You are on page 1of 37

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi merupakan tahapan yang sangat penting dan strategis pada tindakan
pembedahan, karena pembedahan tidak dapat dilakukan bila belum dilaksanakan
anestesi. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu
tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2)
anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh
zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian besar
operasi (70-75%) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya dengan anestesi
lokal/regional.1
Anestesi umum adalah tahapan yang sangat penting dan mempunyai risiko
jauh lebih besar dari prosedur pembedahan itu sendiri, karena anestesi yang dalam
akan mengancam nyawa pasien. Guna mencegah dua kejadian yang ekstrim tersebut,
harus dilakukan pemilihan anestetikum yang memenuhi kriteria ideal, yaitu
anestetikum yang menghasilkan sedasi, analgesi, relaksasi, ketidaksadaran, dan aman
untuk sitem vital, serta mudah diaplikasikan.2
Anestesi umum yang dinyatakan cukup aman dan sering digunakan untuk
anjing adalah anestesi inhalasi, tetapi anestesi inhalasi memerlukan perangkat yang
rumit, mahal, dan tidak praktis untuk menangani kasus pembedahan di lapangan.
Anestesi inhalasi tidak dapat digunakan untuk penanganan presedur bronkoskopi dan
laringoskopi, serta menyebabkan polusi terhadap individu yang berada di ruangan
operasi. Anestesi inhalasi, seperti gas nitrogen oksida dan anestesi yang diuapkan
dengan halogen mengakibatkan pencemaran lingkungan dan penipisan lapisan ozon.2
Mengatasi kelemahan anestesi inhalasi dan untuk mengatasi permasalahan
penggunaaan anestesi di lapangan, digunakan metode anestesi intravena total (total
intraveous anesthesia, TIVA). Anestesi intravena total menggunakan anestetika
secara intravena (IV) untuk induksi dan pemeliharaan anestesi. Penggunaan mesin
pompa infusi dengan komputer pada metode TIVA menghasilkan jumlah infusi yang

1
stabil dan akurat. Metode TIVA mirip dengan penggunaan alat penguap (vaporizer)
pada anestesi inhalasi sehingga anestesi menjadi lebih stabil.2
Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot.
Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat – obat ini akan diedarkan ke
seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target organ
masing-masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan farmakodinamiknya
masing-masing.2
Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas
keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal.
Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek samping yang sangat minimal.
Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa efek
samping, bila diberikan secara tunggal.2
Pemilihan teknik anestesi merupakan hal yang sangat penting, membutuhkan
pertimbangan yang sangat matang dari pasien dan faktor pembedahan yang akan
dilaksanakan, pada populasi umum walaupun regional anestesi dikatakan lebih aman
daripada general anestesi, tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa teknik yang
satu lebih baik dari yang lain, sehingga penentuan teknik anestesi menjadi sangat
penting.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Abortus Incomplete
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil yang dilaporkan dapat
hidup di luar kandungan mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir. Akan
tetapi karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500
gram dapat bertahan hidup, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran
kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu.
Abortus yang berlangsung tanpa tindakan mekanis atau medis disebut sebagai
abortus spontan. Abortus buatan adalah pengakhiran kehamilan sebelum 20
minggu akibat dilakukan suatu tindakan mekanis tertentu. Abortus terapeutik ialah
abortus buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Berdasarkan aspek klinisnya,
abortus spontan dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu abortus imminens
(threatened abortion), abortus insipiens (inevitable abortion), abortus inkomplit,
abortus komplit, missed abortion, dan abortus habitualis (recurrent abortion),
abortus servikalis, abortus infeksiosus, dan abortus septik.3,4
Prevalensi abortus meningkat dengan bertambahnya usia, dimana pada wanita
berusia 20 tahun adalah 12%, dan pada wanita yang berusia di atas 45 tahun ialah
50%.6 Delapan puluh persen abortus terjadi pada 12 minggu pertama kehamilan.2
Penelitian-penelitian terdahulu menyebutkan bahwa angka kejadian abortus sangat
tinggi. Sebuah penelitian pada tahun 1993 memperkirakan total kejadian abortus di
Indonesia berkisar antara 750.000 dan dapat mencapai 1 juta per tahun dengan
rasio 18 abortus per 100 konsepsi. Angka tersebut mencakup abortus spontan
maupun buatan. 4,5,6
Abortus inkomplit merupakan salah satu bentuk dari abortus spontan maupun
sebagai komplikasi dari abortus provokatus kriminalis atau medisinalis, dimana
terjadi pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu.
Insiden abortus inkomplit sendiri belum diketahui secara pasti namun yang penting

3
diketahui adalah sekitar 60 % dari wanita hamil yang mengalami abortus
inkomplit memerlukan perawatan rumah sakit akibat perdarahan yang terjadi.4,5,6
Abortus inkomplit memiliki komplikasi yang dapat mengancam keselamatan
ibu karena adanya perdarahan masif yang bisa menimbulkan kematian akibat
adanya syok hipovolemik apabila keadaan ini tidak mendapatkan penanganan
yang cepat dan tepat. Seorang ibu hamil yang mengalami abortus inkomplit dapat
mengalami guncangan psikis. Komplikasi yang terjadi tidak hanya pada ibu
namun juga pada keluarganya, terutama pada keluarga yang sangat menginginkan
anak.4,5,6
Kuretase merupakan cara untuk mengeluarkan sisa-sisa jaringan abortus dengan
cepat dalam waktu 5–15 menit, meskipun pada beberapa kasus memerlukan waktu
yang lebih lama. Umumnya kondisi pasien memenuhi syarat sebagai pasien rawat
jalan, yaitu pasien dalam keadaan sehat, waktu tindakan singkat, tidak
memerlukan pelemas otot, tidak menimbulkan perubahan fisiologis tubuh, serta
kemungkinan perdarahan dan komplikasi pascabedah yang minimal.7,8 Untuk
melakukan kuretase dengan baik diperlukan tindakan anestesia. Tindakan
anestesia tersebut memerlukan obat-obatan anestesi yang memiliki efek sedasi dan
analgesi yang cukup kuat, mula kerja cepat, masa kerja singkat, waktu pulih cepat,
dapat menurunkan kesadaran dengan cepat dan juga aman, tidak menyebabkan
perubahan kardiovaskular dan pernapasan, memiliki efek amnesia, dan juga tidak
menimbulkan efek samping.8,9
Prosedur sedasi adalah teknik pemberian sedatif ataupun obat disosiatif dengan
atau tanpa pemberian analgetik untuk mencapai keadaan yang memungkinkan
pasien dapat menerima prosedur yang tidak menyenangkan, dengan tetap menjaga
fungsi kardiovaskular dan juga respirasi. Prosedur sedasi bertujuan menurunkan
kesadaran dengan tetap menjaga kemampuan pasien untuk mempertahankan
oksigenasi serta mengendalikan jalan napas sendiri. Selain itu, sedasi dapat
memberikan efek analgesia, amnesia, dan juga mengurangi kecemasan selama
prosedur.10

