Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Tata kelola perusahaan mengambil peran penting dalam banyak disiplin ilmu
akademik antara lain manajemen, akunting, hukum bisnis, ekonomi, dan keuangan,
yang memeriksa hubungan antara pihak-pihak yang berkepentingan kepada
perusahaan. Sampai saat ini, upaya kolektif ini berpusat pada teori agensi ( Dalton,
Hitt, Certo, & Dalton, 2007 ), yang menekankan konflik kepentingan di antara para
pemangku kepentingan yang timbul dari pemisahan kepemilikan dan pengendalian
dalam perusahaan (Eisenhardt,1989; Jensen & Meckling, 1976).
Sistem tata kelola perusahaan yang dirancang dengan baik sesuai dengan model
keutamaan pemangku kepentingan harus selaras insentif manajer dengan orang-
orang dari pemangku kepentingan nonkeuangan, dan mengurangi konflik kepentingan
antara manajemen dan pemangku kepentingan; Freeman (1984) berpendapat bahwa
perusahaan dapat menggunakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sebagai
perpanjangan efektif mekanisme tata kelola untuk menyelesaikan konflik antara
manajer dan pemangku kepentingan non-investasi. Perusahaan memiliki banyak
pendekatan dan sumber daya untuk mencapai CSR. Mereka berkisar dari pelatihan
untuk pemanfaatan keahlian masyarakat (Helmiati, et al, 2013). Corporate Social
Responsibility (CSR), sebagai salah satu konsep akuntansi baru, yang didasarkan
pada gagasan bahwa perusahaan tidak hanya tanggung jawab ekonomi dan hukum,
tetapi juga tanggung jawab kepada pihak lain yang berkepentingan (stakeholder),
seperti pelanggan, karyawan, masyarakat, investor, pemerintah, pemasok dan
bahkan pesaing (Purnomo, et al, 2012).
Pelaksanaan CSR di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007
tentang perseroan terbatas (corporation). Menurut hukum, pengungkapan CSR harus
dilakukan oleh acompany yang operasi yang melibatkan sumber daya alam secara
langsung. Berdasarkan onthe Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 artikel 15 dan
34 yang menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang tidak menerapkan CSR
akan dikenakan sanksi administratif seperti peringatan tertulis, pembatalan kegiatan
usaha, pembekuan kegiatan usaha, dan pencabutan izin. pengungkapan CSR juga
1
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan dari perusahaan terbatas.
Ada banyak kasus di Indonesia tentang CSR. Salah satunya kasus yang terjadi di
perusahaan Indonesia yang dilakukan oleh PT Expravet Nasuba, perusahaan yang
beralamat di Jalan K.L Yos Sudarso KM.8,8, Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan
Deli, Kota Medan, Sumatera Utara, ini dianggap melanggar undang-undang
lingkungan hidup, membuang limbah cair ke aliran Sungai Deli yang melebihi ambang
baku mutu. Akibatnya pencemaran ini menyebabkan adanya bau tidak sedap serta
gagal panen ikan yang dialami oleh warga. Penghentian kegiatan PT. Expravet
Nasuba (EN) berawal dari pengaduan masyarakat terkait pencemaran Sungai Deli.
Pada 25 Agustus 2018, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) memverifikasi
pengaduan, ditemukan fakta bahwa perusahaan tidak memiliki izin pembuangan
limbah cair serta ada saluran pembuangan tanpa pengolahan. (www.metro24jam.com
2018)
Adapun kasus lain yang melibatkan perusahaan manufaktur, yakni PT Insani Bara
Perkasa. PT. Insani Bara Perkasa dengan luas konsesi 24.477 hektar merupakan
perusahaan tambang batubara di bawah bendera PT Resources Alam Indonesia
[RAI]. Pelanggaran yang dilakukan perusahaan ini yaitu tidak melakukan reklamasi
setelah melakukan penggalian batu bara. Sehingga lobang-lobang bekas galian batu
bara dibiarkan saja terbuka, hal itu membuat banyak korban jiwa disekitar penggalian,
terutama anak-anak, salah satunya tewasnya MM merupakan kasus ke empat yang
terjadi di konsesi PT. IBP. Pada 25 Desember 2012, ia tenggelam di kolam penggalian
batu bara. Berikutnya, pada 9 April 2016, MA jatuh ke timbunan sisa batubara yang
terbakar. MA mengalami luka bakar di sekujur tubuh, hingga 70 persen, dirawat 27
hari di RSUD IA Moeis. Ia menjalani enam kali operasi termasuk amputasi lengan kiri,
kelingking kanan, dan tiga jari kaki kanan. Tidak lama berselang WM pada 15 Mei
2016 meregang nyawa tenggelam, di lokasi berbeda tapi di lubang tambang PT.IBP.
