You are on page 1of 16

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit


tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.1 PPOK
merupakan kelompok kelainan yang gambaran khasnya berupa obstruksi aliran
udara pernapasan.10 Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup
dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga
berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok
khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan
maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.1
Prevalensi PPOK di Indonesia adalah sebesar 3,7 persen, adapun di
Sulawesi Selatan sebesar 6,7%.2 Terdapat sekitar 4,8 juta penderita PPOK. Di
Indonesia angka ini dapat meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok
sebab 90% penderita PPOK adalah perokok atau bekas perokok.1 Menurut
estimasi World Health Organization (WHO), sejumlah 65 juta orang mengidap
PPOK derajat sedang hingga berat dan pada tahun 2005 lebih dari 3 juta orang
mati akibat penyakit ini, kira-kira 5% dari jumlah kematian global. Pada tahun
2002, PPOK merupakan penyakit kelima tertinggi penyebab kematian dan
diperkirakan jumlah ini akan meningkat lebih 30% dalam waktu 10 tahun yang
akan datang jika tidak segera mengambil tindakan untuk mengurangi faktor
risiko.1

1
BAB II

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru
kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang
tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan
respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/ berbahaya,
disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. 1
Istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ditujukan untuk
mengelompokkan penyakit yang mempunyai gejala bersifat progresif dan
keparahan penyakitnya berlanjut berupa terhambatnya arus udara
pernapasan, bisa terletak pada saluran pernapasan yaitu bronkhitis kronik
dan pada parenkim paru yaitu emfisema. Bronkhitis kronik adalah adanya
sekresi mukus yang berlebihan pada saluran pernapasan secara terus
menerus (kronik) dengan disertai batuk selama tidak kurang dari tiga bulan
dalam setahun dan telah berlangsung selama dua tahun berturut-turut.3
Sedangkan emfisema adalah destruksi dinding alveoli yang menyebabkan
hilangnya rekoiling elastik di dalam paru dan dilatasi ruang udara terminal.10

B. Epidemiologi
Menurut World Health Organitation (WHO) pada tahun 2012,
jumlah penderita PPOK mencapai 274 juta jiwa dan di perkirakan
meningkat menjadi 400 juta jiwa di tahun 2020 mendatang, dan setengah
dari angka tersebut terjadi di negara berkembang, termasuk negara
Indonesia. Angka kejadian PPOK di Indonesia menempati urutan kelima
tertinggi di dunia yaitu 7,8 juta jiwa.4
Prevalensi PPOK di Indonesia adalah sebesar 3,7 persen, adapun di
Sulawesi Selatan sebesar 6,7%.3 Terdapat sekitar 4,8 juta penderita PPOK.
Di Indonesia angka ini dapat meningkat dengan semakin banyaknya jumlah
perokok sebab 90% penderita PPOK adalah perokok atau bekas perokok.1

C. Etiologi
1. Kebiasaan merokok

2
Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usai
mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok.
Perokok pasif dapat juga memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi
dan PPOK, dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah inhalasi partikel
dan gas. 5,10
2. Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat udara sekitar, ukuran dan
macam partikel akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya
dan beratnya PPOK. 5
3. Stres oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen
timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari
polutan dan asap rokok. Ketika keseimbangan antara oksidan dan
antioksidan berubah bentuk maka terjadi stres oksidatif yang akan
menimbulkan efek kerusakan pada paru serta menimbulkan aktifitas
molekuler sebagai awal inflamasi paru. 5
4. Infeksi saluran nafas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas
PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas,
menimbulkan eksaserbasi. 5
5. Sosial ekonomi
Belum dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan di luar
ruangan, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang
berhubungan status ekonomi kemungkinan dapat menjelaskan hal ini. 5
6. Tumbuh kembang paru
Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan,
kelahiran, dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi
paru sesorang adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi metaanalisis
menyatakan bahwa berat bayi lahir rendah mempengaruhi nilai VEP pada
masa anak. 5
7. Asma
Belum dapat disimpulkan, namun didapatkan bahwa orang dengan asma
12 kali lebih tinggi risiko terkena PPOK dari pada bukan asma meskipun

