You are on page 1of 25

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN

PERUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT ATAS KREDITUR MENURUT


PERATURAN KEPAILITAN
(STUDI KASUS PT. JAYA LESTARI)

JURNAL

OLEH:

KRISTINA NATALIA NABABAN

130200215

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
CURRICULUM VITAE

A. Data Pribadi

Nama Lengkap Kristina Natalia Nababan

Jenis Kelamin Perempuan


Tempat, Tanggal
Kabanjahe 27 Desember 1993
Lahir
Kewarganegaraan Indonesia

Status BelumKawin

Identitas NIK KTP.1206015712910001

Agama Kristen Protestan


Alamat Domisili Jl.KaryaPancurBatu

Alamat Asal Jl.IrianGgKekalKabanjahe

No.Telp 085270537636

Email Kristinanababan232yahoo.com

B. Pendidikan Formal

Tahun Institusi Pendidikan Jurusan IPK


2001-2007 SD Negeri 9 Kabanjahe - -
2007-2010 SMP Negeri 2 Kabanjahe - -
2010-2013 SMA Negeri 1 Tigapanah IPS -
2013-2018 Universitas Sumatera Utara Ilmu Hukum 3.05

C. Data Orang Tua

Nama Ayah/Ibu : Jhon Peter Nababan / Jenda Pulung Br Purba

Pekerjaan : wiraswata

Alamat :Jl.Irian Gg Kekal Kabanjahe


ABSTRAK

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN


PERUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT ATAS KREDITUR MENURUT
PERATURAN KEPAILITAN
(STUDI KASUS PT. JAYA LESTARI)

Mahasiswa*
Dosen Pembimbing I**
Dosen Pembimbing II***

Pengaturan yang mengatur secara spesifik terhadap kedudukan hukum


guarantor dalam kepailitan, terutama guarantor yang telah melepaskan hak-hak
istimewanya sebagai Penanggung. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum,
tercermin dalam perbedaan pendapat ahli hukum serta perbedaan penafsiran
Hakim terkait kedudukan hukum guarantor. Tujuan analisis yang dilakukan
adalah untuk mengetahui kedudukan hukum Penjamin yang telah melepaskan
hak-hak istimewanya dalam kepailitan serta untuk mengetahui penyelesaian
terkait permasalahan hukum dimana Corporate Guarantor dipailitkan terlebih
dahulu tanpa dipailitkannya Debitur dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 158 K/Pdt.Sus Pailit/2014 Tahun 2014.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif yang menggunakan bahan pustaka atau data
sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data melalui penelusuran dokumen-
dokumen maupun buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa
bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan diteliti. Alat
pengumpulan data yang dipergunakan berupa dokumen. Teknik analisis data
yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan yang berlaku saat ini
juga memungkinkan bagi guarantor untuk dipailitkan tanpa dipailitkannya
Terjamin atau Debitur-utama. Sebagai studi kasus, dalam skripsi ini diteliti
perkara kepailitan PT. Jaya Lestari yang dinyatakan pailit dalam kedudukan
hukumnya sebagai guarantor.

Kata Kunci : Kepailitan, Corporate Guarantor, Kedudukan Hukum


*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sektor perekonomian, konsep penjaminan atau penanggungan
merupakan konsep yang tidak asing terdengar lagi. Fasilitas kredit atau jaminan
menjadi kebutuhan masyarakat yang menjalankan kegiatan di bidang
perdagangan, perindustrian, perseroan, pengangkutan, dan kegiatan-kegiatan
dalam proyek pembangunan. Kegiatan-kegiatan tersebut memerlukan fasilitas
kredit dalam usahanya, mensyaratkan untuk adanya jaminan bagi pemberian
kredit tersebut demi keamanan modal dan kepastian hukum bagi si pemberi
modal.1. Jaminan secara hukum mempunyai fungsi sebagai sarana perlindungan
bagi para kreditur berupa pemberian kepastian akan pelunasan utang debitur
atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur2.
Jaminan ini terbagi menjadi dua golongan, yakni Jaminan Kebendaan
dan Jaminan Perorangan (borgtocht). Dalam jaminan kebendaan, objek jaminan
berupa harta kekayaan yang diberikan dengan memisahkan bagian dari harta
kekayaan debitur maupun pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan
kewajiban-kewajiban debitur apabila debitur yang bersangkutan cidera janji atau
wanprestasi. Sedangkan dalam jaminan perorangan (borgtocht), objek jaminan
yang diberikan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh pihak ketiga
guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada kreditur apabila
debitur yang bersangkutan wanprestasi3. Dalam KUH Perdata, ketentuan terkait
penjaminan atau penanggungan diatur dalam Pasal 1831 s.d. Pasal 1850.
Faktor jaminan menjadi faktor yang sangat penting bagi kreditor yang
memerlukan kepastian bahwa pinjaman yang diberikan itu akan dilunasi oleh
debitor sesuai dengan janji yang diberikan secara tepat 4 . Dengan adanya
jaminan perorangan, maka pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk
membayar utang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar
utangnya tersebut.

