You are on page 1of 35

EARNING MANAGEMENT AND ITS IMPLICATION

MAKALAH KELOMPOK
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Analisi Laporan Keuangan

DISUSUN OLEH:

1. Hiqmah Apriliano Ramadhan


2. Nelly Yulinda
3. Saiful Anwar

MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS RIAU
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu sumber informasi dari pihak eksternal dalam menilai
kinerja perusahaan adalah laporan keuangan. Laporan keuangan
merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan transaksi-transaksi
keuangan yang terjadi selama tahun buku bersangkutan.
Laporan keuangan dibuat oleh manajemen dengan tujuan untuk
mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh
para pemilik perusahaan. Disamping itu laporan keuangan juga digunakan
untuk memenuhi tujuan-tujuan lain yaitu sebagai laporan kepada pihak
diluar perusahaan. Kinerja manajemen perusahaan tersebut tercermin
pada laba yang terkandung dalam laporan laba rugi. Oleh karena itu
proses penyusunan laporan keuangan dipengaruhi oleh faktor faktor
tertentu yang dapat menentukan kualitas laporan keuangan. Manajemen
perusahaan dapat memberikan kebijakan dalam penyusunan laporan
keuangan tersebut untuk mencapai tujuan tertentu. Scott (2000:296)
didalam bukunya yang berjudul “Financial Accounting Theory”
mengatakan bahwa pilihan kebijakan akuntansi yang dilakukan manajer
untuk tujuan spesifik itulah disebut dengan manajemen laba.
Manajemen laba, akhir-akhir ini merupakan sebuah fenomena
umum yang terjadi di sejumlah perusahaan. Praktik yang dilakukan untuk
mempengaruhi angka laba dapat terjadi secara legal maupun tidak legal.
Praktik legal dalam manajemen laba berarti usaha untuk mempengaruhi
angka laba tidak bertentangan dengan aturan pelaporan keuangan dalam
PABU, khususnya dalam Standar Akuntansi, yaitu dengan cara
memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi, melakukan
perubahan metode akuntansi, dan menggeser periode pendapatan atau
biaya.

1
Adapun manajemen laba yang dilakukan secara illegal (disebut
juga dengan financial fraud), dilakukan dengan cara-cara yang tidak
diperbolehkan oleh PABU, yaitu dengan cara melaporkan transaksi-
transaksi pendapatan atau biaya secara fiktif dengan cara menambah
(mark up) atau mengurangi (mark down) nilai transaksi, atau mungkin
dengan tidak melaporkan sejumlah transaksi, sehingga akan
menghasilkan laba pada nilai/tingkat tertentu yang dikehendaki.
Penurunan kualitas laporan keuangan merupakan dampak utama
yang diakibatkan dari adanya manajemen laba, di samping dampak-
dampak lainnya. Setiawati dan Na’im (2000) menyatakan bahwa
manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi
kredibilitas laporan keuangan. Manajemen laba menambah bias dalam
laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan
yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka
laba tanpa rekayasa. Begitu juga menurut Widarto (2004:33) yang
menyatakan bahwa dalam pandangan orang awam, manajemen laba
dianggap tidak etis, bahkan merupakan bentuk dari manipulasi informasi
sehingga menyesatkan.
Manajemen laba bukanlah suatu hal merugikan selama dilakukan
dalam koridorkoridor peluang, manajemen laba tidak selalu diartikan
dengan proses manipulasi laporan keuangan karena terdapatnya
beberapa pilihan metode yang dapat digunakan dan bukan sebagai suatu
larangan. Manajemen laba berusaha untuk mengatur kondisi perusahaan
dan sebagai usaha untuk mempengaruhi pihak-pihak yang
berkepentingan dengan laporan keuangan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Laba Akuntansi


Pengertian laba yang dianut oleh struktur akuntansi adalah laba
akuntansi yang merupakan selisih antara pengukuran pendapatan dan
biaya. Besar kecilnya laba sebagai kenaikan aktiva sangat tergantung
pada ketepatan pengukuran pendapatan dan biaya. Jadi dalam hal ini
laba hanya merupakan angka artikulasi dan tidak dapat didefinisikan
tersendiri secara ekonomik seperti halnya aktiva dan atau hutang.
Laba akuntansi adalah perbedaan antara revenue yang direalisasi
yang timbul dari transaksi pada periode tertentu dihadapkan dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan pada periode tersebut.
Untuk menghitung laba ini, masing-masing orang atau perusahaan
dapat menentukan rumus perhitungan labanya tersendiri. Laba
merupakan informasi penting dalam suatu laporan keuangan. Angka ini
penting untuk :
a. Perhitungan pajak, berfungsi sebagai dasar pengenaan pajak yang
akan diterima Negara.
b. Untuk menghitung deviden yang kan dibagikan kepada pemilik dan
yang kan ditahan dalam perusahaan.
c. Sebagai pedoman dalam menentukan kebijaksanaan investasi dan
pengambilan keputusan.
d. Menjadi dasar dalam peramalan laba maupun kejadian ekonomi
perusahaan lainnya di masa yang akan datang.
e. Sebagai dasar dalam perhitungan dan penilaian efisiensi.
f. Untuk menilai prestasi atau kinerja perusahaan/segmen
perusahaan divisi.

3
2.2 Konsep Manajemen Laba
Manajemen laba adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pihak
manajemen yang menaikkan atau menurunkan laba yang dilaporkan dari
unit yang menjadi tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan
dengan kenaikkan atau penurunan profitabilitas perusahaan untuk jangka
panjang. Dengan demikian, manajemen laba dapat diartikan sebagai
suatu tindakan manajemen dalam mempengaruhi laba yang dilaporkan
dan memberikan manfaat ekonomi yang keliru kepada perusahaan,
sehingga dalam jangka panjang hal tersebut akan sangat menggangu
bahkan membahayakan perusahaan.
Definisi manajemen laba menjadi dua, yaitu:
a. Definisi sempit. manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan
dengan pemilihan metode akuntansi. Earnings management dalam
artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajemen untuk
“bermain” dengan komponen discretionary accruals dalam
menentukan besarnya earnings.
b. Definisi luas. manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk
meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas
suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa
mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi
jangka panjang unit tersebut.
Manajemen laba sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu
terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja
memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Manajemen laba terjadi ketika
manajer menggunakan judgment dalam pelaporan keuangan dan
penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan, sehingga
menyesatkan stakeholder tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk
mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan kontrak yang tergantung
pada angka akuntansi yang dilaporkan. Manajemen laba merupakan
pemilihan kebijakan akuntansi untuk mencapai tujuan khusus.

4
Tujuan manajemen laba adalah memanipulasi besaran laba yang
dilaporkan kepada para pemegang saham dan mempengaruhi hasil
perjanjian yang bergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan.
Fischer dan Rosenzweig (1995) memandang earnings management
sebagai serangkaian langkah yang dilakukan manajer untuk
meningkatkan atau menurunkan jumlah laba yang dilaporkan dalam tahun
berjalan yang merupakan tanggung jawabnya tanpa menyebabkan
penurunan atau peningkatan keuntungan yang dicapai suatu badan
usaha dalam jangka panjang.
Ada tiga sasaran yang dapat dicapai oleh manajer dalam
melakukan manajemen laba meliputi: minimalisasi biaya politik (political
cost minimization), maksimalisasi kesejahteraan manager (manager
wealth maximization), dan minimalisasi kas pendanaan (minimization of
financing cost).
Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Manajemen Laba:
 Manajemen Akrual (accruals management). Faktor ini biasanya
berkaitan dengan segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran
kas dan juga keuntungan yang secara pribadi merupakan
wewenang dari para manajer (managers discretion).
 Penerapan Suatu Kebijaksanaan Akuntansi yang Wajib. Faktor ini
berkaitan dengan keputusan manajer untuk menerapkan suatu
kebijaksanaan akuntansi yang wajib diterapkan oleh perusahaan
yaitu antara menerapkannya lebih awal dari waktu yang ditetapkan
atau menundanya sampai saat berlakunya kebijaksanaan tersebut.
 Perubahan Aktiva Secara Sukarela. Faktor ini biasanya berkaitan
dengan upaya manajer untuk mengganti atau merubah suatu
metode akuntansi tertentu diantara sekian banyak metode yang
dapat dipilih yang tersedia dan diakui oleh badan akuntansi yang
ada (Generally Accepted Accounting Principles).

