Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1. Epidemiologi
Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Pada
tahun 1993, WHO mencanangkan kadaruratan global penyakit TBC, karena pada
sebagian besar negara di dunia, penyakit TBC tidak terkendali. 1 TBC menjadi penyebab
kematian utama, hingga dua juta orang pada tahun 1990. Hal tersebut disebabkan oleh :
(1) program pengendalian penyakit yang tidak adekuat. (2) Multiple Drug Resistance
(MDR). (3) co-infection dengan HIV. (4) Peningkatan jumlah penduduk, terutama
dewasa muda yang merupakan kelompok umur dengan mortalitas tertinggi dari
tuberkulosis.
1.2 Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe tuberculosis memerlukan definisi kasus
yang memberikan batasan baku. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam
menentukan definisi kasus, yaitu :
i. Organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru
ii. Hasil pemerksaan dahak secara makroskopis lansung BTA positif atau BTA negatif
iii. Riwayat pengobatan sebelumnya baru atau sudah pernah diobati
iv. Tingkat keparahan penyakit ringan atau berat.
Tujuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk
menetapkan panduan OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.
Tuberkulosis Paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam:
1. Tuberkulosis Paru BTA Positif
- sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada
menunjukan gambaran tuberkulosis aktif.
2. Tuberkulosis Paru BTA negatif
1
- Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen
dada menunjukan gambaran tuberkulosis aktif.
- TBC Paru BTA Negatif Rontgen Positif dubagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto rontgen dad memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang
luas ( misalnya proses ” far advanced atau millier). Dan / atau kejadian umum
penderita buruk.
3
BAB II
PATOGENESIS
2.1. Patogenesis 3
Interaksi M.tuberkulosis dengan manusia bermula dengan nukleus droplet yang
mengandung mikroorganisma dari pasien terinfeksi terinhalasi. Mayoritas bacili yang
terinhalasi terperangkap di saluran nafas atas dan di keluarkan melalui sel mukosa
bersilia, dan biasanya kurang dari 10 % bacili menyampai alveoli. Di alveoli, makrofag
nonspesifik alveolar memfagosit bacili. Kemampuan bakterisid makrofag alveolar dan
virulensi kuman menentukan ada atau tidaknya infeksi di alveolar. Kemungkinan
seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi drpolet per volume udara dan
lamanya menghirup udara tersebut.
Selama berberapa hari atau minggu basil tumbuh secara lambat membelah diri di
dalam makrofag yang kemampuan bakterisidnya kurang baik. Jika makrofag tersebut
pecah, maka monjosit yang ada dalam aliran darah akan tertarik menuju ke tempat
tersebut dan memakan basil-basil yang dikeluarkan oleh makrofag. Pada stadium awal
infeksi biasanya asimptomatis.
Dua sampai empat minggu setelah infeksi, timbul respon dari host terhadap
pertumbuhan basil Mycobacterium tuberkulosis, yaitu respon kerusakan jaringan, akibat
dari reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan respon cell mediated immunity yang akan
mengaktifkan makrofag yang mampu untuk memakan basil M.TBC. Dengan
pembentukan imunitas spesifik dan pengumpulan sejumlah besar makrofag yang
diaktifkan (makrofag teraktivasi) pada tempat lesi primer maka terbentuklah tuberkel
(Ghon fokus).Imunitas spesifik ini akan mulai membatasi makrofag yang tidak teraktivasi
dan membentuk nekrosis perkijuan, sehingga basil M TBC tidak mudah lagi
bermultiplikasi. Meskipun demikian basil-basil ini akan dapat bertahan hidup dalam
keadaan dorman. Populasi tuberkel mungkin stabil selama periode yang lama, bahkan
sepanjang hidup penderita kecuali terdapat penurunan imunitastubuh host yang dapat
mengaktifkan kembali basil tersebut.
