You are on page 1of 39

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit batu saluran kemih sudah dikenal sejak jaman Babilonia dan
zaman Mesir kuno. Sebagai salah satu buktinya adalah diketemukan batu pada
kandung kemih seorang mumi. Penyakit ini dapat menyerang penduduk di
seluruh dunia dan tidak terkecuali penduduk di Indonesia. Angka kejadian
penyakit ini tidak sama di berbagai belahan bumi. Di negara-negara
berkembang, banyak dijumpai pasien batu buli-buli sedangkan di negara maju
lebih banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas. Hal ini karena
adanya pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari-hari. Di Amerika
Serikat 5-10% penduduknya menderita penyakit ini, sedangkan di seluruh
dunia, rata-rata terdapat 1-12% penduduk yang menderita batu saluran kemih.
Penyakit ini merupakan salah satu dari tiga penyakit terbanyak di bidang
urologi disamping infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna.
Di Indonesia penyakit batu saluran kemih masih menempati porsi
terbesar dari jumlah pasien di klinik urologi. Insidensi dan prevalensi yang
pasti dari penyakit ini di Indonesia belum dapat ditetapkan secara pasti. Dari
data dalam negeri yang pernah dipublikasi didapatkan peningkatan jumlah
penderita batu ginjal yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto
Mangunkusumo dari tahun ke tahun mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi
847 pasien pada tahun 2002, peningkatan ini sebagian besar disebabkan mulai
tersedianya alat pemecah batu ginjal non-invasif ESWL (Extracorporeal shock
wave lithotripsy) yang secara total mencakup 86% dari seluruh tindakan
(ESWL, PCNL, dan operasi terbuka).
Kekambuhan pembentukan batu merupakan masalah yang sering
muncul pada semua jenis batu dan oleh karena itu menjadi bagian penting
perawatan medis pada pasien dengan batu saluran kemih. Dengan
perkembangan teknologi kedokteran terdapat banyak pilihan tindakan yang
tersedia untuk pasien, namun pilihan ini dapat juga terbatas karena adanya
variabilitas dalam ketersediaan sarana dimasing-masing rumah sakit maupun

1
daerah.
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan
gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi
dan keadaan keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara
epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu
saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu
keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh
yang berasal dari lingkungan di sekitarnya.
Berdasarkan letaknya, batu saluran kemih terdiri dari batu ginjal, batu
ureter, batu buli-buli dan batu uretra. Batu saluran kemih pada umumnya
mengandung unsur: kalsium oksalat atau kalsium fosfat, asam urat,
magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthyn, dan sistin, silikat dan senyawa
lainnya. Semua tipe batu saluran kemih memiliki potensi untuk membentuk
batu staghorn, namun pada 75% kasus, komposisinya terdiri dari matriks
struvit-karbonat-apatit atau disebut juga batu struvit atau batu triple phosphate,
batu fosfat, batu infeksi, atau batu urease.1
Nefrolithiasis atau batu ginjal adalah kasus yang sering dijumpai dengan
prevalensi 10% pada pria dan 5% pada wanita. Dari penelitian didapatkan
bahwa prevalensi penyakit ini semakin meningkat di Amerika Serikat, dimana
survei pada tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa orang dewasa yang berusia
20-74 tahun memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan survei pada
tahun 1976-1980 (5,2% vs 3,2%). Peningkatan terjadi pada orang kulit putih
tetapi tidak pada ras Afrika maupun Meksiko di Amerika, lebih tinggi pada pria
dibandingkan wanita, dan meningkat seiring dengan pertambahan usia.

2
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn.Bahar
Usia : 59 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jln. Hartaco Indah Blok 1 AH No.1
Suku : Makassar
Agama : Islam
Bangsal : Tulip
No. CM : 206302
Tanggal MRS : 19 November 2017

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan kepada pasien sendiri dan keluarganya.
Keluhan utama:
Nyeri pinggang kiri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang laki-laki berumur 59 tahun datang ke RS Pelamonia TK II
dengan keluhan nyeri pinggang kiri sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri dirasakan hilang timbul dan tembus ke belakang. Nyeri
dirasakan semakin memberat saat beraktifitas sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Pasien juga mengeluh mual (+), muntah (+) dengan frekuensi
3 kali berisi air dan sisa makanan. Demam (-), BAK lancar berwarna
kuning, nyeri saat BAK (-), BAB lancar.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal
Riwayat trauma pada daerah perut disangkal
Riwayat penyakit ginjal: ada (nefrolithiasis sinistra)

3
Riwayat alergi obat disangkal
Riwayat operasi: Open Nefrolithotomi sinistra tahun 2005 dan 2010.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan seperti ini.
Riwayat Sosial, Ekonomi, Lingkungan
Pasien memiliki kebiasan jarang minum air putih, keadaan ekonomi baik.

C. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum : Baik.
Kesadaran : GCS (E4M5V6), Composmentis
Tanda vital : TD : 130/70mmHg
Nadi : 88x/menit, isi dan tekanan cukup, regular
Suhu : 36,5oC (axilla)
Respirasi: 20x/menit
b. Kepala
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : tidak ada sekret/bau/perdarahan
Telinga : tidak ada sekret/bau/perdarahan
Mulut : bibir tidak sianosis, tidak ada pigmentasi, mukosa tidak
pucat.
c. Leher
KGB : tidak ada pembesaran
Tiroid : tidak ada pembesaran
d. Thoraks:
Cor: I: ictus cordis tidak tampak
P: ictus codis teraba di ICS IV MCLS
P: batas jantung ICS IV PSL dekstra sampai ICS V MCL sinistra
A: S1S2 tunggal
Pulmo:I: Simetris, tidak ada retraksi
P: Fremitus raba normal

4
P: Sonor
A: Vesikuler +/+, Ronkhi:-/- Wheezing : -/-
e. Abdomen
I: Flat
A: Bising usus (+) normal
P: Timpani
P: Soepel, H/L tidak ada nyeri tekan
f. Ekstremitas:
Inspeksi: memar (-), bengkak (-), deformitas (-), perubahan warna
kulit (-)
Palpasi: deformitas (-), krepitasi (-), perubahan suhu (-), nyeri tekan (-
), akral hangat, CRT <2 detik

g. Status Urologis
Sudut kosto vertebra : nyeri tekan (-), nyeri ketok (+), pembesaran
ginjal (-)
Supra simfisis : nyeri tekan (-), teraba batu (-), buli-buli penuh (+),
Genitalia eksterna : teraba batu uretra (-)

