You are on page 1of 7

Abstraksi

Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah subyek pajak luar negeri yang kewajiban perpajakannya
diperlakukan relatif sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya. Perbedaan perlakuan
perpajakannya dibandingkan dengan wajib pajak dalam negeri antara lain adalah (i) BUT tidak
dapat menikmati tax treaty Indonesia dengan negara treaty partner lainnya karena ia bukan
penduduk Indonesia, dan (ii) atas laba bersih setelah pajak yang diterima atau diperoleh suatu
BUT dikenakan branch profit tax. Untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk dari negara treaty partner di Indonesia,
pengujian keberadaan suatu BUT perusahaan dari negara treaty partner tersebut di Indonesia
sebagai kriteria diperlukan untuk menentukan apakah Indonesia memiliki hak untuk memajaki
penghasilan tersebut.

Tujuan paper ini adalah untuk membahas dan sekaligus memberikan pemahaman yang mendasar
tentang BUT sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tax treaty.

Kata Kunci: a permanent establishment, branch profit tax, tax treaty, resident taxpayer, non
resident taxpayer, beneficial owner, force of attraction rule, attributable rule, effectively
connected rule, OECD Model.

1. PENDAHULUAN

Sedikitnya ada 2 (dua) perubahan besar yang diakibatkan oleh globalisasi. Yang pertama adalah
bahwa era globalisasi yang diwarnai dengan tumbuhnya kawasan bebas perdagangan, jasa dan
modal (misal: NAFTA, European Community, dan terakhir AFTA), transaksi internasional telah
bertumbuh dengan pesatnya baik dari sisi frekuensi maupun volumenya. Dan yang kedua adalah
masuknya investasi asing ke suatu negara dalam bentuk portfolio investment dan foreign direct
investment mengakibatkan implikasi yang luas baik dari sisi sosial, ekonomi, hukum dan
keamanan terhadap negara pengimpor modal (importing capital countries) misalnya Indonesia.

Dalam melakukan investasi langsung di Indonesia, investor asing dapat melakukannya dalam
bentuk joint venture dengan perusahaan asing lainnya dan perusahaan lokal. Umumnya,
perusahaan ini berbentuk penanaman modal asing dan berbadan hukum Indonesia sehingga
perusahaan penanaman modal asing adalah wajib pajak dalam negeri (resident taxpayer).

Selain itu, perusahaan asing dapat menjalankan usahanya melalui bentuk usaha di Indonesia. Ini
yang disebut dengan Bentuk Usaha Tetap (selanjutnya disingkat BUT). Apabila investor asing
menjalankan bisnisnya di Indonesia melalui BUT ( a permanent establishment) berarti bahwa
perusahaan tersebut tidak berbadan hukum Indonesia sehingga BUT adalah bukan wajib pajak
dalam negeri.
Tujuan penulisan paper ini adalah membahas perlakuan Pajak Penghasilan (income tax
treatments) suatu BUT perusahaan asing di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Pajak Penghasilan dan tax treaty. Sehingga diharapkan para pembaca memiliki
pemahaman tentang BUT.

2. Pengertian Bentuk Usaha Tetap

Sesuai Pasal 2 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor: 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut Undang-Undang
PPh), BUT diartikan sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh subyek pajak luar negeri
(non resident taxpayer) baik orang pribadi (nature person) atau badan (legal person) untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Sesuai OECD Model, yang dimaksud BUT adalah: a fixed place of business through which the
business of an enterprise is wholly or partly carried on. Artinya bahwa BUT adalah suatu tempat
usaha tetap yang digunakan perusahaan untuk menjalankan seluruh atau sebagian besar
usahanya. Pengertian tersebut mengandung beberapa karakteristik yang mewarnai suatu BUT
perusahaan asing di Indonesia yaitu: (i) adanya tempat usaha berupa prasarana, (ii) tempat usaha
ini harus bersifat tetap, (iii) kegiatan usaha perusahaan dilakukan melalui tempat usaha tersebut,
dan (iv) sifatnya harus produktif, dimana BUT tersebut harus ikut andil dalam memberikan laba
usaha bagi perusahaannya (kantor pusatnya).