1
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, cet. 3 (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2003), hal. 2.
2
Djuhaendah Hasan, Aspek Hukum Jaminan Kebendaan dan Perorangan, Jurnal
Hukum Bisnis (Volume 11, 2000), hal. 16.
3
Mariam Darus Badrulzaman, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Jurnal
Hukum Bisnis (Volume 11, 2000), hal. 11.
4
J. Djohanshah, “Kreditor Separatis dan Preferens , serta tentang Penjaminan
Hutang”, dalam Emmy Yuhassarie, ed., Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan, (Jakarta:
Pusat Pengkajian Hukum, 2003), hal. 65
2

Dalam hal timbulnya suatu kredit macet antara Kreditur dan Debitur,
pada hakikatnya kepailitan tidak jarang menjadi pranata yang digunakan dalam
dunia usaha, sebagai jalan keluar dari penyelesaian proses utang-piutang yang
macet. Kepailitan merupakan sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan
hakim pengawas. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) sendiri pada dasarnya
tidak mengatur secara khusus mengenai pihak yang dapat dinyatakan pailit.
UUKPKPU hanya mengkategorikan pihak yang dapat dinyatakan pailit dengan
sebutan “debitur”. Bahwa yang dapat dinyatakan pailit adalah debitur yang
mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu
atau lebih kreditornya 5.
Penjamin sebagai pihak yang memberikan jaminan merupakan pihak
yang dapat diminta pertanggungjawabannya apabila debitor tidak mampu lagi
memenuhi kewajibannya. Dalam pemberian jaminan, seorang penjamin atau
guarantor memiliki hak istimewa yang terdiri atas hak untuk meminta agar harta
benda debitur disita dan dilelang terlebih dahulu untuk melunasi utang kepada
kreditur6 serta hak untuk meminta kepada kreditur pemecahan piutang dalam hal
terdapat lebih dari seorang penanggung7. Pemberian hak-hak istimewa tersebut
merupakan suatu bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-
undang terhadap penjamin/guarantor. Penjamin diberikan kebebasan untuk
mempertahankan atau untuk melepaskan hak istimewanya tersebut.
Dengan dilepaskannya hak-hak istimewa Penjamin, maka dapat
disimpulkan bahwa Penjamin tidak dapat menuntut agar benda-benda Debitur
terlebih dahulu disita dan dijual. Di sisi lain dalam proses kepailitan, hal ini
menimbulkan ketidakpastian hukum akan kedudukan Penjamin, sebab
dimungkinkan diajukannya gugatan kepailitan kepada Penjamin sebagai Debitur
tanpa adanya suatu penetapan kepailitan terlebih dahulu atas harta Debitur
Utama/Terjamin. Kedudukan Penjamin yang telah melepaskan hak-hak

5
Indonesia (1), Undang-Undang Kepailitan, LN Nomor 131 Tahun 2004, TLN 4443,
2004, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Ps 2 ayat (1).
6
R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Bandung: Pradnya Paramita,
1989), Pasal 1831.
7
Ibid., Pasal 1837 BW
3

istimewanya sebagai debitur pailit menjadi dipertanyakan dan perlu untuk


diperjelas.
JurnalIlmiahinimembahasmengenaibagaimanaakibathukum terhadap

penanggung utang sebagai jaminan perusahaan yang dinyatakan pailit atas

kreditur menurut peraturan kepailitan (StudiKasus PT. Jaya Lestari).


4

I. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. KEPAILITAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA


1. Tinjauan Umum Konsep Kepailitan
Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata “pailit”. Bila
ditelusuri lebih mendasar, istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa
Belanda, Perancis, Latin, dan Inggris, dengan istilah yang berbeda-beda. Dalam
bahasa Belanda, pailit berasal dari kata “failliet” yang mempunyai arti
ganda, yaitusebagai kata benda dan kata sifat. Dalam bahasa Perancis, pailit
berasal dari kata“faillite” yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran.
Dalam bahasa Inggris dikenal kata “to fail” dengan arti yang sama; dalam bahasa
Latin disebut“faillute”. Di Negara-negara berbahasa Inggris, pengertian pailit dan
kepailitan diwakili dengan kata-kata “bankrupt” dan “bankruptcy”8.
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk
keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana
debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar
utang-utang tersebut kepada para kreditornya. Sehingga, bila keadaan
ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut
disadari oleh debitor, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan
status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu
langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan
terhadap debitor tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitor tersebut
memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih (involuntary petition for bankruptcy)9.
Ketentuan kepailitan merupakan aturan yang mempunyai tujuan untuk
melakukan pembagian harta Debitor kepada Para Kreditornya dengan
melakukan sita umum terhadap seluruh harta Debitor yang selanjutnya dibagikan
kepada Kreditor sesuai dengan hak proporsinya. 10 Tujuan kepailitan adalah
pembagian kekayaan Debitor oleh Kurator kepada semua Kreditor dengan

8
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Indonesia,
Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hal. 18.
9
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan,
(Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 3.
10
Ibid., hal. 67.
5

memperhatikan hak-hak mereka masing-masing. 11 Dalam hal seorang Debitor


hanya mempunyai satu Kreditor dan Debitor tidak membayar utangnya dengan
sukarela, maka Kreditor akan menggugat Debitor secara perdata ke Pengadilan
Negeri yang berwenang dan seluruh harta.
Debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada Kreditor tersebut. 12
Hasil bersih eksekusi harta Debitor dipakai untuk membayar Kreditor tersebut.
Namun, dalam hal terdapat banyak Kreditor dan harta kekayaan Debitor tidak
cukup untuk membayar lunas semua Kreditornya, maka para Kreditor akan
berlomba dengan segala cara, baik yang halal maupun tidak untuk mendapatkan
pelunasan terlebih dahulu. Hal itu mengakibatkan Kreditor yang datang
belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta Debitor
sudah habis.13

2. Pengaturan Hukum Para Pihak dalam Kepailitan


Hukum Kepailitan di Indonesia secara historis dimulai sejak Indonesia
berada di bawah penguasaan Belanda yang kedua, yaitu pada tahun 1846
sampai tahun 1942.14
Peraturan kepailitan yang berlaku saat itu, yaitu
Faillissementsverodening kurang dapat diandalkan, antara lain karena upaya
melalui kepailitan yang diatur dalam FV sangat lambat prosesnya dan tidak dapat
dipastikan hasilnya. Sehingga diperlukan suatu peraturan kepailitan baru yang
dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan Kreditor. Selain itu desakan juga
datang dari IMF sebagai pember iutang kepada pemerintah Republik Indonesia
yang berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter Indonesia tidak
dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para
pengusaha Indonesia.