5
2.3 Motivasi Manajemen Laba
Sugiri (2005) menyatakan bahwa salah satu motivasi manajemen
laba adalah mengelabui kinerja ekonomi yang sebenarnya, dan itu dapat
terjadi karena terdapat ketidaksimetrian informasi antara manajemen dan
para pemegang saham suatu badan usaha. Motivasi manajemen laba
lainnya adalah mempengaruhi penghasilan (telah diatur dalam kontrak)
yang bergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan dengan
asumsi bahwa manajemen memiliki kepentingan pribadi dan
kompensasinya didasarkan pada laba akuntansi.
Faktor-faktor yang memotivasi pihak manajemen untuk melakukan
manajemen laba adalah sebagai berikut:
a. Program Bonus (Bonus Plan).
Adanya asimetri informasi mengenai keuangan perusahaan
menyebabkan pihak manajemen dapat mengatur laba bersih untuk
memaksimalkan bonus mereka. Pada motivasi ini, diasumsikan
bahwa manajer meningkatkan keuntungan yang dilaporkan dalam
upaya untuk memaksimalkan imbalan bonus yang akan diterima.
Manajer pada perusahaan yang menerapkan program bonus
lebih cenderung untuk menggunakan metode atau prosedur-
prosedur akuntansi yang akan menaikkan laba saat ini dengan
memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan.
b. Kontrak Utang (Debt Covenant).
Semakin dekat suatu perusahaan ke waktub pelanggaran
kontrak utang, manajemen akan cenderung memilih metode
akuntansi yang dapat ‘memindahkan’ laba periode mendatang ke
periode berjalan, yang bertujuan untuk mengurangi kemungkinan
perusahaan mengalami technical defauld (kegagalan dalam
pelunasan hutang).

6
c. Motivasi Politis (political motivation).
Perusahaan besar yang menguasai hajat hidup orang
banyak akan cenderung menurunkan labanya untuk mengurangi
visibilitasnya, misalnya dengan menggunakan praktik atau prosedur
akuntansi, khususnya selama periode kemakmuran tinggi.
d. Motivasi Pajak (taxation motivation).
Salah satu insentif yang dapat memicu manajer untuk
melakukan rekayasa laba adalah keinginan untuk meminimalkan
pajak atau total pajak yang harus dibayarkan perusahaan. Hal ini
karena laba sering dijadikan landasan untuk mengambil keputusan,
menyusun kontrak maupun penilaian kinerja suatu manajer.
e. Pergantian CEO (Chief Executive Officer).
Banyak motivasi yng timbul disekitar waktu penggantian
CEO. Contohnya, CEO yang mendekati masa pensiun (tugas
akhirnya) akan melakukan strategi memaksimalkan laba untuk
meningkatkan bonusnya.
f. IPO (Initial Public Offering).
Perusahaan yang baru pertama kali menawarkan sahamnya
dipasar modal belum memiliki harga pasar, sehingga terdapat
masalah bagaimana menetapkan nilai saham yang ditawarkan.
Oleh karena itu, informasi seperti laba bersih dapat digunakan
sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai perusahaan,
sehingga manajemen perusahaan yang akan go public cenderung
melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga lebih tinggi
atas sahamnya.

2.4 Terjadinya Manajemen Laba melalui Manipulasi Akuntansi


Manajemen laba yang dilakukan manajemen biasanya dilakukan
melalui manipulasi akuntansi. Manipulasi akuntansi merujuk pada
pengubahan catatan akuntansi secara sengaja dari yang seharusnya
untuk memperoleh posisi atau kondisi keuangan tertentu dengan tujuan

7
akhir berupa perubahan sikap pemangku kepentingan sesuai dengan
yang diinginkan pihak manajemen. Manipulasi akuntansi tidak memiliki
dampak terhadap aliran kas atau factor ekonomik real lainnya.

a. Manipulasi yang melanggar PABU


Mencakup pelanggaran nyata terhadap PABU dalam konteks
pendekatan akuntansi berbasis aturan. Macam-macam pelanggaran
ini antara lain: transaksi fiktif dengan cara menambah (mark up) atau
mengurangi (mark down) nilai transaksi, atau mungkin dengan tidak
melaporkan sejumlah transaksi, percepatan pengakuan pendapatan
dengan mengubah tanggal menjadi lebih awal, pengakuan biaya
sebagai asset, dll.

b. Manipulasi yang selaras dengan PABU


Memanipulasi laba dengan menggunakan fleksibilitas yang
diperbolehkan GAAP (Generally Accepted Accounting Principles).
Manipulasi ini dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu:
1) Pemilihan metode
Cara ini meliputi pengubahan metode yang sebelumnya
digunakan ke metode lain yang lebih menguntungkan. Misalnya
pengubahan metode alokasi depresiasi dan aliran biaya pada
sediaan. Hal ini dimungkinkan dengan adanya berbagai alternatif
yang tersedia di PABU. Namun demikian, cara ini tidak terlalu

8
efektif untuk memanipulasi laba. Pertama, pemilihan metoda harus
diungkap dalam catatan laporan keuangan sehingga tidak terlalu
sulit bagi pihak‐pihak yang berkepentingan untuk mendeteksi apa
yang terjadi (i.e. manipulasi akuntansi bila terjadi). Kedua, cara ini
tidak dapat seringsering digunakan karena pengubahan metode
yang terlalu sering tentu akan menimbulkan kecurigaan.
2) Pengubahan unsur‐unsur estimasi
Managemen menggunakan metode ini untuk memanipulasi
laba dengan mengubah estimasi akuntansi. Ini dilakukan dengan
mengubah unsur‐unsur estimasi seperti pada umur ekonomis dan
nilai sisa pada aset jangka panjang, perkiraan piutang tak tertagih,
asset impairments. Manipulasi laba semacam ini sangat sulit
dideteksi oleh investor secara umum.
3) Penstrukturan transaksi
Penstrukturan transaksi, secara akuntansi, dilakukan dengan
menyesuaikan unsur‐unsur transaksi. Contoh yang umum untuk
cara ini adalah penstrukturan sewa guna usaha (i.e. capital atau
operating lease), investasi saham/ekuitas (i.e. dikonsolidasi atau
tidak dikonsolidasi).

