You are on page 1of 66

ʑ  

Bryophyta adalah tumbuhan tingkat rendah yang sudah menunjukkan

diferensiasi tegas antara organ penyerap hara dan organ fotosintetis namun belum

memiliki akar dan daun sejati. Bryophyta merupakan tumbuhan pelopor yang

tumbuh disuatu tempat sebelum tumbuhan lain mampu tumbuh. Sebagian besar

Bryophyta berukuran kecil, yang terkecil hampir tidak tampak tanpa bantuan

lensa, sedangkan yang terbesar memiliki tinggi atau panjang tidak lebih dari 50

cm (Ikhwana, 2003; Loveless, 1989).

Umumnya, Bryophyta tidak diserang oleh bakteri, jamur, serangga, keong,

dan siput. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa Bryophyta mengandung ñ  

ñ 
Bryophyta telah digunakan sebagai tanaman obat di Amerika Utara,

China, dan Eropa. Beberapa jenis Bryophyta seperti ñ ñ ñ   ñ

digunakan dalam bentuk dekokta, tetapi ada juga yang digunakan dengan cara

dihaluskan terlebih dahulu kemudian dicampur dengan minyak untuk

menghasilkan sediaan salep seperti  ñ   . Salep yang

dihasilkan ini digunakan untuk mengobati luka bakar, luka karena sayatan atau

luka luar lainnya. Beberapa jenis dari genus   dan


  

menunjukkan aktivitas diuretik dan abunya dapat digunakan untuk merangsang

pertumbuhan rambut kepala (Asakawa, 1995).

Bryophyta atau yang kita kenal sebagai lumut terbagi tiga kelas, yaitu

Hepaticae (Liverwort, 6000 spesies), Anthocerotae (Hornwort, 300 spesies), dan

Musci (Mosses, 14000 spesies). Delapan persen diantaranya telah diteliti dan

c
dilaporkan kandungan kimianya. Beberapa diantaranya dilaporkan mempunyai

aktivitas biologis seperti: antitumor (Pññ ñ


  ññ,  ñ 
 ),

antimikroba dan antifungi (  ñ


 ñ, spesies Pññ ñ
dan spesies

 ñ ñ), antipiretik ( ñ ñ ñ


  ñ, P 
ñ  ) (Asakawa,

1995).

Dari kegiatan survey yang dilakukan di Gunung Talang, Kabupaten Solok

pada bulan Mei 2009 ditemukan jenis lumut yang menempel di bagian bawah

pohon-pohon besar dan pada bagian pohon yang sudah mati. Lumut ini

diidentifikasi sebagai Pññ ñ sp (no koleksi TM059) yang termasuk ke dalam

Hepaticeae.

Telah dilaporkan distribusi dari seskuiterpenoid dari tujuh spesies

Pññ ñ, P.   ñ, P. ñ ñ, P. ñ ñ, P.   ññ, P.   , P.

  ññ dan P.  ññ ñ. ñ ñ  dari spesies Pññ ñ adalah

barbaten (i) dan bazzanen (ii). Akan tetapi P.  ñ , P. ñ ñ dan P.

 ñ ñ yang dikoleksi di Malaysia Timur tidak mengandung senyawa kimia

yang serupa dengan spesies Pññ ñ yang telah disebutkan sebelumnya

(Asakawa, 1995).

Beberapa spesies Pññ ñ yang telah diteliti kandungan kimia dan

bioaktivitasnya, antara lain : P. ñ ñ


(Jepang) mengandung albicanol asetat

(iii) yang mempunyai potensi ñ ñ . B


   (Taiwan) mengandung

tridensenal (iv) yang mempunyai potensi antimikroba (Asakawa, 1991; Toyota,

1988).

Ô
Dari penelusuran literatur diketahui bahwa genus Pññ ñ di Indonesia

belum pernah dilaporkan kandungan kimia dan bioaktivitasnya. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengisolasi senyawa kimia utama dari lumut Pññ ñ

sp (ex Gunung Talang) yang boleh jadi merupakan senyawa baru atau senyawa

dengan bioaktivitas yang menarik untuk diteliti.

Metoda yang digunakan dalam isolasi ini adalah penyarian sampel secara

maserasi bertingkat, pemisahan senyawa dengan cara kromatografi kolom, dan

rekristalisasi. Karakterisasi senyawa hasil isolasi dilakukan secara organoleptis,

penentuan jarak leleh dan spektrofotometer UV-Vis, spektrofotometer Inframerah,

spektrometer Massa, dan spektrometer (1 H dan 13


C) Resonansi Magnetik Inti

(RMI).

 

ë
ÊÊ ‘ [ʁ [


 

 [ 

 Bryophyta adalah sebuah divisi tumbuhan darat yang sudah jelas

batasannya antara akar, batang, dan daun, namun belum memiliki akar dan daun

sejati. Bryophyta atau lumut merupakan tumbuhan pelopor yang tumbuh disuatu

tempat sebelum tumbuhan lain mampu tumbuh, ini terjadi karena tumbuhan lumut

berukuran kecil, tetapi membentuk koloni yang dapat menjangkau area luas.

Sebagian besar Bryophyta berukuran kecil, yang terkecil hampir tidak nampak

dengan bantuan lensa, sedangkan yang terbesar tinggi atau panjangnya tidak

pernah lebih dari 50 cm (Ikhwana, 2003; Loveless, 1989).

Bryophyta memiliki ciri-ciri berikut : (Schefield, 1985; Ikhwana, 2003;

Tjitrosoepomo, 1989).

1.‘ Bryophyta adalah tanaman darat hijau, memiliki klorofil A dan

B, dinding selulosa dan terkadang memiliki kutikula.

2.‘ Sporofitnya berumur pendek sampai tahunan.

3.‘ Sporofitnya tidak bercabang dang menghasilkan sporangium

terminal.

4.‘ Sebagian besar terrestrial.

5.‘ Memiliki tallus, kecuali pda tingkatan protonema, tidak

berfilamen dan terdapat banyak sel parenkim.

6.‘ Reproduksi aseksual pada organ vegetatif.

ÿ
ü.‘ Reproduksi terjadi pada meiospora.

8.‘ Organ seksual multiselluler, yang dilindungi oleh organ

vegetative dengan pembungkus pada organ vegetatif.

9.‘ Reproduksi seksual dengan oogami.

10.‘Reproduksi aseksual dengan gemma.

11.‘Organ seksual betina (arkegonium) berbentuk seperti botol

(flask-shaped) yang merupakan karakteristik dari tumbuhan

tanah.

12.‘Organ seksual jantan (anteridium) berbentuk seperti botol atau

gada.

13.‘Zigot hampir bebas tidak melewati fase istirahat.

14.‘Gametofit independent, sporofit tergantung gametofit.

15.‘Perkembangan embrio setelah penyatuan gamet.

Bryophyta dapat dikenal dari strukturnya dan dapat dibedakan dengan

tumbuhan lain melalui daur hidupnya. Daur hidup Bryophyta mengalami

pergiliran keturunan antara generasi gametofit yang berkembang biak secara

seksual dengan generasi sporofit yang berkembang biak dengan spora (Ikhwana,

2003).

x
Skema kerja pergiliran keturunan Bryophyta (Tjitrosoepomo, 1989).

Spora

Tumbuhan Lumut

Anteridium Arkegonium

Spermatozoid Sel telur

Zigot

Sporongium

Kotak spora

Sel induk spora

Spora
Gambar 1. Skema pergiliran keturunan Bryophyta

Spora yang kecil dan haploid, berkecambah menjadi suatu protalium yang

pada lumut dinamakan protonema. Protonema pada lumut ada yang menjadi

besar, ada pula yang menjadi kecil. Pada protonema ini terdapat kuncup-kuncup

yang tumbuh dan berkembang menjadi tumbuhan lumutnya. Setelah sel telur

dibuahi oleh spermatozoid yang bentuknya seperti spiral, maka zigot tidak

memerlukan waktu istirahat dulu, tetapi terus berkembang menjadi embrio yang

è
diploid. Bagian bawah embrio masuk kedalam jaringan lumut yang lebih dalam

dan berfungsi sebagai alat penghisap. Embrio lalu tumbuh menjadi suatu badan

yang bulat atau jorong dengan tangkai pendek atau panjang dan disebut

sporogonium, sporogonium berkembang menjadi kotak spora yang lalu

membentuk sel induk spora yang tumbuh kembali menjadi spora (Tjitrosoepomo,

1989).

Bryophyta terbagi atas tiga kelas, yaitu kelas Hepaticeae (Liverworts),

Anthocerote (Hornworts), dan Musci (Mosses).

  

 Hepaticeae biasa disebut lumut hati, biasanya hidup ditempat-tempat yang

basah. Dalam tubuhnya terdapat alat penyimpanan air, dengan kata lain lumut hati

dapat menjadi kering tanpa menyebabkan kematiannya. Yang bersifat epifit ada

yang dapat hidup pada daun pohon-pohon dalam rimba daerah tropika

(Tjitrosoepomo, 1989).

Hepaticeae berbeda dengan kelas tumbuhan lumut yang lainnya.

Hepaticeae mengandung sejenis minyak dalam tubuhnya atau dikenal sebagai ³

´ dan kandungan minyak ini tidak ditemukan pada kelas tumbuhan lumut

lainnya. ³ ´ dari lumut hati mengandung senyawa metabolit sekunder

terutamanya adalah golongan terpenoid dan aromatik. Beberapa dari senyawa ini

telah diketahui memiliki aktivitas farmakologis yang menarik (Asakawa, 1995).

Berdasarkan struktur gametofit, Hepaticeae dibagi atas 6 bangsa : bangsa

Calobryales, Jungermanniales, Metzgeriales, Sphaerocarpales, Monocleales,

Marchantiales (Schefield, 1985; Ikhwana, 2003).

ü
  

 Lumut tanduk merupakan kelompok kecil yang berkerabat dengan

bryophyta lainnya tetapi cukup berbeda untuk memisahkannya dalam kelas

tersendiri yang mencakup kira-kira 300 spesies. Genus yang paling terkenal

adalah Anthoceros, dan spesies-spesiesnya agak umum dijumpai di tepi sungai

atau danau dan seringkali disepanjang selokan, tepi jalan yang basah atau lembab

(Julita, 2009).