4
BAB III
MANIFESTASI KLINIS
TUBERKULOSIS PULMONAL
1. TB Paru Primer4
TBC paru primer terjadi pada saat pertama kali terpapar basil dan sering terjadi
pada anak-anak. Droplet yang terhirup dapat melewati sistem pertahanan mukosilier
bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi
dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru,
yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan
terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif.
Lokasi biasanya di apex karena konsentrasi O2 tinggi. Lesi tuberkel yang terbentuk
biasanya disertai limfadenopati hiler dan paratrakeal. Kombinasi fokus primer dan
pembesaran KGB disebut kompleks primer. Waktu antarea terjadinya infeksi sampai
pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Sebagian besar kasus sembuh
spontan dan membentuk nodul kalsifikasi.
2. TB Paru Post Primer / TB Paru Sekunder
Tuberkulosis post primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat infeksi HIV
atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan
paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura yang terjadi pada orang
dewasa akibat reaktivasi endogen infeksi laten. Parenkim paru yang terkena bervariasi
dari suatu infiltrat yang kecil sampai dengan bentuk kavitas.
3. TB milier
Terjadi akibat penyebaran secara hematogen basil dari tuberkel. Pada tipe ini
banyak lesi kecil di seluruh lapang paru terutama di inferior. Bentuk Tb ini fatal jika tidak
ditangani dengan baik. Tb milier dapat berupa sakit samar, penurunan berat bada, dan
demam. Terkadang TB milier dapat berupa meningitis tuberkulosa. Biasanya pada tahap
dini tidak terdapat kelainan fisik, walaupun akhirnya hepar dan lien dapat membesar.
Tuberkel koroid bisa ditemukan pada mata berjumlah satu atau lebih. Lesinya berukuran
5
seperempat diameter diskus optikus dan berwarna kekuningan mengilat, sedikit timbul,
kemudian menjadi putih di tengahnya.
4. Epituberkulosis
Terjadi akibat sumbatan karena silier bronkus tak dapat mensekresi mukus ke luar
bronkus sehingga timbul infiltrat di distal paru.
5. TB Pleura
Efusi pleura dapat terjadi akibat penetrasi basil ke rongga pleura dari suatu fokus di
daerah subpleural. Dapat juga menyebabkan empiema dan pneumothorax spontan.
6. TB yang tidak umum
Middle Lobe syndrome (Brock’s syndrome) terjadi akibat kolaps persisten karena
sumbatan pada bronkus akibat penekanan kavitas yang tumbuh dekat bronkus.
TUBERKULOSIS EKSTRAPULMONAL
Pleuritis dengan efusi : rongga pleura terinfeksi kuman TBC. Biasanya efusi
terjadi masif, unilateral, bersifat eksudatif. Gambaran cairan pleura yang khas
adalah konsentrasi protein yang lebih dari 3,0 g/dl.
Peritonitis dan perikarditis tuberkulosis
Tuberkulosis laring dan endobronkial: biasanya didapati bersama infeksi paru
yang sudah lanjut. Suara parau merupakan gejala utama laringitis TB, sedangkan
manifestasi utama bronkitis TB adalah batuk dan hemotisis minor.
Adenitis tuberkulosis: skrofula merupakan limfadenitis tuberkulosis kronik pada
kelenjar limfe leher. Tempat paling sering adalah segitiga anterior leher tepat di
bawah mandibula. Pembesaran kelenjar biasanya kenyal dan tidak nyeri tekan.
Tuberkulosis tulang (Pott’s disease): biasanya mengenai vertebra midtorakal.
Tuberkulosis sendi biasanya mengenai sendi penopang berat badan yang besar
seperti panggul dan lutut.
Tuberkulosis genitourinarius: dapat menyerang pria maupun wanita. TB ginjal
biasanya diawali dengan hematuri dan piuria mikroskopik dengan biakan urin
yang steril. Pada wanita sering terjadi salfingitis. Pada pria TB paling sering
mengenai prostat, vesika seminalis, dan epididimis.
