You are on page 1of 7

IDUL ADHA

Oleh: Yusuf Hidayat*)

A
ku dan adikku, Abdul, duduk di teras rumah sembari menunggu azan
magrib berkumandang. Tidak terasa waktu sudah masuk di awal bulan
Dzulhijjah 1440H. 10 hari lagi hari raya Idul Adha akan tiba. Aku dan
adikku, sangat berbahagia karena seperti biasa kami akan mendapat jatah makan sate dari
masjid besar di tempat kami. Namun, tiba-tiba wajah adikku terlihat murung. Dia
barangkali teringat akan abah, ayah kami. Sudah hampir enam bulan abah belum pulang.
Abah bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di Kota Batam. Beliau berangkat ke Batam
karena terpaksa. Beliau harus membayar utang kepada saudaranya untuk mengganti biaya
perawatan ibu di rumah sakit tatkala melahirkan adik. Di samping itu, abah juga harus
membiayai sekolahku dan memenuhi nafkah keluarga.
Biasanya abah pulang setiap 2 bulan atau paling tidak 3 bulan sekali. Akan tetapi kali
ini lain dari pada biasanya. Sudah hampir enam bulan abah belum pulang, sehingga kami
sangat khawatir akan keselamatannya. Ibu seringkali menyebut-nyebut abah di hadapanku,
begitu pula adik. Sebenarnya, ibu pernah beberapa kali menulis surat untuk abah, akan
tetapi semua surat ibu tidak pernah ada balasan. Waktu itu, di tahun 90-an, pesawat telepon
masih langka tidak seperti saat ini. Oleh karenanya, kami kehilangan kontak dengan abah
hampir enam bulan lamanya.
Hari Jum’at pun tiba, seperti biasa aku mengingatkan adik untuk bersiap-siap pergi
Jum’atan. Mohon maklum adanya, penduduk di kampungku sangat memuliakan hari
Jum’at. Di hari Jum’at umumnya penduduk meliburkan diri dari pekerjaannya. Mereka
lebih fokus untuk mempersiapkan diri menyambut shalat Jum’at berjama’ah di masjid
besar kami. Abah pernah menyampaikan kepadaku bahwa Jum’at adalah hari besarnya
umat Islam, sehingga penduduk kampung sangat menghormatinya.
Seperti biasa, aku dan adik berangkat ke masjid lebih awal. Aku teringat pesan abah
agar bisa duduk di shaf pertama atau kedua. Abah tidak menjelaskan apa keutamaannya.
Namun ketika aku mengaji kepada Kiai Mahfud, aku menanyakan hal tersebut. Pak Kiai
menjelaskan bahwa apa yang disampaikan oleh abah benar. Hal tersebut didasarkan sabda
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.
Beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at
seperti halnya mandi janabah dan pergi ke masjid di awal waktu, maka seolah-olah ia
telah bersedekah seekor unta yang gemuk. Siapa pun yang pergi pada saat kedua, maka
[1]
seolah-olah ia telah bersedekah seekor sapi. Siapa pun yang pergi pada saat ketiga, maka
seolah-olah ia telah bersedekah seekor domba jantan bertanduk. Siapa pun yang pergi
pada saat keempat, maka seolah-olah ia telah bersedekah seekor ayam. Siapa pun yang
pergi pada saat kelima, maka seolah-olah ia telah bersedekah sebuah telur. Jika imam
telah keluar untuk berkhutbah, maka malaikat pun hadir untuk mendengarkannya.”1
Atas dasar hadits tersebut, aku makin paham dan bersemangat pergi ke masjid di
awal waktu. Setelah melaksanakan shalat tahiyatul masjid, kemudian kami duduk bersila
untuk mendengarkan khutbah. Kebetulan tema khutbah mengenai ibadah kurban. Aku
mendengarkan khutbah dengan seksama, sementara adikku hanya diam dan sesekali
mengangguk-anggukan kepala. Setelah selesai shalat Jum’at, kami pun pulang.
“Dik, ayo pulang.” Sembari ku pegang lengan kanannya.
“Tunggu sebentar, Kak.” Tanganku dipegangnya.
“Boleh adik bertanya?” sergahnya dengan wajah antusias.
“Berkurban itu apa?” tanyanya polos.
Sesaat aku terdiam. Ku tatap wajahnya dalam-dalam. Kemudian aku tersenyum.
“Mari kakak jelaskan. Berkurban itu menyembelih hewan kurban dengan niat yang
ikhlas karena Allah. Hewan kurban itu bisa berupa Unta, Sapi, Kerbau, Domba atau
Kambing. Hewan-hewan itu disembelih di hari raya Idul Adha. Dagingnya dibagikan
kepada fakir miskin, tetangga serta kerabat. Bagaimana paham, Dik?” kataku balik
bertanya.
“Ooo..., begitu ya, Kak. Hmm..., tapi kenapa kita harus berkurban?” adik kembali
bertanya.
“Hmmm, berkurban adalah ibadah yang sangat mulia di mata Allah. Ibadah kurban
diwajibkan bagi seorang muslim yang sudah mampu dari segi harta,” jelasku, sembari
memegang tangannya.
Aku tatap kembali wajahnya. Dia menganggukan kepalanya perlahan. Kemudian dia
tersenyum.
“Kak, kalau abah sudah ada uang, adik ingin berkurban,” ujarnya penuh harap.
“Tentu, Dik. In Syaa Allah. Ayo kita pulang,” jawabku datar.
Aku paham apa yang ada dalam benaknya. Ia pasti rindu abah. Aku dan ibu sungguh
sedih dan khawatir tatkala mengingat keadaan beliau. Sesampai di rumah ibu menyambut
dan memeluk kami dengan senyuman khasnya. Walau sebetulnya aku paham hati ibu
sedang memendam kesedihan yang mendalam. Tangan ibu memengang lengan kami. Ibu
mengajak kami makan siang bersama. Makan siang setelah selesai shalat Jum’at
1
H.R. Al-Bukhari, no. 881.
[2]
merupakan makan spesial untuk kami. Abah pernah menceritakan sebuah hadits dari Nabi
shalallahu alaihi wa sallam bahwa memberi makan kepada orang yang telah selesai shalat
Jum’at besar pahalanya, terlebih seorang isteri menyediakan makanan untuk suami dan
anak-anaknya. Hadits ini selalu abah sampaikan kepada kami sebagaimana yang beliau
dengar dari pengajian Guruku, Kiai Mahfud, setiap Jum’at sore di masjid besar kami.
Setelah selesai makan, aku dan adik membantu ibu membereskan peralatan makan.
Adapun ibu mencucinya. Setelah semuanya selesai, ibu mengingatkan kami untuk tidur
siang. Kemudian, aku mengajak adik masuk kamar untuk beristirahat sejenak. Karena aku
tidak mengantuk, aku mencoba membuka jatah bacaan Al-Quranku. Aku sedang
menyelesaikan Q.S. Al-Ankabut [29]. Aku memulainya dengan membaca taawuz dan
basmalah. Aku memulai dari ayat ke-50. Ketika aku sampai pada ayat ke-58 dan 59, aku
tertegun.
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh mereka akan
Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi (di dalam surga), yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan bagi
orang yang berbuat kebajikan,” (Q.S. 29: 58). “(yaitu) orang-orang yang bersabar dan
bertawakal kepada Tuhannya,” (Q.S. 29: 59).
Aku ulang kembali untuk membaca kedua ayat ini. Tidak terasa 10 kali aku
mengulangnya. Aku menoleh ke arah adikku, ternyata ia sudah tertidur pulas tepat di
belakangku. Mungkin karena bacaan Al-Quranku yang membuatnya menjadi mengantuk.
Tatapanku kembali kepada mushaf yang ku pegang. Aku ulang kembali membaca kedua
ayat ini. Tiba-tiba ada perasaan tenang menyelimuti hati dan pikiranku. Aku mulai
menguap. Keringatku mulai terasa membasahi kening. Aku coba menarik nafas, kemudian
ku ulang kembali kedua ayat tersebut untuk ke-21 kali. Tiba-tiba aku benar-benar
mengantuk. Aku membaringkan tubuh ini di samping adikku, sembari tangan ini
mendekap mushaf Al-Quran di dada. Sejurus kemudian, aku tak ingat apa-apa lagi. Aku
tertidur.
Tiba-tiba ada suara yang memanggilku, ada elusan dingin pada pipiku. Perlahan aku
membuka mata. Ternyata suara itu adalah penggilan ibu. Beliau membangunkanku seraya
mengelus pipiku.
“Salim, ayo bangun, Nak. Sepuluh menit lagi azan ashar berkumandang. Adikmu
sudah selesai mandi. Sekarang giliranmu,” tutur ibu dengan lembut.
“Baik, Bu,” jawabku pelan.
Aku pun duduk. Mengangkat tangan dan membaca do’a bangun tidur.

