Professional Documents
Culture Documents
Kisah pedih mengenai nasib para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di
luar negeri nampaknya tidak (akan) ada habisnya. Penganiayaan terhadap Kikim yang
berujung kepada kematian dan Sumiati yang digunting mulutnya hanyalah merupakan
segelintir kisah pedih yang kerap kali menimpa mereka. Fakta bahwa mereka adalah
pahlawan devisa nampaknya tidak sebanding dengan apa yang harus mereka terima. Hal
ini lantas mengguratnya tanda tanya besar di benak kita semua, mengapa hal ini selalu
terjadi?
Maka inilah cerita tentang mereka. Mereka yang suaranya terlalu lemah untuk
sekedar bisa didengar. Mereka yang kehadirannya tidak begitu berarti sehingga
seringkali diabaikan, atau malah dilupakan. Mereka yang tenaganya terlalu rapuh untuk
terus dapat melawan ketidakberdayaan.
1
Najmu Laila - FHUI 2010
yang yang terjadi selama ini? Semacam dejavu, rasanya sudah ratusan kali atau bahkan
ribuan kali berbagai media massa ramai-ramai memberitakan permasalahan TKI, judul
besarnya sama: kisah pedih para TKI di luar negeri. Menurut Migrant Care, sepanjang
tahun 2010 ini 5.635 para TKI mengalami penyiksaan, pelecehan seksual, perolehan
gaji yang tak layak, sampai kerja yang melebihi waktu. (Koran Tempo, 26 November
2010).
Selama ini, sikap Pemerintah bak pemadam kebakaran yang memecahkan
permasalahan-permasalahan TKI secara kasuistis tanpa menyentuh akar
permasalahannya. Langkah diplomasi yang dilakukan oleh Pemerintah pun cenderung
lembek. Hal ini terbukti dengan selalu gagalnya perundingan pemerintah dengan
pemerintah Arab Saudi mengenai perlindungan dan perbaikan nasib TKI. Padahal
berdasarkan statistik, kasus kekerasan TKI terbesar justru berasal dari TKI yang berada
di Arab Saudi. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap pasal 27 Undang Nomor
39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, yang
menyatakan bahwa penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara
tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah
Indonesia atau memiliki peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja
asing. Arab Saudi jelas tidak termasuk ke dalam kriteria negara yang dimaksud.
Menyikapi hal tersebut, kerap kali Pemerintah berdalih bahwa posisi Indonesia
selalu menjadi sub-ordinat di mata Arab Saudi karena setiap kali ada upaya pendesakan
bilateral agreement perlindungan dengan Arab Saudi, setiap kali pula ancaman
pengurangan kuota haji dari Indonesa dilontarkan oleh otoritas Arab Saudi. Dalih
tersebut tentu tidak dapat menjadi sebuah pembenaran mengingat justru itulah tugas
Pemerintah untuk melindungi seluruh warga negara. Kita dapat mencontoh sikap
Australia yang begitu gigih mengajak Indonesia untuk berunding di dalam kasus Corby
dan Bali Nine untuk melindungi warga negaranya. Maka saatnya Indonesia berani tegak
kepala untuk memperjuangkan nasib para TKI di Saudi Arabia.
Selain itu, tidak adanya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
(PRT) semakin menegaskan ketidakseriusan Pemerintah dalam menangani
permasalahan ini. Hal ini menjadi sebuah permasalahan serius karena selama ini para
PRT tidak mendapatkan perlindungan yang cukup mengingat UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan belum mengakomodir kepentingan mereka. Bagaimana kita
bisa mendesak negara-negara lain untuk melindungi para TKI sementara kita sendiri
belum memiliki Undang-Undang yang melindungi mereka?
Di dalam konteks Internasional, perlindungan mengenai buruh migran telah
diatur di dalam Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Semua Buruh
Migran dan Anggota Keluarganya (UN Convention on the Protection of the Rights of
All Migrant Workers and Member of Their Families). Sayangnya, meski telah menjadi
peserta dan menandatangani konvensi tersebut sejak September 2004, sampai saat ini
pemerintah belum juga meratifikasi konvensi tersebut. Keengganan Pemerintah untuk
melakukan ratifikasi lebih banyak disebabkan karena dari 14 negara tujuan TKI, belum
ada satu pun negara yang meratifikasi konvensi tersebut. Jalan pikiran tersebut sedikit
banyak dapat dimengerti mengingat konvensi tersebut hanya berlaku bagi para pihak
yang menjadi peserta konvensi. Namun hal tersebut tidak dapat menjadi alasan
pembenar bagi Pemerintah untuk tidak melakukan ratifikasi terhadap konvensi tersebut.
Dengan melakukan ratifikasi, posisi tawar Indonesia menjadi lebih kuat di mata negara
lain karena menunjukkan kesungguhan sikap Indonesia dalam melakukan perlindungan
terhadap para buruh migran, termasuk TKI.
2
Najmu Laila - FHUI 2010