Tubuh utama berupa gametofit yang mempunyai talus berbentuk cakram

dengan tepi bertoreh, biasanya melekat pada tanah dengan perantara rizoid-rizoid.

Susunan tubuh talus masih sederhana, sel-selnya hanya mempunyai satu kloroplas

dengan satu pironaid besar. Pada sisi bawah talus terdapat stoma dengan dua sel

penutup berbentuk ginjal. Sporofit umumnya berupa kapsul yang berbentuk

silinder dengan panjang antara 5-6 cm. Pangkal sporofit dibungkus dengan

selubung dari jaringan gametofit (Tjitrosoepomo, 1989).

Anthocerote berkembang biak secara seksual dengan membentuk

anteridium dan arkegonium. Anteridium terkumpul pada suatu lekukan sisi atas

talus. Arkegonium juga terkumpul pada suatu lekukan pada sisi atas talus. Zigot

mula-mula membelah menjadi dua sel dengan satu dinding pisah melintang. Sel

yang diatas terus membelah yang merupakan sporogonium, diikuti juga oleh sel

bagian bawah yang membelah terus-menerus membentuk kaki sporogonium. Bagi

sporogonium kaki itu berfungsi sebagai alat penghisap, bila sporogonium masak

akan pecah seperti buah polongan, menghasilkan jaringan terdiri dari beberapa

deretan sel-sel mandul yang dinamakan kolumela. Kolumela ini diselubungi oleh

G
jaringan yang kemudian akan menghasilkan spora, yang disebut arkespora, secara

aseksual, dengan pembentukan spora (Tjitrosoepomo, 1989).

  

 Lumut sejati/lumut daun merupakan tumbuhan kecil yang memiliki batang

semu yang tegak dengan lembaran daun yang tersusun spiral. Lumut ini memiliki

kutikula dari stomata sehingga mencegah hilangnya air dalam selnya. Memiliki

bagian yang menyerupai batang dan daun, tubuhnya umunya tegak, berdaun

serupa sisik yang rapat, padat, dan memipih-menumpuk (Julita, 2009).

Lumut daun dapat tumbuh diatas tanah-tanah yang gundul yang periodik

mengalami masa kekeringan, bahakan diatas pasir yang bergerakpun tumbuhan

ini dapat hidup, dapat pula kita temukan diantara rumput-rumput, diatas cadas,

pada batang-batang dan cabang-cabang, bahkan ada yang pada daun-daun, pohon-

pohon, di rawa-rawa, tetapi jarang ditemukan di dalam air. Karena tempat

tumbuhnya yang bermacam-macam itu, maka tubuhnya memperlihatkan struktur

yang bermacam-macam pula. Kebanyakan lumut daun suka pada tempat-tempat

yang basah, tetapi ada pula yang tumbuh ditempat-tempat yang kering

(Tjitrosoepomo, 1989).

(a) (b) (c)

Gambar 2. Bryophyta. (a) kelas Hepaticea. (b) kelas Anthocerote.


(c) kelas Musci

0
 [   P   

 
   

Pññ ñ sp diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Bryophyta

Kelas : Hepaticeae

Ordo : Jungermaniales

Family : Lepidoziaceae

Genus : Pññ ñ

Spesies : Pññ ñ sp

     

Sekarang ini lebih dari seratus genus Pññ ñ telah ditemukan dan

diidentifikasi. Spesies-spesies dari genus ini banyak tersebar di Eropa, New

Zealand, Jepang, Chili, Peru, Cina, Australia dan Amerika. (Asakawa, 1995) .

Sebagian besar genus Pññ ñ


tumbuh di daerah tropis dan subtropis,

yang kaya akan berbagai jenis metabolit sekunder. Genus


Pññ ñ biasa tumbuh

ditempat yang lembab atau basah, dapat menempel di batang-batang pohon besar

atau menempel di tanah ( Scher, Zapp & Becker, 2003).

 


 

ñ ñ  dari genus Pññ ñ adalah barbatane (i) dan bazzanane

(ii). Telah dilaporkan kandungan kimia dan kegunaan dari genus Pññ ñ, antara

lain albicanol asetat (iii) dari P. ñ ñ mempunyai aktivitas ñ ñ 

tridensenal (iv) dari P.    mempunyai aktivitas antimikroba, siklomiltailil-3-

c
kafeat (v) dari P. ñ ñ mempunyai aktivitas    ñ   .

Dari P.   ññ
diisolasi enam seskuiterpenoid yang mempunyai aktivitas

antifungi yaitu 5-hidroksikalamen (vi), ü-hidroksikalamen (vii), drimenol (viii),

drimenal (ix), viridiflorol (x), gimnomitrol (xi) (Asakawa, 1995 ; Scher,

Speakman, Zapp & Becker, 2004).


ô

¦ ¦ 


¦  ¦ 





¦    
 ¦   Ô
¦    
 ¦   

ô ô
ô

¦  ¦ 

Gambar 3. Struktur senyawa hasil isolasi dari beberapa genus Pññ ñ

cc
      

    

Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan senyawa-senyawa kimia dari

tumbuh-tumbuhan, hewan, dan lain-lain menggunakan pelarut tertentu. Faktor-

faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi, antara lain : tipe persiapan sampel,

waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut, tipe pelarut.

Teknik yang umum untuk ekstraksi senyawa kimia adalah cara maserasi,

sokletasi, perkolasi dan perebusan. Maserasi merupakan proses penyarian

sederhana yaitu dengan merendam sampel dalam pelarut yang sesuai selama 3-5

hari sambil sesekali dikocok. Pelarut dengan mudah akan menembus dinding sel

dan masuk ke dalam sel yang mengandung metabolit. Senyawa metabolit akan

larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan senyawa metabolit

di dalam sel dengan yang di luar sel maka larutan yang konsentrasinya lebih tinggi

akan berdifusi keluar. Peristiwa tersebut berulang hingga terjadi keseimbangan

konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Keuntungan dari metode ini

adalah peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya antara lain:

waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari

yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang

mempunyai tekstur keras (Harborne, 198ü).

Sokletasi merupakan teknik penyarian dengan pelarut organik

menggunakan alat soklet. Pada cara ini pelarut dan sampel ditempatkan secara

terpisah. Prinsipnya adalah penyarian komponen kimia yang dilakukan dengan


cara serbuk simplisia ditempatkan dalam slonsong yang telah dilapisi kertas saring

sedemikian rupa, cairan penyari dipanaskan dalam labu alas bulat sehingga

menguap dan dikondensasi menjadi molekul-molekul cairan penyari yang jatuh ke

dalam slonsong menyari zat aktif di dalam simplisia dan jika cairan penyari telah

mencapai permukaan sifon, seluruh cairan akan turun kembali ke labu alas bulat

melalui pipa kapiler hingga terjadi sirkulasi. Ekstraksi sempurna ditandai bila

cairan di sifon tidak berwarna, tidak tampak noda jika ditotolkan pada plat KLT,

atau sirkulasi telah mencapai 20-25 kali. Ekstrak yang diperoleh dikumpulkan dan

dipekatkan.

Keuntungan metode ini antara lain:

1.‘ Dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan

terhadap pemanasan secara langsung

2.‘ Pelarut yang digunakan lebih sedikit

3.‘ Pemanasannya dapat diatur

Kerugian dari metode ini antara lain:

1.‘ Karena pelarut didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah di

sebelah bawah terus-menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan

reaksi penguraian oleh panas

2.‘ Jumlah total senyawa-senyawa yang diekstraksi akan melampaui

kelarutannya dalam pelarut tertentu sehingga dapat mengendap dalam

wadah dan membutuhkan volume pelarut yang lebih banyak untuk

melarutkannya


3.‘ Bila dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak cocok untuk

menggunakan pelarut dengan titik didih yang terlalu tinggi, seperti

metanol atau air, karena seluruh alat yang berada di bawah kondensor

perlu berada pada temperatur ini untuk pergerakan uap pelarut yang

efektif.

Metode ini terbatas pada ekstraksi dengan pelarut murni atau campuran

azeotropik dan tidak dapat digunakan untuk ekstraksi dengan campuran pelarut,

misalnya, heksan : diklorometan, atau pelarut yang diasamkan atau dibasakan,

karena uapnya akan mempunyai komposisi yang berbeda dalam pelarut cair di

dalam wadah.

Perkolasi merupakan teknik penyarian dengan pelarut organik

menggunakan alat perkolator. Prinsipnya adalah penyarian zat aktif yang

dilakukan dengan cara serbuk simplisia dimaserasi selama 3 jam, kemudian

simplisia dipindahkan ke dalam bejana silinder yang bagian bawahnya diberi

sekat berpori, cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui simplisia

tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang

dilalui sampai keadan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh karena gravitasi,

kohesi, dan berat cairan di atas dikurangi gaya kapiler yang menahan gerakan ke

bawah. Perkolat yang diperoleh dikumpulkan, lalu dipekatkan. Kerugian metoda

ini membutuhkan pelarut yang relatif lebih banyak.

Perebusan merupakan teknik penyarian menggunakan pelarut air. Pada

cara ini sampel direndam dengan pelarut kemudian dipanaskan sampai mendidih.

Metoda perebusan merupakan metoda yang paling kuno dan sekarang hanya

cÿ
digunakan pada proses tertentu saja. Proses penyarian sering kurang sempurna dan

tidak dapat digunakan untuk mengestraksi senyawa termolabil.

    

Fraksinasi merupakan teknik pemisahan dengan menggunakan pelarut

yang saling tidak bercampur dengan kepolaran yang berbeda. Fraksinasi dimulai

dari pelarut nonpolar hingga pelarut polar.

   

Metoda yang umum digunakan untuk memisahkan komponen-komponen

senyawa, yaitu metoda kromatografi Untuk tujuan kualitatif dapat digunakan

Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Sedangkan untuk pemisahan senyawa dalam

jumlah besar dapat digunakan kromatografi kolom (Gritter, Bobbit, & Schwarting,

1991; Stahl, 1969).