Seperti MM dan MA, penegakan hukum kematian WM berhenti, tanpa ada
transparansi. (www.kaltim.tribunnews.com 2019)
Contoh–contoh kasus di atas dapat dilihat bahwa perusahaan seharusnya tidak
hanya mementingkan untuk mencari keuntungan tanpa memperhatikan kepentingan
stakeholder. Tindakan yang kurang terpuji yang dilakukan oleh perusahaan akan
berimbas pada perusahan itu sendiri, citra perusahaan akan menjadi buruk bahkan
operasi perusahaan dapat dihentikan. Aktivitas CSR harus diperhatikan selain tujuan
2
perusahaan yang ingin memperoleh keuntungan perusahaan juga harus dapat
menjaga hubungan yang baik dengan para stakeholder. CSR merupakan
pengungkapan suatu informasi tambahan di samping pengungkapan informasi
keuangan, tujuan umum dari informasi keuangan adalah menyediakan informasi
keuangan untuk membantu pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang akan
menggunakan laporan (Agustiningsih et al., 2017). Oleh karena itu pengungkapan
CSR memberikan informasi yang berguna bagi pengguna laporan keuangan untuk
membantu investor dan calon investor dalam peramalan, sehingga probabilitas
kesalahan dapat dikurangi. pengungkapan CSR dapat didefinisikan sebagai informasi
non-keuangan tambahan mengenai integrasi
Penelitian mengenai pengungkapan CSR di Indonesia dilakukan oleh Gunawan
(2015) yang menunjukkan adanya penngaruh motivasi stakeholder terhadap
pengungkapan sosial pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia,
hasilnya menunjukkan bahwa masyarakat adalah kelompok pemangku kepentingan
yang sebagian besar berpengaruh terhadap pengungkapan sosial perusahaan dalam
laporan keuangan. Temuan ini dapat menjelaskan perusahaan itu melakukan
kegiatan CSR mereka untuk memenuhi tuntutan dari masyarakat. Secara teori, hasil
ini dapat menyarankan bahwa teori legitimasi dalam konteks konsep "norma" adalah
berlaku untuk menjelaskan mengapa perusahaan memandang "komunitas" sebagai
yang paling penting pemangku kepentingan dalam menekan mereka untuk praktik
CSD. Organisasi perlu beradaptasi dengan harapan masyarakat jika mereka ingin
sukses.
Penelitian CSR lainnya dilakukan Fitriyana (2017) menyatakan bahwa manajer
berpengaruh terhadap pengungkapan CSR, hal ini menunjukkan bahwa perusahaan
dengan profitablity lebih tinggi pada dasarnya tidak dapat melakukan lebih banyak
kegiatan CSR serta untuk mengungkapkan itu karena orientasinya untuk
mendapatkan keuntungan. Selain manajer, karyawan juga memiliki efek positif pada
pengungkapan CSR, sejumlah besar karyawan memiliki efek pada pendapat kuat dan
minat mereka kepada manajemen. Pelanggan juga memiliki efek positif pada
pengungkapan CSR, menyatakan bahwa beban pelanggan adalah beban terbesar
setelah beban pemerintah.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka kami menyajikan
pembahasan tentang Stakeholder (Para pemangku kepentingan) dan
Corporate Social Responsibilty.
3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.2 Stakeholder
2.2.1 Definisi Stakeholder
Stakeholder merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau
masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan
serta kepentingan terhadap perusahaan. Individu, kelompok, maupun komunitas dan
masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholder jika memiliki karakteristik seperti
mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap perusahaan
(Budimanta dkk., 2008). Jika diperhatikan secara seksama dari definisi di atas maka
telah terjadi perubahan mengenai siapa saja yang termasuk dalam pengertian
stakeholder perusahaan.
Sekarang ini perusahaan sudah tidak memandang bahwa stakeholder mereka
hanya investor dan kreditur saja. Konsep yang mendasari mengenai siapa saja yang
termasuk dalam stakeholder perusahaan sekarang ini telah berkembang mengikuti
perubahan lingkungan bisnis dan kompleksnya aktivitas bisnis perusahaan. Dengan
menggunakan definisi di atas, pemerintah bisa saja dikatakan sebagai stakeholder
bagi perusahaan karena pemerintah mempunyai kepentingan atas aktivitas
perusahaan dan keberadaan perusahaan sebagai salah satu elemen sistem sosial
dalam sebuah negara.
Oleh kerena itu, perusahaan tidak bisa mengabaikan eksistensi pemerintah
dalam melakukan operasinya. Terdapatnya birokrasi yang mengatur jalannya
perusahaan dalam sebuah negara yang harus ditaati oleh perusahaan melalui
kepatuhan terhadap peraturan pemerintah menjadikan terciptanya sebuah hubungan
antara perusahaan dengan pemerintah. Hal tersebut berlaku sama bagi komunitas
lokal, karyawan, pemasok, pelanggan, investor dan kreditur yang masing-masing
elemen stakeholder tersebut memiliki kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan sehinga
masing-masing elemen tersebut membuat sebuah hubungan fungsional dengan
perusahaan untuk bisa memenuhi kebutuhannya masing-masing. Perusahaan
merupakan bagian dari sistem sosial yang ada dalam sebuah wilayah baik yang
bersifat lokal, nasional, maupun internasional berarti perusahaan merupakan bagian
dari masyarakat secara keseluruhan.
