You are on page 1of 8

Masalah Inkompatbilitas Obat

Drs. Oka Wangsaputra


R & D Centre, P.T. KALBE FARMA
Adakalanya pejabat di pabrik farmasi dikejutkan oleh
datangnya suatu klaim dari seorang dokter. Dalam klaim
disebutkan bahwa obat dari pabrik tsb. terdapat kelainan.
Jenis kelainan produk yang dikeluhkan biasanya macammacam.
Ada yang mengatakan produk berubah warna atau
larutan obat suntik yang asalnya jernih menjadi keruh atau
timbul endapan dsb.
Penyampaian klaim pada umumnya disertai dengan contoh
obatnya. Namun tidak jarang pula klaim datang tanpa contoh
obat maupun keterangan-keterangan lain yang penting seperti
misalnya nomor batch. Sebenarnya cara klaim yang terakhir
ini kurang bijaksana karena pejabat pabrik dalam hal ini tidak
dapat melakukan pengecekan lebih lanjut.
Nomor batch dan retained samples
Menurut peraturan yang berlaku (Surat edaran dari Dirjen.
POM No. 13650/D/SE/73 tgl. 31 Desember 1973) perihal
ketentuan tentang nomor batch disyaratkan pula bahwa
pabrik farmasi diwajibkan mengambil contoh obat jadi dalam
jumlah secukupnya dari setiap batch yang diproduksikan
sebagai arsip (retained samples). Setiap contoh yang berhubungan
dengan nomor batch suatu obat jadi harus disimpan
paling sedikit selama 5 tahun. Contoh obat tsb. harus disertai
dengan rekaman proses produksi dari batch yang bersangkutan.
Maksud dari peraturan di atas adalah agar kualitas obat dapat
terus diikuti selama jangka waktu tertentu dan dapat dilakukan
pengecekan bilamana diperlukan terhadap perubahanperubahan
kualitatif yang mungkin timbul atau stabilita
produk selama penyimpanan.
Dengan mengetahui nomor batch produk yang merupakan
identitas untuk batch tsb. kita mampu menelusuri kembali
sejarah produksi obat yang bersangkutan termasuk segala
tahap-tahap proses pembuatannya dan kontrol-kontrol yang
pernah dilakukan. Jadi disain suatu batch merupakan dasar
untuk pengontrolan, baik terhadap proses produksi maupun
kualitas obatnya. Melalui sistem ini seringkali kita dapat menemukan
sebab-sebab dari terjadinya kelainan obat.
Cara pemberian obat
Seperti diketahui, tergantung dari keadaan penyakit dan
kondisi pasien pemberian obat dapat dilakukan melalui beberapa
jalan. Bisa per oral, topikal, inhalasi, sublingual, per
rektal maupun per parenteral.
Pemberian obat per parenteral di samping mempunyai
banyak manfaat, juga sering pula membawa masalah-masalah
lain. Salah satu di antaranya adalah menyangkut mengkombinasikan
dua obat atau lebih dalam satu alat suntik yang sama.
Mengkombinasikan obat secara demikian memang sering
dikerjakan oleh banyak dokter khususnya dalam pengobatan
preoperatif. Sebagai contoh untuk menghilangkan rasa sakit
yang hebat sering diberikan obat-obat sedatif atau antiemetik
bersama-sama dengan narkotik. Pencampuran obat dalam satu
alat suntik memang mempunyai beberapa keuntungan tersendiri
: selain lebih murah, praktis dan menghemat waktu
dibandingkan dengan penyuntikan ganda/berkali-kali juga
lebih dapat diterima dipandang dari sudut si pasien.
Inkompatibilitas obat
Namun sebaliknya, dari pengalaman kasus-kasus klaim
yang diteliti khususnya mengenai larutan obat suntik dapatlah
dikatakan bahwa banyak kelainan obat terjadi karena masalah
inkompatibilitas obat (tidak tercampurkannya suatu obat),
yaitu pengaruh-pengaruh yang terjadi jika obat yang satu
dicampurkan dengan yang lainnya.
Inkompatibilitas obat dapat dibagi atas 3 golongan :
I. Inkompatibilitas terapeutik.— Inkompatibilitas golongan
ini mempunyai arti bahwa bila obat yang satu dicampur/
dikombinasikan dengan obat yang lain akan mengalami perubahan-
perubahan demikian rupa hingga sifat kerjanya dalam
tubuh (in vivo) berlainan daripada yang diharapkan. Hasil
kerjanya kadang-kadang menguntungkan, namun dalam
banyak hal justru merugikan dan malah dapat berakibat fatal.
Sebagai contoh :
Absorpsi dari tetrasiklin akan terhambat bila diberikan
bersama-sama dengan suatu antasida (yang mengandung
kalsium, aluminium, magnesium atau bismuth). Fenobarbital
dengan MAO—inhibitors menimbulkan efek potensiasi dari
barbituratnya. Kombinasi dari quinine dengan asetosal dapat
menimbulkan chinotoxine yang tidak dapat bekerja lagi
terhadap malaria. Mencampur hipnotik dan sedatif dengan
kafein hanya dalam perbandingan yang tertentu saja rasionil.
