You are on page 1of 5

PT.

Expravet Nasuba,

https://news.metro24jam.com

Seksi Wilayah I Balai Pengamanan dan Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup Wilayah
Sumatera, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyegel PT. Expravet
Nasuba, Senin (17/8/2018). Perusahaan yang beralamat di Jalan K.L Yos Sudarso KM.8,8,
Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan, Sumatera Utara, ini dianggap
melanggar undang-undang lingkungan hidup, membuang limbah cair ke aliran Sungai Deli.

Operasi penegakkan hukum terhadap perusahan yang bergerak pada pemotongan dan pengolahan
daging serta unggas ini dipimpin Kepala Balai Gakkum LHK Wilayah Sumatera, Edward
Sembiring. Di lokasi, tim gakkum bersama Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC)
Brigade Macan Tutul, dan tim penyidik Seksi Wilayah I mengumpulkan sejumlah barang bukti
beserta sampel limbah cair perusahaan.

Pantauan Mongabay di lokasi, tim penyidik gakkum menelusuri arah pipa terakhir pembuangan
limbah cair ke Sungai Deli. Edward tampak geram dengan pencemaran lingkungan yang
dilihatnya itu.

“Tim silakan segel lokasi ini. Air yang mengalir dari pipa segera hentikan, jangan ada setetes
pun terbuang ke aliran Sungai Deli ini. Silahkan tutup dengan semen,” tegas Edward yang
mendapat pengawalan bersenjata lengkap SPORC Brigade Macan Tutul.

Namun, ketika penyegelan berlangsung, seorang pria datang menghampiri dan ingin penyegelan
dihentikan. “Apa-apaan ini? Kok berani menyegel dan menyemen lubang pembuangan akhir
limbah kami? Saya minta dicabut plang penyegelan,” katanya kepada petugas. Lelaki itu
bernama Hasman, HRD perusahaan. Adu argumen sempat terjadi antara dia dan petugas.

Edward langsung menjelaskan, perusahaan diminta menaati aturan hukum. Keterangan dapat
diberikan saat proses pemeriksaan di Balai PamGakkum KLHK wilayah Sumatera, di Medan.
“Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Tolong jangan begitu, kalau disegel proses produksi bisa
terganggu,” tutur Hasman.

Hasman mengatakan, proses pengolahan limbah perusahaan sedang dalam proses di Balai
Lingkungan Hidup (BLH) Kota Medan. Dia menjelaskan, perusahaan sudah menyerahkan
pengajuan dokumen Analis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pembuangan limbah
akhir. Namun, masih ada penolakan dan perbaikan dari BLH Kota Medan.

“Semua masih dalam proses, Pak. Kan tahu sendiri, birokrasi kita lamban jadi saya minta tolong
ada kelonggaran,” katanya lagi.

Edward kembali bertanya tentang surat peringatan Pemerintahan Kota Medan kepada perusahaan
ini yang membuang limbah cairnya tidak sesuai aturan, Hasman hanya diam, lalu mengakui surat
peringatan itu sudah diterima sejak 2013 lalu.
Edward makin berang, karena sejak 2013 hingga 2018, tidak ada itikad dari perusahaan untuk
memperbaiki pembuangan limbah akhir yang masih dilakukan ke aliran Sungai Deli. Namun,
Hasman masih bersikeras agar penyegelan tidak dilakukan. Menurut dia, perusahaan sudah
mengikuti anjuran BLH Medan agar sebelum dibuang, limbah akhir diendapkan 24 jam dan itu
sudah dilakukan. “Kami juga terus memberbaiki proses pembuangan limbah akhir,” terangnya.

Namun, pihak Gakkum Wilayah Sumatera tetap menyegel perusahaan. Menurut Edward, yang
dilakukan ini adalah perintah undang-undang. Ada Pasal 100 ayat (2) jo Pasal 20 ayat (3) huruf a
dan b jo Pasal 68 huruf b dan c; Pasal 114 dan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jo Pasal 37 Jo Pasal 40 ayat (1),
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Jo Permen LH Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu
Air Limbah. Ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak tiga miliar
Rupiah.

Laporan masyarakat

Edward mengatakan, penghentian kegiatan PT. Expravet Nasuba (EN) berawal dari pengaduan
masyarakat terkait pencemaran Sungai Deli. Pada 25 Agustus 2018, Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup (PPLH) memverifikasi pengaduan, ditemukan fakta bahwa perusahaan tidak
memiliki izin pembuangan limbah cair serta ada saluran pembuangan tanpa pengolahan.