Tuberkulosis okuler: korioretinitis dan uveitis merupakan manifestasi tersering.
6
Tuberkulosis meningeal: khas pada cairan serebrospinal adalah kandungan protein
yang tinggi, disertai kadar glukosa rendah, dan limfositosis.
Tuberkulosis saluran cerna: jarang terjadi
Tuberkulosis adrenal: jarang, biasanya hanya terlihat bersama infeksi paru yang
berat dan lama.
Tuberkulosis kulit: jarang. Lesi biasanya berupa lupus vulgaris.
Tuberkulosis milier: terjadi akibat penyebaran hematogen yang luas. Lesi timbul
serempak di seluruh tubuh.
Silikotuberkulosis: frekuensi TB meningkat pada pasien dengan silikosis dan
penyakit pneumokoniosis lainnya.
Tuberkulosis pada AIDS: TB merupakan infeksi oportunitis utama pada penderita
infeksi HIV.
KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada penderita stadium lanjut:
Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah)
Syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas sehingga dapat menyebabkan
kematian.
Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial
Bronkiektasis dan fibrosis pada paru
Pneumotoraks spontan karena kerusakan jaringan paru
Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dsb.
Insufisiensi kardiopulmoner.
7
BAB. IV
DIAGNOSIS
4.1. Klinis
a. Sistemik atau konstitusional5
Gejala terjadi akibat peranan aktivitas TNFα, yaitu:
Demam (low grade)
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tapi kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-41oC. Serangan pertama dapat sembuh
sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.
Keringat malam walau tanpa beraktivitas
Berat badan menurun
Rasa kurang enak badan (malaise)
Fatigue
Anoreksia (nafsu makan menurun)
b. Lokal/respiratory4
Batuk produktif (terus-menerus dan berdahak) > 3 minggu
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena iritasi pada bronkus.
Batuk diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk
baru ada setelah peradangan berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Sifat
batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi batuk yang produktif (menghasilkan sputum).
Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
8
darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tbc terjadi pada kavitas,
tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
Hemoptisis ringan-masif
Nyeri dada, pleuritic pain
Jarang ditemukan, timbul bila infiltrasi radang telah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura ketika
pasien menarik/ melepaskan napas.
Sesak nafas
Pada penyakit yang ringan (akut) belum dirasakan sesak nafas. Sesak
napas akan ditemukan pada stadium kronis, yang infiltrasinya sudah
meliputi setengah bagian paru.
c. Spesifik organ ekstra paru
Diare
Kaku kuduk
Gangguan BAK, dll.
Gejala komplikasi: pneumothorax akibat ruptur blep atau kavitas
d. Pemeriksaan fisik:
Saat dini : normal asimptomatik
Amforik breath sound
Perkusi dullness di supraklavikula (Kroniq’s isthmus)
Gejala-gejala tersebut di atas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
tuberculosis. Oleh karena itu setiap orang yang datang dengan gejala tersebut harus
dianggap sebagai seorang ”suspek tuberkulosis” atau tersangka penderita TB, dan
diperlukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
4.2 Bakteriologis
Sputum6
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA,
diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga
9
dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Diagnosis
tuberkulosis ditegakkan dengan pemeriksaan 3 spesimen dahak Sewaktu Pagi Sewaktu
(SPS). Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :
Pemeriksan sediaan langsung dengan mikoskop biasa
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresense (pewarnaan khusus)
Pemeriksaan dengan biakan (kultur)
Pemeriksaan terhadap resistensi obat
Pembacaan Hasil 1
Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan dengan menggunakan skala
IUATLD sebagai berikut :
a) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
b) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
c) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut +
d) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++
e) Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++
Penulisan gradasi hasil bacaan penting untuk menunjukkan keparahan penyakit dan
derajat penularan penderita tersebut.
