You are on page 1of 9

 Virtual Consulting

 Blog Home
 Twitter
 Facebook

Pergeseran Peran Agenda Setting Komunikasi Massa dan


Apa Maknanya

June 16, 2009


Oleh Ismujiarso

Beberapa waktu lalu saya mengkritik –lewat sebuah postingan di blog– pelayanan Chicken Story
gerai Pondok Indah Mal yang tidak hanya lambat, tapi juga buruk. Kira-kira sebulan kemudian,
karena “terpaksa”, saya kembali makan di tempat itu lagi, namun sungguh diluar dugaan,
mendapati perubahan yang mencengangkan. Pelayanannya tidak hanya sigap, melainkan bahkan
sampai ada satu staf khusus yang bertugas mengecek ke setiap bangku pengunjung untuk
memastikan semua pesanan telah datang. Teman saya minta tusuk gigi, dan dilayani dengan
keramahan yang luar biasa. Saya sebenarnya tidak mau “ge-er” bahwa perubahan yang drastis itu
merupakan akibat dari tulisan saya di blog. Tapi, hati kecil saya sulit untuk memungkiri rasa “ge-
er” itu. Masalahnya, saya tidak bisa membuktikan adanya kaitan antara postingan saya di blog
dengan perubahan pelayanan yang terjadi (kecuali, tentu saja, kalau saya bertanya langsung
kepada manajernya).

Dalam ilmu komunikasi massa, pembicaraan mengenai relasi antara media dengan audiens-nya
memang dianggap sebagai bagian yang paling sulit dirumuskan secara teoritis. Dulu ada yang
namanya Teori Peluru atau dikenal juga sebagai Teori Jarum Suntik, yang berasumsi bahwa isi
media mempengaruhi audiens layaknya peluru yang menembus sasaran tanpa hambatan, atau
seperti sesuatu yang disuntikkan ke dalam tubuh.

Seiring dengan perkembangan zaman, di mana manusia semakin pintar dan kritis, maka teori itu
pun gugur. Nyatanya, audiens media bukanlah sekumpulan orang yang pasif dan menerima
begitu saja pesan yang disampaikan oleh saluran-saluran komunikasi. Maka, kemudian lahirlah
teori-teori lain, salah satu yang penting dan masih relevan sampai sekarang adalah Teori Agenda
Setting. Ide dasarnya: media (komunikasi) massa lebih dari sekedar pemberi informasi dan opini.
Oke, media mungkin tidak atau kurang berhasil membuat orang untuk memikirkan sesuatu.
Namun, teori ini percaya bahwa media sangat berhasil mendorong audiens-nya untuk
menentukan apa yang perlu mereka pikirkan. Dengan kata lain, Agenda Setting menggambarkan
betapa “powerful”-nya (pengaruh) media, terutama dalam kemampuannya menunjukkan kepada
kita, ini lho isu-isu yang penting. Dengan demikian, teori ini mengandung asumsi bahwa media
tidak semata-mata mengabarkan informasi dan opini, melainkan lebih daripada itu, juga
menyeleksi dan menentukan informasi maupun opini tersebut. Artinya, media sebenarnya hanya
berkonsentrasi pada isu-isu tertentu yang jumlahnya mungkin sedikit, dan kemudian membuat
audiens menerima bahwa memang itulah isu-isu yang lebih penting dibandingkan isu-isu lainnya
yang banyak sekali.

Teori Agenda Setting berkembang pada dekade 60-an, ketika belum ada internet. Dan, kalau tadi
saya bilang “masih relevan”, maka sekarang, dengan mengingat munculnya teknik-teknik dan
media-media baru komunikasi dewasa ini, mungkin bisa dipertanyakan kembali, benarkah masih
serelevan itu? Tentu saja, apa yang disebut sebagai pengaruh pers (koran, majalah, radio,
televisi) itu masih ada, dan tetap nyata dan boleh dibilang, juga tetap besar. Namun, kini peran
itu sudah digerogoti, untuk kemudian dibagi, oleh blog dan situs-situs jaringan sosial di internet.
Bahkan, dalam batas dan kasus tertentu, peran itu sudah bergeser. Apa yang penting bagi publik
sekarang ini tidak lagi (hanya) ditentukan oleh koran nasional atau stasiun TV besar, melainkan
juga oleh postingan di blog, video yang mungkin di-unggah secara iseng di Youtube, konversasi
di Facebook atau bahkan mungkin “status” seseorang (yang cukup berpengaruh) di Twitter.

