuntabilitas diperlukan atau diharapkan untuk
memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan. Dengan
demikian akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atas
tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi
kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta
keterangan atau pertanggungjawaban.28
Miriam Budiarjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai per­
tanggungjawaban pihak yang diberi kuasa mandat untuk memerintah
kepada yang memberi mereka mandat. Akuntabilitas bermakna
pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui
distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga
mengurangi penumpukan kekuasaan sekaligus men­ciptakan kondisi
saling mengawasi.29
Sedang Sedarmayanti mendefinisikan sebagai suatu perwujudan
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau
kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban yang
dilaksanakan secara periodik.30

27 Ibid, hlm. 83.


28 Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,
Akuntabilitas Dan Good Goverenance” Lembaga Admnistrasi Negara dan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Jakarta, 2000, hlm. 43.
29 Miriam Budiarjo, Menggapai Kedaulatan Rakyat, Jakarta: Mizan, 1998, hlm.78.
30 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik), Bandung, 2003, hlm.
23.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 39
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Lembaga Administrasi Negara menyimpulkan akuntabilitas
sebagai kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber
daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya
dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui
pertanggungjawaban secara periodik.31
Akuntabilitas dibedakan dalam beberapa macam atau tipe.
Jabra & Dwidevi sebagaimana dijelaskan oleh Sadu Wasistiono
mengemukakan adanya lima perspektif akuntabilitas, yaitu32:
a. Akuntabilitas administratif/organisasi.
Akuntabilitas administratif/organisasi adalah pertanggung­
jawaban antara pejabat yang berwenang dengan unit bawahannya
dalam hubungan hierarki yang jelas.
b. Akuntabilitas legal.
Akuntabilitas jenis ini merujuk pada domain publik
dikaitkan dengan proses legislatif dan yudikatif. Bentuknya
dapat berupa peninjauan kembali kebijakan yang telah diambil
oleh pejabat publik maupun pembatalan suatu peraturan oleh
institusi yudikatif. Ukuran akuntabilitas legal adalah peraturan
perundang undangan yang berlaku.
c. Akuntabilitas politik.
Dalam tipe ini terkait dengan adanya kewenangan pemegang
kekuasaan politik untuk mengatur, menetapkan prioritas
dan pendistribusian sumber-sumber dan menjamin adanya
kepatuhan melaksanakan tanggung jawab administrasi dan
legal. Akuntabilitas ini memusatkan pada tekanan demokratik
yang dinyatakan oleh administrasi publik

31 LAN dan BPKP, Op.Cit hlm. 23.


32 Sadu Wasistiono, dkk., Memahami Asas Tugas Pembantuan (Melalui Pandangan
Teoretik, Legalistik, dan Implementasi. Bandung: Fokusmedia, 2007, hlm. 50.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


40 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
d. Akuntabilitas professional.
Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan kinerja dan tindakan
berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh orang profesi yang
sejenis. Akuntabilitas ini lebih menekankan pada aspek kualitas
kinerja dan tindakan.
e. Akuntabilitas moral.
Akuntabilitas ini berkaitan dengan tata nilai yang berlaku di
kalangan masyarakat. Hal ini lebih banyak berbicara tentang
baik atau buruknya suatu kinerja atau tindakan yang dilakukan
oleh seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif berdasarkan
ukuran tata nilai yang berlaku setempat.

D. Sinergi

1. Konsep Sinergi
Nilai yang ketiga dari lima nilai-nilai Kemenkumham adalah
sinergi. Sebagai sebuah organisasi yang besar yang mengemban tugas
fungsi dalam memberi kepastian hukum maka sudah barang tentu
Kemenkumham harus mampu untuk melakukan sinergi baik sinergi
internal antar unit-unit organisasi di dalam Kemenkumham sendiri
maupun sinergi eksternal dengan para pemangku kepentingan yang
lain di luar Kemenkumham. Sinergi ini sangat diperlukan agar
Kemenkumham dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan
lebih berhasil guna dan berdaya guna.
Sinergi pada nilai Kemenkumham diartikan sebagai membangun
dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif serta
kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan,
untuk menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas. Dari
pengertian sinergi tersebut terlihat bahwa sinergi yang harus

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 41
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
dibangun oleh jajaran Kemenkumham adalah sinergi internal dan
sinergi eksternal. Dua perilaku utama pada nilai sinergi adalah
perilaku melayani dengan berorientasi pada kepuasan pemangku
kepentingan dan perilaku bersikap proaktif dan cepat tanggap.
Perilaku pertama terkait dengan pelayanan prima baik kepada
pemangku kepentingan internal maupun eksternal. Perilaku yang
kedua terkait dengan kecepatan dalam memberikan pelayanan
kepada para pemangku kepentingan dengan selalu bersifat proaktif
dan cepat tanggap.
Menurut Deardorff dan Williams, sinergi adalah sebuah proses
dimana interaksi dari dua atau lebih agen atau kekuatan akan
menghasilkan pengaruh gabungan yang lebih besar dibandingkan
jumlah dari pengaruh mereka secara individual.33 Sinergi merupakan
hal yang tidak dapat dihindari. Sebagai contoh, batu dapat digunakan
untuk membuat berbagai struktur seperti rumah, tembok, jalanan,
dan sebagainya. Namun demikian, tanpa adanya semen dan usaha
manusia maka batu-batu tadi hanya menjadi tumpukan batu belaka
yang tidak banyak gunanya. Contoh lain, mobil modern terdiri dari
kira-kira 15.000 komponen yang dirancang secara khusus dan dibuat
dari 60 jenis bahan yang berbeda. Akan tetapi, jika sebuah rodanya
dicopot maka mobil ini menjadi tidak dapat bergerak. Dua contoh
di atas menunjukkan betapa pentingnya sinergi. Tanpa ada
sinergi dengan komponen yang lain maka komponen-komponen
yang ada tidak dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar seperti
yang diinginkan.
Contoh sinergi yang paling dekat dengan kita adalah diri kita
sendiri. Manusia merupakan gabungan dari berbagai organ tubuh

33 Deardorff, D.S., & Williams, G., Synergy Leadership in Quantum


Organizations, Fesserdorff Consultants, 2006. Available from: http://www.
fesserdorff.com.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


42 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
seperti organ pernapasan, organ pencernaan, organ gerak, organ-
organ tubuh yang lain dan terakhir yang tidak kalah pentingnya
adalah jiwa manusia. Manusia dapat melakukan apa-apa yang dapat
dilakukan sebagai manusia karena adanya sinergi dari seluruh
komponen jiwa dan raga manusia tersebut. Sinergi dalam diri
manusia merupakan bentuk sinergi internal.
Di samping itu, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat
hidup sendiri. Untuk dapat bertahan hidup maka manusia harus
berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Hubungan antar
manusia ini merupakan bentuk sinergi yang bersifat eksternal yang
penting untuk dapat menjamin keberlangsungan hidup manusia
karena tidak ada satupun manusia yang dapat memenuhi semua
kebutuhan hidupnya sendirian saja.
Pada tingkatan organisasi maka sinergi sangat dibutuhkan
oleh suatu organisasi agar pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi
tersebut dapat berjalan dengan baik dan sempurna (well and
excellent). Sebagaimana manusia, sinergi yang dibutuhkan
oleh suatu organisasi adalah sinergi yang bersifat internal dan
eksternal. Sinergi internal adalah sinergi antara organ-organ yang
ada di dalam organisasi tersebut yang memungkinkan seluruh organ
organisasi tersebut dapat bergerak seiring dan sejalan. Sama seperti
manusia, suatu organisasi tidak dapat hidup sendiri. Suatu organisasi
akan berinteraksi dengan lingkungan eksternal. Sinergi dengan
lingkungan eksternal ini sangat dibutuhkan oleh suatu organisasi
agar dapat mencapai tujuan dari organisasi tersebut.
Menurut Deardorff dan Williams sinergi bukanlah sesuatu yang
dapat kita pegang oleh tangan kita tapi suatu istilah yang berarti
melipatgandakan pengaruh (multiplier effect) yang memungkinkan
energi pekerjaan atau jasa individu berlipat ganda secara eksponensial
melalui usaha bersama. Sinergi kelompok dideskripsikan sebagai
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 43
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
tindakan yang berkembang dan mengalir dari kelompok orang
yang bekerja bersama secara sinkron satu sama lain sehingga
mereka dapat bergerak dan berfikir sebagai satu kesatuan. Tindakan
sinergi ini dilakukan dengan insting, positif, memberdayakan, dan
menggunakan sumberdaya kelompok secara keseluruhan.34

2. Kepemimpinan Sinergi
Menurut Deardorff dan Williams, kepemimpinan sinergi
(synergy leadership) adalah suatu realitas yang diciptakan oleh
interaksi kondisional antara pemimpin formal dan seluruh
individu lain untuk menciptakan nilai bagi organisasi. Hasil dari
kepemimpinan sinergi tersebut adalah suatu penomena dimana
hasil gabungan dari hubungan-hubungan antar individu tersebut
jauh melebihi jumlah dari hasil masing-masing individu. Hasil
yang lebih besar dari hasil gabungan tersebut berasal dari individu-
individu yang bekerja bersama dengan cara saling meningkatkan
untuk mencapai keberhasilan dengan cara menginspirasi satu sama
lain untuk menetapkan dan mencapai baik tujuan personal maupun
organisasi.35
Dengan adanya kepemimpinan sinergi tadi maka lingkungan
kerja pada suatu organisasi akan menjadi sangat kondusif untuk
menjadi tempat bekerja bersama para anggota organisasi untuk
mencapai tujuan personal maupun organisasi. Dalam lingkungan
kerja semacam ini, para anggota organisasi bekerja saling
mendukung dan bahu-membahu untuk mencapai tujuan bersama.
Di Indonesia, budaya ini dinamakan dengan budaya ‘gotong royong’.
Budaya ini sesuai dengan pepatah yang telah sama-sama kita kenal
yaitu ‘berat sama dipikul ringan sama dijinjing’. Dalam organisasi

34 Ibid.
35 Ibid.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


44 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
yang mempunyai budaya dan nilai kepemimpinan sinergi ini maka
tidak ada invividu yang menjadi free rider yaitu individu yang
mendapatkan keuntungan dari hasil kerja orang lain tanpa harus ikut
bekerja. Apabila ada individu yang demikian, maka individu tersebut
pada akhirnya akan malu sendiri karena tidak ada orang lain yang
melakukannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peran
pemimpin sangat penting dalam membangun dan menumbuhkan
sinergi. Peran pemimpin tersebut menjadi lebih penting lagi seiring
dengan meningkatnya ukuran suatu organisasi agar organ-organ
organisasi yang ada selalu bergerak secara harmoni ibarat sebuah
orkestra dengan dirigen sebagai pemimpinnya. Oleh sebab itu,
pada organisasi yang besar seperti Kemenkumham maka sinergi
merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar. Dengan
begitu banyaknya organ-organ organisasi di dalam Kemenkumham,
maka sinergi internal antar organ tersebut menjadi suatu keniscayaan
untuk dapat mencapai tujuan bersama yaitu tujuan Kemenkumham
secara keseluruhan. Untuk dapat menyuburkan sinergi ini maka
sangat diperlukan adanya kepemimpinan sinergi.
Menurut Deardorff dan Williams kepemimpinan sinergi
membutuhkan organisasi yang bersifat Quantum Organizations
(Organisasi Kuantum). Organisasi Kuantum sangat berbeda dari
Newtonian Organizations (Organisasi Newton). Organisasi Newton
mencakup dan membutuhkan kepastian dan kemampuan untuk
dapat diramalkan. Struktur organisasinya biasanya berbentuk
hierarkhis, dengan kekuasaan dirasakan memancar dari atas, dan
kewenangan dan pengendalian dilaksanakan pada setiap tingkatan.
Organisasi Newton cenderung lebih birokratis dan terikat dengan
peraturan, dan yang paling penting lagi organisasi ini tentunya tidak

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 45
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
fleksibel dan dikelola seolah-olah suatu bagian organisasi individual
(kelompok/tim) mengorganisasikan keseluruhan organisasi.36
Margaret Wheatley sebagaimana dikutip oleh Deardorff dan
Williams menegaskan bahwa Organisasi Newton tidak dapat lagi
berhasil (jika mereka memang pernah berhasil) dan para pemimpin
dapat menghidupkan bisnis dan institusinya dengan memasukkan
wawasan dari fisika kuantum yaitu dengan mempraktikkan
Organisasi Kuantum.37 Dengan kata lain, dapat kita simpulkan bahwa
Organisasi Newton yang hierarkhis dan birokratis tidak tepat lagi
untuk digunakan pada era sekarang yang lingkungannya berubah
dengan cepat, ketidakpastian yang semakin tinggi, dan tuntutan
akan pelayanan prima yang semakin besar dari para pemangku
kepentingan.
Menurut Deardorff dan Williams Organisasi Kuantum
merupakan kapasitas organisasi untuk menciptakan suatu atmosfir
pemberdayaan dari kepercayaan, keamanan, dan suatu rasa memiliki
yang memungkinkan introspeksi berkelanjutan dan organisasi
pembelajaran dan pensejajaran nilai-nilai personal menjadi perilaku.
Kapasitas untuk menciptakan dan memelihara atmosfir tersebut
akan menghasilkan: spirit dan visi, nilai-nilai bersama (shared
values), dialog dan komunikasi positif, kepercayaan dan keberanian
personal, pembelajaran berganda dan kuantum.38
Lebih jauh lagi, menurut Deardorff dan Williams, pada Organisasi
Kuantum ada tiga tingkatan interaksi yaitu diri sendiri (self), gerakan
yang mengalir (the motions of fluidicity), dan pemimpin (leader)
sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut ini.39

36 Ibid.
37 Ibid.
38 Ibid.
39 Ibid.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


46 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Gambar 1.
Tiga Tingkatan Interaksi Menurut Deardrorff dan Williams

(Dale S. Deardorff DM dan Greg Williams, 2006, Synergy Leadership


in Quantum Organizations, Fesserdorff Consultants.)

Interseksi semua tiga elemen ini adalah Simpul Kuantum


(Quantum Node) dimana sinergi diciptakan untuk menghasilkan
inovasi, pembaharuan, dan ide-ide baru. Organisasi kuantum sendiri
bergantung pada lahirnya solusi-solusi, ide-ide, dan wawasan-
wawasan yang unik melalui saling berbagi (sharing) dari seluruh
anggota untuk mensejajarkan kumpulan keahlian individual, bakat,
wawasan, pengalaman pribadi, dan identitas individual dengan nilai-
nilai dan tujuan-tujuan organisasi.
Anggota-anggota organisasi dan pemimpinnya pada Organisasi
Kuantum akan bersinergi dengan gerakan yang mengalir (the
motions of fluidicity) yang memiliki enam komponennya yang saling
berhubungan satu sama lain seperti dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 47
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Gambar 2.
Sinergi Enam Komponen Organisasi Kuantum

Seluruh komponen tersebut mendorong adanya sinergi dan


kebersamaan dari seluruh individu dan pemimpin yang ada pada
suatu organisasi. Pada organisasi kuantum sinergi terjadi melalui
enam komponen gerakan yang mengalir tersebut yang saling kait
mengkait. Rasa saling percaya akan memungkinkan anggota
organisasi untuk berfikir bersama menghasilkan solusi unik yang
lebih baik. Dengan demikian, pada organisasi kuantum akan terjadi
dialog yang terbuka dan kondusif, bekerja bersama berdasarkan
nilai-nilai yang diyakini bersama seperti nilai integritas, terjadi
juga proses belajar untuk perbaikan berkesinambungan untuk
menuju kesempurnaan yang dilandasi dengan semangat untuk maju
bersama.

E. Transparansi
Menurut Mardiasmo, transparansi berarti keterbukaan
(openness) pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait
dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-
pihak yang membutuhkan informasi. Pemerintah berkewajiban

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


48 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
memberikan informasi keuangan dan informasi lainya yang akan
digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.40 Transparansi pada akhirnya akan menciptakan
horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan
masyarakat sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih,
efektif, efisien, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan
kepentingan masyarakat.
Transparansi adalah prinsip yang menjamain akses atau
kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang
penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan
proses pembuatan dan pelaksanaanya serta hasil-hasil yang dicapai.41
Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan.
Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi
mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau
publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan
persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat
berdasarkan preferensi publik.42
Makna dari transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah dapat dilihat dalam dua hal yaitu: (1) salah satu wujud
pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat, dan (2) upaya
peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan peme­
rintahan yang baik dan mengurangi kesempatan praktek kolusi,
korupsi dan nepotisme (KKN).43

40 Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi, 2004,


hlm. 30.
41 Bappenas dan Depdagri, Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program
Pembangunan Daerah, 2002, hlm.18.
42 Meutiah Ganie Rahman, “Good Governance, Prinsip, Komponen, dan Penerapanya”
dalam Hak Asasi Manusia (Penyelenggaraan Negara Yang Baik ), Jakarta: Penerbit
Komnas HAM, 2000, hlm .151
43 Hari Sabarno, Mamandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007, hlm.38.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 49
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Sedangkan transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah
dalam hubungannya dengan pemerintah daerah perlu kiranya
perhatian terhadap beberapa hal berikut: (1) publikasi dan sosialisasi
kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, (2) publikasi dan sosialisasi regulasi yang
dikeluarkan pemerintah daerah tentang berbagai perizinan dan
prosedurnya, (3) publikasi dan sosialisasi tentang prosedur dan tata
kerja dari pemerintah daerah, (4) transparansi dalam penawaran
dan penetapan tender atau kontrak proyek-proyek pemerintah
daerah kepada pihak ketiga, dan (5) kesempatan masyarakat untuk
mengakses informasi yang jujur, benar dan tidak diskriminatif dari
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Selanjutnya dalam penyusunan peraturan daerah yang
menyangkut hajat hidup orang banyak hendaknya masyarakat
sebagai stakeholders dilibatkan secara proporsional. Selain untuk
mewujudkan transparansi, juga akan sangat membantu pemerintah
daerah dan DPRD dalam melahirkan peraturan daerah yang
accountable dan dapat menampung aspirasi masyarakat.
Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang
berkepentingan terhadap setiap informasi terkait, seperti berbagai
peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah
dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik
yang andal (reliabel) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses
oleh publik (biasanya melalui filter media massa yang bertanggung
jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan
arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan
(untuk kemudian) dapat dipantau. Transparansi jelas mengurangi
tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan
implementasi kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan berbagai
informasi yang selama ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


50 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
memberikan kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat
untuk turut mengambil keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat
bahwa informasi ini bukan sekedar tersedia, tapi juga relevan dan
bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat membantu
untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat
publik dengan “terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan
oleh masyarakat luas.44
Dalam implementasi di pemerintah daerah seringkali kita ter­
jebak dalam “paradigma produksi” dalam hal penyebarluasan
informasi ini. Seakan-akan transparansi sudah dilaksanakan dengan
mencetak leaflet suatu program dan menyebarluaskannya ke setiap
kantor kepala desa, atau memasang iklan di surat kabar yang tidak
dibaca oleh sebagian besar komponen masyarakat. Pola pikir ini
perlu berubah menjadi “paradigma pemasaran”, yaitu bagaimana
masyarakat menerima informasi dan memahaminya.
Untuk mewujudkannya dalam pelaksanaan administrasi publik
sehari-hari, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini.
Pertama, kondisi masyarakat yang apatis terhadap program-
program pembangunan selama ini membutuhkan adanya upaya
- upaya khusus untuk mendorong keingintahuan mereka terhadap
data/informasi ini. Untuk itu, dibutuhkan adanya penyebarluasan
(diseminasi) informasi secara aktif kepada seluruh komponen
masyarakat, tidak bisa hanya dengan membuka akses masyarakat
terhadap informasi belaka.
Kedua, pemilihan media yang digunakan untuk menyebarluaskan
informasi dan substansi/materi informasi yang disebarluaskan
sangat bergantung pada segmen sasaran yang dituju. Informasi

44 Max H. Pohan, Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik (Local Good
Governance) dalam Era Otonomi Daerah, Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas), 2000, hlm. 2.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 51
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
yang dibutuhkan oleh masyarakat awam sangat berbeda dengan
yang dibutuhkan oleh organisasi nonpemerintah, akademisi, dan
anggota DPRD, misalnya. Selain itu, seringkali cara-cara dan media
yang sesuai dengan budaya lokal jauh lebih efektif dalam mencapai
sasaran daripada “media modern” seperti televisi dan surat kabar.
Ketiga, seringkali berbagai unsur nonpemerintah, misalnya
pers, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM)
lebih efektif untuk menyebarluaskan informasi dari pada dilakukan
pemerintah sendiri. Untuk itu, penginformasian kepada berbagai
komponen strategis ini menjadi sangat penting.

F. Inovatif

1. Konsep Inovatif
Sebelum mengulas lebih jauh mengenai inovatif, perlu dijelaskan
pengertian dari inovasi. Inovasi memiliki fungsi yang khas bagi
wirausahawan. Dengan inovasi wirausahawan menciptakan baik
sumber daya produksi baru maupun pengelolahan sumber daya yang
ada dengan peningkatan nilai potensi untuk menciptakan sesuatu
yang tidak ada menjadi ada.45
Menurut Adair, inovasi adalah proses menemukan dan
mengimplementasikan sesuatu yang baru ke dalam situasi yang
baru.46 Sedangkan menurut Raka, inovasi adalah melakukan sesuatu
yang baru yang menambah atau menciptakan nilai atau manfaat
(sosial/ekonomi).47

45 Drucker Petter, Innovation And Entrepreneurship, New York: Harper Dan Row, 1985,
hlm. 20.
46 Adair. J., Effective Innovation :How to Stay Ahead of the Competition. London: Pan
Books Ltd., 1996.
47 Gde Raka, Inovasi dan Kewirausahaan, Handout dalam Transformasional
Leadership. (tidak diterbitkan), 2001.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


52 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Luecke menjelaskan inovasi sebagai pengenalan atas sesuatu
atau metode kerja yang baru dan ada usaha untuk memperbarui
metode yang lama.48
Menurut Suryana, inovasi adalah kemampuan untuk menerap­
kan kreativitas dalam rangka pemecahan masalah dan menemukan
peluang (doing new thing).49
Berdasarkan dari beberapa definisi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa inovasi adalah proses menemukan dan
menambah atau menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada
guna untuk memecahkan masalah dan menemukan peluang.
Menurut Zimmerer dkk, inovasi adalah kemampuan untuk
menerapkan solusi kreatif terhadap masalah dan peluang untuk
meningkatkan atau memperkaya kehidupan orang-orang.50
Inovasi  menurut  Goman  (1991)  merupakan  penerapan  secara
praktis gagasan kreatif, inovasi tercipta karena adanya kreativitas
yang tinggi. Selain itu, Rogers dan Shoemaker mengartikan inovasi
sebagai ide-ide baru, praktik-praktik baru, atau objek-objek yang
dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau
masyarakat sasaran. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa inovasi adalah kemampuan individu dalam
menerapkan kreativitas yang telah dibuat.
Rogers mengemukakan lima karakteristik inovasi51:
a) Keunggulan relative (relative advantage)
b) Kompatibilitas (compatibilty)

48 Luecke, Richard, Managing Creativity and Innovation, Boston: Harvard Business


School Publishing, 2003, p.11.
49 Suryana. Kewirausahaan (Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses).
Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2006, hlm. 39.
50 Thomas W Zimmerer, Norman M Scarborough, Kewirausahaan dan Manajemen
Usaha Kecil, Jakarta: Salemba empat, 2008, hlm. 57.
51 Everett M. Rogers, Diffusion of Innovations, London: The Free Press, 1983.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 53
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
c) Kerumitan (complexity)
d) Kemampuan diujicobakan (trialability)
e) Kemampuan untuk diamati (observability)

2. Faktor-faktor Pendukung Keberhasilan Inovasi


Menurut James Brian Quinn, faktor pendukung keberhasilan
inovasi yaitu52:
a) Harus berorientasi pasar, hubungan inovasi dengan pasar di
dalamnya ada 5C yaitu Competitor (pesaing), Competition
(persaingan), Change of Competition (perubahan persaingan),
Change Driver (penentu arah perubahan), Customer Behavior
(perilaku konsumen).
b) Mampu meningkatkan nilai tambahan perusahaan.
c) Mempunyai unsur efisiensi dan efektivitas.
d) Harus sejalan dengan visi dan misi perusahaan.
e) Harus bisa ditingkatkan lagi.