Catatan : Bila ditemukan 1-3 BTA dalam 100 lapang pandang, pemeriksaan harus diulang dengan
spesimen dahak yang baru. Bila hasilnya tetap 1-3 BTA, hasilnya dilaporkan negatif. Bila
ditemukan 4-9 BTA, dilaporkan positif.
4.3 Radiologis 6
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas
atau segmen apikal lobus bawah) tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian
inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis
endobronkial). Pada awal penyakit, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti
awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka
bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai
tuberkuloma. Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.
10
Lama-lama dinding menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat
bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-
bercak padat dengan densitas tinggi.
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya
tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis lain yang sering
menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian
bawah paru (efusi leura/empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru/pleura
(pneumotoraks)
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang diperlukan adalah bronkografi yakni
untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis.
Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologis thoraks yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak
dipakai di rumah sakit rujukan adalah computed tomography scanning (CT Scan).
Pemeriksaan ini lebih superior dibandingkan pemeriksaan biasa. Perbedaan densitas
jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih adalah MRI (Magnetic Resonance Imaging).
Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan namun dapat mengevaluasi proses-proses
dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan thoraks-abdomen. Sayatan dapat dibuat
transversal, sagital dan koronal.
11
Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik. Pemeriksaan serologis yang
pernah dipakai adalah reaksi Takahashi. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses
tuberkulosis masih aktif atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer
1/128. Pemeriksaan ini juga kurang mendapat prhatian karena angka positif palsu dan
negatif palsu masih besar.
Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis
tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni
dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative) intrakutan
berkekuatan 5 T.U (intermediate strength). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U
dapat diberikan dulu 1 atau 2 T.U (first strength). Kadang-kadang bila dengan 5 T.U
masih memberikan hasil negatif dapat diulangi dengan 250 T.U. (second strength). Bila
dengan 250 T.U masih memberikan hasil negatif, berarti tuberkulosis dapat disingkirkan.
Umumnya tes Mantoux dengan 5 T.U saja sudah cukup berarti. Hasil tes Mantoux ini
dibagi dalam :
1. Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif – golongan no snsitivity. Di
sini peran antibodi humoral paling menonjol
2. Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Di sini
peran antibodi humoral masih menonjol
3. Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan normal sensitivity. Di sini
peran kedua antibodi seimbang
4. Indurasi lebih dari 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di
sini peran antibodi selular paling menonjol
12
BAB V
PENATALAKSANAAN
13
Pada pasien juga perlu diberi penjelasan bahwa obat ini dapat menyebabkan
warna merah pada air kencing.Apabila terdapat purpura dan renjatan maka obat
dihentikan.
b. Isoniazid (H)
Sifatnya bakterisid dan dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa
hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif untuk kuman yang sedang dalam
metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang
dianjurkan 5 mg/KgBB, dilanjutkan dengan dosis 10 mg/KgBB.Efek sampingnya
antara lain neuropati perifer, hepatotoksik dan reaksi hipersensitifitas. Untuk
mengatasi neuropati perifer perlu dengan pemberian vitamin B6 100 mg/hari..
c. Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/KgBB, sedangkan lanjutan 3
kali seminggu dengan dosis 35 mg/KgBB. Efek sampingnya antara lain
hepatotoksik dan retensi asam urat hingga menyebabkan gout, gastritis,
anthralgia, rash kulit. Apabila terdapat nyeri sendi dianjurkan untuk diberi aspirin
d. Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/KgBB sedangkan
untuk pengobatan lanjutan 3 kali seminggu dengan dosis 30 mg/KgBB. Efek
sampingnya antara lain neuritis optika, nefrotoksik, skin rash/dermatitis. Apabila
terdapat gangguan penglihatan hentikan etambutol.
e. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/KgBB sedangkan
lanjutan 3 kali seminggu dengan dosis yang sama. Penderita berumur sampai
dengan 60 tahun, dosisnya 0,75 mg/hari, sedangkan untuk yang berumur 60 tahun
atau lebih diberikan 0,3 mg/hari. Efek sampingnya antara lain nefrotoksik,
gangguan nervus VIII kranial.Apabila telah ada gangguan keseimbangan dan tuli
maka streptomisin dihentikan dan diganti dengan etambutol.