2.5 Pola Manajemen Laba


Pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara:
a. Taking a Bath. (Penurunan Laba Secara Besar-Besaran)
Hal ini terjadi selama periode pada saat terjadinya
reorgenerasi, termasuk adanya pergantian pimpinan baru. Jika
manajer merasa harus melaporkan kerugian, maka ia akan
melaporkan dalam jumlah yang besar. Dengan tindakan ini manajer
berharap dapat meningkatkan laba yang akan datang dan
kesalahan atas kerugian perusahaan dapat dilimpahkan kepada
manajer lama. Konsekuensinya, mereka akan menghapus asset,
menyediakan biaya yang diharapkan di masa mendatang, dan

9
secara umum akan meningkatkan probabilitas keuntungan yang
dilaporkan di masa datang.
b. Income Minimization.
Pola ini mirip dengan taking a bath tetapi lebih halus. Cara
ini dilakukan pada saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi,
sehingga jika periode yang akan datang diperkirakan laba turun
drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.
c. Income Maximization.
Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income
maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi
untuk tujuan bonus yang besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan
yang melakukan pelaggaran perjanjian hutang. Pola ini dapat
dilakukan dengan mengakui pendapatan terlebih dahulu, dan
menunda pengakuan beban.
d. Income Smoothing
Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang
dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang
dilaporkan dan dapat meningkatkan kemampuan investor untuk
memprediksi aliran kas di masa yang akan datang. karena pada
umumnya investor lebih menyukai aliran laba yang relatif stabil.
Perataan laba dapat dihasilkan dari hal-lah berikut ini:
1) Natural income smoothing, yaitu proses pembentukan laba
secara inheren menghasilkan suatu stream earnings yang relatif
merata, seperti yang terjadi pada utilitas publik (Eckel, 1981).
2) Intentional income smoothing, yaitu yang disebabkan oleh
tindakan manajemen. yang dapat digolongkan ke dalam dua hal
di bawah ini.
3) Real income smoothing (RIS), yang merupakan respons
manajer terhadap perubahan kondisi perekonomian. Hasil
investigasinya menunjukkan hasil bahwa RIS mempengaruhi
aliran kas perusahaan.
4) Artificial income smoothing (AIS), yaitu upaya manajer untuk
secara "artifisial" mengurangi variabilitas laba. Hasil

10
investigasinya menunjukkan hasil bahwa AIS tidak memiliki
dampak langsung terhadap aliran kas perusahaan.

2.6 Model-Model Dalam Pengukuran Earning Management


a) Model Healy
Healy Model (1985) menguji manajemen laba dengan
membandingkan rata-rata total akrual di seluruh variabel pembagian
manajemen laba. Studi Healy berbeda dengan kebanyakan studi
manajemen laba lainnya karena ia memprediksi bahwa manajemen laba
sistematis terjadi dalam setiap periode. Variabel pemisahnya membagi
sampel menjadi tiga kelompok, dengan pendapatan diprediksi akan
dikelola ke atas di salah satu kelompok dan ke bawah pada dua kelompok
lainnya. Kesimpulan kemudian dilakukan melalui perbandingan
berpasangan dari total akrual rata-rata pada kelompok di mana
pendapatan diprakirakan akan dikelola ke atas dengan rata-rata total
akrual untuk masing-masing kelompok di mana pendapatan diprediksi
akan dikelola ke bawah.
Pendekatan ini setara dengan memperlakukan seperangkat
pengamatan dimana pendapatan diperkirakan akan dikelola ke atas
sebagai periode estimasi dan himpunan pengamatan dimana pendapatan
diperkirakan akan dikelola ke bawah sebagai periode peristiwa. Total
akrual rata-rata dari periode estimasi kemudian mewakili ukuran akrual
nondiscretionary. Total accruals (ACC,) yang mencakup discretionary
(DAt) dan non-discretionary (NDAt) components, dihitung sebagai berikut
(Healy, 1985):
ACCt= Nat + DAt
Selanjutnya total accrual diestimasi dengan menghitung selisih
antara laba akuntansi yang dilaporkan dikurangi dengan arus kas operasi.
Arus kas merupakan modal kerja dari aktivitas operasi dikurangi dengan
perubahan-perubahan dalam persediaan dan piutang usaha, di tambah
dengan perubahan-perubahan pada persediaan dan utang pajak

11
penghasilan. Sehingga formula selengkapnya menjadi sebagai berikut
(Healy, 1985):
ACCt= -DEPt – (XIt*D1) + ΔARt + ΔINVt - ΔAPt – {(ΔTPt + Dt)*D2}
Keterangan:
DEPt = Depresiasi di tahun t
XIt = Extraordinary Items di tahun t
ΔARt = Piutang usaha d tahun t dikurangi piutang usaha di tahun t-1
ΔINVt = Persediaan di tahun t dikurangi persediaan di tahun t-1
ΔAPt = Utang usaha di tahun t dikurangi utang usaha di tahun t-1
ΔTPt = Utang pajak penghasilan di tahun t dikurangi utang pajak di tahun
t-1
D1 = 1 jika rencana bonus dihitung dari laba setelah extarordinary item
0 jika rencana bonus dihitung dari laba sebelum extarordinary
item
D2 = 1 jika rencana bonus dihitung dari laba sesudah pajak
Penghasilan 0 jika rencana bonus dihitung dari laba sebelum
pajak penghasilan

b) Model DeAngelo
DeAngelo (1986) menguji manajemen laba dengan menghitung
perbedaan pertama dalam total akrual, dan dengan mengasumsikan
bahwa perbedaan pertama memiliki nilai nol yang diharapkan berdasarkan
hipotesis nol yang menyatakan tidak ada manajemen laba. Model ini
menggunakan total akrual periode lalu (diskalakan dengan total aset t-1)
sebagai ukuran akrual nondiskritioner. Dengan demikian, Model DeAngelo
untuk akrual nondiskritioner adalah (DeAngelo, 1986):
NDAt = TAt-1

Dechow et al. (1995) menjelaskan bahwa Model DeAngelo dapat


dipandang sebagai kasus khusus dari Model Healy, di mana periode

12
estimasi akrual nondiskretioner dibatasi pada pengamatan tahun
sebelumnya. Gambaran umum Model Healy dan DeAngelo adalah bahwa
keduanya menggunakan total akrual dari periode estimasi ke proxy untuk
akrual nondiskretionioner yang diharapkan. Jika akrual nondiskretioner
konstan dari waktu ke waktu dan akrual diskresioner memiliki rata-rata nol
pada periode estimasi, maka Model Healy dan DeAngelo akan mengukur
akrual nondiskritioner tanpa kesalahan. Namun, jika akrual nondiskritioner
berubah dari satu periode ke periode lainnya, maka kedua model akan
cenderung mengukur akrual nondiskritioner dengan kesalahan.
Selanjutnya Dechow et al. (1995) menjelaskan bahwa ketika akrual
nondiskretioner mengikuti proses yang konstan, maka model Healy lebih
sesuai digunakan. Sebaliknya, jika akrual nondiskretioner mengikuti
proses yang acak, maka model DeAngelo lebih sesuai.
c) Model Jones
Jones (1991) mengusulkan sebuah model yang menyederhanakan
anggapan bahwa akrual nondiskretioner bersifat konstan. Modelnya
mencoba mengendalikan efek perubahan pada lingkungan ekonomi
perusahaan terhadap akrual nondiskritioner. Model Jones untuk akrual
nondiskretioner pada tahun yang bersangkutan adalah (Jones, 1991):
NDAt = α1 (1 / At-1) + α2 (ΔREVt) + α3 (PPEt)
Keterangan:
ΔREVt = pendapatan pada tahun t dikurangi pendapatan pada tahun t-1
dibagi dengan Total aset pada t-1
PPEt = property, pabrik dan peralatan pada tahun t dibagi dengan total
aset pada t-1
At-1 = total aset pada tahun t-1
α1, α2, α3 = parameter-parameter spesifik perusahaan

Estimasi parameter spesifik perusahaan (α1, α2, α3) dihasilkan dengan


menggunakan model berikut pada periode estimasi (Jones, 1991):