4
B. Total Intravenous Anesthesia
1. Definisi Total intravenous anesthesia
Total intravenous anesthesia (TIVA) adalah teknik anestesi umum dengan
hanya menggunakan obat-obat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena
tanpa penggunaan anestesi inhalasi. Indikasi dilakukan TIVA adalah obat
induksi anesthesia umum, obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat,
tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat, obat tambahan anestesi
regional, dan menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP
sedasi). 11
TIVA digunakan buat mencapai 4 komponen penting dalam anestesi yang
menurut Woodbridge (1957) yaitu blok mental, refleks, sensoris dan motorik.
Atau trias A (3 A) dalam anestesi yaitu
 Amnesia
 Arefleksia otonomik
 Analgesik
 +/- relaksasi otot
Jika keempat komponen tadi perlu dipenuhi, maka kita membutuhkan
kombinasi dari obat-obatan intravena yang dapat melengkapi keempat
komponen tersebut. Kebanyakan obat anestesi intravena hanya memenuhi 1
atau 2 komponen di atas kecuali Ketamin yang mempunyai efek 3 A
menjadikan Ketamin sebagai agen anestesi intravena yang paling lengkap. 11

2. Kelebihan dan kekurangan TIVA


TIVA memiliki beberapa keuntungan dibandingkan tenik anestesi umum
lainnya yaitu;
a. Onset yang diperlukan untuk induksi sangat cepat
b. Masa penyembuhan lebih cepat
c. Tidak menyebabkan polusi lingkungan
d. Mengurangi insidensi mual dan muntah posoperasi
e. Metode terpilih pada pasien yang memiliki resiko hipertermi malignansi

5
f. Metode terpilih pada pasien dengan myopati congenital.11
Kekurangan TIVA diantaranya:
a. Nyeri selama injeksi propofol
Rasa sakit karena injeksi terjadi pada sebagian besar pasien ketika propofol
diinjeksikan ke dalam vena tangan yang kecil. Ketidaknyamanan ini dapat
dikurangi dengan memilih vena yang lebih besar atau dengan pemberian 1%
lidokain (menggunakan lokasi injeksi yang sama seperti propofol) atau
opioid kerja jangka pendek
b. Variabilitas farmakokinetik dan farmakodinamik interindividual lebih besar
c. Sulit untuk memperkirakan konsentrasi propofol di darah
d. Sulit untuk memantau administrasi terus menerus agen intravena ke pasien
e. Sindroma infuse propofol
Sindroma infus propofol adalah kejadian yang jarang terjadi dan merupakan
suatu keadaan yang kritis pada pasien dengan penggunaan propofol yang
lama (lebih dari 48 jam) dan dosis yang tinggi (lebih dari 5 mg/kgBB/jam).
Biasanya terjadi pada pasien yang mendapat sedasi di unit perawatan
intensif. Sindroma ini ditandai dengan terjadinya kegagalan jantung,
rabdomiolisis, asidosis metabolik dan gagal ginjal. Penanganannya adalah
oksigenasi yang adekuat, stabilisasi heodinamik, pemberian dekstrosa,dan
hemodialisa. 11

3. Obat-obatan Anestesia Intravena


Ada 3 cara pemberian anesthesia intra vena :
a. Sebagai obat tunggal/suntikan intravena tunggal (sekali suntik )
Untuk induksi anestesi atau pada operasi-operasi singkat hanya obat ini saja
yang dipakai
b. Suntikan berulang.
Untuk prosedur yang tidak memerlukan anesthesia inhalasi : dengan dosis
ulangan lebih kecil dari dosis permulaan sesuai kebutuhan
c. Lewat infuse ( diteteskan)

6
Untuk menambah daya anestesi inhalasi. Dari bermacam-macam obat
anesthesia intravena, hanya beberapa saja yang sering digunakan yakni
golongan barbiturate, ketamin dan diazepam.

Kelompok obat anestesi intravena dapat dibagi menjadi kelompok : Opiod


(dikenal sebagai narkotik), dan non-opiod.11
a. Opiod
Obat anestesi golongan opioid atau dikenal sebagai narkotik. Biasanya
digunakan sebagai analgesia atau penghilang nyeri. Kelompok obat ini
dalam dosis yang tinggi dapat mengurangi kecemasan dan menyebabkan
penurunan kesadaran. 11
Efek yang dihasilkan dari pemakaian obat golongan opioid adalah analgesia,
sedasi,dan depresi respirasi. Efek ini juga berhubungan erat dengan besarnya
dosis, yang berarti semakin banyak konsentrasi obat yang diberikan, semakin
besar pula efek yang didapatkan. Namun dosis harus tetap dibatasi sesuai
kebutuhan untuk tetap menjaga pasien tidak mengalami efek yang
berlebihan. 11
Keuntungan dari pemakaian obat golongan opioid dalam anestesi adalah
obat golongan opioid tidak secara langsung memberikan efek depresi pada

7
fungsi jantung. Dengan demikian, obat golongan opioid sangat berguna
untuk anestesi pada pasien dengan kelainan jantung.11
Efek samping dari obat golongan opioid adalah mual dan muntah, kekakuan
dinding dada, seizure dan supresi dari motilitas gastrointestinal. Pada
pasiendengan hipovolemia, narkotik dapat memberikan manfaat dengan
menimbulkan efek vasodilatasi (pada penggunaan morfin). Narkotik juga
dapat menyebabkan bradikardi melalui stimulasi vagal secara langsung. Pada
pasien yang normal, bradikardi ini tidak berefek menurunkan tekanan darah
karena terjadi peningkatanstroke volume dari jantung. Contoh dari kelompok
obat ini adalah morfin, meperidine (demerol), fentanyl, sufentanil, alfentanil
dan remifentanil. Kesemuanya ini berbeda dalam potensi, durasi kerja. 11
Efek dari opioid dapat dilawan dengan menggunakan opioid antagonis,
yang bersaing pada reseptor yang sama dan memblok menggunakan efek
yang dihasilkannya. Contoh Naloxone (Narcan).11
b. Non Opioid
Agen kelompok ini dapat dibagi menjadi barbiturat, benzodiazepine dan obat
lainnya seperti etomidate, ketamine, dan propofol.
1) Barbiturat (Pentothal/Thiopental Sodium)
Berupa bubuk berwarna putih kekuningan, bersifat higroskopos, rasanya
pahit, berbau seperti bawang putih. Thiopental dikemas dalam ampul 500
mg atau 1000mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuabides sampai
kepekatan 2,5 % (1ml = 25 mg).12
Thiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-
7mg/KgBB dan disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Larutan ini sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar
vena akan menimbulkan nyeri hebat apalagi masuk ke arteri dan
menyebabkan vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Kalau hal ini
terjadi dianjurkan memberikan suntikan infiltrasi lidokain.12