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Lain-lain (19/11/2017)
GDS 206 mg/dl*
SGOT 21 U/L
SGPT 33 U/L
Ureum 31 mg/dl
Kreatinin 0.9 mg/dl
Asam Urat 7.7 mg/dl*

E. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
a. Ultrasonografi (USG)

5
Gambar 1. Batu Ginjal
Hasil pemeriksaan:
- Hepar : bentuk, ukuran dan echoexture dalam batas normal, tidak
tampak dilatasi bile duct intra/extrahepatik, tidak tampak tanda-tanda
metastase.
- GB : bentuk, ukuran dalam batas normal, tidak tampak batu.
- Pankreas, Lien, dan VU dalam batas normal.
- Ginjal kanan: bentuk, ukuran dan echoparenkim normal, tidak
tampak tanda-tanda bendungan maupun batu.
- Ginjal kiri: tampak bayangan batu pada parenkim dengan ukuran 2,78
cm, tidak tampak tanda-tanda bendungan.

Kesan: Nefrolithiasis sinistra


Usul : CT Scan Urologi/Abdomen

6
b. CT Scan Abdomen

Gambar 2. CT Scan Abdomen Tanpa Kontras


Hasil Pemeriksaan:
- Hepar: ukuran dan densitas parenkim dalam batas normal, permukaan
reguler, tip tajam. Tidak tampak dilatasi vaskular maupun bile duct.
Tidak tampak SOL.
- GB: Dinding tidak menebal, mukosa reguler. Tidak tampak densitas
batu/SOL.
- Pankreas: ukuran dan densitas parenkim dalam batas normal. Tidak
tampak dilatasi bile duct. Tidak tampak SOL.
- Lien: ukuran dan densitas parenkim dalam batas normal. Tidak
tampak SOL.
- Ginjal kanan: ukuran dan densitas parenkim dalam batas normal, PCS
tidak dilatasi, tidak tampak densitas batu/mass/cyst 1,38 x 1,83 cm.

7
- Ginjal kiri: ukuran dan densitas parenkim dalam batas normal, PCS
dilatasi, tampak densitas batu dengan ukuran 1,79 x 2,23 cm.
- Ureter kiri: membesar, tampak densitas batu.
- VU: dinding tidak menebal, mukosa reguler, tidak tampak densitas
batu/mass.
- Tidak tampak densitas cairan bebas pada cavum peritoneum dan
cavum pleura bilateral.
- Tulang-tulang intak.

Kesan: - Hydronefrosis sinistra ec ureterolith sinistra


- Nefrolith sinistra

c. Foto Thorax

Gambar 3. Foto Thorax PA

8
Hasil pemeriksaan:
- Corakan bronchovascular dalam batas normal
- Tidak tampak pemadatan hilus
- Cor: ukuran dalam batas normal. Aorta normal.
- Diafragma kanan letak tinggi, kedua sinus dan diafragma kiri baik
- Tulang-tulang intak

Kesan: Cor dan Pulmo dalam batas normal

F. FOLLOW UP
Tanggal 19 November 2017
S: Pasien MRS dengan keluhan nyeri pinggang kiri sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan hilang timbul dan
tembus ke belakang. Nyeri dirasakan semakin memberat saat
beraktifitas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga
mengeluh mual (+), muntah (+) dengan frekuensi 3 kali berisi air
dan sisa makanan. Demam (-), BAK lancar berwarna kuning, nyeri
saat BAK (-), BAB lancar
O: Pemeriksaan fisik
KU : Baik, sadar
TD: 130/70 mmHg
N : 88x/m
P : 20x/m
S : 36,5ºC
Pemeriksaan USG dan CT Scan Abdomen: Nefrolitihiasis Sinistra
A: Nefrolithiasis Sinistra
P: Rencana Nefrolitotomi sinistra

Tanggal 20 November 2017


S : Nyeri (+), mual (+), muntah (-), demam (-).
O : Pemeriksaan fisik

9
KU : Baik, sadar
TD : 120/90 mmHg
N : 90 X/m
P : 22 X/m
S : 36.7 ºC
A : Nefrolithiasis Sinistra
P : Rencana Nefrolitotomi sinistra

Tanggal 21 November 2017


S : Nyeri (+), mual (+), muntah (-), demam (-).
O : Pemeriksaan fisik
KU : Baik, sadar
TD : 120/70 mmHg
N : 89 X/m
P : 22 X/m
S : 36,7 ºC
A : Nefrolithiasis Sinistra
P : IVFD RL 20 tpm
Ceftriaxone 1 gr/12jam/iv
Ranitidin/8jam/iv
Ketorolac/12jam/iv
Rencana operasi hari ini

Laporan Operasi
1.Posisi miring kiri ke atas (General Anestesi)
terpasang kateter,
2.Disinfeksi lapangan operasi dan ditutup dengan doek steril,
3. Insisi kulit dan sub kutis 12 cm (intercosta 11 kiri), pada sikatrik luka
operasi,
4. Diperdalam dengan memotong otot MOE dan MOI,
5. Otot muskulus transverses abdominis displit,