3
telah berhenti merokok. Penelitian lain 20% dari asma akan berkembang
menjadi PPOK dengan ditemukannya obstruksi jalan napas ireversibel. 5
8. Gen
Faktor risiko yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-1
antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Meskipun sebagian kecil
di dunia yang mengalami kekurangan alpha-1 antitrypsin. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor genetik mempengaruhi kerentanan timbulnya
PPOK.5,10

D. Patofisiologi
1. Keterbatasan aliran udara dan air trapping
Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara
kecil berkorelasi dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC.
Penurunan FEV1 merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan
napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan
hiperinflasi. Meskipun emfisema lebih dikaitkan dengan kelainan
pertukaran gas dibandingkan dengan FEV1 berkurang, hal ini
berkontribusi juga pada udara yang terperangkap yang terutama terjadi
pada alveolar. Ataupun saluran napas kecil akan menjadi hancur ketika
penyakit menjadi lebih parah.1
Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan
kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan (bila kelainan ini
dikenal sebagai hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai dyspnea dan
keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal
penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya dyspnea pada aktivitas.
Bronkodilator yang bekerja pada saluran napas perifer mengurangi
perangkap udara, sehingga mengurangi volume paru residu dan gejala
serta meeningkatkan dan kapasitas berolahraga.5
2. Mekanisme pertukaran gas
Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan
hipoksemia dan hypercapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme.
Secara umum, pertukaran gas akan memburuk selama penyakit

4
berlangsung. Tingkat keparahan emfisema berkorelasi dengan PO2 arteri
dan tanda lain dari ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA/Q). Obstruksi
jalan napas perifer juga menghasilkan ketidakseimbangan VA/Q, dan
penggabungan dengan gangguan fungsi otot ventilasi pada penyakityang
sudah parah akan mengurangi ventilasi, yang menyebabkan retensi karbon
dioksida. Kelainan pada ventilasi alveolar dan berkurangnya pembuluh
darah paru akan lebih memperburuk kelainan VA/Q.1,5
3. Hipersekresi lender
Hipersekresi lendir, yang mengakibatkan batuk produktif kronis,
adalah gambaran dari bronkitis kronis tidak selalu dikaitkan dengan
keterbatasan aliran udara. Sebaliknya, tidak semua pasien dengan PPOK
memiliki gejala hipersekresi lendir. Hal ini disebabkan karena metaplasia
mukosa yang meningkatkan jumlah sel goblet dan membesarnya kelenjar
submukosa sebagai respons terhadap iritasi kronis saluran napas oleh asap
rokok atau agen berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease
merangsang hipersekresi lendir melalui aktivasi reseptor faktor EGFR.1,5
4. Hipertensi paru
Hipertensi paru ringan sampai sedang mungkin terjadi pada PPOK
akibat proses vasokonstriksi yang disebabkan hipoksia arteri kecil pada
paru yang kemudian mengakibatkan perubahan struktural yang meliputi
hiperplasia intimal dan kemudian hipertrofi otot polos / hiperplasia.
Respon inflamasi dalam pembuluh darah sama dengan yang terlihat di
saluran udara dengan bukti terlihatnya disfungsi sel endotel. Hilangnya
kapiler paru pada emfisema juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan
dalam sirkulasi paru sehingga terjadi. pulmonary hypertension yang
bersifat progresif dapat mengakibatkan hipertrofi ventrikel kanan dan
akhirnya gagal jantung kanan (cor pulmonale).1,5
5. Gambaran dampak sistemik
Dari beberapa laporan penelitian, ternyata pasien PPOK
memberikan pula beberapa gambaran dampak sistemik, khususnya pada
pasien dengan penyakit berat, hal ini berdampak besar terhadap kualitas
hidup dan penyakit penyerta. Kakeksia umumnya terlihat pada pasien
dengan PPOK berat. Disebabkan karena hilangnya massa otot rangka dan

