You are on page 1of 4

1.

Perilaku Organisasi (PO)


Perilaku organisasi menurut Stephen P. Robbins mengambil pandangan mikro dan
memberi tekanan pada individu-individu dan kelompok-kelompok kecil.

Perilaku organisasi memfokuskan diri kepada perilaku di dalam organisasi dan


seperangkat prestasi dan variabel mengenai sikap yang sempit dari para pegawai, dan
kepuasan kerja adalah yang banyak diperhatikan.

Topik-topik mengenai perilaku individu, yang secara khas dipelajari dalam Perilaku
Organisasi adalah persepsi, nilai-nilai, pengetahuan, motivasi, serta kepribadian.
Termasuk di dalam topik mengenai kelompok adalah peran, status kepemimpinan,
komunikasi, dan konflik.

Teori Organisasi (TO)


Teori Organisasi menurut Stephen P. Robbins mengambil pandangan makro. Unit-unit
analisisnya adalah organisasi itu sendiri atau sub-sub utamanya. Teori Organisasi
memfokuskan diri kepada perilaku dari organisasi dan menggunakan definisi yang
lebih luas tentang keefektifan organisasi.

Teori organisasi tidak hanya memperhatikan prestasi dan sikap para pegawai, tetapi
juga kemampuan organisasi secara keseluruhan untuk menyesuaikan diri dan mencapai
tujuan-tujuannya.
Perbedaan makro-mikro ini menyebabkan tumpang tindih. Misalnya, faktor-faktor
struktural mempunyai dampak terhadap perilaku pegawai. Dengan demikian
mempelajari Perilaku Organisasi harus mempertimbangkan hubungan struktur
perilaku. Sama halnya, beberapa topik mikro relevan dengan dengan studi Teori
Oranisasi.

Pembicaraan tentang yang makro dan mikro memang selalu tumpang tindih, dan
penekanan mereka sebenarnya berbeda. Misalnya, topik tentang konflik dalam Perilaku
Organisasi cenderung difokuskan pada konflik antar pribadi dan antar kelompok, yang
berasal dari perbedaan kepribadian den komunikasi yang lemah.

Konflik jika ditinjau oleh para teoritikus organisasi, akan menekankan pada masalah
koordinasi antar unit. Sementara dari sudut pandang studi Perilaku Organisasi
kemungkinan besar akan melihat semua konflik sebagai masalah manusia.

Studi TO cenderung melihat konflik yang sama sebagai akibat dari adanya kekurangan
di dalam desain orgnisasi. Perbedaan tersebut tentu saja bukan menunjukkan siapa yang
benar atau salah, tetapi bahwa TO dan PO memberi penekanan yang berbeda pada
tingkatan analisis organisasi.