Kotler, pakar pemasaran, pernah menegaskan pentingnya


inovasi. Pakar pemasaran ini mengingatkan bahwa tanpa inovasi
perusahaan akan menjadi tua, kuno, rapuh, dan tidak langgeng.
Inovasi harus terus dibangun melalui budaya kreatif, mengikuti tren,
perubahan dan membangun pasar.
Untuk membangun perusahaan inovatif, kotler menekankan
pentingnya sejumlah faktor sebagai berikut 53:
a) Adanya budaya penemuan. Setiap organisasi harus disesaki
orang-orang yang punya semangat inovasi.
b) Mengembangkan inovasi sebaiknya berdasarkan riset, sebab,
perusahaan dikatakan inovatif kalau sengaja membangun dan

52 Mintzberg, Henry, James Brian Quinn, dan John Voyer. The Strategy Process,
Prentice-Hall, Inc, 1995.
53 Kotler, Philip, Manajamen Pemasaran, Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT. Indeks Kelompok
Gramedia, 2005.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


54 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
melakukan proses untuk menghasilkan temuan terbaru. Inovasi
tersebut haruslah merupakan sesuatu revolusioner, dapat
menembus pasar global, dan mendapatkan persaingan sangat
keras.
De Jong & Den Hartog merinci lebih mendalam proses inovasi
dalam 4 tahap yaitu54:
a) Melihat kesempatan bagi pegawai untuk mengidentifikasi
kesempatan.
Kesempatan dapat berawal dari ketidakkongruenan dan
diskontinuitas yang terjadi karena adanya ketidaksesuaian
dengan pola yang diharapkan misalnya timbulnya masalah pada
pola kerja yang sudah berlangsung, adanya kebutuhan konsumen
yang belum terpenuhi, atau adanya indikasi trend yang sedang
berubah.
b) Mengeluarkan ide.
Dalam fase ini, karyawan mengeluarkan konsep baru
dengan tujuan menambah peningkatan. Hal ini meliputi
mengeluarkan ide sesuatu yang baru atau memperbaharui
pelayanan, pertemuan dengan klien dan teknologi pendukung.
Kunci dalam mengeluarkan ide adalah mengkombinasikan
dan mereorganisasikan informasi dan konsep yang telah
ada sebelumnya untuk memecahkan masalah dan atau
meningkatkan kinerja. Proses inovasi biasanya diawali dengan
adanya kesenjangan kinerja yaitu ketidaksesuaian antara kinerja
aktual dengan kinerja potensial.

54 De Jong, J & Den Hartog, D D., Leadership as a determinant of innovative


behaviour. A Conceptual framework, A Wiley Imprint: San Fransisco, 2003.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 55
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
c) Implementasi.
Dalam fase ini, ide ditransformasi terhadap hasil yang
konkret. Pada tahapan ini sering  juga disebut tahapan konvergen.
Untuk mengembangkan ide dan mengimplementasikan ide,
pegawai harus memiliki perilaku yang mengacu pada hasil.
Perilaku inovasi Konvergen meliputi usaha menjadi juara dan
bekerja keras. Seorang yang berperilaku juara mengeluarkan
seluruh usahanya pada ide kreatif. Usaha menjadi juara meliputi
membujuk dan mempengaruhi pegawai dan juga menekan
dan bernegosiasi. Untuk mengimplementasikan inovasi sering
dibutuhkan koalisi, mendapatkan kekuatan dengan menjual ide
kepada rekan yang berpotensi.
d) Aplikasi.
Dalam fase ini meliputi perilaku karyawan yang ditujukan
untuk membangun, menguji, dan memasarkan pelayanan
baru. Hal ini berkaitan dengan membuat inovasi dalam bentuk
proses kerja yang baru atau pun dalam proses rutin yang biasa
dilakukan.

Adair mengatakan ada 3 fase dalam proses inovasi sebagai


berikut55:
a) Generating ideas.
Keterlibatan individu dan tim dalam menghasilkan ide untuk
memperbaiki produk, proses dan layanan yang ada dan
menciptakan sesuatu yang baru.
b) Harvesting ideas.
Melibatkan sekumpulan orang untuk mengumpulkan dan
mengevaluasi ide-ide.

55 Adair. J., Effective Innovation: How to Stay Ahead of the Competition. London: Pan
Books Ltd, 1996, p.142.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


56 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
c) Developing and implementing these ideas.
Mengembangkan ide-ide yang telah terkumpul dan selanjutnya
mengimplementasikan ide tersebut.

Inovasi bagi wirausahawan lebih bersifat untuk memanfataatkan


perubahan dari pada menciptakannya. Mencari inovasi dilakukan
dengan memanfaatkan perubahan pada penemuan yang
menyebabkan terjadinya perubahan. Ide inovatif dapat bersumber
pada kreativitas eksternal dan Kreativitas internal. Kreativitas
eksternal dapat dirangsang dengan memanfaatkan secara sistematis
rasa keingintahuan tentang perkembangan, ide dan kekuatan baru
yang sedang berlangsung di sekitar seseorang. Dengan melakukan
hal ini, seseorang membangun sumber informasi tentang berbagai
hal tentang fakta kesan, citra dan berbagai ide. Dengan demikian
seseorang dapat memperoleh ide yang dapat diraih dan dimanfaatkan.
Sementara kata inovatif berasal dari kata bahasa Inggris
“innovate” yang artinya memperkenalkan sesuatu yg baru.
Sedangkan innovative berarti bersifat memperbarui. Kemudian
kata “innovate” dan “innovative” yang merupakan bahasa Indonesia
dengan mengalami perubahan penulisan manjadi “inovatif” yg
berarti bersifat memperkenalkan suatu yg baru.

3. Perilaku Inovatif
Perilaku inovatif menurut Wess & Farr dalam Buku De Jong
& Kemp adalah semua perilaku individu yang diarahkan untuk
menghasilkan, memperkenalkan, dan mengaplikasikan hal-hal
‘baru’, yang bermanfaat dalam berbagai level organisasi. Beberapa
peneliti menyebutnya sebagai shop-floor innovation.56

56 De Jong, J. P. J & Kemp, R., Determinants of Co‐workers’s Innovative Behaviour: An


Investigation into Knowledge Intensive Service. International Journal of Innovation
Management. 7 (2) (Juni 2003), hlm.189 ‐ 212. Diakses melalui EBSCO Publisher 22
Agustus 2017.  

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 57
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Menurut Kleysen & Street, perilaku inovatif merupakan
keseluruhan tindakan individu yang mengarah pada pemunculan,
pengenalan, dan penerapan dari sesuatu yang baru dan
menguntungkan pada seluruh tingkat organisasi. Sesuatu yang
baru dan menguntungkan meliputi pengembangan ide produk baru
atau teknologi-teknologi, perubahan dalam prosedur administratif
yang bertujuan untuk meningkatkan relasi kerja atau penerapan
dari ide-ide baru atau teknologi-teknologi untuk proses kerja yang
secara signifikan meningkatkan efisiensi dan efektivitas mereka.57
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa perilaku inovatif adalah keseluruhan tindakan individu yang
memunculkan, mengenalkan, dan menerapkan sesuatu hal yang
baru dan bermanfaat bagi suatu organisasi.

4. Dimensi Perilaku Inovatif


De Jong mengemukakan empat dimensi perilaku inovatif sebagai
berikut58:
a) Oppurtunity exploration, proses inovasi ditentukan oleh
kesempatan. Kesempatan akan memicu individu untuk mencari
cara untuk meningkatkan pelayanan, proses pengiriman, atau
berusaha memikirkan sebuah alternatif baru mengenai proses
kerja, produk atau pelayanan.
b) Idea generation, membangkitkan sebuah konsep untuk
peningkatan. Idea generation merupakan pengelolaan kembali
informasi dan konsep yang telah ada untuk meningkatkan
performansi. Individu yang tinggi dalam level ini akan dapat

57 Kleysen, R.F., & Street, C.T., Toward a multi-dimensional measure of individual


innovative behavior. Journal of Intellectual Capital. Vol. 2, No. 3, 2001, 1469-1930.
58 De Jong, J., & Den Hartog, D., How leaders influence employee’s innovative behavior.
European Journal of Innovation Management. Vol. 10, No. 1, 2007, hlm. 41-64,.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


58 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
melihat solusi dari sebuah masalah dengan cara pikir yang
berbeda.
c) Championing, melibatkan perilaku untuk mencari dukungan
dan membangun koalisi, seperti mengajak dan mempengaruhi
karyawan atau manajemen, dan bernegosiasi mengenai suatu
solusi.
d) Application, individu tidak hanya memikirkan ide-ide kreatif
terhadap suatu hal tapi juga mengaplikasikan ide tersebut ke
dalam tindakan nyata.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Inovatif


Riyanti mengemukakan bahwa terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi perilaku inovatif, yaitu59 :
a) Entrepreneurial traits, yaitu sifat-sifat yang dimiliki wirausaha.
Sukardi menyatakan ada sembilan sifat utama yang merupakan
karakteristik-karakteristik dari wirausaha, yaitu instrumental,
prestatif, fleksibel dalam berteman, bekerja keras, percaya diri,
berani mengambil resiko, kontrol diri, inovatif, dan autonomous.
Penelitian Sukardi menemukan bahwa terdapat hubungan
antara sembilan trait wirausaha Indonesia dengan sifat inovatif
dan keberhasilan usaha.60
b) Entrepreneurial personality, yaitu kepribadian wirausaha,
yang terdiri dari : (1) personal achiever, (2) super salesperson,
(3) real manager, dan (4) expert idea generator (Miner, 1996).
Riyanti menyebutkan bahwa tipe kepribadian personal achiever
merupakan tipe kepribadian Miner yang paling menonjol dalam
perilaku inovatif.61

59 Benedicta Prihatin Dwi Riyanti, Kewirausahaan Dari Sudut Pandang Psikologi


Kepribadian, Jakarta : Grasindo, 2003, hlm.173.
60 Sukardi, Kepribadian Wirausaha, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
61 Benedicta Prihatin Dwi Riyanti, Kewirausahaan Dari Sudut Pandang Psikologi

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 59
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
c) Adversity personality
Adversity intelligence merupakan kemampuan seseorang dalam
menghadapi hambatan atau rintangan dalam hidup. Menurut
Stoltz, ada empat komponen adversity intelligence yaitu control,
ownership and originality, reach, dan endurance. Adversity
intelligence dapat memprediksi ketahanan seseorang dalam
menghadapi hambatan dan rintangan. Karakteristik ini secara
umum menggambarkan individu yang kreatif dan wirausaha
yang sukses.62 Dalam penelitian Riyanti ditemukan bahwa
variabel adversity personality memiliki pengaruh terhadap
perilaku inovatif wirausaha dan keberhasilan usaha.63

Perilaku inovatif dapat muncul bila dipengaruhi oleh


adversity personality yang meliputi adversity intelligence yang
dapat memprediksi ketahanan seseorang dalam menghadapi
kesulitan. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku inovatif, yaitu
entrepreneurial traits (karakteristik-karakteristik wirausaha) dan
entrepreneurial personality (kepribadian wirausaha).

G. Konsepsi Pelayanan Publik


Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi
(birokrasi), keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah
kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat
pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan
normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai
perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh karena itu Dennis

Kepribadian, Jakarta : Grasindo, 2003, hlm.23.


62 Stoltz, Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta:
Grasindo: 2000, hlm.94.
63 Benedicta Prihatin Dwi Riyanti, op.cit. hlm.174.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


60 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
A. Rondinelli pernah mengingatkan bahwa penyebab kegagalan
utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik ini adalah:
Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit; kurangnya
tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan terampil dalam unit-unit
lokal; kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas
dan tanggung jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan
delegasi wewenang; dan kurangnya infrastruktur teknologi dan infra
struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan
publik.64
Demikian juga Malcolm Walters menambahkan bahwa
kegagalan pelayanan publik ini disebabkan karena aparat (birokrasi)
tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi
dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis,
budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan
budaya yang bersifat egaliter.65 Pelayanan publik yang modelnya
birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan
publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat
individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya
kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung
budaya hirarkhis dan anti budaya individu) sedangkan pelayanan
publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka
cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis,
anti budaya individu dan anti budaya fatalis).
Salah satu fungsi sekaligus tugas utama birokrasi publik
(pemerintah) adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat (pelayanan prima). Dalam teori pelayanan publik,

64 Dennis A.Rondinelli, “Government Decentralisation in Comparative perspective:


Theory and Practice in Development Countries” International Review of
administrative sciences, Vol. 47, No.2, 1981, p. 133-145.
65 Waters, Malcolm, Modern Sociological Theory, London: SAGE Publications, 2000.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 61
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
pelayanan prima (excellent service) dapat diwujudkan jika ada
standar pelayanan minimal (SPM).
SPM adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan
sebagai komitmen atau janji dari penyelenggara negara kepada
masyarakat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Dalam
Undang-undang Pelayanan Publik, standar pelayanan ini setidaknya-
tidaknya berisi tentang: dasar hukum, persyaratan, prosedur
pelayanan, waktu penyelesaian, biaya pelayanan, produk pelayanan,
sarana dan prasarana, kompetensi petugas pemberi pelayanan,
pengawasan intern, penanganan pengaduan, saran dan masukan,
dan jaminan pelayanan.66
Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan
bervariasi dari yang konvensional sampai yang lebih strategic. Yayasan
Indonesia Emas berpendapat bahwa: Definisi konvensional dari
kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu
produk seperti : performansi (performance), keandalan (realibility),
mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika (esthetics), dan
sebagainya.67
Bagaimanapun para manajer/pimpinan dari organisasi/
perusahaan yang sedang berkompetisi dalam pasar global
memberikan perhatian serius pada definisi strategik. Definisi
strategik menyatakan bahwa kualitas adalah suatu yang mampu
memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs
of customers).68

66 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman


Penyusunan Standar Pelayanan Minimum, Jakarta.
67 Vincent Gasperz Z, Manajemen Kualitas, Jakarta: PT Gramedia, 1997, hlm 4.
68 Ibid.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


62 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Kualitas seringkali diartikan sebagai kepuasan pelanggan. Dalam
ISO 8402, kualitas didefinisikan sebagai totalitas dari karakteristik
suatu produk yang menunjang kemampuannya untuk memuaskan
kebutuhan yang dispesifikasikan atau ditetapkan.
Total quality adalah total philosophy, suatu paradigma total
tentang perbaikan kontinyu dalam empat dimensi, yaitu 69:
a) Pengembangan perorangan dan professional
b) Hubungan interpersonal
c) Efektivitas managerial
d) Produktivitas organisasi

Pengertian total philosophy di atas ialah bahwa kualitas


bukanlah suatu program akan tetapi berakar dalam prinsip-prinsip
seperti keyakinan, harapan, rendah hati, kerja keras, konsisten
dalam tujuan, perbaikan, progress, nilai-nilai moral dan kebenaran
yang harus menjadi buadaya kehidupan organisasi. Apabila seluruh
pegawai organisasi tidak menghayati prinsip-prinsip tersebut
maka penerapan metode saja tidak cukup untuk dapat membuat
produk, jasa dan hubungan kerja yang berkualitas. Organisasi harus
menetapkan rencana-rencana dan menetapkan proses pengukuran,
pemantauan, analisis dan peningkatan yang diperlukan agar
menjamin kesesuaian dari produk, menjamin kesesuaian dari system
manajemen kualitas, dan meningkatkan terus menerus efektifitas
dari sistem manajemen kualitas.
Peningkatan kualitas dapat didefinisikan sebagai suatu
metodologi pengumpulan dan analisis data kualitas, serta me­
nentukan dan mengintepretasikan pengukuran-pengukuran yang
menjelaskan tentang proses dalam suatu sistem industri, untuk

69 Ibrahim Buddy, Total Quality Manajement, Jakarta: Percetakan Karya Unipress,


2000, hlm. 13.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 63
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
meningkatkan kualitas produk, guna memenuhi kebutuhan dan
ekspektasi pelanggan.70 Oleh sebab itu peningkatan kualitas
merupakan aktivitas teknik dan manajemen melalui mengukur
karakteristik kualitas dari produk, kemudian membandingkan hasil
pengukuran dengan spesifikasi produk yang diinginkan pelanggan,
serta mengambil tindakan peningkatan yang tepat apabila ditemukan
perbedaan diantara kinerja aktual dan standar.
Vincent juga berpendapat bahwa terminology kualitas
didefinisikan sebagai konsistensi peningkatan atau penurunan
variasi karakteristik kualitas dari suatu produk barang atau jasa yang
dihasilkan, agar memenuhi kebutuhan yang telah dispesifikasikan,
gunha meningkatkan kepuasan pelanggan internal maupun
eksternal.71 Dengan demikian pengertian kualitas dalam konteks
peningkatan proses adalah bagaimana baiknya kualitas suatu produk
itu memenuhi spesifikasi dan toleransi yang ditetapkan oleh bagian
disain dan pengembangan dari suatu perusahaan. Spesifikasi dan
toleransi yang ditetapkan oleh bagian desain dan pengembangan
produk harus berorientasi kepada kebutuhan dan ekspektasi
pelanggan.
Menurut Garvin ada 5 (lima) perspektif kualitas yaitu pendekatan
yang mewujudkan kualitas suatu produk72:
a) Trancendental Approach
b) Product-based Approach
c) User-based Approach
d) Manufacturing Approach
e) Value-based Approach

70 Vincent Gasperz Z, Metode Analisis untuk Peningkatan Kualitas, Jakarta: PT.


Gramedia, 2003, hlm. 2.
71 Ibid.
72 M.N. Nasution, Manajemen Mutu Terpadu, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001, hlm. 19.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


64 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Kita harus memahami bahwa layanan (service) berasal dari
orang-orang, bukan dari organisasi atau perusahaan. Suatu layanan
dapat terbentuk karena adanya proses pemberian layanan tertentu
dari pihak penyedia layanan kepada pihak yang dilayani baik yang
dilakukan atas dasar kesukarelaan masing-masing pihak (non-
komersial), tujuan komersil ataupun karena orang-orang mempunyai
keterikatan kerja dalam organisasi yang bertujuan komersil ataupun
non komersil.73 Dengan demikian layanan itu mungkin diberikan
karena satu pihak berkehendak membantu pihak lain secara
sukarela, atau adanya permintaan dari pihak lain kepada satu pihak
untuk membantunya secara sukarela. Pelayanan adalah suatu usaha
untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan
orang lain.74
Catherine DeVrye menyatakan bahwa pelayanan di dalamnya
terdapat unsur 75:
S Self-esteem---Memberi nilai pada diri sendiri
E Exceed expectations---Melampaui apa yang diharapkan
R Recover---Rebut kembali
V Vision---Visi
I Improve---Peningkatan
C Care---Perhatian
E Empower---Pemberdayaan

Pelayanan adalah upaya untuk membantu menyiapkan, me­


nyediakan atau mengurus keperluan orang lain.76 Menurut Startus

73 Atep Barata, Dasar-dasar Pelayanan Prima, Jakarta: PT. Gramedia, 2004, hlm. 9.
74 Soetopo, Pelayanan Prima, Jakarta: LAN, 1999, hlm. 4.
75 Catherine DeVrye, Good Service is Good Business (7 Strategi sederhana menuju
Sukses), Jakarta: PT. Gramedia, 2001, hlm. 6.
76 Eko Supriyanto, Operasionalisasi Pelayanan Prima, Jakarta: LAN, 2001, hlm. 9.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 65
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
keterlibatannya dengan lembaga yang dilayani dapat dibedakan
adanya 2 (dua) golongan pelanggan77:
a. Pelanggan eksternal : semua pelanggan yang berasal dari luar
organisasi.
b. Pelanggan internal : yaitu para karyawan atau unit-unit lain
didalam organisasi yang memperoleh pelayanan dari unit yang
kita miliki.