Kasus monster air Pantai Ancol barangkali akan menjadi salah satu contoh klasik untuk
pergeseran peran agenda setting (dari) media massa ke social media. Kabar mengenai adanya
monster air itu berawal dari sebuah video di Youtube, yang kemudian menjadi obrolan di Forum
Kaskus. Detikcom kemudian mengembangkannya, me-running beritanya, bahkan sampai
mewawancarai Wapres Jusuf Kalla segala sehingga menimbulkan efek dramatis yang mencekam
–seolah-olah ini sesuatu yang sangat gawat, dan oleh karenanya perlu mendapat perhatian semua
pihak. Hingga akhirnya koran-koran dan televisi pun “menindaklanjuti”-nya. Menarik untuk
mencermati, bagaimana media online seperti Detikcom, yang di awal kemunculannya
diremehkan dan dipandang sebelah mata oleh para budayawan serius (yang mengatakan bahwa
berita-beritanya dangkal, tidak akurat, dan kurang bisa dipercaya), dalam perkembangannya
justru memainkan peran yang krusial dalam mengarahkan agenda media-media besar, cetak
maupun elektronik. Saya sendiri kebetulan adalah bagian dari generasi pertama wartawan
(media) online di Indonesia, dan kami sering tertawa-tawa senang menyaksikan rekan-rekan
sejawat dari media konvensional dibuat repot oleh berita-berita yang langsung tayang “detik itu
juga” di media kami. “Gara-gara berita lu, nih gue jadi disuruh redaktur gue untuk ngembangin
isu ini,” begitulah kira-kira gambaran kasarnya. Dengan kata lain, suatu isu mendadak menjadi
penting ketika dilaporkan oleh Detikcom –lebih-lebih jika isu itu di-update terus-menerus. Efek
dari “running news” ala dotcom semacam itu memang ampuh dalam meningkatkan nilai berita
sebuah informasi atau isu tertentu, yang tak jarang membuat para redaktur koran dan TV kalang-
kabut.

Belakangan, dengan semakin maraknya penggunaan media-media jaringan sosial di internet


macam Facebook dan Twitter, berita-berita dari media online (tidak hanya Detikcom), tapi
(sekarang juga ada) Kompas.com, Vivanews, Okezone, Inilah.com dan lain-lain) semakin
menemukan jalan mulus untuk memainkan “kepemimpinan”-nya dalam agenda setting
komunikasi massa. Para blogger, Facebooker, dan pecandu micro-blogging lewat Twitter dan
Plurk sering secara sukarela “membawa” berita-berita dari media-media online tersebut ke blog
dan social media, baik dalam bentuk postingan, informasi link, maupun pernyataan di status.
Dan, semua itu kemudian menciptakan konversasi yang panjang dan ramai. Waktu terjadi
pembunuhan di Pasific Place beberapa waktu lalu misalnya, seorang teman saya membuat
postingan yang selain “mengabarkan kembali” peristiwa itu, sekaligus juga mengungkapkan
kekhawatirannya akan ibukota yang semakin tidak aman. Dan, ternyata, banyak dari pembaca
yang berkomentar, baru tahu mengenai berita pembunuhan itu dari postingan tersebut. Ketika
sebuah helikopter militer lagi-lagi terjatuh, Pemimpin Redaksi Detikcom Budiono Darsono
langsung memasang link berita dari media yang dipimpinnya mengenai peristiwa itu di
Facebook-nya. Pada saat yang berbarengan, sejumlah awak redaksi lainnya juga melakukan hal
yang sama. Bayangkan, kalau semua awak redaksi sebuah media online memasang setiap link
hot news di Facebook dan/atau Twitter masing-masing! Betapa akan sangat besar dampaknya
dalam mempengaruhi agenda setting komunikasi massa.

Kasus Prita adalah contoh paling segar tentang kedahsyatan konversasi online dalam
mempengaruhi agenda setting media massa secara umum. Begitu ramainya postingan di blog dan
pembicaraan di Facebook yang mengungkapkan keprihatinan, dukungan maupun simpati atas
Prita yang dituntut karena dituduh mencermarkan nama baik Rumah Sakit Omni Tangerang,
koran-koran, majalah dan televisi pun kemudian beramai-ramai menjadikannya laporan utama.
Ini bisa diartikan bahwa secara tidak langsung blog dan social media telah mampu menjadi
kekuatan penekan –sebuah peran politis yang penting dan strategis, yang sebelumnya, selama ini,
(hanya) dimiliki oleh pers “resmi”.