11
Emmy Yuhassarie, Tri Harnowo, ed., “Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan
Hukum”, Makalah Menelaah Konsep Dasar dan Aspek Hukum Kepailitan, (Jakarta: Pusat
Pengkajian Hukum, 2004), hal. 96
12
Rudhy A Lontoh, Denny Kaiilimang, dan Benny Ponto, Penyelesaian Utang-Piutang
Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
(Bandung: Alumni, 2001), hal. 75.
13
Ibid., hal. 76.
14
Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2012),
hal. 20.
6

3. Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit


Akibat hukum Putusan Pernyataan pailit dapat berpengaruh terhadap
hal-hal berikut:
a. Akibat Hukum Terhadap Debitor Pailit dan Harta Kekayaannya
Berdasarkan bunyi Pasal 24 UUPKPU disebutkan bahwa terhitung
sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, Debitor pailit demi
hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya
yang termasuk dalam harta pailit. Artinya, Debitor pailit tidak memiliki
kewenangan atau tidak bisa berbuat bebas atas harta kekayaan yang
dimilikinya. 15 Pengurusan dan penguasaan atas harta kepailitan
beralih atau dialihkan kepada kurator atau Balai Harta Peninggalan
(BHP) yang bertindak sebagai Kurator.
b. Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Timbal Balik
Putusan pernyataan pailit tidak mengikat perjanjian timbal balik yang
diadakan oleh Debitor pailit sebelum kepailitan diretapkan. Debitur
pailit, atas izin Kurator, masih dapat meneruskan pelaksanaan
perjanjian timbal balik tersebut dalam jangka waktu tertentu yang
telah disepakati bersama. Mengenai hal ini, Pasal 36 UUK-PKPU
menetapkan bahwa jika pada saat putusan pernyataan pailit
ditetapkan terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru
sebagian dipenuhi, pihak dengan siapa Debitor mengadakan
perjanjian tersebut dapat meminta kepada Kurator untuk memberikan
kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam
jangka waktu yang disepakati oleh Kurator dna pihak tersebut.
c. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Sewa
Berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UUK-PKPU ditentukan bahwa dalam
hal Debitor pailit telah menyewa suatu barang, maka baik Kurator
maupun pihak yang menyewakan barang tersebut untuk sementara
dapat menghentikan sewa, asalkan pemberitahuan mengenai
penghentian sewa tersebut dilakukan menjelang berakhirnya
perjanjian sewa yang bersangkutan sesuai dengan kebiasaan
setempat. Selain itu, dalam waktu penghentian tersebut juga harus
diperhatikan jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian sewa

15
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hal. 50.
7

atau jangka waktu yang lazim. Menurut UUK-PKPU, pemberitahuan


penghentian harus diberikan setidaknya 90 (Sembilan puluh) hari
sebelum penghentian perjanjian sewa.
d. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Kerja
Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UUK-PKPU, seorang pekerja yang
bekerja pada Debitor yang jatuh pailit dapat memutuskan hubungan
kerjanya, dan Kurator juga dapat memutuskan hubungan kerja
tersebut dengan keharusan untuk mengindahkan jangka waktu yang
ditentukan dalam perjanjian kerja mereka atau yang ditentukan dalam
Undang-undang. Hubungan kerja tersebut hanya dapat diputuskan
dengan ketentuan bahwa pemberitahuan tersebut harus dilakukan
setidak-tidaknya dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari.
Sejak pernyataan pailit berlaku, uang upah merupakan utang
terhadap harta pailit.
e. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Hak Jaminan
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU,
dengan dikeluarkannya putusan pernyataan pailit oleh pengadilan,
setiap Kreditor yang memegang Hak Gadai, Hak Fidusia, Hak
Tanggungan, Hipotik, atau Hak Agunan atas kebendaan lainnya,
dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

4. Penyelesaian Atas Hukum Berakhirnya Kepailitan


Penyelesaian atas hukum berakhirnya kepailitan, yaitu sebagai berikut:
a. Perdamaian Atas Hukum Berakhirnya Kepailitan
Undang-Undang Kepailitan mengenal dua macam perdamaian
(accoord). Pertama, ialah perdamaian yang ditawarkan oleh Debitor
dalam rangka PKPU sebelum Debitor dinyatakan pailit oleh
Pengadilan Niaga, yang diatur dalam Pasal 265 hingga Pasal 294
UUK-PKPU. Kedua, adalah perdamaian yang ditawarkan setelah
Debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Perdamaian yang
ditawarkan oleh Debitor setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan
Niaga diatur dalam Pasal Bab II, Bagian Keenam, pada Pasal 144
sampai dengan Pasal 177 UUK-PKPU.
b. Insolvensi dan Pemberesan Harta Kepailitan
8