Efek pada Sistem Organ

8
 Kardiovaskuler
Efek yang segera timbul setelah pemberian thiopental adalah
penurunan tekanan darah yang sangat tergantung dari konsentrasi obat
dalam plasma dan peningkatan denyut jantung. Depresi pusat
vasomotor medular menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer
yang meningkatkan jumlah darah di perifer dan penurunan venous
return ke atrium kanan. Takikardi mungkin disebabkan karena
kompensasi turunnya tekanan darah. 13
 Respirasi
Depresi terhadap pusat ventilasi di medula menurunkan respon
ventilasi sehingga terjadi hiperkapnia dan hipoksia. Sedasi dari
barbiturat dapat menyebabkan obstruksi saluran napas bagian atas.
Bronkospasme dapat terjadi pada pasien yang diinduksi dengan
thiopental mungkin akibat stimulasi dari saraf kolinergik (yang dapat
dicegah dengan pemberian atropin), pelepasan histamin, atau efek
langsung terhadap stimulasi otot polos. 13
 Otak
Barbiturat menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah di otak,
menyebabkan penurunan aliran darah otak (CBF) dan tekanan
intrakranial. Perubahan dari aktivitas otak dan kebutuhan oksigen
dapat terlihat pada perubahan dari EEG. Barbiturat tidak mnyebabkan
relaksasi dari otot. Dosis kecil dari thiopental (50-100 mg intravena)
dengan cepat dapat mengontrol kejang tipe grand mall. 13
 Ginjal
Barbiturat mengurangi aliran darah ginjal dan filtrasi dari glomerulus
sebagai akibat dari penurunan tekanan darah.13
 Imunologis
Reaksi alegi anafilaktik jarang terjadi. Thiobarbiturat yang
mengandung sulfur mencetuskan pelepasan histamin in vitro
sedangkan oxybarbiturat tidak. Sehingga methohexital lebih sering

9
digunakan pada pasien asmaatau atopik daripada thiopental atau
thiamylal.13
Interaksi Obat
Media kontras, sulfonamid dan obat lain yang menempati tempat ikatan
protein yang sama seperti thiopental akan meningkatkan jumlah obat
bebas dan meningkatkan efek terhadap sistem organ. Etanol, opioid,
antihistamin, dan depresan sistem saraf pusat lainnya meningkatkan efek
sedasi barbiturat. 13,14
Induksi pada Anestesia Umum
Thiopental dapat diinjeksi intravena untuk menginduksi anestesi umum
dan juga dapat digunakan untuk pemeliharaan keadaan tidak sadar karena
efek komponen hipnotik. Saat disuntikan intravena, obat yang larut lemak
ini akan mencapai efek maksimum ± 1 menit. Karena barbiturat secara
cepat diredistribusi dari otak ke jaringan tubuh non lemak, durasi efek
untuk induksi tunggal adalah sekitar 5-8menit. Dosis induksi thiopental
adalah 2,5-4,5 mg/kg, untuk anak 5-6 mg/kg, dan7-8 mg/kg untuk bayi.
Selama keadaan tidak sadar, barbiturat dapat menyebabkan gerakan
eksitasi otot ringan seperti hipertonus, tremor, twitching dan batuk.
Walaupun efek eksitasi tidak begitu mengganggu, pemberian atropin atau
opiod sebelumnya mengurangi efek eksitasi, sebaliknya premedikasi
dengan fenotiazin ataus kopolamin meningkatkan efek eksitasi.13,14
Thiopental dan barbiturat lain bukan anestesia intravena yang ideal,
karena secara primer hanya menimbulkan hipnosis. Intravena anestesi
yang ideal menimbulkan hipnosis, amnesia dan analgesik.14
2) Benzodiazepin
Midazolam (0,15 – 0,3 mg/kg intravena) dan diazepam (0,3 – 0,5 mg/kg)
bisanya digunakan untuk induksi dalam anestesi umum.14

Efek pada Sistem Organ


 Kardiovaskuler

10
Efek depresan kardiovaskuler benzodiazepin minimal walaupun pada
dosis induksi. Tekanan darah arterial, cardiac output dan tahanan
vaskuler perifer turun secara pelan, kadang denyut jantung meningkat.
Midazolam cenderung lebih menurunkan tekanan darah dan tahanan
vaskuler perifer daripada diazepam.13
 Respirasi
Benzodiazepin menekan respon ventilatori terhadap CO2. Hal ini
biasanya tidak berarti kecuali obat diberikan secara intravena atau
adanya depresan respiratori lain. Apnea lebih jarang terjadi daripada
setelah induksi barbiturat. Ventilasi harus dimonitoring pada semua
pasien yang mendapatkan medikasi benzodiazepin secara intravena,
dan alat resusitasi harus tersedia.13
 Otak
Benzodiazepin menurunkan Cerebral Metabolic Rate untuk konsumsi
O2 (CMRO2), Cerebral Blood Flow (CBF) dan tekanan intrakranial.1
Dosis sedatif oral sering menimbulkan amnesia antegrade yang
berguna untuk premedikasi. Efek muscle-relaxant obat ini akibat efek
di medula spinalis dan bukan neuromuscular junction. Anticemas,
amnesik dan efek sedasi terlihat pada dosis rendah dan meningkat
menjadi stupor dan tidak sadar pada dosis induksi. Benzodiazepin
tidak memiliki efek analgesia.13
Antagonis Benzodiazepine
Efek sedasi benzodiazepine dapat dilawan dengan aminofilin, obat yang
biasa dipakai sebagai bronkodilator penderita asthma bronchiale. Dosis 1-
2 mg/KgBB aminofilin cukup efektif untuk menghilangkan efek sedasi
dari midazolam. Dosis ini masih dibawah dosis awal untuk pengobatan
asthma bronkiale berat (5mg/kgBB) dan jauh dibawah dosis toksis. Efek
toksis aminofilin terjadi bila kadar di dalam darah mencapai 20mg/L.
apabila dosis toksis dilampaui, maka dapat menyebabkan kematian.13