Pun harus diperhatikan bahwa mengkombinasikan berbagai
antibiotik tanpa indikasi bakteriologis yang layak sebaiknya
tidak dianjurkan.
II. Inkompatibilitas fisika.— Yang dimaksudkan di sini
adalah perubahan-perubahan yang tidak diinginkan yang
timbul pada waktu obat dicampur satu sama lain tanpa terjadi
perubahan-perubahan kimia.
Contoh :
— Meleleh atau menjadi basahnya campuran serbuk.
—Tidak dapat larut dan obat-obat yang apabila disatukan
tidak dapat bercampur secara homogen.
—Penggaraman (salting out).
—Adsorpsi obat yang satu terhadap obat yang lain.
III. Inkompatibilitas kimia.— Yaitu perubahan-perubahan
yang terjadi pada waktu pencampuran obat yang disebabkan
oleh berlangsungnya reaksi kimia/interaksi.
Termasuk di sini adalah :
— Reaksi-reaksi di mana terjadi senyawa baru yang mengendap.
—Reaksi antara obat yang bereaksi asam dan basa.
—Reaksi yang terjadi karena proses oksidasi/reduksi maupun
hidrolisa.
—Perubahan-perubahan warna.
—Terbentuknya gas dll.
Bahan pembantu obat (vehicles).
Suatu obat jadi pada umumnya terdiri dari bahan obat
berkhasiat dan bahan pembantu. Inkompatibilitas obat sering
pula diakibatkan oleh bahan pembantu ini. Hal ini terjadi
karena bahan pembantu yang digunakan dalam obat jadi jarang
dicantumkan pada etiket obat jadi (hanya diketahui oleh
produsen saja). Akibatnya di luar pengetahuan dokter yang
akan menggunakan obat, khususnya pada waktu dicampur
dengan obat lain mungkin timbul kelainan-kelainan yang tidak
diinginkan. Kiranya untuk ini dapat diberikan sebuah contoh
kasus yang pernah terjadi.
Propyl gallate (derivat phenol) merupakan bahan pembantu
yang berfungsi sebagai zat antioksidan. Bahan ini sering
ditambahkan ke dalam preparat-preparat yang mengandung
bahan berkhasiat yang mudah teroksidasi, misalnya preparat
oxitetrasiklin injeksi dll.
Bila preparat ini dicampur dengan preparat lain yang
mengandung zat besi, maka akan terjadi reaksi kimia yaitu
terbentuk senyawa baru (besi-phenolat) dan tergantung dari
kepekatannya dapat berwarna biru sampai biru tua. Karena
larutan obat suntik semula berwarna kuning (oxitetrasiklin),
maka larutan akhirnya akan nampak berwarna kehijauan.
Peristiwa di atas bisa terjadi melalui pemakaian satu jarum
suntik yang sama untuk pengambilan dua jenis preparat secara
beruntun.
Tabel inkompatibilitas obat
Harus diakui bahwa informasi mengenai masalah inkompatibilitas
obat terutama inkompatibilitas fisika dan kimia masih
sangat jarang. Akibatnya akan sukar menentukan saran-saran
apa yang dapat diberikan untuk pemakaian obat dalam kombinasi.
Di bawah ini adalah tabel mengenai inkompatibilitas fisika
dari obat-obat yang disusun dua-arah.
Atropine
Benzquinamide
Chlorpromazine
Codeine
Diazepam
Diphenhydramine
Glycopyrrolate
Hydromorphone
Hydroxyzine
Levorphanol
Meperidine
Morphine
Oxymorphone
Pentazocine
Pentobarbital
Perphenazine
Prochlorperazine
Promazine
Promethazine
Scopolamine
Secobarbi tal
Trimethobenzamide
C — Physically compatible
N — Not physically compatible
X — Conflicting reports; not documented, concentration—dependent
different manufacturers, etc.
Note :Compatibility may depend on order of mixing, relative concentrations,
speed of mixing, or agitation of solution.
Sumber : Hospital Formulary / April 1979.
Kesimpulan dan saran
Kasus kelainan obat banyak ditimbulkan karena masalah
inkompatibilitas obat. Mengingat cukup banyak pengobatan
secara parenteral yang dilakukan dengan mengkombinasikan
obat dengan memakai satu alat suntik, maka di bawah ini
diberikan saran kepada para tenaga medis untuk mengikuti
petunjuk-petunjuk sbb. :
1. Bila ingin mencampur obat dalam alat suntik yang sama,
campurlah segera pada saat akan digunakan saja (paling
lama 15 menit sebelumnya).
2. Jika terlihat perubahan-perubahan fisika (endapan, perubahan
warna, berbusa, terbentuk kristal dll) janganlah
digunakan.
3. Catatlah kejadiannya dan beritahukan kepada produsen
(dapat melalui distributor, kantor cabang setempat atau
medical representative) mengenai adanya problem inkompatibilitas.
Janganlah lupa menyebutkan obat-obat apa
yang dikombinasikan.
4. Dalam keadaan ragu-ragu sebaiknya jangan mencampur
obat dalam alat suntik yang sama.
Daftar Kepustakaan dapat diminta pada redaksi CDK
atau pada penulis.
34 Cermin Dunia Kedokteran No. 23, 1981

