You are on page 1of 17

SEJARAH KOTA PAMEKASAN, KOTA BATIK NAN ELOK....

Kabupaten PAMEKASAN lahir dari proses sejarah yang cukup panjang. Istilah
Pamekasan sendiri baru dikenal pada sepertiga abad ke-16, ketika Ronggosukowati
mulai memindahkan pusat pemerintahan dari Kraton Labangan Daja ke Kraton
Mandilaras.

Memang belum cukup bukti tertulis yang menyebutkan proses perpindahan pusat
pemerintahan sehingga terjadi perubahan nama wilayah ini. Begitu juga munculnya
sejarah pemerintahan di Pamekasan sangat jarang ditemukan bukti-bukti tertulis
apalagi prasasti yang menjelaskan tentang kapan dan bagaimana keberadaannya

Kemunculan sejarah pemerintahan lokal Pamekasan, diperkirakan baru diketahui


sejak pertengahan abad ke-15 berdasarkan sumber sejarah tentang lahirnya mitos
atau legenda Aryo Menak Sunoyo yang mulai merintis pemerintahan lokal di daerah
Proppo atau Parupuk. Jauh sebelum munculnya legenda ini, keberadaan Pamekasan
tidak banyak dibicarakan. Diperkirakan, Pamekasan merupakan bagian dari
pemerintahan Madura di Sumenep yang telah berdiri sejak pengangkatan Arya
Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268 oleh Kertanegara.

Jika pemerintahan lokal Pamekasan lahir pada abad 15, tidak dapat disangkal bahwa
kabupaten ini lahir pada jaman kegelapan Majapahit yaitu pada saat daerah-daerah
pesisir di wilayah kekuasaan Majapahit mulai merintis berdirinya pemerintahan
sendiri.
Berkaitan dengan sejarah kegelapan Majapahit tentu tidak bisa dipungkiri tentang
kemiskinan data sejarah karena di Majapahit sendiri telah sibuk dengan upaya
mempertahankan bekas wilayah pemerintahannya yang sangat besar, apalagi saat
itu sastrawan-sastrawan terkenal setingkat Mpu Prapanca dan Mpu Tantular tidak
banyak menghasilkan karya sastra. Sedangkan pada kehidupan masyarakat Madura
sendiri, nampaknya lebih berkembang sastra lisan dibandingkan dengan sastra tulis
Graaf (2001) menulis bahwa orang Madura tidak mempunyai sejarah tertulis dalam
bahasa sendiri mengenai raja-raja pribumi pada zaman pra-islam.
Tulisan-tulisan yang kemudian mulai diperkenalkan sejarah pemerintahan
Pamekasan ini pada awalnya lebih banyak ditulis oleh penulis Belanda sehingga
banyak menggunakan Bahasa Belanda dan kemudian mulai diterjemahkan atau
ditulis kembali oleh sejarawan Madura, seperti Zainal Fatah ataupun Abdurrahman.
Memang masih ada bukti-bukti tertulis lainnya yang berkembang di masyarakat,
seperti tulisan pada daun lontar atau Layang Madura, namun demikian tulisan pada
layang inipun lebih banyak menceritakan sejarah kehidupan para Nabi (Rasul) dan
sahabatnya, termasuk juga ajaran-ajaran agama sebagai salah satu sumber
pelajaran agama bagi masyarakat luas.

Masa pencerahan sejarah lokal Pamekasan mulai terungkap sekitar paruh kedua
abad ke-16, ketika pengaruh Mataram mulai masuk di Madura, terlebih lagi ketika
Ronggosukowati mulai mereformasi pemerintahan dan pembangunan di
wilayahnya. Bahkan, raja ini disebut-sebut sebagai raja Pertama di Pamekasan yang
secara terang-terangan mulai mengembangkan Agama Islam di kraton dan
rakyatnya.