11
Tabel 1. Dosis dan Penggunaan Benzodiazepine13
3) Propofol
Merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso profil fenol yang
banyak dipakai sebagai obat anestesia intravena. Pertama kali digunakan
dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Bentuk
fisik berupa cairan berwarna putih seperti susu, sangat larut dalam lemak
dan bersifat asam. Dikemas dalam bentuk ampul, berisi 20 ml/ampul (1ml
= 10 mg).11
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Gejala
mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi
menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga
pemberiannya harus hati–hati pada pasien dengan gangguan metabolisme
lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis.14
Preparat propofol dapat ditumbuhi oleh bakteri, oleh karena itu
diperlukan teknik yang steril dalam menggunakan propofol. Preparat
propofol juga ditambahi dengan 0,005% disodium edelate atau 0,025
sodium metabisulfite untuk membantu menekan tingkat pertumbuhan
bakteri.13

Mekanisme Kerja

12
Propofol adalah modulator selektif dari reseptor gamma amino butiric
acid (GABAA) dan tidak terlihat memodulasi saluran ion ligand lainnya
pada konsentrasi yang relevan secara klinis. Propofol memberikan efek
sedatif hipnotik melalui interaksi reseptor GABAA. GABA adalah
neurotransmitter penghambat utama dalam susunan saraf pusat. Ketika
reseptor GABAA diaktifkan, maka konduksi klorida transmembran akan
meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi membran sel postsinap dan
hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi propofol dengan
komponen spesifik reseptor GABA terlihat mampu meningkatkan laju
disosiasi dari penghambat neurotransmiter, dan juga mampu
meningkatkan lama waktu dari pembukaan klorida yang diaktifkan oleh
GABA dengan menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel. 13
Farmakokinetik
Pemberian propofol 1.5 – 2.5 mg/kg IV (setara dengan tiopental 4-5
mg/kg IV atau metoheksital 1.5 mg/kg IV) sebagai injeksi IV (<15
detik), mengakibatkan ketidaksadaran dalam 30 detik. Sifat kelarutannya
yang tinggi di dalam lemak menyebabkan mulai masa kerjanya sama
cepatnya dengan tiopental ( satu siklus sirkulasi dari lengan ke otak)
konsentrasi puncak di otak diperoleh dalam 30 detik dan efek maksimum
diperoleh dalam 1 menit. Pulih sadar dari dosis tunggal juga cepat
disebabkan waktu paruh distribusinya (2-8) menit. Lebih cepat bangun
atau sadar penuh setelah induksi anestesia dibanding semua obat lain
yang digunakan untuk induksi anestesi IV yang cepat. Pengembalian
kesadaran yang lebih cepat dengan residu minimal dari sistem saraf pusat
(CNS) adalah salah satu keuntungan yang penting dari propofol
dibandingkan dengan obat alternatif lain yang diberikan untuk tujuan
yang sama. 13
Rasa sakit karena injeksi terjadi pada sebagian besar pasien ketika
propofol diinjeksikan ke dalam vena tangan yang kecil. Ketidaknyamanan
ini dapat dikurangi dengan memilih vena yang lebih besar atau dengan

13
pemberian 1% lidokain (menggunakan lokasi injeksi yang sama seperti
propofol) atau opioid kerja jangka pendek. 13
Klirens propofol dari plasma melebihi aliran darah hepatik, menegaskan
bahwa ambilan jaringan (mungkin ke dalam paru), sama baiknya dengan
metabolisme oksidatif hepatik oleh sitokrom P-450, dan ini penting dalam
mengeluarkan obat ini dari plasma. Dalam hal ini, metabolisme propofol
pada manusia dianggap bersifat hepatik dan ekstrahepatik. Metabolisme
hepatik cepat dan luas, menghasilkan sulfat yang tidak aktif dan larut
dalam air serta metabolit asam glukuronik yang diekskresikan oleh ginjal.
Propofol juga menjalani hidroksilasi cincin oleh sitokrom P-450
membentuk 4-hidroksipropofol yang kemudian di glukuronidasi atau
sulfat. Meskipun glukuronida dan konjugasi sulfat dari propofol terlihat
tidak aktif secara farmakologi, 4-hidroksipropofol memiliki sepertiga
aktivitas hipnotik dari propofol. Kurang dari 0.3% dari dosis yang
diekskresikan tidak berubah dalam urine. 13
Induksi anestesi
Dosis induksi dari propofol pada orang yang sehat adalah 1.5 hingga 2.5
mg/kgBB IV, dengan kadar darah 2-6 µg/ml yang menghasilkan
ketidaksadaran tergantung pada pengobatan dan pada usia pasien. Onset
hipnosis propofol sangat cepat (one arm-brain circulation) dengan durasi
hipnosis 5-10 menit. Seperti halnya dengan barbiturat, anak
membutuhkan dosis induksi dari propofol yang lebih tinggi per kilogram
badan, kemungkinan berhubungan dengan volume distribusi sentral lebih
besar dan juga angka bersihan yang tinggi. Pasien lansia membutuhkan
dosis induksi yang rendah (25% hingga 50% terjadi penurunan) akibat
penurunan volume distribusi sentral dan juga penurunan laju bersihan.
Pasien sadar biasanya terjadi pada konsentrasi propofol plasma 1,0 hingga
1,5 µg/ml. 13
Rumatan anestesi