13
TAt = a1 (1 / At-1) + α2 (ΔREVt) + α3 (PPEt) + Ut
Dimana: a1, a2, dan a3 menunjukkan estimasi koefisien dari regresi
dari α1, α2, α3. Sedangkan TA adalah total akrual dibagi dengan total aset
tahun t-1
Dechow et al. (1995) menjelaskan bahwa hasil perhitungan Model
Jones menunjukkan bahwa model tersebut berhasil menjelaskan sekitar
seperempat variasi total akrual. Asumsi yang tersirat dalam model Jones
adalah bahwa pendapatan bukan diskresioner. Jika pendapatan dikelola
melalui pendapatan discretionary, maka Model Jones akan menghapus
sebagian dari pendapatan yang dikelola dari proxy akrual diskresioner.
Misalnya, pertimbangkan situasi dimana manajemen menggunakan
kebijaksanaannya untuk memperoleh pendapatan pada akhir tahun saat
uang belum diterima dan sangat dipertanyakan apakah pendapatan
tersebut telah diperoleh. Hasil dari pertimbangan manajerial ini akan
meningkatkan pendapatan dan jumlah akrual (melalui peningkatan
piutang). Model Jones menterjemahkan total akrual yang berhubungan
dengan pendapatan dan oleh karena itu akan mengekstrak komponen
akrual diskresioner ini, yang menyebabkan estimasi manajemen laba
menjadi bias terhadap nol. Jones mengakui keterbatasan model ini di
dalam tulisannya (Dechow et al., 1995).
d) Model Industri
Dechow dan Sloan (1991) menyusun model pengukuran
manajemen laba yang dikenal dengan Model Industry. Serupa dengan
Model Jones, Model Industri menyederhanakan anggapan bahwa akrual
nondiskretioner konstan sepanjang waktu. Namun, alih-alih mencoba
secara langsung memodelkan faktor penentu akrual nondiskritioner,
Model Industri mengasumsikan bahwa variasi dalam faktor penentu akrual
nondiskresioner adalah umum di seluruh perusahaan di industri yang
sama. Model Industri untuk akrual nondiskritioner adalah (Dechow dan
Sloan, 1991):
NDAt = γ1 + γ2 medianI(TAt)

14
Dimana
 medianI(TAt) = nilai median dari total akrual yang diukur dengan
aset tahun t-1 untuk semua perusahaan non-sampel dalam kode
industry yang sama.
 Parameter spesifik perusahaan γ1 dan γ2 diperkirakan
menggunakan koefesien regresi pada pengamatan di Periode
estimasi
Kemampuan Model Industri untuk mengurangi kesalahan
pengukuran dalam akrual diskresioner bergantung pada dua faktor.
Pertama, Model Industri hanya menghilangkan variasi akrual
nondiscretionary yang umum terjadi di perusahaan-perusahaan di industri
yang sama. Jika perubahan akrual nondiskretioner mencerminkan
respons terhadap perubahan dalam keadaan spesifik perusahaan, maka
Model Industri tidak akan mengekstrak semua akrual nondiscretionary dari
proxy akrual diskresioner. Kedua, Model Industri menghilangkan variasi
dalam akrual diskresioner yang berkorelasi di seluruh perusahaan di
industri yang sama, yang berpotensi menimbulkan masalah. Tingkat
keparahan masalah ini bergantung pada sejauh mana stimulus
manajemen laba berkorelasi di antara perusahaan-perusahaan di industri
yang sama (Dechow et al., 1995).
e) Model Modifikasi Jones
Dechow et al. (1995) mempertimbangkan versi modifikasi Model
Jones dalam analisis empiris. Modifikasi ini dirancang untuk
menghilangkan kemungkinan dugaan Model Jones untuk mengukur akrual
diskresioner dengan kesalahan ketika diskresi manajemen dilakukan
terhadap pendapatan. Dalam model yang dimodifikasi, akrual
nondiskretioner diperkirakan selama periode peristiwa (yaitu, selama
periode di mana manajemen laba dihipotesakan. Penyesuaian yang
dilakukan terhadap Model Jones asli adalah bahwa perubahan
pendapatan disesuaikan dengan perubahan piutang pada periode
kejadian.

15
Model Jones asli secara implisit mengasumsikan bahwa diskresi
tidak dilakukan terhadap pendapatan baik dalam periode estimasi atau
periode peristiwa. Versi Modifikasi Model Jones secara implisit
mengasumsikan bahwa semua perubahan dalam penjualan kredit pada
periode kejadian berasal dari manajemen laba, hal ini didasarkan pada
penalaran bahwa lebih mudah mengelola pendapatan dengan
menerapkan diskresi atas pengakuan pendapatan atas penjualan kredit
daripada mengelola pendapatan dengan menerapkan diskresi atas
pengakuan pendapatan atas penjualan tunai (Dechow et al., 1995). Jika
modifikasi ini berhasil, maka perkiraan manajemen laba seharusnya tidak
lagi bias terhadap nol dalam sampel dimana manajemen laba telah
dilakukan melalui pengelolaan pendapatan.
Formula selengkapnya dari Model John yang Dimodifikasi adalah sebagai
berikut (Dechow et al., 1995):
(1) menghitung total accrual (TAC) yaitu laba bersih tahun t dikurangi
arus kas operasi tahun t dengan rumus sebagai berikut:
TAC = NIit - CFOit
Selanjutnya, total accrual (TA) diestimasi dengan Ordinary Least Square
sebagai berikut:

= β1 + β2 + β3 +ɛ
(2) Dengan koefisien regresi seperti pada rumus di atas, maka
nondiscretionary accruals (NDA) ditentukan dengan formula
sebagai berikut:

NDAit = β1 + β2 + β3
(3) Terakhir, discretionary accruals (DA) sebagai ukuran manajemen
laba ditentukan dengan formula berikut:

DAit = - NDAit
Keterangan:
DAit = Discretionary Accruals perusahaan i dalam periode tahun t

16
NDAit = Nondiscretionary Accruals perusahaan i dalam periode tahun t
TAit = Total acrual perusahaan i dalam periode tahun t
NIit = Laba bersih perusahaan i dalam periode tahun t
CFOit = arus kas dari aktivitas operasi perusahaan i dalam periode tahun t
Ait-1 = total assets perusahaan i dalam periode tahun t-1
ΔREVit= Pendapatan perusahaan i pada tahun t dikurangi dengan
pendapatan perusahaan I pada tahun t-1
PPEit = property, pabrik, dan peralatan perusahaan i dalam periode tahun
t
ΔRECit= piutang usaha perusahaan I pada tahun t dikurangi pendapatan
perusahaan I pada tahun t-1
ɛ = error

f) Model Dechow- Dichev


Dechow dan Dichev (2002) mengajukan sebuah model yang bisa
digunakan untuk mengukur kualitas akrual dalam laba yang tersaji di
laporan keuangan. Pengukuran didasari pada sebuah observasi yang
menemukan bahwa akrual akan mampu menyesuaikan perubahan arus
kas dari waktu ke waktu. Akan tetapi, seringkali akrual didasari pada suatu
estimasi akan peristiwa yang akan dating, yang jika estimasi ini salah
maka memerlukan penyesuaian di masa yang akan dating. Denagn
demikian, kesalahan estimasi menjadi factor pengganggu yang dapat
menurunkan kualitas akrual.
Model ini memfokuskan diri pada pemanfaatan akrual untuk
kepentingan oportunustis manajer yang dapat menyesatkan para
pengguna laporan keuangan. Selanjutnya model ini menjelaskan bahwa
karakteristik asal dari proses akrual menyarankan bahwa besaran
kesalahan estimasi akan secara sistematis berhubungan dengan hal-hal
fundamental perusahaan seperti lamanya siklus operasi perusahaan dan
variabilitas operasional perusahaan.
Selanjutnya model ini membangun rerangka akrual, dimana laba