5
kelemahan sebagai akibat dari apoptosis yang meningkat dan / atau tidak
digunakannya otot-otot tersebut. Pasien dengan PPOK juga mengalami
peningkatan proses osteoporosis, depresi dan anemia kronis. Peningkatan
konsentrasi mediator inflamasi, termasuk TNF- IL-6, dan radikal bebas
oksigen dengan keturunannya, dapat beberapa efek sistemik. Peningkatan
risiko penyakit kardiovaskuler, berkorelasi dengan peningkatan protein C-
reaktif (CRP).1,5
6. Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon
inflamasi dalam saluran napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi
bakteri atau virus atau oleh polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang
mengakibatkan eksaserbasi PPOK, masih banyak yang belum diketahui.
Dalam eksaserbasi ringan dan sedang terdapat peningkatan neutrophil,
beberapa studi lainnya juga menemukan eosinofil dalam dahak dan
dinding saluran napas. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi
mediator tertentu, termasuk TNF-α, LTB4 dan IL-8, serta peningkatan
biomarker stres oksidatif. Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang
belum jelas, meskipun salah satu penelitian menunjukkan peningkatan
neutrofil pada dinding saluran nafas dan peningkatan ekspresi kemokin.
Selama eksaserbasi terlihat peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya
udara, dengan aliran ekspirasi berkurang, sehingga terjadi sesak napas
yang meningkat. Terdapat juga memburuknya abnormalitas VA/Q yang
mengakibatkan hipoksemia berat.5
Konsep Patogenesis PPOK:1

6
E. Gejala Klinis
 Sesak yang progresif (bertambah berat seiring berjalannya waktu),
bertambah berat dengan aktifitas, persisten (menetap sepanjang hari)
 Batuk kronik, hilang timbul dan mungkin tidak berdahak, serta wheezing
yang berulang
 Batuk kronik berdahak
 Infeksi saluran pernapasan bawah yang berulang
 Riwayat terpajan faktor resiko, terutama asap rokok, debu dan bahan
kimia di tempat kerja serta aspa dapur
 Riwayat keluarga PPOK dan/atau faktor resiko anak-anak seperti berat
badan lahir rendah dan infeksi saluran pernapasan.5

F. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis PPOK secara rinci dapat dilakukan, dengan
cara :
a) Anamnesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya : Berat
Bayi Lahir Rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.1
b) Pemeriksaan fisis
(1) Inspeksi
 Pursed-lips breathing (mulut setngah terkatup / mencucu)
 Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal
sebanding)
 Penggunan otot bantu pernapasan
 Hipertrofi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai
 Penampilan pink puffer atau blue bloater.1
(2) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.1

7
(3) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.1
(4) Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
 Ekspirasi memanjang
 Bunyi jantung redup.1
c) Pemeriksaan penunjang
(1) Faal paru, dengan cara menggunakan spirometri
 Menilai VEP1 % merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau
perjalanan penyakit.
 Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%).
 Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75%.1
(2) Laboratorium darah (Hb, Ht, Tr, Leukosit, dan Analisis Gas
Darah).1
(3) Radiologi (foto thoraks PA)
 Emfisema : terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang
retrosternal melebar, diafragma mendatar, serta tear drop
appearance
 Bronchitis kronik : normal atau corakan bronkovaskuler
bertambah.1,10
(4) Bakteriologi
Pemeriksaan sputum untuk mengetahui pola kuman dan antibiotik
yang tepat untuk penyakit infeksi.1
(5) COPD Assessment Test
GOLD merekomendasikan skala sesak berdasarkan Modified
Medical Research Council (mMRC) untuk membantu
menegakkan diagnosis PPOK. Kuesioner mMRC hanya menilai
ketidakmampuan bernapas. Pada mMRC terdapat pertanyaan-

8
pertanyaan yang berhubungan dengan pengukuran status
kesehatan dan memperkirakan risiko mortalitas.5

Kuesioner Modified Medical Research Council (mMRC).5


Derajat
Derajat 0 Saya merasa sesak dengan aktivitas berat
Derajat 1 Saya merasa sesak ketika mempercepat langkah saat berjalan
atau berjalan menanjak
Derajat 2 Saya berjalan lebih lambat dari orang seusia saya dengan
tingkatan yang sama karena sesak, atau saya memilih untuk
berhenti berjalan dan bernapas ketika sedang berjalan
Derajat 3 Saya berhenti untuk bernapas setelah berjalan 100 meter atau
setelah beberapa menit
Derajat 4 Saya merasa sesak napas ketika hendak meninggalkan rumah
atau sesak napas saat berpakaian

