You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

Urtikaria merupakan salah satu bentuk kelainan kulit yang sering

terjadi. Dapat terjadi secara akut maupun kronik. Urtikaria (kaligata, gidu,

nettle-rash, hives), adalah erupsi kulit yang menimbul (wheal) berbatas

tegas, berwarna merah, lebih pucat pada bagian tengah, dan memucat

bila ditekan, disertai rasa gatal. Urtikaria dapat berlangsung secara akut,

kronik atau berulang(1.2).

Sekitar 20% individu pernah mengalami urtikaria atau angioedema

pada suatu waktu di masa hidupnya. Urtikaria yang berlangsung kurang

dari 6 minggu disebut urtikaria akut dan yang berlangsung (baik secara

terus menerus maupun berulang) lebih dari 6 minggu disebut urtikaria

kronik. Pada anak, kasus urtikaria akut lebih banyak terjadi(3).

Penyebab urtikaria terbanyak adalah degranulasi sel mast dengan

akibat munculnya urtika dan kemerahan (flushing) karena lepasnya

performed mediator, histamin, juga newly formed mediator pada late

phase cutaneous response. Pada anak, hal ini terutama terjadi akibat

paparan terhadap alergen. Sumber utama alergen yang mencetuskan

urtikaria dengan perantara IgE adalah makanan dan obat. Hal lain yang

dapat mencetuskan urtikaria akut, dan juga sebagian urtikaria kronik

adalah mekanisme non imunologik dan tidak melibatkan IgE. Dalam hal ini
terjadi pelepasan histamin, baik secara langsung, maupun akibat infeksi

virus, anafilatoksin, berbagai peptida, dan protein serta stimulus fisik.

Pada urtikaria kronis penyebab tersering adalah proses autoimun (1,2).

Berikut akan di bahas sebuah tinjauan kepustakaan dengan judul

urtikaria.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.A. Definisi

Urtikaria (kaligata, gidu, nettle-rash, hives), adalah erupsi kulit yang

menimbul (wheal) berbatas tegas, berwarna merah, lebih pucat pada

bagian tengah, dan memucat bila ditekan, disertai rasa gatal. Urtikaria

dapat berlangsung secara akut, kronik atau berulang(1,2).

Gambar 1. Urtikaria(3)

II.B. Klasifikasi

Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi atau etiologi dan

mekanisme patofisiologi(1,2).
1) Durasi

a. Akut

Urtikaria akut biasanya berlangsung beberapa jam sampai

beberapa hari (kurang dari 6 minggu), dan umumnya penyebabnya

dapat diketahui.

b. Kronik

Urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dan urtikaria

biasanya berulang dan tidak diketahui pencetusnya, serta dapat

berlangsung sampai beberapa tahun. Urtikaria kronik umumnya

ditemukan pada orang dewasa.

2) Etiologi dan mekanisme patofisiologi

a. Mekanisme imun

Mekanisme imun dapat diperantarai melalui reaksi hipersensitivitas

tipe I, II dan III.

b. Mekanisme nonimun (anafilaktoid)

- Angioedema herediter

- Aspirin

- Liberator histamin, yaitu zat yang dapat menyebabkan

penglepasan histamin seperti opiat, pelemas otot, obat

vasoaktif, dan makanan (putih telur, tomat, lobster)

c. Fisik

- Dermatografia (writing on the skin)


- Urtikaria dingin

- Urtikaria kolinergik

- Urtikaria panas

- Urtikaria solar

- Urtikaria dan angioedema tekanan

- Angioedema getar

- Urtikaria akuagenik

d. Miscellaneous

- Urtikaria papular

a) Etiologi: gigitan serangan (nyamuk, lebah,dll)

b) Pruritus bifasik: papular: wheal

c) Reaksi hipersensitivitas tipe I dan tipe IV

- Urtikaria pigmentosa

- Mastositosis pigmentosa

- Infeksi disertai urtikaria

- Urtikaria dengan penyakit sistemik yang mendasarinya:

a) Penyakit vaskular kolagen

b) Keganasan

c) Ketidakseimbangan sistem endokrin

- Faktor psikogenik

- Urtikaria dan angioedema idiopatik

II.C. Patofisiologi
Hal yang mendasari terjadinya urtikaria adalah tipe respons dari

Lewis, yaitu eritem akibat dilatasi kapiler, timbulnya flare akibat dilatasi

arteriolar yang diperantarai refleks akson saraf dan timbulnya wheal,

akibat ekstravasasi cairan karena meningkatnya permeabilitas

vaskuler(1,2).

