You are on page 1of 8

Abd al-Karim al-Jili: Faylasuf Prolifik Era Kemunduran

Islam*
Oleh Irwan Masduqi, Lc.
Kamis, 18 Maret 2010 02:09

Jika Aku mencintanya, Aku akan menjadi telinganya yang dia gunakan
mendengar, matanya yang dia pergunakan melihat, tangannya yang dia pakai untuk menggenggam, dan kakinya yang
dia pergunakan berjalan[Hadits Qudsi] Kekasihku memanifestasikan diri-Nya dalam berbagai eksistensi Maka setiap
eksistensi adalah penampakan-Nya [Abd al-Karim al-Jili][1]

Prolog

Perang Salib (1096-1270 M) dan ekpansi Mongol (1220-1300 M) dinilai para sejarawan sebagai salah satu faktor
eksternal bagi kemunduran peradaban Islam. Bernard Lewis memandang Perang Salib merupakan “pengalaman
pertama imperialisme Barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh motif material dengan menggunakan agama
sebagai medium psikologisnya.” Semantara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand,
Bukhara, Khawarizm dan dilanjutkan ke Persia (1220-1221 M). Pada tahun 1258 M., Mongol berhasil merebut
jantung kota Baghdad dan diikuti serangan ke Syria serta Mesir. Dinasti Abbasiyah di Baghdad pun runtuh diserang
Mongol. Edward Granville Browne, orientalis Inggris, secara dramatis mengilustrasikan keruntuhan Baghdad
sebagai “siksaan paling memilukan dibanding semua tragedi yang pernah terjadi sepanjang sejarah dunia”.[2]

Dua belas ribu pasukan Mongol, yang mula-mula hanya kelompok kecil penggembala di padang stepa utara Cina
hingga Siberia, juga menghancurkan madrasah-madrasah, universitas-universitas dan perpustakaan-perpustakaan
Baghdad. Tragedi ini menjadi salah satu pemicu mengendurnya dinamika intelektual dalam peradaban Islam. T. J.
De Boer, dalam The History of Philosophy in Islam, mengklaim “budaya inovasi kreatif dan spirit menghidupkan
kembali tradisi keilmuan Islam menjadi stagnan pasca ekspansi Mongol”.[3]

Ironisnya, pada era stagnansi ini, aktivitas intelektual diasumsikan hanya berkutat dalam zona komentar terhadap
karya-karya sebelumnya.[4] Anggitan-anggitan (baca: karya-karya) yang berkembang pada periode tertutupnya pintu
ijtihad ini tak lebih hanyalah produk pembacaan tautologis (qira`ah al-tikrar), bukan pembacaan produktif (qira`ah
al-muntijah). Oleh karena itu, Kenneth E. Nollin menyebut karya-karya para sarjana pada masa ini sebagai “corpus
of conservative tradisionalism”.[5]

Asumsi-asumsi tersebut perlu ditinjau ulang. Bernard Lewis membantahnya sembari menyatakan, “Adalah salah
menganggap tradisi keilmuan Islam gulung tikar pasca runtuhnya Baghdad. Pada realitas konkret, sejatinya di sana
masih ada cendekiawan-cendekiawan”.[6] Wael B. Hallaq pun menilai pintu ijtihad tidak pernah ditutup, baik secara
teoretis maupun praksis. Hallaq justru memberikan bukti-bukti historis bahwa pada era kemunduran pernah ada
beberapa mujtahid yang acap menentang pendapat imam madzhabnya. Diantaranya adalah Ibn Hasan al-Tanukhi,
seorang penganut madzhab Hanafiyyah, dan Ali bin al-Husayn bin al-Harbawayh dari madzhab Syafi`iyyah.[7]

Pernyataan Bernard Lewis dan Wael B. Hallaq setidaknya mengindikasikan adanya kontinuitas tradisi intelektual
yang terus bergerak, meksi tak dapat dipungkiri bahwa secara kualitas maupun kuantitas dinamika ijtihad relatif
sedikit mengendur. Nah, gairah ijtihad inovatif ini akan kita telusuri lebih detail dalam kerangka pemikiran Abd al-
Karim al-Jili. Dalam proyek ini, al-Jili sengaja dijadikan sample mistikus dan faylasuf prolifik pasca runtuhnya
Baghdad untuk membuktikan bahwa tradisi ijtihad masih bergerak pada era kemuduran. Studi atas pemikiran al-Jili
menjadi semakin menarik, lantaran —dalam ranah Islamic studies— al-Jili telah menuai apresiasi-apresiasi dari
kalangan islamolog-islamolog Barat. Sebagai contoh, misalnya, James Winston Morris mengatakan, “Tak pelak lagi
Abd al-Karim al-Jili adalah pemikir paling orisinal dan sekaligus penulis mistik yang sangat menonjol dan bebas”.[8]
T. Burck Hardt juga menegaskan, “Orisinalitas dan kreativitas al-Jili lebih menonjol ketimbang pembebekannya
kepada Ibn Arabi”.[9]

