You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

Leukemia adalah penyakit keganasan pada jaringan hematopoietik


yang ditandai dengan penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel
darah abnormal atau sel leukemik. Hal ini disebabkan oleh proliferasi tidak
terkontrol dari klon sel darah immatur yang berasal dari sel induk
hematopoietik. Sel leukemik tersebut juga ditemukan dalam darah perifer
dan sering menginvasi jaringan retikuloendotelial seperti limpa, hati dan
kelenjar limfe(1,2).
Klasifikasi besar leukemia terbagi menjadi leukemia akut dan kronis.
Apabila populasi sel abnormal tidak matang, maka dinamakan bentuk
akut. Sedangkan leukemia yang bersel matang dinamakan leukemia
kronis. Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia
pada anak dan terdiri dari dua tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA)
82% dan leukemia mieloblastik akut (LMA) 18%. Leukemia kronik
mencapai 3% dari seluruh leukemia pada anak(2). Leukemia limfoblastik
akut (LLA) adalah keganasan yang paling umum di diagnosis pada anak-
anak, mewakili lebih dari seperempat dari semua kanker anak(3).
Beberapa penelitian melaporkan bahwa proporsi pasien laki-laki lebih
besar dari pada perempuan, terutama terjadi setelah usia pertama
kehidupan. Proporsi tersebut menjadi lebih dominan pada usia 6-15
tahun. Pada keseluruhan kelompok umur, rasio laki-laki dan wanita pada
LLA adalah 1,15. Leukemia akut jenis LLA (leukemia limfoblastik akut)
terdapat pada ±90% kasus, sisanya 10% merupakan leukemia
mieolobastik akut (LMA), dan leukemia monositik akut (AMoL)(1).
Untuk membantu menegakkan diagnosis leukemia limfoblastik akut
perlu beberapa pemeriksaan penunjang dengan peningkatan jumlah
leukosit, tampak sel leukemia pada darah tepi, sumsum tulang dan LCS,
dan pemeriksaan sitogenetik. Diagnosis pasti leukemia ditegakkan melalui

1
aspirasi sumsum tulang yang akan memperlihatkan keadaan yang
hiperseluler dengan sel blas leukemik lebih dari 30%. Leukemia perlu
dibedakan dengan reaksi leukemoid dimana hanya terjadi peningkatan
leukosit tanpa ada perubahan morfologi. Perlu juga disingkirkan penyebab
demam dan kegagalan sumsum tulang(4).
Salah satu manifestasi klinis dari leukemia adalah perdarahan.
Manifestasi perdarahan yang paling sering ditemukan berupa petekie,
purpura atau ekimosis, yang terjadi pada 40 – 70% penderita leukemia
akut pada saat di diagnosis. Lokasi perdarahan yang paling sering adalah
pada kulit, mata, membran mukosa hidung, ginggiva dan saluran cerna.
Perdarahan yang mengancam jiwa biasanya terjadi pada saluran cerna
dan sistem saraf pusat(1).
Keberhasilam terapi LLA terdiri dari kontrol sumsum tulang dan
penyakit sistemiknya, juga terapi atau pencegahan SSP. Protokol
pengobatan untuk leukemia limfoblastik akut (LLA) yaitu profilaksis sistem
saraf pusat (SSP), prognosis untuk berbagai subtipe LLA, peran
transplantasi sel induk dalam LLA, pengobatan kekambuhan dan
perawatan suportif. Prinsip perawatan umum yang direkomendasikan
untuk pasien yang didiagnosis dengan LLA yaitu termasuk induksi,
konsolidasi, dan terapi pemeliharaan bersama dengan profilaksis SSP.
Lama rata-rata terapi LLA bervariasi antara 1,5-3 tahun dengan tujuan
untuk eradikasi populasi sel leukemia(5,6).
Prognosis dari pasien leukemia Limfoblastik akut tergantung dari
respon terapi awal, jumlah leukosit awal, usia, jenis kelamin dan kelainan
jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis(7).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-
sel prekursor limfoid yang berkembang biak dan menggantikan sel
hematopoietik normal sumsum tulang. Lebih dari 80% kasus, sel-sel
ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya merupakan leukemia sel T.
Leukemia ini merupakan bentuk leukemia yang paling banyak terjadi pada
anak-anak. Walaupun demikian, 20% dari kasus LLA adalah dewasa. Jika
tidak di obati, leukemia ini bersifat fatal(3,4,5).

