Professional Documents
Culture Documents
STATUS PASIEN
I. PASIEN
1. Identitas Pasien
a. Nama/Kelamin/Umur : Tn. S/Laki-laki/55 th
b. Pekerjaan/Pendidikan : Pekerja Bangunan /SD
c. Alamat : RT 02 Tanjung raden
2. Latar Belakang Sosial-Ekonomi-Demografi-Lingkungan Keluarga
a. Status Perkawinan : Telah menikah
b. Jumlah Anak : 2 orang
c. Status Ekonomi Keluarga : Menengah
d. Kondisi Rumah :
1
3. Aspek Prilaku dan Pikologis di Keluarga :
Pasien merupakan seorang pekerja bangunan. Sehari-hari pasien
membuat bangunan di tanah berpasir. Pasien biasanya menggunakan sepatu
boot, namun terkadang pasien lupa menggunakan sepatu dan bekerja tanpa
alas kaki.
Pasien memiliki 2 orang anak. Anak sulungnya laki-laki bersekolah
jenjang SMK. Anak bungsu pasien masih sekolah di SD. Istri pasien seorang
IRT. Menurut pasien hubungan antar anggota keluarga cukup harmonis.
Hubungan dengan tetangga juga tidak ada masalah.
4. Keluhan Utama
Timbul ruam kemerahan yang memanjang dan berkelok-kelok dengan
disertai rasa gatal pada betis kiri sejak ± 1 minggu sebelum datang ke
puskesmas.
2
Keluhan juga disertai rasa gatal. Gatal dirasakan hilang timbul dan
semakin lama semakin memberat terlebih saat malam hari sehingga pasien
tidak tahan untuk menggaruk dan menjadi sulit tidur. Ruam tersebut digaruk
terkadang hingga timbul rasa pedih. Keluhan ruam dan gatal hanya terlokalisir
di daerah betis kiri tersebut. Demam disangkal. Gigitan serangga sebelum
keluhan muncul disangkal.
9. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital : TD 130/80 mmHg, nadi 92 x/i, RR 20 x/i, suhu 36,5º
BB/TB : 65 kg/155 cm IMT: 27 (obesitas derajat I)
Kepala : Normocepal
Telinga : Nyeri tekan (-), bengkak (-)
Hidung : Simetris, napas cuping hidung (-), lendir -/-
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-)
Tenggorok : Tonsil T1/T1, hiperemis(-), faring hiperamis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)
Thorak :
3
Pulmo :
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Simetris Simetris
Palpasi Stem fremitus normal Stem fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler (+) Vesikuler (+)
Wheezing (-), rhonki (-) Wheezing (-), rhonki (-)
Jantung :
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavicula kiri, tidak
kuat angkat.
Perkusi Batas-batas jantung :
Atas : ICS II kiri
Kanan : Linea sternalis kanan
Kiri : ICS IV linea midclavicula kiri
Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi Cembung, massa (-), jaringan parut (-), bekas operasi (-)
Palpasi Nyeritekan (-),defans musculer (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-), nyeri ketok costovertebra (-/-)
Perkusi Timpani
Auskultasi Bising usus (+) normal
Status Lokalis
Et regio dorsum pedis dextra et sinistra
Papul eritem multipel, bentuk tidak beraturan memanjang dan berkelok-
kelok, tepi ireguler, sirkumskrip, serpiginosa, tanda radang di daerah
sekitar ruam (-).
4
10. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
11. Usulan Pemeriksaan :
- Pemeriksaan IgE serum dan eosinophil
- Biopsi kulit
12. Diagnosis Kerja
B76.9 Creeping Eruption
13. Diagnosis Banding
- B 86. Skabies
- S30.860A Insect Bite
- B 35.4 Tinea Corporis
14. Manajemen
a. Promotif :
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit yang
diderita pasien dan penatalaksanaannya
Menjelaskan kepada pasien untuk menjaga imunitas tubuhnya dengan
makan-makanan bergizi dan cukup istirahat
Menjelaskan kepada pasien untuk menjaga kebersihan diri, rumah dan
lingkungan sekitar.
b. Preventif.