10
6. Bebaskan pasca gerota dari dinding abdomen bagian belakang,
7. Bebaskan ginjal sampai hilus secara tumpul dan tajam dengan kauter
8. Perlekatan ginjal dengan perirenal ginjal ringan,
9. Evaluasi/identifikasi hilus teraba pyelum pada pyelum ekstrarenal,
10. Bebaskan pyelum yang kesan perlekatan ke arah intarrenal dan UPJ,
batu pyelum teraba
11. Insisi pyelum bentuk linier di atas batu, keluar urine jernih,
12. Ekstraksi batu pyelum 1 buah, padat dan keras, diameter 20 x 15 x 15
mm
13. Klem statinsky dipasang pada pedikel ginjal,
14. Insisi ginjal pole atas, dan staghorn 1 buah, kasar dan putih diameter 3
x 2 x 1 cm,
15. Ekstraksi batu kecil 1 buah, evaluasi sisa batu kesan bersih, sondase
distal lancar,
16. Jahit pyelum dengan dekson 4/0 dan jahit ginjal dengan cromik 1/0,
jahit satu-satu,
17. Evaluasi perdarahan kesan terkontrol, jumlah perdarahan 400 cc,
18. Pasang drain, hitung kasa lengkap,
19. Jahit muskulus trasversus abdominis dan MOI serta MOE dengan
dekson 1/0,
20. Jahit sub kutis dengan cromik 3/0. Jahit kulit dengan zide 3/0,
21. Operasi selesai tanpa komplikasi, urine tetap jernih/
22. Instruksi pasca bedah : - Sadar baik, MSS, diet DM
- Infuse RL: NaCL 0,9% = 2:3
- Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr
- Ketorolac 2x1 amp
- Ranitidin 3 x 1 amp
- Observasi VS, produksi urine dan cairan

11
Tanggal 22 November 2017
S : Nyeri post op (+)
O : Pemeriksaan fisik
KU : Baik, sadar
TD : 130/80 mmHg
N : 90X/m
P : 22 X/m
S : 36,5ºC
A : POD I Batu buli-buli
P : IVFD RL : NaCl 0,9 % 2:3
Ceftriaxone 1gr/12jm/iv
Ketorolac 1amp/12jm/iv
Ranitidin 1amp/8jam/iv
Catat produksi urin, drain perhari dan balance cairan

Tanggal 23 November 2017


S : Nyeri post op berkurang.
O : Pemeriksaan fisik
KU : Baik, sadar
TD : 120/80 mmHg
N : 89 X/m
P : 22 X/m
S : 36,7 ºC
Drain 3cc
A : POD II Batu buli-buli
P : Aff infuse
Aff kateter
Cefixime tab 2x1
Asam mefenamat 3x500mg

12
Tanggal 24 November 2017
S : Tidak ada keluhan
O : Pemeriksaan fisik
KU : Baik, sadar
TD : 120/80 mmHg
N : 89 X/m
P : 22 X/m
S : 36,7 ºC
Drain 0 cc
A : POD II Batu buli-buli
P : Aff drain dan KRS
GV luka op
Cefixime tab 2x200mg
Paracetamol 3x500mg
Neurodex 2x1

G. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungsional : Dubia ad bonam

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN KEMIH


a. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat
sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan
posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah
(kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati
yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas
iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi
bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah
processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka)
sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari
batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih
rendah dibandingkan ginjal kiri.
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
1. Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari
korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus
kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.
2. Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari
tubulus rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus
colligent).
3. Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal
4. Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah
korteks
5. Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut
saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
6. Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus
pengumpul dan calix minor.
7. Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.

14
8. Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
9. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang
menghubungkan antara calix major dan ureter.
10. Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Gambar 4. Anatomi Ginjal, CW Urology

Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus


renalis/ Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus
kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang
bermuara pada tubulus pengumpul. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut
terdapat pembuluh kapiler,yaitu arteriol (yang membawa darah dari dan

15
menuju glomerulus) serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi
jaringan ginjal) Berdasarkan letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1)
nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks
yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung
Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu
nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki
lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh-
pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta.
Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan
percabangan dari aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara
pada vena cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis
akan bercabang menjadi arteri sublobaris yang akan memperdarahi
segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior, anterior-
superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk
persarafan simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui
n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini
berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan
simpatis melalui n.vagus.

b. Ureter

Gambar 5. Ureter

16
Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa
hasil penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis
menuju vesica urinaria. Terdapat sepasang ureter yang terletak
retroperitoneal, masing-masing satu untuk setiap ginjal.
Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di
depan m.psoas major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan
a.iliaca communis. Ureter berjalan secara postero-inferior di dinding
lateral pelvis, lalu melengkung secara ventro-medial untuk mencapai
vesica urinaria. Adanya katup uretero-vesical mencegah aliran balik
urine setelah memasuki kandung kemih. Terdapat beberapa tempat di
mana ureter mengalami penyempitan yaitu peralihan pelvis renalis-
ureter, fleksura marginalis serta muara ureter ke dalam vesica urinaria.
Tempat-tempat seperti ini sering terbentuk batu/kalkulus.
Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta abdominalis,
a.iliaca communis, a.testicularis/ovarica serta a.vesicalis inferior.
Sedangkan persarafan ureter melalui segmen T10-L1 atau L2 melalui
pleksus renalis, pleksus aorticus, serta pleksus hipogastricus superior
dan inferior.

c. Vesica urinaria
Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli,
merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal
melalui ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan
eksternal tubuh melalui mekanisme relaksasi sphincter. Vesica urinaria
terletak di lantai pelvis (pelvic floor), bersama-sama dengan organ lain
seperti rektum, organ reproduksi, bagian usus halus, serta pembuluh-
pembuluh darah, limfatik dan saraf.
Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk tetrahedral yang
terdiri atas tiga bagian yaitu apex, fundus/basis dan collum. Serta

17
mempunyai tiga permukaan (superior dan inferolateral dextra dan sinistra)
serta empat tepi (anterior, posterior, dan lateral dextra dan sinistra).
Dinding vesica urinaria terdiri dari otot m.detrusor (otot spiral,
longitudinal, sirkular). Terdapat trigonum vesicae pada bagian
posteroinferior dan collum vesicae. Trigonum vesicae merupakan suatu
bagian berbentuk mirip-segitiga yang terdiri dari orifisium kedua ureter
dan collum vesicae, bagian ini berwarna lebih pucat dan tidak memiliki
rugae walaupun dalam keadaan kosong.
Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan inferior.
Namun pada perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a.vaginalis.
Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis
dan parasimpatis. Persarafan simpatis melalui n.splanchnicus minor,
n.splanchnicus imus, dan n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun
persarafan parasimpatis melalui n.splanchnicus pelvicus S2-S4, yang
berperan sebagai sensorik dan motorik.

d. Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica
urinaria menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada
pria dan wanita. Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga
berfungsi sebagai organ seksual (berhubungan dengan kelenjar prostat),
sedangkan uretra pada wanita panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria
memiliki dua otot sphincter yaitu m.sphincter interna (otot polos terusan
dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan m.sphincter externa (di uretra
pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada wanita hanya
memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan
bersifat volunter).
Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars prostatika,
pars membranosa dan pars spongiosa.
a. Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari collum vesicae
dan aspek superior kelenjar prostat. Pars pre-prostatika dikelilingi otot

18
m. sphincter urethrae internal yang berlanjut dengan kapsul kelenjar
prostat. Bagian ini disuplai oleh persarafan simpatis.
b. Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang melewati/menembus
kelenjar prostat. Bagian ini dapat lebih dapat berdilatasi/melebar
dibanding bagian lainnya.
c. Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek dan
tersempit. Bagian ini menghubungkan dari prostat menuju bulbus penis
melintasi diafragma urogenital. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh
m.sphincter urethrae eksternal yang berada di bawah kendali volunter
(somatis).
d. Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang,
membentang dari pars membranosa sampai orifisium di ujung kelenjar
penis. Bagian ini dilapisi oleh korpus spongiosum di bagian luarnya.
Sedangkan uretra pada wanita berukuran lebih pendek (3.5 cm)
dibanding uretra pada pria. Setelah melewati diafragma urogenital, uretra
akan bermuara pada orifisiumnya di antara klitoris dan vagina (vagina
opening). Terdapat m. spchinter urethrae yang bersifat volunter di bawah
kendali somatis, namun tidak seperti uretra pria, uretra pada wanita tidak
memiliki fungsi reproduktif.

B. FISIOLOGI
Fungsi ginjal adalah a) memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-
zat toksis atau racun, b) mempertahankan suasana keseimbangan cairan, c)
mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan d)
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.
Tahap pembentukan urin adalah :
1. Proses Filtrasi ,
Di glomerulus terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah bagian cairan
darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang
terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus
ginjal. cairan yang di saring disebut filtrate gromerulus.
2. Proses Reabsorbsi

19
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glikosa,
sodium, klorida, fospat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif
(obligator reabsorbsi) ditubulus proximal. sedangkan pada tubulus distal terjadi
kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan tubuh. Penyerapan
terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya dialirkan pada papilla renalis.
3. Proses sekresi.
Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke
papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar

C. DEFINISI
Batu ginjal adalah massa keras seperti batu yang berada di ginjal
dan salurannya dan dapat menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan
aliran kemih, atau infeksi.

Gambar 5. Batu Ginjal


Sumber : (Nugroho, Ditto. 2009. Batu ginjal.

Batu ginjal juga biasa disebut nephrolithiasis, kidney stones, renal


stones, urinary stones, urolithiasis, ureterolithiasis, kidney calculi, renal
calculi, ureteral calculi, urinary calculi, acute nephrolithiasis, urinary tract
stone disease.

D. ETIOLOGI
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan
gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih,
dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap
(idiopatik). Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang

20
mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-
faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh
seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari
lingkungan sekitarnya.
a. Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
- Herediter (keturunan)
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
- Umur
Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.
- Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
pasien perempuan.
b. Faktor ekstrinsik diantaranya adalah:
- Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran
kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagi
daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika
Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu sauran kemih.
- Iklim dan temperature
- Asupan air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air
yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
- Diet
Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih.
- Pekerjaan
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak
duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life.
Banyak teori yang menerangkan proses pembentukan batu di
saluran kemih tetapi hingga kini masih belum jelas teori mana yang paling
benar. Beberapa teori pembentukan batu adalah :

21
Teori Nukleasi : Batu terbentuk didalam urine karena adanya inti batu
(nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang kelewat
jenuh (supersaturated) akan mengendap didalam nukleus itu sehingga
akhirnya membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda
asing di saluran kemih.
Teori Matriks: Matriks organik terdiri atas serum/protein urine
(albumin,globulin dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat
diendapkannya kristal-kristal batu.
Teori Penghambat Kristalisasi : Urine orang normal mengandung zat-zat
penghambat pembentuk kristal, antara lain : magnesium, sitrat,
pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu
atau beberapa zat itu berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu
didalam saluran kemih.

E. EPIDEMIOLOGI
Penelitian epidemiologik memberikan kesan seakan-akan
penyakit batu mempunyai hubungan dengan tingkat kesejahteraan
masyarakat dan berubah sesuai dengan perkembangan kehidupan suatu
bangsa. Berdasarkan pembandingan data penyakit batu saluran kemih di
berbagai negara, dapat disimpulkan bahwa di negara yang mulai
berkembang terdapat banyak batu saluran kemih bagian bawah, terutama
terdapat di kalangan anak.
Di negara yang sedang berkembang, insidensi batu saluran
kemih relatif rendah, baik dari batu saluran kemih bagian bawah maupun
batu saluran kemih bagian atas. Di negara yang telah berkembang,
terdapat banyak batu saluran kemih bagian atas, terutama di kalangan
orang dewasa. Pada suku bangsa tertentu, penyakit batu saluran kemih
sangat jarang, misalnya suku bangsa Bantu di Afrika Selatan.
Satu dari 20 orang menderita batu ginjal. Pria:wanita = 3:1.
Puncak kejadian di usia 30-60 tahun atau 20-49 tahun. Prevalensi di USA
sekitar 12% untuk pria dan 7% untuk wanita. Batu struvite lebih sering

22
ditemukan pada wanita daripada pria.
F. PATOGENESIS
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih
terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran
urine (stasis urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya
kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel,
obstruksi infravesika kronis seperti pada hyperplasia prostat benigna,
stiktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang
memudahkan terjadinya pembentukan batu.
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan
organik maupun anorganik yang terlarut dalam urine. Kristal-kristal
tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine
jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya
presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi
membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi
dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar.
Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan
belum cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk itu agregat kristal
menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari
sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk
batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi
metastabel dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam
urine, laju aliran urine di dalam saluran kemih, atau adanya korpus
alienum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu.

Gambar 6. Batu Saluran Kemih

23
Sumber : http://www.emedicine.com/med/topic1599.htm/nefrolitiasis
Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium,
baik yang berikatan dengan oksalat maupun dengan fosfat,
membentuk batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat sedangkan
sisanya berasal dari batu asam urat, batu magnesium ammonium fosfat
(batu infeksi), batu xanthyn, batu sistein dan batu jenis lainnya.

