Professional Documents
Culture Documents
JURNAL
OLEH:
130200215
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
CURRICULUM VITAE
A. Data Pribadi
Status BelumKawin
No.Telp 085270537636
Email Kristinanababan232yahoo.com
B. Pendidikan Formal
Pekerjaan : wiraswata
Mahasiswa*
Dosen Pembimbing I**
Dosen Pembimbing II***
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sektor perekonomian, konsep penjaminan atau penanggungan
merupakan konsep yang tidak asing terdengar lagi. Fasilitas kredit atau jaminan
menjadi kebutuhan masyarakat yang menjalankan kegiatan di bidang
perdagangan, perindustrian, perseroan, pengangkutan, dan kegiatan-kegiatan
dalam proyek pembangunan. Kegiatan-kegiatan tersebut memerlukan fasilitas
kredit dalam usahanya, mensyaratkan untuk adanya jaminan bagi pemberian
kredit tersebut demi keamanan modal dan kepastian hukum bagi si pemberi
modal.1. Jaminan secara hukum mempunyai fungsi sebagai sarana perlindungan
bagi para kreditur berupa pemberian kepastian akan pelunasan utang debitur
atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur2.
Jaminan ini terbagi menjadi dua golongan, yakni Jaminan Kebendaan
dan Jaminan Perorangan (borgtocht). Dalam jaminan kebendaan, objek jaminan
berupa harta kekayaan yang diberikan dengan memisahkan bagian dari harta
kekayaan debitur maupun pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan
kewajiban-kewajiban debitur apabila debitur yang bersangkutan cidera janji atau
wanprestasi. Sedangkan dalam jaminan perorangan (borgtocht), objek jaminan
yang diberikan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh pihak ketiga
guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada kreditur apabila
debitur yang bersangkutan wanprestasi3. Dalam KUH Perdata, ketentuan terkait
penjaminan atau penanggungan diatur dalam Pasal 1831 s.d. Pasal 1850.
Faktor jaminan menjadi faktor yang sangat penting bagi kreditor yang
memerlukan kepastian bahwa pinjaman yang diberikan itu akan dilunasi oleh
debitor sesuai dengan janji yang diberikan secara tepat 4 . Dengan adanya
jaminan perorangan, maka pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk
membayar utang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar
utangnya tersebut.
1
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, cet. 3 (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2003), hal. 2.
2
Djuhaendah Hasan, Aspek Hukum Jaminan Kebendaan dan Perorangan, Jurnal
Hukum Bisnis (Volume 11, 2000), hal. 16.
3
Mariam Darus Badrulzaman, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Jurnal
Hukum Bisnis (Volume 11, 2000), hal. 11.
4
J. Djohanshah, “Kreditor Separatis dan Preferens , serta tentang Penjaminan
Hutang”, dalam Emmy Yuhassarie, ed., Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan, (Jakarta:
Pusat Pengkajian Hukum, 2003), hal. 65
2
Dalam hal timbulnya suatu kredit macet antara Kreditur dan Debitur,
pada hakikatnya kepailitan tidak jarang menjadi pranata yang digunakan dalam
dunia usaha, sebagai jalan keluar dari penyelesaian proses utang-piutang yang
macet. Kepailitan merupakan sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan
hakim pengawas. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) sendiri pada dasarnya
tidak mengatur secara khusus mengenai pihak yang dapat dinyatakan pailit.
UUKPKPU hanya mengkategorikan pihak yang dapat dinyatakan pailit dengan
sebutan “debitur”. Bahwa yang dapat dinyatakan pailit adalah debitur yang
mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu
atau lebih kreditornya 5.
Penjamin sebagai pihak yang memberikan jaminan merupakan pihak
yang dapat diminta pertanggungjawabannya apabila debitor tidak mampu lagi
memenuhi kewajibannya. Dalam pemberian jaminan, seorang penjamin atau
guarantor memiliki hak istimewa yang terdiri atas hak untuk meminta agar harta
benda debitur disita dan dilelang terlebih dahulu untuk melunasi utang kepada
kreditur6 serta hak untuk meminta kepada kreditur pemecahan piutang dalam hal
terdapat lebih dari seorang penanggung7. Pemberian hak-hak istimewa tersebut
merupakan suatu bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-
undang terhadap penjamin/guarantor. Penjamin diberikan kebebasan untuk
mempertahankan atau untuk melepaskan hak istimewanya tersebut.
Dengan dilepaskannya hak-hak istimewa Penjamin, maka dapat
disimpulkan bahwa Penjamin tidak dapat menuntut agar benda-benda Debitur
terlebih dahulu disita dan dijual. Di sisi lain dalam proses kepailitan, hal ini
menimbulkan ketidakpastian hukum akan kedudukan Penjamin, sebab
dimungkinkan diajukannya gugatan kepailitan kepada Penjamin sebagai Debitur
tanpa adanya suatu penetapan kepailitan terlebih dahulu atas harta Debitur
Utama/Terjamin. Kedudukan Penjamin yang telah melepaskan hak-hak
5
Indonesia (1), Undang-Undang Kepailitan, LN Nomor 131 Tahun 2004, TLN 4443,
2004, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Ps 2 ayat (1).