G. Klasifikasi dan Penatalaksanaan Menurut Derajat PPOK6,7,8


Derajat Karakteristik Rekomendasi Pengobatan
Semua  Hindari faktor pencetus
derajat  Vaksinasi influenza
Derajat 0: Gejala kronik (batuk,
Berisiko
dahak)
Terpajan faktor risiko
Spirometri normal
Derajat I: VEP1/ KVP < 70%  Bronkodilator kerja singkat
(SABA, antikolinergik kerja
PPOK VEP1 ≥ 80% prediksi
Dengan atau tanpa singkat bila perlu)
ringan
gejala  Pemberian antikolinergik kerja
lama sebagai terapi pemeliharaan
Derajat II: VEP1/ KVP < 70% 1. Pengobatan regular dengan
PPOK 50% < VEP1 < 80% bronkodilator:
 Antikolinergik kerja lama
sedang prediksi
sebagai terapi pemeliharaan
Dengan atau tanpa
 LABA
gejala  Simtomatik

9
2. Rehabilitasi
Derajat III: VEP1/ KVP ≤ 70% 1. Pengobatan regular dengan 1 atau
PPOK berat 30% ≤ VEP1 ≤ 50% lebih bronkodilator:
 Antikolinergik kerja lama
prediksi
sebagai terapi pemeliharaan
Dengan atau tanpa
 LABA
gejala  Simtomatik
 Kortikosteroid inhalasi bila
memberikan respon klinis atau
eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi
Derajat IV: VEP1/ KVP < 70% 1. Pengobatan regular dengan 1 atau
PPOK VEP1 < 30% prediksi lebih bronkodilator:
 Antikolinergik kerja lama
sangat berat atau gagal napas atau
sebagai terapi pemeliharaan
gagal jantung kanan
 LABA
 Simtomatik
 Kortikosteroid inhalasi bila
memberikan respon klinis atau
eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi
3. Terapi oksigen jangka panjang
bila gagal napas
4. Pertimbangkan terapi
pembedahan.

a) Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk
meningkatkan FEV1 atau mengubah variable spirometri dengan cara
mempengaruhi tonus otot polos pada jalan napas.,1,11
• β2Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-
AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap
bronkokontriksi. Efek bronkodilator dari short acting β2 agonist
biasanya dalam waktu 4-6 jam. Penggunaan β2 agonis secara reguler

10
akan memperbaiki FEV1 dan gejala (Evidence B). Penggunaan dosis
tinggi short acting β2 agonist pro renata pada pasien yang telah diterapi
dengan long acting broncodilator tidak didukung bukti dan tidak
direkomendasikan. 1,11
Long acting β2 agonist inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau
lebih. Formoterol dan salmeterol memperbaiki FEV1 dan volume paru,
sesak napas, health related quality of life dan frekuensi eksaserbasi
secara signifikan (Evidence A), tapi tidak mempunyai efek dalam
penurunan mortalitas dan fungsi paru. Salmeterol mengurangi
kemungkinan perawatan di rumah sakit (Evidence B). Indacaterol
merupakan Long acting β2 agonist baru dengan waktu kerja 24 jam dan
bekerja secara signifikan memperbaiki FEV1 , sesak dan kualitas hidup
pasien (Evidence A). Efek samping adanya stimulasi reseptor β2
adrenergik dapat menimbulkan sinus takikardia saat istirahat dan
mempunyai potensi untuk mencetuskan aritmia. Tremor somatic
merupakan masalah pada pasien lansia yang diobati obat golongan ini.
1,11

• Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium,
oxitropium dan tiopropium bromide. Efek utamanya adalah
memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek
bronkodilator dari short acing anticholinergic inhalasi lebih lama
dibanding short acting β2 agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja
lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan
hospitalisasi, memperbaiki gejala dan status kesehatan (Evidence A),
serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmonal (Evidence B). Efek
samping yang bisa timbul akibat penggunaan antikolinergik adalah
mulut kering. Meskipun bisa menimbulkan gejala pada prostat tapi tidak
ada data yang dapat membuktikan hubungan kausatif antara gejala
prostat dan penggunaan obat tersebut. 11
b) Methylxanthine

11
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat
ini dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat
ini tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia. 11
c) Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat
memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi
frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1. 11
d) Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon,
makrolid baru. 1
e) Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin. 1
f) Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. 1
g) Antitusif
Diberikan dengan hati – hati.