[3]
“Jangan lupa bergegas, ya. Nanti setelah selesai mandi bantu ibu mengantarkan
makanan ini ke masjid. Hari ini jadwal pengajian guru ngajimu, Pak Kiai Mahfud,” kata
ibu mengingatkan.
Tanpa basa-basi, aku bergegas mandi. Setelah siap, aku kemudian mengajak adik
mengantarkan makanan ke masjid untuk pengajian sore ini. Ternyata ibu telah menyiapkan
makanan olahan dari singkong. Tepatnya bernama getuk. Sekilas makanan ndeso dan tidak
mewah. Namun bagi kami makanan ini adalah makanan mewah yang biasa kami makan.
Kebetulan ibu mempunyai warisan dari kakek berupa kebun singkong yang cukup luas. Ibu
biasa mengajak aku dan adik memanen singkong dan daunnya setiap 1 pekan atau 2 pekan
sekali. Kebun ini satu-satunya tabungan keluarga kami tatkala kiriman uang dari abah
telambat datang.
Tidak lama azan ashar berkumandang. Aku mengajak adik untuk bergegas memacu
langkah menuju masjid. Jarak rumahku dari masjid sekitar 200 meter. Aku melihat ibu
menyusul dari belakang. Kami tidak lupa berdo’a tatkala memasuki masjid. Kemudian
duduk di shaf pertama. Aku dan adikku berdiri tepat di belakang imam. Kami berusaha
mendirikan shalat sebaik mungkin, agar pahala shalat kami dapat menjadi wasilah
diampuninya kedua orangtua kami.
Alhamdulillah, shalat ashar telah kami tunaikan. Semoga Allah mencatat amal kami
hari ini dengan baik. Sembari menunggu pengajian dimulai, aku teringat pengajian 2 bulan
lalu. Guruku, Kiai Mahfud menyampaikan tausiahnya. Beliau menyampaikan beberapa
hadits tentang shalat Ashar.
“Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka amalannya telah batal (terhapus).”2
“Orang yang waktu shalat Ashar telah luput darinya, maka seolah-olah keluarga
dan hartanya diambil.”3
Aku tersadar tatkala Kiai Mahfud memulai pengajiannya. Aku mendekati beliau,
kemudian mencium tangannya. Beliau tersenyum sembari mengelus kepalaku dan kepala
adikku. Itulah kebiasaan khas Pak Kiai yang aku kagumi. Beliau begitu menyayangi semua
santri yang mengaji kepada beliau. Kurang lebih 1 jam beliau menerangkan Q.S. Al-
Baqarah ayat 45.
Bismillah, “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.
Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”