Hal ini diperkuat dengan pembuatan jalan Se Jimat, yaitu jalan-jalan di Alun-alun
kota Pamekasan dan mendirikan Masjid Jamik Pamekasan. Namun demikian,
sampai saat ini masih belum bisa diketemukan adanya inskripsi ataupun prasasti
pada beberapa situs peninggalannya untuk menentukan kepastian tanggal dan bulan
pada saat pertama kali ia memerintah Pamekasan.

Bahkan zaman pemerintahan Ronggosukowati mulai dikenal sejak berkembangnya


legenda Kyai Joko Piturun, pusaka andalan Ronggosukowati yang diceritakan
mampu membunuh Pangeran Lemah Duwur dari Aresbaya melalui peristiwa mimpi.
Padahal temuan ini sangat penting karena dianggap memiliki nilai sejarah untuk
menentukan Hari Jadi Kota Pamekasan.

Terungkapnya sejarah pemerintahan di Pamekasan semakin ada titik terang setelah


berhasilnya invansi Mataram ke Madura dan merintis pemerintahan lokal dibawah
pengawasan Mataram. Hal ini dikisahkan dalam beberapa karya tulis seperti Babad
Mataram dan Sejarah Dalem serta telah adanya beberapa penelitian sejarah oleh
Sarjana barat yang lebih banyak dikaitkan dengan perkembangan sosial dan agama,
khususnya perkembangan Islam di Pulau Jawa dan Madura, seperti Graaf dan TH.
Pigeaud tentang kerajaan Islam pertama di Jawa dan Benda tentang Matahari Terbit
dan Bulan Sabit, termasuk juga beberapa karya penelitian lainnya yang
menceritakan sejarah Madura.

Masa-masa berikutnya yaitu masa-masa yang lebih cerah sebab telah banyak tulisan
berupa hasil penelitian yang didasarkan pada tulisan-tulisan sejarah Madura
termasuk Pamekasan dari segi pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan agama,
mulai dari masuknya pengaruh Mataram khususnya dalam pemerintahan Madura
Barat (Bangkalan dan Pamekasan), masa campur tangan pemerintahan Belanda
yang sempat menimbulkan pro dan kontra bagi para Penguasa Madura, dan
menimbulkan peperangan Pangeran Trunojoyo dan Ke’ Lesap, dan terakhir pada
saat terjadinya pemerintahan kolonial Belanda di Madura
Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda inilah, nampaknya Pamekasan untuk
perkembangan politik nasional tidak menguntungkan, tetapi di sisi lain, para
penguasa Pamekasan seperti diibaratkan pada pepatah Buppa’, Babu’, Guru, Rato
telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintahan Kolonial untuk kerentanan politiknya.
Hal ini terbukti dengan banyaknya penguasa Madura yang dimanfaatkan oleh
Belanda untuk memadamkan beberapa pemberontakan di nusantara yang dianggap
merugikan pemerintahan kolonial dan penggunaan tenaga kerja Madura untuk
kepentingan perkembangan ekonomi Kolonial pada beberapa perusahaan Barat yang
ada didaerah Jawa, khususnya Jawa Timur bagian timur (Karisidenan Basuki).

Tenaga kerja Madura dimanfaatkan sebagai tenaga buruh pada beberapa


perkebunan Belanda. Orang-orang Pamekasan sendiri pada akhirnya banyak hijrah
dan menetap di daerah Bondowoso. Walaupun‚ sisi lain, seperti yang ditulis oleh
peneliti Belanda masa Hindia Belanda telah menyebabkan terbukanya Madura
dengan dunia luar yang menyebabkan orang-orang kecil mengetahui system
komersialisasi dan industrialisasi yang sangat bermanfaat untuk gerakan-gerakan
politik masa berikutnya dan muncul kesadaran kebangsaan, masa Hindia Belanda
telah menorehkan sejarah tentang pedihnya luka akibat penjajahan yang dilakukan
oleh bangsa asing.
Memberlakukan dan perlindungan terhadap system apanage telah membuat orang-
orang kecil di pedesaan tidak bisa menikmati hak-haknya secara bebas. Begitu juga
ketika politik etis diberlakukan, rakyat Madura telah diperkenalkan akan pentingnya
pendidikan dan industri, tetapi disisi lain, keuntungan politik etis yang dinikmati oleh
rakyat Madura termasuk Pamekasan harus ditebus dengan hancurnya ekologi
Madura secara berkepanjangan, atau sedikitnya sampai masa pemulihan keadaan
yang dipelopori oleh Residen R. Soenarto Hadiwidjojo. Bahwa pencabutan hak
apanage yang diberikan kepada para bangsawan dan raja-raja Madura telah
mengarah kepada kehancuran prestise pemegangnya yang selama beberapa abad
disandangnya.