4
Masyarakat sendiri menurut definisinya bisa dijelaskan sebagai kumpulan
peran yang diwujudkan oleh elemen-elemen (individu dan kelompok) pada suatu
kedudukan tertentu yang peran-peran tersebut diatur melalui pranata sosial yang
bersumber dari kebudayaan yang telah ada dalam masyarakat (Budimanta dkk,
2008). Perusahaan dalam hal ini merupakan bagian dari beberapa elemen yang
membentuk masyarakat dalam sistem sosial yang berlaku. Keadaan tersebut
kemudian menciptakan sebuah hubungan timbal balik antara perusahaan dan para
stakeholder yang berarti perusahaan harus melaksanakan peranannya secara dua
arah untuk memenuhi kebutuhan perushaan sendiri maupun stakeholder lainnya
dalam sebuah sistem sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dihasilkan dan
dilakukan oleh masingmasing bagian dari stakeholder akan saling mempengaruhi
satu dengan yang lainya sehingga tidaklah tepat jika perusahaan menyempitkan
pengertian stakeholder hanya dari sisi ekonominya saja.
2.2.3 Peran Dan Tanggung Jawab Stakeholder Dalam Tata Kelola Perusahaan
Kerangka kerja tata kelola perusahaan harus mengakui hak-hak stakeholders
yang diatur oleh hukum atau melalui perjanjian bersama dan mendorong kerjasama
antara perusahaan dan para pemangku kepentingan dalam menciptakan kekayaan,
pekerjaan, dan keberlanjutan finansial perusahaan.
Aspek kunci tunggal dari tata kelola perusahaan terkait dengan memastikan
aliran modal eksternal untuk perusahaan dalam bentuk ekuitas dan kredit. Corporate
governance mengatur dalam pencarian cara untuk mendorong stakeholder
perusahaan untuk mencapai tingkat investasi secara optimal di perusahaan yang
berbasis modal sumber daya manusia dan modal fisik. Daya saing dan kesuksesan
dari sebuah perusahaan adalah hasil dari kerja-sama yang mencerminkan kontribusi
dari berbagai penyedia sumber daya yang berbeda, termasuk investor, karyawan,
kreditur, pelanggan dan pemasok, dan pemangku kepentingan lainnya. Perusahaan
harus mengakui bahwa kontribusi dari para pemangku kepentingan merupakan
sumber yang berharga dan menguntungkan untuk membangun perusahaan
kompetitif. Hal ini penting dikarenakan dalam jangka panjang perusahaan
menumbuhkan kemakmuran dan-menciptakan kerjasama antara para pemangku
7
kepentingan. Kerangka pemerintahan harus mengakui kepentingan stakeholder dan
kontribusi mereka terhadap keberhasilan jangka panjang perusahaan.
A. Hak-hak pemangku kepentingan (stakeholder) yang ditetapkan oleh hukum
atau melalui perjanjian timbal balik yang harus dihormati.
Hak-hak stakeholder sering ditetapkan oleh hukum (misalnya tenaga kerja, bisnis,
komersial, lingkungan, dan kepailitan hukum) atau oleh hubungan kontrak bahwa
harus dihormati setiap perusahaan. Namun demikian, bahkan di daerah di mana
kepentingan stakeholder tidak diatur, banyak perusahaan membuat tambahan
komitmen kepada pemangku kepentingan dan dalam hal reputasi perusahaan dan
kinerja perusahaan sering membutuhkan pengakuan yang lebih luas. Pada
perusahaan multinasional, dalam beberapa yurisdiksi dapat dicapai oleh perusahaan-
perusahaan yang menggunakan OECD Pedoman Untuk Perusahaan Multinasional
untuk prosedur uji tuntas yang membahas dampak dari komitmen-komitmen yang
telah ditetapkan.
10
2.3 Corporate Social Responsibility (CSR)
2.3.1 Definisi CSR
Pada awalnya, konsep CSR merupakan suatu pendekatan perubahan atau
pengembangan masyarakat khususnya peningkatan sumber daya manusia yang
dilakukan oleh suatu perusahaan sebagai bagian dari tanggungjawab sosialnya.
Pendekatan ini berasal dari pemikiran bahwa perusahaan harus turut berkontribusi
terhadap pembangunan dimana lokasi perusahaan beroperasi. Oleh karena itu, CSR
lahir sebagai sebuah etika bisnis baru dalam sejarah perkembangan kapitalisme
global. Pendekatan CSR ini bertujuan agar masyarakat turut terlibat atau menjadi
bagian dari perusahaan tersebut dan menikmati manfaat dari keberadaan perusahaan
di suatu wilayah tertentu. World Business Council for Sustainable Development
(WBCSD) (Sukada et al., 2007), mendefinisikan CSR sebagai komitmen untuk
berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerja dengan
para karyawan dan keluarganya, masyarakat setempat dan masyarakat secara luas
dalam meningkatkan kualitas hidup mereka.
Sedangkan Sukada et al., (2007) mendefinisikan CSR sebagai upaya sungguh-
sungguh dari perusahaan untuk meminimumkan dampak negatif dan
memaksimumkan dampak positif operasinya dalam ranah ekonomi, sosial, dan
lingkungan, terhadap seluruh pemangku kepentingannya, untuk mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan. Pandangan yang lebih komprehensif mengenai CSR
yang kemudian disebut sebagai ―teori Piramida CSR‖ dikemukakan oleh Carroll
(1998) bahwa tanggungjawab sosial perusahaan dapat dilihat berdasarkan empat
jenjang (ekonomis, hukum, etis dan filantropis) yang merupakan satu kesatuan.