Pemisahan pada kromatografi berdasarkan pada perbedaan distribusi

komponen pada fasa diam dan fasa gerak. Fasa diam (adsorben) dapat berupa zat

padat yang disusun secara merata didalam suatu kolom (kromatografi kolom) dan

fasa gerak berupa eluen yang akan lewat didalamnya akibat pengaruh gaya

gravitasi. Atau berupa plat tipis (kromatografi lapis tipis) dimana eluen dibiarkan

meresap naik berdasarkan gaya kapilaritas. Komponen yang akan dipisahkan

mempunyai aktivitas yang berbeda terhadap adsorben sehingga komponen yang

non polar dan yang polar akan terpisah. Pada kromatografi kolom fasa diam yang

akan digunakan dapat berupa silika gel. Sedangkan fasa geraknya dapat dimulai

cx
dari pelarut non polar kemudian kepolaran ditingkatkan secara bertahap, baik

dengan pelarut tunggal atau kombinasi dua pelarut yang berbeda kepolarannya

dengan perbandingan tertentu sesuai dengan tingkat kepolaran yang dibutuhkan.

Kromatografi lapis tipis dapat dipakai untuk memilih sistem pelarut yang akan

digunakan pada kromatografi kolom.

Fraksi yang keluar dari kolom kromatografi ditampung dan dimonitor

dengan kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi dengan nilai Rf yang sama

digabung, kemudian pelarutnya diuapkan sehingga akan diperoleh beberapa

fraksi. Bercak pada plat KLT dideteksi dengan penampak bercak lampu ultraviolet

Ȝ254nm dan Ȝ365nm untuk senyawa-senyawa yang mempunyai gugus kromofor.

Senyawa hasil isolasi diharapkan berupa senyawa murni. Salah satu cara

pemurniannya adalah dengan rekristalisasi. Secara garis besar proses kristalisasi

dilakukan dengan cara sebagai berikut: melarutkan hasil isolasi dalam pelarut

yang sesuai dekat titik didihnya, penyaringan larutan panas dari partikel yang

tidak larut, pemisahan kristal dari larutan induk. Proses ini diulangi beberapa kali

sampai senyawa yang murni dengan suhu lebur yang konstan. Bila senyawa sukar

larut dalam pelarut tunggal dapat digunakan pelarut campur. Senyawa tersebut

dilarutkan dalam pelarut yang mudah melarutkannya kemudian ditambahkan

pelarut lain yang bisa bercampur dalam keadaan panas sampai timbul kekeruhaan.

Panaskan kembali atau tambahkan pelarut mula-mula untuk menghilangkan

kekeruhan, biarkan pada suhu kamar atau dinginkan sampai timbul kristal. Contoh

pelarut campur yang dapat digunakan adalah alkohol-air, alkohol-aseton, metanol-

kloroform. Jika pada proses rekristalisasi tidak dapat terjadi pembentukkan kristal


dalam larutan yang telah dingin, maka dapat dilakukan pemancingan

pembentukkan kristal dengan cara menambahkan biji-biji kristal sehinga

terbentuk pusat pembentukkan kristal atau dapat pula dilakukan dengan cara

menggores dinding bejana dengan batang kaca.

  

Penentuan struktur senyawa kimia dapat dilakukan secara fisikokimia

seperti menggunakan Spektrofotometer Inframerah, Spektrofotometer UV-Vis,

Spektrometer Resonansi Magnet Inti (RMI), dan Spektrometer Massa (Silverstein,

Bassler & Morrill, 1981; Fessenden, 1982).

    Ê  

Suatu molekul yang menyerap sejumlah energi yang diberikan oleh suatu

radiasi elektromagnetik dapat mengalami berbagai jenis eksitasi. Eksitasi ini dapat

berupa elektronik rotasi, perubahan orientasi spin inti, deformasi ikatan dan

sebagainya. Hal ini disebabkan karena setiap jenis ikatan eksitasi memerlukan

sejumlah energi yang tertentu maka absorpsi yang bersangkutan timbul didalam

daerah spektrum elektomagnetik yang berbeda pula. Daerah spektrum inframerah

meliputi panjang gelombang 0,ü5-300 µm. Spektrum inframerah hanya akan

terlihat apabila molekul mengalami perubahan momen dipol selama terjadi

getaran.(Silverstein,  ñ ., 1981; Gauglitz, 2003).


Spektrum Inframerah dapat memberikan informasi jenis gugus fungsi

seperti hidroksi (-OH), amida (CONH), karbonil (keton, karboksilat, ester, amida),

aromatic dan ikatan rangkap (CH=CH) ( Jenie, Kardono, Rumampuk, &

Darmawan., 2006).

     

Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan

intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar

ultraviolet dan cahaya tampak mempunyai energi yang cukup untuk

mempromosikan electron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi.

Spektroskopi UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul atau ion anorganik atau

kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan

hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini.

Tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif.

Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur

absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum

Lambert-Beer (Silverstein,  ñ ., 1981)

Spektrofotometer UV-Vis pada umumnya digunakan untuk menentukan

jenis kromofor, menjelaskan informasi dari struktur suatu senyawa dan

menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan hukum

Lambert-Beer (Silverstein,  ñ ., 1981)

cG
      Ê  Ê

Inti dari atom-atom tertentu akan mempunyai spin, dimana dari spin ini

akan menghasilkan momen magnetik. Jika inti yang berputar diletakkan di dalam

medan magnet, maka sesuai dengan hukum kuantum mekanik, momen

magnetiknya akan searah (paralel dan mempunyai energi yang lebih rendah) atau

berlawanan arah (anti paralel dan mempunyai energi yang lebih tinggi) dari arah

medan magnet yang diberikan (Jenie,  ñ ., 2006)

Jika suatu energi yang diberikan pada inti berada dalam medan magnet,

maka inti yang berada dalam keadaan paralel akan berubah arahnya menjadi

antiparalel (beresonansi). Spektroskopi RMI ini terbagi atas dua, yaitu:

1.‘ Spektroskopi 1 H RMI

Memberikan informasi nilai pergeseran kimia dan jumlah proton serta

memberikan informasi struktur suatu senyawa organik.

2.‘ Spektroskopi 13C RMI

Memberikan informasi jumlah dan pergeseran kimia dari karbon serta

memberikan informasi struktur senyawa organik.

Kemudian perkembangan lebih lanjut didapatkan hubungan-hubungan

antara proton dengan 13C RMI dalam bentuk gambaran 2 dimensi seperti:

~‘ COSY (Correlation Spectroscopy)

~‘ HSQC (Heteronuclear Single Quantum Coherence)

~‘ HMBC (Heteronuclear Multiple Bond Coherence)

~‘ DEPT (Distortionless Enhancement by Polarization Transfer)

c0
~‘ TOCSY (Total Correlation Spectroscopy)

~‘ NOESY (Nuclear Overhauser and Exchange Spectroscopy)

(Jenie,  ñ ., 2006).

!  "[  

!  [ 

Terpenoid merupakan suatu senyawa yang hanya mengandung atom

carbon, hidrogen atau karbon, hidrogen dan oksigen yang tidak bersifat aromatik.

Senyawa ini banyak tersebar luas pada tumbuh-tumbuhan, terutama yang

mengandung klorofil dan sedikit sekali dari bakteri dan hewan.

Terpenoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang dibangun oleh

dua atau lebih unit atom C5 yang disebut unit isopren (2-metil-1,3-butadiena).

Unit-unit isopren tersebut saling berikatan secara teratur dalam molekul, dimana

³kepala´ dari unit yang satu berikatan dengan ³ekor´ dari unit yang lain.

Keteraturan mengenai struktur terpenoid disebut kaidah isopren (Harbone, 198ü).

£ 

£ 

Gambar 4. Unit isopren

Berdasarkan jumlah unit isopren yang membangunnya, senyawa terpenoid

dapat dibagi atas beberapa golongan yaitu : monoterpenoid, seskuiterpenoid,

Ô
diterpenoid, triterpenoid, tetraterpenoid dan politerpenoid (Harbone, 198ü ; Mann,

Davidson, Banthorpe &Harborne, 1994).

Tabel I. Klasifikasi terpenoid

No. Nama Jumlah Isopren Rumus Kimia Contoh

1. Monoterpenoid Dua C10H16 mirsen

2. Seskuiterpenoid Tiga C15H24 farnesol

3. Diterpenoid Empat C20H32 phytol

4. Triterpenoid Enam C30H48 lanosterol

5. Politerpenoid > Delapan (C5 H8)n |-Carotene

 

M  


GMb 5. C 
 w   d

T  d Mcku juM


b  w g b d u

Mku g M. T  d Mu k  w M b kud g

kgk  uk u  d bgu 


du  u b
u C5  u u   (2-

Ôc
metil-1,3-butadiena) yang menyebabkan terbentuknya keanekaragaman struktur

terpenoid. Berdasarkan sejarah, nama terpen diberikan kepada hidrokarbon yang

ditemukan dalam minyak terpentin ( Brunetton, 1999).

Semua terpenoid diduga dibangun dari penggabungan sejumlah unit 2-

metil-1,3-butadiena. Wallach (188ü) telah memperkirakan bahwa terpenoid

dibangun dari sejumlah unit isopren dan beberapa tahun kemudian Ruzicka (1953)

menyatakan hipotesis tentang kaidah pembentukan terpenoid. Kaidah tersebut

menyatakan bahwa tiap-tiap kelompok terpenoid berasal dari penggabungan

secara kepala ke ekor berselang-seling sejumlah unit isopren. Perbedaan struktur

tiap kelompok terpenoid terbukti melibatkan beberapa reaksi, seperti siklisasi,

perubahan gugus fungsi dan penataan ulang (Brunetton, 1999 ; Mann, 1994)

Kaidah pembentukan terpenoid dianggap umum, sehingga benar atau

tidaknya suatu struktur dapat dinilai dengan memperlihatkan apakah sesuai

dengan kaidah ini. Penyimpangan kaidah ini dapat terjadi, tetapi unit-unit isopren

masih dapat dikenali. Penyimpangan ini terjadi akibat hilangnya satu atau lebih

ikatan kepala ke ekor, suatu bagian dari kerangka karbon tidak mempunyai sifat

isoprenik dan hilang atau bertambahnya atom karbon. Penyimpangan dari aturan

pembentukan dapat terjadi terutama pada triterpen dan steroida, yaitu melalui

reaksi tambahan seperti pemendekkan rantai dan reaksi penata ulang, contohnya :

terjadi pemindahan gugus CH3 (Mann, 1994).