Perkembangan Pamekasan, walaupun tidak terlalu banyak bukti tertulis berupa


manuskrip ataupun inskripsi nampaknya memiliki peran yang cukup penting pada
pertumbuhan kesadaran kebangsaan yang mulai berkembang di negara kita pada
zaman kebangkitan dan pergerakan nasional.

Banyak tokoh-tokoh Pamekasan yang kemudian bergabung dengan partai-partai


politik nasional yang mulai bangkit seperti Sarikat Islam dan Nahdatul Ulama diakui
sebagai tokoh nasional. Kita mengenal Tabrani, sebagai pencetus Bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan yang mulai dihembuskan pada saat terjadinya Kongres
Pemuda pertama pada tahun 1926, namun terjadi perselisihan faham dengan tokoh
nasional lainnya di kongres tersebut. Pada Kongres Pemuda kedua tahun 1928 antara
Tabrani dengan tokoh lainnya seperti Mohammad Yamin sudah tidak lagi bersilang
pendapat.

Pergaulan tokoh-tokoh Pamekasan pada tingkat nasional baik secara perorangan


ataupun melalui partai-partai politik yang bermunculan pada saat itu, ditambah
dengan kejadian-kejadian historis sekitar persiapan kemerdekaan yang kemudian
disusul dengan tragedi-tragedi pada zaman pendudukan Jepang ternyata mampu
mendorong semakin kuatnya kesadaran para tokoh Pamekasan akan pentingnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian bahwa sebagian besar rakyat
Madura termasuk Pamekasan tidak bisa menerima terbentuknya negara Madura
sebagai salah satu upaya Pemerintahan Kolonial Belanda untuk memecah belah
persatuan dan kesatuan bangsa.

Melihat dari sedikitnya, bahkan hampir tidak ada sama sekali prasasti maupun
inskripsi sebagai sumber penulisan ini, maka data ataupun fakta yang digunakan
untuk menganalisis peristiwa yang terjadi tetap diupayakan menggunakan data
sekunder berupa buku-buku sejarah ataupun Layang Madura yang diperkirakan
memiliki kaitan peristiwa dengan kejadian sejarah yang ada. Selain itu diupayakan
menggunakan data primer dari beberapa informan kunci yaitu para sesepuh
Pamekasan.

sumber : www.pamekasan.go.id
(foto2 koleksi pribadi)

Budaya Batik

Kata “batik” berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: “amba”, yang bermakna
“menggambar/menulis” dan “titik” yang bermakna “titik”. Jadi batik merupakan kegiatan
melukis dengan menggunakan bantuan dari beberapa titik yang kemudian apabila titik tersebut
dugabungakan satu sama lainnya akan membentuh sebuah gambar yang mempunyai nilai seni
yang sangat berharga.

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya
Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau
menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa
lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik
Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian
bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada
corak “Mega Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim
bagi kaum lelaki.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala
suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat
menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya
dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia ( Jawa ) yang sampai saat ini masih ada.
Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu
memakai batik pada Konferensi PBB.