14
Dosis khusus dari propofol untuk pemeliharan anestesia adalah 100-300
µg/kgBB/menit IV, seringkali dikombinasikan dengan opioid kerja jangka
pendek. Anestesia umum menggunakan propofol mempunyai efek mual
dan muntah paska operasi yang minimal dan kesadaran yang lebih cepat
dengan efek residual yang minimal. 13
Farmakodinamik
 Kardiovaskuler
Efek yang utama adalah menurunkan tekanan darah arteri selama
induksi anestesi. Penurunan tekanan arteri diikuti oleh penurunan COP
hingga 15%, stroke volume 25 %, tahanan sistemik vaskuler sekitar
15-25 %. Vasodilatasi muncul karena penurunan aktivitas simpatis,
dan efek langsung pada mobilisasi Ca intrasel otot polos. Denyut
jantung tidak ada perubahan yang berarti karena propofol juga
menghambat barorefleks, menurunkan respon takikardi terhadap
hipotensi, terutama kondisinormokarbi atau hipokarbi.13
 Respirasi
Seperti barbiturat, propofol mengakibatkan depresan respiratori yang
menyebabkan apnea. Walaupun dengan dosis subanestetik, infus
propofol mencegah arus ventilatori hipoksik dan menekan respon
normal terhadap hiperkarbi.13
Walaupun propofol dapat menyebabkan pelepasan histamin, induksi
dengan propofol pada pasien dengan wheezing pada pasian asma atau
non-asma dibandingkan barbiturat tidak merupakan kontraindikasi.13
 Otak
Propofol menurunkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Pada psien dengan peningkatan tekanan intrakranial, propofol dapat
menyebabkan reduksi CPP (<50 mmHg). Propofol dan tiophental
dapat memproteksi otak selama terjadi iskemia fokal. Uniknya
propofol mempunyai efek antipruritik. Propofol juga menurunkan
tekanan intraokuler.13

15
Tabel 2. Dosis dan penggunaan propofol13
4) Ketamin
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil siklohksilamin, merupakan
rapid acting non barbiturat general anasthetic yang populer disebut
ketalar yang pertama kali digunakan pada tahun 1965. Bentuk fisik
berupa larutan tidak berwarna, bersifat agak asam dan sensitif terhadap
cahaya dan udara, oleh karena itu disimpan dalam botol (vial) berwarna
coklat. 13
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anasthesi dapat menimbulkan muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk. 13
Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris
dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering
disebut dengan emergence phenomena.13
Efek pada Sistem Organ
 Sistem saraf pusat
13
Ketamin menghasilkan keadaan tidak sadar dan analgesik.
Efek analgesinya sangat kuat, akan tetapi efek hipnotiknya kurang dan
disertai dengan efek disosiasi, artinya pasien mengalami perubahan

16
persepsi terhadap rangsang dan lingkungannya. Pada dosis lebih besar,
efek hipnotiknya lebih sempurna. Karena ketamin mempunyai berat
molekul yang rendah dan relatif larut dalam lemak tinggi, dapat
menyebrang ke sawar darah otak dengan cepat sehingga mempunyai
onset 30 detik. Efek maksimal muncul dalam 1 menit. Sering terjadi
lakrimasi dan salivasi. 13
Pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai
tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan, pupil
berdilatasi sedang dan timbul nistagmus. Pasien dengan anestesia
ketamin masih ada refleks seperti kornea, batuk dan menelan. 13
Durasi anestesi ketamin pada dosis anestesi umum (2 mg/kg intravena)
adalah 10-15 menit dan orientasi penuh kembali dalam 15-30 menit.
Ketamin meningkatkan metabolisme serebral, CBF dan tekanan
intrakranial. Adanya peningkatan CBF dan juga peningkatan respon
simpatis menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial. 13
 Pada mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka secara
spontan. Terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan
aliran darah pada pleksus khoroidalis. 13
 Pada kardiovaskuler
Berlawanan dengan obat anestetik lainnya, ketamin adalah obat
anestesia yang bersifat simpatomimetik, stimulasi sentral di sistem
saraf simpatis, dan inhibisi ambilan kembali norepinefrin sehingga bisa
meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung (efek inotropik positif
dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer). 13
Menyertai kondisi ini yaitu peningkatan tekanan arteri pulmonari dan
kerja miokardial. Karena alasan ini, ketamin harus dihindari pada
pasien dengan penyakit arteri koroner, hipertensi tak terkontrol dan
aneurisma arterial. 13

17
 Pada respirasi
Mempunyai efek minimal terhadap pusat nafas, biasanya dosis tinggi
dapat menyebabkan apnea tapi jarang terjadi. Ketamin adalah suatu
relaxan otot bronkus. Efek ini mungkin disebabkan oleh respon
simpatomimetik dari ketamin, namun ada beberapa penelitian yang
menyatakan bahwa ketamin adalah antagonis langsung terhadap efek
spasmogenik dari karbakol dan histamin.11,14 Ketamin
merupakan bronkodilator yang poten dan baik untuk pasien asma. Arus
ventilatori sedikit terpengaruh oleh dosis induksi ketamin
yang berbeda. 13
 Pada otot
Tonus otot bergaris meningkat bahkan bisa terjadi rigiditas sampai
kejang-kejang. Keadaan ini bisa dikurangi dengan pemberian
diazepam terlebih dahulu. Kontraksi spontan otot kelopak mata
menyebabkan mata terbuka spontan dan kontraksi ritmis otot bola
mata menyebabkan timbulnya nistagmus. Juga terjadi peningkatan
tonus otot uterus yang sesuai dengan dosis yang diberikan. 13
Interaksi Obat
Kombinasi theofilin dengan ketamin dapat menyebabkan pasien
kejang. Propanolol, penoksibenzamin dan antagonis simpatis
menghilangkan efek langsung depresan miokardial ketamin. Ketamin
mengakibatkan depresi miokardial jika diberikan pada pasien yang
dianestesi dengan halotan. 13
Dosis dan Penggunaan Ketamin
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular
apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak – anak.
Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara I.V atau I.M.
Dosis induksi adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 3 – 5 mg/KgBB
I.M, untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus
dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Untuk pemeliharaan

18
dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu. Pemberian secara
intermitten diulang setiap 10 – 15 menit dengan dosis setengah dari dosis
awal sampai operasi selesai. 13

Tabel 3. Dosis dan penggunaan ketamin13

5) Etomidat
Etomidat (Amidat) merupakan obat induksi intravena yang bekerja cepat
dengan efek gangguan hemodinamik yang minimal beserta efek depresi
pernafasan yang sedikit. Selain efek hemodinamik yang stabil dan kurang
mendepresi pernafasan obat ini juga bahkan memproteksi fungsi serebral
serta lebih aman dibandingkan dengan tiopenton. Etomidat bersifat tidak
stabil dan tidak larut dalam air maka dengan itu etomidat biasanya
tersedia 2 mg/ml dalam propylene glycol (35% dalam vol) dengan pH
6,9 dan osmomalitas s4,640 mOsm/l. 13
Efek pada Sistem Organ
 Sistem saraf pusat
Bersifat hipnotik dengan dosis 0,2-0,3 mg/kgIV dengan onset 5-15
menit. Efek hipnotik kemungkinan berasal dari efek sistem GABA-
Adrenergik. Etomidat tidak mempunyai efek analgesik sama sekali.
Etomidat menurunkan tekanan intracranial dan aliran darah serebral.
Selain itu dapat menurunkan kadar metabolit oksigen pada otak
(CMRO2). Tekanan mean arteri (MAP) tidak banyak berubah jadi
perfusi serebral akan meningkat dan ratio oksigen suplai pada serebral:
demand turut meningkat. Etomidat memberikan gambaran EEG yang
mirip dengan barbiturate. Obat ini juga bisa menyebabkan gerakan
mioklonik. 13