Terpenoid umumnya dapat larut dalam lipid dan mempunyai sifat yang

mudah menguap. Golongan monoterpenoid berwujud cair dengan titik didih

ÔÔ
antara 140-180 oC, sedangkan golongan seskuiterpenoid juga berwujud cair

dengan titik didih yang lebih besar yaitu 200oC. Golongan diterpenoid

mempunyai sifat yang sukar menguap, sedangkan triterpenoid tidak menguap.

Golongan triterpenoid berbentuk padat berupa kristal dengan titik leleh tinggi dan

bersifat optis aktif.

Pada golongan tetraterpenoid karotenoid mempunyai sifat yang mudah

larut didalam lipid dan lebih banyak terhidroliksilasi, membentuk ikatan rangkap

dengan gugus alkena, asetilena atau diperpanjang oleh satuan isopren tumbuhan

menghasilkan karotenoid baru (C45/C50). Pigmen karotenoid bersifat tidak stabil

karena mudah teroksidasi di udara.

!     [  

Proses biosintesis terpenoid adalah sebagai berikut :

    
 
£ £ £ £
£ £ £ £

‘‘ ‘‘

 
£  £ 

  
£  

 £
   


£

£  £ 

 £  

 


Pada tahap awal dengan dikatalisis oleh enzim Asetoasetil-SCoA Tiolase

terjad reaksi kondensasi ester Claisen antara 2 molekul Asetil SCoA . Pada tahap

Ôë
kedua dengan katalis enzim Hidroksimetilglutaril-SCoA (HMG-SCoA) sintase

melalui reaksi aldol dihasilkan Asam Mevalonat (MVA). Reaksi-reaksi berikutnya

adalah fosforilasi, eliminasi asam fosfat dan dekarboksilasi menghasilkan

Isopentenil pirofosfat (IPP) yang selanjutnya berisomerasi menjadi Dimetilalil

pirofosfat (DMAPP) (Mann, 1994).

+ OPP Monoterpenoid
OPP
OPP
DMAPP IPP GPP

+ OPP
H

IPP

OPP Seskuiterpenoid
FPP
+
OPP 2 x FPP

GGPP
2x OPP Triterpenoid
Tetraterpenoid H

Diterpenoid
Gambar 6. Biosintesis terpenoid

IPP sebagai unit isopren aktif bergabung menurut kaidah isopren yaitu

melalui kepala-ekor dengan DMAPP yang merupakan langkah pertama dari

polimerisasi isopren untuk menghasilkan Terpenoid. Penggabungan terjadi karena

serangan elektron dari ikatan rangkap IPP terhadap atom C pada DMAPP yang

kekurangan elektron, diikuti pelepasan ion pirofosfat sehingga menghasilkan

Geranil pirofosfat (GPP) yaitu senyawa antara bagi senyawa monoterpenoid

(Mann, 1994).

Ôÿ
Penggabungan selanjutnya IPP dengan GPP dengan cara yang sama

menghasilkan Farnesil pirofosfat (FPP) yang merupakan senyawa antara bagi

senyawa seskuiterpenoid. Senyawa diterpenoid berasal dari penggabungan FPP

dengan IPP dan senyawa tetraterpenoid berasal dari penggabungan 2 molekul

diterpenoid (Mann, 1994).

!     

Seskuiterpenoid adalah kelas terpen yang terdiri dari tiga unit isoprene dan

memiliki rumus molekul C15H24. Seperti monoterpen, seskuiterpen mungkin

asiklik atau siklik, termasuk kombinasi yang menarik. Modifikasi biokimia seperti

oksidasi atau penataan menghasilkan seskuiterpenoid terkait. Seskuiterpenoid

ditemukan secara alami pada tumbuhan dan serangga sebagai ñ 

seperti agen pertahanan dan feromon.

Liverworts sangat kaya akan seskuiterpenoid seperti acorane, barbatane,

bazzanane, bergamotane, calamenane, caryophyllane, cuparane, drimane,

elemane, guaiane, humulane, vitrane dan lain-lain. Suatu sifat endogen yang

menarik karena sebagian besar seskuiterpenoid yang diisolasi dari liverworts

enansiomer dengan yang ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi (Asakawa,

1995).

!  
 "    

 Telah dilaporkan beberapa kegunaan senyawa seskuiterpenoid seperti

marsupellon dan asetoksimarsupellon dari ñ  ñ ñ  ññ


yang

menunjukkan aktivitas antitumor, Į-herbetenol dan ȕ-herbetenol dari   

Ôx
ñ  yang mempunyai aktivitas antifungi, albicanol asetat dari Pññ ñ

ñ ñ
mempunyai aktivitas ñ ñ .

 

Ôè
ÊÊÊ ‘  
  Ê[Ê

  #   

 Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, di Laboratorium Biota

Sumatera, Fakultas Farmasi, Universitas Andalas, Padang. Identifikasi sampel dan

pemeriksaan spektrum RMI dan MS di Tokushima Bunry University, Jepang.

     

   

 a. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat

alat destilasi, penangas air, ñ 


 ñ ñ (BUCHI®), seperangkat

kolom kromatografi, gelas ukur, plat tetes, pipet tetes, tabung reaksi, botol

infus 100 mL, vial, kapas, timbangan, hot plate, labu rotary, mesin

penghalus (Master ®), lampu UV254nm (CAMAG®), lampu UV365,

  !"-" ñ ñ 1ü00 (Shimadzu®), # 


 

$%&
# (Perkin Elmer®), spektometer 13
C RMI, spektrometer
1
H RMI dan  '
  
 
(ñ ñ

b. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan untuk pengerjaan isolasi adalah

lumut Pññ ñ  (ex Gunung Talang ), aquadest, logam magnesium,

asam klorida pekat, asam sulfat pekat, asam asetat anhidrat, besi (III)

klorida, pereaksi Mayer, heksan, vanillin/MeOH, H2SO4/MeOH, etil

Ôü
asetat, metanol, kloroform ammoniak, plat KLT (Kieselgel 60 F254,

Merck), sephadex LH-20, silika gel (Keiselgel 60 F254, Merck).

      

   

Sampel berupa lumut


Pññ ñ
sp (ex Gunung Talang) diambil di

Gunung Talang, Kabupaten Solok, pada bulan Mei 2009. Lumut Pññ ñ

sp dikeringkan, dipisahkan dari pengotor dan dihaluskan dengan mesin

penghalus (Master ®).

 Ê    

Identifikasi sampel (no koleksi TM 059) dilakukan di Herbarium

Laboratorium Biota Sumatera, Universitas Andalas, Padang, Sumatera

Barat dan dengan bantuan Prof. Dr. Yoshinori Asakawa dari Tokushima

Bunry University-Jepang.

   

  P   

a.‘ Pemeriksaan Alkaloid

Pemeriksaan alkaloid dilakukan dengan metoda Culvenor-

Fitzgerald yang dimodifikasi, 2-4 gram sampel digerus dalam lumpang,

tambahkan kloroform. Kemudian tambahkan 10 mL kloroform amoniak

0,5 N gerus lagi, saring campuran dengan kapas dan pindahkan pada

tabung reaksi lain. Tambahkan 5 mL asam sulfat (H2SO4 ) 2N, kocok

selama 1 menit dan biarkan sampai terjadi pemisahan. Ambil lapisan asam

menggunakan pipet tetes, pindahkan ke tabung reaksi lain, kemudian

ÔG
tambahkan beberapa tetes pereaksi Mayer. Reaksi positif ditandai dengan

adanya kabut putih hingga gumpalan putih (Culvenor, 1963).

b.‘ Pemeriksaan Steroid, Terpenoid, Saponin dan Senyawa Fenolik

Dilakukan berdasarkan metode Simes dkk. 2-4 gram sampel dipotong

kecil, didihkan dengan 25 mL etanol selama 15 menit, disaring panas dan

selanjutnya filtratnya diuapkan lagi sampai pelarutnya habis. Ekstrak

ditambahkan kloroform dan air sama banyak, lalu dikocok dan dibiarkan

sampai membentuk dua lapisan. Lapisan air digunakan untuk uji fenolik

dan saponin. Uji fenolik dilakukan dengan cara menambahkan beberapa

tetes FeCl3 pada larutan air, reaksi positif untuk fenolik bila terbentuk

warna biru. Uji saponin dilakukan dengan mengambil lapisan air

kemudian dikocok kuat di dalam tabumg reaksi lain, terbentuk busa yang

menetap selama 15 menit berarti positif adanya saponin. Lapisan

kloroform disaring dengan norit dalam pipet tetes dan dibiarkan

mengering, setelah kering ditambahkan asam asetat anhidrat dan asam

sulfat pekat. Terbentuknya warna merah menunjukkan reaksi positif

terpenoid, sedangkan warna biru atau hijau berarti positif steroid (Simes,

1959).

c.‘ Pemeriksaan Flavonoid

Dilakukan dengan metoda sianidin test. 2-4 gram sampel dipotong

halus, didihkan dengan 25 mL etanol dan disaring selagi panas. Filtrat

diuapkan sampai setengahnya. Ambil filtratnya dan teteskan pada plat

tetes lalu tambahkan beberapa tetes HCl pekat dan sebuk Mg,

Ô0
terbentuknya warna kuning sampai merah menunjukkan adanya flavonoid

(Harborne, 198ü).

 ‘   

Sebanyak 220 gram sampel kering lumut Pññ ñ  yang sudah

dihaluskan dengan mesin penghalus (Brook Crompton®). Kemudian

dimaserasi dengan -heksan tiga kali 900 mL selama tiga hari sambil

sesekali dikocok. Setelah tiga hari perendaman, maserat disaring dan

ampas dimaserasi kembali dengan pelarut yang sama hingga tiga kali.

Maserat yang didapat diuapkan pelarutnya secara 


ñ
sehingga

didapat ekstrak kental -heksan. Lalu ampas dimaserasi kembali dengan

etil asetat tiga kali 900 mL selama tiga hari. Setelah tiga hari perendaman,

maserat disaring dan ampas dimaserasi kembali dengan pelarut yang sama

hingga tiga kali. Maserat yang didapat diuapkan pelarutnya secara 

ñ
sehingga didapat ekstrak kental etil asetat.