Untuk semua OAT, apabila terdapat kuning (ikterus) maka hentikan obat hingga ikterus
hilang dan lakukan tes fungsi hati. Kemudian lakukan desensitasi, yaitu7 :
a) INH
14
Dimulai dengan dosis 25 mg dan dinaikkan 2 kali dosis sebelumnya setiap 3 hari
(25 mg, 50 mg, 100 mg, 200 mg hingga 300-400 mg). Bila terjadi reaksi, dosis
dikembalikan pada dosis sebelumnya.
b. Rifampisin
Sama dengan INH tapi dimulai dengan 75 mg (75 mg, 160 mg, 300 mg, 600 mg)
2. Obat sekunder (obat antituberkulosis tingkat dua) 8
a) Kanamisin. Sediaan yang tersedia dalam bentuk injeksi 1 gram/vial, diberikan 3-5
kali seminggu dengan dosis 15 mg/kgBB, maksimun 1 gram/kali. Efek samping
berupa gangguan pendengaran, nefrotoksik sedang, reaksi hipersensitifitas dan
tidak dianjurkan untuk wanita hamil trimester pertama karena teratogenik
walaupun belum ada data yang pasti dan dosis total tidak boleh lebih dari 20 g
untuk 5 bulan terakhir masa kehamilan untuk mencegah tuli kongenital. 9
b) PAS (Para Amino Salicyl acid). Untuk BB < 50 kg diberikan 9 g dan BB > 50 kg
diberikan 10 g
c) Tiasetazon
d) Etionamid. Untuk BB < 50 kg diberikan 500 mg dan BB > 50 kg diberikan 750
mg. Efek samping berupa iritasi lambung, hepatotoksitas, neuropati perifer dan
neuritis optikus
e) Protionamid
f) Sikloserin. Diberikan 2x250 mg/hari (reaksi toksiknya kecil). Jika keadaan lebih
berat, dapat diberikan dosis lebih besar untuk jangka waktu yang lebih singkat.
Sikloserin dosis besar (250-500mg tiap 6 jam) dapat digunakan dengan aman bila
diberikan bersama piridoksin atau depresan SSP. Efek samping berupa gangguan
saraf pusat, kejang epilepsi, neuropati perifer
g) Viomisin
h) Kapreomisin. Tidak tersedia di Indonesia
i) Amikasin
j) Ofloksasin
k) Siprofloksasin
l) Norfloksasin
m) Klofazimin
15
5.4 Prinsip Pengobatan1
Saat ini adanya epidemi HIV, akan lebih mengobarkan aktifnya Tb kemabli.
Menyadari bahaya tersebut, WHO pada tahun 1991 telah mengeluarkan pernyataan baru
dalam pengobatan tuberkulosis paru sebagai berikutnya. Pengobatan dibagi dalam 2
tahap, yakni 8:
1. Tahap intensif (initial phase), dengan memberikan 4-5 macam obat
antituberkulosis per hari dengan tujuan :
Mendapatkan konversi sputum dengan cepat (efek bakterisidal)
Menghilangkan keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut
Mencegah timbulnya resistensi obat, khususnya rifampisin
Bila saat tahap ini diberikan dengan tepat, penderita akan menjadi tidak menular
dalam 2 minggu. Sebagian penderita TB BTA positif akan menjadi negatif setelah
tahap intensif ini.
2. Tahap lanjutan (continuation phase), dengan hanya memberikan 2 macam obat
per-hari atau secara intermitten dengan tujuan : menghilangkan bakteri yang
tersisa (efek sterilisasi) dan mencegah kekambuhan (relaps).