Mengenai baju batik di Indonesia pada awalnya baju batik kerap dikenakan pada acara acara
resmi untuk menggantikan jas. Tetapi dalam perkembangannya pada masa Orde Baru baju batik
juga dipakai sebagai pakaian resmi siswa sekolah dan pegawai negeri (Batik Korpri) yang
menggunakan seragam batik pada hari Jumat. Perkembangan selanjutnya batik mulai bergeser
menjadi pakaian sehari-hari terutama digunakan oleh kaum wanita. Pegawai swasta biasanya
memakai batik pada hari kamis atau jumat.

Pandangan Umum Batik Madura

Sebagai sebuah bentuk karya seni budaya, batik Madura banyak diminati dan digemari oleh
konsumen lokal dan interlokal. Dengan bentuk dan motif yang khas batik Madura mempunyai
keunikan tersendiri bagi para konsumen. Corak dan ragamnya yang unik dan bebas, sifat
produksinya yang personal (dikerjakan secara satuan), masih mempertahankan cara-cara
tradisional (ditulis dan diproses dengan cara-cara tradisional) dan senantiasa menggunakan bahan
pewarna alami yang ramah dengan lingkungan. Sejarah mencatat Madura adalah produsen batik
dan jamu yang cukup terkenal. Yang membuatnya menjadi seperti itu, barangkali karena kedua
komoditas itu menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi masyarakatnya sendiri.

Industri kecilyang menjadi kebanggaan daerah ini memang batik. Bagi Madura, batik bukan
hanya sehelai kain, namun telah menjadi ikon budaya dan sering menjadi objek penelitian
banyak institusi. Di berbagai buku batik terbitan luar negeri, batik Madura menjadi perhatian
khusus. Motif dan warna yang tertuang di dalam kain panjang itu, merefleksikan karakter
masyarakatnya. Khususnya batik buatan Tanjung Bumi di Kabupaten Bangkalan.Tidak hanya di
Tanjung Bumi saja, batik telah menjadi nilai seni budaya Indonesia di mata asing. Bahkan
pakaian atau baju batik menjadi bagian dari pakaian resmi di Indonesia. Tidak jarang kita
menemukan atau bahkan sering, para undangan, pejabat mengenakan pakaian batik pada acara
resmi keluarga, negara dan lain sebagainya.

Intinya, Batik dengan bentuk dan corak yang berbeda, baik itu batik Madura, batik pekalongan,
batik jawa, batik jogja, batik solo dan batik-batik daerah lain adalah karya seni budaya tinggi
yang perlu untuk dipertahankan, dilestarikan, dikembangkan sehingga menjadi asset berharga
bangsa ini dimata internasional.

Coba kita bayangkan bagaimana seandainya pakaian jas yang kini menjadi pakaian resmi
kenegaraan di penjuru dunia, diganti dengan pakaian batik Madura atau batik Indonesia ?
sungguh ini adalah suatu hal yang mungkin akan terjadi jika kita bisa mengembangkan batik
Madura atau batik Indonesia secara professional.

Sejarah Tekhnik Pembuatan Batik

Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah
satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak
abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk
membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T’ang
(618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti
batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal. di
Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer
akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai
awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.

Walaupun kata “batik” berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah
tercatat. Tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6
atau ke-7 (G.P. Rouffaer. 2000). Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A.
Sutjipto (arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja,
Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang
dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuno membuat batik.

G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri,
Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan
menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa
sekitar itu.

Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang
Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140
lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu
memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam
dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang
Sultan kecewa.

Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java
(London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di
Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van
Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke
Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa
keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik
Indonesia memukau publik dan seniman.
Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis
baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang
diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis.
Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik
bersama mereka.

Cara pembuatan

Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan
kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di atas bahan lain seperti sutera, poliester, rayon dan
bahan sintetis lainnya. Motif batik dibentuk dengan cairan lilin dengan menggunakan alat yang
dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif berukuran besar, sehingga cairan
lilin meresap ke dalam serat kain. Kain yang telah dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan
warna yang diinginkan, biasanya dimulai dari warna-warna muda. Pencelupan kemudian
dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua atau gelap. Setelah beberapa kali proses
pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke dalam bahan kimia untuk melarutkan lilin.