Parasuraman dan Berry mengemukakan mengenai mutu


pelayanan, ”The service quality can be defined as the extent of
discrepancy between customers expectations or desires and their
perception”.78 Mutu pelayanan dibentuk oleh dua elemen yaitu :
pelayanan yang diharapkan (expected service) dan pelayanan yang
diterima (perceived service). Kedua elemen tersebut bila dibandingkan
akan mengarah kepada penilaian mutu pelayanan yang diberikan,
sebagaimana penilaian Parasuraman, et,al bahwa :
Jika kenyataan (perceived) lebih baik yang diharapkan (expected),
maka layanan dapat dikatakan bermutu sedangkan jika kenyataan
kurang dari yang diharapkan, maka layanan tidak bermutu. Dan
apabila kenyataan sama dengan harapan, maka layanan disebut
memuaskan.79
Dalam studinya Parasuraman menyimpulkan terdapat 5 (lima)
dimensi dimensi kualitas pelayanan sebagai berikut 80:
a) Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan
dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal.
Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik
perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti

77 Ibid, hlm. 11.


78 Zeithaml, Parasuraman, dan Berry, Delivering Quality Service, The Press Adividion
of Macmillan, 1990, hlm. 19.
79 Lupiyoadi, Manajemen Pemasaran Jasa, Jakarta: Salemba Empat, 2001, hlm. 148.
80 Ibid.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


66 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa.
Yang meliputi fasilitas fisik (gedung, dan lain sebagainya),
perlengkapan dna peralatan yang digunakan (teknologi), serta
penampilan pegawainya.
b) Reliability, atau keandalam yaitu kemampuan organisasi untuk
memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan
terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang
berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua
pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan
akurasi yang tinggi.
c) Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemampuan
untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat
(responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian
informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa
adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi negatif
dalam kualitas pelayanan.
d) Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan,
kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan
untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada
perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara lain,
komunikasi (communication), kredibilitas (credibility),
keamanan (security), kompeten (competence), dan sopan santun
(courtesy).
e) Empathy, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat
individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan
dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana
suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan
pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan
pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian
yang nyaman bagi pelanggan.
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 67
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
BAB III
GAMBARAN UMUM
LAYANAN PEMASYARAKATAN DAN
KEIMIGRASIAN

A. Layanan Pemasyarakatan
Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan
Nomor PAS-14.OT.02.02 Tahun 2014, standar pelayanan
pemasyarakatan yang diatur di dalam keputusan ini meliputi
ruang lingkup pelayanan barang, jasa, dan administratif pada
masing-masing organisasi pelaksana tugas pada Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan, Divisi Pemasyarakatan, dan Unit Pelaksana Teknis
Pemasyarakatan yakni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Rumah
Tahanan (Rutan), Balai Pemasyarakatan (Bapas), dan Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Standar pelayanan
ini wajib dilaksanakan oleh penyelenggara/pelaksana, dan digunakan
sebagai acuan dalam penilaian kinerja penyelenggaraan pelayanan
publik oleh pimpinan penyelenggara, aparat pengawasan internal
maupun eksternal, dan masyarakat. Berikut ini adalah jenis layanan

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 69
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
publik di UPT Pemasyarakatan yang telah ditetapkan di dalam
peraturan tersebut.

1. Bidang Pembinaan Narapidana dan Pelayanan Tahanan


Layanan yang terdapat pada Bidang Pembinaan Narapidana dan
Pelayanan Tahanan yang telah ditetapkan di dalam Kepdirjen Nomor:
PAS-14.OT.02.02 Tahun 2014 berjumlah 23 layanan, antara lain:

a) Layanan Asimilasi Tindak Pidana Khusus


Berdasarkan PP Nomor 28 Tahun 2006, Layanan Asimilasi
Tindak Pidana Khusus merupakan layanan pembinaan yang
diberikan kepada Narapidana tindak pidana tertentu yang telah
menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana atas persetujuan Menteri
Hukum dan HAM RI yang dilaksanakan dengan membaurkan
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dalam kehidupan
masyarakat. Layanan asimilasi tindak pidana khusus terkait
PP No. 99 Tahun 2012 merupakan layanan pembinaan yang
diberikan kepada Narapidana tindak pidana tertentu yang telah
menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana dalam bentuk kerja
sosial pada lembaga sosial atas persetujuan Menteri Hukum dan
HAM RI yang dilaksanakan dengan membaurkan Narapidana
dan Anak Didik Pemasyarakatan dalam kehidupan masyarakat.

b) Layanan Asimilasi Tindak Pidana Umum


Sesuai dengan Undang-undang Pemasyarakatan, asimilasi
merupakan hak warga binaan pemasyarakatan yang perlu
dipenuhi oleh petugas pemasyarakatan selaku pemberi layanan.
Layanan Asimilasi merupakan layanan pembinaan yang diberikan
kepada Narapidana yang telah menjalani ½ (satu per dua)
masa pidana. Layanan ini juga diberikan kepada Anak Negara
dan Anak Sipil yang telah menjalani masa pendidikan di Lapas
Anak selama 6 (enam) bulan pertama. Layanan ini dilaksanakan

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


70 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
dengan cara membaurkan Narapidana, Anak Negara dan Anak
Sipil dalam kehidupan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor
21 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi,
Asimilasi, CMK, PB, CMB dan CB, asimilasi merupakan proses
pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang
dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak didik
pemasyarakatan dalam kehidupan masyarakat. Ketentuan
tersebut juga mengatur bahwa layanan asimilasi merupakan hak
yang dimiliki oleh Warga Binaan Pemasyarakatan apabila telah
memenuhi persyaratan antara lain : 1) Berkelakuan baik 2) Aktif
mengikuti program pembinaan dengan baik 3) Telah menjalani
½ (satu per dua) Masa Pidana.

c) Layanan Bimbingan Kerja


Narapidana yang menjalani pembinaan di lapas, berhak
untuk mendapatkan bimbingan kerja, layanan tersebut bersifat
mandat, dan narapidana di UPT setempat berhak untuk memilih
untuk mengikuti kegiatan kerja sesuai dengan minat dan
bakat yang dimiliki. Layanan bimbingan kerja dapat diberikan
kepada narapidana apabila yang bersangkutan telah menjalani
1/3 dari masa pidana, berkelakuan baik, dan mendapatkan
Surat Keputusan Kepala Lapas untuk mengikuti bimbingan
kerja berdasarkan rekomendasi dari sidang Tim Pengamat
Pemasyarakatan (TPP). Bagi setiap narapidana yang mengikuti
kegiatan bimbingan kerja berhak untuk mendapatkan upah atau
premi yang besarnya disesuaikan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pemberian upah atau premi tersebut
harus dititipkan dan dicatat di Lapas setempat.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 71
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
d) Layanan Bimbingan Rohani
Layanan Bimbingan Rohani bagi WBP di UPT
Pemasyarakatan merupakan layanan yang harus ada dan wajib
sifatnya karena merupakan mandat serta terjadwal minimal
seminggu sekali. Bimbingan Rohani merupakan nutrisi bagi hati,
dengan melalui layanan bimbingan rohani dapat mengembalikan
perilaku seseorang menjadi lebih baik. Dengan melalui layanan
bimbingan rohani ini merupakan suatu pondasi bekal akhlak
yang mulia, baik disaat menjalankan masa pidananya maupun
setelah selesai menjalankan masa pidananya.

e) Layanan Cuti Bersyarat Tindak Pidana Tertentu


Merupakan layanan pembinaan dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan, telah menjalani
paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, berkelakuan
baik dalam kurun waktu 9 (sembilan) bulan terakhir, bagi
Narapidana korupsi harus juga telah membayar lunas denda
dan uang pengganti dan bagi Narapidana terorisme juga telah
menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang
menyebabkan dijatuhi pidana yang diberikan atas persetujuan
Direktur Jenderal Pemasyarakatan untuk mengintegrasikan
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan tindak pidana
tertentu kedalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan.

f) Layanan Cuti Bersyarat Tindak Pidana Umum


Merupakan layanan pembinaan dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan telah menjalani
paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana serta berkelakuan
baik dalam kurun waktu 6 bulan terakhir yang diberikan untuk
mengintegrasikan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


72 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
kedalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan
yang telah ditentukan.

g) Layanan Cuti Menjelang Bebas Tindak Pidana Tertentu


Merupakan layanan pembinaan kepada Narapidana setelah
menjalani 2/3 masa pidana dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga)
masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan,
berkelakuan baik paling sedikit 9 (sembilan) bulan terhitung
sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana dan lamanya Cuti
Menjelang Bebas sebesar remisi terakhir. Selain itu diberikan
kepada Anak Negara yang telah mencapai usia 17 (tujuh belas)
tahun 6 (enam) bulan dan berkelakuan baik selama masa
pembinaan atas persetujuan Direktur Jenderal Pemasyarakatan
yang diberikan untuk mengintegrasikan Narapidana dan Anak
Negara tindak pidana tertentu kedalam kehidupan masyarakat
setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

h) Layanan Cuti Menjelang Bebas Tindak Pidana Umum


Merupakan layanan pembinaan setelah menjalani 2/3 masa
pidana dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut
tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan dan lamanya sebesar remisi
terakhir, paling lama 6 (enam) bulan yang diberikan untuk
mengintegrasikan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan
tindak pidana tertentu ke dalam kehidupan masyarakat setelah
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam Peraturan
Menteri Hukum dan HAM Nomor 21 Tahun 2013.

i) Layanan Permohonan Cuti Mengunjungi Keluarga


Merupakan layanan pembinaan kepada Narapidana dan
Anak Pidana dengan masa pidana paling singkat 12 (dua belas)
bulan, Anak Negara dan Anak Sipil paling singkat 6 (enam)
bulan, dan telah menjalani ½ (satu per dua) dari masa pidana
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 73
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
dengan waktu Cuti Mengunjungi Keluarga paling lama 2 (dua)
hari atau 2 X 24 (dua kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan tiba di tempat
kediaman untuk memberikan kesempatan kepada Narapidana
dan Anak Didik Pemasyarakatan agar dapat berasimilasi dengan
keluarga dan masyarakat. Diberikan sesuai dengan Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013.

j) Layanan Fasilitasi Bantuan Hukum


Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok
orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara
layak dan mandiri yang menghadapi masalah hukum. Bantuan
hukum tersebut meliputi menjalankan kuasa, mendampingi,
mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain
untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.

k) Layanan Fasilitas Keterlambatan Penerimaan


Perpanjangan Penahanan
Dalam pelaksanaan penahanan yang dilimpahkan oleh
jaksa kepada pemasyarakatan, sering kali terdapat jangka
waktu penahanan yang telah melewati batas penahanan atau
keterlambatan. Untuk melakukan antisipasi pada permasalahan
tersebut, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan melakukan upaya
berupa pengecekan ke Mahkamah Agung mengenai surat putusan
dan penetapan perpanjangan penahanan yang akan habis masa
penahanannya pada tingkat kasasi. Sehingga tahanan yang
mengalami perpanjangan masa penahanan dapat mempunyai
kekuatan hukum tetap atas status penahanan terhadap dirinya
sendiri. Surat yang diajukan kepada Mahkamah Agung adalah
berupa surat permohonan perpanjangan penahanan agar dapat

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


74 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
dilakukan tindakan lebih lanjut dalam pelaksanaan pelayanan
terhadap tahanan tersebut.

l) Layanan Izin Luar Biasa


Untuk menghindari adanya gejolak dari kehidupan Warga
Binaan Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
memberikan suatu kebijakan untuk WBP yang mempunyai
keperluan pribadi yang bersifat sangat penting. Kebijakan
tersebut yaitu berupa layanan Izin Luar Biasa. Layanan izin luar
biasa adalah layanan yang diberikan pihak lapas/Rutan/Cab.
Rutan kepada Narapidana yang mengajukan izin keluar lapas/
rutan/cab.rutan untuk keperluan pribadi yang sifatnya sungguh
luar biasa seperti Meninggal/sakit keras ayah, ibu, anak, cucu,
suami, istri, adik atau kakak kandung, Menjadi wali atas
pernikahan anaknya, Membagi warisan.

m) Layanan Kegiatan Kesenian


Narapidana dan tahanan yang berada di UPT lapas dan rutan
berhak untuk mengikuti kegiatan kesenian. Layanan ini bersifat
mandat sehingga narapidana dan tahanan pada UPT setempat
wajib mengikuti kegiatan kesenian yang telah ditentukan
dan dilaksanakan sesuai jadwal secara berkesinambungan.
Tujuannya adalah untuk menggali dan mengembangkan hobi
dan bakat yang dimiliki.

n) Layanan Kegiatan Olahraga


Narapidana dan tahanan yang berada di UPT lapas dan rutan
berhak untuk mengikuti kegiatan olahraga. Layanan ini bersifat
mandat sehingga narapidana dan tahanan pada UPT setempat
wajib mengikuti kegiatan olahraga yang telah ditentukan dan
dilaksanakan sesuai dengan jadwal secara berkesinambungan.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 75
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Tujuannya adalah untuk menggali dan mengembangkan bakat
dan keahlian serta meningkatkan kesehatan jasmani.

o) Layanan Konsultasi Hukum Bidang Pemasyarakatan


Direktorat Jenderal Pemasayarakatan memberikan layanan
konsultasi hukum bidang pemasyarakatan yang bersifat
layanan jasa hukum yang diberikan khususnya pada bidang
Pemasyarakatan kepada tahanan melalui kuasa hukumnya/
keluarganya/masyarakat.

p) Layanan Konsultasi Hukum


Konsultasi hukum merupakan layanan jasa hukum yang
diberikan oleh Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan kepada
tahanan untuk memperoleh bantuan hukum non litigasi berupa
Konsultasi Hukum secara cuma-cuma dari Lembaga Bantuan
Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan mengenai penanganan
perkara yang sedang dihadapinya. Lembaga Bantuan Hukum
atau Organisasi Kemasyarakatan di bidang hukum adalah
lembaga non profit yang mendedikasikan diri untuk memberikan
bantuan hukum kepada masyarakat miskin dan teraniaya secara
hukum, tanpa memungut bayaran (prodeo dan probono) tanpa
membedakan suku, agama, ras, keturunan, keyakinan politik
maupun latar belakang sosial dan budaya.

q) Layanan Pameran Hasil Karya Narapidana


Pameran hasil karya narapidana merupakan kegiatan
promosi, publikasi dan sosialisasi hasil karya narapidana sebagai
wujud dari program pembinaan kemandirian narapidana di
lapas. Kegiatan pembinaan kemandirian narapidana di Lapas
adalah memberikan bekal keterampilan kepada narapidana,
agar ketika selesai menjalani masa pidana mereka dapat kembali
pada masyarakat dengan tidak menggantungkan diri pada orang

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


76 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
lain (dapat hidup mandiri), dan masyarakat dapat menerimanya
dengan baik. Selain itu pameran hasil karya narapidana juga
dapat membangkitkan semangat untuk dapat melakukan
berbagai kegiatan positif yang dapat meningkatkan motivasi
perubahan perilaku.

r) Layanan Pembebasan Bersyarat Tindak Pidana


Tertentu
Berdasarkan PP No. 28 tahun 2006, Pembebasan Bersyarat
Tindak Pidana Tertentu merupakan layanan yang diberikan
setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa
pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana
tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan
baik sekurangkurangnya 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung
sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana atas persetujuan
Menteri Hukum dan HAM RI untuk mengintegrasikan
Narapidana tindak pidana tertentu kedalam kehidupan
masyarakat kedalam kehidupan setelah memenuhi persyaratan
yang telah ditentukan. Layanan Pembebasan Bersyarat tindak
pidana tertentu terkait PP No. 99 tahun 2012 merupakan
layanan yang diberikan setelah menjalani sekurang-kurangnya
2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per
tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan
dan berkelakuan baik sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan,
telah menjalani asimilasi paling sedikit ½ (satu per dua) dari
sisa masa pidana dan telah membayar lunas denda dan uang
pengganti atas persetujuan Menteri Hukum dan HAM RI untuk
mengintegrasikan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan
tindak pidana tertentu kedalam kehidupan masyarakat setelah
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 77
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
s) Layanan Pembebasan Bersyarat Tindak Pidana Umum
Merupakan layanan yang diberikan setelah menjalani masa
pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga) dengan ketentuan
2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9
(sembilan) bulan bagi narapidana dan Anak Negara setelah
menjalani pembinaan paling sedikit 1 (satu) tahun dengan
mengintegrasikan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan
kedalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan
yang telah ditentukan. Sesuai dengan Pasal 49 Peraturan
Menteri Hukum dan HAM Nomor 21 Tahun 2013 Pembebasan
Bersyarat dapat diberikan kepada Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan kecuali Anak Sipil yang telah memenuhi syarat.

t) Layanan Pemindahan Atas Permintaan Sendiri/


Keluarga/Kuasa Hukum (dalam wilayah dan antar
wilayah)
Layanan pemindahan merupakan layanan yang diberikan
kepada narapidana dan bersifat permintaan. Pada layanan ini,
narapidana dapat mengajukan permohonan untuk pindah dari
lapas tempat ia dibina. Pemindahan ini dapat dilakukan baik itu
untuk pemindahan dalam satu propinsi maupun lintas propinsi.
Berbagai ketentuan mengenai dasar hukum, persyaratan,
dan prosedur pelaksanaan layanan pemindahan secara rinci
diuraikan di dalam standar pelayanan pemasyarakatan.

u) Layanan Pendidikan
Pendidikan merupakan hak dasar setiap manusia dalam
menjalani hidup, oleh karena itu pelaksanaan pembinaan
disertakan dengan layanan pendidikan guna upaya penerapan
hak-hak dasar. Layanan pendidikan merupakan layanan yang
diberikan kepada WBP maupun anak yang bersifat permintaan.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


78 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Pada layanan ini WBP maupun anak dapat mengajukan
permohonan untuk mengikuti pendidikan Paket A, Paket B atau
Paket C dan disesuaikan dengan persyaratan yang ditentukan
oleh pemerintah cq. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
RI. Prosedur pelaksanaan layanan pendidikan secara rinci di
uraikan dalam standar pelayanan pemasyarakatan.

v) Layanan Penyediaan Bahan Bacaan


Merupakan layanan yang diberikan kepada WBP dan
bersifat permintaan. Lapas dan rutan menyediakan bahan
bacaan berupa buku, majalah dan surat kabar di perpustakaan
yang dapat digunakan oleh warga binaan pemasyarakatan sesuai
dengan jadwal yang ditentukan. Berbagai ketentuan mengenai
persyaratan dan prosedur pelaksanaan layanan penyediaan
bahan bacaan secara rinci diuraikan dalam standar pelayanan
pemasyarakatan.

w) Layanan Penyuluhan
Penyuluhan adalah proses komunikasi pembangunan,
penyuluhan tidak sekadar upaya untuk menyampaikan pesan-
pesan pembangunan, tetapi yang lebih penting dari itu adalah
untuk menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat untuk
memberikan pemahaman. Tujuan yang sebenarnya dari
penyuluhan adalah terjadinya perubahan perilaku sasarannya.
Hal ini merupakan perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan
keterampilan yang dapat diamati secara langsung maupun
tidak langsung dengan indera manusia. Dengan demikian,
penyuluhan dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku
(pengetahuan, sikap, dan keterampilan) di kalangan masyarakat
agar mereka tahu, mau, mampu melaksanakan perubahan-
perubahan demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan/

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 79
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat
yang ingin dicapai. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan melalui
Unit Pelaksana Teknis memberikan layanan penyuluhan baik
mengenai aturan, norma, dan ketentuan hukum. Layanan
penyuluhan merupakan layanan jasa hukum yang diberikan
oleh Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan kepada para
tahanan untuk memperoleh bantuan hukum non litigasi berupa
Penyuluhan Hukum secara cuma-cuma dari Lembaga Bantuan
Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan mengenai proses dan
penanganan perkara yang sedang dihadapinya.

2. Bidang Keamanan dan Ketertiban


Layanan yang terdapat pada Bidang Keamanan dan Ketertiban
yang telah ditetapkan di dalam Kepdirjen Nomor: PAS-14.OT.02.02
Tahun 2014 berjumlah 2 layanan, antara lain:

a) Layanan Kunjungan Warga Binaan Pemasyarakatan


Layanan kunjungan adalah layanan yang diberikan kepada
WBP merupakan proses kunjungan keluarga, kuasa hukum
dan masyarakat dengan warga binaan pemasyarakatan yang
akan dikunjunginya di Lapas/Rutan dengan tempat dan
waktu yang telah ditetapkan oleh Kepala Lapas/Rutan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Proses kunjungan meliputi
pendaftaran, pencatatan, penggeledahan barang bawaan dan
badan pengunjung, pemberian tanda khusus kepada pengunjung
yang akan berkunjung, mengarahkan pengunjung ketempat
pertemuan dengan warga binaan pemasyarakatan yang telah
ditentukan. Pada Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan
tentang Standar Layanan Pemasyarakatan sudah menjelaskan
terkait dengan pemberian layanan kunjungan. Penjelasan

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


80 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
tersebut mulai dari persyaratan, mekanisme, dan evaluasi
pelaksanaan layanan kunjungan.

b) Layanan Pengaduan
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh
pihak yang berkepentingan, kepada pejabat yang berwenang
untuk menindak lanjuti menurut hukum seseorang yang
telah melakukan tindakan pidana aduan yang merugikannya
(Pasal 25 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Layanan pengaduan dalam hal ini adalah suatu layanan yang
memberikan ruang terhadap masyarakat berupa ketidakpuasan,
kritik dan saran terhadap kinerja penyelenggaraan layanan
dan institusi pemasyarakatan. Layanan pengaduan masyarakat
dapat disampaikan melalui datang langsung ketempat layanan
pengaduan, bersurat, email, SMS, dll sesuai dengan substansti
aduannya ke alamat yang telah diberikan atau disediakan.