 ‘Ê    "


    

Pemisahan ekstrak -heksan (4,5 gram) dengan menggunakan

kromatografi kolom dengan fasa diam silika gel 60 dan fasa gerak pelarut

-heksan; etil asetat; metanol yang kepolarannya ditingkatkan secara

bertahap (SGP). Kolom dibuat dengan memasukkan 90 gram bubur silika

gel, padatkan dengan ketukan perlahan pada dinding sehingga tidak ada

gelembung udara. Sampel dibuat menjadi serbuk preadsorbsi (ekstrak :

silika gel 1 : 1) dan dimasukkan ke dalam kolom yang telah disiapkan lalu

dielusi dengan komposisi eluen sebagai berikut :

ë
-heksan 100% 300 mL

-heksan : etil asetat 19 : 1 600 mL

-heksan : etil asetat 9 : 1 300 mL

-heksan : etil asetat 4 : 1 300 mL

-heksan : etil asetat 2 : 1 540 mL

-heksan : etil asetat 1: 1 200 mL

etil asetat 100% 300 mL

etil asetat : metanol 9:1 100 mL

etil asetat : metanol 4:1 100 mL

etil asetat : metanol 1:1 100 mL

metanol 100 % 100 mL

Eluat yang keluar ditampung dalam botol vial 15 mL dan diberi

nomor. Masing-masing vial dimonitor dengan cara menotolkan eluat pada

plat KLT dan dielusi dengan eluen yang sesuai, noda diamati dengan

lampu UV254 nm/UV365nm dan penampak noda vanillin sulfat, kemudian

noda dengan Rf yang sama digabung. Hasil gabungan didapat 5 subfraksi

yaitu A, B, C, D, dan E. Proses pemurnian selanjutnya dapat dilakukan

dengan cara kromatografi kolom atau metoda-metoda pemisahan senyawa

lainnya sampai didapatkan senyawa murni.

ëc
 !‘Ê      "
        



Pemisahan ekstrak etil asetat (4 gram) dengan menggunakan

kromatografi vakum cair (KVC) dengan fasa diam silika gel 60 dan fasa

gerak pelarut -heksan; etil asetat; metanol yang kepolarannya

ditingkatkan secara bertahap (SGP). Kolom dibuat dengan memasukkan

60 gram bubur silika, padatkan dengan ketukan perlahan sehingga tidak

ada gelembung udara. Sampel dibuat menjadi serbuk preadsorbsi (ekstrak :

silika gel 1 : 1) dan dimasukkan ke dalam kolom yang telah disiapkan

lalu dielusi dengan komposisi eluen sebagai berikut :

-heksan 100% 200 mL

-heksan : etil asetat 19 : 1 200 mL

-heksan : etil asetat 9 : 1 300 mL

-heksan : etil asetat 4 : 1 400 mL

-heksan : etil asetat ü : 3 300 mL

-heksan : etil asetat 3 : 2 300 mL

-heksan : etil asetat 1 : 1 ü00 mL

etil asetat 100% 500 mL

etil asetat : metanol 9 : 1 100 mL

etil asetat : metanol 4 : 1 100 mL

etil asetat : metanol ü : 3 100 mL

etil asetat : metanol 3 : 2 100 mL

etil asetat : metanol 1 : 1 100 mL

ëÔ
metanol 100% 300 mL

Eluat yang keluar ditampung dalam botol infus 100 mL dan diberi

nomor. Masing-masing botol dimonitor dengan cara menotolkan eluat

pada plat KLT dan dielusi dengan eluen yang sesuai, noda diamati dengan

lampu UV254nm/UV365nm, dan penampak noda vanillin sulfat kemudian

noda dengan Rf yang sama digabung. Hasil gabungan didapat 9 subfraksi

dan diberi kode A, B, C, D, E, F, G, H, dan I. Proses pemurnian

selanjutnya dapat dilakukan dengan cara kromatografi kolom atau metoda-

metoda pemisahan senyawa lainnya sampai didapatkan senyawa murni.

 ‘
    " Ê 

Karakterisasi senyawa hasil isolasi meliputi pemeriksaan

organoleptis, pemeriksaan kandungan kimia, pemeriksaan KLT dan

pemeriksaan fisikokimia. Sebagai tambahan, untuk senyawa dalam bentuk

kristal, dilakukan penentuan jarak leleh dengan menggunakan  

'
  
 
(ñ ñ

1.‘ Pemeriksaan Organoleptis

Pemeriksaan ini dilakukan secara visual meliputi

pemeriksaan bentuk dan warna senyawa hasil isolasi.

2.‘ Pemeriksaan Kimia

Pemeriksaan ini dilakukan dengan mereaksikan senyawa

hasil isolasi dengan pereaksi tertentu yang menunjukkan golongan

senyawa kimia utama.

ëë
3.‘ Pemeriksaan Fisika.

a.‘ Penentuan jarak leleh

Dilakukan dengan menggunakan alat ukur jarak leleh

 ' 
  

 
(ñ ñ
Beberapa butir

senyawa diletakkan diantara dua buah kaca objek, kemudian

diletakkan di atas pemanas di bawah kaca pembesar dan diatur

kenaikan suhunya. Kemudian diamati perubahan fisik sejak

awal meleleh sampai meleleh sempurna, sehingga diperoleh

jarak leleh senyawa. Senyawa yang murni biasanya mempunyai

jarak leleh yang tajam dengan selisih 1°C sampai dengan 2°C.

b.‘ Penentuan kelarutan

Dilakukan dengan melarutkannya dalam pelarut -

heksan, etil asetat dan metanol.

4.‘ Pemeriksaan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Pemeriksaan KLT dilakukan untuk menunjukkan

kemurnian senyawa dan penentuan Rf senyawa hasil isolasi dengan

fasa gerak yang sesuai. Sebagai penampak noda digunakan lampu

UV254 dan UV365. Untuk senyawa yang tidak mempunyai gugus

kromofor (tidak terlihat dibawah lampu UV), pemeriksaan

kemurnian dilakukan dengan menggunakan penampak noda H2SO4

10% dalam metanol yang disemprotkan pada plat KLT kemudian

dipanaskan (Robinson, 1995 ; Harborne, 198ü).

ëÿ
5.‘ Penentuan Fisikokimia

Pemeriksaan sifat fisikokimia meliputi panjang gelombang

maksimum melalui pengukuran spektrum ultraviolet, penentuan

gugus fungsi melalui spektrum inframerah dan penentuan struktur

dengan spektrometer RMI (1 H dan 13C).

a.‘ Pemeriksaan Spektrum Ultraviolet

pemeriksaan spektrum UV dilakukan dengan

menggunakan alat spektrofotometer !"-"

ñ ñ )*++ (Shimadzu®). Senyawa hasil isolasi

sebanyak 1 mg dilarutkan dalam pelarut yang sesuai

kemudian diukur serapannya.

b.‘ Penentuan Spektrum Inframerah

Pemeriksaan spektrum inframerah dilakukan dengan

alat %  ñ 
# 
 
, 
# 
 .

Senyawa hasil isolasi sebanyak 1 mg digerus homogen

dengan 100 mg KBr, campuran kemudian dikempa dengan

kekuatan 10 ton/cm sehingga terbentuk pelet tipis dan

transparan, kemudian diukur serapannya.

c.‘ Pemeriksaan Spektrum Resonansi Magnetik Inti (RMI)

Pemeriksaan spektrum RMI (1 H dan 13


C) dilakukan di

Tokushima Bunry University-Jepang dengan alat


13
spektrometer C RMI Jeol® 125 MHz dan 1H RMI Jeol®

500 MHz.

ëx
6.‘ Spektrum Massa

Pemeriksaan spektrum massa dilakukan di Tokushima

Bunry University (Jepang) dengan bantuan Ismiarni Komala dan

Prof. Yoshinori Asakawa.

 

ëè
Ê ‘  ʁ   

  

1. Dari 220 gram sampel kering lumut Pññ ñ


sp (ex Gunung Talang) yang

dimaserasii, diperoleh ekstrak


-heksan sebanyak 4,5 gram (2% b/b),

ekstrak etil asetat sebanyak 4 gram (1,8% b/b).

2. Pemisahan terhadap 4, 5 gram ekstrak -heksan secara kromatografi

menggunakan silika gel 60 dan dielusi dengan pelarut -heksan; etil asetat;

metanol, diperoleh senyawa BGT H1 berupa kristal jarum berwarna putih,

tidak berbau, jarak leleh 85-8ü °C sebanyak 20 mg.

3. Pemeriksaan KLT senyawa BGT H1 dengan eluen -heksan : etil asetat 4 : 1

memberikan Rf 0,4.

4. Pemeriksaan spektrum UV-Vis senyawa BGT H1 Ȝ maksimal nm (Log İ)

aquabidest 203,6 nm (6,8).

5. Pemeriksaaan spektrum Inframerah senyawa BGT H1 memiliki pita serapan

yang jelas pada bilangan gelombang 3456 cm-1 yang diduga berasal dari

regang O-H, serapan 2944 cm-1 dan 28ü2 cm-1 diduga berasal dari regang C-

H, serapan pada bilangan gelombang 1ü40 cm-1 diduga berasal dari regang

C=O karbonil, serapan pada bilangan gelombang 13ü0 cm-1 diduga berasal

dari regang C-C, serapan pada bilangan gelombang 1246 cm-1 diduga

berasal dari regang C-O.


13
6. Pemeriksaaan C RMI senyawa BGT H1 dalam pelarut CD3 OD

memperlihatkan 19 sinyal dengan pergeseran kimia (ppm): 1ü0,9; 1ü0,4;

ëü
138,4; 125,ü; ü2,1; 69,4; 61,0; 5ü,6; 3ü,9; 3ü,0; 36,4; 30,0; 23,0; 21,6; 19,6;

19,5; 18,9; 16,8; 15,6.