AGENDA SETTING

Studi efek media dengan pendekatan agenda setting (penentuan/pengaturan agenda) sudah dimulai
pada tahun 1960-an, namun popularitas baru muncul setelah publikasi hasil karya McCombs dan Shaw
di Chapel Hill pada tahun 1972. Mereka menggabungkan dua metoda sekaligus, yaitu analisa isi (untuk
mengetahui agenda media di Chapel Hill) dan survey terhadap 100 responden untuk mengetahui
prioritas agenda publiknya (Haryanto, 2003). Studi tersebut menemukan bukti bahwa terdapat korelasi
yang sangat kuat (0,975) antara urutan prioritas pentingnya 5 isu yang dilansir oleh media di Chapel Hill
bersesuaian dengan urutan prioritas pada responden.

Walaupun penelitian tersebut hanya dapat membuktikan pengaruh kognitif media atas audiens, namun
studi agenda setting tersebut sudah dapat dipakai sebagai upaya untuk mengkaji, mengevaluasi, dan
menjelaskan hubungan antara agenda media dan agenda publik. McCombs dan Shaw (dalam Griffin,
2003) meyakini bahwa hipotesa agenda setting tentang fungsi media terbukti- terdapat korelasi yang
hampir sempurna antara prioritas agenda media dan prioritas agenda publik.
Agenda media

Agenda publik

Setelah publikasi karya tersebut, banyak eksplorasi dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi
analisa isi dan survey. Hasil-hasil penelitian lanjutan adalah beragam. Ada yang memperkuat, akan tetapi
tidak sedikit yang memperlemah temuan McCombs dan Shaw. Mengapa demikian? Rogers (1997) dalam
A Paradigmatic Hystory of Agenda Setting Research, berpendapat bahwa kurang diperhatikannya on
going process dalam framing dan priming agenda media; maupun on going process dalam agenda public,
seringkali menyebabkan kesimpulan yang diperoleh dalam studi agenda setting tidak sesuai dengan
realita yang ada. Dengan begitu, bisa jadi hasil-hasil penelitian yang beragam itu ada yang bersifat semu.
Artinya hubungan yang terjadi disebabkan karena pilihan sampelnya kebetulan mendukung/tidak
mendukung hipotesis yang dikembangkan, atau mungkin pilihan isu-nya kebetulan menyangkut/tidak
menyangkut kepentingan kelompok responden.

Variabel dalam studi Agenda Setting

Sampai dengan penerbitan hasil studi yang dilakukan oleh McCombs dan Shaw tahun 1972, hampir
semua studi agenda setting yang dilakukan memfokuskan pada dua variabel, yaitu agenda media
(sebagai variabel independen) dan agenda publik (sebagai variabel dependen). Analisis hubungan antar
variabel yang dilakukan biasanya menekankan pada pola hubungan satu arah atau bersifat linear, yaitu
bahwa agenda media mempengaruhi terbentuknya agenda publik. Ini merupakan bukti bahwa
kebanyakan peneliti pada saat itu masih percaya bahwa efek media bersifat langsung, sehingga studi
mereka lebih banyak berorientasi pada upaya pengukuran besarnya efek media.

Banyak kritik dilontarkan, yang mempertanyakan dimanakah perbedaan substansial antara efek media
di masa lalu dengan aplikasi pendekatan agenda setting dalam menjelaskan sifat dan derajad efek media
terhadap audiens.

Dalam model tersebut, realita yang mengarah pada hubungan timbal balik antara agenda media dan
agenda publik kurang mendapatkan perhatian. Seringkali terlupakan bahwa framing dan priming agenda
media, dan tingkat kemenonjolan (salience) isu/kejadian pada agenda publik, merupakan proses tidak
berujung dan tidak berpangkal. Kurang perhatian terhadap ’proses’ baik dalam bentuk agenda media
maupun agenda publik, menyebabkan studi agenda setting kurang mampu menjelaskan mengapa isu-
isu tertentu, yang disiarkan oleh media tertentu mempunyai pengaruh tertentu, bagi audiens tertentu.