Dalam rangka penghindaran pajak berganda, keberadaan suatu BUT sangat diperlukan sebagai
kriteria untuk menentukan apakah Indonesia sebagai negara sumber memiliki hak untuk
memajaki penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk dari negara treaty partner.
Namun kriteria tersebut tidak berlaku apabila penerima penghasilan (beneficial owner) berasal
dari negara non treaty partner.

Sesuai Tax Treaty Model OECD, pengecualian timbulnya BUT yaitu sebagai berikut:

 apabila perusahaan dari suatu negara treaty partner menjalankan kegiatan-kegiatan yang
terbatas di Indonesia yang cakupan kegiatan-kegiatannya adalah sebagai berikut :
1. penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dimaksudkan untuk menyimpan,
memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;
2. pengurusan persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan
semata-mata dimaksudkan untuk disimpan, dipamerkan atau diolah lebih lanjut
oleh perusahaan lain;
3. pengurusan tempat usaha tetap semata-mata dimaksudkan untuk pembelian
barang-barang atau barang dagangan, mengumpulkan informasi bagi keperluan
perusahaan, untuk tujuan periklanan, memberikan informasi atau untuk
menjalankan kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan ataupun penunjang bagi
perusahaan.
 apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya melalui agen yang bertindak bebas
(independent agent). Independent agent adalah agen yang menjalankan usahanya secara
bebas tanpa adanya instruksi dari perusahaan di luar negeri (non resident taxpayer)
misalnya makelar, komisioner umum.
 apabila suatu perusahaan yang berkedudukan di suatu negara treaty partner yang
menguasai atau dikuasai oleh perusahaan lain yang berkedudukan di negara treaty
partner lainnya ataupun menjalankan usaha di negara treaty lainnya (baik melalui suatu
BUT maupun dengan cara lain).

3. Klasifikasi Bentuk Usaha Tetap

Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia dapat diidentifikasi kedalam beberapa
kelompok yaitu: i) BUT fasilitas fisik (assets type), (ii) BUT aktivitas (activity type), (iii) BUT
keagenan (agency type), dan (iv) BUT asuransi (insurance type).

(i) BUT Fasilitas Fisik


Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia timbul apabila perusahaan asing tersebut
memiliki fasilitas fisik yang merupakan tempat untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan usahanya di Indonesia. Fasilitas fisik tersebut merupakan milik sendiri atau disewa dari
pihak lain. Contoh fasilitas fisik antara lain adalah:

 tempat kedudukan manajemen (a place of management);


 suatu cabang (a branch);
 suatu kantor (an office);
 suatu pabrik (a factory);
 suatu bengkel (a workshop);
 suatu gudang atau tempat penyimpanan barang sebagai tempat penjualan (a warehouse
or promises used as sales outlet);
 suatu tambang, sumur minyak atau gas, suatu tempat penggalian atau ekplorasi atau
eksploitasi sumber daya alam, rig untuk pengeboran atau kapal yang dipergunakan untuk
eksplorasi atau ekploitasi sumber daya alam (a mine, an oil or gas well, a quarry or any
other place of extraction or exploration or exploitation of natural resources, drilling rig
or worker ship used for exploration or exploitation of natural resources).

(ii) BUT Aktivitas


Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia timbul apabila perusahaan asing tersebut
menjalankan kegiatan jasa-jasa (furnishing of services) di Indonesia dalam jangka waktu
melebihi tes waktu (time treshold). Sesuai Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
termasuk BUT Aktivitas adalah:

 proyek konstruksi, proyek perakitan, instalasi atau kegiatan pengawasan yang ada
hubungannya dengan proyek tersebut, dan
 pemberian jasa termasuk jasa konsultan yang dilakukan oleh suatu perusahaan melalui
karyawan atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan itu untuk tujuan tersebut,
kegiatan itu berlangsung selama lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan.