3. Bidang Kesehatan dan Perawatan Narapidana


Layanan yang terdapat pada Bidang Kesehatan dan Perawatan
Narapidana yang telah ditetapkan di dalam Kepdirjen Nomor: PAS-
14.OT.02.02 Tahun 2014 berjumlah 15 layanan, antara lain :

a) Layanan Rujukan Lanjutan di Luar Lapas / Rutan


Layanan Rujukan Lanjutan di Luar Lapas / Rutan kepada
narapidana dan tahanan bersifat permintaan ketika Lapas / Rutan
tidak memiliki SDM atau fasilitas kesehatan yang minim atau
tidak memadai maka kepala UPT Lapas / Rutan mengusulkan
ke kanwil yang kemudian diteruskan ke Ditjen Pemasyarakatan
sesuai dengan persyaratan.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 81
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
b) Layanan Permintaan Rekomendasi Medis
Narapidana/Tahanan di Lapas/Rutan dapat meminta
rekomendasi medis apabila didalam Lapas/Rutan belum ada
fasilitas perawatan yang diperlukan. Dalam hal meminta
rekomendasi medis dibutuhkan surat permohonan Kepala
Lapas/ Rutan ke kanwil dan diteruskan ke Dirjen Pemasyarakatan
cq. Direktur Bina Kesehatan dan Perawatan Narapidana dan
tahanan dengan melengkapi persyaratan yang diatur.

c) Layanan Iniasi Terapi ARV bagi WBP


Khususnya Di lapas/rutan juga tidak menutup kemungkinan
terdapat narapidana/tahanan dengan HIV/AIDS. Masing-
masing Kepala UPT terkait yang mengetahui jika terdapat
narapidana/tahanan dengan HIV/AIDS maka ia wajib untuk
mengajukan permohonan kepada Direktur Bina Kesehatan
dan Perawatan agar narapidana/tahanan yang bersangkutan
mendapatkan layanan terapi ARV. Pemberian layanan terapi
ARV ini diberikan agar narapidana/tahanan dengan HIV/AIDS
untuk menurunkan tingkat penularan dan mereka bisa bertahan
hidup sehat lebih lama.

d) Layanan Pengobatan Methadone bagi WBP Pengguna


Napza
Warga Binaan Pemasyarakatan dalam Lapas/Rutan yang
dikategorikan pemakaii narkoba mempunyai hak pengobatan/
layanan lanjutan methadone sesuai prosedur yang ada.

e) Layanan Rehabilitasi Sosial bagi Pengguna Napza


Rehabilitasi sosial merupakan upaya yang ditujukan untuk
mengintegrasikan kembali seseorang ke dalam kehidupan
masyarakat dengan cara membantunya menyesuaikan diri
dengan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan. Seseorang dapat

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


82 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
berintegrasi dengan masyarakat apabila memiliki kemampuan
fisik, mental, dan sosial serta diberikan kesempatan untuk
berpartisipasi. Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas /
Rutan yang dikategorikan pemakai narkoba mempunyai hak
pengobatan / layanan lanjutan rehabilitasi sesuai prosedur yang
ada agar dapat memulihkan kembali kondisi fisik dan psikis
untuk yang mengalami candu napza.

f) Layanan Pemberian Makan


Sesuai dengan Pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang pemasyarakatan, pemberian makan merupakan
hak dasar bagi narapidana/tahanan. Oleh karena itu, Narapidana
dan Tahanan didalam Lapas / Rutan berhak mendapat Layanan
pemberian makanan yang layak serta mempunyai gizi yang
cukup. Layanan pemberian makan didalam Lapas / Rutan
adalah Layanan yang menjadi kebutuhan dasar bagi WBP dan
Tahanan. Yang harus diperhatikan dalam layanan ini adalah :
standar angka kecukupan gizi, standar kebutuhan bahan makan,
standar rangka menu dan menu, standar spesifikasi bahan
makan, standar analisa perhitungan indeks harga bahan makan,
dan standar pengadaan dan penyelenggaraan bahan makanan
Layanan pemberian makan merupakan layanan yang
bersifat mandat yang berlaku di setiap UPT lapas. Kepala
UPT lapas bertanggungjawab atas pengelolaan makanan yang
diberikan kepada narapidana. Pemberian makan di UPT lapas
diberikan sebanyak 3 kali setiap harinya. Narapidana juga berhak
untuk mendapatkan makanan dari luar lapas yang dibawa oleh
keluarga yang bersangkutan dengan syarat sebelum makanan
tersebut diserahkan kepada narapidana/anak harus diperiksa
terlebih dahulu oleh petugas lapas.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 83
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
g) Layanan Kesehatan
Layanan kesehatan bagi narapidana/tahanan dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan dan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009
tentang kesehatan. Sebagai bagian dari pelayanan kesehatan
yang bersifat mandat di masing-masing UPT lapas, setiap
narapidana berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan
yang layak. Layanan ini diberikan kepada narapidana yang
membutuhkan tindakan medis terkait dengan kondisi
kesehatannya selama di UPT Lapas. Setiap lapas setidaknya
menyediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan menyediakan
sekurang-kurangnya seorang dokter dan tenaga kesehatan
lainnya. Layanan kesehatan ini diberikan bagi seluruh WBP
dalam bentuk pencegahan maupun pengobatan. Pencegahan
dilakukan guna meminimalisir tersebarnya penyakit di dalam
Lapas/Rutan. Sedangkan pengobatan merupakan upaya untuk
memberikan kesehatan bagi WBP yang sedang menderita sakit
agar program pembinaan dapat berjalan dengan optimal.

h) Layanan Pemberian Air Bersih


Layanan pemberian air bersih bagi Narapidana / Tahanan
diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan mandi, cuci dan
kakus per orang per hari yaitu sebanyak 200 liter. Kriteria
dari air bersih adalah tidak berbau, tidak berwarna dan tidak
berasa. Sumber air bersih dapat diperoleh dari Perusahaan Air
Minum (PAM) dan air tanah atau sumber lain yang tersedia
tidak mencukupi harus dipenuhi dengan upaya menambah
jumlah sumber air. Bila jumlah air yang tersedia cukup tapi
tidak memenuhi syarat secara kualitas dapat dilakukan upaya
penyulingan / filter air.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


84 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
i) Layanan Pemberian Pakaian, Perlengkapan Makan,
Mandi, Cuci dan Tidur
Layanan pemberian pakaian Layanan pemberian pakaian
merupakan layanan yang harus diterima oleh warga binaan
selama menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan/
Rumah Tahanan Negara. Layanan pemberian pakaian ini
merupakan kewajiban Lembaga Pemasyrakatan terhadap warga
binaan, karena pakaian merupakan hak warga binaan untuk
keberlangsungan hidup. Kalayakan pakaian yang digunakan
harus sesuai dengan standar yang berlaku.
Layanan perlengkapan makan adalah layanan yang
disediakan oleh Lembaga Pemasyarakatan /Rumah Tahanan
negara kepada Warga binaan Pemasyarakatan yang akan
digunakan untuk menyantap makanan yang disajikan oleh
Petugas Lapas / Rutan. Perlengkapan makan ini berupa piring
makan, sendok garpu, gelas minum sesuai kebutuhan Warga
Binaan Pemasyarakatan dan terjamin baik kualitas maupun
kuantitas alat yang digunakan dan sesuai standar nasional yang
berlaku.
Layanan perlengkapan mandi Mandi merupakan suatu
kebutuhan bagi WBP untuk menjaga kebersihan diri, dan
kebersihan lingkungannya. Untuk itu Lapas / Rutan berkewajiban
untuk menyediakan perlengkapan mandi yang diperlukan
antara lain: sabun mandi, sikat gigi, pasta gigi, shampo, handuk,
gayung mandi, perlengkapan mandi ini wajib disediakan secara
rutin dan sesuai kebutuhan WBP selama berada di Lapas / Rutan
Layanan perlengkapan mencuci mencuci pakaian yang
digunakan WBP merupakan suatu kebutuhan yang harus
dipenuhi oleh Lapas / Rutan kepada WBP agar mereka tetap sehat
dan bersih sehingga tidak mengganggu kesehatan lingkungan.
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 85
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Untuk itu Lapas / rutan berkewajiban untuk menyediakan
perlengkapan cuci bagi WBP antara lain : tempat mencuci,
sabun, cuci, ketersediaan air, tempat menjemur pakaian, sikat
cuci dan ember sebagai wadah mencuci pakaian.
Layanan perlengkapan tidur merupakan suatu kebutuhan
bagi setiap orang termasuk WBP yang terdapat didalam Lapas /
Rutan . Tidur adalah berhentinya seseorang dari suatu aktifitas
dan pulihnya tenaga setalah bangun tidur. Agar seseorang
dapat tidur secara nyaman, aman dan tenang maka harus ada
suatu sarana / tempat tidur yang layak dipakai selama tidur.
Perlengkapan tidur yang diperlukan antara lain : matras (alas
tidur, bantal, guling, sprei, sarung bantal, sarung guling dan
selimut).

j) Layanan Penatalaksanaan HIV dan AIDS


Bagi narapidana dan tahanan yang masuk ke Lapas / Rutan
diberikan penyuluhan tentang penyakit menular dan skrining
HIV & AIDS. Bagi suspek HIV & AIDS dilanjutkan dengan
penatalaksanaan komprehensif dan berkesinambungan.

k) Layanan Penatalaksanaan TB dan TB Kebal Obat


Narapidana dan Tahanan berhak diskrining TB saat masuk
ke Lapas / Rutan ketika Narapidana dan Tahanan tersebut
dinyatakan TB berhak mendapatkan penatalaksanaan TB
maupun TB kebal obat.

l) Layanan Perawatan Bayi Sampai Usia 2 Tahun


Bagi yang lahir atau di bawa oleh Warga Binaan
Pemasyarakatan atau tahanan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan
atau Rumah Tahanan Negara berhak mendapat pelayanan dan
perawatan sampai dengan usia 2 tahun dan tidak dipungut biaya
apapun. Layanan perawatan yang diberikan disesuaikan dengan

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


86 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
kebutuhan fisik bayi tersebut. Kebutuhan yang dipenuhi dalam
rangka perawatan bayi yaitu dengan cara memberikan asi atau
asupan makanan hingga bayi siap untuk menerima makanan
yang masuk dengan normal. Bayi berumur 2 tahun memerlukan
bantuan untuk memenuhi kebutuhan makanannya dan hal
terpenting adalah ASI. Oleh karena itu, bagi narapidana wanita
yang melahirkan atau pun mempunyai bayi dibawah umur dua
tahun harus diberikan izin untuk memenuhi kebutuhan ASI
bayi tersebut.

m)Layanan Perawatan Wanita Datang Bulan, Hamil dan


Menyusui
Layanan Perawatan Wanita Datang Bulan, Hamil dan
Menyusui merupakan layanan yang diberikan Lapas / Rutan
untuk WBP / Tahanan wanita yang datang bulan, hamil bersalin
dan menyusui.

n) Layanan Perawatan Manusia Usia Lanjut (MANULA)


Layanan perawatan manula adalah layanan perawatan
kesehatan yang diberikan pihak Lembaga Pemasyarakatan dan
Rumah Tahanan Negara terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan
dan Tahanan yang masuk kelompok usia manusia lanjut
(manula). Yang dimaksud dengan manula menurut WHO
adalah mereka yeng telah berusia diatas 60 tahun, di dalam
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara berhak
mendapatkan layanan Kesehatan dan perawatan sesuai dengan
standar pelayanan kesehatan yang meliputi: 1) Penempatan 2)
Kesehatan (Posyandu lansia, pemeriksaan berkala tanda vital
dan penyakit kronis, rekreasi) 3) Makanan.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 87
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
o) Layanan Perawatan Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa adalah suatu sindroma atau pola psikologis
atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada
seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress (misalnya, gejala
nyeri) atau disabilitas (yaitu kerusakan pada satu atau lebih area
fungsi yang penting) atau disertai peningkatan risiko kematian
yang menyakitkan, nyeri, disabilitas, atau sangat kehilangan
kebebasan (American Psychiatric Association,1994). Narapidana
yang mengalami gangguan jiwa merupakan salah satu kendala
pelaksanaan pembinaan. Layanan perawatan gangguan jiwa
adalah layanan perawatan kesehatan yang diberikan pihak
Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara bagi Warga
Binaan Pemasyarakatan dan Tahanan yang terdidentifikasi
mengalami gangguan jiwa didalam Lembaga Pemasyarakatan
dan Rumah Tahanan Negara berhak mendapatkan layanan dan
perawatan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan kesehatan
dan bekerja sama dengan jejaring.

4. Bidang Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan


Anak
Layanan yang terdapat pada Bidang Bimbingan Kemasyarakatan
dan Pengentasan Anak yang telah ditetapkan di dalam Kepdirjen
Nomor: PAS-14.OT.02.02 Tahun 2014 berjumlah 11 layanan, antara
lain :

a) Layanan Pendampingan Anak yang Berkonflik dengan


Hukum
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berhadapan dengan
hukum selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur
12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


88 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Oleh karena itu,
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan melakukan pendampingan
terhadap anak tersebut sesuai dengan perintah Undang-
undang melalui Balai Pemasyarakatan atau Pembimbing
Kemasyarakatan. Layanan Pendampingan Anak yang berkonflik
dengan hukum adalah jenis kegiatan pendampingan bagi anak
yang berkonflik dengan hukum yang diawali dengan penyusunan
penelitian kemasyarakatan dan pendampingan upaya diversi.
Pendampingan terhadap anak dilakukan mulai tahap pra
ajudikasi, ajudikasi hingga post ajudikasi dan memfasilitasi
dalam hal bantuan hukum serta memastikan pemenuhan hak-
hak anak.

b) Layanan Bimbingan kepada klien Anak


Sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak berhak untuk
memperoleh layanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan,
pembimbingan dan pendampingan, serta hak lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu UPT pemasyarakatan melalui Balai Pemasyarakatan
berkewajiban untuk memberikan pelayanan bimbingan kepada
klien anak. Layanan Bimbingan kepada klien Anak merupakan
jenis layanan pembimbingan yang diberikan kepada klien anak
dalam upaya meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan
ketrampilan, profesional serta kesehatan jasmani dan rohani.
Bagi klien anak yang berada di balai pemasyarakatan berhak
untuk mendapatkan layanan pendampingan anak pada saat
proses peradilan. Layanan ini sifatnya mandat dan dilakukan
oleh pembimbing kemasyarakatan atau pembantu pembimbing

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 89
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
kemasyarakatan berdasarkan surat perintah pendampingan
anak. Pada saat proses persidangan, pembimbing/pembantu
pembimbing kemasyarakatan memberikan pertimbangan dalam
menyusun program bimbingan anak serta melakukan penilaian.

c) Layanan Konseling Anak


Layanan konseling anak adalah jenis layanan bantuan
psikologis yang diberikan kepada anak didik pemasyarakatan
dan klien anak sebagai bentuk upaya penanganan anak yang
bermasalah dan mempersiapkan masa reintegrasi selama
pelaksanaan tugas pendampingan, pembinaan, pembimbingan
dan pengawasan serta memfasilitasi anak untuk memperoleh
layanan rujukan.

d) Layanan Penelitian Kemasyarakatan bagi Klien Dewasa


Penelitian kemasyarakatan merupakan laporan yang dibuat
oleh pembimbing kemasyarakatan tentang kehidupan klien
baik ketika menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan
ataupun dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.
Pemasyarakatan melalui Balai Pemasyarakatan memberikan
layanan penelitian kemasyarakatan khususnya untuk klien
dewasa adalah sebagai upaya pemenuhan hak. Hak tersebut
adalah pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti
bersyarat. Pelayanan yang diberikan oleh Balai Pemasyarakatan
kepada pihak lain yang memerlukan sebagai pelaksanaan salah
satu fungsi Balai Pemasyarakatan yang terkait dengan program
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

e) Layanan Penelitian Kemasyarakatan bagi Anak


Penelitian kemasyarakatan bagi anak merupakan upaya
untuk menerapkan undang-undang sistem peradilan pidana
anak yaitu pelaksanaa diversi pada proses peradilan. Penelitian

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


90 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
kemasyarakatan bagi anak yang dibuat oleh pembimbing
kemasyarakatan dijadikan bahan rekomendasi untuk penentuan
keputusan hakim. Oleh karena itu, pelayanan yang diberikan
oleh Balai Pemasyarakatan kepada anak yang memerlukan
sebagai pelaksanaan salah satu fungsi Balai Pemasyarakatan
yang terkait dengan program Pembinaan dan Pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan serta proses peradilan pidana
anak khusunya melakukan upaya diversi yang sesuai dengan
undang-undang sistem peradilan pidana anak.

e) Layanan Pendidikan Layanan Khusus bagi Anak


Pendidikan layanan khusus adalah pendidikan bagi peserta
didik di Lembaga Pemasyarakatan. Penyelenggaraan pendidikan
layanan khusus bertujuan menyediakan akses pendidikan bagi
peserta didik agar haknya memperoleh pendidikan terpenuhi.
Ruang lingkup penyelenggaraan pendidikan layanan khusus
meliputi jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal
pada semua jenjang pendidikan. Anak mempunyai hak untuk
mendapatkan pendidikan selama dalam proses pra ajudikasi,
proses ajudikasi maupun selama proses pembinaan (pasca
ajudikasi) di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) maupun
di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS). Hak untuk
mendapatkan pelayanan pendidikan layanan khusus bagi Anak
merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh pemerintah dan
lembaga penegak hukum termasuk dalam hal ini LPKA dan LPAS.
Pendidikan anak selama menjalani proses peradilan pidana tidak
boleh berhenti. Ketika menjalani masa pidananya di LPKA dan
LPAS bahwa anak dapat melanjutkan pendidikan formalnya (SD,
SLTP, SLTA) dan juga dapat mengikuti pendidikan kesetaraan
(Paket A, Paket B, Paket C) serta pendidikan keterampilan.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 91
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
f) Layanan Bimbingan Klien Dewasa
Layanan Bimbingan Klien Dewasa bersifat ganda, baik
bersifat mandate maupun permintaan. Sesuai dengan aturan
perundang-undangan, narapidana yang mendapatkan asimilasi,
Cuti Menjelang Bebas, Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat
dan terpidana bersyarat diberikan layanan bimbingan oleh
Balai Pemasyarakatan. Layanan bimbingan dimulai dari
penerimaan dan pendaftaran klien dengan melampirkan berkas
klien termasuk Surat Keputusan Asimilasi, Cuti Bersyarat,
Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas. Sedangkan
untuk layanan bimbingan klien dewasa yang bersifat permintaan
diberikan setelah adanya permohonan atau permintaan dari
narapidana yang bersangkutan. Pembimbingan dilakukan
dalam 3 (tiga) tahap, tahap awal, tahap lanjutan, dan tahap
akhir dengan melalui proses litmas untuk pembimbingan pada
tahap awal, penyusunan program pembimbingan, pelaksanaan
program pembimbingan dan pengendalian/pengawasan
pelaksanaan program pembimbingan baik pada tahap awal,
lanjutan, maupun akhir. Bimbingan yang diberikan dapat
berupa bimbingan kepribadian dan kemandirian. Pengakhiran
tahap pembimbingan klien dilakukan dengan memberikan
surat keterangan akhir pembimbingan dari Kepala Balai
Pemasyarakatan.

h) Layanan Pemberian Izin ke Luar Kota


Layanan pemberian izin ke luar kota bagi klien
pemasyarakatan bersifat permintaan. Klien/kuasa hukum/
keluarga dapat mengajukan permohonan untuk pergi ke luar
kota dari kota asal pembimbingannya kepada Kepala Balai
Pemasyarakatan melalui Pembimbing Kemasyarakatan. Surat

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


92 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
permohonan beserta alasan dapat dijadikan bahan sidang TPP
dan menjadi rekomendasi Kepala Bapas untuk memberikan/
menolak izin dimaksud. Waktu yang diperlukan hingga surat
izin atau penolakan tersebut terbit adalah 14 hari kerja sejak
surat permohonan diterima.

i) Layanan Pelimpahan Bimbingan Klien Pemasyarakatan


Layanan pelimpahan bimbingan klien pemasyarakatan
merupakan layanan yang bersifat permintaan. Ketika klien
pemasyarakatan mengajukan permohonan pelimpahan
bimbingan kepada kepala Bapas, maka permohonan tersebut
dapat dijadikan bahan pertimbangan sidang TPP untuk
memberikan rekomendasi kepada Kepala Bapas. Persetujuan
Kepala Bapas akan dikoordinasikan dengan Kepala Bapas tujuan
untuk mendapatkan persetujuan penerimaan pelimpahan
bimbingan. Jawaban dari Bapas tujuan akan menjadi
pertimbangan persetujuan/penolakan pelimpahan bimbingan
klien. Surat jawaban dari Bapas tujuan diterima.

B. Layanan Keimigrasian
Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian, Pasal 1 angka 3, disebutkan bahwa:
“ Fungsi Keimigrasian adalah bagian dari unsur pemerintahan
negara dalam memberikan pelayanan Keimigrasian , Penegakan
hukum, keamanan negara dan fasilitator pembangunan kesejahteraan
masyarakat ”.
Adapun jenis-jenis pelayanan keimigrasian antara lain:

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 93
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
1. Pembuatan Surat Perjalanan Republik Indonesia (SPRI)/
Paspor
Kantor Imigrasi bertugas dan berkewajiban untuk melayani
masyarakat di lingkungan tugasnya. Salah satu tugas Kantor Imigrasi
memberikan pelayanan dalam hal pembuatan paspor. Pelayanan
pemberian dokumen pada Kantor Imigrasi terbagi dalam beberapa
jenis pemberian Dokumen Perjalanan Republik Indonesia yaitu:

a) Paspor / Surat Perjalanan Republik Indonesia


Paspor / Surat Perjalanan Republik Indonesia merupakan
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat imigrasi dari
suatu negara yang memuat identitas pemegangnya dan
berlaku untuk melakukan perjalanan antar negara. Paspor
berisi biodata pemegangnya yang meliputi antara lain foto
pemegang, tanda tangan, tempat dan tanggal kelahiran,
informasi kebangsaan dan kadang-kadang juga beberapa
informasi lain mengenai identifikasi individual. Paspor yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi adalah Paspor
Biasa untuk Warga Negara Indonesia yang terdiri dari 24
halaman dan 48 halaman.

b) Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP)


Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) merupakan
dokumen pengganti SPRI/Paspor yang terdiri dari:
1) SPLP untuk Warga Negara Indonesia
Dikeluarkan apabila paspor tidak dapat diberikan dalam
keadaan tertentu seperti: Kehabisan blanko persediaan
Paspor RI, dalam keadaaan sangat mendesak, sebagai
realisasi perjanjian khusus antara Republik Indonesia
dengan negara penerima, untuk pemulangan ke

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


94 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Indonesia dalam hal deportasi dan tidak memiliki
dokumen perjalanan serta kehilangan paspor RI Biasa.81
2) SPLP Untuk Warga Negara Asing
Dikeluarkan bagi orang asing yang tidak mempunyai
dokumen perjalanan yang sah dan negaranya tidak
mempunyai perwakilan di Indonesia. SPLP untuk WNA
ini diberikan dalam hal: atas kehendak sendiri ke luar
Wilayah Indonesia sepanjang tidak terkena pencegahan,
dikenai deportasi atau repatriasi.
3) Surat Perjalanan Lintas Batas atau Pas Lintas Batas
Dikeluarkan bagi warga negara Indonesia yang
berdomisili di wilayah perbatasan negara Republik
Indonesia dengan negara lain sesuai dengan perjanjian
lintas batas.