Pada 13 Maret 2013, Wali Kota Medan telah memberikan sanksi administrasi, paksaan
pemerintah, kepada PT. EN berdasarkan SK No: 660.2/396.X/III/2013 atas pelanggaran yang
dilakukan. Namun, perusahaan tidak melaksanakan isi surat tersebut, bahkan tetap membuang
limbah cair langsung ke Sungai Deli.

“PT. EN diduga melanggar peraturan. Atas dasar itu, kami menyegelnya. Kami hanya
menghentikan pembuangan limbah, bukan kegiatan perusahaan,” terangnya.

Edward menyatakan, pihak perusahaan menolak menandatangani berita acara penyegelan. “Namun,
kami sudah lampirkan berita acara penolakan itu. Jika plang penyegelan dicabut, itu pidana dan akan
diproses hukum. Kasus ini akan diusut hingga tuntas,” tegasnya.
PT. Insani Bara Perkasa [IBP]

https://kaltim.tribunnews.com

Bertepatan peringatan Hari Anti Tambang, di Kalimantan Timur [Kaltim] anak usia 10 tahun
meninggal di lubang bekas galian tambang [29/5/2019]. Korban adalah Natasya Aprilia Dewi
[Nad], putri pasangan Sanadi dan Purwanti. Nad merupakan siswi kelas IV SD Islam Jamiatul
Mutaqin, Samarinda.

Menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] Kalimantan Timur, kronologi kematian
Nad bermula saat korban bermain di sekitar lubang tambang menganga seluas 2,31 hektar, tanpa
penjaga. Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang mengatakan, korban tewas di lubang
bekas tambang PT. Insani Bara Perkasa [IBP]. Dari keterangan saksi mata, korban terperosok
tenggelam. Nad sempat mendapatkan perawatan di RSUD IA Moeis, namun dinyatakan
meningga pada 17.30 Wita.

“Nad adalah korban ke-34 selama delapan tahun terakhir. Kalimantan Timur bukan Provinsi
ramah anak. Pemerintah abai akan hal ini,” katanya.

Rupang menambahkan, lubang PT. IBP dibiarkan begitu saja, tidak ada pagar pembatas, tidak
ada papan peringatan kawasan berbahaya, tidak ada petugas. “Kejadian ini sama dengan 33
kasus kematian anak lainnya. Parahnya, lubang tempat Nad tenggelam hanya berjarak 2 hingga 5
meter dari pemukiman warga terdekat,” jelasnya.

Rupang menegaskan, kejadian ini bukti pengabaian perusahaan tambang batubara maupun
Pemerintah Kalimantan Timur. “Pemerintah melihat ini biasa saja. Seharusnya, Provinsi Kaltim
maupun DPRD bersikap tegas,” sebutnya.

Empat nyawa di lubang perusahaan yang sama

Tewasnya Nad merupakan kasus ke empat yang terjadi di konsesi PT. IBP. Pada 25 Desember
2012, MM [11] tenggelam. Hingga kini penanganan kasusnya jalan di tempat, tanpa ada
pengajuan dan pelimpahan ke pengadilan.

Berikutnya, pada 9 April 2016, MA [5] jatuh ke timbunan sisa batubara yang terbakar. MA
mengalami luka bakar di sekujur tubuh, hingga 70 persen, dirawat 27 hari di RSUD IA Moeis. Ia
menjalani enam kali operasi termasuk amputasi lengan kiri, kelingking kanan, dan tiga jari kaki
kanan. Tidak lama berselang WM pada 15 Mei 2016 [17] meregang nyawa tenggelam, di lokasi
berbeda tapi di lubang tambang PT.IBP. Seperti MM dan MA, penegakan hukum kematian WM
berhenti, tanpa ada transparansi.