Perkembangan Batik Madura

Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan


kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada
masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta, dan kerajaan
di Jawa Timur.

Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu
kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas
dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh
karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh
mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan
selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi
waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian
menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.

Batik Masa Kini


Ditulis pada Kamis, 12 Agustus 2010 | Kategori: Sejarah Batik | Dilihat 224 kali

Batik bukan lagi menjadi pakaian yang digemari oleh raja-raja dan pengikutnya
(pembantu-pembantu kraton), tetapi juga oleh masyarakat umum. Sehingga banyak
peminat atau ketertarikannya pada batik dan menjadikan sebagai pakaian dalam
acara-acara resmi seperti acara hajatan, atau acara kenegaraan atau
kepemerintahan.
Batik sudah lama dikenal oleh masyarakt Indonesia bahkan masyarakat dunia
sehingga menjadikan salah satu ikon atau identitas budaya Indonesia. Sekarang ini
kata batik sudah banyak dikenal di luar negeri. Baik wanita maupun pria Indonesia
dari berbagai suku gemar memakai bahan pakaian yang dihiasi pola batik ataupun
kain batiknya sendiri, yang dibuat dan digunting menurut selera masing-masing.
Para turis asing ataupun pejabat-pejabat asing yang tinggal di Indonesia sangat
gemar akan batik dan sering membawanya pulang sebagai oleh-oleh.

Setelah terjadinya gonjang-ganjing mengenai status batik yang sempat diklaim oleh
Malaysia bahwa batik merupakan ciri khas atau sebagai identitas dari budaya
mereka. Dengan adanya pengakuan tersebut masyarakat Indonesia, terutama bagi
para pencinta batik Indonesia, merasa gerah dan terganggu dengan adanya kasus
tersebut. Sehingga masyarakat Indonesia melalui pemerintahannya mengajukan ke
PBB untuk urusn kebudayaan (UNESCO) untuk menetapkan bahwa batik adalah
salah satu warisan budaya dunia yang sah milik Indonesia.

Dengan perjalanan panjang yyang lumayan melelahkan, maka UNESCO (United


Nations Educational Scientific, and Cultural Organization) pada tanggal 2 Oktober
2009 di Abu Dhabi menetapkan batik salah satu warisan budaya dunia. Tentunya
berita ini memberikan kegembiraan bagi para pecinta batik di Indonesia yang
selama ini memang memperjuangkan agar kekayaan seni tak berbenda tersebut
bisa sah milik Indonesia.

Keputusan UNESCO yang sudah lama dinanti-nanti bangsa Indonesia itu disambut
meriah dan berbagai kalangan pada tanggal tersebut menggunakan batik, baik
untuk bekerja, bersekolah, kuliah, serta kegiatan lainnya.

Keputusan badan dunia itu diharapkan akan menggairahkan para pengusaha serta
perajin batik untuk meningkatkan kualitas mereka, baik mutu, desain maupun
jumlahnya. Sehingga bisa membuktikan kepada bangsa-bangsa lain serta UNESCO
sendiri bahwa keputusan itu akan ditindaklanjuti oleh bangsa ini.

Menurut Sultan, sebagaimana diberitakan dalam www.republika.co.id, mengatakan


bahwa pelestarian batik sebagai warisan budaya dunia intangible (tak benda)
memerlukan dukungan naskah akademik akan mampu menjelaskan semua
informasi tentang batik yang mampu dipertanggungjawabkan. Naskah akademik
berupa hasil penelitian maupun analisis tentang batik sangat diperlukan karena
hingga kini banyak pertanyaan tentang batik yang belum sepenuhnya terpecahkan.
Salah satu masalah yang perlu mendapat kajian serius adalah asal muasal batik.