Secara histologi, urtikaria menunjukkan adanya dilatasi pembuluh

darah dermal di bawah kulit dan edema (pembengkakan) dengan sedikit

infiltrasi sel perivaskuler, di antaranya yang paling dominan adalah

eosinofil. Kelainan ini disebabkan oleh mediator yang lepas, terutama

histamin, akibat degranulasi sel mast kutan atau subkutan, dan leukotrin

juga dapat berperan(1,2).

Histamin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di bawah kulit

sehingga kulit berwarna merah (eritema). Histamin juga menyebabkan

peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga cairan dan sel,

terutama eosinofil, keluar dari pembuluh darah dan megakibatkan

pembengkakan kulit lokal. Cairan serta sel yang keluar akan merangsang

ujung saraf perifer kulit sehingga timbul rasa gatal. Terjadilah bentol

merah yang gatal(1,2).

Bila pembuluh darah yang terangsang adalah pembuluh darah

jaringan subkutan, biasanya jaringan subkutan longgar, maka edema yang

terjadi tidak berbatas tegas dan tidak gatal karena jaringan subkutan

mengandung sedikit ujung saraf perifer, dinamakan angioedema. Daerah

yang terkena biasanya muka (periorbita dan peioral) (1,2).


Urtikaria disebabkan karena adanya degranulasi sel mast yang dapat

terjadi melalui mekanisme imun atau nonimun(1,2).

Histamin adalah mediator terpenting pada reaksi alergi fase cepat

yang diperantarai IgE pada penyakit atopik. Histamin terikat pada reseptor

histamin yang berbeda-beda. Terdapat 4 jenis reseptor histamin, yaitu

reseptor H1, H2, H3, H4; masing-masing memiliki efek fisiologik yang

berbeda. Reseptor H4 dapat mengatur fungsi sel imun. Aktivasi reseptor

H4 penting pada kemotaksis dan akumulasi sel pada jaringan alergik yang

mengalami inflamasi. Reseptor histamin H4 berperan pada regulasi

histamin proinflamasi, dipresentasikan pada leukosit dan saluran cerna (1,2).

Gambar 2. Imunopatogenesis urtikaria(1,2)

Mekanisme Imun

Degranulasi sel mast dikatakan melalui mekanisme imun bila

terdapat antigen (alergen) dengan pembentukan antibodi atau adanya sel


yang tersensitisasi. Degranulasi sel mast melalui mekanisme imun dapat

melalui hipersensitifitas tipe I atau melalui aktivasi komplemen jalur

klasik(1,2).

Reaksi hipersensitivitas tipe I

Reaksi tipe I dinamakan juga reaksi tipe cepat dan terbanyak terlihat

pada urtikaria akut. Bila individu terpajan dengan alergen tertentu akan

membentuk antibiotik IgE yang bersifat homositotropik, artinya mudah

terikat pada sel sejenis (homolog), dalam hal ini adalah sel mast. Bila

individu tersebut kemudian terpajan kembali dengan alergen serupa,

maka alergen tersebut akan berikatan dengan molekul IgE yang ada pada

permukaan sel mast. Bridging dari 2 molekul IgE yang ada pada

permukaan sel mast oleh alergen akan mengakibatkan perubahan

konfigurasi membran sel mast. Perubahan ini mengakibatkan aktivasi

enzim dalam sel mast sehingga terjadilah degranulasi sel mast. Akibatnya

isi granula keluar dan menimbulkan efek pada sel target, yaitu pembuluh

darah di bawah kulit. Selain IgE, antibodi igG4 juga dapat memberikan

reaksi tipe I karena sel mast juga mempunyai reseptor igG4 pada

permukaan membrannya(1,2).
Gambar 3. Degranulasi sel mast

Alergen dpat berupa alergen lingkungan seperti debu rumah, tungau

debu rumah, serbuk sari tumbuhan, bulu binatang atau dapat pula alergen

makanan, obat-obatan dan bahan kimia seperti bahan penyedap,

pengawet dan zat warna(1,2).