II.2. Epidemiologi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah jenis kanker dan leukemia
yang paling umum pada anak-anak di Amerika Serikat. LLA menyumbang
75% dari kasus leukemia pediatrik. Pada orang dewasa, penyakit ini
kurang umum daripada leukemia myeloid akut (AML). Diperkirakan bahwa
akan ada 5.960 kasus LLA (dewasa dan anak-anak) di Amerika Serikat
pada tahun 2018, yang mengakibatkan 1470 kematian. Diperkirakan
kelangsungan hidup 5 tahun adalah 68,2%. Tingkat kelangsungan hidup
yang menguntungkan adalah karena tingkat kesembuhan LLA yang tinggi
pada anak-anak. Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai risiko
empat kali lebih besar untuk berkembang biak menjadi LLA, sedangkan
kembar monozigot dari pasien LLA mempunyai risiko 20% untuk
berkembang menjadi LLA. Prognosis menurun dengan bertambahnya
usia, dan usia rata-rata saat meninggal adalah 55 tahun. Di seluruh dunia,
insiden LLA tertinggi terjadi di Italia, Amerika Serikat, Swiss, dan Kosta
Rika Di Eropa secara keseluruhan, prekursor sel B LLA telah meningkat
sekitar 1% setiap tahun(3,5).

3
II.3. Etiologi
Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak diketahui. Faktor
keturunan dan sindrom predisposisi genetik lebih berhubungan dengan
LLA yang terjadi pada anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi
klinik yang berhubungan dengan LLA adalah(5):

1) Radiasi ionik
Orang-orang yang selamat dari ledakan bom atom Hirosima dan
Nagasaki mempunyai risiko relatif keseluruhan 9,1 untuk
berkembang menjadi LLA.
2) Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia
sumsum tulang, kerusakan kromosom, dan leukemia.
3) Merokok
Merokok sedikit meningkatkan risiko LLA pada usia di atas 60
tahun.
4) Obat kemoterapi
5) Infeksi virus Eppstein Barr berhubungan kuat dengan LLA
6) Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich mempunyai
risiko yang meningkat menjadi LLA.

Sebuah tinjauan genetika, biologi sel, imunologi, dan epidemiologi


leukemia masa kanak-kanak oleh Greaves menyimpulkan bahwa
prekursor sel-B LLA memiliki etiologi multifaktorial, dengan proses dua
langkah mutasi genetik dan paparan infeksi memainkan peran penting.
Langkah pertama terjadi di dalam rahim, ketika pembentukan gen fusi
atau hyperdiploidy menghasilkan klon pra-leukemia terselubung. Langkah
kedua adalah akuisisi perubahan genetik sekunder pasca kelahiran yang
mendorong konversi menjadi leukemia terbuka. Hanya 1% anak-anak
yang lahir dengan klon pra-leukemia berkembang menjadi leukemia(3).
Langkah kedua dipicu oleh infeksi. Pemicu lebih mungkin terjadi pada
anak-anak yang respon imunnya diatur secara tidak normal karena
mereka tidak terpapar infeksi pada beberapa minggu dan bulan pertama

4
kehidupan. Kurangnya paparan infeksi awal ini, yang merupakan sistem
kekebalan utama, lebih mungkin terjadi pada masyarakat yang
bersemangat tentang kebersihan; ini akan membantu menjelaskan
mengapa saat ini, LLA pada anak-anak terlihat terutama di masyarakat
industri(3).