2. Proses terbentuknya budaya dalam organisasi yakni munculnya gagasan-gagasan atau


jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi bisa
bermula dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau
puncak. Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk
budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3)
Sumber daya manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang berkepentingan dengan
organisasi (stake holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa
proses budaya dapat terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan
(3) penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang
sekejap, namun memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat
menerima nilai-nilai baru dalam organisasi.
Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal.
Calon anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan
perilakunya dengan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih
bisa diajarkan gaya kelompok secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda
historis bisa diceritakan terus menerus untuk mengingatkan setiap orang tentang nilai-
nilai kelompok dan apa yang dimaksudkan dengannya.
Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan
gagasan budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-
nilai pokok mereka secara terus menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui
ritual dan perayaan-perayaan khusus.
Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini
dapat terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat
mendorong anggota muda untuk mengambil alih nilai dan gaya mentor mereka.
Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan
diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment).
Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi tertentu
sedangkan untuk sanksi (punishment) tidak hanya diberikan berdasar pada aturan
organisasi yang ada semata, namun juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti,
anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya.
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang
ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi
memiliki budaya yang cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya
pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun jika
terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya
kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan.
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses
belajar yang telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan
sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam
bukunya Matching Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip oleh
Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap
manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya;
(3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan strategi; dan (4)
ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) dengan mengutip pemikiran
Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima
alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara besar-besaran : (1) Jika organisasi
memiliki nilai-nilai yang kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2)
Jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi
berukuran sedang-sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai memasuki
peringkat yang sangat besar; dan (5) Jika organisasi kecil tetapi berkembang pesat.
Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada satu pun alasan yang cocok
dengan di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus usaha
mengubah budaya menunjukkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 sampai
10 persen dari yang telah dihabiskan untuk mengubah perilaku orang. Meskipun
demikian mungkin hanya akan didapatkan setengah perbaikan dari yang diinginkan.
Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk
waktu, usaha dan uang.
3. a. Perilaku manusia adalah sebagai suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan
lingkungannya . Individu membawa tatanan dalam organisasi berupa kemampuan,
kepercayaan pribadi, pengharapan, kebutuhan, dan pengalaman masa lainnya.
Sementara itu, karakteristik individu akan dibawa memasuki suatu lingkungan
baru, yaitu organisasi atau lainnya. Selain itu organisasi juga mempunyai
karakteristik dan merupakan suatu lingkungan bagi individu. Karakteristik
individu berinteraksi dengan karakteristik organisasi yang akan mewujudkan
perilaku individu dalam organisasi.
Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan, dengan kata lain perilaku kita
pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Dan
dalam mencapai tujuan tertentu seseorang selalu mempunyai motif . motif adalah
ikhwal “mengapanya” perilaku. Motif timbul dan mempertahankan aktivitas serta
menentukan arah umum perilaku seseorang. Motif atau kebutuhan merupakan
dorongan utama aktivitas. Perilaku kelompok adalah semua kegiatan yang
dilakukan oleh dua atau lebih individu yang berinteraksi dan saling mempengaruhi
dan saling bergantung untuk menghasilkan prestasi yang positif baik untuk jangka
panjang dan pertumbuhan diri
Bila satu kelompok terdapat dalam satu organisasi maka anggotanya harus:
Termotivasi untuk bergabung, menganggap kelompok sebagai kesatuan unit dari
orang yang berinteraksi, berkontribusi da;lam berbagai jumlah proses kelompok,
dan mencapai kesepakatan dan ketidaksepakatan melalui berbagi interaksi.
Suatu kelompok dapat dibedakan menjadi dua yaitu kelompok formal dan
kelompok informal. Kelompok formal adalah kelompok yang didefenisikan oleh
struktur organisasi seperti: preiden dengan staf menterinya, ketua DPR dengan
anggota komisi, dan lain-lain. Kelompok informal adalah kelompok yang
terstruktur atau tidak, formal atau tidak ditetapkan secara organisasi, muncul
sebagai tanggapan terhadap kebutuhan akan kontak sosial.
Kelompok merupakan bagian dalam kehidupan manusia. Tiap hari manusia akan
terlibat dalam aktifitas kelompok, demikian juga kelompok merupakan bagian dari
organisasi, dalam organisasi akan banyak ditemui kelompok-kelompok.
Karakteristik suatu kelompok yaitu: adanya dua orang atau lebih, berinteraksi satu
sama lain, saling memebagi beberapa tujuan yang sama, dan melihat dirinya
sebagai suatu kelompok.
b. Perilaku individu, kelompok dan struktur yang ideal dalam suatu organisasi antara
lain :
1) Ketepatan waktu,
2) Mampu memanfaatkan dan menggerakkan perlengkapan dengan baik,
3) Menghasilkan pekerjaan yang memuaskan,
4) Mengikuti cara kerja yang ditentukan oleh perusahaan (kepatuhan pada
peraturan),
5) Memiliki tanggung jawab yang tinggi.
4. a. Durkheim (Abdullah & A. C., 1986) mendefinisikan kesadaran kolektifmsebagai
berikut, yaitu seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam
sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya
kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau
kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular,
kendati hanya bisa disadari lewat kesadarankesadaran partikular. Ada beberapa
hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama, kesadaran kolektif terdapat dalam
kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut keseluruhan kepercayaan dan
sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai
sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran
kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari basis material sebagaimana yang
dikemukakan Marx. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa terwujud melalui
kesadaran-kesadaran individual. Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum
pengertian, norma, dan kepercayaan bersama. Oleh karena itu dia adalah konsep
yang sangat terbuka dan tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk
menyatakan bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang kuat,
yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama , lebih dari masyarakat
modern.
b. 1) Tahap pra afiliasi. Merupakan tahap permulaan, diawali dengan adanya
perkenalan semua individu akan saling mengenal satu sama lain.
Kemudian hubungan berkembang menjadi kelompok yang sangat akrab
dengan saling mengenal sifat dan nilai masing-masing anggota.
2) Tahap fungsional. Ditandai dengan adanya perasaan senang antara satu
dengan yang lain, tercipta homogenitas, kecocokan, dan kekompakan
dalam kelompok. Pada akhirnya akan terjadi pembagian dalam
menjalankan fungsi kelompok.
3) Tahap disolusi. Tahap ini terjadi apabila keanggotaan kelompok sudah
mempunyai rasa tidak membutuhkan lagi dalam kelompok. Tidak ada
kekompakan maupun keharmonisan yang akhirnya diikuti dengan
pembubaran kelompok.

You might also like