Aktivasi komplemen jalur klasik

Adanya kompleks imun dapat mengaktivasi komplemen melalui jalur

klasik dan akan menghasilkan peptida C3a serta C5a yang dinamakan

anafilaktosin. Anafilaktosin dapat langsung menginduksi degranulasi sel

mast melalui ikatan langsung dengan reseptor pada membran sel mast.

Akibat degranulasi terjadilah pelesapan histamin sehingga terbentuk

urtikaria(1,2).
Aktivasi komplemen melalui jalur klasik dapat diakibatkan oleh reaksi

hipersensitivitas tipe II dan III, misalnya pada reaksi transfusi drah,

penyakit sistemik, keganasan (limfoma), lupus eritematous sistemik,

hepatitis dan sebagainya. Penglepasan histamin melalui aktivasi

komplemen ini sering dikaitkan dengan patofisiologi urtikaria kronik. Belum

jelas apakah semua penderita yang mengalami aktivasi komplmen akan

menunjukkan gejala urtikaria. Juga belum diketahui apakah faktor yang

mengubah anafilaktosin dalam bentuk inaktif juga memegang peranan.

Saat ini diduga Karboksopeptisidase-N dapat mengubah anafilaktosin

menjadi anafilaktosin inaktif(1,2).

Mekanisme non-imun

Liberator histamin

Beberapa macam obat, makanan, atau zat kimia dapat langsung

menginduksi degranulasi sel mast. Zat ini dinamakan liberator histamin,

contohnya kodein, morfin, polimiksin, zat kimia, tiamin, buah muebei,

tomat dan lain-lain. Sampai saat ini masih belum jelas mngapa zat

tersebut merangsang degranulasi sel mast hanya pada sebagian orang

saja(1,2).

Faktor fisik

Faktor fisik seperti cahaya (urtikaria solar), dingin (urtikaria dingin),

gesekan atau tekanan (dermografisme), panas (urtikaria panas), dan

getaran (vibrasi) dapat langsung menginduksi degranulasi sel mast (1,2).


Latihan jasmani

Latihan jasmani (exercise) pada seseorang dapat pula menimbulkan

urtikaria yang dinamakan juga urtikaria kolinergik. Bentuknya khas, kecil-

kecil dengan diameter 1-3 mm dan sekitarnya berwarna merah, terdapat

di tempat yang berkeringat. Diperkirakan yang memegang peranan adalah

asetilkolin yang terbentuk, yang bersifat langsung dapat menginduksi

degranulasi sel mast(1,2).

Faktor psikis

Faktor psikis atau stres pada seseorang dapat juga menimbulkan

urtikaria. Bagaimana mekanismenya belum jelas(1,2).

Zat penghambat enzim siklooksigenase

Zat penghambat enzim siklooksigenase akan menghambat

metabolisme akan melalui jalur lipoksigenase yang melalui jalur

siklooksigenase, sehingga metabolisme akan melalui jalur lipoksigenase

yang akan menghasilkan leukotrien yang bersifat sama seperti histamin.

Zat tersebut antara lain aspirin, obat antiinflamasi nonsteroid, zat warna

tartrazin, dan zat pengawet sodium(1,2).

Anafilaktosin

Fragmen komplemen anafilaktosin (C3a, C5a) ysng terbentuk

melalui aktivasi komplemen jalur alternatif, misalnya oleh endotoksin,

dapat langsug merangsang degranulasi sel mast(1,2).


II.D. Gambaran Klinis

Urtikaria merupakan penyakit yang sering ditemukan, diperkirakan

3,2-12,8% dari populasi pernah mengalami urtikaria. Dari penelitian di

daerah Utan Kayu, Jakarta Timur, ternyata urtikaria terdapat pada 4,5 dari

penderita atopi(1,2).