Biografi

Sumber-sumber otoritatif sepakat al-Jili bernama lengkap Abd al-Karim bin Ibrahim bin Abd al-Karim bin Ahmad.
Julukannya adalah al-Jili, al-Kaylani dan al-Jaylani. Jaylan merupakan salah satu kawasan Persia. Konon, al-Jili
adalah keturunan Abd al-Qadir al-Jaylani yang wafat di Baghdad pada tahun 561 H. Al-Jili lahir di Baghdad pada
awal Muharam 767 H/1365 M. Menurut sumber paling valid, ia wafat di Zabid, Yaman, pada 826 H/1428 M.[10]
Sebelum genap berumur dua puluh tahun, untuk pertama kalinya al-Jili melakukan ekspedisi ilmiah menuju Persia.
Meski berhasil menulis risalah-risalah kecil berbahasa Persia, al-Jili merasa iklim intelektual di Persia kurang
kondusif.

Al-Jili muda memutuskan melanjutkan ekspedisi ilmiah menuju India. Saat berdomisili di kawasan Kusyi, al-Jili
berinteraksi dengan para penganut Hindu-Budha sekaligus mendalami misteri teosofis dan spirit doktrinalnya.
Interaksinya dengan penganut agama lain tersebut, pada gilirannya, membawa pengaruh dalam pandangan pluralis
dan inklusif al-Jili. Pada tahun 796 H, bisikan ruhiyyahsulûknya, lantaran di kota itu ia berkenalan dengan Syarf al-
Din bin Isma`il al-Jabarti; master spiritual yang kelak paling berpengaruh dalam proses pendakian mistikal al-Jili.
mendorong al-Jili meninggalkan India menuju Zabid, Yaman. Saat berumur dua puluh sembilan, kota Zabid menjadi
saksi bisu transformasi gejolak jiwa dalam kehidupan

Kegandrungan bertemu Sang Kekasih mengilhami al-Jili untuk melanjutkan pengembaraan ritualistiknya. Dengan
berbekal eksperimentasi asketis (zuhud), al-Jili menempuh perjalanan menuju Makkah di akhir tahun 799 H. Di sana
al-Jili melakukan kontak spiritual dengan mistikus-mistikus Bait Allah untuk mengasah ketajaman bakat
penerawangan esoterisnya. Pada tahun 803 H, al-Jili mengunjungi universitas al-Azhar Kairo dan meracik karya
berjudul Ghaniyyah Arbâb al-Simâ’; anggitan elaboratif atas tema-tema sufi dan balaghah.

Rindu tebal menyelimuti al-Jili pada tahun 805 H. yang menuntunnya kembali ke Yaman untuk bertemu kembali
dengan Syaikh Syarf al-Din al-Jabarti (w. 806). Al-Jabarti adalah master tasawuf filosofis terkemuka di Yaman.
Madrasah tarekat al-Jabarti serius dalam mempromosikan karangan-karangan fenomenal Ibn ‘Arabi. Mistisisme,
khususnya sufisme Ibn ‘Arabi, berkembang di Yaman tanpa ada resistensi dari kalangan fuqaha’, lantaran ordo
mistik (baca: tarekat) al-Jabarti sepenuhnya didukung kekuasaan Bani Rasul; Dinasti sekte Sunni yang menguasai
Yaman pada saat itu. Di lingkungan ordo mistik inilah al-Jili terpengaruh oleh esoterisme Ibn ‘Arabi dan benar-
benar merasakan fenomena "kerasukan Tuhan".