Untuk memenuhi tanggungjawab ekonomis, sebuah perusahaan harus
menghasilkan laba sebagai pondasi untuk mempertahankan perkembangan dan
eksistensinya. Dari berbagai definisi CSR yang ada, Dahlsrud (2008) menjelaskan dan
menyimpulkan bahwa definisi CSR itu secara konsisten mengandung 5 dimensi, yaitu:
1) Dimensi Lingkungan, yang merujuk ke lingkungan hidup dan mengandung kata-
kata seperti ―lingkungan yang lebih bersih‖, ―pengelolaan lingkungan‖,
―environmental stewardship‖, ―kepedulian lingkungan dalam pengelolaan operasi
bisnis‖, dan lain sebagainya. 2) Dimensi Sosial yaitu hubungan antara bisnis dan
masyarakat dan tercermin melalui frase-frase seperti ―berkontribusi terhadap
masyarakat yang lebih baik‖, ―mengintegrasi kepentingan sosial dalam operasi
bisnis‖, ―memperhatikan dampak terhadap masyarakat‖, dan lain sebagainya. 3)
11
Dimensi Ekonomis yang menerangkan aspek sosio-ekonomis atau finansial bisnis
yang diterangkan dengan kata-kata seperti ―turut menyumbang pembangunan
ekonomi‖, ―mempertahankan keuntungan‖, ―operasi bisnis‖, dan lain sebagainya.
4) Dimensi Pemangku Kepentingan (Stakeholder) yang tentunya menjelaskan
hubungan bisnis dengan pemangku kepentingannya dan dijelaskan dengan kata-kata
seperti ―interaksi dengan pemangku kepentingan perusahaan‖, ―hubungan
perusahaan dengan karyawan, pemasok, konsumen dan komunitas‖, ―perlakukan
terhadap pemangku kepentingan perusahaan‖, dan lain sebagainya. 5) Dimensi
Kesukarelaan (voluntary) sehubungan dengan hal-hal yang tidak diatur oleh hukum
atau peraturan yang tercermin melalui frase-frase seperti ―berdasarkan nilai-nilai
etika‖, ―melebihi kewajiban hukum (beyond regulations)‖, ―voluntary‖, dan lain
sebagainya.
13
perusahaan-mitra (besar dan kecil) dan unsur-unsur lain, yang dapat
mempengaruhi stakeholder terkait.
4. Prinsip transparansi, artinya, perusahaan harus jelas, akurat, dan
komprehensif dalam menyatakan kebijakan, keputusan, dan kegiatan,
termasuk pengenalan terhadap potensi lingkungan dan masyarakat.
5. Menghormati Hak azasi Manusia, dalam arti, perusahaan harus
melaksanakan kebijakan dan praktik yang akan menghormati hak azasi
manusia yang ada dalam Deklarasi Universal lefts Manusia.
2.4 The principle of the role of stakeholders and the concept of corporate
responsibility
Seperti yang kita ketahui bahwa stakeholders itu adalah sekumpulan group atau
individu yang mampu memberikan dampak terhadap perusahaan untuk mencapai
tujuan perusahaan yang baik. Dan tanggung jawab corporate dalam sosial sangat lah
bergantung pada kemajuan perusahaan tersebut. Program CSR merupakan investasi
bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) perusahaan
dan bukan lagi dilihat sebagai sarana biaya (cost centre) melainkan sebagai sarana
meraih keuntungan (profit centre).
Program CSR merupakan komitmen perusahaan untuk mendukung terciptanya
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Disisi lain masyarakat
mempertanyakan apakah perusahaan yang berorientasi pada usaha
memaksimalisasi keuntungan-keuntungan ekonomis memiliki komitmen moral untuk
mendistribusi keuntungan-keuntungannya membangun masyarakat lokal, karena
seiring waktu masyarakat tak sekedar menuntut perusahaan untuk menyediakan
barang dan jasa yang diperlukan, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab
sosial.
Penerapan program CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari
konsep tata kelola perusahaan yang baik (Good Coporate Governance). Diperlukan
tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) agar perilaku pelaku
bisnis mempunyai arahan yang bisa dirujuk dengan mengatur hubungan seluruh
kepentingan pemangku kepentingan (stakeholders) yang dapat dipenuhi secara
proporsional, mencegah kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi korporasi dan
memastikan kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.