Interaksi obat adalah kejadian di mana suatu zat mempengaruhi aktivitas obat. Efek-
efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas, atau menghasilkan efek baru
yang tidak dimiliki sebelumnya. Biasanya yang terpikir oleh kita adalah antara satu obat
dengan obat lain. Tetapi, interaksi bisa saja terjadi antara obat dengan makanan, obat
dengan herbal, obat dengan mikronutrien, dan obat injeksi dengan kandungan infus.
Karena kebanyakan interaksi obat memiliki efek yang tak dikehendaki, umumnya
innteraksi obat dihindari karena kemungkinan mempengaruhi prognosis. Namun, ada
juga interaksi yang sengaja dibuat, misal pemberian probenesid dan penisilin sebelum
penisilin dibuat dalam jumlah besar. Contoh interaksi obat yang kini digunakan untuk
memberikan manfaat adalah pemberian bersamaan karbidopa dan levodopa (tersedia
sebagai karbidopa/levodopa). Levodopa adalah obat antiParkinson dan untuk
menimbulkan efek harus mencapai otak dalam keadaan tidak termetabolisme. Bila
diberikan sendiri, levodopa dimetabolisme di jaringan tepi di luar otak, sehingga
mengurangi efektivitas obat dan malah meningkatkan risiko efek samping. Namun,
karena karbidopa menghambat metabolisme levodopa di perifer, lebih banyak levodopa
mencapai otak dalam bentuk tidak termetabolisme sehingga risiko efek samping lebih
kecil.