Klinis tampak bentol (plaques edemateus) multipel yang berbatas

tegas, berwarna merah dan gatal. Bentol dapat pula berwarna putih di

tengah yang dikelilingi warna merah. Warna merah bila ditekan akan

memutih. Ukuran tiap lesi bervariasi dari diameter beberapa milimeter

sampai beberapa sentimeter, berbentuk sirkulasi atau serpiginosa

(merambat). Tiap lesi akan menghilang setelah 1 sampai 48 jam, tetapi

dapat timbul lesi baru(1,2).

Pada dermpgrafisme lesi sering berbentuk linear, pada urtikaria solar

lesi terdapat pada bagian tubuh yang terbuka. Pada urtikaria dingin dan

panas lesi akan terlihat pada daerah yang terkena dingin atau panas. Lesi

urtikaria kolinergik adalah kecil-kecil dengan diameter 1-3 milimeter

dikelilingi daerah warna merah dan terdapat di daerah yang berkeringat.

Secara klinis urtikaria kadang-kadang disertai angioedema yaitu

pembengkakan difus yang tidak gatal dan tidak pitting dengan predileksi di

muka, daerah periorbita dan perioral, kadang-kadang di genitalia. Kadang-

kadang pembengkakan dapat juga terjadi di faring atau laring sehingga

dapat mengancam jiwa(1,2).


II.D. Pendekatan Diagnosis

Secara klinis, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis,

diagnosis urtikaria dan angioedema tidaklah sulit. Penderita atau orang

tua penderita sendiri pada umumnya sudah dapat menegakkan

diagnosisnya(1,2).

Kesulitan pada diagnosis urtikaria adalah mencari etiologinya. Untuk

itu perlu pendekatan sebagai berikut(1,2):

1) Pendekatan umum

Diagnosis urtikaria-angioedema berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisis. Anamnesis harus dilakukan dengan lengkap dan teliti,

serta lebih menekankan pada faktor etiologi yang dapat menimbulkan

urtikaria-angioedema. Gambaran lesi pada kulit kadang-kadang dapat

pula dipakai sebagai awal untuk melaukan diagnosis etiologi. Pada

anamnesis perlu ditanyakan mengenai fakto etiologi, antara lain:

a. Makanan/inhaled aromas

b. Obat

c. Zat Aditif

d. Inhalan, kontaktan, debum serbuk sari, hewan peliharaan

e. Pekerjaan, hobi

f. Infeksi
Anamnesis(3)

a. Adanya bentol kemerahan pada kulit yang mudah dikenali bahkan

oleh orang tua pasien.

b. Awitan dan riwayat penyakit serupa sebelumnya: untuk

membedakan akut atau kronik dan mengidentifikasi faktor pencetus yang

mungkin sama dengan pencetus sebelumnya.

c. Faktor pencetus ditanyakan faktor yang ada di lingkungan, seperti:

alergen berupa debu, tungau (terdapat pada karpet, kasur, sofa, tirai,

boneka berbulu), hewan peliharaan, tumbuhan, sengatan binatang, serta

faktor makanan seperti zat warna, zat pengawet, zat penambah/modifikasi

rasa, obat-obatan (misalnya: aspirin atau OAINS lainnya), dan faktor fisik

(dingin, panas, dan sebagainya)

d. Riwayat penyakit dahulu: demam, keganasan, infestasi cacing

e. Riwayat pengobatan untuk episode yang sedang berlangsung

f. Riwayat atopi dan riwayat sakit lainnya pada keluarga

Pemeriksaan Fisik(3)

a. Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi kulit berupa bentol

kemerahan yang memutih di bagian tengah bila ditekan. Lesi disertai rasa

gatal. Yang perlu diperhatikan adalah distribusi lesi, pada daerah yang

kontak dengan pencetus, pada badan saja, dan jauh dari ekstremitas atau

seluruh tubuh. Hal lain yang perlu diperhatikan lagi adalah bentuk lesi
yang mirip satu sama lain, bintik kecil-kecil di atas daerah kemerahan

yang luas pada urtikaria kolinergik.

b. Yang perlu diwaspadai: adanya angioedema, adanya distres napas,

adanya kolik abdomen, suhu tubuh meningkat bila lesi luas, dan tanda

infeksi lokal yang mencetuskan urtikaria.

c. Pada urtikaria kronik: hal terpenting adalah mencari bukti dan pola

yang menunjukkan penyait lain yang mendasari, lesi yang menghilang

apabila dilakukan eliminasi diet tertentu, seperti pada penyakit seliak,

yaitu, urtikaria menghilang setelah diberi diet bebas gluten.