Dukungan penguasa terhadap ordo mistik al-Jabarti merupakan realitas sosio-politik kondusif yang menjadi
momentum bagi al-Jili untuk meramu karya-karya genialnya, antara lain: 1) Syarh Futûhât al-Makiyyah wa Fath al-
Abwâb al-Mughlaqât min al-‘Ulûm al-Laduniyyah. Dalam buku ini, al-Jili tidak hanya memberikan komentar
sebagaimana yang diberikan oleh komentator-komentator karya Ibn ‘Arabi. Lebih jauh lagi, al-Jili berani mengkritik
Ibn ‘Arabi dan menawarkan perspektif baru dalam berbagai objek persoalan; 2) al-Kahfi wa al-Raqîm fi Syarh
bismiLLâhi al-Rahman al-Rahîm. Karya ini menjelaskan secara simbolik misteri-misteri di balik lipatan-lipatan huruf
BismiLLâhi al-Rahman al-Rahîm. Sebagai contoh, misalnya, huruf mim-nya adalah isyarat bahwa Ruh
Muhamadiyyah adalah ciptaan perdana Allah; 3) al-Qamûs al-A’dham wa al-Namûs al-Aqdam fi Ma’rifat Qadr al-
Nabi. Buku ini terdiri lebih dari empat puluh juz; 4) Kasyf al-Ghayât fi Syarh al-Tajaliyyât. Menurut K.
Brockelmann, orientalis Jerman, buku ini adalah komentar atas al-Tajaliyyât al-Ilahiyyah karya Ibn ‘Arabi; 5) al-
Isfâr ‘an Risâlah al-Anwâr, komentar atas al-Isfâr ‘an Natâ`ij al-Asfâr karya Ibn ‘Arabi; 6) al-Nadirat al-‘Ayniyyah
fi al-Badirat al-Ghaybiyyah yang berisi 540 kasidah-kasidah sufi; 7) al-Manâdhir al-Ilahiyyah; 8) al-Kamâlât al-
Ilahiyyah; 9) Insân ‘Ain al-Jûd wa Wujûd al-Insân al-Mawjûd; 10) Kasyf al-Sutûr; 11) Risâlah Sabahat; 12) al-
Qashîdah al-Wahidah; 13) Musâmarat al-Habîb wa Musâyarat al-Shahîb; 14) Tafsir al-Khadhm al-Zâkhir wa al-
Kanz al-Fâkhir. Dalam tafsir ini al-Jili menginterpretasikan ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan pendekatan
filsafat sufistiknya; 15) al-Insân al-Kamîl fi Ma’rifat al-Awâkhir wa al-Awâ`il. Kitab kanonikal ini adalah karyanya
yang paling populer dan menjadi teks ikon di kalangan ordo-ordo sufi. Menurut Yusuf Zidan, jumlah karya al-Jili
kurang lebih mencapai tiga puluh tiga buku, namun sebagian besar masih dalam bentuk manuskrip.[11] Al-Insân al-
Kamîl fi Ma’rifat al-Awâkhir wa al-Awâ`il relatif mendapat apresiasi luas dari kalangan sarjana Islam. Apresiasi itu
dapat dilihat dari berjibunnya komentar-komentar atas al-Insan al-Kamil, diantaranya Kasyf al-Bayan ‘an Asrar al-
Adyan fi Kitab al-Insan al-Kamil wa Kamil al-Insan karya Abd al-Ghani al-Nablisi, Muwadhahat al-Hal ‘ala Ba’dh
Masmu’at al-Dajjal karya Ahmad al-Madani al-Anshari dan lain-lain.[12]

Deretan karya-karya al-Jili menunjukkan produktivitas dan kematangannya dalam penguasaan khazanah keilmuan.
Kematangan itu, menurut Yusuf Zidan dan Suhaylah Abd al-Ba’its al-Tarjuman, diperoleh melalui ekspedisi ilmiah
yang cukup panjang. Mereka berdua sepakat bahwa al-Jili memiliki kompetensi multidisipliner; linguistika Arab,
hermeneutik al-Quran, hadits, tasawuf, filsafat Yunani, fiqh, ushul fiqh, Taurat, Injil, doktrin-doktrin Zarathustra,
Manichaisme dan seterusnya.[13] Linguistika Arab membantu al-Jili dalam menggubah syair-syair yang memakau.
Fiqh dan ushul fiqh melicinkan langkah al-Jili dalam mengharmonisasikan syari’at dan hakikat. Harmonisasi ini
terlihat dalam pernyataan al-Jili, “Kitab Insan Kamil ini aku bangun di atas pondasi penyingkapan tabir misteri yang
jelas (kasyf). Diskursus-diskursusnya juga diperkuat oleh tendensi informasi yang valid. Dan ketahuilah bahwa ilmu
yang tidak mendapat justifikasi dari al-Quran dan hadits adalah sesat”. Sementara itu, penguasaannya terhadap
Taurat, Injil dan doktrin agama non-Islam telah mempengaruhi terbentuknya pandangan-pandangan yang toleran dan
pluralis.[14]

Teori Insan Kamil

Pendakian kontemplatif seorang mistikus dapat dirangsang oleh kekaguman terhadap objek keindahan. Pada tahun
1201 M., ketika tawaf di Ka’bah, imajinasi kreatif Ibn ‘Arabi tumbuh lantaran melihat gadis cantik bernama al-
Nizam. Konon, untuk mengekspresikan ketakjubannya, Ibn ‘Arabi (1165-1240 M.) berkata, “Jika engkau mencintai
suatu wujud karena keindahannya, engkau tak lain kecuali mencintai Allah, karena Dia adalah satu-satunya Wujud
yang Indah”. Bagi Ibn ‘Arabi, al-Nizam yang cantik adalah avatar atau teofani Tuhan (tajali ilah). Delapan tahun
kemudian, Dante Alighieri ditaklukkan oleh cintanya kepada Beatrice. Dalam The Divine Comedy, perempuan cantik
itu menjelma menjadi citra cinta ilahi bagi Dante yang mengawalnya dalam perjalanan imajiner menuju penampakan
Tuhan.