14
Dengan pemahaman tersebut, maka pada dasarnya CSR memiliki fungsi atau
peran strategis bagi perusahaan, yaitu sebagai bagian dari manajemen risiko
khususnya dalam membentuk katup pengaman sosial (social security). Selain itu
melalui CSR perusahaan juga dapat membangun reputasinya, seperti meningkatkan
citra perusahaan maupun pemegang sahamnya, posisi merek perusahaan, maupun
bidang usaha perusahaan
Dalam journalnya N. Li, A. Toppien yang berjudul Corporate responsibility and
sustainable competitive advantage in forest-basedindustry: Complementary or
conflicting goals?,. Bahwa ada hubungan timbal balik dalam Corporate Resposiblity
(CR) dengan peran stakholders. Jika perusahaan yang berbasis pada sistem industri
hutan atau kita bisa sebut perusahaan yang berfokus produksi pada kayu maka
corporate resposibilty yang diberlakukan tidak lah sama dengan CR pada perusahaan
pada umumnnya, karena perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan hendak
dinyatakan sebagai perusahaan yang bertanggung jawab sosial, maka prasyarat
terpentingnya adalah ia tak boleh merusak hutan sama sekali. Perusahaan itu harus
mengelola sumberdaya hutannya secara berkelanjutan (sustainable forest
management), karena hanya dengan demikian saja maka dampak keputusan dan
operasinya bisa sesuai dengan definisi dan prinsip-prinsip CSR
Mereka yang berbasis kehutanan perlu terus meningkatkan inovasi-inovasi
mereka untuk berjangka panjang, CR tidak hanya untuk keuntungan semata dan
untuk menuju kesuskesan sosial tapi diberlakukaknnya strategi-strategi yang
mengacu bagainaman perusahaan yang berbasis hutan ini mampu mengelola
kembali hutan-hutan yang sudah mereka tebang, dilakukan tanam ulang. Jadi
perubahan nilai-nilai fundamental dalam perusahaan yang berbasis hutan ini perlu di
terapkan.
15
kesejahteraan, lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan yang bekesinambungan
(sustainibilitas) dari kondisi keuangan perusahaan yang dapat diandalkan”.
Pernyataan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: para pemangku
kepentingan (stakeholder) seperti investor, karyawan, kreditur dan pemasok memiliki
sumberdaya yang dibutuhkan oleh perusahaan. Sumberdaya yang dimiliki oleh
stakeholder tersebut harus dialokasikan secara efektif untuk meningkatkan efisiensi
dan kompetisi perusahaan dalam jangka panjang.
Selanjutnya, secara lebih rinci prinsip yang terkait dengan Peranan
Stakeholders dalam Corporate Governance (CG) terbagi atas 6 (enam) subprinsip
antara lain:
1. ”Hak-hak pemangku kepentingan (stakeholders) yang dicakup dalam
perundang-undangan atau perjanjian (mutual agreements) harus dihormati”
Di semua negara anggota OECD, prinsip yang memuat mengenai hak-hak
stakeholders dicakup dalam perundang-undangan seperti Undang-Undang
Ketenagakerjaan, Undang-Undang Usaha, UndangUndang Komersial dan
Insolvensi (kesulitan likuiditas dalam jangka panjang) atau perjanjian-perjanjian
lain. Dalam hal hak-hak stakeholder tidak dicakup dalam perundang-undangan
di atas, maka perusahaan-perusahaan akan memuat tambahan mengenai hal-
hal yang berhubungan dengan komitmen perusahaan terhadap stakeholder
dan reputasinya khususnya terkait dengan kepentingan perusahaan dalam arti
luas.
2. “Jika kepentingan stakeholder dilindungi oleh undang-undang, maka
stakeholders seharusnya memiliki kesempatan untuk menuntut (redress)
secara efektif atas hak-hak yang dilanggar”.
Subprinsip ini menyatakan bahwa kerangka dan proses hukum yang berlaku
harus transparan dan tidak menghalangi stakeholder dalam
mengkomunikasikan dan memperoleh hak untuk menuntut (redress) apabila
terjadi pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Dengan katalain subprinsip
kedua ini merupakan hak perlindungan terhadap stakeholder apabila, hak-hak
stakeholder yang dicakup dalam subprinsip pertama tidak dapat berjalan
dengan baik.
3. “Mekanisme peningkatan kinerja bagi partisipasi karyawan harus
diperkenankan untuk berkembang”. Implementasi tingkat partisipasi karyawan
dalam corporate governance sangat bervariasi, hal ini tergantung dari
16
perundangundangan dan praktik yang ada disuatu negara dan juga kebijakan
perusahaan. Walaupun memiliki kemungkinan implementasi yang berbeda baik
disetiap negara ataupun perusahaan, subprinsip ini akan memberikan manfaat
bagi perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu dengan
adanya komitmen kesiapan karyawan dalam menginvestasikan skill yang
dimilikinya dalam perusahaan. Contoh mekanisme peningkatan kinerja
perusahaan melalui partisipasi karyawan adalah:
a. Perwakilan karyawan dalam Dewan Komisaris,
b. Keterlibatan Serikat Pekerja dalam mempertimbangkan suatu keputusan
penting,
c. Employee Stock Option Plan (ESOP), dan
d. Pension Plan.
4. “Jika Pemangku Kepentingan (stakeholders) berpartisipasi dalam proses CG,
maka stakeholder harus memiliki akses atas informasi yang relevan, memadai
dan dapat diandalkan secara tepat waktu dan berkala”.
5. “Stakeholders termasuk didalamnya individu karyawan dan serikat karyawan,
seharusnya dapat secara bebas mengkomunikasikan kepedulian mereka
terhadap praktik ilegal atau tidak etis kepada Dekom, dan tindakan tersebut
seharusnya tidak merpengaruhi hakhak mereka”.
6. ”Kerangka CG harus dilengkapi dengan kerangka insolvency yang efisien dan
efektif serta penegakan hukum (enforcement) yang efektif atas hak-hak
kreditur”.