Gambar 7. Batu oxalat


Batu struvit
Batu struvit, disebut juga batu infeksi, karena
terbentuknya batu ini disebabkan oleh adanya infeksi saluran
kemih. Batu dapat tumbuh menjadi lebih besar membentuk batu
staghorn dan mengisi seluruh pelvis dan kaliks ginjal. Kuman
penyebab infeksi ini adalah golongan kuman pemecah urea atau
urea splitter yang dapat menghasilkan enzim urease dan merubah
urine menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi
amoniak, seperti pada reaksi: CO(NH2)2+H2O(2NH3+CO2.1
Sekitar 75% kasus batu staghorn, didapatkan komposisi
batunya adalah matriks struvit-karbonat-apatit atau disebut juga
batu struvit atau batu triple phosphate, batu fosfat, batu infeksi,
atau batu urease, walaupun dapat pula terbentuk dari campuran
antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat.

24
Gambar 8. Batu Struvit
Suasana basa ini yang memudahkan garam-garam
magnesium, ammonium, fosfat dan karbonat membentuk batu
magnesium amoniun fosfat (MAP) atau (Mg NH4PO4.H2O) dan
karbonat apatit (Ca10[PO4]6CO3. Karena terdiri atas 3 kation Ca+
+ Mg++ dan NH4+) batu jenis ini dikenal dengan nama batu
triple-phosphate. Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea
diantaranya adalah Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobacter,
Pseudomonas, dan Stafilokokus. Meskipun E.coli banyak
menyebabkan infeksi saluran kemih, namun kuman ini bukan
termasuk bakteri pemecah urea.
Batu Kalsium
Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaitu kurang lebih
70-80% dari seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini
terdiri atas kalium oksalat, kalium fosfat, atau campuran dari kedua
unsur tersebut.
Faktor terjadinya batu kalsium adalah:
1. Hiperkalsiuri, yaitu kadar kalsium di dalam urin lebih besar
dari 250-300 mg/24 jam. Menurut Pak (1976) terdapat tiga macam
penyebab terjadinya hiperkalsiuri, antara lain:
a. hiperkalsiuri absortif yang terjadi karena adanya peningkatan
absorbsi kalsium melalui usus.
b. hiperkalsiuri renal terjadi karena adanya gangguan kemampuan
reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal
c. hiperkalsiuri resorbtif terjadi karena adanya peningkatan
resorpsi kalsium tulang yang banyak terjadi pada
hiperparatiroidisme primer atau tumor paratiroid.
2. Hiperoksaluri
3. Hiperurikosuri
4. Hipositraturia

25
5. Hipomagnesiuria

Batu asam urat


Batu jenis lain

G. MANIFESTASI KLINIS
Batu pada kaliks ginjal memberikan rada nyeri ringan sampai
berat karena distensi dari kapsul ginjal. Begitu juga baru pada pelvis
renalis, dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat.
Umumnya gejala batu saluran kemih merupakan akibat obstruksi aliran
kemih dan infeksi. Keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung pada
posisi atau letak batu, besar batu, dan penyulit yang telah terjadi.
Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada
pinggang. Nyeri ini mungkin bisa merupakan nyeri kolik ataupun bukan
kolik. Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem
kalises ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu
dari saluran kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan
intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf
yang memberikan sensasi nyeri.
Nyeri ini disebabkan oleh karena adanya batu yang menyumbat
saluran kemih, biasanya pada pertemuan pelvis ren dengan ureter
(ureteropelvic junction), dan ureter. Nyeri bersifat tajam dan episodik di
daerah pinggang (flank) yang sering menjalar ke perut, atau lipat paha,
bahkan pada batu ureter distal sering ke kemaluan. Mual dan muntah
sering menyertai keadaan ini.
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena
terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal. Pada pemeriksaan fisik
mungkin didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto-vertebra, teraba ginjal
pada sisi sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal,
retensi urine, dan jika disertai infeksi didapatkan demam-menggigil.

26
H. DIAGNOSIS
Selain pemeriksaan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
untuk menegakkan diagnosis, penyakit batu perlu ditunjang dengan
pemeriksaan radiologik, laboratorium dan penunjang lain untuk
menentukan kemungkinan adanya obstruksi saluran kemih, infeksi dan
gangguan faal ginjal. Secara radiologik, batu dapat radioopak atau
radiolusen. Sifat radioopak ini berbeda untuk berbagai jenis batu sehingga
dari sifat ini dapat diduga jenis batu yang dihadapi.
Batu kalsium akan memberikan bayangan opak, batu magnesium
amonium fosfat akan memberikan bayangan semiopak, sedangkan batu
asam urat murni akan memberikan bayangan radiolusen. Batu staghorn
dapat diidentifikasi dengan foto polos abdomen karena komposisinya yang
berupa magnesium ammonium sulfat atau campuran antara kalsium
oksalat dan kalsium fosfat sehingga akan nampak bayangan radioopak.
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan
kemih yang dapat menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan
fungsi ginjal, dan menentukan sebab terjadinya batu.
Pemeriksaan renogram berguna untuk menentukan faal kedua
ginjal secara terpisah pada batu ginjal bilateral atau bila kedua ureter
tersumbat total. Cara ini dipakai untuk memastikan ginjal yang masih
mempunyai sisa faal yang cukup sebagai dasar untuk melakukan tindak
bedah pada ginjal yang sakit. Pemeriksaan ultrasonografi dapat untuk
melihat semua jenis batu, menentukan ruang dan lumen saluran kemih,
serta dapat digunakan untuk menentukan posisi batu selama tindakan
pembedahan untuk mencegah tertingggalnya batu.