(iii) BUT Keagenan


Dianggap timbul suatu BUT perusahaan asing di Indonesia apabila perusahaan asing tersebut
menjalankan usahanya di Indonesia melalui perusahaan lain yang bertindak sebagai agen yang
tidak bebas (dependent agent). Yang dimaksud dengan dependent agent adalah agen yang
didalam melaksanakan usahanya bertindak untuk dan/atau atas nama perusahaan di luar negeri
atau kegiatan agen tersebut seluruhnya atau hampir seluruhnya untuk perusahaan di luar negeri.

(iv) BUT Asuransi


Keberadaan BUT perusahaan asuransi asing timbul di Indonesia apabila perusahaan asuransi
tersebut menutup resiko secara langsung di Indonesia. Pada umumnya, jenis BUT ini belum ada
karena perusahaan asing dilarang berusaha secara langsung di Indonesia kecuali dalam bentuk
joint venture.

Dalam tax treaty, tes waktu dianggap timbulnya suatu BUT di Indonesia pada umumnya lebih
lama ketimbang tes waktu yang diatur dalam Undang-Undang PPh. Misalnya, tes waktu untuk
pemberian jasa lain-lain sesuai Undang-Undang PPh adalah 60 hari dalam jangka waktu 12
bulan tetapi untuk tax treaty Indonesia-Australia adalah 120 hari dalam 12 bulan (lihat tabel 2).
Perbedaan ini timbul dari hasil kesepakatan wakil dari kedua negara di dalam perundingan.
Negara-negara maju (developed countries) cenderung menginginkan tes waktu yang lebih lama
sehingga kemungkinan timbulnya suatu BUT sehubungan dengan jasa konstruksi ataupun
pemberian jasa-jasa lain-lain di Indonesia dapat dihindari. Sehingga atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh oleh perusahaan asing di Indonesia tidak dikenai pajak di Indonesia.

4. Cakupan Penghasilan Suatu BUT

Sesuai Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, penghasilan terutang
pajak suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dari Indonesia. Dan sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
diatur mengenai cakupan penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia yaitu:

(i) Sesuai Attribution Rule, penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah
penghasilan yang berasal dari kegiatan usahanya di Indonesia. Misalnya, apabila BUT
perusahaan asing tersebut bergerak dibidang perdagangan, maka penghasilannya di Indonesia
adalah penghasilan yang berasal dari kegitan usaha perdagangannya di Indonesia;

(ii) Sesuai Force of Attraction Rule, penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia
adalah termasuk penghasilan kantor pusatnya dari Indonesia yang diperolehnya dari kegiatan
usaha yang sejenis dengan kegiatan BUT nya di Indonesia. Dengan demikian, penghasilan yang
diterima atau diperoleh kantor pusatnya dianggap sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.;

(iii) Sesuai Effectively-Connected Rule, penghasilan pasif (misalnya: bunga dan royalty) yang
diterima atau diperoleh kantor pusatnya dan memiliki hubungan efektif dengan kegiatan usaha
BUT nya di Indonesia dianggap sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.

Umumnya, penentuan cakupan penghasilan suatu BUT diperlukan untuk melindungi hak
pemajakan negara-negara berkembang (developing countries) seperti Indonesia. Dalam
perundingan, cakupan penghasilan suatu BUT sering diperdebatkan oleh wakil-wakil dari kedua
Negara.