19
 Sistem Kardiovaskuler
Etomidat mempunyai efek yang minimal pada sistem kardiovaskular.
Hanya 10% efek dari etomidat yang meningkatkan nadi. Induksi
etomidat dengan dosis 0.3 mg/kg hanya menyebabkan perubahan yang
minimal (<10%) pada MAP (Mean arterial pressure), Stroke volume
(SV) dan CVP (central venous pressure). Suplai O2 miokard: demand
tetap stabil. 13
 Sistem pernafasan
Depresi pada respon CO2 lebih sedikit berbanding barbiturat. Bolus
induksi dapat menyebabkan hiperventilasi pada permulaan pemberian,
bisa juga terjadi apnoe pada awal pemberian, sedikit peningkatan pada
PaCO2, bisa timbul hiccup dan kadang-kadang menyebabkan batuk.
Tidak ada pelepasan histamin. 13
Efek samping
Menyebabkan nyeri pada tempat injeksi, dapat menyebabkan gerakan
mioklonik dan dapat dikurangi dengan premedikasi benzodiazepine atau
obat narkotika lainnya. Bisa menyebabkan mual dan muntah tapi jarang.
Setelah pemberian etomidat dapat terjadi hiccup. Bisa juga menyebabkan
trombophlebitis kebanyakannya pada pemberian sediaan dalam propylene
glycol. 13
.

20
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Kasmawati Said
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 38 tahun
Berat Badan : 45 kg
Agama : Islam
Alamat : Majannang
No. RM : 50 81 35
Diagnosis : PH1 + Abortus Imminens

B. ANAMNESIS
 Keluhan utama : Keluar darah dari jalan lahir
 Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dari IGD Maternal RSUD Syekh Yusuf mengeluh adanya
perdarahan dari jalan lahir sejak 2 hari yang lalu. Darah berwarna merah
segar, jaringan (-) HPHT: 06/05/18, dengan G1P0A0. Nyeri perut (+)
kadang-kadang, riwayat KB suntik (-), riwayat penyakit lain (-)
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat Analsik dan
tidak alergi terhadap makanan. Pasien juga tidak memiliki penyakit
hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit
gastritis, dan juga riwayat batuk yang lama.
 Riwayat Penayakit Keluarga
Pasien mengatakan bahwa dikeluarga tidak memiliki riwayat penyakit
kencing manis dan penyakit darah tinggi. Pasien juga mangaku tidak
punya gigi palsu dan tidak ada gigi yang goyang. Pasien tidak memiliki
riwayat operasi sebelumnya.

21
 Riwayat Kebiasaan Pasien
Pasien juga tidak memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol,
mengkonsumsi obat-obatan.
Sebelum operasi pasien sudah menjalani puasa selama 12 jam. Selama itu
selang infus telah terpasang pada tangan kanan pasien.

C. PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos Mentis
 Berat badan : 45 kg
 Tanda tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mmhg
Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36,8 C
Pernafasan : 20 x/menit
 Status Generalis
B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), potrusi mandibular (-),
buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 6 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm, leher
pendek (-), gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi
pernapasan : 20 kali/menit, suara pernapasan : bronkovesikular (+/+), suara
pernapasan tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-), skor Mallampati : 1, massa
(-), gigi ompong (-), gigi palsu (-).
B2 (Blood) :
Akral hangat pada ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+),
tekanan darah : 120/70 mmHg, denyut nadi : 82 kali/menit, reguler, kuat
angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular
B3 (Brain) :
Kesadaran : Composmentis, Pupil : isokor Ø 2,5 mm/2,5 mm, defisit
neurologi (-).

22
B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 3-4 kali sehari berwarna
kekuningan.
B5 (Bowel) :
Abdomen : tampak cembung, stria gravidarum (+), peristaltik (+) kesan
normal, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).
B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium

Pemeriksaan Nilai normal


Hematologi
Hemoglobin 13.5 11,5-16 g/dL
Leukosit 11,8 4.0-10.0 103/mm3
Hematokrit 37,8 37-47%
Eritrosit 4.54 3.80-5.80x106/
Trombosit 327000 150000-500000/L
CT/BT 8’20’’/2’10’’

Kimia Klinik
SGOT - < 31 U/L
SGPT - < 32 U/L
Ureum - 10-50 mg/dL
Creatinin - 0,60-0,90 mg/dL
GDS - ≤ 200 mg/dL

23
Seroimmunologi
HbsAg Negatif Negatif

2. USG Ginekologi
Kesan : Abortus inkomplit dd/stobl cell
Kista simple adnexa kanan

E. DIAGNOSA KERJA
G1P0A0 38 tahun dengan usia kehamilan 9 minggu 1 hari dengan abortus
incomplete pro kuretase

F. KESAN ANESTESI
Perempuan 38 tahun menderita PH1 + Abortus Incomplete dengan ASA PS II

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm
b. Informed Consent Operasi
c. Konsul ke Bagian Anestesi
d. Informed Conset Pembiusan

H. KESIMPULAN
ACC ASA PS II

I. LAPORAN ANESTESI
1. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka dapat disimpulkan:
Diagnosa perioperatif : Abortus incomplete
Status operatif : ASA II
Jenis operasi : Kuretase
Jenis anestesi : TIVA

24
Diagnosa postoperative : Abortus incomplete
2. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus RL 500 cc/8 jam
3. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan : Kuretase
b. Jenis Anestesi : TIVA
c. Premedikasi : Midazolam 3 mg
Fentanyl 100 mcg
d. Induksi : Propofol 80 mg
e. Medikasi tambahan :-
f. Maintanance : O2 2L/menit
g. Respirasi : Spontan
h. Posisi : litotomi