II.4. Klasifikasi Leukemia Limfoblastik Akut

Klasifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Morfologi the


French-American-British (FAB) untuk leukemia limfoblastik akut (LLA)
yaitu(8):

Klasifikasi WHO untuk leukemia limfoblastik akut(8)

1) B leukemia limfoblastik / limfoma


2) B leukemia limfoblastik / limfoma, NOS
3) Leukemia / limfoma limfoblastik B dengan kelainan genetik berulang
a. B leukemia limfoblastik / limfoma dengan t (9; 22) (q34; q11.2),
BCR-ABL1
b. B leukemia limfoblastik / limfoma dengan t (v; 11q23); MLL disusun
ulang
c. B leukemia limfoblastik / limfoma dengan t (12; 21) (hal 13; q22)
TEL-AML1 (ETV6 RUNX1)
d. B leukemia limfoblastik / limfoma dengan hiperdiploidi
e. B leukemia limfoblastik / limfoma dengan hipodiploidi
f. B leukemia limfoblastik / limfoma dengan t (5; 14) (q31; q32) IL3-
IGH
g. Leukemia / limfoma limfoblastik B dengan t (1; 19) (q23; p13.3)
TCF3-PBX1
4) T leukemia limfoblastik / limfoma

5
Klasifikasi FAB untuk leukemia limfoblastik akut(8)

1) ALL-L1: Sel kecil dengan kromatin nuklir homogen, bentuk nuklir


reguler, nukleolus kecil atau tidak sama sekali, sitoplasma sedikit, dan
basofilia ringan hingga sedang
2) ALL-L2: Sel heterogen besar dengan kromatin nuklir variabel, bentuk
nuklir tidak beraturan, 1 atau lebih nukleol, jumlah sitoplasma yang
bervariasi, dan variabel basofilia
3) ALL-L3: Sel-sel besar, homogen dengan kromatin halus, kaku; inti
reguler; nukleolus yang menonjol; dan sitoplasma yang sangat
basofilik. Fitur yang paling menonjol adalah vakuola sitoplasma yang
menonjol.

II.5. Patofisiologi

Gambar.1 Patofisiologi Leukemia(9).

6
Sejumlah besar sel pertama menggumpal pada tempat asalnya
(granulosit dalam sumsum tulang, limfosit di dalam limfe node) dan
menyebar ke organ hematopoetik dan berlanjut ke organ yang lebih besar
(splenomegali, hepatomegali). Proliferasi dari satu jenis sel sering
mengganggu produksi normal sel hematopoetik lainnya dan mengarah ke
pengembangan/pembelahan sel yang cepat dan ke sitoenias (penurunan
jumlah). Pembelahan dari sel darah putih mengakibatkan menurunnya
immunocompetence dengan meningkatnya kemungkinan terjadi infeksi(9).
Jika penyebab leukemia adalah virus, maka virus tersebut akan
mudah masuk ke dalam tubuh manusia, jika struktur antigen virus sesuai
dengan struktur antigen manusia. Begitu juga sebaliknya, bila tidak sesuai
maka akan ditolak oleh tubuh. Stuktur antigen manusia terbentuk oleh
struktur antigen dari berbagai alat tubuh terutama kulit dan selaput lendir
yang terletak dipermukaan tubuh. Istilah HL–A (Human Leucocyte Lotus-
A) antigen terhadap jaringan telah ditetapkan (WHO). Sistem HL–A
individu ini diturunkan menurut hukum genetika, sehingga adanya peranan
faktor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat diabaikan (9).
Timbul disfungsi sumsum tulang, menyebabkan turunnya jumlah
eritrosit, neutrofil dan trombosit. Sel-sel leukemia menyusupi limfonodus,
limfa, hati, tulang, dan SPP. Di semua tipe leukimia, sel yang beproliferasi
dapat menekan produksi dan elemen di darah yang menyusup sumsum
tulang dengan berlomba-lomba untuk menghilangkan sel normal yang
berfungsi sebagai nutrisi untuk metabolisme. Tanda dan gejala dari
leukemia merupakan hasil dari infiltrasi sumsum tulang, dengan 3
manifestasi yaitu anemia dan penurunan RBCs, infeksi dari neutropenia,
dan pendarahan karena produksi platelet yang menurun. Invasi sel
leukemia yang berangsur-angsur pada sumsum menimbulkan kelemahan
pada tulang dan cenderung terjadi fraktur, sehingga menimbullkan nyeri.
Ginjal, hati, dan kelenjar limfe mengalami pembesaran dan akhirnya
fibrosis, leukemia juga berpengaruh pada SSP di mana terjadi