17
akan sama dengan arus kas ditambah dengan akrual, dengan formula
seperti berikut (Dechow and Dichev, 2002):
E = CF + Accruals
Dari perspektif akuntansi, arus kas (CF) di kategori menjadi arus
kas tahun lalu (CFt-1), arus kas tahun berjalan (CFt), dan arus kas masa
depan (CFt+1). Sehingga, rumus selengkapnya dari laba (E) adalah
sebagai berikut (Dechow and Dichev, 2002):
Et = CFt-1t + CFtt + CFt+1t + ɛt+1t - ɛtt-1
Dari rumus di atas, porsi akrual yang terdapat dalam laba (At)
ditentukan dengan formula sebagai berikut (Dechow and Dichev, 2002):
At = CFt-1t – (CFtt+1 + CFtt-1) + CFt+1t + ɛt+1t - ɛtt-1
Kemudian diukur perubahan modal kerja akrual (∆WC) dengan
formula sebagai berikut (Dechow and Dichev, 2002):
ΔWC = b0 + (b1*CFOt-1) + (b2*CFOt) + (b3*CFOt+1) + ɛt
g) Model Kothari
Kothari et al. (2005) berupaya menyempurnakan Model Jones,
dengan menambahkan perubahan return on assets (ROA) untuk
mengontrol kinerja. Dengan kata lain, model ini hanya menambahkan
perubahan ROA dalam penghitungan akrual diskresioner. Model ini
berargumen bahwa memasukan unsure ROA dalam penghitungan akrual
diskresioner akan dapat meminimalkan kesalahan spesifikasi, sehingga
akan mampu mengukur manajemen laba secara lebih akurat
h) Model Stubben
Stubben (2010) menjelaskan bahwa model discretionary revenue
(pendapatan diskresioner) lebih mampu mengatasi bias dalam
pengukuran manajemen laba jika dibandingkan dengan akrual
diskresioner. Hal ini karena model akraul diskresioner banyak menerima
kritik akibat adanya bias dari gangguan kesalahan dalam melakukan
estimasi atas diskresi manajer. Sehingga Stubben (2010) berargumentasi
akan perlunya mengatasi bias tersebut dengan cara memusatkan
perhatian pengukuran manajemen laba pada salah satu factor pembentuk

18
laba. Dia berargumen bahwa pendapatan merupakan komponen terbesar
yang menyumbangkan laba perusahaan dan juga sebagai subjek utama
diskresi manajer, sehingga dengan memfokuskan pada pendapatan akan
diperoleh estimasi diskresi yang lebih akurat untuk mengukur praktik
manajemen laba.
Pendapatan diskresioner adalah selisih antara perubahan aktual
piutang dan perubahan piutang yang diprediksi berdasarkan model.
Piutang yang terlalu rendah tinggi secara tidak normal mengindikasikan
adanya praktik manajemen laba dalam perusahaan. Untuk
membandingkan model yang ada, Stubben (2010) membandingkan
kemampuan model pendapatan diskresioner dan model akrual
diskresioner yang umum digunakan (Jones, 1991; Dechow et al., 1995;
Dechow and Dichev, 2002; Kothari et al. 2005) untuk mendeteksi
kombinasi manajemen pendapatan dan biaya. Temuan menunjukkan
bahwa ukuran pendapatan diskresioner sebenarnya menghasilkan
perkiraan yang secara substansial tidak terlalu bias dan kesalahan
pengukuran relative kecil dibandingkan dengan model akrual. Dengan
menggunakan manipulasi simulasi (Kothari et al., 2005), Stubben (2010)
menemukan bahwa model pendapatan menghasilkan perkiraan diskresi
yang ditentukan dengan baik untuk perusahaan dalam masa
pertumbuhan.
Selanjutnya, formula model pendapatan diskresioner ditentukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut (Subben, 2010):
(1) Pendapatan (R) terdiri dari nondiscretionary revenues (RUM) dan
discretionary revenues (δRM), sehingga formulanya adalah:
Rit = RitUM + δitRM
(2) Laba bersih perusahaan i dalam periode tahun t Selanjutnya,
bagian (disimbolkan dengan c) nondiscretionary revenues tidak
tertagih pada akhir tahun, sehingga model ini mengasumsikan
bahwa tidak terjadi penagihan kas atas discretionary revenues.
Sehingga, piutang usaha (AR) akan setara dengan jumlah

19
nondiscretionary revenues yang tidak tertagih (c × R UM) dan
discretionary revenues (δRM). Sehingga formula berikutnya adalah:
ARit = c*(RitUM + δitRM)
(3) Asumsi berikutnya adalah bahwa discretionary revenues
meningkatkan piutang usaha dan pendapatan dengan jumlah yang
sama. Dengan kata lain, discretionary receivables sama dengan
discretionary revenues. Karena nondiscretionary revenues tidak
dapat diobservasi, model ini mengatur ulang persyaratan-
persyaratannya dan mengungkapkan ending receivables sebagai
pendapatan yang dilaporkan. Kemudian digunakan selisih pertama
untuk mengungkapkan the receivables accrual. Sebagai berikut:
ΔARit = c*ΔRit + (1 - c) * ΔδitRM
(4) Akhirnya, estimasi discretionary revenues perusahaan sebagai
ukuran manajemen laba ditentukan dari nilai residual persamaan
berikut:
ΔARit = α + βΔRit + ɛit

i) Model Pendekatan Baru


Dechow et al. (2011) mengusulkan sebuah pendekatan baru untuk
mendeteksi manajemen laba yang sekaligus meningkatkan daya uji dan
spesifikasi untuk meminimalkan besaran kesalahan estimasi dari model
akrual diskresioner yang sebelumnya. Pendekatan ini mengeksploitasi
karakteristik inheren manajemen laba berbasis akrual yang telah banyak
diabaikan dalam penelitian sebelumnya. Secara khusus, penelitian ini
menjelaskan bahwa setiap pengelolaan laba berbasis akrual dalam satu
periode harus berbalik dalam periode lain (reversal). Jika peneliti memiliki
perkiraan waktu yang tepat mengenai periode dimana manajemen laba
diharapkan berbalik, kekuatan dan spesifikasi pengujian untuk manajemen
laba dapat ditingkatkan secara signifikan dengan menggabungkan efek
pembalikan ini. Misalnya, jika peneliti sama-sama akurat dalam
memprediksi periode di mana manajemen laba terjadi dan periode di
mana manajemen laba berbalik, kekuatan pengujian manajemen laba

20
dapat meningkat akurasinya lebih dari 40% dengan memasukkan faktor
pembalikan.
Sehubungan dengan pencegahan kesalahan spesifikasi dalam
pengujian manajemen laba dalam sebuah sampel yang mengabaikan
factor karakteristik ekonomi, pengujian model ini mengharuskan variabel
yang dihilangkan tidak berbalik dalam periode yang sama dengan
manajemen laba. Sebagai contoh, ukuran perusahaan telah diidentifikasi
sebagai variabel potensial berkorelasi penting yang diabaikan dalam
pengujian manajemen laba (Ecker et al., 2011). Hal ini menjadi penting
untuk menaruh perhatian pada variable ukuran perusahaan karena ukuran
perusahaan cenderung bertahan, sehingga menggabungkan pembalikan
akrual dapat secara substansial mengurangi kesalahan spesifikasi.
Demikian pula, investasi baru telah diidentifikasi sebagai variabel
berkorelasi penting yang diabaikan dalam pengujian manajemen laba
(McNichols dan Stubben, 2008). Selama investasi baru tidak sepenuhnya
dibalik (yaitu, dilikuidasi) dalam periode pembalikan manajemen laba,
menggabungkan pembalikan akan mengurangi bias dalam pengujian.
Model ini menunjukkan bahwa menggabungkan pembalikan akrual dapat
memberikan solusi yang kuat untuk mengurangi kesalahan spesifikasi
dalam berbagai karakteristik ekonomi yang berbeda.
Selanjutnya Dechow et al. (2011) mengembangkan formula baru
untuk mengukur manajemen laba dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
(1) Mengembangkan formula untuk menghitung discretionary accruals
(DA) sebagai berikut:
DAi,t = α + bPARTi,t + ɛi,t
(2) Mengajukan asumsi standar dari OLS, estimator OLS yaitu b
dinotasikan dengan bˆ, merupakan estimator linier tidak bias yang
terbaik dengan standar eror. Sehingga formulanya adalah:

SE(bˆ) = Sɛ / [ SPART]
Dimana:

21
N = jumlah observasi
Sɛ = standar eror regresi
bˆ = besaran manajemen laba
SPART = standar deviasi sampel PART
Rasio bˆ terhadap SE(bˆ) memiliki distribusi t dengan n-2 degrees of
freedom. Hipotesis nol yang menyatakan tidak ada manajemen laba
ditolak jika hasilnya memiliki arah dan signifikan secara statistik pada
tingkat konvensional. Akibatnya, t-statistik yang dihasilkan dan kekuatan
pengujian manajemen laba menjadi semakin meningkat.
(3) Karena akrual diskresioner sangat sulit untuk diobservasi secara
langsung, maka dirumuskan proksi dari akrual diskresioner (DAP),
yang merupakan akrual diskresioner yang mempertimbangkan
unsure eror. Sehingga formulanya menjadi sebagai berikut:
DAPit = (DAit - µit) + ɳit
Dimana:
µ = akrual diskresioner yang secara tidak disengaja terhapus dari DAP
ɳ = akrual non diskresioner yang secara tidak disengaja masih melekat di
DAP
(4) Untuk menganalisis kesalahan spesifikasi, selanjutnya DAP
disubstitusikan terhadap DA dalam persamaan berikut ini:
DAPit = α + bPARTit + (-µit + ɳit + ɛit)
(5) Menghitung standar eror b~ dengan formula sebagai berikut:
SE(b) = SE (bˆ)(1-r2 (-µ + ɳ)(PART)) / ((1-r2 (DAP)(-µ + ɳ)(PART))

2.7 Sisi Baik dari Manajeman Laba


a. Membuka Komunikasi yang Diblok/Terhambat
Konsep komunikasi yang terhambat/diblokir berasal dari Demski

22
dan Sappington (1987a) (DSa). Secara frekuen, maka agen yang
memperoleh informasi yang dispesialiasikan sebagai bagian dari keahlian
mereka, dan jenis informasi ini kemungkinan besar akan bernilai untuk
berkomunikasi kepada pelaku utama, yakni membuka komunikasi yang di
terhambat diantara perusahaan/manajer dengan pemilik perusahaan atau
investor.
DSa menunjukkan kehadiran dari komunikasi yang diblokir yang
bisa menurunkan efisiensi dari kontrak agen, karena agen kemungkinan
akan kekurangan perolehan informasi dan berkompensasi dengan
bertindak. Jika hal ini terjadi, maka pelaku utama akan menerima insentif
untuk mencoba mengeliminasi atau menurunkan blockade informasi.
Ada beberapa cara untuk mengurangi blockade. Gu dan Li (2007)
melaporkan sebuah reaksi peningkatan pasar yang positif terhadap
pengungkapan strategi bisnis oleh perusahaan yang berteknologi tinggi
ketika pengungkapan didahului oleh isyarat kepercayaan dalam
manajemen perusahaan, yaitu pembelian saham. Pengungkapan barisan
item mengurangi kemampuan manajer untuk menggunakan earnings
management untuk mencapai perkiraan, dengan demikian kecurigaan
investor bahwa perkiraan mungkin dinaikkan.
Pada konteks ini, earnings management juga dapat sebagai alat
mengurangi blockade. Pembukaan atas informasi manajer melalui akrual
diskresioner yang membuat hasil yang diinginkan memiliki kepercayaab.
Pasar mengetahui bahwa para manajer akan bertindak gila-gilaan untuk
melaporkan laba yang tinggi daripada menahannya. DSb menunjukan
bahwa arus kas operasi, atau beberapa pengukuran kinerja tidak terolah
lainnya seperti laba sebelum item yang tidak biasa, menyatakan beberapa
informasi tentang kinerja perusahaan di masa depan. Namun, manajemen
memiliki informasi tambahan tentang kinerja masa depan, seperti strategi
perusahaan yang baru, perubahan karakteristik perusahaan, atau
perubahan kondisi pasar. Walaupun hampir relevan, informasi tersebut
cukup kompleks karena komunikasi tersebut diblokir.

23
Chen, Hemmer, dan Zhang (2007) menganalisa suatu model yang
mengilustrasikan interaksi antara peran penginformasian investor
terhadap earnings management yang hanya didiskusikan dan dampaknya
atas kontrak kompensasi.
CHZ lalu mengenalkan akuntansi konservatif. Akuntansi konservatif
menurunkan efisiensi kontrak. Pada waktu yang sama, akuntansi
konservatif mengurangi kebutuhan menaikan earnings management.

b. Bukti Empiris Sisi Baik Earnings Management


Subramanyam (1996) menyediakan beberapa bukti pada isu ini.
Dia membagi akrual kedalam komponen diskresioner dan komponen non-
diskresioner, menggunakan model Jones. Subramanyam menemukan,
setelah pengendalian terhadap efek arus kas operasi dan akrual non-
diskresioner pada pengembalian saham, konsisten dengan para manajer,
rata-rata, menggunakan earnings management secara bertanggungjawab
untuk mengungkapkan informasi bagian dalam tentang laba masa depan.
Xie (2001) menggunakan model Jones untuk mengestimasi akrual
diskresioner dan non-diskresioner untuk setiap perusahaan yang
diobservasi. Lalu estimasi kehadiran dari dua komponen akrual tersebut.
Sebagaimana yang dapat kita prediksi, dia menemukan bahwa kehadiran
dari akrual diskresioner kurang dari non dikresioner. Dengan kata lain,
daripada bereaksi terhadap akrual diskresioner yang seolah-olah baik,
pasar tampaknya lebih memilih menilainya terlalu tinggi.
Reaksi pasar yang positif terhadap komponen akrual diskresioner,
walaupun kurang positif daripada komponen asli. Manajer menggunakan
akrual diskresioner untuk menyampaikan informasi yang berguna pada
investor, juga mendukung hasil kontrak yang efisien. Kita simpulkan
bahwa ada teori yang penting dan bukti penting bahwa earning
management dapat menginformasikan pada investor sekaligus
memungkinkan adanya kontrak yang lebih efisien.
Alasan lain untuk perkembangan manajemen laba adalah bahwa

24
ada "baik" sisi untuk itu. Seperti disebutkan, kita dapat
mempertimbangkan sisi baik dari manajemen laba baik dari kontrak dan
perspektif pelaporan keuangan. Dari perspektif kontrak sejauh mana laba
manajemen bisa baik berhubungan dengan kontrak yang efisien versus
oportunistik bentuk teori akuntansi positif. Berdasarkan kontrak yang
efisien, maka diinginkan untuk memberikan manajer beberapa
kemampuan untuk mengelola pendapatan di dalam menghadapi kontak
lengkap dan kaku. Kita harus berhati-hati untuk tidak selalu menafsirkan
bukti manajemen laba untuk bonus, perjanjian hutang, dan alasan-alasan
politik sebagai buruk. Manajemen laba bisa menjadi alat untuk
menyampaikan informasi kepada pasar, sehingga harga saham dapat
lebih mencerminkan prospek masa depan perusahaan.