Selalu menggunakan alas kaki saat beraktivitas di luar rumah
Cuci tangan dan kaki sebelum ataupun sesudah beraktifitas dari luar
rumah
Hindari bermain dengan kucing ataupun binatang yang dapat
membawa infeksi parasit
5
Jangan menggaruk pada daerah yang gatal
c. Kuratif :
Non Farmakologi
Semprotan dengan Kloretil pada ujung lesi sampai beku
Farmakologi :
Albendazol 400 mg tab 1x1 selama 3 hari
CTM 4 mg tab 3x1 untuk 3 hari
Obat Tradisional
Pegagan
Ekstrak salep 1%, atau serbuk 2% mempercepat penyembuhan
luka. Sebuah formulasi yg mengandung Asiaticoside menyembuhkan
64% luka kotor dan luka kronik yang resisten terhadap terapi biasa.
Pada open study, terapi 20 pasien dengan luka kotor dan kronik
menggunakan sediaan mengandung 89,5% C. asiatica menyembuhkan
luka 64% dan perbaikan 16%. Aplikasi topical ekstrak pada luka
mempercepat penyembuhan, mencegah parut dan pembengkakan
karena infeksi dan mencegah timbul jaringan parut hipertropik.
d. Rehabilitatif
Menaati nasihat dokter dan minum obat sesuai anjuran dokter
Melakukan kontrol ke Puskesmas
6
Resep Puskesmas
Resep
Ilmiah 1
Resep ilmiah 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Creeping eruption atau yang disebut juga cutaneus larva migrans dermatosis
linearis migrans, sandworms disease adalah kelainan kulit yang merupakan
Pro : Pro :
peradangan
Alamat : berbentuk linear atau berkelok-
Alamat : kelok, menimbul dan progresif,
disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing.
Penyakit ini banyak terdapat di daerah tropis atau subtropis yang hangat dan lembab,
misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat, Asia Tenggara begitu juga Indonesia.
1-3
2.2 Epidemiologi
Creeping eruption adalah penyakit yang terdapat pada daerah tropis atau
subtropis yang hangat dan lembab. Penyakit ini dapat mengenai semua jenis kelamin
dan umur. Creeping eruption merupakan urutan kedua diantara infeksi cacing kremi
dinegara maju. Misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat, terutama Amerika
Serikat bagian tenggara, Karibia, Amerika Pusat, India, Asia Tenggara, dan banyak dijumpai
di Indonesia. 2,4,5,6
Infestasi lebih sering ditemukan saat ini karena tingginya mobilitas dan
tamasya. Dilaporkan adanya outbreak insiden CLM di perkemahan anak-anak di
Miami, Florida pada tahun 2006. Dilaporkan 22 orang (33,7%) terdiri dari anak-anak
dan dewasa, menderita CLM setelah 2,5 minggu berada di perkemahan. Dari analisis
didapatkan 22 orang tersebut bermain di kotak pasir selama minimal 1 jam per hari,
berjemur matahari 1 jam per hari, 17 dari 22 orang yang terkena ternyata tidak
mengenakan sandal pada saat bermain pasir. Banyak yang mengakui adanya kucing
yang berkeliaran dalam jumlah cukup banyak di sekitar perkemahan.7
2.3 Etiologi
Creeping eruption biasanya ditujukan untuk lesi yang diakibatkan cacing
tambang dengan hospes non-manusia. Penyebab utama adalah larva yang berasal
dari cacing tambang binatang anjing dan kucing, yaitu Ancylostoma braziliense
dan Ancylostoma caninum. Ancylostoma braziliense adalah penyebab tersering. Di
Asia Timur umumnya disebabkan oleh gnathostoma babi dan kucing. Pada beberapa
kasus ditemukan Echinococcus, Strongyloides stercoralis, Dermatobia maxiales dan
Lucilia caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat,
misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan cattle fly. 1,3,6
Gambar 2.1 : Nematoda dewasa Ancylostoma Braziliense
2.4 Patogenesis
Creeping eruption disebabkan oleh berbagai spesies Uncinaria (cacing
tambang) binatang yang didapat dari kontak kulit langsung dengan tanah yang
terkontaminasi feses anjing atau kucing. Hospes normal cacing tambang ini adalah
kucing dan anjing. Telur cacing diekskresikan kedalam feses, kemudian menetas pada
tanah berpasir yang hangat dan lembab. Kemudian terjadi pergantian bulu dua kali
sehingga menjadi bentuk infektif (larva stadium tiga). Manusia yang berjalan tanpa
alas kaki terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva dimana larva menggunakan enzim
protease untuk menembus melalui folikel, fisura atau kulit intak. Setelah penetrasi
stratum korneum, larva melepas kutikelnya. Biasanya migrasi dimulai dalam waktu
beberapa hari. Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa
sentimeter perhari, biasanya antara stratum germinativum dan stratum korneum.
Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang dermoepidermal. Hal
ini menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik setempat. Setelah beberapa jam atau hari
akan timbul gejala di kulit. Larva bermigrasi pada epidermis tepat di atas membran
basalis dan jarang menembus ke dermis.
Gambar 2.4 : Siklus Hidup Ancylostoma Braziliense
Manusia merupakan hospes aksidental dan larva tidak mempunyai enzim
kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran basalis sampai ke dermis. Sehingga
penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim proteolitik yang disekresi larva
menyebabkan inflamasi sehingga terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva
tidak bisa mencapai intestinum untuk melengkapi siklus hidup, larva sering kali
migrasi ke paru-paru sehingga terjadi infiltrat pada paru. Pada pasien dengan keterlibatan
paru-paru didapatkan larva dan eosinofil pada sputumnya. Kebanyakan larva tidak mampu
menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa hari sampai beberapa bulan.2,3,5
2.5 Gambaran Klinis
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula
akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear,
menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul
yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah ada di kulit
selama beberapa jam atau hari.1
Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-
kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow),
mencapai panjang beberapa cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari.
Terjadi rasa gatal pada ujung lesi yang bertambah panjang karena terdapat larva.
Larva filariform pada manusia tidak berkembang menjadi dewasa, infeksi larva
terbatas hanya pada lapisan epidermis, yang menyebabkan kelainan berupa garis
merah berbentuk serpiginosa yang disebut Creeping eruption. Masuknya larva kekulit
dapat menimbulkan erupsi yang tidak spesifik, dapat berupa sensasi tingling atau
prickling selama 30 menit sejak larva masuk kulit. Kemudian jaringan kulit yang
ditembus larva filariform berubah menjadi papul keras, merah dan gatal. Larva dapat
tidur selama beberapa minggu atau bulan atau segera memulai aktifitasnya. Dalam
beberapa hari berikutnya, akan terbentuk terowongan sempit di intrakutan yang
menimbul dengan diameter 2-3 mm dengan panjang 3-4 cm dan berwarna
kemerahan. Terowongan ini membentuk garis yang semakin panjang sesuai dengan
gerakan larva yang ada didalamnya. Penyakit ini self-limited dengan kematian larva
dalam waktu sebulan atau dua bulan. Lebar lesi berkisar antara 3mm dan panjang
bervariasi mencapai 15-20 cm. Lesi bisa tunggal atau multipel, sangat gatal dan bisa
juga nyeri. 1,6,7
2.7 Diagnosis
Diagnosis creeping eruption ditegakkan berdasarkan atas gambaran klinis,
riwayat pajanan epidemiologi dan ditemukan lesi yang khas. Bentuk khas, yakni
terdapatnya kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok-kelok, menimbul,
dan terdapat papul atau vesikel di atasnya. Biopsi spesimen diambil pada ujung
jalur yang mungkin mengandung larva tetapi biopsi kurang mempunyai arti karena
larva sulit ditemukan. Bila infeksi ekstensif bisa dijumpai tanda sistemik berupa
eosinofilia perifer, sindrom loeffler (infiltrate paru yang berpindah-pindah),
peningkatan kadar IgE. Hanya sedikit pasien yang menunjukkan eosinofilia perifer
dan peningkatan IgE. 1,3,8
B. Insect bite
Insect bite merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh gigitan dari hewan.