I. DIAGNOSIS BANDING
Kolik ginjal dan ureter dapat disertai dengan akibat yang lebih
lanjut, misalnya distensi usus dan pionefrosis dengan demam. Oleh
karena itu, jika dicurigai terjadi kolik ureter maupun ginjal, khususnya
yang kanan, perlu dipertimbangkan kemungkinan kolik saluran cerna,

27
kandung empedu, atau apendisitis akut. Selain itu pada perempuan perlu
juga dipertimbangkan adneksitis.
Bila terjadi hematuria, perlu dipertimbangkan kemungkinan
keganasan apalagi bila hematuria terjadi tanpa nyeri. Selain itu, perlu
juga diingat bahwa batu saluran kemih yang bertahun-tahun dapat
menyebabkan terjadinya tumor yang umumnya karsinoma epidermoid,
akibat rangsangan dan inflamasi. Pada batu ginjal dengan hidronefrosis,
perlu dipertimbangkan kemungkinan tumor ginjal mulai dari jenis ginjal
polikistik hingga tumor Grawitz.

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan
diagnosis dan rencana terapi antara lain:
a. Foto Polos Abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat
kemungkinan adanya batu radio opak di saluran kemih. Batu-batu
jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio opak dan
paling sering dijumpai diantara batu lain, sedangkan batu asam urat
bersifat non opak (radio lusen). Urutan radioopasitas beberapa batu
saluran kemih seperti pada tabel 1.

Tabel 1. Urutan Radioopasitas Beberapa Jenis Batu Saluran Kemih


Jenis Batu Radioopasitas
Kalsium Opak
MAP Semiopak
Urat/Sistin Non opak

b. Pielografi Intra Vena (PIV)


Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan
fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-

28
opak ataupun batu non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos
abdomen. Jika PIV belum dapat menjelaskan keadaan sistem saluran
kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya
adalah pemeriksaan pielografi retrograd.
c. Ultrasonografi
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani
pemeriksaan PIV, yaitu pada keadaan-keadaan: alergi terhadap bahan
kontras, faal ginjal yang menurun, dan pada wanita yang sedang
hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau di
buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow), hidronefrosis,
pionefrosis, atau pengkerutan ginjal.
d. Pemeriksaan Mikroskopik Urin, untuk mencari hematuria dan kristal.
e. Renogram, dapat diindikasikan pada batu staghorn untuk menilai
fungsi ginjal.
f. Analisis batu, untuk mengetahui asal terbentuknya.
g. Kultur urin, untuk mecari adanya infeksi sekunder.
h. DPL, ureum, kreatinin, elektrolit, kalsium, fosfat, urat, protein,
fosfatase alkali serum.

K. PENATALAKSANAAN
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih
secepatnya harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih
berat. Indikasi untuk melakukan tindakan atau terapi pada batu saluran
kemih adalah jika batu telah menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus
diambil karena suatu indikasi sosial. Obstruksi karena batu saluran kemih
yang telah menimbulkan hidroureter atau hidronefrosis dan batu yang
sudah menimbulkan infeksi saluran kemih, harus segera dikeluarkan.
Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit
seperti diatas, namun diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya
(misalkan batu yang diderita oleh seorang pilot pesawat terbang) memiliki
resiko tinggi dapat menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang

29
bersangkutan sedang menjalankan profesinya dalam hal ini batu harus
dikeluarkan dari saluran kemih. Pilihan terapi antara lain :
a. Terapi Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter <5 mm. Seperti
disebutkan sebelumnya, batu ureter <5 mm bisa keluar spontan. Terapi
bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan
pemberian diuretikum, berupa :
- Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari
- α – blocker
- NSAID
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran
batu syarat lain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien,
ada tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK
menyebabkan observasi bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan
adanya obstruksi, apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal
tunggal, ginjal trasplan dan penurunan fungsi ginjal ) tidak ada
toleransi terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus segera dilakukan
intervensi.
b. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Berbagai tipe mesin ESWL bisa didapatkan saat ini. Walau prinsip
kerjanya semua sama, terdapat perbedaan yang nyata antara mesin
generasi lama dan baru, dalam terapi batu ureter. Pada generasi baru
titik fokusnya lebih sempit dan sudah dilengkapi dengan flouroskopi,
sehingga memudahkan dalam pengaturan target/posisi tembak untuk
batu ureter. Hal ini yang tidak terdapat pada mesin generasi lama,
sehingga pemanfaatannya untuk terapi batu ureter sangat terbatas.
Meskipun demikian mesin generasi baru ini juga punya kelemahan
yaitu kekuatan tembaknya tidak sekuat yang lama, sehingga untuk batu
yang keras perlu beberapa kali tindakan.

30
http://piogama.ugm.ac.id/index.php/2009/02/gelombang-
kejut-penghancur-batu-ginjal/)
Dengan ESWL sebagian besar pasien tidak perlu dibius, hanya diberi
obat penangkal nyeri. Pasien akan berbaring di suatu alat dan akan dikenakan
gelombang kejut untuk memecahkan batunya Bahkan pada ESWL generasi
terakhir pasien bisa dioperasi dari ruangan terpisah. Jadi, begitu lokasi ginjal
sudah ditemukan, dokter hanya menekan tombol dan ESWL di ruang operasi
akan bergerak. Posisi pasien sendiri bisa telentang atau telungkup sesuai posisi
batu ginjal. Batu ginjal yang sudah pecah akan keluar bersama air seni. Biasanya
pasien tidak perlu dirawat dan dapat langsung pulang.
ESWL ditemukan di Jerman dan dikembangkan di Perancis. Pada
Tahun 1971, Haeusler dan Kiefer memulai uji coba secara in-vitro penghancuran
batu ginjal menggunakan gelombang kejut. Tahun 1974, secara resmi pemerintah
Jerman memulai proyek penelitian dan aplikasi ESWL. Kemudian pada awal
tahun 1980, pasien pertama batu ginjal diterapi dengan ESWL di kota Munich
menggunakan mesin Dornier Lithotripter HMI. Kemudian berbagai penelitian
lanjutan dilakukan secara intensif dengan in-vivo maupun in-vitro. Barulah mulai
tahun 1983, ESWL secara resmi diterapkan di Rumah Sakit di Jerman. Di
Indonesia, sejarah ESWL dimulai tahun 1987 oleh Prof.Djoko Raharjo di Rumah
Sakit Pertamina, Jakarta. Sekarang, alat generasi terbaru Perancis ini sudah
dimiliki beberapa rumah sakit besar di Indonesia seperti Rumah Sakit Advent
Bandung dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Pembangkit (generator) gelombang kejut dalam ESWL ada tiga jenis
yaitu elektrohidrolik, piezoelektrik dan elektromagnetik. Masing-masing
generator mempunyai cara kerja yang berbeda, tapi sama-sama menggunakan air
atau gelatin sebagai medium untuk merambatkan gelombang kejut. Air dan
gelatin mempunyai sifat akustik paling mendekati sifat akustik tubuh sehingga