2. Penerbitan Visa
Visa adalah sebuah dokumen izin masuk seseorang ke suatu
negara yang bisa diperoleh di kedutaan dimana negara tersebut
mempunyai Konsulat Jenderal atau kedutaan asing. Visa adalah
tanda bukti ‘boleh berkunjung’ yang diberikan pada penduduk suatu
negara jika memasuki wilayah negara lain yang mempersyaratkan
adanya izin masuk. Bisa berbentuk stiker visa yang dapat di-apply di
kedutaan negara yang akan dikunjungi atau berbentuk stempel pada
paspor di negara tertentu.
Visa adalah sebuah dokumen resmi yang Anda perlukan untuk
masuk ke negara tujuan dalam periode waktu tertentu. Visa asli yang
biasanya distempel di paspor penerima sangat diperlukan jika hendak
berkunjung ke suatu negara tertentu. Visa kedatangan hanya dapat
diperpanjang atas persetujuan Direktur Jenderal Imigrasi Republik

81 PP No. 36 tahun 1994 Penjelasan Pasal 26.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 95
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Indonesia dalam hal bencana alam, sakit atau kecelakaan, tidak
dapat dialihkan ke jenis visa lain. Jika pemerintah telah mengadakan
perjanjian dengan suatu negara agar penduduk negaranya bebas
berkunjung ke suatu negara lain, maka jika bepergian ke negara itu,
tidak memerlukan izin masuk ke negara itu atau dengan kata lain
‘bebas visa’ untuk pemegang paspor Indonesia. Paspor akan diberi
stempel di imigrasi saat sampai dan akan langsung diperbolehkan
masuk. Visa yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi adalah:

a) Visa Kunjungan
Visa kunjungan diberikan kepada orang asing yang akan
melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia dalam rangka
kunjungan tugas pemerintahan, pendidikan, sosial budaya,
pariwisata, bisnis, keluarga, jurnalistik, atau singgah untuk
meneruskan perjalanan ke negara lain.
Visa kunjungan dapat juga diberikan kepada orang asing
pada saat kedatangan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI)
yang sering disebut Visa On Arrival. Orang Asing yang dapat
diberikan Visa kunjungan saat kedatangan adalah warga
negara dari negara tertentu yang ditetapkan berdasarkan
Peraturan Menteri.

b) Visa Tinggal Terbatas


Visa tinggal terbatas diberikan kepada Orang Asing:
1) Sebagai rohaniawan, tenaga ahli, pekerja, peneliti,
pelajar, investor, lanjut usia, dan keluarganya, serta
orang asing yang kawin secara sah dengan warga negara
Indonesia, yang akan melakukan perjalanan ke Wilayah
Indonesia untuk bertempat tinggal dalam jangka waktu
yang terbatas; atau

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


96 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
2) Dalam rangka bergabung untuk bekerja di atas kapal,
alat apung, atau instalasi yang beroperasi di wilayah
perairan nusantara, laut teritorial, landas kontinen,
dan/atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

3. Izin Tinggal
Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia wajib
memiliki Izin Tinggal sesuai dengan Visa yang dimilikinya. Izin
tinggal yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi antara
lain:

a) Izin Tinggal Kunjungan


Izin Tinggal Kunjungan yang diberikan kepada orang
asing dengan visa kunjungan atau anak yang baru lahir di
Wilayah Indonesia dan pada saat lahir ayah dan atau ibunya
pemegang izin tinggal kunjungan dan diberikan sesuai
dengan izin tinggal kunjungan ayah dan atau ibunya. Masa
izin tinggal kunjungan berakhir karena : kembali ke negara
asalnya, izinnya telah habis masa berlakunya, izinnya beralih
status menjadi izin tinggal terbatas, izinnya dibatalkan
oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk, dikenai
deportasi dan meninggal dunia.

b) Izin Tinggal Terbatas (ITAS)


Izin Tinggal terbatas diberikan kepada: (1) Orang Asing yang
masuk Wilayah Indonesia dengan Visa tinggal terbatas, (2)
anak yang pada saat lahir di Wilayah Indonesia ayah dan/
atau ibunya pemegang Izin Tinggal terbatas, (3) Orang Asing
yang diberikan alih status dari Izin Tinggal kunjungan, (4)
nakhoda, awak kapal, atau tenaga ahli asing kapal laut, alat
apung, atau instalasi yang beroperasi di wilayah perairan
dan wilayah yurisdiksi Indonesia sesuai dengan ketentuan
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 97
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
peraturan perundang-undangan, (5) Orang Asing yang
kawin secara sah dengan warga negara Indonesia; atau (6)
anak dari Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga
negara Indonesia.

c) Izin Tinggal Tetap


Izin Tinggal Tetap dapat diberikan kepada: (1) Orang Asing
pemegang Izin Tinggal terbatas, sebagai rohaniwan, pekerja,
investor, dan lanjut usia, (2) keluarga karena perkawinan
campuran, (3) suami, istri, dan/atau anak dari Orang Asing
pemegang Izin Tinggal Tetap; dan (4) Orang Asing eks warga
negara Indonesia dan eks subjek anak berkewarganegaraan
ganda Republik Indonesia.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


98 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. “Pasti” Kementerian Hukum Dan Ham


Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham)
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang
peraturan perundang-undangan, administrasi hukum umum,
pemasyarakatan, keimigrasian, kekayaan intelektual, dan hak
asasi manusia.
b. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi
tanggung jawab Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia.
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 99
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
e. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan
urusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di
daerah.
f. Pelaksanaan pembinaan hukum nasional.
g. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang hukum
dan hak asasi manusia.
h. Pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang
hukum dan hak asasi manusia.
i. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.
j. Pelaksanaan tugas pokok sampai ke daerah. dan
k. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia terdiri atas:


Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
undangan, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum,
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Imigrasi,
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Hak
Asasi Manusia, Inspektorat Jenderal, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak
Asasi Manusia, serta Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Hukum dan Hak Asasi Manusia.

1. Kondisi Umum Kemenkumham


Kemenkumham dalam melakukan tugas dan fungsinya selalu
membuat rencana strategis (Renstra), seperti halnya renstra tahun
2015-2019. Renstra Kemenkumham tahun 2015-2019 ini adalah
penjabaran RPJMN ke-3 yang ditujukan untuk lebih memantapkan
pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan
menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


100 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya
manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus
meningkat. Dalam mendukung prioritas Presiden, program dan
kegiatan Kemenkumham ditujukan untuk menciptakan supremasi
hukum; memberdayakan masyarakat untuk sadar hukum dan hak
asasi manusia; memperkuat manajemen dan kelembagaan secara
nasional; dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Program
dan kegiatan tersebut dijadikan kerangka dasar dan arah pelaksanaan
kebijakan dan kegiatan prioritas pembangunan di Kemenkumham.
Kemenkumham adalah salah satu Kementerian yang mempunyai
peran sangat strategis antara lain sebagai:
1. Satu-satunya kementerian yang memegang fungsi utama
penyusunan dokumen perencanaan pembentukan peraturan
perundang-undangan di lingkungan pemerintah dan
melaksanakan penyelarasan Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang.
2. Penanggung jawab dalam perumusan dan pelaksana kebijakan
serta standarisasi teknis di bidang Peraturan Perundang-
undangan.
3. Penanggung jawab dalam perumusan dan pelaksana kebijakan
dan standarisasi teknis di bidang pemasyarakatan.
4. Penjaga pintu gerbang terdepan negara melalui fungsi
keimigrasian terkait penegakan hukum terhadap orang yang
masuk atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya
dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara.
5. Penanggung jawab dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan
dan standarisasi teknis di bidang administrasi hukum umum.
6. Penanggung jawab dalam perumusan dan pelaksana kebijakan
dan standardisasi teknis di bidang kekayaan intelektual.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 101
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
7. Penanggung jawab dalam merumuskan pemajuan HAM agar
aparatur pemerintah dapat menerapkan norma dan standar
HAM dengan melibatkan peran dan partisipasi masyarakat.
8. Penanggung jawab pelaksanaan bantuan hukum kepada orang
atau kelompok masyarakat miskin.

2. Visi, Misi, Nilai Dan Tujuan Kementerian Hukum Dan Hak


Asasi Manusia

a. Visi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia


Untuk merumuskan kondisi masa depan yang ingin dicapai
oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, disusun Visi
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penyusunan Visi
dimaksudkan untuk: Mencerminkan apa yang ingin dicapai
oleh organisasi, Memberikan arah dan fokus strategi yang jelas,
Menjadi perekat dan menyatukan gagasan strategis yang terdapat
pada organisasi, Memiliki orientasi kepada masa depan, Mampu
menumbuhkan komitmen seluruh jajaran organisasi, Menjamin
kesinambungan kepemimpinan organisasi.
Berdasarkan identifikasi dan analisis lingkungan
strategis Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka
Visi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah:
“Masyarakat memperoleh Kepastian Hukum”
Visi ini lebih menekankan pada orientasi masa depan
Kementerian Hukum dan HAM dengan mengacu kepada
kompetensi inti (core bussines) Kementerian Hukum dan HAM
yakni fungsi Pembentukan Hukum, Fungsi Pelayanan Hukum,
Fungsi Penegakan Hukum dan Fungsi Pemenuhan Hak Asasi
Manusia yang dikaitkan dengan Visi Pemerintah yakni menuju
Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


102 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
b. Misi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Pada dasarnya misi merupakan sesuatu yang harus diemban
oleh organisasi dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia sebagai suatu uraian untuk memperjelas dan
menjabarkan visi yang telah ditetapkan. Pernyataan misi ini
menjawab kebutuhan penerima layanan yang harus dipenuhi
oleh organisasi sesuai dengan karakteristik dan kompetensi inti
organisasi.
Oleh sebab itu berdasarkan analisa strategis dikaitkan
dengan visi operasional organisasi Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia maka Misi Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia adalah:
a. Mewujudkan peraturan Perundang-Undangan yang ber­
kualitas.
b. Mewujudkan pelayanan hukum yang berkualitas.
c. Mewujudkan penegakan hukum yang berkualitas.
d. Mewujudkan penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan
HAM.
e. Mewujudkan layanan manajemen administrasi Kementerian
Hukum dan HAM; serta
f. Mewujudkan aparatur Kementerian Hukum dan HAM yang
profesional dan berintegritas.

c. Nilai dan Tujuan Kementerian Hukum dan Hak Asasi


Manusia
Untuk memandu pencapaian visi dan misi serta untuk
mewujudkan tujuan dan sasaran diperlukan nilai-nilai yang
digunakan sebagai pedoman bagi seluruh insan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Nilai ini mendukung dan
memandu disaat tugas dan tanggungjawab sedang dikerjakan.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 103
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Adapun nilai Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
adalah :
1) Profesional
Aparat Kementerian Hukum dan HAM adalah aparat
yang bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi
melalui penguasaan bidang tugasnya, menjunjung
tinggi etika dan integritas profesi.
2) Akuntabel
Setiap kegiatan dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat sesuai dengan ketentuan atau peraturan
yang berlaku.
3) Sinergi
Komitmen untuk membangun dan memastikan
hubungan kerjasama yang produktif serta kemitraan
yang harmonis dengan para pemangku kepentingan
untuk menemukan dan melaksanakan solusi terbaik,
bermanfaat dan berkualitas.
4) Transparan
Kementerian Hukum dan HAM menjamin akses
atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh
informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan,
yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan
dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.
5) Inovatif
Kementerian Hukum dan HAM mendukung kreativitas
dan mengembangkan inisiatif untuk selalu melakukan
pembaharuan dalam penyelenggaraan tugas dan
fungsinya.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


104 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
B. Internalisasi Tata Nilai “Kami Pasti” Dalam
Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Dari Satuan
Kerja di Lingkungan Kemenkumham
Dalam Mendukung Program Percepatan
Pemberantasan Dan Pencegahan Korupsi
Internalisasi Tata Nilai “Kami PASTI” dalam pelaksanaan tugas
dan fungsi dari satuan kerja di lingkungan Kemenkumham telah
dicanangkan sejak tahun 2015. Sejauhmana program internalisasi
dilaksanakan dapat dilihat gambarannya melalui hasil tanggapan
responden yang diperoleh sebanyak 124 orang yang merupakan
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di UPT dan Kanwil
Kemenkumham yang dapat dikelompokkan seperti tabel berikut ini:

1. Identitas Responden
a) Jenis Kelamin

b) Umur

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 105
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
c) Pendidikan

d) Lama Bekerja

e) Jabatan

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


106 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
2. Internalisasi Kami PASTI
Pegawai Kemenkumham sebagian besar mengetahui Tata Nilai
(Jargon) Kami PASTI di Kementerian Hukum dan HAM, namun
demikian ternyata masih ada yang belum mengetahui tata nilai kami
pasti. Seharusnya pegawai mengetahui tata nilai Kami PASTI karena
Tata Nilai (Jargon) Kami PASTI di unit ini sudah pernah dideklarasikan
sejak tahun 2015. Walaupun UPT ada yang mendeklarasikan tahun
2016 dan tahun 2017. Dan para pegawai mengetahui dan memahami
tata nilai Kami “PASTI” yang merupakan singkatan dari Profesional,
Akuntabilitas, Sinergi, Transparan, dan Inovatif.

a) Profesionalisme
Nilai unsur perilaku utama profesional meliputi perilakuk
terpuji, berkompeten, dan berintegritas. Setelah pendeklarasian
Tata Nilai PASTI pegawai Kemenkumham berkomitmen menjadi
Aparatur Sipil Negara yang profesional dan mengabdikan diri
sepenuhnya. Walau tidak mudah untuk menerapkan pegawai
UPT selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik sesuai tugas
dan fungsi. Dalam melaksanakan Tata Nilai PASTI pegawai
UPT menyatakan melakukan tanpa ada tekanan dari manapun
dan dari siapapun. Tentunya setelah pendeklarasian Tata nilai
PASTI sikap dan yang dilakukan berbeda dengan sebelum
pendeklarasian. Misalnya sikap tepat waktu dan ketaatan
terhadap jam masuk kerja dan jam keluar kerja sudah lebih tepat
waktu. Begitu juga dengan penyelesaian pekerjaan sesuai dengan
aturan yang ditetapkan.
Kemudian untuk tingkat kemampuan pribadi, pegawai sudah
dapat menerima jika dinilai oleh organisasi atau rekan sekerja.
Pegawai selalu bertanggung jawab atas pekerjaan dilakukan, dan
tidak akan lari dari kewajiban pekerjaan yang diberikan. Para

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 107
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
pegawai mempunyai keyakinan jika bekerja dengan profesional,
publik akan percaya dengan unit kerja mereka.
Pegawai di UPT juga mampu percaya diri sebagai Aparatur
Sipil Negara walau banyak rintangan yang dihadapi dalam
melaksanakan Tata Nilai PASTI. Pegawai mampu menjalin
komunikasi dengan baik terhadap rekan sekerja. Dan selalu
mendukung keputusan dari organisasi profesinya.

b) Akuntabilitas
Nilai unsur perilaku utama akuntabilitas memiliki perilaku
bertanggung jawab, berkinerja tinggi, dan berkesinambungan.
Akuntabilitas pada Unit Kerja berkaitan dengan laporan
keuangan. Menurut sebagian besar pegawai unit kerja menyatakan
bahwa isi laporan keuangan yang disampaikan telah sesuai
dengan ketentuan yang ada. Hasil yang telah dicapai untuk
program jangka panjang selalu disajikan dalam Laporan
pertanggungjawaban (LPJ) satuan kerja sesuai dengan Standar
Akutansi Pemerintah (SAP). Laporan pelaksanaan anggaran
secara berkala disampaikan kepada Unit Eselon I dan publik.
Laporan pelaksanaan anggaran selalu disampaikan kepada
Unit Eselon I secara tepat waktu. Setiap akhir tahun anggaran
semua pihak berkepentingan mempunyai akses untuk melihat
anggaran tahun yang lalu.
Aparatur Sipil Negara satuan kerja ini, serta masyarakat
selalu dilibatkan dalam penyusunan rencana penganggaran
maupun perubahannya mencerminkan kinerja pengelolaan
keuangan satuan kerja yang efektif dan efisien. Penganggaran
yang dilakukan telah menampung aspirasi masyarakat.
Mengenai pelaksanaan standar pembuatan keputusan program
di unit kerja sudah dikoordinasikan kepada kantor wilayah

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


108 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
melalui bagian program dan penganggaran. Dan sebuah
keputusan tentang program di Unit kerja tersedia bagi warga
yang membutuhkannya. Sebab keputusan mengenai program
Unit kerja sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar.
Kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil telah
berdasarkan visi dan misi Unit Kerja. Penyajian informasi yang
berhubungan dengan cara-cara mencapai sasaran suatu program
sudah cukup akurat dan lengkap. Sementara sasaran kebijakan
yang telah diambil juga sudah jelas. Kebijakan sebuah program
Unit kerja yang telah diambil sudah tepat sasaran. Produk-produk
kebijakan yang dibuat oleh Unit kerja sesuai dengan kebijakan
yang dibuat oleh Kementerian. Laporan pertanggungjawaban
Unit ini diinformasikan melalui media massa. Unit kerja juga
memberikan laporan pengelolaan keuangan kepada pihak-pihak
terkait (stakeholders). Pengadaan barang dan jasa yang dilakukan
Unit kerja sudah sesuai dengan keputusan dan mekanisme yang
dibuat.
Unit kerja melakukan monitoring independen mengenai
pengelolaan yang sudah berjalan, memiliki kemampuan dalam
melakukan adaptasi, dan mempunyai kemampuan dalam
melakukan proses pengelolaan unit kerja.

c) Sinergi
Nilai unsur perilaku utama sinergi meliputi perilaku
bekerja sama, bermitra, dan solutif. Sinergi strategi unit
kerja dalam pelaksanaan program dengan unit lain terus
dilakukan. Pengembangan Management Development Program
untuk menumbuhkan pemimpin baru dari internal. Fokus
pengembangan pada unit kerja yang kuat dalam SDM, sebab
jika SDM kuat unit kerja dapat melaksanakan tugas dan fungsi

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 109
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
dengan baik. Selalu bekerja sama dari paradigma (pola pikir)
yang berbeda untuk mewujudkan hasil yang lebih besar dan
efektif dalam pelaksanaan tugas yang dijalani. Unit kerja berpikir
memadukan bagian-bagian yang terpisah.

d) Transparansi
Nilai unsur perilaku utama transparansi meliputi
perilaku informatif dan aksesibilias. Kepala satuan kerja telah
mensosialisasikan dan mempublikasikan program serta kebijakan
satuan kerja kepada Pegawai dan masyarakat. Pada program dan
kebijakan satuan kerja tujuan dari anggaran telah tertera jelas
dalam program satuan kerja. Dalam menyampaikan informasi,
setiap informasi disajikan dalam laporan pertanggungjawaban
telah mengungkapkan seluruh informasi yang diperlukan.
Informasi mengenai laporan pertanggungjawaban satuan
kerja telah tersedia untuk umum, laporan keuangan satuan kerja
telah disampaikan secara terbuka kepada semua pihak, baik
kepada ASN maupun kepada masyarakat. Informasi mengenai
penganggaran telah tersedia untuk umum. Bahkan informasi
mengenai target, kinerja keuangan satuan kerja, serta prosedur
yang ada telah tersedia untuk umum.
Media yang digunakan sebagai penyebarluasan informasi
penganggaran dan sosialisasinya sebagian telah memadai.
Akses informasi yang telah disediakan oleh unit informasi yang
disajikan sesuai dengan fakta dan analisis keputusan-keputusan
kebijakan yang telah diambil. Mekanisme pengaduan jika
terdapat pelanggaran dalam penggunaan biaya anggaran dengan
kotak pengaduan, melalui SMS, dan melalui media elektronik
lainnya. Unit kerja belum sepenuhnya melibatkan masyarakat
dan pihak-pihak terkait dalam membuat sebuah kebijakan.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


110 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Namun Unit kerja telah menjalin kerja sama dengan media
massa dan lembaga non-pemerintahan dalam meningkatkan
arus informasi kebijkan.

e) Inovatif
Nilai unsur perilaku utama inovatif meliputi perilaku
insiatif, kreatif, inspiraif, dan pembaharuan. Unit kerja telah
melakukan inovasi dengan pengembangan program-program
proyek perubahan yang fokus pada melayani masyarakat. Cara
berpikir sebagian besar pegawai selalu berorientasi terhadap
masa depan karir. Program inovasi memiliki keunggulan
dibandingkan dengan program yang dimiliki sebelumnya.
Program inovasi yang dilakukan salah satu unit masih sesuai
dengan yang dikeluarkan oleh unit kerja lain. Program inovasi
yang dilakukan dapat memudahkan untuk melakukan kegiatan
dan membuat menjadi praktis. Setelah penerapan Kami PASTI
unit kerja telah memiliki program kerja berbeda dengan yang
sebelumnya. Para pegawai juga sudah mulai terbuka terhadap
pengalaman baru. Unit kerja berusaha tidak kehabisan ide dalam
memecahkan masalah untuk pelaksanaan kegiatan dengan
memperoleh gagasan dan ide yang berasal dari pemikiran
pegawai.