Berdasarkan Pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU dinyatakan bahwa jika


dalam rapat verifikasi tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana
perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesaha
perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaa
insolvensi. Yang dimaksud dengan keadaan insolvensi sendiri adalah
keadaan tidak mampu membayar.16
Tindakan selanjutnya terhadap harta Debitor pailit adalah melakukan
likuidasi yang dilakukan oleh Kurator. Atas hasil likuidasi, Kurator
akan mendistribusikannya kepada masing-masing Kreditor dalam
rangka pelunasan utang-utang Debitor kepada Kreditor tersebut yang
piutangnya telah diakui dalam proses pencocokan atau verifikasi
utang-piutang. Tindakan ini disebut sebagai tindakan pemberesan
harta pailit.
c. Rehabilitasi
Berdasarkan kepailitan telah berakhir (insolvensi) dan semua Kreditor
telah mendapat pembayaran piutang secara penuh, maka Debitor
pailit maupun ahli warisnya dapat mengajukan permohonan
rehabilitasi. Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah pemulihan
nama baik Debitor yang semula dinyatakan pailit, melalui putusan
Pengadilan yang berisi keterangan bahwa Debitor telah memenuhi
kewajibannya. Pasal 215 UUK-PKPU menyatakan bahwa setelah
berakhirnya kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166
(yaitu berakhirnya kepailitan karena diberikannya pengesahan
perdamaian yang telah berkekuatan hukum tetap), Pasal 202 (yaitu
berakhirnya kepailitan karena telah dibayarnya secara penuh piutang
para Kreditor yang telah dicocokkan piutangnya atau berakhirnya
kepailitan karena pembagian penutup telah memperoleh kekuatan
hukum yang pasti), dan Pasal 207 (yaitu kepailitan harta warisan),
maka Debitor pailit atau ahli warisnya berhak mengajukan
permohonan rehabilitasi kepada Pengadilan Niaga yang semula
memeriksa kepailitan yang bersangkutan.

16
Indonesia (1), Op. Cit., Penjelasan Pasal 57 ayat (1).
9

B. PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN PERUSAHAAN ATAS


DEBITUR
1. Tinjauan Umum Mengenai Konsep Jaminan
a. Istilah dan Pengertian Hukum Jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, yaitu
zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara
kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, di samping pertanggungan jawab
umum debitur terhadap barang-barangnya.17
Jaminan khusus dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu jaminan
kebendaan dan perorangan. Jaminan kebendaan dibagi menjadi jaminan benda
bergerak dan tidak bergerak. Yang termasuk dalam jaminan benda
bergerak,meliputi: gadai dan fidusia, sedangkan jaminan benda tidak bergerak
meliputihak tanggungan, fidusia, dan hipotik. Sedangkan jaminan perorangan
meliputi borg, tanggung-menanggung (tanggung renteng), dan garansi bank.18
b. Sifat dan Bentuk Perjanjian Jaminan
Pada dasarnya, perjanjian kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accessoir. Perjanjian pokok,
menurut Rutten adalah, perjanjian-perjanjian, yang untuk adanya mempunyai
dasar yang mandiri. 19 Sementara perjanjian accessoir adalah suatu perjanjian
yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. 20 Mengenai sifat
perjanjian jaminan lazimnya dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat
accessoir, yaitu senantiasa merupakan perjanjian yang dikaitkan pada perjanjian
pokok.21
Sebagai perjanjian yang bersifat accessoir, maka perjanjian jaminan
memperoleh akibat-akibat hukum seperti halnya perjanjian accessoir yang lain,
yaitu:22

17
H. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, ed.2, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 21
18
H. Salim, Op.Cit., hal. 9.
19
J. Satrio (1), Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti),
seperti dikutip oleh H. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, ed.2, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 29.
20
H. Salim, Op. Cit., hal. 30.
21
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok
HukumJaminan dan Jaminan Perorangan, cet.3, (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2003),
hal. 37
22
Ibid.
10

1) Adanya tergantung pada perjanjian pokok.


2) Hapusnya tergantung pada perjanjian pokok.
3) Jika perjanjian pokok batal, maka perjanjian ikut batal.
4) Ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok.
5) Jika perutangan pokok beralih karena cessie, subrogasi, maka
perjanjian ikut beralih juga tanpa adanya penyerahan khusus.
c. Penggolongan Jaminan
Pada umumnya, jenis-jenis lembaga jaminan sebagaimana dikenal
dalam Tata Hukum Indonesia dapat digolong-golongkan menurut cara terjadinya,
menurut sifatnya, menurut obyeknya, menurut kewenangan menguasainya, dan
lain-lain sebagai berikut:23
1) Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh Undang-undang dan
jaminan yang lahir karena perjanjian.
2) Jaminan Umum dan Jaminan Khusus
3) Jaminan yang bersifat Kebendaan dan Hak Perorangan
Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi:
a) adai, diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160
Buku II KUH Perdata.
b) Fidusia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Fidusia.
c) Hak tanggungan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, sebelumnya diatur
dalam Bab 21 Buku II KUH Perdata.
d) Hipotik, diatur dalam Pasal 314 sampai dengan Pasal 316
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
e) P enanggung (borg).
f) Tanggung-menanggung.
g) Perjanjian garansi, diatur dalam Pasal 1316 KUH
Perdata.
4) Jaminan atas benda bergerak dan tak bergerak