31
tidak akan menimbulkan rasa sakit pada saat gelombang kejut masuk tubuh.
ESWL merupakan alat pemecah batu ginjal dengan menggunakan
gelombang kejut antara 15-22 kilowatt. Meskipun hampir semua jenis dan
ukuran batu ginjal dapat dipecahkan oleh ESWL, masih harus ditinjau efektivitas
dan efisiensi dari alat ini. ESWL hanya sesuai untuk menghancurkan batu ginjal
dengan ukuran kurang dari 3 cm serta terletak di ginjal atau saluran kemih antara
ginjal dan kandung kemih (kecuali yang terhalang oleh tulang panggul). Hal laim
yang perlu diperhatikan adalah jenis batu apakah bisa dipecahkan oleh ESWL
atau tidak. Batu yang keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat) sulit pecah
dan perlu beberapa kali tindakan. ESWL tidak boleh digunakan oleh penderita
darah tinggi, kencing manis, gangguan pembekuan darah dan fungsi ginjal,
wanita hamil dan anak-anak, serta berat badan berlebih (obesitas).
Penggunaan ESWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita dan
anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan serius. Sebab ada kemungkinan
terjadi kerusakan pada ovarium. Meskipun belum ada data yang valid, untuk
wanita di bawah 40 tahun sebaiknya diinformasikan sejelas-jelasnya

c. Endourologi
Tindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan
kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang
dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan
melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses
pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai
energi hidraulik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.
Beberapa tindakan endourologi antara lain:
1. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu
yang berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat
endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu
kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi
fragmen-fragmen kecil. PNL yang berkembang sejak dekade 1980-
an secara teoritis dapat digunakan sebagai terapi semua batu ureter.
Tapi dalam prakteknya sebagian besar telah diambil alih oleh URS

32
dan ESWL. Meskipun demikian untuk batu ureter proksimal yang
besar dan melekat masih ada tempat untuk PNL. Prinsip dari PNL
adalah membuat akses ke kalik atau pielum secara perkutan.
Kemudian melalui akses tersebut kita masukkan nefroskop rigid
atau fleksibel, atau ureteroskop, untuk selanjutnya batu ureter
diambil secara utuh atau dipecah dulu.
Keuntungan dari PNL, bila batu kelihatan, hampir pasti
dapat diambil atau dihancurkan; fragmen dapat diambil semua
karena ureter bisa dilihat dengan jelas. Prosesnya berlangsung
cepat dan dengan segera dapat diketahui berhasil atau tidak.
Kelemahannya adalah PNL perlu keterampilan khusus bagi ahli
urologi. Sebagian besar pusat pendidikan lebih banyak
menekankan pada URS dan ESWL dibanding PNL.
2. Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan
memasukkan alat pemecah batu/litotriptor ke dalam buli-buli),
3. Ureteroskopi atau uretero-renoskopi. Keterbatasan URS adalah
tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu ureter yang besar,
sehingga perlu alat pemecah batu seperti yang disebutkan di atas.
Pilihan untuk menggunakan jenis pemecah batu tertentu,
tergantung pada pengalaman masing-masing operator dan
ketersediaan alat tersebut.
4. Ekstraksi Dormia (mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya
melalui alat keranjang Dormia).
Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah
mengubah secara dramatis terapi batu ureter. Kombinasi ureteroskopi
dengan pemecah batu ultrasound, EHL, laser dan pneumatik telah
sukses dalam memecah batu ureter. Juga batu ureter dapat diekstraksi
langsung dengan tuntunan URS. Dikembangkannya semirigid URS
dan fleksibel URS telah menambah cakupan penggunaan URS untuk
terapi batu ureter.
d. Bedah Terbuka

33
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang
memadai untuk tindakan-tindakan endourologi, laparoskopi, maupun
ESWL, pengambilan batu masih dilakukan melalui pembedahan
terbuka. Pembedahan terbuka itu antara lain adalah: pielolitotomi atau
nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran ginjal, dan
ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang pasien harus
menjalani tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena
ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis),
korteksnya sudah sangat tipis, atau mengalami pengkerutan akibat batu
saluran kemih yang menimbulkan obstruksi atau infeksi yang
menahun.
Beberapa variasi operasi terbuka untuk batu ureter mungkin
masih dilakukan. Tergantung pada anatomi dan posisi batu,
ureterolitotomi bisa dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau
anterior. Meskipun demikian dewasa ini operasi terbuka pada batu
ureter kurang lebih tinggal 1 -2 persen saja, terutama pada penderita-
penderita dengan kelainan anatomi atau ukuran batu ureter yang besar.
e. Pemasangan Stent
Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent
ureter terkadang memegang peranan penting sebagai tindakan
tambahan dalam penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita
sepsis yang disertai tanda-tanda obstruksi, pemakaian stent sangat
perlu. Juga pada batu ureter yang melekat (impacted).
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan
selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari
timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-
rata 7% per tahun atau kurang lebih 50% dalam 10 tahun.

K. PENCEGAHAN
Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas kandungan
unsur yang menyusun batu saluran kemih yang diperoleh dari analisis

34
batu. Pada umumnya pencegahan itu berupa :
- Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan
produksi urin 2-3 liter per hari.
- Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu.
- Aktivitas harian yang cukup.
- Pemberian medikamentosa.

Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan


adalah:
- Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine
dan menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam.
- Rendah oksalat.
- Rendah garam, karena natriuresis akan memacu timbulnya
hiperkalsiuri.
- Rendah purin.
- Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada pasien yang
menderita hiperkalsiuri tipe II.