3. Tata Nilai Sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi


Analisis terhadap jawaban para responden atas pertanyaan yang
diajukan, membuktikan dugaan awal permasalahan yang dihadapi
adalah persepsi yang salah tentang beberapa perbuatan yang
sesungguhnya merupakan korupsi tapi selama ini dilakukan karena
menganggap hal tersebut merupakan kewajaran dan kelaziman
dalam hubungan bermasyarakat dan berbangsa.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 111
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Tim tunas integritas memberikan pembekalan tentang
tindak pidana korupsi dan cara berperan serta dalam upaya
pemberantasannya, baik represif maupun preventif. Pembekalan
dilakukan dengan cara ceramah yang diikuti dengan kegiatan
permainan dan tanya jawab. Para pegawai masih minim pengetahuan
tentang tindak pidana korupsi dan cara berperan serta dalam
penanggulangannya. Namun dari pertanyaan yang diajukan juga
dipahami bahwa pegawai mengerti upaya pemberantasan korupsi
membutuhkan kerjasama semua pihak.
Tanggapan pegawai terhadap nilai-nilai PASTI dan nilai-nilai
anti korupsi yang disampaikan oleh agen perubahan beragam.
Pada umumnya pegawai memahami bahwa nilai-nilai kejujuran,
keterbukaan, kepercayaan diri, serta disiplin adalah nilai-nilai umum
yang seharusnya dimiliki oleh semua pegawai. Tetapi bukan hal yang
mudah untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan di
masyarakat sekarang ini. Terutama jika berkenaan dengan masalah
di kantor atau menyangkut pekerjaan.
Pengalaman empiris para pegawai memperlihatkan bahwa
orang-orang yang jujur dalam pekerjaan seringkali tersingkir, dan
karir mereka berjalan tidak mulus atau cenderung “tidak terpakai”.
Secara financial mereka yang jujur juga seringkali minim, karena
hanya menerima gaji semata, tanpa ada tambahan lain.
Upaya pemberantasan korupsi harus dimulai dari pejabat/
atasan di kantor, dengan memberi contoh yang baik tentang perilaku
yang anti korupsi. Dengan demikian para bawahan akan mengikuti
tindakan atasannya, dengan berbagai alasan, paling tidak pertama
sekali karena alasan takut kepada atasan.
Upaya pemberantasan korupsi masih harus melalui jalan
yang panjang. Peran serta pegawai untuk memberantas korupsi
tidak dapat diharapkan timbul begitu saja, tanpa ada upaya untuk

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


112 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
memberi contoh kepada mereka bagaimana hal itu harus dilakukan.
Hal ini sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang
bersifat patrimonial dengan dasar patron klien, dimana bawahan
akan meniru semua perilaku atasannya. Jika atasan memberi contoh
baik, maka akan baik pula perilaku bawahannya. Karenanya tidak
mengherankan jika pegawai mengandalkan pejabat yang memulai
dan memberi contoh bagaimana upaya pemberantasan korupsi
harus dilakukan.
Selain itu pemahaman seperti ini bukanlah hal yang diharapkan
dalam upaya pemberantasan korupsi. Memang pimpinan seharusnya
menjadi teladan dalam pemberantasan korupsi, tetapi upaya peran
serta pegawai dalam pemberantasan korupsi haruslah lahir dari
kesadaran individual, yang didasari oleh nilai-nilai tertentu yang
telah tertanam dalam diri mereka. Nilai-nilai tersebut diantaranya
adalah kejujuran. Jika seseorang bersifat jujur yang dilandasai oleh
keyakinan agama, bahwa apapun yang mereka lakukan dilihat
oleh Tuhannya, maka dalam kesempatan apa pun mereka tidak
akan berbuat tidak jujur. Sifat ini merupakan dasar untuk menolak
perilaku korupsi, karena korupsi selalu berawal dari ketidakjujuran
dan ketidaktransparan dalam segala hal.
Begitu pun dengan nilai-nilai lainnya seperti kepercayaan diri
dan disiplin. Karakteristik ini sesungguhnya merupakan modal dasar
bagi suatu bangsa yang akan membangun dan menjadi besar. Jika
seseorang percaya akan kemampuan dirinya dalam meraih cita-cita
atau keinginannya, maka dia tidak akan tergoda untuk mencari jalan
pintas mencapai keinginan tersebut. Jalan pintas tersebut seringkali
adalah jalan yang penuh jebakan koruptif, seperti menyuap,
menyogok dan lain-lain. Sikap disiplin akan mendukung rasa percaya
diri tadi, karena dengan terbiasa berdisiplin mereka mengerti bahwa

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 113
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
sesuatu hanya bisa diraih dengan kerja keras, bukan dengan cara-
cara gampang seperti menyuap atau menyogok tadi.
Persoalannya adalah bagaimana kita semua menanamkan nilai-
nilai PASTI dan nilai-nilai anti korupsi tersebut dalam diri kita sendiri,
kemudian menularkannya kepada keluarga (isteri, suami, dan anak-
anak) serta kepada lingkungan sekitar kita, baik di rumah mau pun
di tempat kerja. Selain dari penanaman nilai-nilai PASTI dan nilai-
nilai anti korupsi tersebut, adalah juga penting mensosialisasikan
program PASTI dan program anti korupsi dengan memberikan
pengetahuan yang benar mengenai tindak pidana korupsi serta cara
pencegahannya. Pengetahuan yang benar perbuatan yang termasuk
korupsi akan menghindarkan mereka dari perilaku koruptif tersebut,
apalagi jika dalam diri mereka sendiri juga sudah terdapat nilai-nilai
anti korupsi tersebut. Sosialisasi program anti korupsi juga harus
mencakup petunjuk tentang cara melaporkan atau tindakan yang
harus dilakukan oleh mereka jika mengetahui ada tindak korupsi
dalam lingkungannya.

4. Kemenkumham Menuju Organisasi Inovatif


Dalam masyarakat modern dan dinamis tempat dimana suatu
organisasi berada, pertanyaan tentang apakah perubahan organisasi
perlu dilakukan menjadi tidak relevan lagi. Mungkin pertanyaan
yang lebih relevan adalah bagaimana cara para pemimpin mengatasi
desakan perubahan yang tidak dapat dielakkan serta menghadang
aktivitas kerja mereka sehari-hari dalam upaya mempertahankan
organisasi agar tetap aktif dan mutakhir. Meskipun perubahan
merupakan suatu realitas, seorang pemimpin tentu tidak lagi dapat
membiarkan perubahan terjadi sebagaimana apa adanya terutama
apabila ia ingin membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang
dianggap efektif. Dengan kata lain, mereka harus pandai menyusun

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


114 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
strategi untuk merencanakan, mengarahkan, dan mengendalikan
perubahan. Bagaimanapun perubahan merupakan cara pandang dan
cara hidup yang diperlukan, yang mengiringi dan terjadi disekeliling
kita dan senantiasa menawarkan berbagai pengalaman baru bagi
setiap orang.
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dapat
mencapai keseimbangan dalam struktur jika dapat mengembangkan
hubungan yang mapan dengan lingkungan, dalam hal ini para pegawai
dapat menyesuaikan diri dengan keseimbangan yang terwujud.
Sebaliknya, apabila timbul perubahan dalam organisasi maka para
pegawai harus melakukan penyesuaian baru pada saat organisasi
mencari keseimbangan baru, sebagai suatu siklus perubahan yang
terus-menerus. Salah satu tugas pemimpin perubahan dengan
Tata Nilai PASTI adalah memperhatikan para pegawai yang
terimbas oleh suatu perubahan, yaitu dengan memperbaiki dan
menjaga keseimbangan kelompok serta menata dan menyesuaikan
kembali pribadi-pribadi para pegawai yang merasa terganggu oleh
terjadinya perubahan. Dalam prinsip homeostatis, untuk menjaga
keseimbangan, suatu kelompok dapat memberikan respon yang
dipandang terbaik apabila terjadi perubahan, setiap tekanan akan
menimbulkan tekanan balik dari dalam kelompok. Oleh karena itu
diperlukan mekanisme ketahanan “dari dalam”, yaitu menghimpun
energi untuk memperbaiki keseimbangan apabila perubahan
merupakan sumber ancaman. Karakteristik organisasi yang memiliki
mekanisme memperbaiki diri sendiri ini disebut homeostatis, yaitu
para pelaku di dalam organisasi bertindak untuk menciptakan
keadaan dimana kebutuhan mereka tetap terpenuhi dan secara
otomatis melindungi mereka dari gangguan terhadap keseimbangan
itu.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 115
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Para pemimpin yang bermaksud melakukan perubahan dalam
Kemenkumham perlu membekali dirinya dengan keterampilan atau
paling sedikit memiliki dua hal, yakni daya diagnosa dan kemampuan
menerapkan perubahan. Yang dimaksud daya diagnosa adalah suatu
kecakapan untuk mengajukan pertanyaan, sensasi atau kepekaan
terhadap lingkungan Kemenkumham, menetapkan metoda
observasi dan pengumpulan data yang efektif serta menyusun cara
mengolah dan menafsirkan data.
Dalam melakukan diagnosa, para pemimpin perlu mengetahui
tentang apa yang aktual sedang terjadi sekarang, apa yang mungkin
sedang terjadi, apa perubahan yang diinginkan oleh organisasi agar
terjadi secara ideal, serta apa saja kendala yang menghambat gerak-
laju dari keadaan aktual ke ideal. Untuk menerapkan perubahan
para pemimpin harus mampu menerjemahkan data diagnosa
kedalam tujuan dan rencana, strategi dan prosedur perubahan.
Pertanyaan yang perlu diajukan dalam perubahan ini adalah,
bagaimana melakukan perubahan dalam tim kerja atau organisasi
serta bagaimana setiap individu sebagai komponen organisasi dapat
menerima perubahan. Disamping itu, apa saja yang mendukung dan
menghambat perubahan dalam lingkungan. Ketika kita melakukan
diagnosa paling tidak ada tiga langkah yang harus dilakukan,
pertama, mengidentifikasi sudut pandang, kedua, mengidentifikasi
masalah, dan ketiga, melakukan analisis. Sebelum melakukan upaya
diagnosa dalam organisasi, perlu ada kejelasan dari sudut pandang
mana situasi akan diamati, apakah dari sudut pandang kita sendiri,
atasan kita, rekan kerja kita, konsultan dari luar organisasi, atau
sudut pandang lain. Idealnya sedapat mungkin kita mengkaji seluruh
situasi dari sudut pandang banyak pihak yang akan terkena oleh
dampak perubahan itu. Meskipun adakalanya realitas menghambat
perspektif luas seperti itu, sehingga perlu dipahami benar kerangka

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


116 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
acuan yang kita pergunakan dari sejak awal. Melalui identifikasi
masalah, adalah sejauh mana kita dapat mendeteksi kesenjangan
antara apa yang sesungguhnya terjadi dan apa yang diinginkan
untuk terjadi. Sebagaimana diketahui suatu perubahan dilakukan
untuk memperkecil kesenjangan antara kenyataan (aktual) dengan
apa yang diinginkan (ideal). Boleh jadi setelah dilakukan diagnosa,
disadari bahwa keinginan kita selama ini tidak realistis yang
karenanya perlu disepadankan dengan hal-hal yang sesungguhnya
terjadi.
Melalui analisis, apabila kesenjangan dapat diidentifikasi maka
tujuan analisis adalah menentukan ihwal mengapa suatu masalah
timbul. Tentu saja pemisahan antara identifikasi dan analisis
masalah tidak selalu jelas, karena mengidentifikasi bidang-bidang
kesenjangan seringkali merupakan pegawai yang menganalisis.
Apabila kesenjangan telah dapat diidentifikasi, maka langkah
selanjutnya adalah menetapkan variabel kausal atau variabel bebas
yang dapat diubah oleh para pemimpin, apakah gaya kepemimpinan
atau gaya manajemen, struktur organisasi, visi dan misi ataupun
tujuan organisasi serta aspek lainnya.
Dalam menerapkan perubahan, perlu diidentifikasi alternatif
pemecahan dan strategi penerapan yang tepat untuk mengurangi
kesenjangan. Disamping itu perlu mengantisipasi konsekuensi yang
akan muncul dari penerapan masing-masing strategi alternatif, yang
pada akhirnya perlu memilih strategi spesifik yang cocok untuk
diterapkan, berbarengan dengan penentuan alternatif pemecahan
masalah. Sebelum kita menerapkan suatu strategi perubahan perlu
juga ditentukan hal-hal apa saja yang perlu kita miliki (sebagai
faktor pendukung) untuk melakukan upaya perubahan dan hal- hal
apa yang merintanginya (sebagai faktor penghambat). Berdasarkan
pengalaman, bahwa apabila pemimpin mulai menerapkan strategi
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 117
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
perubahan tanpa melakukan langkah analisis terlebih dahulu, mereka
dapat dihadapkan pada berbagai kesukaran tanpa mengetahui apa
penyebabnya. Untuk memanfaatkan teknik analisis dalam menyusun
strategi perubahan, ada beberapa pedoman yang dapat dipergunakan.
Pertama, apabila kekuatan dan frekuensi faktor pendukung jauh
melebihi bobot faktor penghambat dalam situasi perubahan, maka
pemimpin dapat bergerak lebih jauh mengatasi faktor penghambat
untuk mendorong terjadinya perubahan yang dikehendaki. Kedua,
apabila terjadi keadaan sebaliknya dimana faktor penghambat
jauh lebih kuat dari pada faktor pendukung maka pemimpin akan
dihadapkan kepada beberapa pilihan, yaitu menghentikan upaya
perubahan dengan menyadari akan kesukarannya jika hal tersebut
dipaksakan, atau mengubah setiap faktor penghambat satu demi satu
menjadi faktor pendukung dengan tetap mempertahankan kekuatan
faktor-faktor pendukung. Ketiga, apabila faktor pendukung dan
faktor penghambat memiliki kekuatan yang sama, para pemimpin
dapat lebih memperkuat faktor pendukung, sekaligus pada saat
yang sama mengubah atau memperkecil kekuatan, baik sebagian
atau seluruh faktor penghambat. Khusus dalam upaya mengubah
faktor perilaku manusia dalam organisasi, terdapat gradasi tingkat
kesulitan untuk melakukan perubahan. Apabila perilaku individual
cukup sulit untuk diubah, maka akan jauh lebih sulit apabila kita
berupaya hendak mengubah perilaku suatu tim kerja atau organisasi.
Terhadap perubahan perilaku manusia ini kita dapat
membaginya kedalam empat tingkat perubahan, yaitu perubahan
pengetahuan, perubahan sikap, perubahan perilaku individual
dan perubahan prestasi tim kerja atau organisasi. Perubahan
pengetahuan sebagai aspek kognitif mungkin lebih mudah
dilakukan, cukup dengan meminta membaca buku, artikel, atau
kolom ataupun dengan mendengar ceramah dari para pakar yang

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


118 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
mereka percayai. Adapun struktur sikap berbeda dengan struktur
pengetahuan, dimana dalam struktur sikap telah melibatkan evaluasi
emosional dari individu untuk memberikan penilaian positif
atau negatif yang stereotipe terhadap suatu hal. Bertambahnya
kedalaman emosi seringkali lebih menyulitkan untuk melakukan
perubahan sikap dibandingkan dengan mengubah pengetahuan
seseorang, disebabkan telah terbentuknya predisposisi rasa suka
dan tidak suka terhadap sesuatu hal. Begitu pula untuk mengubah
perilaku seseorang akan memerlukan tingkat kesukaran dan waktu
yang lebih lama dibandingkan dengan apabila kita mengubah sikap
dan pengetahuan seseorang. Jika perilaku individual sulit untuk
diubah, maka upaya akan jauh lebih sulit apabila perubahan hendak
dilakukan terhadap perilaku tim kerja atau organisasi. Mengubah
gaya kepemimpinan satu atau dua orang manajer atasan mungkin
akan berjalan efektif, namun ambisi mengubah partisipasi manajer
bawahan secara drastis merupakan proses yang dapat menyita banyak
waktu. Dalam hal ini kita perlu menyadari bahwa pada dasarnya kita
tengah mengubah kebiasaan, adat istiadat, dan tradisi yang telah
berkembang sekian lama.
Namun demikian dengan menyadari hal tersebut, perubahan
tetap bisa dilakukan dengan mengkaji dua daur perubahan yang
berbeda. Pertama, daur perubahan partisipatif, dengan asumsi
apabila telah tersedia pengetahuan yang kondusif dari tim kerja atau
organisasi untuk menerima perubahan, maka sikap dan sinerjitas
positif dapat diarahkan terhadap perubahan yang diinginkan. Strategi
yang efektif adalah dengan melibatkan setiap individu, tim kerja atau
organisasi secara langsung dalam upaya membantu atau memilih dan
melembagakan metoda-metoda baru dalam rangka mencapai tujuan
yang diinginkan dan ikut serta dalam memecahkan permasalahan.
Strategi lain yang efekif adalah mengidentifikasi beberapa pemimpin
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 119
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
informal dan formal yang memiliki pengaruh di dalam tim kerja
atau organisasi yang mudah memperoleh dukungan dari bawahan
untuk terlaksananya perubahan yang diinginkan. Dengan demikian
daur perubahan partisipatif biasanya mengikuti alur yang dimulai
dari perubahan pengetahuan, sikap, perilaku individual, tim kerja
atau organisasi. Yang kedua adalah daur perubahan direktif, yang
mana daur perubahan ini dimulai dengan perubahan yang dilakukan
terhadap organisasi secara keseluruhan oleh kekuatan atau faktor
eksternal, seperti otoritas kekuasaan pemimpin yang lebih tinggi,
kekuatan tuntutan masyarakat dan peraturan perundang-undangan
baru. Proses perubahan seperti ini cenderung berlangsung melalui
saling pengaruh antara jaringan interaksi pada tingkat individual.
Hubungan dan pola perilaku ini menciptakan pengetahuan baru yang
membentuk predisposisi sikap untuk mendukung atau resistensi
terhadap perubahan tersebut. Daur perubahan yang berlangsung
dalam konteks ini berjalan sebaliknya dari perubahan partisipatif,
disebabkan karena adanya kewenangan otoritas kekuasaan, maka
sentuhan perubahan dapat dimulai dari perilaku organisasi atau tim
kerja, individual, sikap, dan pengetahuan.
Tentu saja tidak ada strategi terbaik untuk menerapkan
suatu perubahan, yang terpenting adalah bagaimana kita dapat
mengadaptasikan strategi dengan tuntutan masing-masing. Daur
perubahan pertisipatif bukanlah perubahan yang lebih baik dari
daur perubahan direktif dan begitu juga sebaliknya. Strategi yang
tepat bergantung kepada situasi atau kondisi dimana masing-
masing strategi memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri.
Daur perubahan partisipatif lebih sesuai diterapkan terhadap para
pegawai atau tim kerja yang termotivasi untuk berprestasi, bersedia
mencari wewenang dan tanggung jawab lebih besar, serta memiliki
kemampuan dan pengalaman yang cukup untuk mengembangkan

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


120 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
cara-cara baru dalam melaksanakan tugas. Apabila perubahan
dimulai maka pegawai tipe ini jauh lebih mampu untuk memikul
wewenang dan tanggung jawab dalam melaksanakan perubahan
yang diinginkan, mereka mampu memotivasi diri sendiri dan aktif
berkonsultasi dalam keseluruhan proses perubahan tersebut.
Adapun perubahan direktif mungkin akan lebih tepat dan
produktif apabila diterapkan terhadap para pegawai atau tim kerja
yang kurang ambisius, yaitu mereka yang selalu bergantung kepada
orang lain dan menghindari wewenang dan tanggung jawab baru,
kecuali apabila mereka terpaksa melakukannya. Para pegawai tipe ini
mungkin lebih menyukai instruksi atau arahan serta komando dari
pemimpin mereka disebabkan mereka belum cukup berpengalaman
dalam pengambilan keputusan yang diperlukan. Sekali lagi perlu
diingatkan bahwa dalam hal ini diagnosa sangatlah penting. Strategi
perubahan partisipatif tidak dapat diterapkan terhadap para pegawai
yang tidak pernah diberikan kesempatan memikul suatu wewenang
dan tanggung jawab, dan sudah terbiasa dengan arahan dari
atasan. Demikan juga sebaliknya suatu tugas tidak dapat dipaksakan
terhadap para pegawai yang telah siap dan bersedia melakukan
perubahan dan memikul wewenang dan tanggung jawab. Daur
perubahan partisipatif cenderung efektif jika diterapkan oleh para
pemimpin yang memiliki kuasa pribadi, yaitu mereka yang memiliki
basis kuasa prestasi, informasi dan keahlian. Sedangkan daur
perubahan direktif memerlukan seorang pemimpin dengan kuasa
posisi yang signifikan dengan basis kuasa paksaan, koneksi, ganjaran
dan legitimasi. Dalam hal ini apabila pemimpin ingin melakukan
perubahan yang otokratis, maka harus memperoleh dukungan yang
kuat dan legitim dari atasan dan sumber kuasa lainnya. Perubahan
melalui daur partisipatif lebih bermanfaat apabila ide perubahan
diterima secara menyeluruh, maka hal itu cenderung akan bertahan
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 121
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
dalam waktu yang lama, mengingat semua pegawai telah dilibatkan
dalam perencanaan perubahan sehingga mereka harus berwenang
dan bertanggung jawab untuk mempertahankannya.
Kelemahan strategi partisipatif adalah cenderung lamban dan
evolusioner untuk terjadinya perubahan yang signifikan. Sebaliknya
melalui strategi perubahan direktif, dengan menggunakan
kekuasaan, perubahan dapat berlangsung cepat namun hanya
dapat dipertahankan selama pemimpin yang berkuasa memiliki
kuasa posisi untuk membuat perubahan itu tetap tegak. Dalam
kasus ekstrim, strategi ini cenderung rawan, karena sering
mengakibatkan sikap apatis, permusuhan, dan perilaku merusak
untuk menjatuhkan seorang pemimpin yang tidak disukai. Dengan
demikian, menggabungkan kedua strategi tersebut secara tepat
akan menghasilkan tingkat perubahan yang diinginkan sesuai
dengan tujuan perubahan organisasi. Pada akhirnya, kita perlu
menghilangkan rintangan-rintangan yang resisten terhadap suatu
perubahan, dan membuka ruang organisasi kita terhadap kreativitas
individu. Hanya dengan melakukan itu semua, yang memungkinkan
kita mengubah suatu organisasi menjadi inovatif. Kemenkumham
inovatif yang kita impikan baru dapat terwujud, jika adanya kemauan
keras dari semua kalangan stakeholder, baik internal maupun
eksternal, yang aktif maupun pasif.

C. Implementasi Tata Nilai Dan Program “Kami


Pasti”, Dalam Mewujudkan Wilayah Bebas
Dari Korupsi Dan Wilayah Birokrasi Bersih Dan
Melayani (Wbk Dan Wbbm)
Aparat Kementerian Hukum dan HAM adalah aparat yang bekerja
keras untuk mencapai tujuan organisasi melalui penguasaan bidang

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


122 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
tugasnya, menjunjung tinggi etika dan integritas profesi. Setiap
kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan oleh aparat
Kementerian Hukum dan HAM dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang
berlaku. Komitmen untuk membangun dan memastikan hubungan
kerja sama yang produktif serta kemitraan yang harmonis aparat
Kementerian Hukum dan HAM dengan para pemangku kepentingan
untuk menemukan dan melaksanakan solusi terbaik, bermanfaat
dan berkualitas.
Kementerian Hukum dan HAM menjamin akses atau
kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang
penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan,
proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang
dicapai. Kementerian Hukum dan HAM mendukung kreativitas dan
mengembangkan inisiatif untuk selalu melakukan pembaharuan
dalam penyelenggaraan tugas dan fungsinya.
Pelaksanaan tata nilai “PASTI” (Profesional, Akuntabel, Sinergi,
Transparan, dan Inovatif) adalah Gerakan “Ayo Kerja, Kami PASTI”
sudah dilaksanakan secara menyeluruh dan dimulai serentak pada
tanggal 1 Juni 2015 di 814 satuan kerja Kementerian Hukum dan
HAM di seluruh Indonesia. Pencanangan awal adalah melalui Apel
Serentak di Unit Utama dan di seluruh Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan HAM. Selanjutnya dikeluarkan Instruksi Menteri
Hukum dan HAM untuk masing-masing satuan kerja agar melakukan
penyerahan dokumen pedoman kerja antara lain, Peraturan Menteri
tentang Target Kinerja Tahun 2015, Surat Keputusan Menteri tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penganggaran, Pengelolaan Keuangan, dan
Barang Milik Negara serta Laporan Kinerja, dan Instruksi Menteri
tentang Pelaksanaan Kesepakatan Bersama Unit Eselon I dan Kantor
Wilayah dalam Penyusunan Anggaran Tahun 2016.
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 123
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Deklarasi “Ayo Kerja, Kami PASTI” oleh seluruh pegawai
Kementerian Hukum dan HAM dengan melaksanakan Target Kinerja
Kementerian Hukum dan HAM yang disahkan melalui Peraturan
Menteri. Program aksi untuk percepatan pemberantasan dan
pencegahan korupsi yang telah diatur dengan beberapa peraturan
perundang-undangan dan gerakan revolusi mental “Ayo Kerja,
Kami Pasti“ yang telah dicanangkan di Kemenkumham seharusnya
terdapat benang merah yang saling bersinergi antara tata nilai “Kami
Pasti” dengan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi (PPK) dalam
suatu wadah yang disebut Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah
Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK dan WBBM).