Interaksi obat bisa ditimbulkan oleh berbagai proses, antara lain perubahan dalam
farmakokinetika obat tersebut, seperti Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi
(ADME) obat. Kemungkinan lain, interaksi obat merupakan hasil dari sifat-sfat
farmakodinamik obat tersebut, misal, pemberian bersamaan antara antagonis reseptor
dan agonis untuk reseptor yang sama.

Interaksi Obat yang berkaitan dengan metabolisme

Banyak interaksi obat disebabkan oleh perubahan dalam metabolisme obat. Satu
sistem yang terkenal dalam interaksi metabolisme adalah sistem enzim yang
mengandung cytochrome P450 oxidase. Sebagai contoh, ada interaksi obat bermakna
antara sipfofloksasin dan metadon. Siprofloksasin dapat menghambat cytochrome P450
3A4 sampai sebesar 65%. Karena ini merupakan enzim primer yang berperan untuk
memetabolisme metadon, sipro bisa meninggikan kadar metadon secara bermakna.
Sistem ini dapat dipengaruhi oleh induksi maupun inhibisi enzim, sebagaimana dibahas
dalam contoh berikut.
Induksi enzim - obat A menginduksi tubuh untuk menghasilkan lebih banyak obat yang
memetabolisme obat B. Hasilnya adalah kadar efektif dari obat B akan berkurang,
sementara efektivitas obat A tidak berubah.
Inhibisi enzim - obat A menghambat produksi enzim yang memetabolisme obat B,
sehingga peninggian obat B terjadi dan mungkin menimbulkan overdosis.
Ketersediaan hayati – obat A mempengaruhi penyerapan obat B.

Sayangnya, karena jumlah obat yang beredar di pasar sangat banyak, tidak mungkin
bagi perusahaan obat manapun memeriksa profil kompatibilitas obatnya dengan obat
lain secara lengkap. Oleh karena itu, klinisi sebaiknya memeriksa dengan seksama
informasi peresepan sebelum memberikan obat, khususnya obat yang baru dikenal.

Lebih lanjut, link berikut dapat membantu jika seseorang ingin mengetahui interaksi
suatu obat dengan obat lain.
Inkompatibilitas obat IV

Ada obat injeksi yang tidak kompatibel dengan kandungan larutan infus. Contoh khas
adalah natrium bikarbonat dengan Ringer laktat atau Ringer asetat.Untuk mencegah
inkompatibilitas, penting dipikirkan bagaimana obat bisa berinteraksi di dalam atau di
luar tubuh. Jika anda harus mencampur suatu obat, selalu ikuti petunjuk pabrik seperti
volume dan jenis diluen yang tepat; mana larutan yang bisa ditambahkan ke pemberian
"piggy back"; dan larutan “bilas” apa yang harus digunakan di antara pemberian suatu
produk dan produk lain untuk menghindari kejadian-kejadian, seperti pengendapan di
dalam selang infus (sebagai contoh, jangan pernah memberikan fenitoin ke dalam infus
jaga yang mengandung dekstrosa, atau jangan campur amphotericin B dengan normal
saline). Hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah adanya elektrolit (misal. kalium
klorida) yang dicampur ke infus kontinyu, misal pada sistem piggyback. Jika ingin
mencampur obat dalam spuit untuk pemberian bolus, pastikan obat-obat ini kompatibel
di dalam spuit. Jika tidak mendapat informasi dari referensi obat, kontak apoteker.
Umumnya apoteker memiliki akses untuk informasi kompatibilitas ini. Waspada dengan
obat yang dikenal memiliki riwayat inkompatibilitas bila berkontak dengan obat lain.
Contoh-contoh furosemide (Lasix), phenytoin (Dilantin), heparin, midazolam (Versed),
dan diazepam (Valium) bila digunakan dalam campuran IV.