Kelainan kulit disebabkan oleh masuknya zat farmakologis aktif dan sensitasi antigen
dari hewan tersebut. Dalam beberapa menit akan muncul papul persisten yang
seringkali disertai central hemmoragic punctum. Reaksi bulosa sering terjadi pada
kaki anak-anak. Pada permulaan timbulnya creeping eruption akan ditemukan papul
yang menyerupai insect bite (Gambar 8). 4,13
Gambar 2.7. Gigitan serangga pada punggung
2.9 Penatalaksanaan
Cutaneous larva migrans ini adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri.
Berapa lama penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya tergantung spesies larva
yang menginfeksi. Pada beberapa kasus, lesi akan sembuh tanpa terapi dalam 4
sampai 8 minggu. Tetapi, terapi yang efektif dapat mempercepat penyembuhan
penyakit ini. Adapun terapi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
Non-Medika Mentosa
Infeksi cacing tambang binatang dapat dicegah dengan meningkatkan sistem
sanitasi yang baik terutama yang terkait dengan feses. Pemakaian sepatu tertutup
pada area dimana banyak terdapat penyakit cacing tambang. Memperhatikan
kebersihan dan menghindari kontak yang terlalu banyak dengan hewan-hewan yang
merupakan karier cacing tambang. Menghindari kontak kulit langsung dengan tanah
yang tercemar kotoran binatang. Pengobatan cacing tambang untuk kucing dan
anjing merupakan hal yang utama untuk mencegah creeping eruption. Kotoran
binatang harus dipindahkan secara benar dari area aktivitas manusia. Creeping
eruption bisa dicegah dengan mudah dengan memakai alas kaki yang memadai setiap
saat. 1-3
Medikamentosa
a. Pengobatan Sistemik (Oral)
Anti-Helmintes
Tiabendazol
Merupakan drugs of choice. Sejak tahun 1963 telah diketahui bahwa
antihelminthes berspektrum luas, misalnya tiabendazol ternyata efektif. Obat
ini sukar didapat. Menghambat enzim fumarat reductase sehingga
menginhibisi pembentukan mikrotubuli. Akan terjadi gangguan uptake
glukosa dan inhibisi malat dehidrogenase. Merupakan antihelminthes
heterosiklik generasi ketiga. 1-3
Untuk dosis orang dewasa:
Topikal berupa supensi 10-15% (kadang dicampur dengan krim
kortikosteroid) secara oklusi, 2 kali sehari, selama minimal 1 minggu
Oral 25-50 mg/kgBB/hari, tiap 12 jam, selama 2-5 hari
Untuk dosis anak-anak :
Dengan dosis 25-50 mg/kgBB/hari setiap 12 jam. Tidak lebih dari 3
gr/hari.
Tiabendazol lebih toksik daripada benzimidazol dan ivermectin sehingga
lebih dipilih agen yang lain. Efek samping yang sering berupa pusing,
anoreksia, nausea dan muntah. Permasalahan yang lebih jarang seperti
nyeri epigastrium, kram abdomen, diare, pruritus, nyeri kepala,
mengantuk, dan simtom neuroleptik. Pernah dilaporkan kerusakan hati
yang ireversibel dan sindrom Steven Johnson. Tiabendazol pada anak di
bawah 15 kg masih terbatas penggunaaannya. Obat ini tidak boleh digunakan
untuk ibu hamil atau yang menderita penyakit hati maupun ginjal. 1-3
Ivermectin
Antiparasit semisintetik makrosiklik yang berspektrum luas terhadap
nematoda. Cara kerjanya dengan menghasilkan paralisis flaksid melalui
pengikatan kanal klorida yang diperantarai glutamat. Mungkin merupakan
drug of choice karena keamanan, toksisitas rendah dan dosis tunggal. 1-3
Untuk dosis dewasa :
12 mg atau 200 ug/kgBB dosis tunggal
Untuk dosis anak-anak :
<5tahun : 150 ug/kgBB dosis tunggal
>5 tahun : sama dengan dewasa
Efek samping mencakup kelelahan, pusing, nausea, muntah, nyeri
perut dan bercak kemerahan. Hindari penggunaan bersama obat yang
meningkatkan aktivitas GABA seperti barbiturat, benzodiazepine dan asam
valproat. Ivermectin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.1-3
Albendazol
Antihelmintes bersepektrum luas yang mengganggu uptake glukosa
dan agregasi mikrotubuli. Sebagai alternatif pengganti tiabendazol.