1. Evaluasi Zona Integritas (ZI) Menuju WBK/WBBM

a) Manajemen Perubahan
Pada UPT yang dilakukan pendampingan untuk Wilayah
Bebas dari Korupsi (WBK)/Wilayah Bersih Melayani (WBBM)
telah dibentuk Tim Kerja. Kepala unit kerja telah membentuk
tim untuk melakukan pembangunan Zona Integritas.
Penentuan anggota Tim selain pimpinan, sebagian besar dipilih
melalui prosedur/mekanisme yang jelas. Pada rencana kerja
pembangunan Zona Integritas menuju WBK/WBBM di UPT telah
memiliki Dokumen Rencana Pembangunan Zona Integritas, dan
dalam dokumen pembangunan terdapat target-target prioritas
yang relevan dengan tujuan pembangunan WBK/WBBM.
Dalam hal Pemantauan dan Evaluasi Pembangunan WBK/
WBBM, seluruh kegiatan pembangunan sudah dilaksanakan
sesuai dengan rencana. Monitoring dan evaluasi terhadap
pembangunan Zona Integritas tim internal atas persiapan dan
pelaksanaan kegiatan Unit WBK/WBBM dilakukan bulanan.
Serta laporan monitoring dan evaluasi tim internal atas persiapan

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


124 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
dan pelaksanaan kegiatan Unit WBK/WBBM dilakukan bulanan.
Hasil Monitoring dan Evaluasi telah ditindaklanjuti semua
laporan monitoring dan evaluasi tim internal atas persiapan dan
pelaksanaan kegiatan Unit WBK/WBBM telah ditindaklanjuti
Perubahan pola pikir dan budaya kerja telah dilakukan oleh
Pimpinan UPT pendampingan WBK/WBBM. Pimpinan berperan
sebagai role model dalam pelaksanaan Pembangunan WBK/WBBM
dan memberi teladan nyata. Misalnya mengisi/mencatat kehadiran
setiap hari seperti pegawai lain. UPT sudah menetapkan agen
perubahan dan telah membangun budaya kerja dan pola pikir di
lingkungan organisasi melalui pelatihan budaya kerja dan pola pikir.
Sebagian besar anggota organisasi terlibat dalam pembangunan
Zona Integritas menuju WBK/WBBM.

b) Penataan Tatalaksana
UPT telah membuat prosedur operasional tetap (SOP)
untuk kegiatan utama. Semua SOP unit telah mengacu peta
proses bisnis dan juga melakukan inovasi yang selaras, serta
unit telah menerapkan seluruh SOP yang ditetapkan organisasi
dan juga melakukan inovasi pada SOP yang diterapkan. Namun,
belum semua SOP telah dievaluasi, sebagian besar SOP utama
telah dievaluasi dan telah ditindaklanjuti berupa perbaikan SOP
atau usulan perbaikan SOP tetapi belum ditindaklanjuti.
Untuk melakukan pengukuran kinerja telah menerapkan
E-Office. Unit telah memiliki sistem pengukuran kinerja
yang menggunakan teknologi informasi dan juga melakukan
inovasi. Selain itu unit juga telah memiliki operasionalisasi
manajemen SDM yang menggunakan teknologi informasi
namun belum melakukan inovasi. Untuk pelayanan publik unit
memberikan pelayanan kepada publik dengan menggunakan

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 125
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
teknologi informasi namun belum melakukan inovasi. Serta
Unit telah membuat laporan monitoring dan evaluasi terhadap
pemanfaatan teknologi informasi dalam pengukuran kinerja
unit, operasionalisasi SDM, dan pemberian layanan kepada
publik setiap bulan. Sementara untuk Kebijakan tentang
keterbukaan informasi publik telah diterapkan, dan telah
melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan
keterbukaan informasi publik.

c) Penataan Sistem Manajemen SDM


Perencanaan kebutuhan pegawai UPT diharapkan sesuai
dengan kebutuhan organisasi. Pada UPT pencanangan WBK/
WBBM kebutuhan pegawai yang disusun oleh unit kerja
mengacu kepada peta jabatan dan hasil analisis beban kerja
untuk masing-masing jabatan. Namun baru sebagian kecil
penempatan pegawai hasil rekrutmen murni mengacu kepada
kebutuhan pegawai yang telah disusun per jabatan. Walaupun
monitoring dan evaluasi terhadap rekrutmen dan penempatan
pegawai untuk memenuhi kebutuhan jabatan dalam organisasi
telah memberikan perbaikan terhadap kinerja unit kerja.
Untuk PolaMutasi Internal,dalam melakukanpengembangan
karier pegawai, telah dilakukan mutasi pegawai antar jabatan
sebagai wujud dari pengembangan karier pegawai. Semua
mutasi pegawai antar jabatan telah memperhatikan kompetensi
jabatan dan mengikuti pola mutasi yang telah ditetapkan
organisasi dan juga unit kerja memberikan pertimbangan terkait
hal ini, unit telah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
kegiatan mutasi yang telah dilakukan dalam kaitannya dengan
perbaikan kinerja.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


126 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Dalam Pengembangan pegawai berbasis kompetensi
Unit Kerja melakukan Training Need Analysis. Semua rencana
pengembangan kompetensi pegawai telah mempertimbangkan
hasil pengelolaan kinerja pegawai. Sementara saat ini persentase
kesenjangan kompetensi pegawai dengan standar kompetensi
yang ditetapkan sebesar < 25%. Selain itu, sebagian besar
pegawai di Unit Kerja telah memperoleh kesempatan/hak untuk
mengikuti diklat maupun pengembangan kompetensi lainnya.
Dalam pelaksanaan pengembangan kompetensi, unit kerja telah
melakukan upaya pengembangan kompetensi kepada sebagian
besar pegawai (dapat melalui pengikutsertaan pada lembaga
pelatihan, in-house training, atau melalui coaching, atau
mentoring, dan lain-lain). Unit kerja telah melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap hasil pengembangan kompetensi dalam
kaitannya dengan perbaikan kinerja setiap bulan.
Terdapat Penetapan kinerja individu yang terkait dengan
kinerja organisasi. Sebagian besar ukuran kinerja individu telah
memiliki kesesuaian dengan indikator kinerja individu level di
atasnya. Pengukuran kinerja individu telah dilakukan secara
bulanan. Hasil penilaian kinerja individu sebagian besar telah
dijadikan dasar untuk pemberian reward (pengembangan karir
individu, penghargaan, dan lain-lain).
Unit kerja telah mengimplementasikan seluruh aturan
disiplin/kode etik/kode perilaku pegawai yang ditetapkan
organisasi dan namun belum membuat inovasi terkait aturan
disiplin/kode etik/kode perilaku yang sesuai dengan karakteristik
unit kerja. Sistem Informasi Kepegawaian unit kerja telah
dimutakhirkan secara berkala. Data informasi kepegawaian unit
kerja telah dimutakhirkan secara bulanan.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 127
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
d) Penguatan Akuntabilitas
Untuk penguatan akuntabilitas, pimpinan terlibat secara
langsung pada saat penyusunan perencanaan dan terlibat
secara langsung pada saat penyusunan penetapan kinerja, serta
memantau pencapaian kinerja secara berkala. Begitu juga dengan
Pengelolaan Akuntabilitas Kinerja, dokumen perencanaan
sudah ada. Ini terlihat karena unit kerja telah memiliki
seluruh dokumen perencanaan (Rencana Strategis, Rencana
Kerja Tahunan dan Penetapan Kinerja); Seluruh dokumen
perencanaan telah berorientasi hasil. Secara umum unit kerja
memiliki Indikator Kinerja Utama (IKU) yang ditetapkan
organisasi, namun belum membuat IKU tambahan yang sesuai
dengan karakteristik unit kerja. Dan seluruh indikator kinerja
unit kerja telah SMART. Begitu juga dengan laporan kinerja,
unit kerja telah menyusun laporan kinerja tepat waktu. Seluruh
pelaporan kinerja telah memberikan informasi tentang kinerja.
Terdapat upaya peningkatan kapasitas SDM yang menangani
akuntabilitas kinerja, sehingga pengelolaan akuntabilitas kinerja
dilaksanakan oleh SDM yang kompeten.

e) Penguatan Pengawasan
Public campaign tentang pengendalian gratifikasi
telah dilakukan secara berkala dan unit kerja telah
mengimplementasikan pengendalian gratifikasi. Lingkungan
pengendalian internal telah dibangun dengan melakukan
Public campaign secara berkala dan unit kerja telah melakukan
penilaian risiko atas pelaksanaan kebijakan serta telah
mengimplementasikan pengendalian gratifikasi. Unit kerja
telah melakukan kegiatan pengendalian untuk meminimalisir
risiko yang telah diidentifikasi sesuai dengan yang ditetapkan

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


128 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
organisasi. Sistem Pengendalian Internal (SPI) tersebut telah
diinformasikan dan dikomunikasikan kepada seluruh pihak
terkait.
Kebijakan Pengaduan Masyarakat telah diimplementasikan
seluruh kebijakan pengaduan masyarakat sesuai dengan yang
ditetapkan organisasi. Seluruh hasil penanganan pengaduan
masyarakat ditindaklanjuti oleh unit kerja. Monitoring dan
evaluasi atas penanganan pengaduan masyarakat dilakukan
setiap bulan. Namun, baru sebagian hasil evaluasi atas
penanganan pengaduan masyarakat telah ditindaklanjuti oleh
unit kerja.
Whistle Blowing System sudah di-internalisasi di unit kerja.
Unit kerja menerapkan sebagian besar kebijakan Whistle Blowing
System sesuai dengan yang ditetapkan organisasi. Evaluasi atas
penerapan Whistle Blowing System telah dilakukan per semester.
Hasil evaluasi atas penerapan Whistle Blowing System sebagian
besar telah ditindaklanjuti oleh unit kerja.
Unit kerja telah mengidentifikasi/memetakan benturan
kepentingan dalam tugas fungsi utama. Penanganan Benturan
Kepentingan telah disosialisasikan/internalisasi ke sebagian
besar unit kerja. Penanganan Benturan Kepentingan telah
diimplementasikan ke sebagian besar unit kerja. Evaluasi
atas Penanganan Benturan Kepentingan telah dilakukan,
walaupun tidak secara berkala oleh unit kerja. Hasil evaluasi
atas Penanganan Benturan Kepentingan sebagian besar telah
ditindaklanjuti, oleh unit kerja.

f) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik


Unit kerja memiliki kebijakan standar pelayanan yang
ditetapkan organisasi, dan unit kerja telah memaklumatkan

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 129
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
seluruh standar pelayanan sesuai dengan yang ditetapkan
organisasi.
Terdapat SOP bagi pelaksanaan standar pelayanan, dan
unit kerja telah menerapkan seluruh SOP sesuai dengan yang
ditetapkan organisasi. Dilakukan reviu dan perbaikan atas
standar pelayanan dan SOP sesuai dengan yang ditetapkan
organisasi.
Sosialisasi/pelatihan sebagian besar telah dilakukan dalam
upaya penerapan Budaya Pelayanan Prima. Informasi tentang
pelayanan mudah diakses melalui berbagai media, (misal:
papan pengumuman, selebaran, dsb). Telah terdapat sistem
punishment(sanksi)/reward bagi pelaksana layanan serta
pemberian kompensasi kepada penerima layanan bila layanan
tidak sesuai standar, namun belum diimplementasikan. Unit
kerja sebagian besar telah memiliki sarana layanan terpadu/
terintegrasi, dan telah melakukan pelayanan secara terpadu serta
telah memiliki inovasi pelayanan sama dengan unit kerja lain.
Unit kerja telah melakukan survei kepuasan masyarakat
terhadap pelayanan, namun survei kepuasan masyarakat yang
dilakukan terhadap pelayanan tidak berkala. Hasil survei
kepuasan masyarakat dapat diakses secara terbuka. Hasil survei
kepuasan masyarakat dapat diakses melalui beberapa media
misal: papan pengumuman, selebaran. Belum seluruhnya dapat
diakses melalui website, media sosial, media cetak, media
televisi, radio, dsb). Unit kerja melakukan tindak lanjut atas
sebagian besar hasil survei kepuasan masyarakat.

2. Survei Kepuasan Masyarakat


Survei eksternal salah satu faktor penentu terwujudnya
Unit WBK/WBBM. Survei eksternal yang dapat mempengaruhi
terpenuhinya syarat Unit WBK/WBBM tersebut adalah survei

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


130 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
kepuasan masyarakat. Pada kesempatan ini disajikan hasil survei
kepuasan masyarakat terhadap 108 pengguna layanan dokumen
paspor dan pengunjung WBP secara internal dengan hasil sebagai
berikut:
a. Analisis Validitas
Hasil analisis validitas dalam penelitian ini diketahui bahwa
tiga puluh delapan butir pernyataan dalam tabel 1. seluruhnya
menunjukkan angket yang valid karena r hitung > 0,3.
Tabel 3. Analisis Validitas
Butir rhitung r (rule of Status Butir rhitung r (rule Status
No. thumb) No. of
thumb)
1. 0,6498 0,3 Valid 20. 0,4306 0,3 Valid
2. 0,6188 0,3 Valid 21. 0,4206 0,3 Valid
3. 0,5915 0,3 Valid 22. 0,4114 0,3 Valid
4. 0,5673 0,3 Valid 23. 0,4027 0,3 Valid
5. 0,5457 0,3 Valid 24. 0,3945 0,3 Valid
6. 0,5264 0,3 Valid 25. 0,3869 0,3 Valid
7. 0,5088 0,3 Valid 26. 0,3796 0,3 Valid
8. 0,4929 0,3 Valid 27. 0,3727 0,3 Valid
9. 0,4783 0,3 Valid 28. 0,3662 0,3 Valid
10. 0,4649 0,3 Valid 29. 0,3600 0,3 Valid
11. 0.3090 0,3 Valid 30. 0,3541 0,3 Valid
12. 0.4378 0,3 Valid 31. 0,3485 0,3 Valid
13. 0.5564 0,3 Valid 32. 0,3432 0,3 Valid
14. 0.3106 0,3 Valid 33. 0,3380 0,3 Valid
15. 0.3189 0,3 Valid 34. 0,3332 0,3 Valid
16. 0.4447 0,3 Valid 35. 0,3285 0,3 Valid
17. 0.4204 0,3 Valid 36. 0,3240 0,3 Valid
18. 0.4349 0,3 Valid 37. 0,3196 0,3 Valid
19. 0.4670 0,3 Valid 38. 0,3155 0,3 Valid
Sumber : Hasil analisis.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 131
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
b. Analisis Reliabilitas
Hasil analisis reliabilitas disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 4. Analisis Reliabilitas


Variabel ralpha Kriteria Nunnaly Status
Tangibility 0,691 0,6 Reliabel
Reliability 0,684 0,6 Reliabel
Responsiveness 0,728 0,6 Reliabel
Assurance 0,707 0,6 Reliabel
Emphaty 0,674 0,6 Reliabel
Sumber : Hasil analisis.

Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa semua faktor


penentu kualitas jasa menghasilkan koefisien Alpha Cronbach
≥ 0,6. Hal ini menunjukkan bahwa pengukuran terhadap
variabel penelitian ini reliabel dan dapat memberikan hasil yang
konsisten, apabila dilakukan pengukuran kembali terhadap
subyek yang sama.

c. Responden
Dari 108 responden pengguna layanan Kantor Imigrasi,
Lapas, dan Rutan terdiri dari 62 orang laki-laki dan 46 orang
perempuan. Untuk umur responden terdiri dari £ 30 tahun 43
orang, 31 - 40 tahun 24 orang, 41 - 50 tahun 29 orang, dan ³ 51
tahun 16 orang. Sementara Pendidikan terakhir terdisiri dari £
SLTA 53 orang, D3 24 orang, S1 29 orang, dan S2 ke atas 2 orang.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


132 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
d. Hasil Indeks Kepuasan Masyarakat Per Indikator

Tabel 5.
Hasil Indeks Kepuasan Masyarakat
No. INDIKATOR SUB INDIKATOR Indeks
1 Prosedur 1) Tingkat keterbukaan informasi
70.00
pelayanan mengenai prosedur pelayanan
2) Tingkat kejelasan alur dalam
70.00
prosedur pelayanan
3) Tingkat kesederhanaan prosedur
75.00
pelayanan
4) Tingkat kemudahan dipahaminya
prosedur pelayanan 75.00

2. Persyaratan 5) Tingkat keterbukaan mengenai


75.00
pelayanan persyaratan pelayanan
6) Tingkat kemudahan dalam
mengurus dan memenuhi 75.00
persyaratan pelayanan
7) Tingkat kejelasan mengenai
73.00
persyaratan pelayanan
8) Tingkat kesesuaian persyaratan
73.00
dengan jenis pelayanan
3. Kejelasan 9) Tingkat kejelasan identitas petugas
78.00
petugas pelayanan
pelayanan 10) Tingkat kepastian petugas yang
79.00
melaksanakan pelayanan
11) Tingkat kemudahan petugas
75.00
pelayanan ditemui dan dihubungi
4. Kedisiplinan 12) Tingkat kredibilitas petugas
70.83
Petugas pelayanan
Pelayanan 13) Tingkat ketepatan petugas dalam
71.88
memberikan jenis pelayanan
14) Tingkat ketepatan waktu petugas
dalam menyelesaikan suatu 67.00
pelayanan

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 133
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
5. Tanggung 15) Tingkat kejelasan tanggung jawab
79.00
jawab petugas petugas pelayanan
pelayanan 16) Tingkat kepastian tanggung jawab
77.00
petugas pelayanan
17) Tingkat keterbukaan tanggung jawab
74.00
petugas pelayanan
6. Kemampuan 18) Tingkat kemampuan fisik petugas
82.00
petugas pelayanan
pelayanan 19) Tingkat kemampuan intelektual
74.00
petugas pelayanan
20) Tingkat kemampuan administrasi
74.00
petugas pelayanan
7. Kecepatan 21) Tingkat ketepatan waktu proses
68.00
  pelayanan pelayanan
  22) Tingkat keterbukaan waktu
69.32
penyelesaian pelayanan
8. Keadilan 23) Tingkat kesamaan perlakuan dalam
74.00
mendapatkan mendapatkan pelayanan
pelayanan 24) Tingkat kemerataan jangkauan
  atau cakupan dalam pelaksanaan 73.00
pelayanan
9. Kesopanan 25) Tingkat kesopanan dan keramahan
81.00
dan petugas pelayanan
keramahan 26) Tingkat penghormatan dan
petugas penghargaan antara petugas 79.00
pelayanan dan masyarakat
10. Kewajaran 27) Tingkat keterjangkauan biaya
biaya pelayanan oleh kemampuan 77.00
pelayanan masyarakat
28) Tingkat kewajaran biaya pelayanan
76.00
dengan hasil pelayanan
11. Kepastian 29) Tingkat kejelasan rincian biaya
76.00
biaya pelayanan
pelayanan 30) Tingkat keterbukaan mengenai
78.00
rincian biaya pelayanan
31) Tingkat kesesuaian biaya pelayanan
yang dibayarkan dan biaya pelayanan 78.00
yang ditetapkan

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


134 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
12. Kepastian 32) Tingkat kejelasan jadwal pelayanan 74.00
  jadwal 33) Tingkat keandalan/ketepatan jadwal
pelayanan pelayanan 72.00

13. Kenyamanan 34) Tingkat kebersihan dan kerapian


74.00
lingkungan lingkungan tempat pelayanan
35) Tingkat ketersediaan fasilitas
74.00
pendukung pelayanan
36) Tingkat kelengkapan dan
kemutahiran sarana dan prasarana 74.00
pelayanan
14. Keamanan 37) Tingkat keamanan lingkungan
78.00
pelayanan tempat pelayanan
38) Tingkat keamanan dalam
penggunaan sarana dan prasarana 74.00
pelayanan

Dari hasil indeks kepuasan masyarakat yang diperoleh


terlihat bahwa tingkat ketepatan waktu petugas dalam
menyelesaikan suatu pelayanan (67,00), tingkat ketepatan waktu
proses pelayanan Tingkat ketepatan waktu proses pelayanan (68,00),
dan tingkat keterbukaan waktu penyelesaian pelayanan (69,32). Dari
14 indikator yang dijabarkan menjadi 38 subindikator, hanya ketiga
subindikator ini yang nilainya beraga di bawah (70,00).
Tingkat ketepatan waktu petugas dalam menyelesaikan suatu
pelayanan (67,00) merupakan bagian indikator kedisiplinan petugas
pelayanan. Pengguna layanan melihat dan merasakan kedisiplinan
petugas dalam memberikan pelayanan, namun pengguna layanan
masih mengalami keterlambatan penyelesaian pelayanan. Hal
ini terjadi karena masih adanya petugas yang berharap pengguna
layanan yang meminta bantuan khusus kepada petugas pelayanan
yang berimplikasi kepada pemberian imbalan.
Begitu juga halnya dengan tingkat ketepatan waktu proses
pelayanan (68,00), dan tingkat keterbukaan waktu penyelesaian
pelayanan (69,32) yang merupakan bagian indikator kecepatan
IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 135
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
pelayanan. Pengguna layanan masih mengalami keterlambatan
penyelesaian layanan. Selain disebabkan oleh faktor hambatan
teknis, masih ditemukan unsur-unsur kesengajaan agar pengguna
layanan menggunakan jasa petugas.
Kemudian, hasil indeks kepuasan masyarakat pada
subindikator kesopanan dan keramahan petugas pelayanan (81,00)
dan subindikator kemampuan fisik petugas pelayanan(82,00) berada
di atas (80,00). Ini menunjukkan bahwa tingkat kesopanan,
keramahan dan kemampuan petugas pelayanan sudah sangat
baik pada unit pelayanan.
Dalam Survei Kepuasan Masyarakat yang dilakukan di Lembaga
Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara, dan Kantor Imigrasi
untuk semua indikator diperoleh Nilai Indeks Kepuasan Masyarakat
seperti pada tabel berikut:
e. Hasil Indeks Kepuasan Masyarakat Berdasarkan UPT
Dari 14 indikator yang dijabarkan dalam 38 subindikator
yang dilakukan pada UPT Kanim, Lapas, dan Rutan diperoleh
Nilai Indeks Kepuasan Masyarakat seperti berikut:
Tabel 6.
Nilai Indeks Kepuasan Masyarakat
UPT Kanim, Lapas, dan Rutan
Kantor Imigrasi (Kanim) 83,16
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) 78,13
Rumah Tahanan Negara (Rutan) 75,45