5. Pajak Penghasilan Badan dan Branch Profit Tax

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di atas bahwa untuk tujuan perpajakan, perlakukan
perpajakan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia diperlakukan sama dengan wajib pajak
dalam negeri lainnya yaitu antara lain :

1. Kewajiban Perpajakan Tahunan :


o Lapor dan setor PPh Pasal 29 atas Laba Usaha Badan PPh Badan Terutang (Tarif
Progresif) :
 10% x 50juta
 15% x 50 juta
 30% x sisanya
o Lapor dan setor PPh Pasal 25 atas angsuran PPh Badan
 1/12 bulan x (PPh Badan Terutang – Kredit Pajak PPh 21,22,23,24)
2. Kewajiban Perpajakan Bulanan :
o Memotong PPh Pasal 21 atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan WNI
o Memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran bunga/royalti, pembayaran jasa, dan
pembayaran sewa
o Memotong PPh Pasal 26 atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan WNA
o Memotong PPh Pasal 4 ayat (2) Final atas pembayaran sewa tanah dan/atau
bangunan

Namun demikian atas laba bersih setelah Pajak Penghasilan Badan suatu BUT perusahaan asing
di Indonesia dikenakan tambahan pajak yang sering disebut sebagai branch profit tax dengan
tarif sebesar 20% dari laba bersih setelah pajak (net income after tax).

Apabila perusahaan asing tersebut berasal dari negara treaty partner, maka besarnya tarif branch
profit tax sesuai ketentuan tax treaty yang berlaku (lihat tabel 1). Penentuan besarnya tarif
branch profit tax sering menjadi perdebatan dalam perundingan tax treaty Indonesia dengan
negara-negara lainnya karena beberapa hal yaitu: (i) negara treaty partner tidak menerapkan
branch profit tax di negaranya, atau (ii) untuk melindungi kepentingan Indonesia dibidang
industri hulu Minyak dan Gas Bumi.

Dalam rangka menentukan besarnya penghasilan kena pajak (taxable income) suatu BUT
perusahaan asing di Indonesia, pembayaran ke kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan
sebagai deductible expenses adalah:

 royalti atau imbalan lainnya yang berhubungan dengan penggunaan harta, paten atau hak-
hak lain;
 imbalan yang berhubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
 bunga kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Selain itu, biaya administrasi kantor pusat yang dialokasikan ke BUT nya di Indonesia yang
dapat dibebankan hanya sebesar rasio antara jumlah penghasilan BUT nya di Indonesia dengan
jumlah penghasilan globalnya dikalikan dengan jumlah biaya administrasi kantor pusat.

Insentif pajak yang diperoleh suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah pembebasan PPh
Pasal 26 ayat (4) atas branch profit tax apabila memenuhi persyaratan yangbersifat kumulatif
yaitu:

 Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh
dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan
di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
 Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya
tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut;
dan
 Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan produksi
komersial.6. Penutup

 BUT adalah subyek pajak luar negeri yang memiliki fleksibilitas dan keragaman jenis
sehingga didalam praktiknya sulit untuk melakukan pengawasan terhadap kepatuhannya.
Misalnya, keberadaan suatu BUT perusahaan asing yang tergolong BUT Aktivitas di
Indonesia hanya sepanjang perusahaan asing tersebut menjalankan usahanya di
Indonesia. Apabila perusahaan asing tersebut sudah tidak memiliki kegiatan di Indonesia
karena proyeknya selesai maka kewajiban subyektifnya berakhir bersamaan dengan
perusahaan asing tersebut meninggalkan Indonesia.
 Perlu partisipasi masyarakat dunia usaha untuk menginformasikan keberadaan suatu BUT
perusahaan asing di Indonesia. Misalnya, PT. Indosat melakukan Engineering and
Procurement Contract (EPC) dengan perusahaan kontraktor asing sebaiknya
menginformasikan secara dini kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar.
Contoh lainnya, apabila perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang minyak dan gas
bumi (seperti: Pertamina dan Conoco Phillips) menunjuk service provider company untuk
melakukan Turnkey Project, maka disarankan agar segera menginformasikannya kepada
Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing.
 Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang dimanfaatkan secara luas di dalam
dunia usaha (misalnya: electronic commerce), disarankan agar pengertian BUT perlu
diperluas dalam Undang-Undang PPh sehingga Indonesia dapat memajaki transaksi
tersebut.

You might also like