Respon terhadap kenyataan tersebut adalah terjadinya perubahan orientasi dalam studi agenda setting
bahwa agenda setting bukan hanya suatu gejala melainkan sebuah proses yang berlangsung terus
menerus (on going process). Berdasarkan perspektif ini, pemenuhan (coverage) variabel dalam studi
agenda setting menjadi sangat luas, karena melibatkan faktor-faktor yang merupakan bagian dari proses
terbentuknya agenda media dan agenda publik dan sekaligus bisa digunakan untuk menjelaskan
mengapa efek media sangat besar, kecil, atau tidak ada sama sekali.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ada tidaknya pengaruh agenda setting (pengaruh agenda media
terhadap agenda publik) disebut faktor kondisional, yang dapat dapat dikategorikan menjadi 2 (dua)
sebagai berikut:

1. Dari perspektif agenda media adalah sebagai berikut: framing; priming; frekuensi dan intensitas
pemberitaan/penayangan; dan kredibilitas media di kalangan audiens.

2. Dari perspektif agenda publik adalah sebagai berikut: faktor perbedaan individual; faktor perbedaan
media; faktor perbedaan isu; faktor perbedaan salience; faktor perbedaan kultural.

Perbedaan individual, pengaruh agenda setting akan meningkat pada diri individu yang
memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang disajikan oleh media massa. Bukti-bukti empirik
menunjukkan bahwa perhatian individu terhadap isi media dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, luas
pengalaman, kepentingan, perbedaan ciri demografis, sosiologis.

Bukti-bukti eksperimental (Iynenger & Kinder, dalam Haryanto:2003) menunjukkan bahwa efek agenda
setting akan meningkat pada individu-individu yang memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang
dikaji, sedangkan intensitas perhatian sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan derajat
kepentingannya.

Perbedaan media, yang dimaksudkan disini adalah perbedaan coverage media yang ada pada
komunitas, kelompok masyarakat, wilayah atau negara tertentu. Diyakini bahwa sekalipun ada
kecenderungan uniformitas dalam menyiarkan berita (isu), namun beberapa media tertentu
memberikan tekanan dan porsi yang berbeda dalam menyiarkan berita. Framing dan priming
merupakan salah satu bukti akan hal ini. Tekanan dan porsi yang berbeda berpengaruh terhadap
aseptibilitas agenda media di kalangan audiens. Ini berarti bahwa media yang lebih diterima oleh
audiens akan mempunyai efek agenda setting yang lebih besar.

Penerimaan audiens terhadap media merupakan salah satu faktor yang bisa meningkatkan prestige
media tersebut di kalangan audiens yang bersangkutan. Berkaitan dengan masalah ini, diasumsikan
bahwa bila media mampu mengangkat prestige audiens maka efek agenda setting akan meningkat. Hal
lain yang bisa mengangkat prestige media di kalangan audience adalah sirkulasi (nasional, internasional),
segemen pasar (kelas menengah, atas, eksekutif).

Perbedaan isu, dilihat dari isinya, isu bisa berupa pengungkapan masalah yang sedang dihadapi oleh
individu, kelompok, atau masyarakat, isu juga bisa berupa usulan solusi untuk memecahkan masalah.
Masing-masing jenis isu mempunyai efek yang berbeda dalam proses agenda setting. Oleh karena itu,
seharusnya diberikan pertimbangan khusus dalam penelitian agenda setting. Sedangkan dilihat dari
jenisnya, isu bisa dibedakan sebagai berikut:

 Obtrusive issues adalah isu-isu yang berkaitan langsung dengan pengetahuan dan pengalaman
individu atau khlayak. Artinya, bahwa pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh khalayak
tentang isu yang bersangkuatan bukan berasal dari media, akan tetapi sudah dimiliki
sebelumnya. Sebaliknya, unobstrusive issues adalah isu-isu yang tidak berkaitan langsung
dengan pengetahuan/pengalaman audiens. Bukti empirik menunjukkan bahwa efek agenda
setting lebih besar ditemukan pada individu-individu yang mempunyai keterlibatan langsung
dengan isu yang disiarkan.
 Selective issues adalah isu-isu atau sejumlah isu yang dipilih secara khusus, dengan alasan
tertentu kemudian diukur pengaruhnya pada khalayak tertentu. Pemilihan isu(sejumlah isu) bisa
dilakuakan dengan melakukan analisa terhadap isi media massa, kemudian memilih sejumlah
diantaranya yang dianggap lebih menonjol dibandingkan yang lain, atau bisa juga dengan cara
mengambil topik-topik yang sedang menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat.
 Remote issues adalah isu-isu yang sama sekali di luar individu, kelompok, atau masyarakat, baik
secara geografis, psikologis, maupun politis. Bukti-bukti yang dikumpulkan untuk mengevaluasi
pengaruh agenda setting berkaitan dengan remote issues masih bersifat debatable. Artinya,
beberapa temuan menyebutkan bahwa remote issues mempunyai efek agenda setting lebih
besar. Tetapi pada saat yang hampir bersamaan, temuan yang lain menyebutkan bahwa remote
issues tidak memunyai efek sama sekali.