4. Monitoring Tindakan Operasi


Tabel 1. Monitoring Tindakan Operasi
Tekanan Nadi Saturasi
Tindakan
Jam Darah (x/menit) O2 (%)
(mmHg)
11.50  Pasien masuk ke kamar operasi, dan 110/80 80 100
dipindahkan ke meja operasi
 Pemasangan monitoring tekanan darah,
nadi, saturasi O2
 Infus RL terpasang pada tangan kanan
 Pemberian premedikasi: Midazolam 4 mg
iv bolus dan Fentanil 30 mcg iv bolus
12.00  Obat induksi dimasukkan secara iv: 100/80 84 100
o Propofol 40 mg
Dalam beberapa saat pasien teranestesi

25
penuh
o O2 : 2L/menit
12.05  Operasi dimulai 100/76 85 99
12.15  Pospargin 100/60 78 100
12.20  Operasi selesai 100/60 78 100
 Gas O2 distop
 Pelepasan alat monitoring
 Pasien dibangunkan
12.25  Pasien dipindahkan ke ruang Recovery 100/70 82 99
room
 Dilakukan pemasangan alat monitoring

Intra Operatif (18 Juli 2018)


a. Lama Operasi : 20 menit (12:00 – 12:20 )
b. Lama Anestesi : 10 menit (11:50 – 12:00 )
c. Jenis Anestesi : Total intravena anestesi menggunakan O2 2L/mnt
d. Pernafasan : Spontan
e. Cairan yang masuk saat durante operasi : RL 500cc, cairan keluar tidak dapat
dimonitoring karena tidak dilakukan pemasangan kateter

Post Operatif
- Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke kamar rawat
Perawatan III
- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
Kesadaran: compos mentis
TD: 100/80 mmHg
Nadi: 84x/min

Prognosis
Ad Vitam : Ad Bonam

26
Ad Functionam : Ad Bonam
Ad Sanationam : Ad Bonam

J. DISKUSI
Pasien, An. Ny.KS, 38 tahun dengan ke ruang operasi untuk menjalani
kuretase dengan diagnosis pre operatif PH1 + Abortus incomplete. Dari
anamnesis pasien mengeluhkan adanya perdarahan dari jalan lahir sejak 2 hari
yang lalu. Darah berwarna merah segar, jaringan (-) HPHT: 06/05/18, dengan
G1P0A0. Nyeri perut (+) kadang-kadang, riwayat KB suntik (-), riwayat penyakit
lain (-)
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 120/70 mmHg;
nadi 82x/menit; respirasi 20x/menit; suhu 36,8OC. Dari pemeriksaan laboratorium
hematologi didapatkan hasil : Hb 13.5 g/dl ; WBC : 11,8x10, PLT 327x10, HCT
37,8 %, dan HBsAg (-). Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA II.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu 2
cc/kgBB/jam. Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 12 jam.
Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi
atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari
obat-obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan
selama anestesia.
Dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 100/80 mmHg; Nadi
84x/menit, dan SpO2 100%. Dilakukan injeksi midazolam 4 mg, fentanyl 30 mcg.
Penggunaan premedikasi pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa
nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi
dengan menghilangkan rasa khawatir. Selanjutnya diberikan obat induksi yaitu
propofol 40 mg. Kemudian dilakukan prosedur kuret anestesi yang diselesaikan
dalam waktu 20 menit.
Kuret anestesi selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD 100/60mmHg;
Nadi 78 x/menit, dan SpO2 100%. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan

27
(Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik,
pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran compos mentis. Tekanan darah
selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 100/70 mmHg.

28
BAB III
PEMBAHASAN

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan
dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.

A. PERMASALAHAN DARI SEGI MEDIK


Pada pasien dengan abortus inkomplit, pasien dapat jatuh dalam keadaan
anemia atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi dikeluarkan. Oleh
karena itu, pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan
umum dan mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian
disiapkan tindakan kuretase. Namun pada pasien ini, tidak didapatkan adanya
gangguan hemodinamik ataupun syok hemoragik. Hal ini bisa terjadi karena
pasien diberi premedikasi berupa injeksi asam traneksamat/8jam oleh bagian
Obgyn.
Pada pasien ini didapatkan peningkatan leukosit namun tidak disertai dengan
adanya gejala klinis yang menandakan terjadinya infeksi. Kemungkinan hal ini
terjadi karena adanya radang pada daerah perdarahan namun peningkatan leukosit
yang terjadi tidak begitu signifikan.

B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH


Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.
Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)
Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik
anestesi yang aman untuk operasi yang lama, juga perlu dipersiapkan darah
untuk mengatasi perdarahan.

29
C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI
1. Pemeriksaan pra anestesi
Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
a. Puasa lebih dari 6 jam (pasien sudah puasa selama 12 jam)
b. Pemeriksaan laboratorium darah
Dalam mempersiapkan operasi pada penderita perlu dilakukan pemasangan
infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS. Pada pasien ini diberikan cairan
Ringer Laktat 20 tetes per menit, terhitung sejak pasien mulai puasa hingga masuk
ke ruang operasi. Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung,
sehingga bahaya muntah dan aspirasi dapat dihindarkan.
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah
dan komposisi cairan yang hilang. Pemberian cairan operasi dibagi menjadi6:
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan
isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24
jam adalah 2 ml / kg BB / jam.
Pada kasus ini diberikan cairan berupa Ringer Laktat karena mengalami
dehidrasi isotonis. Adapun perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah
(Berat Badan 45 kg):
 Defisit cairan karena puasa 12 jam
(2 cc/jam x 45 kg x 12 jam) = 1080 cc
Pasien mendapatkan cairan berupa Ringer Laktat 500 cc sebelum operasi.
b. Selama operasi
Selama proses operasi, pasien diberikan cairan berupa ringer laktat 500 cc.
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
 Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
 Sedang = 6 ml/kgBB/jam
 Berat = 8 ml/kgBB/jam.

30
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10
% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan
lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran.
Untuk penggantian cairan selama operasi dilakukan pemberian cairan
sebanyak :
Stress operasi (ringan) = 4 x kg BB = 4 x 45 =180 cc
Perdarahan selama operasi diperkirakan ± 25 cc.
EBV = 70 cc x 45 kg = 3150 cc. Jadi perkiraan kehilangan darah = 25/3150
x 100 % = 0,79 %.
Karena perdarahan pada kasus ini kurang dari 10% EBV, maka tidak perlu
dilakukan transfusi darah.
Sehingga didapatkan keseimbangan cairan = cairan yang masuk – cairan
yang keluar
= 1000 – 1285
= -285 cc
Jadi, pasien membutuhkan kurang lebih 3 botol cairan selama prosedur pre op
sampai post op.