Lebih lanjut dikatakan HB X, bahwa terdapat hipotesis yang menyebutkan corak


batik dari Sumatra hingga Papua memiliki banyak kemiripan. Itu kemungkinan
dapat terjadi karena jutaan tahun yang lalu Pulau Sumatra, Jawa,dan Kalimantan
tergabung menjadi satu. Jika corak batik dari Sabang sampai Merauke memiliki
banyak kemiripan, yang menjadi pertanyaan adalah dari mana sumber batik? Untuk
itulah diperlukan naskah akademik.

Penetapan batik sebagai warisan budaya dunia tak benda merupakan pengakuan
dunia terhadap batik sebagai ciri khas budaya bangsa dan milik Indonesia. Semua
pihak perlu mendukung pengakuan dunia terhadap peninggalan nenek moyang
bangsa. Sultan berharap semua pihak dapat bekerjasama dalam melestarikan batik
secara berkesinambungan agar batik semakin dikenal masyarakat dunia.

Antusiasme masyarakat atas penetapan batik oleh UNESCO sebagai salah satu
warisan budaya dunia dan milik Indonesia disambut di berbagai daerah dengan
mengenakan baju batik pada hari itu dan diadakan berbagai acara dan cara. Seperti
salah satunya yang dilakukan oleh ratusan masyarakat batik Pekalongan yang
menggelar tasyakura. Menurut H. Ahmad Failasuf, sebagai koordinator Kampung
Batik Wiradesa, mengatakan bahwa world heritage perlu disyukuri bahwa diakuinya
batik sebagai warisan budaya Indonesia, memanfaatkan peluang zaman keemasan
batik. Sebab seluruh bangsa sudah mengakui batik, serta melestarikan dan
mengembangkan batik dengan lebih baik.

Begitu juga di salah satu swalayan di Careffour Kota Medan, sebagaimana


diberitakan oleh Medan Bisnis, ikut memeriahkan dengan cara sengaja bagikan
souvenir ke pelanggan berbaju batik. Adinda salah satu SPG di swalayan yang
diwawancari Medan Bisnis tersebut mengatakan bahwa hari ini, bagi pembeli yang
mengenakan pakaian batik akan mendapat souvenir dan hadiah cuma-cuma. Dan
saya lihat hampir rata-rata pembeli mengenakan batik.

Tidak ketinggalan juga bagi masyarakat Indonesia yang ada di luar negeri. Seperti
halnya di kawasan kota tua Nurnberg, Jerman, untuk menyambut ditetapkan batik
oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009, sekitar 60 orang dewasa dan anak-anak
berkumpul di depan gereja Lorenz Kirche kemudian berfoto bersama, sambil
membentangkan spanduk yang bertuliskan Herzlichen Glueckwunsch BATIK zur
Anerkennung am 2.10.2009 als indonesisches Welt-Kulturerbe von der UNESCO
(Selamat atas dikukuhkanya Batik indonesia sebagai warisan dunia oleh UNESCO).
Kegiatan dilanjutkan dengan berpawai ke tiga titik utama kawasan kota tua itu
sambil menggelar spanduk. Aksi ini, tentunya menarik perhatian warga yang lalu-
lalang di pusat kota tua Nurnberg.

Itulah hanya sebagian masyarkat Indonesia yang antusias menyambut atas


ditetapkannya batik sebagai warisan budaya dunia dan asli Indonesia oleh badan
UNESCO. Dan, tinggal kita masyarakat Indonesia yang harus memelihara dan
melestarikan budaya tersebut, yang salah satunya adalah dengan (tidak malu)
merasa bangga memakai batik dalam segala hal kegiatan di masyarakat dalam
segala hal kegiatan di masyarakat dalam berbagai acara, baik formal maupun
nonformal. Sehingga dapat menunjukan pada dunia bahwa memang batik adalah
warisan budaya asli Indonesia.