ü. Data 1 H RMI senyawa BGT H1 dalam pelarut CD3OD memperlihatkan 1ü

sinyal yaitu 5,üü(dd, 1H, J1-2=4 Hz, J1-3=12 Hz, H6); 5,51(s, 2H, H4, H5 );

2,ü3(dd, 1H, J1-2=4 Hz, J1-3=10,ü5 Hz, Hü ); 2,39(ddd, 1H, J1-2=4 Hz, J1-3=12

Hz, H11a); 2,0ü(dd, 1H, J1-2=8 Hz, J1-3=8 Hz, H9a); 2,01(s, 3H, H14); 2,00(s,

3H, H15); 1,90(s, 3H, H1ü); 1,ü0(m, 1H, H16a); 1,65(m, 1H, H11b); 1,4ü(s, 3H,

H18); 1,39(m, 1H, H8a); 1,29(m, 1H, H16b); 1,18(dd, 1H, J1-2=6,5 Hz, J1-3= 6,

5 Hz, H8b); 0,98(s, 3H, H12); 0,90(s, 3H, H13); 0,ü8(dd, 1H, J1-2=10, 5 Hz, J1-

3=8 Hz, H9b).

8. Pemeriksaan spektroskopi massa senyawa BGT H1 mempunyai molekul ion

m/z = 338.

  

Sampel kering lumut Pññ ñ


sp yang digunakan dikoleksi di Gunung

Talang, Kabupaten Solok. Lumut Pññ ñ sp terlebih dahulu disortir dari

pengotor lalu dihaluskan dengan mesin penghalus (Master®) dan didapat seberat

220 gram. Tujuan penghalusan sampel adalah untuk memperluas permukaan

sampel, sehingga luas permukaan kontak antara pelarut dengan sampel menjadi

lebih besar dan proses ekstraksi akan lebih sempurna.

Agar isolasi lebih terarah, perlu diketahui kandungan kimia apa saja yang

terdapat pada lumut Pññ ñ


sp. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan

pendahuluan kandungan kimia dengan menggunakan reagen-reagen seperti FeCl3,

Mg/HCl (Sianidin
Test), asam asetat anhidrat/asam sulfat pekat (Lieberman

ëG
Burchard), dan Mayer. Dari hasil pemeriksaan tersebut, diketahui bahwa Pññ ñ

sp positif terhadap senyawa terpenoid/steroid dan flavonoid. Hal ini sesuai dengan

literatur yang menyatakan bahwa genus Pññ ñ biasanya mengandung senyawa

terpenoid/steroid dan aromatik.

Penyarian sampel dilakukan dengan cara maserasi. Metoda ini dipilih

karena pengerjaannya sederhana serta alat-alat yang digunakan minimal. Maserasi

dilakukan dengan cara merendam sampel dalam pelarut organik selama tiga kali 3

hari, dimana tiap hari selama perendaman sampel sesekali dikocok sehingga

membantu percepatan difusi zat dari sampel kedalam pelarut. Senyawa metabolit

akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan senyawa

metabolit di dalam sel dengan yang diluar sel maka larutan yang konsentrasinya

tinggi akan berdifusi keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi

keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Proses

penyarian ini dilakukan ditempat yang terlindung cahaya untuk mencegah

terjadinya degradasi atau rusaknya senyawa yang tidak stabil terhadap cahaya

(Harborne,198ü).

Maserasi dilakukan berdasarkan peningkatan kepolaran pelarut, hal ini

disebabkan karena sampel yang digunakan adalah sampel kering, sampel kering

akan membentuk lapisan lilin yang bersifat non polar. Selain itu juga disebabkan

karena metabolit sekunder yang terkandung dalam kelompok lumut hati

(Hepaticae) berada dalam kelenjar minyaknya ( ), sehingga penyarian

akan lebih sempurna jika dimulai dengan -heksan dan dilanjutkan dengan etil

asetat. Pelarut -heksan akan menarik senyawa non polar karena sifatnya non

ë0
polar. pelarut etil asetat akan menarik senyawa semi polar karena sifatnya semi

polar. Maserasi hanya dilakukan dengan pelarut non polar dan semi polar karena

berdasarkan literatur kandungan senyawa pada genus Pññ ñ banyak terdapat

pada kedua fraksi tersebut. Maserat yang diperoleh diuapkan pelarutnya secara 

ñ. kemudian ekstrak ditimbang sehingga diperoleh ekstrak


-heksan seberat

4,5 gram (2 % b/b) dan ekstrak etil asetat seberat 4 gram (1,8 % b/b). Hasil

ekstraksi yang diperoleh lebih sedikit dibandingkan dengan literatur (4 % b/b), hal

ini mungkin disebabkan karena proses ekstraksi yang tidak maksimal.

    

Pemisahan ekstrak -heksan (4,5 gram) dengan menggunakan

kromatografi kolom dengan fasa diam silika gel 60 dan fasa gerak pelarut -

heksan; etil asetat; metanol yang kepolarannya ditingkatkan secara bertahap

melalui beberapa perbandingan seperti dibawah ini (#


- ñ 
 ñ ..

-heksan 100% 300 mL

-heksan : etil asetat 19 : 1 600 mL

-heksan : etil asetat 9 : 1 300 mL

-heksan : etil asetat 4 : 1 300 mL

-heksan : etil asetat 2 : 1 540 mL

-heksan : etil asetat 1: 1 200 mL

etil asetat 100% 300 mL

etil asetat : metanol 9:1 100 mL

etil asetat : metanol 4:1 100 mL

etil asetat : metanol 1:1 100 mL

ÿ
metanol 100 % 100 mL

Eluat yang keluar ditampung dalam botol vial 15 mL dan diberi nomor

urut. Masing-masing vial dimonitor dengan cara menotolkan eluat pada plat KLT

dan dielusi dengan eluen yang sesuai, noda diamati dengan lampu UV254 nm,

lampu UV365 nm dan penampak noda vanillin sulfat, kemudian noda dengan Rf

yang sama digabung. Hasil gabungan didapat 5 subfraksi yaitu A (vial 1-29, 0,8

gram), B (vial 30-54, 0,5 gram), C (vial 55-110, 0,3 gram), D (vial 111-150, 1

gram) dan E (vial 151-198, 0,8 gram). Subfraksi D merupakan kelompok yang

mengkristal. Tahap isolasi selanjutnya difokuskan pada subfraksi D.

Dari deteksi subfraksi D diketahui bahwa senyawa masih bercampur

dengan klorofil. Proses pemisahkan klorofil dari subfraksi D dilakukan dengan

cara menyaring subfraksi D yang telah diencerkan dengan -heksan melalui

karbon aktif (norit) sebanyak 5 gram. Filtrat yang didapat selanjutnya dimurnikan

kembali secara kromatografi eksklusi dengan menggunakan Sephadex LH-20.

Kolom dibuat dengan memasukkan 5 gram Sephadex LH-20 yang telah dibuat

bubur dengan penambahan pelarut metanol. Filtrat dimasukkan ke dalam kolom

dan dielusi dengan metanol sebanyak 200 mL. Cara ini dilakukan karena masih

terdapat dua senyawa yang mempunyai Rf yang sama, hal ini berarti kedua

senyawa tersebut mempunyai kepolaran yang sama. Dengan cara ini diharapkan

terjadi pemisahan karena pada kromatografi eksklusi terjadi pemisahan senyawa

bedasarkan ukuran molekul. Proses selanjutnya adalah pemurnian dengan proses

rekristalisasi. Hasil kromatografi filtrasi gel yang didapat selanjutnya diuapkan

pelarutnya kemudian dilarutkan dengan aseton sesedikit mungkin kemudian

ÿc
ditambahkan aquadest, tunggu beberapa waktu sampai aseton menguap dan

didapatkan kristal jarum putih (BGT H1).

        

Pemisahan ekstrak etil asetat sebanyak 4 gram dengan menggunakan

kromatografi vakum cair (KVC) dengan fasa diam silika gel 60 dan fasa gerak

pelarut -heksan; etil asetat; metanol yang kepolarannya ditingkatkan secara

bertahap melalui beberapa perbandingan seperti dibawah ini (#


- ñ 

 ñ ).

-heksan 100% 200 mL

-heksan : etil asetat 19 : 1 200 mL

-heksan : etil asetat 9:1 300 mL

-heksan : etil asetat 4:1 400 mL

-heksan : etil asetat ü:3 300 mL

-heksan : etil asetat 3:2 300 mL

-heksan : etil asetat 1 : 1 ü00 mL

etil asetat 100% 500 mL

etil asetat : metanol 9:1 100 mL

etil asetat : metanol 4:1 100 mL

etil asetat : metanol ü:3 100 mL

etil asetat : metanol 3:2 100 mL

etil asetat : metanol 1:1 100 mL

metanol 100% 300 mL

ÿÔ
Eluat yang keluar ditampung dengan botol infus 100 mL dan diberi nomor

urut. Masing-masing botol dimonitor dengan cara menotolkan eluat pada plat

KLT dan dielusi dengan eluen yang sesuai, noda diamati dengan lampu

UV254nm/UV365nm dan penampak noda vanillin sulfat, kemudian noda dengan Rf

yang sama digabung. Hasil gabungan didapat 9 subfraksi yaitu A (botol 1-5, 0,46

gram), B (botol 6-ü, 0,1ü gram), C (botol 8-15, 0,ü3), D (botol 16-18, 0,09 gram),

E (botol 19-26, 0,45 gram), F (botol 2ü-31, 1 gram), G (botol 32-33, 0,1 gram), H

(botol 34-36, 0,4 gram), I (botol 3ü-39, 0,3 gram). Subfraksi F merupakan

subfraksi yang paling banyak. Tahap isolasi selanjutnya difokuskan pada

subfraksi F.

Subfraksi F sebanyak satu gram selanjutnya dipisahkan dengan

kromatografi kolom dengan fasa diam silika gel 60 µm dan fasa gerak pelarut -

heksan; etil asetat; metanol yang kepolarannya ditingkatkan secara bertahap

melalui perbandingan seperti dibawah ini (# - ñ   ñ ).

-heksan 100 % 100 mL

-heksan : etil asetat 4 : 1 200 mL

-heksan : etil asetat 3 : 2 400 mL

-heksan : etil asetat 1 : 1 300 mL

-heksan : etil asetat 2 : 3 300 mL

-heksan : etil asetat 3 : ü 300 mL

-heksan : etil asetat 1 : 4 200 mL

etil asetat 100 % 200 mL

etil asetat : metanol 9:1 100 mL

etil asetat : metanol 4 : 1 150 mL

ÿë
etil asetat : metanol 3 : 2 50 mL

etil asetat : metanol 1 : 1 200 mL

metanol 100 % 200 ml

Eluat ditampung dalam vial 15 mL dan diberi nomor urut. Kemudian

masing-masing eluat dalam vial ditotolkan pada plat KLT dan dielusi dengan

eluen yang sesuai, amati dengan lampu UV365 nm/UV254 nm dan penampak noda

vanillin sulfat. Dari hasil KLT subfraksi F terlihat dua noda dengan Rf yang

sangat dekat. Proses pemurnian selanjutnya tidak dapat dilanjutkan karena jumlah

yang sangat sedikit dan kepolaran kedua senyawa hampir sama.