Subprinsip ini berkaitan dengan hak-hak kreditur. Di negara-negara yang
termasuk emerging market seperti Indonesia, kreditur merupakan stakeholder
utama. Besarnya kredit yang diberikan oleh kreditur tersebut sangat tergantung
pada hak-hak kreditur dan bagaimana enforcement dari hak-hak tersebut.
Secara umum, perusahaan yang beroperasi di negara dengan rating GCG
yang baik akan memperoleh dana yang lebih besar dan jangka waktu kredit
yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan perusahaan yang beroperasi
pada negara dengan rating GCG yang kurang baik.Selanjutnya, salah satu hak
kreditur adalah mendapatkan perlidungan khususnya pada saat suatu
perusahaan (debitur) mengalami kesulitan keuangan yang berakibat kepada
kemampuannya dalam memenuhi kewajiban keuangannya (insolvensi).
17
2.6 Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang Terkait dengan
Perlindungan Pemangku Kepentingan
Kesejahteraan pemangku kepentingan (stakeholders) menjadi salah satu faktor
yang menentukansustainability suatu perusahaan, sehingga menjadi fokus dalam tata
kelola perusahaan. Contohnya adalah melaksanakan program Corporate Social
Responsibility (CSR)sebagai bukti kepedulian dan tanggungjawab perusahaan, lebih
dari sekedar mencari laba. Oleh karena itu, peraturan yang melindungi kepentingan
para stakeholders penting dimiliki oleh suatu negara, termasuk Indonesia. Dalam
makalah ini akan dijabarkan beberapa peraturan yang ada di Indonesia terkait
perlindungan kepentingan pemangku kepentingan , antara lain:
1. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5 Tahun
1990)
2. Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999)
3. Perlindungan Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003)
4. Perlindungan kepada Penanam Modal (Investor)
5. Perlindungan terhadap Kompetitor
6. Perlindungan terhadap Kreditur (UU No. 42 Tahun 1999)
7. Perlindungan terhadap Whistleblowers
18
KASUS I
Sumber : https://news.metro24jam.com
Pantauan Mongabay di lokasi, tim penyidik penegak hukum menelusuri arah pipa
terakhir pembuangan limbah cair ke Sungai Deli. Edward tampak geram dengan
pencemaran lingkungan yang dilihatnya itu.
Laporan masyarakat
Edward mengatakan, penghentian kegiatan PT. Expravet Nasuba (EN) berawal dari
pengaduan masyarakat terkait pencemaran Sungai Deli. Pada 25 Agustus 2018,
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) memverifikasi pengaduan, ditemukan
fakta bahwa perusahaan tidak memiliki izin pembuangan limbah cair serta ada saluran
pembuangan tanpa pengolahan.
Pada 13 Maret 2013, Wali Kota Medan telah memberikan sanksi administrasi,
paksaan pemerintah, kepada PT. EN berdasarkan SK No: 660.2/396.X/III/2013 atas
pelanggaran yang dilakukan. Namun, perusahaan tidak melaksanakan isi surat
tersebut, bahkan tetap membuang limbah cair langsung ke Sungai Deli.
“PT. EN diduga melanggar peraturan. Atas dasar itu, kami menyegelnya. Kami hanya
menghentikan pembuangan limbah, bukan kegiatan perusahaan,” terangnya.
19
KASUS II
Sumber : https://kaltim.tribunnews.com
Bertepatan peringatan Hari Anti Tambang, di Kalimantan Timur [Kaltim] anak usia 10
tahun meninggal di lubang bekas galian tambang [29/5/2019]. Korban adalah Natasya
Aprilia Dewi [Nad], putri pasangan Sanadi dan Purwanti. Nad merupakan siswi kelas
IV SD Islam Jamiatul Mutaqin, Samarinda.
“Nad adalah korban ke-34 selama delapan tahun terakhir. Kalimantan Timur bukan
Provinsi ramah anak. Pemerintah abai akan hal ini,” katanya.
Rupang menambahkan, lubang PT. IBP dibiarkan begitu saja, tidak ada pagar
pembatas, tidak ada papan peringatan kawasan berbahaya, tidak ada petugas.
“Kejadian ini sama dengan 33 kasus kematian anak lainnya. Parahnya, lubang tempat
Nad tenggelam hanya berjarak 2 hingga 5 meter dari pemukiman warga terdekat,”
jelasnya. Rupang menegaskan, kejadian ini bukti pengabaian perusahaan tambang
batubara maupun Pemerintah Kalimantan Timur. “Pemerintah melihat ini biasa saja.
Seharusnya, Provinsi Kaltim maupun DPRD bersikap tegas,” sebutnya.
Tewasnya Nad merupakan kasus ke empat yang terjadi di konsesi PT. IBP. Pada 25
Desember 2012, MM [11] tenggelam. Hingga kini penanganan kasusnya jalan di
tempat, tanpa ada pengajuan dan pelimpahan ke pengadilan.
Berikutnya, pada 9 April 2016, MA [5] jatuh ke timbunan sisa batubara yang terbakar.