2) Pendekatan etiologi spesifik

Bila penyebab spesifik dapat dicurigai berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisis, maka tes diagnostik spesifik (pemeriksaan penunjang)

sangat berguna untuk dilakukan.

3) Pemeriksaan penunjang

a. Reaksi hipersensitivitas tipe I

Untuk reaksi hipersensitivitas alergi dan non allergi ini dapat

dilakukan:

- Hitung eosinofil darah perifer/nasal

- Pemeriksaan konsentrasi tryptase serum, apabila

konsentrasinya >10 mg/ml menunjukkan adanya aktivasi dari

sel mast
Untuk alergi yang diperantarai IgE (IgE mediated) dilakukan

pemeriksaan:

- IgE total serum

Untuk alergen protein (inhalan/makanan) perlu dilakukan:

- Uji tusuk kulit

Satu tetes larutan obat 1:100 dalam larutan garam fisiologis

tanpa pengawet, harus disertai kontrol positif dan negatif.

- Uji intradermal

0,02 ml larutan obat 1:1000 dalam larutan garam fisiologi, harus

disertai kontrol positif dan negatif

Untuk reaksi anafilaksi alergi nonalergi ini perlu dilakukan pemeriksaan

konsentrasi tryptase serum. Apabila konsentrasinya ≥10 mg/ml

menunjukkan adanya aktivasi dari sel mast.

b. Urtikaria Fisik

Kulit yang akan di uji:

- Kulit harus sehat/normal

- Pada daerah volar lengan bawah

- Angioedema herediter

- Uji yang dilakukan pemeriksaan C4, C2, CH30, C1-INH

- Dermatografisme

- Gores kulit normal pada daerah volar lengan bawah dengan

alat tumpul (stik yang keras atau tounge blade/penekanan lidah

atau dengan kuku)


- Suatu reaksi wheal dan kemerahan berbentuk garis akan timbul

dalam 2-3 menit setelah digores. Intensitas puncak terjadi pada

6-7 menit dan hilang spontan dalam 20 menit. Tipe lambat

terjadi dalam 6-9 jam pada sisi yang sama dan menetap

selama 24-48 jam.

Urtikaria yang tergantung pada temperatur

Kulit diberi pajanan temperatur ekstrim(1,2,4):

Urtikaria dingin

- Tempelkan benda dinding pada kulit

- Pegang kubus es atau lebih baik benda dingin yang kering (baskom

tembaga yang diisi es, direndam dalam air dingin atau tabung

kering berisi dry ice)

Urtikaria panas

- Tempel air panas yang dimasukkan dalam tabung pada kulit. Wheal

yang gatal akan timbul dalam beberapa menit.

Urtikaria solar

- Sejumlah anak memiliki protoporfiria eritropoeitik:

- Kulit diberi paparan pancaran sinar berbagai panjang gelombang di

laboratorium
- Wheal/eritem yang pruritik akan timbul pada kulit yang terpajan

pancaran sinar, biasanya hilang dalam 24 jam

Urtikaria tekanan

- Beri tekanan dengan beban

- Beri beban 7-14 kg disekeliling lengan bawah atau bahu selama 10

menit

Angioedema vibrator

- Tempelkan vibrator atau mixed pada lengan bawah selama 4 menit

Urtikaria akuagenik

- Tempelkan kompres air/tap water dicoba pada berbagai temperatur

pada kulit yang diuji. Papul multipel yang gatal seperti urtikaria

kolinergik akan timbul dalam beberapa menit hingga 30 menit.

Urtikaria kolinergik

- Mandi dalam air hangat dan tidak beraktivitas hingga berkeringat

- Wheal/papula yang gatal dengan diameter 1-3 mm, dikelilingi

eritem yang luas timbul dalam 2-20 menit. Episode ini akan

menetap dalam 15-30 menit.