23
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 43.
11

2. Jenis-Jenis Penanggungan Utang


Adapun yang menjadi jenis-jenis dalam penanggungan utang adalah
sebagai berikut:
1. Personal Guarantee
Personal Guarantee adalah perjanjian antara kreditur dan penanggung,
dimana seorang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk memenuhi
hutang debitur, baik itu karena ditunjuk oleh kreditur (tanpa sepengetahuan
atau persetujuan debitur) maupun yang diajukan oleh debitur atas perintah
dari kreditur. 24 Disebut personal guarantee adalah jika yang ditunjuk
sebagai penjamin atau penanggung adalah orang perorangan.
2. Corporate Guarantee
Pada asasnya, sebenarnya tidak ada halangan untuk menerima badan
hukum sebagai pihak yang memberikan penanggungan. Badan hukum
menurut R. Subekti adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat
memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta
memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan
hakim.25 Jaminan Perusahaan atau Corporate Guarantee adalah salah satu
bentuk dari perjanjian penanggungan hutang (borgtocht). Di Indonesia,
belum terdapat peraturan yang secara khusus mengatur mengenai jaminan
perusahaan, maupun jenis perusahaan yang dapat dijadikan sebagai
penjamin dalam suatu pemberian kredit. Namun dalam praktiknya, yang
paling sering memberikan jaminan perusahaan adalah perusahaan yang
berbentuk PT (Perseroan Terbatas).
3. Hubungan Hukum Antar Pihak dalam Penanggungan Utang
Dengan adanya perjanjian penanggungan antara kreditur dan
penanggung, maka lahirlah akibat-akibat hukum yang berupa hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus diperhatikan baik oleh si penanggung
maupun kreditur. Hak-hak demikian oleh Undang-Undang diberikan kepada
penanggung, merupakan perlindungan bagi penanggung terhadap perlakuan
atau tindakan dari kreditur yang memberatkan penanggung.26
Dalam melaksanakan kewajibannya oleh Undang-Undang, penanggung
diberikan hak-hak tertentu yang sifatnya memberikan perlindungan kepada si

24
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 105.
25
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1987), hal. 19.
26
Ibid., hal. 91.
12

penanggung. Hak-hak penanggung tersebut menurut ketentuan Undang-


Undang, berupa:
a. Hak untuk menuntut lebih dahulu (voorrecht van uitwinning).
b. Hak untuk membagi hutang (voorrecht van schuldsplitsing).
c. Hak untuk mengajukan tangkisan gugat.
d. Hak untuk diberhentikan dari penanggungan (karena terhalang
melakukan subrogasi) akibat perbuatan kesalahan kreditur.27

4. Hapusnya Penanggung Utang


Secara umum dalam ketentuan Pasal 1845 KUH Perdata menyatakan
bahwa: “Perikatan yang diterbitkan dari penanggungan hapus karena sebab-
sebab yang sama, sebagaimana yang menyebabkan berakhirnya perikatan-
perikatan lainnya.” Dengan rumusan ini berarti berlakulah ketentuan Pasal
1381 KUH
Perdata yang berbunyi:
Perikatan hapus:
1. karena pembayaran.
2. karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan
atau penitipan.
3. karena pembaharuan utang.
4. karena perjumpaan utang atau kompensasi.
5. karena percampuran utang.
6. karena pembebasan utang.
7. karena musnahnya barang yang terutang.
8. karena kebatalan atau pembatalan.
9. karena berlakunya suatu syarat pembatalan yang diatur dalam Bab I
buku ini.
10. karena lewatnya waktu, yang diatur dalam suatu bab tersendiri.

27
Ibid., hal. 92.
13

C. AKIBAT HUKUM ATAS PERNYATAAN PAILIT TERHADAP


PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN PERUSAHAAN (STUDI
KASUS PT. JAYA LESTARI)
1. KasusKepailitan PT. Jaya Lestari
Perkara ini didaftar dengan Nomor Register Perkara
38/Pailit/2013/PN.Niaga.Sby. PT. Bank Rabobank International Indnesia, suatu
perusahaan perbankan yang didirikan berdasarkan hukum Negara Republik
Indonesia, berkedudukan di Plaza 89, Lantai 9, Jl. H. R. Rasuna Said Kav. X-7
Nomor 6, Jakarta, sebagai pemohon pailit, terhadap PT. Jaya Lestari, suatu
perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan dan tunduk pada hukum Negara
Republik Indonesia, berkedudukan di Jl. Kedung Cowek Nomor 235, Surabaya,
sebagai Termohon Pailit.
Terhadap Termohon diajukan permohonan pailit dalam kedudukannya
sebagai Corporate Guarantor dari PT. Golden Harvestindo berdasarkan
Continuing Guarantee atau Perjanjian Penjaminan Berkelanjutan. PT. Golden
Harvestindo merupakan Debitur dari Bank Rabobank berdasarkan Facility
Agreement No. LA/CA/1279/2006 tanggal 8 Juni 2006, yang dibuat antara PT.
Golden Harvestindo dengan Bank Rabobank. Perjanjian Penjaminan dalam hal
ini dibuat oleh Termohon Pailit untuk menjamin pembayaran dan pelunasan
utang PT. Golden Harvestindo terhadap Pemohon.
Dalam Perjanjian Penjaminan yang dibuat antara Pemohon Pailit
dengan Termohon sebagai Penjamin, Termohon telah melepaskan hak-hak
istimewa yang dimiliki oleh seorang Penjamin. Termohon telah
mengesampingkan antara lain, ketentuan Pasal 1430, 1831, 1833, 1837, 1838,
1843, 1847, 1848, 1849, dan 1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Atas permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Pemohon,
Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan permohonan kepailitan yang diajukan
untuk seluruhnya serta menyatakan Termohon, yaitu PT. Jaya Lestari, pailit
dengan segala akibat hukumnya. Terhadap putusan dari Pengadilan Niaga
Surabaya tersebut, kemudian Termohon mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung dengan Nomor Register Perkara 158 K/Pdt.Sus-Pailit/2014.
Dalam permohonan pernyataan pailit yang diajukan, Pemohon
mendalilkan bahwa Termohon merupakan Debitur dari Pemohon berdasarkan
Perjanjian Penjaminan Berkelanjutan yang dibuat pada tanggal 8 Juni 2006
untuk menjamin pembayaran kembali dan/atau pelunasan utang dari PT. Golden
14