16
Fase intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan RHZE ditambah
dengan suntikan streptomisin (S) setiap hati di UPK, dan dilanjutkan 1 bulan dengan
RHZE setiap hari. Fase lanjutan selama 5 bulan dengan RHE yang diberikan tiga kali
dalam seminggu. Obat ini diberikan untuk :
Penderita kambuh (relaps)
Penderita gagal (failure)
Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
OAT Sisipan (RHZE)
Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan kategori 1 atau 2, hasil pemeriksaan dahak
masih positif, diberikan obat sisipan (RHZE) setiap hari selama 1 bulan.
17
hasil uji kepekaan obat menunjukkan bahwa kuman sudah resisten terhadap 2 atau lebih
obat OAT, maka penderita dirujuk ke unit pelayanan spesialistik yang dapat menangani
kasus resisten. Bila tidak mungkin, maka pengobatan tahap alnjutan diteruskan sampai
selesai.
5.6.2. Sebulan sebelum akhir pengobatan
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 5 pengobatan kategori 1, atau
seminggu sebelum akhir bulan ke 7 pengobatan kategori 2
5.6.3. Akhir pengobatan
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 6 pengobatan kategori 1, atau seminggu
sebelum akhir bulan ke 8 pengobatan kategori 2. Pemeriksaan pada sebulan sebelum
akhir pengobatan dan akhir pengobatan ini bertujuan untuk menilai hasil pengobatan
(sembuh atau gagal).
Pada kategori 1, penderita dinyatakan sembuh jika hasil pemeriksaan dahak
paling kurang 2 kali berturut-turut negatif.
Bila hasil pemeriksaan dahak sudah negatif dan pada akhir bulan ke 5 dan atau
akhir bulan ke 6 (AP) juga negatif, penderita dinyatakan sembuh
Bila pada akhir sisipan hasil pemeriksaan dahak BTA positif, maka hasil
pemeriksaam dahak akhir bulan ke 5 dan pada akhir pengobatan harus negatif
supaya penderita dapat dinyatakan sembuh
Bila BTA masih positif pada akhir bulan ke 5 atau lebih, penderita dinyatakan
gagal. Dan pengobatan diganti dengan kategori 2 mulai dari awal
Bila penderita menyelesaikan pengobatan lengkap tapi tidak ada hasil
pemeriksaan ulang dahak, maka tidak dapat dinyatakan sembuh, tapi dinyatakan
sebagai pengobatan lengkap
Pada kategori 2, penderita dinyatakan sembuh bila hasil pemeriksaan ulang dahak
paling kurang 2x berturut-turut negatif.
Bila hasil pengobatan dahak sudah negatif pada akhir bulan ke 7 dan atau akhir
bulan ke 8 (AP) juga negatif, penderita dinyatakan sembuh
Bila pada akhir sisipan hasil pemeriksaan dahak BTA positif, maka hasil
pemeriksaan dahak sebulan sebelum akhir pengobatan (bulan ke 8) dan pada
akhir pengobatan harus negatif supaya penderita dapat dinyatakan sembuh
18
Bila BTA masih positif pada sebulan sebelum akhir pengobatan atau pada kahir
pengobatan, penderita dinyatakan sebagai kasus kronik dan bila fasilitas
laboratorium memungkinkan, dilakukan uji kepekaan atau dirujuk ke UPK
spesialistik. Bila tidak mungkin, kepada penderita diberikan tablet isoniazid
(INH) seumur hidup.
19
pemeriksaan dahak. Bila positif, mulai pengobatan dengan kategori 2. Bila negatif sisa
pengobatan kategori 1 dilanjutkan..
6 A. Penderita BTA positif hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif, atau kembali
menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan.
Tindak lanjutnya penderita BTA positif baru dengan kategori 1 diberikan kategori 2
mulai dari awal. Penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 dirujuk ke
UPK spesialistik atau diberikan INH seumur hidup.
B. Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan ke 2
menjadi positif, tindak lanjut berikan pengobatan kategori 2 mulai dari awal.
20
DAFTAR PUSTAKA
21