Tabel Pemilihan Obat untuk Terapi PPOK1

12
13
h) Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang


menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ
lainnya.1

H. Diagnosis Banding1,7
Penyakit Gambaran klinis
Asma 1. Onset usia dini
2. Gejala bervariasi dari hari ke hari
3. Gejala pada waktu malam/ dini hari lebih
menonjol
4. Dapat ditemukan alergi, rhinitis, dan atau
eksim
5. Riwayat asma dalam keluarga
6. Hambatan aliran udara umumnya reversible
Gagal jantung kongestif 1. Riwayat hipertensi
2. Ronki basah halus di basal paru
3. Gambaran foto toraks pembesaran jantung dan
edema paru
4. Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan

14
obstruksi
Bronkiektasis 1. Sputum purulen dalam jumlah banyak
2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
3. Ronki basah kasar dan jari tabuh
4. Gambaran foto toraks tampak gambaran sarang
tawon dan penebalan dinding bronkus
Tuberkulosis 1. Onset semua usia
2. Gambaran foto toraks infiltrat
3. Konfirmasi mikrobiologi (Basil Tahan Asam)
Sindrom Obstruksi 1. Riwayat pengobatan antituberkulosis adekuat
2. Gambaran foto toraks bekas TB: fibrotik dan
Pasca TB (SOPT)
kalsifikasi minimal
3. Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi
yang ireversibel.
I. Prognosis
Prognosis bergantung pada beberapa faktor termasuk predisposisi genetik,
paparan lingkungan, komorbiditas, dan pada tingkat yang lebih rendah,
eksaserbasi akut. Meskipun kelangsungan hidup jangka pendek untuk pasien
dengan PPOK dan kegagalan pernafasan bergantung pada tingkat keparahan
penyakit akut secara keseluruhan, kelangsungan hidup jangka panjang terutama
dipengaruhi oleh tingkat keparahan PPOK dan adanya kondisi komorbid. Secara
tradisional, prognosis telah dilaporkan berdasarkan VEP1, yang merupakan
bagian dari pengujian fungsi paru. Selain VEP1, faktor lain yang memprediksi
prognosis adalah berat badan sangat rendah adalah faktor prognostik negatif, jarak
berjalan dalam 6 menit, dan tingkat sesak napas dengan aktivitas.9

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Penyakit paru obstruktif


kronik Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta: PDPI
2. Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. RISKESDAS.
Jakarta: Balitbang Kemenkes RI.

15
3. Djojodibroto, Darmanto. 2014. Respirologi (Respiratory Medicine).
Jakarta : EGC.
4. Y, Rahmadi. 2015. Diakses pada tanggal 29 april 2019.
http://eprints.ums.ac.id/34292/5/BAB%20I.pdf
5. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy
for diagnosis, management and prevention of chronic obstructive lung
disease updated 2017.
6. American Thoracic Society. Standards for diagnosis and care of patients
with COPD. Am J Respir Crit Care Med 2006
7. Nanshan Z. COPD vs Asthma making a correct diagnosis. Asia Pasific
COPD Round Table Issue, 2008
8. Ivor MA, Lowry J, Bourbeau J, Borycki E. Assessment of COPD. In :
Bourbeau J. Nault D, Borycki E, eds. Comprehensive managemant of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. London : BC Decker In; 2008
9. BMJ Best Practice. 2017. COPD. Diakses pada tanggal 08 mei 2019.
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/7/follow-
up/prognosis.html
10. Tao L, Kendall K. 2013. Sinopsis Organ System Pulmonologi. Tanggerang
Selatan : Karisma Publishing Group.
11. Soeroto, Suryadinata. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Divisi
Respirologi dan Kritis Respirasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Dr
Hasan Sadikin

16

You might also like