  
    " Ê 

Untuk senyawa hasil isolasi yang berbentuk kristal pada prinsipnya

metoda pemurnian dapat dilakukan dengan pengkristalan kembali senyawa hasil

isolasi tersebut. Dalam metoda ini harus dicari satu atau lebih pelarut yang dapat

melarutkan pengotor dan hasil isolasi dalam suasana panas tetapi tidak melarutkan

salah satunya dalam keadaan dingin. Contoh pelarut campur yang dapat

digunakan adalah -heksan-etil asetat, etil asetat-metanol, alkohol-air.

Hasil isolasi dari lumut Pññ ñ sp (ex Gunung Talang) ini diisolasi

senyawa terpenoid, yaitu BGT H1 dari fraksi heksan. Senyawa ini memberikan Rf

0,4 dengan eluen -heksan : etil asetat 4 : 1.

Karakterisasi terhadap senyawa BHT H1 antara lain meliputi pemeriksaan

jarak leleh dengan menggunkan alat  -'      (ñ ñ.

Senyawa BHT H1 mempunyai jarak leleh 85-8ü °C. Pemeriksaan kelarutan

dengan cara melarutkan senyawa dalam berbagai pelarut. Senyawa BGT H1 larut

baik dalam pelarut metanol.

ÿÿ
Karakterisasi senyawa hasil isolasi dilakukan dengan spektrofotometer

Ultraviolet-Visible (UV-Vis) dan Inframerah (IR). Analisa dengan

spektrofotometer UV-Vis berdasarkan kepada pengukuran panjang gelombang

dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel.

Pemeriksaan spektrum UV-Vis senyawa BGT H1 Ȝ max nm (Log İ) aquabidest

203,6 nm (6,8).

Pemeriksaaan spektrum Inframerah senyawa BGT H1 memiliki pita

serapan yang jelas pada bilangan gelombang 3456 cm-1 yang diduga berasal dari

regang O-H, serapan 2944 cm-1 dan 28ü2 cm-1 diduga berasal dari regang C-H,

serapan pada bilangan gelombang 1ü40 cm-1 diduga berasal dari regang C=O

karbonil, serapan pada bilangan gelombang 13ü0 cm-1 diduga berasal dari regang

C-C, serapan pada bilangan gelombang 1246 cm-1 diduga berasal dari regang C-

O (Silverstein,  ñ ., 1981).

Dari spektrum 13C RMI dalam pelarut CD3 OD, 500 MHz memperlihatkan

19 sinyal dengan pergeseran kimia (ppm): 1ü0,9; 1ü0,4; 138,4; 125,ü; ü2,1; 69,4;

61,0; 5ü,6; 3ü,9; 3ü,0; 36,4; 30,0; 23,0; 21,6; 19,6; 19,5; 18,9; 16,8; 15,6. Dari

pergeseran kimia ini diperkirakan ada dua gugus karbonil dari ester yaitu pada

pergeseran kimia (ppm) 1ü0,9 dan 1ü0,4.

Pemeriksaan spektrum 1 H RMI bertujuan untuk mengetahui jumlah

proton dari suatu senyawa organik. Data 1 H RMI senyawa BGT H1 dalam pelarut

CD3 OD memperlihatkan 1ü sinyal yaitu 5,üü(dd, 1H, J1-2=4 Hz, J1-3=12 Hz, H6);

5,51(s, 2H, H4, H5 ); 2,ü3(dd, 1H, J 1-2=4 Hz, J1-3=10,ü5 Hz, Hü); 2,39(ddd, 1H, J 1-

2=4 Hz, J1-3=12 Hz, H11a); 2,0ü(dd, 1H, J1-2=8 Hz, J1-3=8 Hz, H9a); 2,01(s, 3H,

ÿx
H14); 2,00(s, 3H, H15); 1,90(s, 3H, H1ü); 1,ü0(m, 1H, H16a); 1,65(m, 1H, H11b);

1,4ü(s, 3H, H18); 1,39(m, 1H, H8a); 1,29(m, 1H, H16b); 1,18(dd, 1H, J1-2=6,5 Hz,

J1-3= 6, 5 Hz, H8b); 0,98(s, 3H, H12); 0,90(s, 3H, H13); 0,ü8(dd, 1H, J 1-2=10, 5 Hz,

J1-3=8 Hz, H9b).

Dari analisis spektrum HSQC diperoleh 18 ikatan langsung antara proton

dan karbon dengan pergeseran kimia (ppm): 5,üü-69,4 ; 5,51b-125,ü ; 5,51a-ü2,1 ;

2,ü3-5ü,6 ; 2,39-30,0 ; 2,0ü-3ü,0; 2,01-19,6; 2,00-19,5; 1,90-16,8; 1,ü0-18,9 ;

1,65-30,0 ; 1,4ü-15,6 ; 1,39-3ü,9 ; 1,29-18,9 ; 1,18-3ü,9 ; 0,98-23,0 ; 0,90-21,6 ;

0,ü8-3ü,0. HSQC merupakan hubungan antara proton dengan karbonnya. Dari 19

karbon hanya 15 karbon yang memiliki proton, sedangkan 4 karbon lain tidak

memiliki proton. 4 karbon yang tidak memiliki proton yaitu karbon dengan

pergeseran (ppm) : 36,4; 61,0; 1ü0,4; 1ü0,9.

Dari analisis spektrum COSY diperoleh hubungan proton dengan proton

dengan pergeseran kimia (ppm) sebagai berikut :

1.‘ 5,üü-2,39 (H6 -H11a); 5,üü-1,65 (H6 -H11b); 2,ü3-1,65 (Hü-H11b); 2,ü3-

2,39 (Hü-H11a); 2,39-1,65 (H11a-H11b)


  12
2,ü3 
5,5ü

 
2,39

 69,

5ü,6 


 12
   3 , 



1,65

ÿè
2.‘ 2,0ü-0,ü8 (H9a-H9b); 2,0ü-1,ü0 (H9a-H16a); 1,ü0-1,29 (H16a-H16b); 1,ü0-

1,39 (H16a-H8a); 1,ü0-1,18 (H16a-H8b); 1,39-1,18 (H8a-H8b); 0,ü8-1,29

(H9b-H16b)
0,ü8 1,18

 8 !  " 
 
1,29

3ü,0
! 3ü,9
"
18,9  

! "
2,0ü
  1,39

1,ü0

Dari analisis HMBC diperoleh hubungan antara proton dan karbon dengan

pergeseran (ppm) :

1.‘ 5,üü-(16,8; 125,6; 1ü0,4); 5,51a-(69,4; 1ü0,4; 16,8); 1,90-(69,4; 125,6;

138,3)

 1,90 

2,ü3 5,5ü

 69,4
2,39 16,8

   
5ü,6
 138,3  1ü0,4 
30,0

125,6


5,51
1,65

2.‘ 1,4ü-(61,0; 3ü,0); 2,0ü-(61,0; 15,6); 0,ü8-(61,0; 15,6); 1,39-(36,4;

23,0; ü2,1); 1,18-(36,4; 21,6; ü2,1); 0,98-(21,6; 36,4; ü2,1; 3ü,9); 0,90-

(23,0; 36,4; ü2,1; 3ü,9): 5,51b-(23,0)

ÿü
    
   
 
 £     £
 
ë 

£ ë 
£ £
£   £  ë £ 
 
 ë ë
  £
  

Dari analisis data HMBC HSQC dan COSY serta berdasarkan

penelusuran literatur didapatkan dua fragmen dari senyawa hasil isolasi yaitu :


£
£

£ £ 





£ £
£
ë

 £ £

ô 
ô ô
    
 
c c 
c 
ô ô

£
c 


Berdasarkan data spektroskopi Massa senyawa BGT Hc mempunyai

rumus empiris Cc HO m/z =  dengan   - /   0 ñ  .

ÿG

ʁ 

 
 

1. Dari 220 gram lumut Pññ ñ sp didapatkan ekstrak -heksan sebanyak 4,5

gram (2 % b/b) dan ekstrak etil asetat sebanyak 4 gram (1,8 % b/b).

2. Dari 4,5 gram ekstrak -heksan lumut Pññ ñ sp didapatkan senyawa BGT

H1 sebanyak 20 mg. Dari data KLT, jarak leleh, reaksi kimia dan spektroskopi

dapat disimpulkan bahwa senyawa BGT H1 merupakan senyawa

seskuiterpenoid.

3. Dari analisis semua data diketahui senyawa BGT H1 memiliki rumus empiris

C19H30O5, m/z = 338 dengan titik leleh 85-8ü °C. Mempunyai enam gugus

metil (23,0; 21,6; 19,6; 19,5; 16,8; 15,6) serta memiliki bagian/fragmen

struktur sebagai berikut :

ô ô

ô  
ô 
ô
ô  
ô ô  

ô ô 
ô ô


 ‘

Gambar ü. Bagian/fragmen struktur senyawa BGT H1



    

Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk melengkapi elusidasi struktur

senyawa BGT H1.

ÿ0



Anonim. (2006). Natural Aquariums. Diakses 3 Januari 2010 dari


http://naturalaquariums.com/plants/ceratophyllum.html.

Anonim. (200ü). P 1.


Diakses 3 Januari 2010 dari
http://www.biology4kids.com/misc/musci.html.

Asakawa, Y. (200ü). Biologically Active Compound from Bryophytes.


  ( . , ü9, 4, 55ü-580.

Asakawa, Y. (1995). ñ


  

P  New York :
Springer Verlag.

Asakawa, Y. (1982). ñ


  

ññ. New York:
Springer Verlag.

Asakawa, Y., M. Toyota, A, Ueda, M. Tori, & Fukuyama, Y. (1991).


Sesquiterpenoids
from
the
Liverworts
Pññ ñ
ñ ñ  , 30,
303ü.