2. Premedikasi
Pada kasus ini diberikan premedikasi berupa Midazolam 3 mg dan fentanyl
100 mcg I.V. Berdasarkan kepustakaan disebutkan tujuan premedikasi antara
lain7:
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien
b. menghilangkan rasa khawatir
c. membuat amnesia
d. memberikan analgesia
e. mencegah muntah
f. memperlancar induksi
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia

31
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan
Midazolam merupakan obat sedatif yang akan memberikan efek kantuk
dan tenang bagi pemakai. Pasien yang terpapar obat ini akan merasa tenang,
mengantuk dan dapat menjadi tertidur, serta melupakan semua kejadian yang
dialami selama tersedasi. Sedangkan fentanyl selain digunakan untuk
memberikan analgesia kuat dan onset durasinya lebih singkat dibandingkan
morfin dan petidin
Fentanyl merupakan opioid agonis turunan fenil piperidin. Pada
pemberian intravena, mula kerja 30 detik dan mencapai puncak dalam waktu 5
menit, kemudian menurun dengan cepat dalam waktu 5 menit pertama dimana
kadarnya berkurang sampai 20%, selanjutnya relatif menurun dengan lambat
selama 10 sampai 20 menit7,8.
3. Induksi
Digunakan Propofol 80 mg I.V. (dosis induksi 2-3mg/kgBB) karena
memiliki efek induksi yang cepat (dicapai dalam waktu 30 detik) dengan
distribusi dan eliminasi yang cepat. Pemulihannya lebih cepat dan pasien
dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Secara subjektif pasien
merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi mual dan
muntah postoperasi. Propofol merupakan agen pilihan untuk operasi bagi
pasien rawat jalan8.
4. Pasca Operasi
Selama periode post operasi, diberikan suntikan metilergometrin dan oxytocin
untuk mempertahankan kontraksi uterus serta antibiotik untuk mencegah
terjadinya risiko infeksi pasca bedah.
5. Observasi Pasca Operasi di Ruang Pemulihan
Pasien diobservasi selama beberapa waktu di ruang pemulihan untuk
meminimalkan komplikasi. Selama evaluasi keadaan/status pasien di unit
perawatan pascaanestesi (PACU) dilakukan observasi adanya masalah terkait
medis, bedah dan anestesi dengan tujuan dapat memberikan terapi secara
cepat sehingga dapat meminimalkan efek komplikasi yang timbul.

32
Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan
frekuensi respirasi, frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan
suhu. Frekuensi pemeriksaan tergantung kondisi pasien, namun paling sering
dilakukan setiap 15 menit untuk jam pertama dan selanjutnya setiap setengah
jam.
Pemantauan di Recovery Room (RR) :
• Tekanan darah, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
• Memasang O2 2 L/menit nasal kanul.
• Memberikan antibiotik profilaksis, antiemetik, H2 reseptor bloker dan
analgetik.
• Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), makan dan minum
diperbolehkan sesuai instruksi sejawat obgyn.
• IVFD RL 50 tetes/menit selama 2 jam.
• Bila tekanan darah sistolik < 90 mmHg, memberikan injeksi ephedrin
10 mg/iv
• Bila denyut jantung < 60 kali/menit, memberikan atropin sulfat 0,5 mg
dan konsul anestesi.
Untuk menentukan secara objektif kapan pasien bisa dipulangkan, dapat
digunakan sistem skoring. Sistem yang saat ini digunakan secara luas adalah
Skor Aldrete yang dimodifikasi5:
No. Kriteria Skor
1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas 2
motorik atas perintah atau secara sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas 1
perintah atau secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
atas perintah atau secara sadar.
2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2
 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1

33
 Apneu/tidak bernafas 0
3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari 1
semula 0
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula
4 Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1
 Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula 2
 Pucat 1
 Sianosis 0
Tabel 1. Aldrete Scoring System

Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

34
BAB IV
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi
kuret anestesi pada penderita perempuan, usia 38 tahun, status fisik ASA II, dengan
diagnosis abortus incomplete yang dilakukan teknik anestesi TIVA dengan respirasi
spontan.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi
dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik
dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga
tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Sehingga s ecara umum
pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G, Senapati TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi.


PT.Indeks. Jakarta. 2009. 101-104
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Ed.2.
FKUI. Jakarta. 2001. 46-47.
3. Wibowo B. Wiknjosastro GH. Kelainan dalam Lamanya Kehamilan. Dalam :
Wiknjosastro GH, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kebidanan.
Edisi 5. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2002 : hal.
302 - 312.
4. Ministry of Health Republic of Indonesia. Indonesia Reproductive Health
Profile 2003. 2003. Available at: http:/w3.whosea.org/LinkFiles/Reproduc-
tive_Health__Profile_RHP-Indonesia.pdf.
5. Abortion. In : Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Bilstrap
LC, Wenstrom KD, editors. William Obsetrics. 22nd ed. USA : The McGraw-
Hills Companies, Inc ; 2005 : p. 231-247.
6. Abortion. In: Leveno KJ, et all. Williams Manual of Obstetrics. USA:
McGraw-Hill Companies, 2003 : p. 45 – 55
7. Budi H, Firman FW, Johanes CM. Abortus berulang. Edisi ke-1. Bandung:
Refika Aditama; 2009.
8. Calvache JA, Delgado-Noguera M, Lessaffte E, Stolker RJ. Anaesthesia for
evacuation of incomplete miscarriage. Cochrane Database Systematic Rev.
2012;4:2–14.
9. Yuce HH, Ahmet K, Nuray A, Tekin B, Karahan M, Buyukfirat E.
Propofolketamine combination has favorable impact on orientation times and
pain scores compared to propofol in dilatation and curretage: a randomized
trial. Acta Med Medit. 2013;29:539–43.
10. Miner JR, Krauss B. Procedural sedation and analgesia research: state of the
art. Acad Emerg Med. 2007;14:170–8.

36
11. Arora SM. Combining ketamine and propofol (“ketofol”) for emergency
department procedural sedation and analgesia: a review. West J Emerg Med.
2008;9(1):20–3.
12. Ting, Paul. Intravenous Anesthetic. Available at
:http://anesthesiologyinfo.com/articles/01072002.php. Accesed : 8 May 2013.
13. Latief SA dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi kedua.
BagianAnestesiologi dan Terapi Intensif FK UI. Jakarta 2002; hal : 46-478.
14. Morgan, GD. Et al, Clinical Anesthesiology. 4Th edition. Lange
MedicalBooks/McGraw-Hill.2006; hal : 194-2046.

37

You might also like