Kepuasan masyarakat untuk Kantor Imigrasi yang diperoleh


dari para pemohon dokumen keimigrasian yang telah selesai
melewati semua tahapan pelayanan di kantor imigrasi (83,16). Ini
menunjukkan pelayanan di Kanim dirasakan pengguna layanan
sudah sangat baik. Sementara di Lapas (78,13) dan Rutan (75,45).
Hasil ini diperoleh dari para pengunjung yang membesuk Warga
Binaan Pemasyarakatan di Lapas dan Rutan.
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
136 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
D.
Faktor Penghambat Dalam Pemenuhan
Indikator WBK Dan WBBM di Lingkungan
Kementerian Hukum dan HAM
Faktor penghambat dalam pemenuhan indikator WBK dan
WBBM di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM antara
lain: sebagian UPT belum melengkapi Standar Opreasi Prosedur
(SOP) yang memiliki bobot yang besar. Selain itu, kurangnya
data pendukung di setiap UPT. Dalam setiap program, kegiatan
sebenarnya telah dilaksanakan dengan baik, namun kelengkapan
data pendukung seperti foto kegiatan dan notulen pertemuan belum
sepenuhnya dilengkapi. Sehingga sangat mempengaruhi nilai WBK/
WBBM.
Sementara, masih ada pemikiran melengkapi indikator WBK/
WBBM didasarkan oleh karena adanya penilaian dari Tim Penilai.
Belum sepenuhnya didasarkan pada pembenahan organisasi dan
pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik.
Penghambat secara internal seperti belum seluruh UPT membuat
target-target relevan dengan tujuan pembangunan WBK/WBBM.
Belum seluruh kegiatan pembangunan Zona Integritas sesuai
dengan rencana kegiatan. Begitu juga dengan laporan monitoring
dan evaluasi tim internal atas persiapan dan pelaksanaan kegiatan
Unit WBK/WBBM. Laporan monitoring dan evaluasi kegiatan
WBK/WBBM dibuat secara bulanan. Survei Kepuasan Masyarakat
belum dipublikasikan secara terbuka, baik melalui website, papan
pengumuman atau sarana publikasi lainnya. Hasil survei Kepuasan
masyarakat belum seluruhnya dibuat laporannya secara bulanan.
Pencanangan Unit WBK/WBBM telah dimulai sejak tahun
2015. Unit WBK/WBBM dilakukan pendampingan oleh Inspektorat
Jenderal Kemenkumham. Sebagai Unit WBK/WBBM tentu banyak

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 137
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
ekspektasi Kemenkumham agar unit yang dilakukan pendampingan
untuk mendapat predikat Unit WBK/WBBM. Namun, hingga saat
ini baru Unit Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang yang
memperoleh predikat Unit WBK/WBBM. Tidak adanya perlakuan
khusus bagi Unit WBK/WBBM seperti dukungan anggaran serta
reward terhadap pribadi dan unit kerja tersebut menjadi salah
satu faktor rendahnya semangat para pejabat dan pegawai di Unit
pendampingan WBK/WBBM.
Ini terlihat dari informasi laporan kompilasi hasil pelaksanaan
evaluasi pembangunan zona integritas menuju WBK/WBBM di
lingkungan Kemenkumham yang dilakukan Inspektotar Jenderal
pada tahun 2016. Terhadap 34 (tiga puluh empat) satuan kerja yang
dievaluasi secara crash program terdapat 23 Unit WBK/WBBM yang
mendapat nilai di atas 70,00. Sementara terhadap 30 (tiga puluh)
satuan kerja yang sebelumnya dilakukan pendampingan terdapat
22 Unit WBK/WBBM yang memperoleh nilai di atas 70,00. Namun
hanya satu yang memperoleh predikat Unit WBK/WBBM secara
nasional yaitu Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang dengan
nilai 91,03.
Pada Kemenkumham masih dominan melakukan survei
kepuasan masyarakat, dan belum melakukan survei persepsi korupsi.
Pada UPT, telah terlihat adanya instrumen survei indeks kepuasan
masyarakat, baik secara manual maupun secara elektronik, namun
instrumen survei persepsi korupsi belum terlihat pada Unit WBK/
WBBM. Survei kepuasan masyarakat ini juga telah dilakukan oleh
instansi pusat Kemenkumham secara internal dan oleh LSM serta
lembaga lain di luar Kemenkumham secara eksternal. Selain itu, KPK
sebagai lembaga pembina anti korupsi belum pernah melakukan
survei persepsi korupsi dari eksternal sehingga menjadi salah satu
penghambat terwujudnya Unit WBK/WBBM.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


138 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Internalisasi Tata Nilai “Kami PASTI” sudah dilakukan di
Kementerian Hukum dan HAM, namun demikian ternyata
masih ada yang belum mengetahui Tata Nilai “Kami PASTI”. Para
pegawai sebagian besar sudah mengetahui tata nilai Kami Pasti
yang telah dideklarasikan sejak tahun 2015 sampai ke UPT dan
memahami Tata Nilai Kami “PASTI” yang merupakan singkatan
dari Profesional, Akuntabilitas, Sinergi, Transparan, dan Inovatif.
Setelah pendeklarasian Tata Nilai PASTI pegawai Kemenkumham
berkomitmen menjadi Aparatur Sipil Negara yang profesional dan
mengabdikan diri sepenuhnya untuk kemajuan Kemenkumham
dengan mengamalkan dan menerapkan nilai-nilai moral yang
terkandung dalam Tata Nilai “Kami PASTI”. Internalisasi diperkuat
dengan membangun “Tunas Integritas Kemenkumham” secara
nasional di setiap kantor wilayah.
Walau tidak mudah untuk menerapkannya, pegawai UPT
selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik sesuai tugas dan

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 139
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
fungsi. Dalam melaksanakan Tata Nilai “Kami PASTI” pegawai
UPT menyatakan melakukan tanpa ada tekanan dari manapun
dan dari siapapun.Tentunya setelah pendeklarasian Tata nilai Kami
PASTI sikap dan tindakan yang dilakukan berbeda dengan sebelum
pendeklarasian. Misalnya sikap tepat waktu dan ketaatan terhadap
jam masuk kerja dan jam keluar kerja sudah lebih tepat waktu.
Begitu juga dengan penyelesaian pekerjaan sesuai dengan aturan
yang ditetapkan.
Akuntabilitas pada Unit Kerja berkaitan dengan laporan keuangan.
Isi laporan keuangan yang disampaikan telah sesuai dengan
ketentuan yang ada. Hasil yang telah dicapai untuk program jangka
panjang di UPT selalu disajikan dalam Laporan pertanggungjawaban
(LPJ) satuan kerja sesuai dengan Standar Akutansi Pemerintah (SAP).
Laporan pelaksanaan anggaran UPT secara berkala disampaikan
kepada Unit Eselon I dan publik, namun laporan pelaksanaan
anggaran belum sepenuhnya disampaikan kepada Unit Eselon I
secara tepat waktu.
Strategi unit kerja dalam pelaksanaan program dengan unit lain
terus dilakukan dengan bersinergi. Pengembangan Management
Development Program untuk menumbuhkan pemimpin baru
dilakukan dari internal. Fokus strategi yang dilakukan adalah
pengembangan pada Unit kerja yang memiliki SDM yang kuat, sebab
jika SDM-nya kuat unit kerja dapat melaksanakan tugas dan fungsi
dengan baik.
UPT telah mensosialisasikan dan mempublikasikan program
serta kebijakan kepada Pegawai dan masyarakat. Tujuan program dan
kebijakan anggaran UPT telah tertera jelas dalam program satuan
kerja. Setiap informasi disajikan dalam laporan pertanggungjawaban
telah mengungkapkan seluruh informasi yang diperlukan. Informasi
mengenai laporan pertanggungjawaban satuan kerja telah tersedia

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


140 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
untuk umum. Laporan keuangan satuan kerja telah disampaikan
secara terbuka kepada semua pihak, baik kepada pegawai maupun
kepada masyarakat. Bahkan informasi mengenai target kegiatan,
laporan kinerja keuangan satuan kerja, serta prosedur yang ada telah
tersedia untuk umum.
UPT telah melakukan inovasi dengan pengembangan program-
program proyek perubahan yang fokus pada melayani masyarakat.
Cara berpikir sebagian besar pegawai selalu berorientasi
terhadap masa depan karir. Program inovasi memiliki keunggulan
dibandingkan dengan program yang di miliki sebelumnya. Program
masih sesuai dengan yang dilakukan oleh unit kerja lain. Program
yang dilakukan dapat memudahkan untuk melakukan kegiatan dan
membuat pelaksanaan kegiatan menjadi praktis. Setelah penerapan
tata nilai Kami PASTI di UPT memiliki program kerja yang berbeda
dengan yang sebelumnya. Para pegawai juga sudah mulai terbuka
terhadap pengalaman baru. Unit kerja berusaha tidak kehabisan ide
dalam memecahkan masalah untuk pelaksanaan kegiatan dengan
memperoleh gagasan dan ide yang berasal dari pemikiran pegawai.
Pada UPT pencanangan WBK/WBBM, kebutuhan pegawai yang
disusun oleh UPT mengacu kepada peta jabatan dan hasil analisis
beban kerja untuk masing-masing jabatan. Dalam hal penempatan
pegawai, baru sebagian kecil penempatan pegawai hasil rekrutmen
murni mengacu kepada kebutuhan pegawai yang telah disusun per
jabatan. Kemudian, monitoring dan evaluasi terhadap rekrutmen
dan penempatan pegawai untuk memenuhi kebutuhan jabatan
dalam organisasi telah memberikan perbaikan terhadap kinerja unit
kerja. Untuk Pola Mutasi Internal, dalam melakukan pengembangan
karier pegawai, telah dilakukan mutasi pegawai antar jabatan sebagai
wujud dari pengembangan karier pegawai. Namun belum semua

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 141
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
mutasi pegawai antar jabatan telah memperhatikan kompetensi
jabatan dan mengikuti pola mutasi yang telah ditetapkan organisasi.
Dalam Pengembangan pegawai berbasis kompetensi, UPT telah
melakukan Training Need Analysis. Semua rencana pengembangan
kompetensi pegawai telah mempertimbangkan hasil pengelolaan
kinerja pegawai. Sementara saat ini persentase kesenjangan
kompetensi pegawai dengan standar kompetensi yang ditetapkan
sebesar < 25%. Selain itu, sebagian besar pegawai di UPT telah
memperoleh kesempatan/hak untuk mengikuti diklat maupun
pengembangan kompetensi lainnya. UPT telah melakukan upaya
pengembangan kompetensi kepada sebagian besar pegawai (dapat
melalui pengikutsertaan pada lembaga pelatihan, in-house training,
atau melalui coaching, atau mentoring, dll) dan telah melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap hasil pengembangan kompetensi
dalam kaitannya dengan perbaikan kinerja, namun belum dilakukan
setiap bulan.
Sebagian besar ukuran kinerja individu telah memiliki
kesesuaian dengan indikator kinerja individu level di atasnya.
Pengukuran kinerja individu telah dilakukan secara bulanan.
Hasil penilaian kinerja individu sebagian besar telah dijadikan
dasar untuk pemberian reward (pengembangan karir individu,
penghargaan dll). Unit kerja telah mengimplementasikan seluruh
aturan disiplin/kode etik/kode perilaku pegawai yang ditetapkan
organisasi namun belum membuat inovasi terkait aturan disiplin/
kode etik/kode perilaku yang sesuai dengan karakteristik unit kerja.
Sistem Informasi kepegawaian unit kerja telah dimutakhirkan secara
berkala. Data informasi kepegawaian unit kerja telah dimutakhirkan
secara bulanan.
Faktor penghambat dalam pemenuhan indikator WBK dan
WBBM di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM adalah masih

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


142 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
adanya UPT yang belum melengkapi Standar Operasi Prosedur
(SOP) dan kurangnya data pendukung di setiap kegiatan yang
dilakukan UPT, seperti kelengkapan data pendukung foto kegiatan
serta notulen pertemuan yang belum sepenuhnya dilengkapi.
Selain itu, masih ada pemikiran melengkapi indikator WBK/
WBBM didasarkan oleh karena adanya penilaian dari Tim Penilai,
dan belum sepenuhnya didasarkan pada pembenahan organisasi
dan pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik. Kemudian,
belum adanya perlakuan khusus bagi Unit WBK/WBBM seperti
dukungan anggaran serta reward terhadap pribadi dan unit kerja
yang berakibat pada rendahnya semangat para pejabat dan pegawai
di Unit pendampingan WBK/WBBM.

B. Saran
Saran kebijakan atas pengkajian Implementasi Tata Nilai “Kami
PASTI” untuk meningkatkan Akuntabilitas Kinerja dalam rangka
mewujudkan WBK dan WBBM di Lingkungan Kementerian Hukum
dan HAM adalah sebagai berikut :
1. Tunas Integritas Kemenkumham perlu meningkatkan
internalisasi Tata Nilai “Kami PASTI” secara kontinu kepada
pegawai Kemenkumham terutama kepada yang berimplikasi
terhadap perbuatan korupsi, serta cara penanggulangan korupsi
baik preventif maupun represif, serta nilai-nilai anti korupsi
yang harus ditanamkan kepada diri sendiri dan keluarga mulai
dari sekarang.
2. Inspektorat Jenderal dan Sekretariat Jenderal perlu menetapkan
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) sebagai Tunas Integritas
yang menjadi role model pada masing-masing UPT untuk
mempercepat internalisasi Tata Nilai “Kami PASTI”.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 143
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
3. Unit Utama, Kantor Wilayah dan Seluruh UPT perlu melakukan
survei persepsi korupsi selain melakukan survei kepuasan
masyarakat secara internal di unit kerja masing-masing.
4. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Badan Penelitian
dan Pengembangan Hukum dan HAM, sesuai tugas dan
fungsinya hendaknya melakukan survei Kepuasan Masyarakat
dan Survei Integritas (Survei Persepsi Korupsi) secara nasional
(Skala Kementerian Hukum dan HAM) minimal 1 (satu) kali
dalam setahun.
5. Inspektorat Jenderal perlu mendorong/meminta Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk melakukan survei indeks persepsi
korupsi secara eksternal.
6. Inspektorat Jenderal perlu mendorong/meminta Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk
melakukan survei indeks kepuasan masyarakat secara eksternal.
7. Sekretariat Jenderal perlu memberikan dukungan anggaran dan
sarana prasarana secara khusus kepada UPT yang sudah dalam
pendampingan WBK/WBBM, sehingga UPT dapat mewujudkan
predikat WBK/WBBM dan menjadi Pilot projek kepada UPT lain
yang akan mendapat pendampingan menuju Unit WBK/WBBM.
8. Sekretariat Jenderal perlu membuat Kode Etik dan Kode perilaku
atas internalisasi Tata Nilai “Kami Pasti” dalam pelaksanaan
tugas dan fungsi pegawai Kemenkumham yang parameternya
dikaitkan dengan perwujudan WBK/WBBM.
9. Seluruh UPT di Kementerian Hukum dan HAM perlu melengkapi
Standar Operasional Prosedur (SOP) atas semua pelaksanaan
tugas dan fungsinya serta perlu memperkuat data pendukung
dalam setiap kegiatan untuk mendukung nilai WBK/WBBM.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


144 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdul Wahab, Solichin, Analisis Kebijaksaan dari formulasi ke
implementasi kebijaksanaan negara, Jakarta : Bumi Aksara,
2008
Adair. J., Effective Innovation: How to Stay Ahead of the Competition.
London: Pan Books Ltd. London: Pan Books Ltd., 1996.
Arikunto, S., Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Ed Revisi.
Jakarta : Rineka Cipta, 2010.
Atep Barata, Dasar-dasar Pelayanan Prima, Jakarta: PT. Gramedia,
2004.
Bappenas dan Depdagri, Buku Pedoman Penguatan Pengamanan
Program Pembangunan Daerah, 2002.
Benedicta Prihatin Dwi Riyanti, Kewirausahaan Dari Sudut Pandang
Psikologi Kepribadian, Jakarta : Grasindo, 2003.
Catherine DeVrye, Good Service is Good Business (7 Strategi
sederhana menuju Sukses), Jakarta: PT. Gramedia, 2001.
Deardorff, D.S., & Williams, G. Synergy Leadership in Quantum
Organizations, Fesserdorff Consultants, 2006. Available from:
http://www.fesserdorff.com.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 145
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Dennis A.Rondinelli, “Government Decentralisation in Comparative
perspective: Theory and Practice in Development Countries”
International Review of administrative sciences, 1981.
De Jong, J., & Den Hartog, D., How leaders influence employee’s
innovative behavior. European Journal of Innovation
Management, 2007.
___________________________, Leadership as a determinant of
innovative behaviour. A Conceptual framework, San Fransisco:
A Wiley Imprint, 2003.
De Jong, J. P. J & Kemp, R., Determinants of Co‐workers’s Innovative
Behaviour: An Investigation into Knowledge Intensive Service,
International Journal of Innovation Management. 7 (2) (Juni
2003) 189 ‐ 212. Diakses melalui EBSCO Publisher 22 Agustus
2017.  
Drucker Petter, Innovation And Entrepreneurship, New York: Harper
Dan Row, 1985.
Eko Supriyanto, Operasionalisasi Pelayanan Prima, Jakarta: LAN,
2001.
Edward III, George C., Implementing Public Policy, Washington:
Congressional Quarterly Press, 1980.
Everett M. Rogers, Diffusion of Innovations, London: The Free Press,
1983.
Gde Raka, Inovasi dan Kewirausahaan, Handout dalam
Transformasional Leadership. (tidak diterbitkan), 2001.
Hari Sabarno, Mamandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan
Bangsa, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Ibrahim Buddy, Total Quality Manajement, Jakarta: Percetakan Karya
Unipress, 2000.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


146 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Joko Widodo, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas
dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi
Daerah), Surabaya: Insan Cendekia, 2001.
Kleysen, R.F., & Street, C.T., Toward a multi-dimensional measure of
individual innovative behavior, Journal of Intellectual Capital,
2001.
Kotler, Philip. Manajamen Pemasaran, Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT.
Indeks Kelompok Gramedia, 2005.
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, Akuntabilitas Dan Good Goverenance”, Jakarta:
Lembaga Admnistrasi Negara dan Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan, 2000.
Luecke, Richard, Managing Creativity and Innovation. Boston:
Harvard Business School Publishing, 2003.
Lupiyoadi, Manajemen Pemasaran Jasa, Jakarta: Salemba Empat,
2001.
Merriam-Webster, Dictionary, 1960.
Mohamad Mahsun, Pengukuran Kinerja Sektor Publik , Yogyakarta:
BPFE, 2006.
Moeljarto, Tjrokrowinoto. Pemberdayaan: Konsep, Implementasi
dan Kebijakan. Jakarta: CSIS, 1996.
Miriam Budiarjo, Menggapai Kedaulatan Rakyat, Jakarta: Mizan,
1998.
Meutiah Ganie Rahman, “Good Governance, Prinsip, Komponen, dan
Penerapanya” dalam Hak Asasi Manusia (Penyelenggaraan
Negara Yang Baik ), Jakarta: Penerbit Komnas HAM, 2000.
Max H. Pohan, Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik
(Local Good Governance) dalam Era Otonomi Daerah, Jakarta:
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2000.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 147
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta:
Andi, 2004.
Mintzberg, Henry, James Brian Quinn, dan John Voyer, The Strategy
Process. Prentice-Hall, Inc, 1995.
M.N. Nasution, Manajemen Mutu Terpadu, Jakarta: Ghalia Indonesia,
2001.
Sadu Wasistiono, dkk., Memahami Asas Tugas Pembantuan (Melalui
Pandangan Teoretik, Legalistik, dan Implementasi. Bandung:
Fokusmedia, 2007.
Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik),
Bandung, 2003, hlm. 23.
Sondang Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2000.
Sukardi, Kepribadian Wirausaha, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Stoltz, Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang,
Jakarta: Grasindo, 2000.
Taliziduhu Ndraha, Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru), Jakarta:
Rineka Cipta, 2003.
Tangkilisan, Hessel Nogi S., Manajemen Publik, Jakarta: Gramedia
Widia Sarana Indonesia, 2005.
Soetopo, Pelayanan Prima, Jakarta: LAN, 1999.
Subarsono, AG., Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Suryana, Kewirausahaan (Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju
Sukses). Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2006.
Thomas W Zimmerer, Norman M Scarborough, Kewirausahaan dan
Manajemen Usaha Kecil, Jakarta: Salemba empat, 2008.
Usman, Nurdin, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


148 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Vincent Gasperz Z, Metode Analisis untuk Peningkatan Kualitas,
Jakarta: PT. Gramedia, 2003.
Vincent Gasperz Z, Manajemen Kualitas, Jakarta: PT Gramedia, 1997.
Waters, Malcolm, Modern Sociological Theory, London: SAGE
Publications, 2000.
Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media
Pressindo, 2002.
Zeithaml, Parasuraman, dan Berry, Delivering Quality Service, The
Press Adividion of Macmillan, 1990.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, Jakarta.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Jakarta.
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2000 Program Pembangunan Nasional, Jakarta.
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik, Jakarta.
Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, Jakarta.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang
Layanan Pembinaan Yang Diberikan Kepada Narapidana
Tindak Pidana Tertentu, Jakarta.
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang
Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Jangka Panjang Tahun 2012-2025, Jakarta.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 149
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian Internal Pemerintah, Jakarta.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang
Layanan Asimilasi Tindak Pidana Khusus, Jakarta.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimum, Jakarta.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1994 tentang Surat
Perjalanan Republik Indonesia, Jakarta.
Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand
Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, Jakarta
Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2014 tentang Aksi
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, Jakarta.
Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi.
Indonesia, Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 14 Tahun 2017
Tentang Pedoman Survei Kepuasan Masyarakat Terhadap
Penyelenggaraan Publik, Jakarta.
Indonesia, Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2014
Tentang Pedoman Survei Kepuasan Masyarakat Terhadap
Penyelenggaraan Publik, Jakarta.
Indonesia, Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 14 Tahun 2014
Tentang Pedoman Evaluasi Reformasi Birokrasi Instansi
Pemerintah, Jakarta.
Indonesia, Keputusan Menteri 2004. Keputusan Menteri
Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004
tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan
Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, Jakarta
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2015
tentang Rencana Strategis Kementerian Hukum dan HAM 2015
- 2019, Jakarta.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


150 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Indonesia, Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Syarat
dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, CMK, PB, CMB dan
CB, asimilasi Layanan, Jakarta.
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-01.
PW.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Penetapan Wilayah
Bebas Korupsi (WBK) Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta.
Indonesia, Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor
PAS1.14.OT.02.02 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Pemasyarakatan, Jakarta.
Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jakarta.

IMPLEMENTASI TATA NILAI "KAMI PASTI" UNTUK MENINGKATKAN


AKUNTABILITAS KINERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN WBK DAN WBBM 151
DI LINGKUNGAN KEMENKUMHAM

You might also like