Cordell, G. A. (1981). %  



( ñ 
(
P 
( ñ
A
wiley Interscience Publication. Newyork Chinchester Brisbane Toronto: John
Wiley and Son.

Culvenor, C.C. J., & Fitzgerald J.S. (1963). A field Method for Alkaloid
Screening of Plants. '
ñ 
#. 52(3), 303-304.

Djamal, R. (1988). ñ. Padang : Andalas University Press.

Fessenden, R.J., & Fessenden, J.S. (1982). 2ñ


 ñ  (Ed. 3).
terjemahan A. H. Pudjaatmaka. Jakarta: Erlangga.
Gauglitz, G., & Vo-Dinh, T. (2003). ñ  P # . Weinheim
: Wiley-VCH GmbH & Co. KGaA.
Gritter, R., Bobbit, J.M., & Schwarting, A.E. (1991).  ñ ñ

2 ñ ñ. Terbitan Kedua, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata.


Bandung: ITB.
Harborne, J.B. (198ü). 
ñ3
  
ñ ñ


 ñ ñ 
$ñ (Vol. II), diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata.
Bandung: ITB.
Holum, J.R. (1969). %     ñ  ñ  P ñ  .
New York : Wiley.

x
Huneck, S., Janicke, S., Schmidt, J., Meinunger, L., Snatzke, G., Connolly,
J.D., & Y. Asakawa, Y. (1984). Seasonal
Dependence
of
the
Essential
Oil
from

Pññ ñ
  ññ
The
Stereochemistry
and
Absolute
Configuration
of ( - )-5-
Hydroxycalamenene
'
ñ 
P
4ñ. 5ü, 33ü.

Ikhwana, N. (2003). '   



ñ
ñ ñ 
ñ 

 ñ

P ñ

ñ
  
 
ñ5ññ
ñ ññ
ñ ñ
  
 ñ.
(Skripsi). Padang : Universitas Andalas.

Jenie, U.A., Kardono, L.B.S., Rumampuk, R.J, & Darmawan, A. (2006).


$   #  6 &. (Volume I). Jakarta : LIPI Press.

Julita, I. (2009). % ñ # ñ5ñ 2ñ !ññ ñ  4  ñ ñ 


( # ñ 'ñ ñ). (Skripsi). Padang : Universitas Andalas.

Loveless, A,R. (1989).     


P 
$ñ
 
ñ ñ

$ 
7. Jakarta:
PT. Gramedia.

Lu, R., Paul, C., Basar, S., Konig, W.A., Hashimoto, T., & Asakawa, Y.
(2003). Sesquiterpene Constituents from the Liverwort Pññ ñ ñ ñ.
 , 63, 581-58ü.

Nababan, M. (1998). % ñ


$  
ñ 
ñ
#
8, ñ

  ñ
(
6
4 .
(Tesis ). Padang : Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Andalas.

Perrin, D.D., Armarego, W.L.F., & Perrin, D.R. (1980).  ñ 


4ñ ñ  ñ . (2nd Edition). Great Britain : Pergamon Press.

Richey, H.G. (1983).  ñ ñ   ñ   . London :


Prentice-Hall.

Scher, J.M., Speakman, J.B., Zapp, J., & Becker, H. (2004). Bioactivity
Guided Isolation of Antifungal Compounds from the Liverworts Pññ ñ
  ññ (L.) S.F.Gray.  , 65, 2583-2588.

Scher, J.M., Zapp, J., Schmidt, A., & Becker, H. (2003). Bazzanins L-R,
Chlorinated Macrocyclic Bisbibenzils from the Liverwort 4ñ   ññ.
 , 64, ü91-ü96.
Silverstein, R.M., Bassler G.C., & Morrill T.C. (1981). #  

% ñ

 ñ 
 
(5th Ed). Singapore : John Wiley and Sons.

xc
Simes, J.J.H., Tracey, J.G., Webb L.J., & Dunstand, W.J. (1959). (

( ñ ñ
ñ
# 
%%%3
#ñ 

,ñ
( ñ ñ
 5  

 ñ ´, Bulletin NO.281, CSIRO, Melbourne, Australia, 5-8.

Tan, B.C. (2009). 5  %  P . (Workshop at


ASEAN/ACB Funded Sumatra Plant Biodiversity Project). Padang,30-31 Juli
2009.

Toyota, M., & Asakawa, Y. (1988). Sesquiterpenoids


from
the
Liverwort

Pññ ñ
ñ ñ ñ  . 2ü, 2155.

 


 
 P      [ 

‘
‘
‘t‘P   ‘‘
‘   ‘l ‘


   

  

 P    $%[

TabelII. Hasil pemeriksaan pendahuluan kandungan kimia dari lumut Pññ ñ


sp (ex
Gunung Talang )

 

      

1. Alkaloid Mayer 

2. Flavonoid Mg/HCl 

3. Terpenoid Liebermann Bourchard &

4. Steroid Liebermann Bourchard &

5. Fenolik FeCl3 

6. Saponin Busa 

Keterangan : (+) = bereaksi

(-) = tidak bereaksi

 

xÿ
    
  Ê  "
 P     $ %
[

 { 
 ÔÔ 

 
     ë0   ë 




  { 

     ë0    


 ë 

 ˜   { 

      
     

  

        

  
   ˜
˜     cÔ0 ëxÿ xxcc ccccx cxcc0G

      
      

     c 
    


   
   ˜   

cx èü Gcx c0Ôè Ôüëc ëÔëë ëÿëè ëüë0
 
cècG

     

    
      
 c
Senyawa XY
Belum murni

Gambar 9. Skema kerja isolasi senyawa kimia utama Pññ ñ sp

xx
         [ 
  
   
‘
‘
‘

‘
‘ ¦  ¦
‘
‘
‘
‘B ‘‘i
i ‘
 ‘i

 ‘B 
‘
‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘ ‘ tl‘
ti
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘


  ! " #[   [ 

‘
‘
‘

B ‘‘

R ‘‘‘

‘
‘
‘
‘
‘l‘‘
‘B ‘‘
  ‘
‘
‘‘‘‘‘‘‘‘ ‘ illi ‘l t‘
‘
‘
‘
‘
‘

‘
‘
‘


 ! 
    " %[

Tabel III. Pemeriksaan karakterisasi senyawa BGT H1

No. Karakterisasi BGT H1


1. Organoleptis
~‘ Bentuk dan warna Kristal jarum, putih

2. Pemeriksaan fisika
~‘ Kelarutan Larut dalam metanol

~‘ Jarak leleh 85-8ü°C

3. Pemeriksaan dengan reagen


~‘ Dragendorf -
~‘ Sianidin Test -
~‘ FeCl3 -
~‘ Lieberman Bourchard Kuning kecoklatan
~‘ Vanilin Sulfat ungu

4. Pemeriksaan KLT Heksan : Etil asetat 4: 1


Rf = 0,4

xG
      " %[

Gambar 12.Spektrum UV-Vis senyawa BGT H1

Tabel IV. Data spektrum UV-Vis senyawa BGT H1

No. Ȝ maks (nm) Log İ


2 203,6 6,8


 

x0
 '   Ê   " %[


36.0

34 2ü30
3ü81 465
2142
32
686
804
30

28 ü82
1699 541
26 652
1668 1122
1106
24 588
500
22 3456 1145 923 ü63
8ü5
20
1313 10ü6
611
18
T
28ü2
16 942
902
14 891

12
1464
10

6 2944 9ü0

1ü40 13ü0
4 1246
1025
2

0.0
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.0
cm-1

Gambar 13.Spektrum inframerah senyawa BGT H1

Tabel V. Data spektrum inframerah senyawa BGT H1

No. Bilangan Gelombang (cm-1 ) Jenis Ikatan


1. 3456 O-H
2. 2944, 28ü2 C-H
3. 1ü40 C=O karbonil
4. 1464 C=C
5. 13ü0 C-C
6. 1246 C-O
ü. ü63 C-H bending

è
  $   
 %&   [ 




 i   

‘  ‘

‘ ‘
 ‘
ë‘

  
 ‘


‘
‘

 ‘  ‘
‘ ‘
‘ ‘
 ‘ ‘


 

 




 

 

 
 





 

 

   


‘
‘
‘
t‘‘RM ‘
‘B ‘‘l‘
lt‘C ë ‘
‘
‘
‘
£  

£ £ £ £
£  £ 
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘
‘

èc
 
'   
( ) %&   [ 

.---
£ !"
/ 0 12 1/33/0#/ 4 25 6 $7
Cë‘
£ G £ 0 £ c C‘
£x £ c0
£ cc C ‘

 
£è C‘
£ÿ £ü

£Ô
,++
£c
£ë

-
),+ )++ ,+ +
%%& '()*
‘

t‘ëC‘RM ‘
‘B ‘‘l‘
lt‘C ë ‘
‘
£  

£ £ £ £
£  £ 
‘
‘
‘


£ !
 ‘
‘
£ 

£
£ £ "$
£ £
£ "#
£ £  ‘
‘

èÔ
 

   *)      *  )  


  [ 

ÿx
cè
è ü
cc 0 G G 0

ô    

£ c
£0
£G


£ü

£è
£x



£ÿ

£ë



889 :;      




‘

t‘C‘
‘B ‘‘


ô ô

ô  

ô
ô  


ô  ô

ô 

ô ô  
ô ô 

èë
 
+    % )    %   )  
  [ 



ÿx

cè
è ü cc 0 G G 0




£ü
£ c0
£è
£x



£ÿ

£ë

 

£Ô
£c

¬¬ 


   
¬¬ 
‘

t‘MBC‘
‘B ‘‘

     
  
   
 Ô  
£    £
Ô  Ô 
 
Ô      £
 
£ £
  £  
Ô   £
  £   £

  
  
£ £ £ £ Ô    Ô 
       £
£
  £
Ô     

 
   

èÿ
 
(    ),- )         [


ü cè

cc 0
G G 0

0 ?
G
=

G

0
=
cc

=


>=

=



=


¬¬ 

= = >= = = =
<
   
¬¬ 
‘ 
t‘C ‘
‘B ‘‘






Ô   
    
Ô 
   
 
 
£ £ 
 
ë  ë 
  £
Ô £ £


  £
   
 ë
 

 

èx
 
    %    [ 





@



‘

t‘M‘
‘B ‘‘


















èè

You might also like