MA mengalami luka bakar di sekujur tubuh, hingga 70 persen, dirawat 27 hari di RSUD
IA Moeis. Ia menjalani enam kali operasi termasuk amputasi lengan kiri, kelingking
kanan, dan tiga jari kaki kanan. Tidak lama berselang WM pada 15 Mei 2016 [17]
meregang nyawa tenggelam, di lokasi berbeda tapi di lubang tambang PT.IBP. Seperti
MM dan MA, penegakan hukum kematian WM berhenti, tanpa ada transparansi.
“Perusahaan ini bermasalah, tapi tidak ditutup. Kematian anak-anak dan perlawanan
warga kerap terjadi, pemerintah seakan tutup mata. Demikian pula Polda Kaltim,
gugatan demi gugatan terus dilayangkan warga, tapi belum ada perkembangan,” kata
Rupang.
PT. Insani Bara Perkasa dengan luas konsesi 24.477 hektar merupakan perusahaan
tambang batubara di bawah bendera PT Resources Alam Indonesia [RAI] yang
mayoritas sahamnya [39,36 persen] dimiliki UBS AG Singapore. Dengan produksi
20
mencapai 1.611.451 ton pada 2018, hampir seluruhnya diekspor ke luar negeri, yakni
Korea [59,54 persen], India [31,21 persen], China [7,08 persen], dan Bangladesh [2,16
persen].
Kritik
Jatam Kaltim menilai, Gubernur Provinsi Kaltim tidak memiliki sikap. Masyarakat
Kaltim pernah dihebohkan dengan pernyataan Gubernur Kaltim yang mengatakan
meninggal di lubang tambang adalah nasib. “Kaltim memiliki Gubernur cuek, anak-
anak mati katanya nasib. Banyak korban di lubang tambang, katanya jangan-jangan
lubang tambang ada hantu,” kata Rupang.
Uniknya, lanjut Rupang, setelah korban ke-34 jatuh, Gubernur Kaltim, Isran Noor
malah minta para orang tua lebih sadar, memerhatikan dan menjauhkan anak-anak
dari lubang. Padahal, kata dia, sudah kewajiban Pemerintah Kaltim menyediakan
jaminan keselamatan bagi warganya.
Terpisah, dihubungi melalui WhatsApp, Wakil Gubernur Kaltim, Hadi Mulyadi tidak
bersedia memberikan keterangan. Hadi hanya membalas pesan dengan permintaan
maaf melalui gambar tangan saja.
Kacamata hukum
“Bagi saya, perusahaan yang wilayah konsesinya memakan korban jiwa, layak
mendapat sanksi aministrasi pencabutan IUP. Lubang itu akibat kewajiban reklamasi
yang tidak dilakukan,” ujarnya.
Sanksi pidana, lanjutnya, domain aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian.
“Saya heran, sampai hati kasus-kasus hilangnya nyawa manusia dibiarkan begitu
saja. Seperti diabaikan dan didiamkan. Itu kan seperti menghina rasa keadilan publik,
terutama para korban,” jelasnya. Jelas, peristiwa ini pidana, bisa dikenakan sangkaan
Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain mati. Ancaman
hukuman 5 tahun penjara.
Herdi menjelaskan, letak kelalaian adalah tidak ada reklamasi, lalu prinsip kehati-
hatian yang tidak dijalankan. Misalnya, tidak adanya pemasangan rambu tanda
bahaya dan pagar pembatas sesuai Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi
Nomor : 555.K/26/M.PE/1995.
21
JURNAL I
Hasil Penelitian
1. Hasil penelitian memberikan bukti bahwa ada perbedaan dalam hal
pengungkapan CSR di Indonesia, Pakistan, dan India, oleh karena itu hipotesis
pertama diterima. Perbedaan dalam hal pengungkapan CSR di tiga negara
disebabkan oleh perbedaan dalam hal regulasi yang mengatur tentang
kegiatan CSR, sementara di Pakistan, tidak ada peraturan yang terkait dengan
CSR. India adalah negara dengan pengungkapan CSR tertinggi karena India
mewajibkan perusahaan yang todisclose kegiatan CSR secara ekstensif
(Chapple dan Bulan, 2005).
2. Manajer memiliki efek positif pada pengungkapan CSR, hipotesis ke dua
diterima tapi tidak signifikan. Hasilnya adalah konsisten dengan hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Asl dan Kutlu (2010). Hal ini menunjukkan
22
bahwa perusahaan dengan profitablity lebih tinggi pada dasarnya tidak dapat
melakukan lebih banyak kegiatan CSR serta untuk mengungkapkan itu karena
orientasinya untuk mendapatkan keuntungan.
3. karyawan memiliki efek positif pada pengungkapan CSR, hipotesis ketiga
diterima. Hasilnya adalah konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh
Huang dan Kung (2010) yang menyatakan bahwa role play jumlah karyawan
dalam keterbukaan CSR di sebuah perusahaan. Sejumlah besar akan
karyawan memiliki efek pada pendapat kuat dan minat mereka kepada
manajemen.
4. Pemegang saham memiliki efek positif pada pengungkapan CSR, hipotesis ke
empat ditolak. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Barnae
dan Rubin (2010), dan Oak dan Dalbor (2015) yang menyatakan bahwa
pemegang saham tidak berpengaruh pada pengungkapan CSR. Hal ini
menunjukkan bahwa lembaga sebagai pemegang saham tidak dapat
mendorong perusahaan untuk mengungkapkan CSR, karena kebutuhan
pemegang saham dari tinggi kembali bagi perusahaan. Selain itu, di India dan
Pakistan saham ownershipis didominasi oleh promotor atau direksi yang
merupakan pendiri perusahaan.