L. KOMPLIKASI
Dibedakan komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang.
Komplikasi akut yang sangat diperhatikan oleh penderita adalah
kematian, kehilangan ginjal, kebutuhan transfusi dan tambahan
intervensi sekunder yang tidak direncanakan. Data kematian, kehilangan
ginjal dan kebutuhan transfusi pada tindakan batu ureter memiliki risiko
sangat rendah. Komplikasi akut dapat dibagi menjadi yang signifikan
dan kurang signifikan. Yang termasuk komplikasi signifikan adalah
avulsi ureter, trauma organ pencernaan, sepsis, trauma vaskuler, hidro
atau pneumotorak, emboli paru dan urinoma. Sedang yang termasuk
kurang signifikan perforasi ureter, hematom perirenal, ileus, stein
strasse, infeksi luka operasi, ISK dan migrasi stent.
Komplikasi jangka panjang adalah striktur ureter. Striktur tidak

35
hanya disebabkan oleh intervensi, tetapi juga dipicu oleh reaksi
inflamasi dari batu, terutama yang melekat. Angka kejadian striktur
kemungkinan lebih besar dari yang ditemukan karena secara klinis tidak
tampak dan sebagian besar penderita tidak dilakukan evaluasi radiografi
(IVP) pasca operasi.
Obstruksi adalah komplikasi dari batu ginjal yang dapat
menyebabkan terjadinya hidronefrosis dan kemudian berlanjut dengan
atau tanpa pionefrosis yang berakhir dengan kegagalan faal ginjal yang
terkena. Komplikasi lainnya dapat terjadi saat penanganan batu
dilakukan. Infeksi, termasuk didalamnya adalah pielonefritis dan sepsis
yang dapat terjadi melalui pembedahan terbuka maupun noninvasif
seperti ESWL. Biasanya infeksi terjadi sesaat setelah dilakukannya PNL,
atau pada beberapa saat setelah dilakukannya ESWL saat pecahan batu
lewat dan obstruksi terjadi. Cidera pada organ-organ terdekat seperti
lien, hepar, kolon dan paru serta perforasi pelvis renalis juga dapat
terjadi saat dilakukan PNL, visualisasi yang adekuat, penanganan yang
hati-hati, irigasi serta drainase yang cukup dapat menurunkan resiko
terjadinya komplikasi ini.
Pada batu ginjal nonstaghorn, komplikasi berupa kehilangan
darah, demam, dan terapi nyeri yang diperlukan selama dan sesudah
prosedur lebih sedikit dan berbeda secara bermakna pada ESWL
dibandingkan dengan PNL. Demikian pula ESWL dapat dilakukan
dengan rawat jalan atau perawatan yang lebih singkat dibandingkan
PNL.
Komplikasi akut meliputi transfusi, kematian, dan komplikasi
keseluruhan. Dari meta-analisis, kebutuhan transfusi pada PNL dan
kombinasi terapi sama (< 20%). Kebutuhan transfusi pada ESWL sangat
rendah kecuali pada hematom perirenal yang besar. Kebutuhan transfusi
pada operasi terbuka mencapai 25-50%. Mortalitas akibat tindakan
jarang, namun dapat dijumpai, khususnya pada pasien dengan
komorbiditas atau mengalami sepsis dan komplikasi akuT lainnya. Dari

36
data yang ada di pusat urologi di Indonesia, risiko kematian pada operasi terbuka
kurang dari 1%.
Komplikasi ESWL meliputi kolik renal (10,1%), demam (8,5%),
urosepsis (1,1%) dan steinstrasse (1,1%). Hematom ginjal terjadi akibat trauma
parietal dan viseral. Hasil studi pada hewan tidak menunjukkan adanya kelainan
lanjut yang berarti. Dalam evaluasi jangka pendek pada anak pasca ESWL,
dijumpai adanya perubahan fungsi tubular yang bersifat sementara yang kembali
normal setelah 15 hari. Belum ada data mengenai efek jangka panjang pasca ESWL
pada anak.
Komplikasi pasca PNL meliputi demam (46,8%) dan hematuria yang
memerlukan transfusi (21%). Konversi ke operasi terbuka pada 4,8% kasus akibat
perdarahan intraoperatif, dan 6,4% mengalami ekstravasasi urin. Pada satu kasus
dilaporkan terjadi hidrothoraks pasca PNL. Komplikasi operasi terbuka meliputi
leakage urin (9%), infeksi luka (6,1%), demam (24,1%), dan perdarahan
pascaoperasi (1,2%). Pedoman penatalaksanaan batu ginjal pada anak adalah
dengan ESWL monoterapi, PNL, atau operasi terbuka.

M. PROGNOSIS
Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak
batu, dan adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu, makin
buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat
mempermudah terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan dan adanya
infeksi karena faktor obstruksi akan dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal. 1
Pada pasien dengan batu yang ditangani dengan ESWL, 60% dinyatakan
bebas dari batu, sisanya masih memerlukan perawatan ulang karena masih ada sisa
fragmen batu dalam saluran kemihnya. Pada pasien yang ditangani dengan PNL,
80% dinyatakan bebas dari batu, namun hasil yang baik ditentukan pula oleh
pengalaman operator.1

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.
2. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5 th ed. US:
FA Davis Company; 2007.
3. Van de Graaf KM. Human anatomy. 6th ed. US: The McGraw-Hill
Companies; 2001.
4. Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi II. EGC:
Jakarta
5. http://medicastore.com/penyakit/90/Batu_Saluran_Kemih.html.
6. Purnomo, Basuki 2010. Dasar-dasar Urologi. edisi ketiga. Sagung seto:
Jakarta
7. Soeparman, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Hal. 378. Balai
Penerbit FKUI : Jakarta
8. Sjamsuhidayat. De jong, wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Hlmn 1024-1034.
EGC : Jakarta.
9. http://www.emedicine.com/med/topic1599.htm/nefrolitiasis.
10. Glenn, James F. 1991. Urologic Surgery Ed.4. Philadelphia : Lippincott-
Raven Publisher.
11. Oswari, Jonatan; Adrianto, Petrus. 1995. Buku Ajar Bedah, EGC: Jakarta
12. Rasyad, Syahriar, dkk. 1998. Radiologi Diagnostik, Ed.4, Balai Penerbit
FKUI: Jakarta.
13. Shires, Schwartz. Intisari prinsip – prinsip ilmu bedah. ed-6. EGC :
Jakarta. 588-589
14. http://www.aku.edu/akuh/health_awarness/pdf/Stones-in-the-Urinary-
Tract.pdf.

38
39

You might also like