Batik Zaman Majapahit


Ditulis pada Senin, 09 Agustus 2010 | Kategori: Sejarah Batik | Dilihat 211 kali

Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majapahit, dapat ditelusuri di


daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojokerto adalah daerah yang erat
hubungannya denga kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Mojokerto
ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal
Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan
di daerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada
waktu itu, daerah Tulung Agung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah
terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat berkembangnya
Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang bernama Adipati Kalang, dan tidak
mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisinil yang dilancarkan oleh Majapahit, Adipati
Kalang tewas dalam pertempuran yang konon di sekitar desa yang sekarang
bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluarga
kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal di wilayah Bonorowo atau yang
sekarang bernama Tulung Agung juga membawa kesenian membuat batik asli.

Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero, dan


Sidomulyo. Di luar daerah kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad
ke-19, ada beberapa tempat kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-
bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik
dari soga jambal, mengkudu, nila, tom, tinggi, dan sebagainya.

Obat-obatan luar negeri baru dikenal sesudah Perang Dunia I yang dijual oleh
pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan
masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-
pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya di pasar Porong Sidoarjo. Pasar
Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, di mana
hasil-hasil produksi batik kedung cangkring dan jetis sidoarjo banyak dijual. Waktu
krisis ekonomi, pengusaha batik Mojokerto lumpuh karena pengusaha-pengusaha
kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali
sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan
pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan sesudah revolusi di mana Mojokerto
sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-
batik Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya cokelat muda dan biru
tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan di Desa
Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman
peperangan Pangeran Diponegoro 1825-1830.

Meskipun pembatikan dikenal sejak zaman Majapahit, namun perkembangan batik


mulai menyebar pesat ketika terpecahnya Mataram menjadi Surakarta dan
Yogyakarta. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung
Agung berikutnya lebih dipengaruhi corak batik asal Solo dan Yogyakarta.

Dalam berkecamuknya peperangan antara tentara tentara kolonial Belanda dengan


pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro, maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai
Mojo mengundurkan diri ke arah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak
zaman penjajahan Belanda hingga kemerdekaan ini Desa Majan berstatus desa
merdikan (daerah istimewa), dan kepala desanya seorang kyai yang statusnya
turun temurun. Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni
membuat batik zaman Perang Diponegoro itu.

Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena babarannya merah
menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik sentra
sejak dahulu kala terkenal juga di daerah Desa Sambung, yang para pengusaha
batik kebanyakan berasal dari Solo yang datang di Tulung Agung pada akhir abad
ke-19. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan Solo yang
menetap di daerah Sumbung. Selain dari tempat-tempat tersebut, ada juga daerah
pembatikan di Trenggalek dan beberapa di Kediri. Tetapi sifat pembatikan sebagian
kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.

sumber : Batik Warisan Budaya Asli Indonesia, Aep S. Hamidin, 2010

Batik dengan Sejarahnya

August 19th, 2010 § 0

Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua
hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah
pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist
dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk
penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan
teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah
ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of
the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober, 2009.
Kata “batik” berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: “amba”, yang bermakna “menulis”
dan “titik” yang bermakna “titik”

Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah
satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak
abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk
membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T’ang
(618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti
batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal. Di
Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer
akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai
awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.

Walaupun kata “batik” berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah
tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari
India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7. Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda)
dan F.A. Sutjipto (arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti
Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang
dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuna membuat batik.

G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri,
Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan
menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa
sekitar itu.

Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang
Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140
lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu
memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam
dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang
Sultan kecewa. Oleh beberapa penafsir,who? serasah itu ditafsirkan sebagai batik.

Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java
(London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di
Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van
Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke
Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa
keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik
Indonesia memukau publik dan seniman.

Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis
baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang
diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis.
Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik
bersama mereka.
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya
Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau
menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa
lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik
Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian
bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada
corak “Mega Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim
bagi kaum lelaki.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala
suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat
menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya
dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia ( Jawa ) yang sampai saat ini masih ada.
Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu
memakai batik pada Konferensi PBB. (wikipedia)

You might also like