Perbedaan salience, yaitu pemilihan isu berdasarkan perbedaan nilai kepentingan, dilihat dari
sisi khalayak; apakah isu yang dipilih untuk menjangkau kepentingan sosial (komunitas yang lebih luas),
kepentingan interpersonal (keluarga teman bergaul, tempat kerja, dsb.) ataukah kepentingan individu.
Masing-masing pilihan, tentu saja, akan menimbulkan efek agenda setting yang berbeda. Oleh karena itu
sangatlah bijaksana mempertimbangkan masalah ini dalam studi agenda setting.

Perbedaan kultural, setiap kelompok masyarakat akan menanggapi dan merespon isu yang
sama secara berbeda, yang secara otomatis akan mempengaruhi efek agenda setting yang ditimbulkan.
Teori norma budaya yang dikembangkan de Fleur (dalam Haryanto, 2003) menyebutkan bahwa pesan-
pesan komunikasi yang disampaikan oleh media massa bisa menimbulkan kesan-kesan tertentu, yang
oleh individu disesuaikan dengan norma-norma budaya yang berlaku pada masyarakat dimana individu
itu tinggal. Sekalipun dipercaya bahwa media mampu membentuk dan merubah norma baru sebagai
acuan hidup bagi kelompok masyarakat tertentu, namun bukti-bukti yang ditemukan belum sepenuhnya
mendukung hipotesa tersebut. Bukti-bukti empirik yang paling kuat adalah media massa lebih mudah
memperkokoh sistem budaya yang sudah berakar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
pengukuran efek agenda setting seharusnya mempertimbangkan dengan hati-hati sistem budaya yang
dianut oleh individu, kelompok atau masyarakat.

Sampai di sini, konsep kita mengenai agenda setting menjadi semakin kompleks. Studi agenda
setting bukan hanya menguji hubungan antara agenda media dan agenda publik an sich, akan tetapi
mencakup bagaimana faktor-faktor eksternal mempengaruhi pemberitaan media, dan bagaimana
faktor-faktor sosio-kultural mempengaruhi individu dalam memperhatikan, merespon, dan memahami
isi pesan media massa. Oleh karenanya, konsep kita tentang hubungan antar variabel dalam studi
agenda setting dapat digambarkan sebagai berikut:

Suatu Model Tentatif Penelitian Agenda Setting (Haryanto, 2003)

AGENDA MEDIA

· Framing
· Priming

· Durasi.

AGENDA PUBLIK

· Karakteristik sosial budaya

· Karakteristik. Demografis.

Jenis isu yang diteliti

· Selektif isu

· Salience

Dalam salah satu perkembangannya, studi ini diarahkan juga untuk meneliti korelasi
antara agenda media; agenda publik; dan agenda kebijakan (baca Manheim: Model Agenda
Setting Dinamis).

Framing adalah sebuah proses yang mana jurnalis, reporter, editor mengemas isu/kejadian
menjadi sajian yang lebih menyentuh dan lebih menarik. Apa yang ditemukan oleh Shaw dan McCombs
(1977) merupakan contoh yang bagus untuk menjelaskan makna framing. Mereka menemukan
perbedaan efek agenda setting pada isu tentang kejahatan. Efek akan menjadi semakin kuat pada saat
isu tersebut dipotret sebagai masalah sosial daripada disajikan sebagai laporan berita dalam bentuk
straigh news. Kesimpulannya adalah bagaimana isu/kejadian dikemas merupakan faktor penentu
terhadap derajad pentingnya isu di kalangan audiens.

Sedangkan priming mengacu pada sebuah metafora, yaitu kemampuan program pemberitaan
untuk mempengaruhi kriteria yang dapat digunakan oleh para individu untuk menilai performance
pemimpin politik mereka. Misal, pemberitaan yang berkelanjutan(terus menerus) mengenai
keterlambatan resufle kabinet dapat dipakai audiens untuk menilai sejauh mana willingness, komitmen,
dan kredibilitas politis Presiden SBY dalam mengelola pemerintahan.

You might also like