7
peningkatan tekanan intra kranial sehingga menyebabkan nyeri pada
kepala, letargi, papil edema, penurunan kesadaran dan kaku duduk (9).
Organ tubuh yang paling sering mengalami leukostasis adalah
susunan saraf pusat dan paru. Leukostasis akan menyebabkan perfusi
yang buruk dan terjadi hipoksia, metabolisme anaerob, asidosis laktat,
akhirnya akan menimbulkan kerusakan dinding pembuluh darah dan
perdarahan. Bila leukostasis terjadi pada susunan saraf pusat maka akan
terdapat gejala klinis berupa pusing, penglihatan kabur, tinitus, ataksia,
delirium, perdarahan retina dan perdarahan intra kranial(9).
Penghancuran sel abnormal berlebihan pada keadaan
hiperleukositosis bisa berlangsung secara spontan atau setelah terapi
sitostatika. Pada keadaan ini harus dipantau terjadinya sindrom lisis tumor
yang dapat mengakibatkan gangguan metabolik dan gagal ginjal akut.
Sindrom lisis tumor dapat terjadi secara spontan, yaitu sebelum
kemoterapi dimulai atau sampai 5 hari setelah kemoterapi diberikan. Lisis
sel tumor menyebabkan terjadinya pelepasan kalium secara cepat, asam
urat yang berasal dari asam nukleat dan fosfat intraselular ke
ekstraselular. Dengan demikian terjadilah keadaan hiperkalemia,
hiperurisemia, hiperfosfatemia dengan hipokalsemia sekunder(9).

II.5. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis leukemia limfoblastik akut bergantung pada
luasnya infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia. Presentasi klinis
sangat bervariasi. Pada umumnya gejala klinis menggambarkan
kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel
leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang
menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan gejala klinis
dapat berhubungan dengan anemia, infeksi dan perarahan. Demam atau
infeksi yang jelas dapat ditemukan pada separuh pasien LLA, sedangkan
gejala perdarahan pada sepertiga pasien yang baru didiagnosis LLA.
Perdarahan yang berat jarang terjadi(5,10,11).

8
Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan(2, 5,10,12):

1) Anemia; mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada


2) Anoreksia
3) Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel
leukemia)
4) Demam, banyak keringat (gejala hipermetabolisme)
5) Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis atau sepsis.
Penyebab yang paling sering adalah stafilokokus, streptokokus dan
bakteri gram negatif usus, serta berbagai sepsis jamur.
6) Perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan
gusi, hematuria, perdarahan retina, perdarahan saluran cerna,
perdarahan otak.
7) Hepatomegali
8) Splenomegali
9) Limfadenopati
10) Massa di mediatinum; pembesaran timus, sindrom vena cava
superior
11) Manifestasi sistem saraf; nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi
intracranial), perubahan dalam status mental, kelumpuhan saraf otak
terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologik fokal.
12) Hemiparese, kejang, ataxia, dismetria, hipotoni dan hiperefleksia.
13) Keterlibatan organ lain; testis, retina, kulit, pleura, perikardium dan
tonsil. Secara umum, infiltrasi testis jarang terjadi (2%), muncul
sebagai pembengkakan tanpa rasa sakit, dan diobati secara agresif
dengan kemoradioterapi.