5. Kreditur memiliki efek positif pada pengungkapan CSR, hipotesis ke lima
ditolak. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Giannarakis
(2014) yang menyatakan bahwa kekuatan kreditur dalam mengungkapkan
CSR tidak didasarkan pada angka-angka rasio leverage, namun berdasarkan
kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya. Faktor lain adalah
bahwa perusahaan memiliki hubungan yang baik dengan kreditur, sehingga
pengungkapan CSR tidak didasarkan pada leverage.
6. Pelanggan memiliki efek positif pada pengungkapan CSR, hipotesis ke enam
diterima. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendriques
dan Sadorsky (1996) yang menyatakan bahwa beban pelanggan adalah beban
terbesar setelah beban pemerintah.
24
JURNAL II
Tujuan - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan motivasi para
pemangku kepentingan untuk Indonesia yang terdaftar perusahaan dalam
mempraktikkan pengungkapan sosial perusahaan (CSD) dalam laporan tahunan
mereka.
Implikasi praktis - Penelitian ini mendukung sebagian besar studi di bidang CSD,
terutama di Indonesia negara berkembang.
Kesimpulan dan Implikasi - Beberapa kesimpulan dapat ditarik untuk penelitian ini.
1. Pertama, perusahaan Indonesia dipertimbangkan dengan pentingnya
CSR. Namun, mereka tampaknya tidak sadar untuk mengungkapkannya
komprehensif dalam laporan tahunan karena mereka masih mencari bentuk
laporan lain untuk menampung informasi kegiatan sosial. Selain itu,
perusahaan juga perlu lebih jelas tentang manfaat CSD.
2. Kedua, penelitian ini telah menunjukkan, yang tercermin dalam penelitian lain
bahwa motif untuk CSD. Dua ratus lima puluh dua respons perusahaan yang
diperoleh mengindikasikan bahwa “menciptakan citra yang baik” sangat
penting untuk keberhasilan bisnis mereka. Ini mungkin menyarankan itu CSD
telah digunakan sebagai alat hubungan masyarakat, untuk meningkatkan citra
dan reputasi perusahaan. Namun, karena "mematuhi tuntutan pemangku
kepentingan" telah menempati peringkat ketiga motivasi untuk CSD, teori
pemangku kepentingan juga dapat menjelaskan bagaimana perusahaan
berusaha melakukan kegiatan CSR untuk memenuhi kebutuhan pemangku
kepentingan mereka.
3. Terakhir, "komunitas" telah dianggap sebagai kelompok pemangku
kepentingan yang paling berpengaruh untuk perusahaan dalam
mengungkapkan kegiatan sosial. Temuan ini dapat menjelaskan perusahaan
25
itu melakukan kegiatan CSR mereka untuk memenuhi tuntutan dari
masyarakat. Secara teori, hasil ini dapat menyarankan bahwa teori legitimasi
dalam konteks konsep "norma" adalah berlaku untuk menjelaskan mengapa
perusahaan memandang "komunitas" sebagai yang paling penting pemangku
kepentingan dalam menekan mereka untuk praktik CSD. Deegan
(2002b) menyarankan organisasi perlu beradaptasi dengan harapan
masyarakat jika mereka ingin sukses. Di Sebaliknya, organisasi akan dihukum
jika mereka tidak beroperasi dengan cara yang konsisten harapan masyarakat.
26
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
27
PraktikGood Corporate Governance mengatur bagaimana hubungan perusahan
dengan para stakeholdersdan bagaimana perusahaan melaksanakan tanggung
jawabnya pada tiap stakeholders, baik dari sisi internal maupun sisi eksternal. Prinsip
tatakelola perusahaan yang baik harus dapat mendorong kerjasama aktif antara
perusahaan dengan para stakeholders-nya untuk menciptakan keuntungan bagi
kedua belah pihak, menghasilkan lapangan pekerjaan, dan menjaga
keberlangsungan operasi perusahaan. Bagi stakeholderseksternal, bentuk tanggung
jawab yang dapat diberikan perusahaan adalah melalui program Corporate Social
Responsibility (CSR). Melalui program CSR dapat memberikan timbal balik bagi pihak
eksternal yang dipengaruhi oleh operasi perusahaan, khususnya lingkungan alam dan
sosial. Selain itu, melalui CSR perusahaan juga dapat membangun reputasinya,
seperti meningkatkan citra perusahaan maupun pemegang sahamnya, posisi merek
perusahaan, maupun bidang usaha perusahaan.
28
DAFTAR PUSTAKA
Razaee, Zabihollah, 2009, Corporate Governance and Ethic, Jhon Wiley (ZR)
https://www.mongabay.co.id/2017/05/31/antara-ribuan-izin-dan-ratusan-lubang-
tambang-batubara-kaltim-minim-pengawas/
https://www.mongabay.co.id/2018/09/25/buang-limbah-cair-ke-sungai-deli-
perusahaan-ini-disegel-klhk/
29