2.8 Sisi Buruk dari Manajeman Laba


a. Manajemen Laba Oportunistik
Meskipun teori dan bukti bertanggung jawab dalam
mempergunakan manajemen laba, ada juga bukti manajemen laba yang
buruk. Dari persfektif kontrak, ini merupakan hasil dari tingkah laku
oportunistik manajer. Kecenderungan manajer untuk menggunakan
manajemen laba agar memaksimalkan bonus mereka.
Investigasi mengungkapkan sejumlah motivasi untuk manajemen
laba tersebut. Yang umum adalah kedekatan dengan pelanggaran
perjanjian utang. Motif lain untuk melakukan manajemen laba yang buruk
muncul ketika manajer bermaksud untuk meningkatkan modal saham baru
dan ingin memaksimalkan hasil dari penerbitan saham baru.
Akrual diskresioner dapat digunakan untuk meningkatkan laba
bersih yang dilaporkan dalam jangka waktu pendek, seperti mempercepat
pengakuan pendapatan, memperpanjang masa manfaat aset modal,
menyediakan untuk biaya lingkungan dan pemulihan. Selama manajemen
laba digunakan untuk menaikkan harga yang tak terduga, pemilik yang
sekarang dapat memanfaatkannya sampai ada yang terbaru. Perusahaan

25
yang melakukan manajemen laba memiliki rata-rata leverage yang lebih
besar dan secara signifikan memiliki lebih banyak pelanggaran kontrak
hutang daripada pengendalian.
Hanna (1999) membahas jenis lain dari manajemen laba. Ini terjadi
karena sering munculnya biaya yang berlebihan untuk item yang tidak
berulang, seperti mencatat batas standar tes, dan ketentuan reorganisasi.
Bonus manajer biasanya berdasarkan laba sebelum item yang tidak biasa.
Ketentuan reorganisasi tidak mempengaruhi bonus atau kemampuan
untuk memenuhi perkiraan pendapatan dan pengurangan beban di masa
depan yang meningkatkan laba masa depan yang dievaluasi oleh
manajer. Dye mengungkapkan bahwa manajer yang bertindak sebagai
pemegang saham memiliki kemampuan dan insentif untuk mengelola laba
sehingga memaksimalkan harga jual agar dapat diterima oleh pemegang
saham sekarang.
Manajemen laba dalam konteks internasional dipelajari oleh Leuz,
Nanda, dan Wysocki (2003). Menurut mereka, manajemen laba berbeda
dengan pendekatan akrual yang dikemukakan oleh Jones. Salah satu
ukuran didsarkan pada korelasi antara akrual dan arus kas yang
berkorelasi rendah, misalnya, bahwa perusahaan – perusahaan di suatu
negara dapat mengakui pendapatan sebelum diterima secara tunai.
Sebuah ukuran ketiga adalah besarnya total akrual, total akrual tinggi
mengandung akrual tetapan tinggi, mirip dengan penalaran Healy.
 Menurut Healy (1999), manajemen laba mengaburkan
informasi kinerja ekonomis perusahaan karena ada kondisi
dimana manajer perusahaan memiliki akses informasi secara
langsung sementara sebagian stakeholder tidak. Ada sebagian
informasi yang tidak tersampaikan ke stakeholder. Manajer
disisi lain, memang dapat menggunakan kebijakan untuk
membuat laporan keuangan lebih informatif, mencerminkan
kinerja perusahaan sesungguhnya, misalnya melalui pemilihan
metode akuntansi atau estimasi untuk memberikan sinyal yang

26
memadai agi penilaian kinerja perusahaan. Akan tetapi
kebijakan akuntansi untuk membuat laporan keuangan lebih
informatif kepada pengguna tidak masuk dalam definisi.
 Kontroversi muncul ketika manajemen laba dikaitkan dengan
moral/etika, apakah tindakan manajer melakukan manajemen
laba tidak akan menyesatkan pemakai laporan keuangan.
Apalagi karena laba merupakan komponen penting yang
dipantau para pemakai laporan keuangan. Ditinjau dari
legalitas, tidak ada yang dilanggar karena pemilihan metode
akuntansi tidak melanggar standar akuntansi yang berlaku di
samping merupakan kewenangan manajer untuk memilih
metode akuntansi yang akan dipakai. Menilai etis atau tidaknya
manajemen laba dapat dilihat dari sudut pandang pencapaian
keseimbangan antara kepentingan individu (manajer) dengan
kewajiban terhadap pihak-pihak yang terkait dengan
perusahaan (stakeholder). Yang dimaksud dengan stakeholder
adalah pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok,
kreditur dan investor. Penilaian tersebut hanya dapat dilakukan
kalau manajer melakukannya secara sadar, artinya menyadari
implikasi jangka panjang yang ditimbulkan. Tekanan persaingan
untuk menghasilkan laba yang tinggi bisa menyebabkan
perilaku tidak etis, terutama untuk perusahaan yang
menggunakan angka akuntansi untuk penilaian kinerja secara
mutlak. Manajer dengan kinerja keuangan yangburuk dan
perusahaan dengan laba rendah lebih mudah melakukan
tindakan tidak etisdibandingkan manajer dengan
kinerjakeuangan baik dan perusahaan dengan laba.

b. Apakah Manajer Menerima Pasar Sekuritas Efisien?


Teknik manajemen laba yang dijelaskan, termasuk Nortel, tidak
selalu konsisten dengan efisiensi pasar sekuritas. Mereka mengandalkan

27
buruknya pengungkapan dan keterbatasan perhatian dari investor untuk
menjaga tingkat manajemen laba sebagai informasi pihak internal.
Schrand dan Walther (2000) melaporkan lagi bentuk manajemen laba.
Mereka menganalisis sampe perusahaan yang melaporkan materi,
keuntungan yang tidak berulang atau kerugian atas penjualan property,
pabrik, dan peralatan pada kuartal tahun sebelumnya tetapi tidak ada
keuntungan tersebut atau kerugian pada kuartal yang sama tahun
berjalan.
Laba proforma mencerminkan bentuk lain dari manajemen laba terhadap
pertanyaan penerimaan manajer atas efisiensi pasar. Manajer yang
menekankan pada klaim laba proforma bahwa ukuran ini lebih baik untuk
menggambarkan kinerja perusahaan dari laba bersih GAAP.
Namun, ketika laporan laba-rugi yang didasarkan oleh GAAP tersedia,
pasar yang efisien akan menyesuaikan secara cepat untuk item yang
dihilangkan dari pengumuman laba proforma. Konsekuensinya, tekanan
manajer atas laba proforma menyarankan mereka untuk tidak menerima
efisiensi. Kebijakan manajemen laba tidak masuk akal jika pasar sekuritas
efisien. Konsekuensinya, manajer yang terikat pada hal tersebut, mereka
seharusnya tidak menerima secara penuh tentang efisiensi.

2.9 Implikasi Manajeman Laba


a. Implikasi bagi Akuntan
Implikasi bagi akuntan yang ingin mengurangi manajemen laba
yang buruk, bagaimanapun tidak menolak efisiensi pasar, tetapi untuk
meningkatkan keterbukaan. Pengungkapan penuh membantu para
investor untuk mengevaluasi laporan keuangan, sehingga mengurangi
kerentanan mereka terhadap bias perilaku dan mengurangi kemampuan
manajer untuk mengeksploitasi tata kelola perusahaan yang buruk dan
inefisiensi pasar.
Cara lain untuk meningkatkan pengungkapan mencakup
pelaporkan dampak pada pendapatan inti yang secara umum, membantu

28
investor dan komite kompensasi untuk mendiagnosis kelemahan item.

b. Implikasi Manajemen Laba Terhadap Analisis Laporan Keuangan


Karena manajemen laba mendistorsi lapisan keuangan, identifikasi
dan membuat penyesuaian manajemen laba menjadi tugas penting dalam
analisis laporan keuangan. Namun, meskipun kekhawatiran mengenai
manajemen laba meningkat, manajemen laba tidak tersebar sejauh yang
diasumsikan. Media keuangan senang memusatkan perhatian pada kasus
manajemen laba karena masalah ini enak dibaca. Hal tersebut
memberikan kesan yang salah pada pemakai bahwa manajemen laba
dilakukan setiap waktu.
Sebelum menetukan apakah sebuah perusahaan melakukan
manajemen laba, seorang analis harus memeriksa hal berikut:
1. Insentif melakukan manajemen laba. Manajemen laba tidak
dilakukan kecuali jika terdapat insentif bagi manajer. Insentif ini
telah dibahas sebelumnya dan seorang analis harus
mempertimbangkan insentif tersebut.
2. Reputasi dan masa lalu manajemen. Perlu untuk menilai reputasi
dan integritas mnajemen. Membaca laporan keuangan periode lalu,
persyaratan SEC, laporan audit, penggantian auditor, dan media
keuangan memberikan informasi yang berguna untuk masalah ini.
3. Pola yang konsisten. Tujuan manajemen laba adalah
mempengaruhi angka paling bawah seperti laba atau rasio utama
seperti debt to equity atau interest coverage. Perlu diverifikasi
apakah komponen laba (atau neraca) tertentu telah diubah untuk
tujuan tertentu. Misalnya, jika suatu perusahaan terlihat
meningkatkan laba melalui, katakanla, kebijakan pengakuan
pendapatan, mementara pada saat yang sama menurunkan laba
melalui perubahan metode persediaan, maka kecil kemungkinan
perusahaan melakukan manajemen laba.
4. Kesempatan melakukan manajemen laba. Sifat aktivitas usaha

29
menentukan sejauh mana manajemen laba dapat diakukan. Jika
sifat aktivitas usaha membutuhkan penilaian yang cukup banyak
untuk menentukan angka laporan keuangan, maka semakin besar
kesempatan untuk melakukan manajemen laba.