Untuk dosis dewasa:
400 per oral, sekali sehari, selama 3 hari atau 2x200 mg sehari selama 5 hari
Untuk dosis anak-anak :
<2 tahun : 200 mg/hari selama 3 hari dan diulang 3 minggu kemudian
jika perlu
>2 tahun : sama seperti dewasa
Bila digunakan 1-3 hari, albendazol hampir bebas efek samping. Bisa
terjadi gejala ringan distres epigastrium, diare, sakit kepala, nausea,
pusing, lesu dan insomnia. Pada pemakaian jangka panjang harus dicek
darah dan fungsi hati. Tidak boleh diberikan pada orang yang
hipersensitif terhadap benzimidazol lainnya atau orang dengan sirosis.
Kemanan pada ibu hamil dan anak kurang dari 2 tahun masih belum
diketahui. 1-3
Mebendazol
Antihelmintes spektrum luas yang menginhibisi perakitan mikrotubuli dan
memblok uptake glukosa sehingga terjadi deplesi cadangan glikogen parasit.
Untuk dosis dewasa : 200 mg per oral, 2 kali sehari selama 4 hari
Untuk dosis anak-anak :
<2 tahun : tidak disarankan
>2 tahun : seperti dewasa
Bisa terjadi nausea, muntah, diare dan nyeri abdominal. Efek samping
yang jarang berupa reaksi hipersensitivitas, agranulositosis, alopesia dan
peningkatan enzim hati. Mebendazol teratogenik pada binatang sehingga tidak
disarankan untuk ibu hamil. Pada anak kurang dari 2 tahun harus berhati-hati
karena masih kurangnya penelitian. Kadar plasma bisa berkurang pada
penggunaan bersama karbamazepin atau fenitoin. Meningkat ada penggunaan
bersama simetidin. Harus berhati-hati pada orang dengan sirosis. Hasil studi
yang dilakukan Tae Hyeung Kim, Byeung Song Lee, dan Wook Mok
Sohn mendapatkan bahwa ivermectin dosis tunggal 12 mg pada studi acak
21 pasien didapat hasil lebih efektif daripada albendazol 400mg dosis
tunggal. Tiabendazol juga merupakan pengobatan yang efektif untuk
CLM. Namun ivermectin dan tiabendazol sukar didapat sehingga
disarankan pengobatan dengan albendazol dosis tunggal. Anti-Pruritus
antihistamin membantu mengurangi rasa gatal. 1-3
b. Pengobatan Topikal
Obat pilihan berupa tiobendazol topikal 10%, diaplikasi 4 kali sehari
selama satu minggu. Topikal tiobendazol adalah pilihan terapi pada lesi yang
awal, untuk melokalisir lesi, mengurangi lesi multipel dan infeksi folikel oleh
cacing tambang. Obat ini perlu diaplikasikan di sepanjang lesi dan pada kulit
normal di sekitar lesi. Dapat juga digunakan solutio tiobendazol 2% dalam
DMSO (dimetil sulfoksida) atau tiobendazol topikal ditambah kortikosteroid
1-3
topikal yang digunakan secara oklusi dalam 24-48 jam. Eyster mencoba
pengobatan topikal solusio tiobendazol dalam DMSO dan ternyata efektif.