Kekurangan-kekurangan PVC (polivinilklorida)

Di samping kompatibilitas obat-obat IV, klinisi perlu mengetahui bahwa beberapa


masalah bisa timbul bila menggunakan PVC sebagai wadah untuk larutan infus.
Plasticized polyvinyl Klorida (PVC) merupakan bahan polimer yang digunakan secara
luas di bidang kedokteran dan yang terkait. Di bidang kedokteran, PVC yang lentur
digunakan untuk kantong penyimpan darah, selang transfusi, hemodialisis, pipa
endotrakea, infuse set, serta kemasan obat. Ester asam ftalat, terutama di-(2-
ethylhexyl) phthalate (DEHP), merupakan pelentur yang paling disukai di bidang
kedokteran. Karena zat aditif ini tidak berikatan kovalen dengan polimerm ada
kemungkinan memisah dari matriks. Lepasnya DEHP dari kantong PVC ke dalam
larutan sudah bertahun-tahun menimbulkan kekhawatiran. Toksisitas DEHP dan PVC
telah mencetuskan pertanyaan serius mengapa produk ini masih digunakan.
Pemisahan DEHP dari PVC disebut leaching. Leaching terjadi bila beberapa obat
seperti paclitaxel atau tamoxifen diberikan dalam kantong PVC.

Kekhawatiran lain dari penggunaan kantong PVC adalah penyerapan atau “hilang”nya
obat dari kantong PVC:

1. Kowaluk dkk. memeriksa interaksi antara 46 obat suntik dengan kantong


infus Viaflex (PVC). Kajian memperlihatkan bahwa derajat penyerapan obat
berbanding lurus dengan konsentrasi obat.
2. Migrasi obat ke dalam kantong plastik bisa mengarah ke penurunan kadar
obat di bawah kadar terapi dari insulin, vit A, asetat, diazepam dan
nitrogliserin.

Reaksi Maillard

Walaupun bukan merupakan interaksi obat-obat, masalah ini perlu dikemukakan.


Reaksi Maillard adalah reaksi kimia antara asam amino dengan gula pereduksi.
Biasanya reaksi memerlukan panas. Seperti halnya karamelisasi, ini merupakan bentuk
diskolorasi coklat yang bersifat non-enzimatik. Gugus karbonil yang reaktif dari gula
bereaksi dengan gugus amino nukleofilik dari asam amino, untuk membentuk berbagai
molekul yang menimbulkan berbagai warna dan aroma. Reaksi Maillard terjadi bila
asam amino dan glukosa dikandung dalam satu wadah. Karena asam amino dan
glukosa intravena perlu diberikan sekaligus, suatu pendekatan yang pintar adalah
menghasilkan kantong dengan dua kamar di mana glukosa dan asam amino dipisah.
Asam amino dan glukosa dicampur dulu sebelum diberikan ke pasien.