2.10 Contoh yang Berkenaan


1. Data
Defond and Park (1997) dalam Lobo and Zhou (2001) menyatakan
bahwa manajemen laba memiliki hubungan negatif dengan kinerja kini
(current industry relative performance) dan memiliki hubungan positif
dengan kinerja masa depan (future industry relative performance). Hal ini
dikarenakan jika laba tahun berjalan lebih besar daripada tahun
sebelumnya, maka manajemen akan menyimpan labanya untuk periode
yang akan datang melalui negative discretionary accruals. Jika laba tahun
depan diprediksi lebih besar daripada tahun berjalan maka manajemen
akan menggeser laba masa mendatang ke masa kini melalui positive
discretionary accruals.
Total utang perusahaan (leverage) yang diukur melalui debt to
equity ratio juga berpengaruh pada manajemen laba. Sejalan dengan
hipotesis debt covenant, perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi
termotivasi untuk melakukan manajemen laba agar terhindar dari
pelanggaran penjanjian utang. Agnes Utari Widyaningdyah (2001)
menemukan hubungan positif antara leverage dengan manajemen laba.
Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi manajemen laba dimana
perusahaan besar memiliki aktivitas operasional yang lebih kompleks
sehingga memungkinkan dilakukannya manajemen laba. Perusahaan
besar juga menghadapi public demand atas informasi yang tinggi
sehingga perusahaan harus mengungkapkan lebih banyak informasi.
Kinerja perusahaan dapat diukur dari return kumulatif, semakin tinggi
return yang diperoleh maka semakin banyak pula informasi yang
diungkapkan untuk menarik perhatian investor.

30
2. Permasalahan
Keeratan hubungan antara angka laba dan manfaat informasi laba
dalam keputusan investasi (dalam hal ini investasi saham) oleh investor
maka terlebih dahulu investor perlu mendeteksi ada/tidaknya manajemen
laba dalam laporan keuangan pihak emiten. Maka dari itu,
permasalahannya adalah Bagaimana mendeteksi manajemen laba?

3. Pemecahan Masalah
Deteksi atas kemungkinan dilakukannya manajemen laba dalam
laporan keuangan secara umum diteliti melalui penggunaan akrual. Total
akrual adalah selisih antara laba dan arus kas yang berasal dari aktivitas
operasi. Total akrual dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: (1)
bagian akrual yang memang sewajarnya ada dalam proses penyusunan
laporan keuangan, disebut normal accruals atau non discretionary
accruals, dan (2) bagian akrual yang merupakan manipulasi data
akuntansi yang disebut dengan abnormal accruals atau discretionary
accruals. Nondiscretionary accruals merupakan komponen akrual yang
terjadi seiring dengan perubahan dari aktivitas perusahaan dan
discretionary accruals merupakan komponen akrual yang berasal dari
earnings management yang dilakukan manajer.
Jones mengembangkan model pengestimasi akrual diskresioner
untuk mendeteksi manipulasi laba yang kemudian populer sebagai Model
Jones. Jones melakukan firm‐specific regression dengan model ini. Ini
berarti akrual diskresioner diperoleh dengan membandingkan akrual tahun

31
t, saat terjadinya manipulasi laba, dengan rata‐rata akrual (akrual normal)
perusahaan itu sendiri pada tahun‐tahun sebelumnya.
Akrual, secara teknis, merupakan perbedaan antara kas dan laba.
Akrual merupakan komponen utama pembentuk laba dan akrual disusun
berdasarkan estimat‐estimat tertentu. Misalnya saja biaya depresiasi,
untuk mengetahui besarnya biaya ini kita harus mengetahui kosnya, umur
manfaat (estimasi), dan metode depresiasi yang digunakan. Nilai kos
memang sudah tetap (fixed) dan tidak bisa diubah‐ubah namun umur
manfaat dan metode depresiasi bisa diubah sesuai dengan kebijakan atau
pertimbangan atau discretion managemen.
Secara umum, akrual, yang merupakan produk akuntansi, dapat
dianggap memiliki jumlah yang “relatif tetap” dari tahun ke tahun. Hal ini
dikarenakan aturan akuntansi terkait juga tidak mengalami perubahan.
Perubahan akrual yang terjadi, oleh karenanya, dapat dianggap sebagai
hal yang tidak normal (abnormal). Perubahan ini merupakan hasil
penggunaan kebijakan (discretion) managemen yang berlebihan dan bila
pada saat yang sama managemen juga memiliki insentif/motif untuk
memanipulasi laba maka perubahaan akrual yang terjadi dianggap
sebagai bentuk manipulasi laba yang dilakukan managemen.
Model Jones berfokus pada akrual total sebagai sumber
manipulasi. Akrual total digunakan alihalih satu atau dua akun tertentu
saja. Ini dilakukan dengan harapan bahwa akrual total akan mampu
menangkap porsi yang lebih besar dari manipulasi oleh manager daripada
porsi yang ditangkap bila menggunakan satu dua akun saja.

32
BAB III
KESIMPULAN

Laba akuntansi adalah perbedaan antara revenue yang direalisasi


yang timbul dari transaksi pada periode tertentu dihadapkan dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan pada periode tersebut.
Laba merupakan informasi penting dalam suatu laporan keuangan.
Angka ini penting untuk :
a. Perhitungan pajak, berfungsi sebagai dasar pengenaan pajak yang
akan diterima Negara.
b. Untuk menghitung deviden yang kan dibagikan kepada pemilik dan
yang kan ditahan dalam perusahaan.
c. Sebagai pedoman dalam menentukan kebijaksanaan investasi dan
pengambilan keputusan.
d. Menjadi dasar dalam peramalan laba maupun kejadian ekonomi
perusahaan lainnya di masa yang akan datang.
e. Sebagai dasar dalam perhitungan dan penilaian efisiensi.
f. Untuk menilai prestasi atau kinerja perusahaan/segmen perusahaan
divisi.
Manajemen laba adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pihak
manajemen yang menaikkan atau menurunkan laba yang dilaporkan dari
unit yang menjadi tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan
dengan kenaikkan atau penurunan profitabilitas perusahaan untuk jangka
panjang.

33
DAFTAR PUSTAKA

Agnes Utari Widyaningdyah (2001). Analisis Faktor-faktor Yang


Berpengaruh Terhadap Earnings Management Pada Perusahaan
Go Public di Indonesia. Jurnal Akuntansi & Keuangan, November
Vol. 3 No. 2.

Fischer, M dan K Rosenzweig. 1995. Attitudes of Students and Accounting


Practitioners Concerning the Etrhical Acceptability of Earnings
Managemen. Journal of Business Ethics, 14: 434-444.

Lobo, Gerald J., and Jian Zhou. 2001. “Disclosure Quality and Earnings
Management”. http://www.ssrn.com.

Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26810/4/Chapter%20II.pdf

Setiawati, L. dan A. Na'im. 2000. Manajemen Laba. Journal Ekonomi dan


Bisnis.

Sugiri. 2005. Akuntansi Manajemen. Yogyakarta: BPFE.

34

You might also like