Demikian pula pengobatan secara oklusi selama 34-48 jam telah dicoba oleh
Davis. Namun pengobatan ini mempunyai efek samping seperti nausea,
diare, anoreksia, pusing, sakit kepala, pembesaran KGB dan reaksi alergi.
Keamanan pengobatan ini selama kehamilan masih belum diketahui. 1-3
A. Bedah beku
Cara terapi ialah dengan bedah beku atau krioterapi yakni
menggunakan etil klorida atau dry ice dengan penekanan 45 detik sampai 1
menit, 2 hari berturut-turut. Penggunaan NO2 cair juga pernah dicoba. Cara
beku dengan menyemprotkan kloretil sepanjang lesi. Cara tersebut di atas
agak sulit karena kita tidak mengetahui secara pasti di mana larva
berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan di sekitarnya.
Terapi ini efektif bila epidermis terkelupas bersama parasit. Seluruh
terowongan harus dibekukan karena parasit diperkirakan berada dalam
terowongan. Cara ini bersifat traumatik dan hasilnya kurang dapat dipercaya. 3
BAB III
ANALISIS KASUS
DAFTAR PUSTAKA
1. Aisah S. Creeping eruption. In: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit kulit dan
kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2007. p. 125-
6.
2. Bolognia JL. Cutaneus larva migrans. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editors. Dermatology. 2nd ed. USA: Mosby; 2008. p. 9-10.
3. Estrada R. Larva migrans (Larva migrans syndrome). In: Arenas R, Estrada R,
editors. Tropical dermatology. Goergetown, Texas: Landes Bioscience; 2001. p.
213-8.
4. Habif TP. Infestations and Bites. In: Hodgson S, editor. Clinical dermatology
fourth edition A color guide to diagnosis and therapy. 4 th ed. Hanover, NH, USA:
Mosby; 2003. p. 499, 537.
5. Wilson ME, Caumes E. Helmintic infection. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilcrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's dermatology in
general medicine. 7th ed. New York: Mc Graw Hill; 2008. p. 2016.
6. Vega-Lopez F, Hay RJ. Parasitic Worms and protozoa. In: Burns T, Breathnach S,
Cox N, Griffiths C, editors. Rook's textbook of dermatology. 7 th ed: Blackwell;
2004. p. 17-8.
7. Micantonio T, Peris K. Pruritic, serpiginous eruption in a returning traveller.
CMAJ.JAMC 2008:51-2.
8. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM. Infeksi Parasit: Creeping Eruption, Skabies.
In: Penyakit kulit yang umum di Indonesia. Jakarta: PT Medical Multimedia
Indonesia; 2005. p. 71-2.
9. Handoko RP. Skabies. In: Djuanda A, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5
ed. Jakarta: FK-UI; 2010. p. 122-4.
10. Estrada R. Scabies. In: Arenas R, Estrada R, editors. Tropical dermatology.
Georgetown, Texas: Landes Bioscience; 2001. p. 207-9.
11. Handoko RP. Penyakit Virus: Herpes zoster. In: Djuanda A, editor. Ilmu penyakit
kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: FK-UI; 2010. p. 110.
12. Gawkroder DJ. Infestations: Insect bite & Scabies. In: Home T, editor.
Dermatology an illustrated colour Text. 3 th ed. Sheffield, UK: Churchill
Livingstone; 2002. p. 51, 58-59.
13. Hunter J, Savin J, Dahl M. Infestation: Insect Bite, Scabies, Larva migrans. In:
Taylor S, editor. Clinical dermatology. 3th ed: Blackwell; 2002. p. 224-32.
14. Budimulja U. Mikosis: Dermatofitosis. In: Djuanda A, editor. Ilmu penyakit kulit
dan kelamin. 5th ed. Jakarta: FK-UI; 2010. p. 92-93.
15. Arenas R. Dermatophytosis. In: Arenas R, Estrada R, editors. Tropical
dermatology. Georgetown, Texas: Landes Bioscience; 2001. p. 2-8.
LAMPIRAN
Dokumentasi