II.E. Diagnosis Banding

1) Sengatan serangga multipel


Pada sengatan serangga akan terlihat titik di tengah bentol, yang

merupakan bekas sengatan(1,2).

2) Angioedema herediter

Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang disertai urtikaria. Pada

kelainan ini terdaoat edema subkutan atau submukosa periodik

diisertai rasa sakit dan terkadang disertai edema laring. Edema

biasanya mengenai ekstremitas dan mukosa gastrointestinalis yang

sembuh setekah 1 sampai 4 hari. Pada keluarga terdapat riwayat

penyakit yang serupa. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan

kadar komplemen C4 dan C2 yang menurun dan tidak adanya

inhibitor C1-esterase dlam serum(1,2).

II.F. Pengobatan

Urtikaria akut pada umumnya lebih mudah disertai dilatasi dan

kadang-kadang sembuh dengan sendirinya tanpa memerlukan

pengobatan. Prinsip pengobatan urtikatia akut sebagai berikut (1,2):

1) Penanganan umum

a. Eliminasi/penghindaran faktor penyebab

b. Antihistamin

Pada urtikaria akut lokalisata cukup diberikan antihistamin

penghambat reseptor histamin H1

c. Adrenergik
Pada urtikaria akut generalisata dan disertai gejala distres

pernapasan, asma atau edema laring, mula-mula diberi larutan

adrenalin (1:1000) dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali subkutan

(maksimum 0,3 ml), dilanjutkan dengan pemberian antihistamin

penghambat reseptor histamin H1

d. Kortikosteroid

Kortikosteroid diberikan bila tidak memeberi respons yang baik

dengan obat-obat lain, dengn mewaspadai efek samping yang

dapat terjadi.

2) Penanganan khusus

Penanganan sesuai diagnosis jenis urtikaria

3) Penanganagn topikal

Untuk mngatasi pruritus, dapat diberikan lotion calamine.

Urtikaria kronik biasanya lebih sukar diatasi. Idealnya adalah tetap

identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, namun hal ini juga sulit

dilakukan. Untuk ini selain antihistamin reseptor H2, kombinasi lain yang

dapat diberikan adalah antihistamin penghambat reseptor histamin H1 non

sedasi dan sedasi pada malam hari atau antihistamin penghambat

reseptor H1 dengan antidepresan trisiklik. Pada kasus berat dapat

diberikan antihistamin penghambat reseptor histamin H1 dengan

kortikosteroid jangka pendek.


4) Suportif(5)

a. Lingkungan yang bersih dan nyaman (suhu ruangan tidak terlalu

panas atau pengap, dan ruangan tidak penuh sesak). Pakaian,

handuk, sprei, dibilas bersih dari sisa deterjen dan diganti lebih

sering.

b. Pasien dan keluarga diedukasi untuk kecukupan hidrasi, dan

menghindarkan garukan untuk mencegah infeksi sekunder

5) Indikasi Rawat(5)

Urtikaria yang meluas dengan cepat (hitungan menit-jam) disertai

dengan angioedema hebat, distres pernapasan, dan nyeri perut

hebat.

II.G. Prognosis

Pada umumnya prognosis urtikaria adalah baik, dapat sembuh

spontan atau dengan obat. Tetapi karena urtikaria merupakan bentuk

kutan anafilaksis sistemik, dapat saja terjadi obstruksi jalan napas karena

adanya edema laring atau jaringan sekitarnya, atau anafilaksis sistemik

yang dapat megancam jiwa(1,2).


DAFTAR PUSTAKA

1. Matondang S Corry, et al.20. Urtikaria-angioedema. Buku ajar alergi-

imunologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia

2. Matondang S Corry, et al.2010. Urtikaria-angioedema. Buku ajar

alergi-imunologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia

3. Wirantari Nadia, et al. 2014. Urtikaria dan angioedema. Periodical of

dermatology and venerology. Volume 26, No. 3.

4. Fitria. 2013. Aspek etiologi dan klinis pada urtikaria. Jurnal

kedokteran syiah kuala. Volume 13, No.2.

5. Widiasmara Delya, et al. 2015. Urtikaria. Ilmu Kesehatan Kulit dan

Kelamin. Volume 22, No. 3.

You might also like