5. Inkompatibilitas Obat
Adakalanya pejabat di pabrik farmasi dikejutkan oleh datangnya suatu klaim
dari seorang dokter. Dalam klaim disebutkan bahwa obat dari pabrik tersebut
terdapat kelainan. Jenis kelainan produk yang dikeluhkan biasanya macam-macam,
ada yang mengatakan produk berubah warna atau larutan obat suntik yang asalnya
jernih menjadi keruh atau timbul endapan. Penyampaian klaim pada umumnya
disertai dengan contoh obatnya. Dari pengalaman kasus-kasus tersebut dapat
dikatakan bahwa banyak kelainan obat terjadi karena masalah inkompatibilitas obat
(tidak tercampurkannya suatu obat) yaitu pengaruh-pengaruh yang terjadi jika obat
yang satu dicampurkan dengan yang lainnya (Wangsaputra, 1981).
Inkompatibilitas obat dapat dibagi atas 2 golongan yaitu:
a. Inkompatibilitas Fisika
Yang dimaksudkan dengan inkompatibilitas fisika atau tak tercampurkannya
obat secara fisika ialah terjadinya perubahan-perubahan yang tidak diinginkan pada
waktu mencampur bahan obat-obatan tanpa ada perubahan susunan kimianya. Selain
itu bahan obat yang jika dicampurkan tidak memberikan suatu campuran yang sama
dapat disebut pula tak tercampurkan secara fisika. Contoh inkompatibilitas fisika
yaitu:
10
1). Meleleh atau menjadi basahnya campuran serbuk
Terjadi karena titik lebur campuran lebih rendah dari temperatur kamar. Jika
dua macam serbuk yang kering dicampurkan dan terjadi lelehan atau campuran
menjadi lembab. Hal ini dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a) Penurunan titik cair
b) Penurunan tekanan uap relatif
Dalam beberapa hal, melelehnya suatu campuran serbuk disebabkan karena
campurannya lebih higroskopis daripada masing-masing zatnya. Higroskopisnya
suatu zat tergantung dari tekanan uap dari larutan jenuh zat tersebut. Jika tekanan uap
ini lebih kecil daripada derajat kelembaban rata-rata dari udara maka zat tersebut
akan menarik air dari udara dan meleleh.
c) Bebasnya air hablur, disebabkan oleh terbentuk suatu garam rangkap dengan air
hablur yang lebih sedikit daripada garam-garam penyusunnya atau bebasnya air
disebabkan oleh terjadinya suatu rekasi kimia.
2) Tidak dapat larut dan obat-obat yang apabila disatukan tidak dapat bercampur
secara homogen. Pada pencampuran bahan obat-obatan kemungkinan campuran yang
terbentuk tidak serba sama hal ini disebabkan oleh pencampuran zat-zat padat dan
zat-zat cair. Zat-zat padat tersebut tidak dapat larut dalam zat cair atau jika kita
mencampurkan zat-zat cair yang tidak bercampur.
3) Penggaraman (salting out)
Yang diartikan dengan penggaraman ialah pengurangan kelarutan dari zat-zat
dengan jalan menambahkan garam-garam atau zat-zat yang dapat larut kedalam
larutannya sehingga zat tersebut tidak lagi dalam keadaan terlarut. Peristiwa ini
11
tergantung dari konsentrasi. Hal ini juga sangat penting untuk garam-garam alkaloida
dan bahan-bahan yang berkhasiat keras lainnya, karena jika bahan-bahan tersebut
tidak dapat larut akan mengendap pada dasar botol dan dengan jalan penggojokan
sukar membagikannya sama rata. Sehingga ada kemungkinan bahwa penderita akan
meminum obatnya dengan takaran yang terlampau besar pada sendok yang terakhir.
4) Adsorpsi obat yang satu terhadap obat yang lain.
Adsorpsi adalah suatu peristiwa fisika yang harus diperhatikan. Macam bahan
yang dapat mengadsorpsi misalnya: Carboadsorben, carbo ligni, bolus alba, kaolin,
dan MgO. Carbo dapat mengadsorpsi zat-zat elektronegatif maupun elektropositif
oleh sebab itu carbo dapat dikatakan sebagai pengabsorpsi umum. Bolus alba dan
kaolin mengadsorpsi alkaloida-alkaloida dan zat-zat warna yang basa. Zat-zat yang
telah diikat dengan jalan adsorpsi pada umumnya sukar dilepaskan oleh zat
pengadsorpsi. Kombinasi dari bahan-bahan pengadsorpsi yang kuat dengan garam
alkaloida harus dihindarkan karena sesudah diadsorpsi alkaloida sangat sukar
terlepas dari zat pengadsorpsi sehingga tidak berkhasiat atau khasiatnya berkurang
(Arkel, 1963).

You might also like