“Perusahaan ini bermasalah, tapi tidak ditutup. Kematian anak-anak dan perlawanan warga kerap
terjadi, pemerintah seakan tutup mata. Demikian pula Polda Kaltim, gugatan demi gugatan terus
dilayangkan warga, tapi belum ada perkembangan,” kata Rupang.
PT. Insani Bara Perkasa dengan luas konsesi 24.477 hektar merupakan perusahaan tambang
batubara di bawah bendera PT Resources Alam Indonesia [RAI] yang mayoritas sahamnya
[39,36 persen] dimiliki UBS AG Singapore. Dengan produksi mencapai 1.611.451 ton pada
2018, hampir seluruhnya diekspor ke luar negeri, yakni Korea [59,54 persen], India [31,21
persen], China [7,08 persen], dan Bangladesh [2,16 persen].

Kritik

Jatam Kaltim menilai, Gubernur Provinsi Kaltim tidak memiliki sikap. Masyarakat Kaltim
pernah dihebohkan dengan pernyataan Gubernur Kaltim yang mengatakan meninggal di lubang
tambang adalah nasib. “Kaltim memiliki Gubernur cuek, anak-anak mati katanya nasib. Banyak
korban di lubang tambang, katanya jangan-jangan lubang tambang ada hantu,” kata Rupang.

Uniknya, lanjut Rupang, setelah korban ke-34 jatuh, Gubernur Kaltim, Isran Noor malah minta
para orang tua lebih sadar, memerhatikan dan menjauhkan anak-anak dari lubang. Padahal, kata
dia, sudah kewajiban Pemerintah Kaltim menyediakan jaminan keselamatan bagi warganya.

Rupang menyayangkan jatuhnya korban yang berulang. Untuk itu, Jatam menegaskan, penting
bagi Provinsi Kaltim membekukan Kantor ESDM beserta seluruh fungsi, wewenang dan
instrumen perizinan. “Buat apalagi ada kalau kematian di lubang tambang dibiarkan.”

Terpisah, dihubungi melalui WhatsApp, Wakil Gubernur Kaltim, Hadi Mulyadi tidak bersedia
memberikan keterangan. Hadi hanya membalas pesan dengan permintaan maaf melalui gambar
tangan saja.

Kacamata hukum

Akademisi Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menyebut kasus


kematian di lubang tambang memiliki dua bentuk penanganan: administrasi dan pidana. Herdi
menjelaskan, untuk sanksi administrasi, kewenangan pemerintah sebagai pihak yang
memberikan izin usaha pertambangan [IUP]. Sayangnya, kata dia pemerintah sepertinya tidak
belajar dari pengalaman.

“Bagi saya, perusahaan yang wilayah konsesinya memakan korban jiwa, layak mendapat sanksi
aministrasi pencabutan IUP. Lubang itu akibat kewajiban reklamasi yang tidak dilakukan,”
ujarnya.

Sanksi pidana, lanjutnya, domain aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian. “Saya heran,
sampai hati kasus-kasus hilangnya nyawa manusia dibiarkan begitu saja. Seperti diabaikan dan
didiamkan. Itu kan seperti menghina rasa keadilan publik, terutama para korban,” jelasnya. Jelas,
peristiwa ini pidana, bisa dikenakan sangkaan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang
menyebabkan orang lain mati. Ancaman hukuman 5 tahun penjara.

Herdi menjelaskan, letak kelalaian adalah tidak ada reklamasi, lalu prinsip kehati-hatian yang
tidak dijalankan. Misalnya, tidak adanya pemasangan rambu tanda bahaya dan pagar pembatas
sesuai Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor : 555.K/26/M.PE/1995.
“Bagi saya, pemerintah selama ini memang tidak punya sense of humanity terhadap hilangnya
nyawa manusia di lubang tambang. Sanksi tegas administrasi dan pidana harusnya dilakukan.
Tapi, semua tidak ada,” katanya.

Bagaiman dengan pendapat yang menyebut kejadian ini karena orangtua korban yang tidak
mengawasi anaknya. Bagi Herdi, pendapat itu menyesatkan, logikanya terbalik. Pertama, relasi
kausalitas atau hubungan sebab akibatnya kan jelas, karena kewajiban reklamasi lubang tambang
yang dijalankan menyebabkan hilangnya nyawa manusia, mayoritas anak-anak. Soal tanda
bahaya itu aspek penopang. Kedua, jangan pakai logika victim blaming, sudah jadi korban,
malah disalahkan.

“Saya beri analogi, perempuan yang menggunakan pakaian minim yang jadi korban
pemerkosaan, apa perempuannya yang disalahkan? Itu sesat pikir. Yang salah itu karena otak
pria yang mesum,” pungkasnya.

You might also like