6
R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Bandung: Pradnya Paramita,
1989), Pasal 1831.
7
Ibid., Pasal 1837 BW
3
8
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Indonesia,
Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hal. 18.
9
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan,
(Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 3.
10
Ibid., hal. 67.
5
11
Emmy Yuhassarie, Tri Harnowo, ed., “Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan
Hukum”, Makalah Menelaah Konsep Dasar dan Aspek Hukum Kepailitan, (Jakarta: Pusat
Pengkajian Hukum, 2004), hal. 96
12
Rudhy A Lontoh, Denny Kaiilimang, dan Benny Ponto, Penyelesaian Utang-Piutang
Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
(Bandung: Alumni, 2001), hal. 75.
13
Ibid., hal. 76.
14
Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2012),
hal. 20.
6
15
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hal. 50.
7
16
Indonesia (1), Op. Cit., Penjelasan Pasal 57 ayat (1).
9
17
H. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, ed.2, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 21
18
H. Salim, Op.Cit., hal. 9.
19
J. Satrio (1), Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti),
seperti dikutip oleh H. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, ed.2, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 29.
20
H. Salim, Op. Cit., hal. 30.
21
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok
HukumJaminan dan Jaminan Perorangan, cet.3, (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2003),
hal. 37
22
Ibid.
10
23
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 43.
11
24
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 105.
25
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1987), hal. 19.
26
Ibid., hal. 91.
12
27
Ibid., hal. 92.
13
Istilahutang dalam hal ini merujuk pada kewajiban dalam lapangan hukum
perdata. Menurut Pasal 1233 KUH Perdata, kewajiban atau utang dapat timbul
dari perjanjian maupun dari undang-undang. Terdapat kewajiban untuk
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.
28
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan Edisi Revisi, UMM Press, Malang , 2008, hal.28.
29
Asrul Sani, Tinjauan Hukum Mengenai Praktek Pemberian Jaminan Pribadi dan
Jaminan Perusahaan, Varia Peradilan, Edisi 101, hal. 144, sebagaimana dikutip dalam Aria
Suyudi, Kepailitan di Negeri Pailit, cet.2, (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia: Jakarta,
2004), hal. 96.
17
II. PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan di atas adalah
sebagai berikut:
1. Undang-undang memberikan jaminan yang tertuju terhadap semua kreditur
dan mengenai semua harta benda debitur.
2. PengaturanKepailitanDalamSistemHukum di Indonesia diaturolehUndang-
UndangNomor 37 Tahun 2004
tentangKepailitandanPenundaanKewajibanPembayaran Utang.
3. PT. Rabobank Indonesia mengajukanpermohonanpailitterhadap PT. Jaya
Lestari yang berkedudukansebagai Corporate Guarantor dari PT. Golden
Harvestindo, yang merupakandebiturdari PT Rabobank Indonesia.
4. Pengaturan dalam KUH Perdata maupun Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 memungkinkan bagi Guarantor yang telah melepaskan hak-
hak istimewanya, untuk dinyatakan pailit tanpa terdapat pernyataan pailit
maupun pemberesan aset atas Debitur-utama terlebih dahulu. Melalui
perkara kepailitan PT. Jaya Lestari, terlihat bahwa sebenarnya pada kasus-
kasus kepailitan Guarantor, terkadang tidak terdapat urgensi bagi
Guarantor untuk dipailitkan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan saran
terhadap Regulator, bahwa sangat perlu terdapat kepastian hukum serta
kesamaan pendapat mengenai kedudukan hukum guarantor dalam kepailitan.
Pengaturan terkait Penanggung dalam kepailitan sampai saat ini masih banyak
didasarkan pada yurisprudensi, dan belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan secara lengkap dan komprehensif. Kepastian hukum terkait
kedudukan hukum guarantor dalam kepailitan diperlukan agar tidak terdapat
perbedaan penafsiran atas pengaturan hukum yang berlaku, yang menimbulkan
pertimbangan hakim yang saling bertolak belakang. Sehingga untuk memenuhi
kebutuhan hukum, untuk menjamin kepastian hukum, serta untuk memberikan
perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, perlu dibentuk ketentuan
yang lengkap mengenai lembaga jaminan berbentuk Penanggungan ini.
21
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Emmy Yuhassarie, Tri Harnowo, ed., “Kepailitan dan Transfer Aset Secara
Melawan Hukum”, Makalah Menelaah Konsep Dasar dan Aspek Hukum
Kepailitan, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004).
Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan Edisi Revisi, UMM Press, Malang, 2008.
PERUNDANG-UNDANGAN
JURNAL MAKALAH
Asrul Sani, Tinjauan Hukum Mengenai Praktek Pemberian Jaminan Pribadi dan
Jaminan Perusahaan, Varia Peradilan, Edisi 101, hal. 144, sebagaimana
dikutip dalam Aria Suyudi, Kepailitan di Negeri Pailit, cet.2, (Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan Indonesia: Jakarta, 2004)