2
H.R. Bukhari dan Muslim dari Shahabat Buraidah radhiyallahu anhu.
3
H.R. Kutubus Sittah, Malik, dan Ibnu Khuzaimah dari Shahabat Ibnu Umar radhiyallahu anhu.
[4]
Di akhir pengajian, beliau mengingatkan para jama’ah bahwa ayat ini adalah kunci
sukses mengatasi segala cobaan yang Allah timpakan kepada hamba-hamba-Nya yang
beriman. Allah memberikan solusinya, yaitu sabar dan shalat.
Mendengar tausiah beliau, aku menjadi paham bahwa ujian yang sedang menimpa
keluarga kami sebetulnya bisa diatasi dengan 2 kunci tersebut: bersabar dan shalat. Aku
melirik adikku. Ia juga melirik ke arahku dan tersenyum. Kemudian aku melirik ibu. Aku
melihat ibu tertunduk, sesekali memanggutkan kepala. Aku melihat dari kedua matanya
ada yang basah. Mungkin ia teringat abah atau ia terenyuh dengan isi tausiyah Pak Kiai.
***

Waktu berjalan dengan cepat. Hari Idul Adha telah tiba. Kami sekeluarga pergi ke
masjid tanpa abah. Idul Adha tahun ini terasa sepi. Batin kami pedih. Namun..., apa boleh
buat. Kami hanya bisa pasrah dan bersabar atas apa yang Allah takdirkan pada kami.
Sebagaimana nasihat Kiai Muhfud, jalan keluar dari setiap ujian adalah bersabar dan
shalat. Sejak saat itu, ibu selalu mengingatkan kami untuk belajar bersabar dan giat
melaksanakan shalat berjamah di masjid.
Sesampainya di masjid aku mengajak adik duduk di shaf kedua karena shaf pertama
telah penuh. Adapun ibu duduk di luar masjid bersama jama’ah wanita lainnya. Setelah
mendirikan shalat tahiyatul masjid, aku duduk kembali sembari berzikir dan berdo’a. Aku
mendo’akan abah. Semoga Allah senantiasa menjaganya, memberinya kesehatan dan
segera mengembalikannya kepada kami.
15 menit kemudian, shalat Idul Adha dimulai. Kami melaksanakannya dengan
khusyuk. Setelah shalat selesai dilanjutkan dengan khutbah. Kami mendengarkannya
dengan seksama. Mungkin karena aku terlalu khusyuk, tidak terasa waktu begitu cepat
berlalu. Khutbah pun selesai. Kami pun berdiri untuk saling bersalaman kemudian pulang.
Kami menghampiri ibu. Mencium tangannya, kemudian pulang bersama.
Sesampainya di rumah kami duduk tanpa berkata-kata. Aku melihat ibu berjalan dengan
lunglai. Mungkin terbawa perasaannya akan ujian yang sedang menimpanya. Beliau
kembali membawa satu buah poci berisi air putih, goreng singkong, dan sedikit nasi tanpa
lauk pauk. Ini pun sisa makanan kemarin sore. Aku mengerti perasaan ibu. Di hari lebaran
Idul Adha ini, tidak ada makanan lain yang bisa diberikan kepada anak-anaknya. Dengan
nada sedih ibu mempersilakan kami untuk menyantapnya. Adik terdiam. Aku hanya
minum karena selera makanku mendadak lenyap tatkala melihat kesedihan di wajah ibu.