II.6. Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang
dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal
dan beberapa pemeriksaan penunjang yang lain. Cara ini dapat
mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya memerlukan

9
pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika dan
biologi molekuler(2).

Studi laboratorium rutin pada LLA anak meliputi(11):


a. hitung CBC
b. Apusan darah tepi
c. Kimia serum (misalnya, kalium, fosfor, kalsium)
d. Tingkat asam urat
e. Tingkat LDH
f. Studi koagulasi, seperti PT, aPTT, kadar fibrinogen dan D-dimer

Gambaran laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk diagnosis LLA,
klasifikasi prognosis dan perencanaan terapi yang tepat, yaitu(5):
1) Hitung darah lengkap (complete blood count) dan apusan darah tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat atau rendah pada saat
diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15%
pasien dan dapat melebihi 200.000/mm 3. Pada umumnya terjadi anemia
dan trombositopenia. Proporsi sel blas pada hitung leukosit bervariasi dari
0 sampai 100%. Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit
kurang dari 25.000/mm3.
2) Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan
klasifikasi, sehingga semua pasien LLA harus menjalani prosedur ini.
Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk analisis histologi sitogenetik
dan immunophenotyping. Apus sumsum tulang tampak hiperseluler
dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA
dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia,
maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint
dari jaringan biopsi penting untuk evaluasi gambaran sitologi.
3) Sitokimia

10
Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum
tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemia
mieloblastik akut (LMA). Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan
mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase
adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari
prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas LMA. Sitokimia
juga berguna untuk membedakan prekursor B dan dan B-ALL dari T-ALL.
Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas,
sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan
periodic acid Shiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat
dideteksi dengan pewarnaan atau flow cytometry.
4) Imunofenotip (dengan sitometri arus/flow cytometry)
Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Reagen
yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah
antibodi terhadap:
a. Untuk sel prekursor B: CD10 (common ALL antigen), CD19, CD79A,
CD22, cytoplasmic m-heavy chain, dan TdT
b. Untuk sel T: CD1a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7, CD8 dan TdT
c. Untuk sel B: kappa atau lambda, CD19, CD20 dan CD22.
Pada sekitar 15-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen
mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalah CD13, CD15 dan
CD33. Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat
ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasusu ini jarang dan perjalanan
penyakitnya buruk.
5) Sitogenetik
Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelaianan
sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA tertentu dan dapat
memberikan informasi prognostik. Translokasi t(8;14), r(2;8) dan t(8;22)
hanya ditemukan pada LLA sel B dan kelainan kromosom ini
menyebabkan disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc
pada kromosom 8. Beberapa kelainan sitogenetik dapat ditemukan pada

11
LLA atau LMA, misalnya kromosom philadelphi, t(9;22)(q34;q11) yang
khas untuk leukemia mielositik kronik dapat juga ditemukan pada <5%
LMA dewasa dari 20-30% LLA dewasa.
6) Biologi Molekuler
Teknik molekuler dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin gagal, dan
untuk mendeteksi t(12;21) yangtidak terdeteksi dengan sitogenetik
standar. Teknik ini juga harus dilakukan untuk mendeteksi gen BCR-ABL
yang mempunyai prognosis buruk.
7) Pemeriksaan lainnya
Parameter koagulasi biasanya normal dan koagulasi intravaskular
diseminata jarang terjadi. Kelainan metabolik seperti hiperurisemia dapat
terjadi terutama pada pasien dengan sel-sel leukemia yang cepat
membelah dan tumor burden yang tinggi. Pungsi lumbal dilakukan pada
saat diagnosis untuk memeriksa cairan serebrospinal. Perlu atau tidaknya
tindakan ini dilakukan pada pasien dengan banyaknya sel blas yang
bersirkulasi masih kontroversi. Definisi keterlibatan susunan saraf pusat
(SSP) adalah bila ditemukan lebih dari 5 leukosit /mL cairan serebrospinal
dengan orfologi sel blas pada spesimen sel yang disentrifugasi.