Harvestindo kepada Termohon. Pemohon kemudian mendalilkan bahwa dalam


perjanjian penjaminan, Termohon telah melepaskan hak-hak istimewa Penjamin,
dengan mengesampingkan Pasal 1430, 1831, 1833, 1837, 1838, 1843, 1847,
1848, 1849, dan 1850 KUH Perdata.
Selanjutnya Pemohon mendalilkan bahwa berdasarkan Facility
Agreement yang diberikan, PT. Golden Harvestindo telah tidak melakukan
pembayaran sejumlah US$ 1.771.032,59 yang telah jatuh tempo tanggal 30 Juni
2011. Sehingga syarat pailit berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 bahwa Termohon telah tidak membayar lunas sedikitnya
1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, oleh Pemohon dianggap
telah terpenuhi. Pemohon juga mendalilkan bahwa selain Termohon, Pemohon
mempunyai kreditur lain, yaitu PT. Bank Central Asia Tbk., Cabang Pasuruan,
yang memberikan fasilitas kredit berdasarkan Sistem Informasi Debitur Bank
Indonesia Nomor Laporan: 15/123684157/DPIP/PIK tertanggal 2013. Sehingga
berdasarkan dalil Pemohon, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 telah terpenuhi.
Atas permohonan tersebut, Termohon mengajukan eksepsi, antara lain
eksepsi ne bis in idem, yaitu bahwa permohonan pernyataan pailit telah diajukan
sebelumnya oleh Pemohon pada Pengadilan Negeri Surabaya dalam perkara
Nomor 06/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby jo. Nomor 134 PK/Pdt.Sus/2012 tanggal 12
November 2012, dengan subjek maupun objek perkara yang sama. Terkait
pokok perkara, Termohon mendalilkan bahwa Termohon hanya berkedudukan
sebagai Penjamin dari Debitur Utama, yaitu PT. Golden Harvestindo, dimana
kedudukan dari Penjamin adalah sebagai pihak accessoir. Pihak Termohon juga
mendalilkan tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 mengenai syarat pembuktian sederhana.
Pertimbangan Hakim:
Terhadap permohonan pernyataan pailit, Pengadilan Niaga
pada Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan Putusan Nomor
38/Pailit/2013/PN.Niaga.Sby tanggal 13 Januari 2014, yang dalam Pertimbangan
Hakim Dalam Pokok Perkara menyatakan:
Bahwa inti pokok permasalahan atas permohonan Pemohon adalah
Pemohon merupakan Kreditur dari Termohon sebagaimana telah
ditandatanganinya Facility Agreement tanggal 08 Juni 2006 Nomor
LA/CA/1279/2006 dan berdasarkan Continuing Guarantee (Perjanjian
15

Peninjauan Berkelanjutan) tanggal 8 Juni 2006, Termohon Pailit adalah Debitur


dari Pemohon Pailit.
Bahwa pada kenyataannya PT. Golden telah tidak memenuhi kewajiban
pembayaran fasilitas kredit yang diberikan oleh Pemohon Pailit yang secara
keseluruhan berjumlah US $ 1.771.032, 59 (satu juta tujuh ratus tujuh puluh satu
ribu tiga puluh dua dolar amerika serikat dan lima puluh Sembilan sen) dan telah
jatuh waktu pada tanggal 30 Juni 2011.
Bahwa Pemohon Pailit telah menunjuk kepada Termohon secara patut
untuk membayar kewajiban utangnya tersebut pada tanggal 5 Januari 2012 dan
tanggal 6 Januari 2012, namun hingga saat permohonan pernyataan pailit a quo
diajukan, Termohon Pailit tidak juga melaksanakan kewajibannya kepada
Pemohon Pailit.
Menimbang bahwa Termohon selain mempunyai utang kepada
Pemohon juga memiliki Kreditur lain, yaitu PT. Bank Central Asia, Tbk Cabang
Pasuruan. Dengan demikian, Pemohon mendalilkan bahwa pada faktanya
terdapat utang yang telah jatuh waktu dan adanya 2 (dua) Kreditur, sehingga
permohonan Pemohon pernyataan pailit wajib untuk dikabulkan.

2. Kedudukan Hukum Perusahaan Jaminan yang Melepaskan Hak


Istimewanya dalam Kepailitan
a. Penanggung Sebagai Debitor
Pasal 1 angka 1 UUKPKPU menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
Selanjutnya, Pasal 1 angka 6 UUKPKPU menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan utang adalah:
Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang
baik dalam mata uang Indonesia maupun dalam mata uang asing, baik
secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau
kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang
wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada
kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka pengertian utang
dalam UUKPKPU adalah pengertian dalam arti luas yang mempunyai makna
sebagai prestasi yang harus dibayar, yang timbul sebagai akibat dari perikatan.
16

Istilahutang dalam hal ini merujuk pada kewajiban dalam lapangan hukum
perdata. Menurut Pasal 1233 KUH Perdata, kewajiban atau utang dapat timbul
dari perjanjian maupun dari undang-undang. Terdapat kewajiban untuk
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.

b. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Kembali kepada makna dari Penanggungan berdasarkan Pasal
1820 KUH Perdata, yaitu bahwa:
Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak
ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk
memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak
memenuhinya.
KUH Perdata secara jelas mendefinisikan penanggungan sebagai suatu
perjanjian yang dibuat “untuk kepentingan si berpiutang”. Perjanjian
penanggungan adalah perjanjian yang bersifat accessoir terhadap perjanjian
pokoknya. Kausa perjanjian penanggungan adalah untuk memperkuat perjanjian
pokok. 28 Pada hakikatnya, berdasarkan Pasal 1831 KUH Perdata, kewajiban
Penanggung untuk membayar timbul pada saat harta benda milik Debitur- utama
telah disita dan dilelang terlebih dahulu dan hasilnya tidak cukup untukmelunasi
kewajibannya atau dalam hal Debitur-utama telah tidak mempunyaiharta apapun.
Dalam kepailitan, kedudukan hukum Penanggung menjadi kabur karena
tidak jelasnya pengaturan dalam peraturan perundang-undangan terkait
kedudukan hukum Penanggung. Terutama dalam hal Penanggung telah
melepaskan hak-hak istimewanya. Pada dasarnya penjaminan merupakan “a
second pocket to pay if the firstshould be empty”.29Dari sini dapat dilihat bahwa
Penanggung merupakan pihak yang diminta pertanggungjawabannya apabila
Debitor telah tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya. Sejalan dengan
pemikiran tersebut diatur dalam Pasal 1832 ayat (4) KUH Perdata bahwa:
Si penanggung tidak dapat menuntut supaya benda-benda si berutang
lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya jika si berutang
berada dalam keadaan pailit.

28
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan Edisi Revisi, UMM Press, Malang , 2008, hal.28.
29
Asrul Sani, Tinjauan Hukum Mengenai Praktek Pemberian Jaminan Pribadi dan
Jaminan Perusahaan, Varia Peradilan, Edisi 101, hal. 144, sebagaimana dikutip dalam Aria
Suyudi, Kepailitan di Negeri Pailit, cet.2, (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia: Jakarta,
2004), hal. 96.
17

Undang-Undang memberikan kebebasan bagi Penanggung untuk


mengecualikan hak-hak istimewanya, dengan menyatakannya secara tegas
dalam perjanjian penanggungan. Pengecualian atas hak-hak istimewa tersebut
menimbulkan akibat hukum antara lain:
1) Pengecualian atas Pasal 1831 KUH Perdata mengakibatkan
Penanggung dapat langsung dituntut oleh Kreditor untuk
memenuhi hutang Debitur-utama, tanpa adanya kewajiban
Kreditor untuk menuntut disita dan dijualnya harta milik Debitor-
utama terlebih dahulu.
2) Pengecualian atas Pasal 1837 KUH Perdata mengakibatkan
dalam hal terdapat lebih dari seorang Penanggung, maka
Penanggung tidak dapat meminta pemecahan hutang diantara
mereka. Konsekuensi dari pengecualian atas pasal ini adalah
bahwa para penanggung tersebut bertanggung jawab untuk
seluruh utang Debitur-utama dan masing-masing Penanggung
dapat dituntut untuk menanggung seluruh hutang dari
Debitur-utama.
3) Pengecualian atas Pasal 1847 KUH Perdata mengakibatkan
Penanggung kehilangan hak untuk mengajukan tangkisan.
Penanggung berdasarkan Pasal 1847 KUH Perdata
mempunyai hak untuk mengajukan tangkisan yang dapat
digunakan Debitur terhadap Kreditur, kecuali tangkisan yang
berkaitan dengan keadaan pribadi Debitur sendiri. Sehingga
Pasal 1847 memberikan hak bagi Penanggung untuk dapat
mengajukan semua tangkisan yang berhubungan dengan
hutang.
4) Pengecualian atas Pasal 1848 KUH Perdata mengakibatkan
Penanggung tidak dapat meminta untuk dibebaskan dari
penanggungan dikarenakan kesalahan Kreditor yang
menyebabkan terhalangnya hak subrogasi Penanggung.
18

3. Akibat HukumAtasPernyataanPailit PT. Jaya Lestari


Dalam sub bab ini, penulis akan menganalisa kasus permohonan
pernyataan pailit yang diajukan terhadap CG dalam kasus kepailitan PT. Jaya
Lestari. Sesuai dengan judul dan tema dari skripsi ini, maka penulis akan
menganalisa pertimbangan majelis hakim di tingkat pertama maupun tingkat
kasasi. Penulis dalam hal ini akan langsung memfokuskan pada pertimbangan
hakim yang menyangkut kedudukan CG dalam praktek kepailitan di Indonesia,
sehingga penulis tidak akan membahas pertimbangan hakim yang tidak
berkaitan dengan kepailitan CG.
a. Kedudukan Hukum PT. Jaya Lestari Sebagai Penanggung
Dalam perkara yang telah diuraikan di atas, PT. Jaya Lestari dinyatakan
pailit dalam kedudukan hukumnya sebagai Penanggung dari PT. Golden
Harvestindo. PT. Jaya Lestari dinyatakan pailit karena dianggap memenuhi
persyaratan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, yaitu:
1) Mempunyai 2 (dua) atau lebih Kreditor, yaitu:
a) PT. Rabobank International Indonesia, berdasarkan
Continuing Guarantee tertanggal 8 Juni 2006, dan
b) PT. Bank Central Asia Tbk., Cabang Pasuruan,
berdasarkan Sistem Informasi Debitur Bank Indonesia
Nomor Laporan: 15/123684157/DPIP/PIK tertanggal 29
Oktober 2014.
2) Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dapat dilihat melalui belum dibayarnya
fasilitas kredit yang diberikan Pemohon Pailit terhadap PT.
Golden Harvestindo, yang telah jatuh tempo sejak tanggal 30
Juni 2011, namun belum terdapat pembayaran oleh PT. Golden
Harvestindo.
b. Upaya Serta Dampak Hukum Atas Pernyataan Pailit Terhadap
PT.Jaya Lestari
Dalam kasus kepailitan yang diajukan atas PT. Jaya Lestari, Penulis
berpendapat bahwa sesungguhnya tidak terdapat urgensi bagi PT. Jaya Lestari
untuk dipailitkan oleh Kreditur. Hal ini dikarenakan, pada proses pemeriksaan
perkara di tingkat Kasasi, diketahui bahwa dalam pembuatan Facility Agreement
Nomor LA/CA/1279/2006 antara Kreditur dengan Debitur-utama, perjanjian kredit
tersebut diikat dengan beberapa perjanjian jaminan, antara lain:
19