[5]
Tiba-tiba adik memegang tanganku. Ia mengajakku kembali ke masjid melihat
hewan kurban yang akan disembelih. Lama kami termenung. Tiba-tiba terdengar suara dari
luar rumah.
“Assalamu’alaikum. Abdul, Salim, Ibu.” Terdengar suara yang tidak asing bagi
kami.
Sontak kami saling pandang. Dengan serempak kami lari keluar. Terlihat sosok lelaki
yang sedang berdiri di halaman rumah.
“Abah....,” aku dan adik berteriak. Kami berlari memeluknya.
“Nak, maafkan abah. Abah baru bisa pulang. Coba lihat, ada hadiah untuk kalian,”
tutur abah sembari menunjuk ke arah pohon nangka dekat rumah kami.
Kami tidak percaya terhadap apa yang kami lihat. Abah mengikatkan dua utas tali
tambang untuk dua ekor domba jantan yang cukup besar. Kami memeluk abah kembali
dengan penuh kebahagiaan. Tidak lama kemudian, abah mendekati ibu yang sedari tadi
berdiri mematung di depan pintu. Ibu tiba-tiba mendekat dan memeluk abah. Ibu menangis
tersedu-sedu di bahu abah.
“Maafkan abah, Bu. Abah baru bisa pulang. Alhamdulillah kita bisa berkurban tahun
ini.” Terdengar suara abah bergetar menahan tangis.
“Iya, Bah. Alhamdulillah,” jawab ibu singkat sembari menangis.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Akhirnya abah pulang. Engkau pun telah
mengabulkan permohonan kami. Engkau telah memperlihatkan kepada kami dua kunci
menghadapi ujian-Mu, yaitu bersabar dan shalat,” ucapku dalam hati.
Dengan wajah ceria, ibu mengajak kami dan abah masuk. Ibu menyiapkan air teh
hangat kesukaan abah. Makanan yang sedari tadi tidak kami makan lantas disuguhkan
kepada abah. Entah karena sudah terlalu lapar atau karena untuk menjaga perasaan ibu,
abah dengan mengucapkan basmalah langsung menyantap singkong rebus tersebut.
10 menit kemudian, abah pamit kepada ibu. Abah mengajak aku dan adik membawa
kedua domba jantan tersebut ke masjid untuk didaftarkan ke panitia kurban. Dengan hati
berbunga-bunga, aku menuntun domba yang pertama, sementara abah dan adik menuntun
domba yang kedua. Aku melirik ibu yang berdiri di depan rumah. Aku lihat ada senyum
bahagia menghiasai bibirnya setelah hampir 6 bulan senyuman itu lenyap dari tatapanku.
Pagi yang cerah, indah terasa di hari Sabtu tanggal 10 Dzulhijjah 1420 H.
Sejatinya cerita di atas adalah realita kehidupan sehari-hari yang sering kita temui di
masyarakat. Bagi mereka, para pribadi yang mau mendekatkan diri pada Allah, Tuhan
Yang Maha Kuasa, tatkala mengalami kesempitan hidup dengan cara rajin mendatangi
pengajian, tentu akan mendapat ilmu untuk mau belajar bersabar. Sesungguhnya jalan
[6]
keluar dari setiap permasalahan hidup tak lain adalah bersabar dan shalat. In Syaa Allah
cobaan yang kita alami akan berbuah indah pada waktunya.
***

*)
Biodata Penulis
Yusuf Hidayat, lahir di Ciamis, 09 Desember 1983. Penulis
mempunyai hobi membaca dan menulis, khususnya penulis
puisi, cerpen, buku bahan ajar, dan artikel riset ilmiah. Saat ini,
penulis aktif mengajar di salah satu Perguruan Tinggi Swasta
(PTS) di Kab. Ciamis. Penulis dapat dihubungi di Nomor WA:
0878-2676-6685, dan di email: yusufhid@gmail.com. Saat ini
penulis tinggal di Jln. Bojongsari, No.140, Rt.05, Rw.02, Desa
Dewasari, Kec. Cijeungjing, Kab.Ciamis – Jawa Barat, 46271.

[7]

You might also like