Pemeriksaan Radiologi
Tidak ada studi pencitraan lain selain radiografi dada untuk
mengevaluasi massa mediastinum yang secara rutin diperlukan pada LLA
anak. Namun, studi radiologis berikut dapat membantu:
1) Ultrasonografi: Untuk mengevaluasi infiltrasi testis pada anak laki-laki
dengan testis yang membesar; untuk mengevaluasi keterlibatan ginjal
leukemia sebagai penilaian risiko untuk sindrom lisis tumor
2) EKG, ekokardiogram: Untuk mengidentifikasi disfungsi jantung yang
sudah ada sebelum pemberian antrasiklin (studi awal); untuk
memantau fungsi jantung selama perawatan dengan anthracyclines.

12
II.7. Terapi
Leukemia adalah penyakit sistemik, dan perawatan utamanya
didasarkan pada kemoterapi. Namun, berbagai bentuk LLA memerlukan
pendekatan yang berbeda untuk hasil yang optimal. Pengobatan leukemia
SSP subklinis adalah komponen penting dari terapi LLA(11).

Keberhasilam terapi LLA terdiri dari kontrol sumsum tulang dan


penyakit sistemiknya, juga terapi atau pencegahan SSP. Hal ini dapat
tercapai dengan kombinasi pemberiaan kemoterapi dan terapi
pencegahan SSP (kemoterapi intratekal dan/atau sistemik dosis tinggi,
dan pada beberapa kasus dengan radiasi kranial). Lama rata-rata terapi
LLA bervariasi antara 1,5-3 tahun dengan tujuan untuk eradikasi populasi
sel leukemia(5).

Perawatan untuk LLA biasanya terdiri dari fase-fase berikut(6,11,12):

1) Fase induksi-remisi
Tahap ini diberikan obat deksametason atau prednison, vincristine,
asparaginase dan daunorubicin.
2) Fase intensifikasi/konsolidasi
Protokol ALL Children's Oncology Group (COG) SEMUA
menggunakan tulang punggung terapeutik yang awalnya diperkenalkan
dalam uji klinis Berlin-Frankfurt-Muenster (BFM) pada 1980-an. Ini
termasuk pemberian cytarabine, cyclophosphamide, deksametason,
asparaginase, doxorubicin, MTX, 6-MP, 6-thiouguanine, dan vincristine.
3) Terapi terarah CNS terdiri dari kemoterapi sistemik yang memasuki
CSF, serta kemoterapi intratekal yang diberikan selama seluruh
perjalanan pengobatan, yang utamanya MTX tetapi kadang-kadang
termasuk hidrokortison dan sitarabin (“terapi tiga-intratekal”).
4) Terapi lanjutan yang ditargetkan untuk menghilangkan penyakit
residu diberikan MTX, 6-MP, pulsa vincristine dan glukokortikoid.

13
Farmakoterapi

Obat-obatan yang digunakan dalam pengobatan LLA pediatrik


meliputi(11):

a. Antineoplastik (mis. Vincristine, asparaginase Escherichia coli,


asparaginase Erwinia chrysanthemi, daunorubicin, doxorubicin, MTX,
6-MP, cytarabine, cyclophosphamide)
b. Kortikosteroid (mis. Prednison, deksametason)
c. Antimikroba (mis. TMX / SMP, pentamidine)
d. Antijamur (mis. flukonazol)

Pengobatan sel T LLA mungkin mendapat manfaat dari metotreksat


dosis tinggi dan penambahan nelarabine, tetapi data uji klinis mengenai
dua intervensi ini masih tertunda. LLA sel B matang harus diperlakukan
dengan cara yang sama dengan lymp Burkitt yang disebarluaskan (11).