1) Akta Jaminan Fidusia (Piutang) Nomor 26 Tanggal 8 Juni 2006


yang dibuat di hadapan Linda Herawati, S.H., Notaris di
Jakarta.
2) Akta Jaminan Fidusia (Bahan Persediaan) Nomor 27 Tanggal 8
Juni 2006 yang dibuat di hadapan Linda Herawati, S.H., Notaris
di Jakarta.
3) Continuing Guarantee tanggal 8 Juni 2006 yang dibuat di
bawah tangan dalam bahasa Inggris oleh Tuan Daphnis
Natahamidjaja dan Tuan Lucky Lumanto.
4) Continuing Guarantee tanggal 8 Juni 2006 yang dibuat di
bawah tangan dalam bahasa Inggris oleh PT. Jaya Lestari.
20

II. PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan di atas adalah
sebagai berikut:
1. Undang-undang memberikan jaminan yang tertuju terhadap semua kreditur
dan mengenai semua harta benda debitur.
2. PengaturanKepailitanDalamSistemHukum di Indonesia diaturolehUndang-
UndangNomor 37 Tahun 2004
tentangKepailitandanPenundaanKewajibanPembayaran Utang.
3. PT. Rabobank Indonesia mengajukanpermohonanpailitterhadap PT. Jaya
Lestari yang berkedudukansebagai Corporate Guarantor dari PT. Golden
Harvestindo, yang merupakandebiturdari PT Rabobank Indonesia.
4. Pengaturan dalam KUH Perdata maupun Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 memungkinkan bagi Guarantor yang telah melepaskan hak-
hak istimewanya, untuk dinyatakan pailit tanpa terdapat pernyataan pailit
maupun pemberesan aset atas Debitur-utama terlebih dahulu. Melalui
perkara kepailitan PT. Jaya Lestari, terlihat bahwa sebenarnya pada kasus-
kasus kepailitan Guarantor, terkadang tidak terdapat urgensi bagi
Guarantor untuk dipailitkan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan saran
terhadap Regulator, bahwa sangat perlu terdapat kepastian hukum serta
kesamaan pendapat mengenai kedudukan hukum guarantor dalam kepailitan.
Pengaturan terkait Penanggung dalam kepailitan sampai saat ini masih banyak
didasarkan pada yurisprudensi, dan belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan secara lengkap dan komprehensif. Kepastian hukum terkait
kedudukan hukum guarantor dalam kepailitan diperlukan agar tidak terdapat
perbedaan penafsiran atas pengaturan hukum yang berlaku, yang menimbulkan
pertimbangan hakim yang saling bertolak belakang. Sehingga untuk memenuhi
kebutuhan hukum, untuk menjamin kepastian hukum, serta untuk memberikan
perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, perlu dibentuk ketentuan
yang lengkap mengenai lembaga jaminan berbentuk Penanggungan ini.
21

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Chidir.Badan Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1987)

Badrulzaman Mariam Darus.Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan,


Jurnal Hukum Bisnis (Volume 11, 2000).

Djuhaendah Hasan, Aspek Hukum Jaminan Kebendaan dan Perorangan, Jurnal


Hukum Bisnis (Volume 11, 2000).

Djohanshah,J. “Kreditor Separatis dan Preferens , serta tentang Penjaminan


Hutang”, dalam Emmy Yuhassarie, ed., Penyempurnaan Undang-
Undang Kepailitan, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2003).

Emmy Yuhassarie, Tri Harnowo, ed., “Kepailitan dan Transfer Aset Secara
Melawan Hukum”, Makalah Menelaah Konsep Dasar dan Aspek Hukum
Kepailitan, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004).

Hadi Subhan,M. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan,


(Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2008).

Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan Edisi Revisi, UMM Press, Malang, 2008.

Lontoh, Rudhy A. Denny Kaiilimang, dan Benny Ponto, Penyelesaian Utang-


Piutang Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001).

Salim,H. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, ed.2, (Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, 2005).

Satrio J. (1), Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya


Bakti), seperti dikutip oleh H. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di
Indonesia, ed.2, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005).

Sinaga, Syamsudin M. Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta: PT. Tatanusa,


2012).

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok


Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, cet. 3 (Yogyakarta: Liberty
Offset Yogyakarta, 2003).

Subekti, R.. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Bandung: Pradnya


Paramita, 1989), Pasal 1831.

Usman,Rachmadi.Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama, 2004).

Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan


Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
22

PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia (1), Undang-Undang Kepailitan, LN Nomor 131 Tahun 2004, TLN


4443, 2004,Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Ps 2 ayat (1).

JURNAL MAKALAH

Asrul Sani, Tinjauan Hukum Mengenai Praktek Pemberian Jaminan Pribadi dan
Jaminan Perusahaan, Varia Peradilan, Edisi 101, hal. 144, sebagaimana
dikutip dalam Aria Suyudi, Kepailitan di Negeri Pailit, cet.2, (Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan Indonesia: Jakarta, 2004)

You might also like