II.8. Komplikasi
Komplikasi akut dapat melibatkan semua sistem organ dan termasuk
yang berikut(11):

1) Sindrom lisis tumor


2) Gagal ginjal
3) Sepsis
4) Berdarah
5) Trombosis
6) Tiflitis
7) Sakit saraf
8) Ensefalopati
9) Kejang

Selain itu, tindak lanjut seumur hidup diperlukan, karena penyintas


mungkin mengalami efek keterlambatan dari perawatan untuk kondisi ini,
seperti berikut(11):

14
1) Keganasan sekunder
2) Perawakan pendek (jika radiasi kraniospinal)
3) Kekurangan hormon pertumbuhan
4) Ketidakmampuan belajar
5) Cacat kognitif

II.9. Diagnosis banding


1) Anemia Aplastik
2) Paparan Obat
3) Fanconi Anemia
4) Pencitraan dalam Dysplasia Ventrikel Kanan Aritmogenik (ARVD)
5) Juvenile Idiopathic Arthritis
6) Leukositosis
7) Infeksi Parvovirus B19
8) Leukemia Myelocytic Acute Anak
9) Mononukleosis Pediatrik dan Infeksi Virus Epstein-Barr
10) Neuroblastoma Pediatrik
11) Limfoma Non-Hodgkin Anak
12) Osteomielitis anak
13) Rhabdomyosarcoma anak

II.10. Prognosis
Kemungkinan penyembuhan jangka panjang pada LLA tergantung
pada fitur klinis dan laboratorium serta perawatannya. Penilaian risiko
prognostik meliputi gambaran klinis (usia dan jumlah sel darah putih
[WBC] pada saat diagnosis), karakteristik biologis dari ledakan leukemia,
respons terhadap kemoterapi induksi, dan beban minimal penyakit
residual (MRD). Berdasarkan kriteria ini, pasien dapat dikelompokkan
secara efektif menjadi risiko rendah, risiko rata-rata atau standar, risiko
tinggi, dan risiko sangat tinggi(11).

15
Pasien risiko standar berusia 1-9,9 tahun dengan WBC kurang dari
50.000 pada saat presentasi, kekurangan fitur sitogenetik yang tidak
menguntungkan, dan menunjukkan respons yang baik terhadap
kemoterapi awal. Children's Oncology Group (COG) mendefinisikan risiko
standar sebagai kurang dari 1% ledakan dalam darah perifer selama 8
hari dan kurang dari 0,01% ledakan di sumsum tulang pada 29 hari
(respon awal yang cepat). Pasien berisiko rendah memiliki <0,01%
ledakan untuk kedua titik waktu dan memiliki sitogenetik yang
menguntungkan (misalnya, trisomi 4, 10). Pasien berisiko tinggi tidak
memenuhi kriteria ini atau memiliki keterlibatan ekstramedullary yang
membuat mereka tidak pantas untuk diperlakukan sebagai risiko standar.
Pasien dengan risiko sangat tinggi memiliki fitur sitogenetik yang tidak
menguntungkan (kromosom Philadelphia, hipodiploidi (n <44),
penyusunan ulang gen MLL atau respons yang buruk terhadap
kemoterapi awal (kegagalan induksi atau sumsum tulang 29 hari dengan
MRD> 0,01%)(11).

Pasien yang lebih muda dari 1 tahun dengan leukemia akut


memiliki penyakit yang secara biologis berbeda dengan hasil yang
buruk(11).

Kelangsungan hidup bebas-peristiwa (EFS) 5 tahun bervariasi


tergantung pada kategori risiko, dari 95% (risiko rendah) hingga 30-80%
(risiko sangat tinggi), dengan leukemia bayi memiliki hasil terburuk: 20%
untuk pasien yang lebih muda dari 90 hari. COG mendefinisikan ulang
risiko yang sangat tinggi untuk memasukkan pasien risiko tinggi ≥13
tahun, yang membuat kisaran hasil lebih luas untuk subkelompok ini.
Secara keseluruhan, angka kesembuhan untuk leukemia limfoblastik akut
(LLA) lebih dari 80%(11).

Tingkat kelangsungan hidup lima tahun untuk anak-anak yang


didiagnosis dengan LLA naik menjadi 90% dari 2000-2005, yang naik dari

16
84% pada 1990-1994. Peningkatan dalam kelangsungan hidup diamati
untuk semua kelompok umur anak-anak, kecuali untuk bayi di bawah 1
tahun. Di negara-negara berpenghasilan rendah (LIC), hasil terapeutik
untuk LLA anak pediatrik kurang menggembirakan karena keterlambatan
diagnosis, ditinggalkannya terapi, dan kematian akibat toksisitas karena
perawatan suportif yang kurang optimal. Namun demikian, tingkat
kelangsungan hidup bebas peristiwa 4 tahun saat ini adalah 61% di India,
dan lebih dari 78% di Lebanon, menunjukkan bahwa LLA anak dapat
disembuhkan di LIC(11).

Analisis kelangsungan hidup jangka panjang di antara 21.626 anak-


anak dengan LLa yang diobati dalam uji coba COG dari 1990-2005
menemukan bahwa kelangsungan hidup 10 tahun naik menjadi hampir
84% pada 1995-1999 dari 80% pada 1990-1994. Analisis ini juga
menemukan bahwa ketahanan hidup meningkat untuk hampir semua
kelompok, termasuk anak yang lebih tua dan anak kulit hitam (11).

17
BAB III

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

1. Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel sel


prekursor limfoid atau sel progenitor limfoid di sum sum tulang di
sertai anemia, febris, perdarahan dan infiltrasi sel ganas ke organ
lain.
2. Etiologi tidak diketahui secara pasti namun faktor resiko seperti
genetic, lingkungan, radiasi, infeksi dan keadaan imunosupresi
memiliki hubungan dengan angka kesakitan leukemia.
3. Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk
menegakkan diagnosis leukemia limfoblastik akut. Namun untuk
memamstikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi sum sum
tulang, dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan
serebrospinal dan pemeriksaan penunjang lain.
4. Prognosis dari pasien leukemia limfoblastik akut tergantung dari
respon terapi awal, jumlah leukosit awal, usia ,jenis kelamin,dan
kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia.Hematologi. IDAI. Jakarta. 2012


2. Windiastuti E, Nency MY, Mulatsih S, Sudarmanto B, Ugrasena DG.
2018. Buku ajar hematologi-onkologi anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta; IDAI.
3. Greaves M. 2018. A causal mechanism for childhood acute
lymphoblastic leukemia. Nat Rev Cancer.
4. Rudolph MA, JIE Hoffman, CD Rudolph. Leukemia in Rudolph’s
Pediatrics 20th Edition : 1269 – 1278
5. Setiati S, et al. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II, Ed.4.
Jakarta; Interna Publishing.
6. Rowe JM, Buck G, Burnett AK. Induction therapy for adults with acute
lymphoblastic leukemia; result of more than 1500 pasient from
international ALL trial: MRC UKALL XII/ECOG E2993. Blood. 106(12):
3760-7.
7. Parmono B. 2010. Leukemia Akut; Kedaruratan Onkologi Anak dalam
Buku Ajar Hematologi–Onkologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta; IDAI.
8. Wardiman JW, Thiele J, Arber DA. 2009. The 2008 revision of the
World Health Organization (WHO) classification of myeloid neoplasma
and acute leukemia: rationale and important chance. Blood.
114(5):937-51.
9. Kliegman MR, RE Bhermann, HB Jenson, The Leukemias in Nelson
Textbook of Pediatrics 20th Edition : 2116 – 2122
10. Bhatt Mihir, et al. 2014. Childhood acute lymphoblastic leukemia:
diagnosis, management, and complications.
11. Kanwar S Vikramjit. 2017. Pediatric acute lymphoblastic leukemia.
12. Lanzkowsky P, Lipton M. Jeffrey, Fish D Jonathan. 2016.
Lanzkowsky's manual of pediatric hematology and oncology. Sixth
Edition. Chapter 18.

19

You might also like