Eksperimentasi mistikal juga dapat dilecut oleh decak kagum kepada master tasawuf. Pada tahun 1244 M., Maulana
Jalaluddin al-Rumi (kl. 1207-1273 M.) jatuh kagum pada Syaikh Syamsuddin dari kota Tabriz. Syamsuddin
dipandangnya sebagai Manusia Sempurna (al-Insan al-Kamil) pada generasi itu. Syamsuddin dianggap sebagai
inkarnasi Nabi dan meminta dipanggil dengan nama ‘Muhammad’.[15] Abd al-Karim al-Jili mendapatkan
pengalaman sama ketika berkenalan dengan Syaikh Syarf al-Din al-Jabarti di Yaman pada 796 H. Al-Jabarti menjadi
inspirator bagi terbangunnya gagasan Insan Kamil al-Jili. Alih-alih hanya sekadar master tasawuf, al-Jabarti telah
menjadi gambaran ideal the perfect man bagi al-Jili. Al-Insan al-Kamil fi Ma`rifat al-Awakhir wa al-Awa`il
merupakan magnum opus al-Jili yang ditulis setelah pertemuannya yang kedua dengan al-Jabarti pada 805 H. Buku
ini tersusun dari enam puluh tiga bab, tetapi bab keenam puluh adalah muaranya. Al-Jili mengatakan, “Bab keenam
puluh yang berjudul al-Insam al-Kamil adalah tiang penyangga dari semua bab dalam kitab ini, bahkan semua
elaborasi dari awal hingga akhir hanyalah penjelasan atas bab Insan Kamil ini”.[16]

Genealogikal teori Insan Kamil al-Jili merupakan pengembangan konsep wihdat al-wujûd, tajallî (theophany) dan al-
insan al-kamil[17] Dalam rancang-bangun pemikiran Ibn ‘Arabi, sebagaimana dalam Hadits, bahwa Tuhan mula-
mula adalah ‘harta tersembunyi’, kemudian Ia ingin dikenal, maka diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah
Ia dikenal. Dengan demikian, alam semesta adalah teofani nama dan atribut Tuhan. Alam sebagai cermin yang
didalamnya terdapat gambar Tuhan. Wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan dalam ajaran wihdat al-wujûd,
manunggaling kawulo-gusti.[18] Ibn ‘Arabi.

Teofani Tuhan, dalam perspektif al-Jili, terjadi melalui tiga tangga menurun; ahadiah, huwiah dan aniyah. Pada
tangga pertama, Tuhan dalam absolusitasnya keluar dari kegelapan (al-'ama), tanpa nama dan atribut. Pada tangga
kedua, nama dan atribut Tuhan telah muncul dalam bentuk potensial. Pada tangga ketiga, Tuhan menampakkan diri
dengan nama-nama dan atribut-atribut-Nya pada makhluk-Nya. Manusia merupakan penampakan Tuhan yang lebih
sempurna dibanding semua makhluk-Nya, tetapi tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan yang
paling sempurna terdapat dalam Insan Kamil.[19]

Untuk mencapai strata Insan Kamil, seorang mistikus harus melewati tiga langkah (barzakh): al-bidâyah, al-
tawasuth dan al-khitâm. Pertama, seseorang harus mampu berperilaku sesuai dengan cerminan nama-nama dan sifat-
sifat Tuhan. Di level ini seorang sufi disinari oleh nama dan atribut Tuhan; sufi pengasih dan penyayang akan
memperoleh sinaran kasih sayang Tuhan. Pada level ini sufi akan menjadi khalifah dan gambar Tuhan, sebagaimana
dalam haidts “Adam diciptakan seperti gambar Allah al-Rahman”. Kedua, seorang sufi harus mampu menyerap
status kemanusiaan sekaligus hakikat ketuhanan. Sufi yang telah mencapai level ini dapat menerawang misteri-
misteri alam ghaib. Ketiga, seorang sufi harus mengetahui hikmah di balik penciptaan. Dengan hal itu, sufi akan
menggapai kekramatan supra-natural.[20]

Dalam terminologi al-Jili, nomenklatur ‘Insan Kamil’ secara etis hanya boleh disematkan kepada Muhammad saw.
Namun ketika Muhammad saw ‘menjelma’ dalam diri para nabi dan wali, maka para nabi dan wali tersebut juga sah
disebut sebagai Insan Kamil. Titisan-titisan Muhammad selalu muncul pada setiap generasi untuk kepentingan umat.
Mereka adalah al-Khulafa, para pengganti Muhammad saw. Salah satu titisan Muhammad, menurut al-Jili, adalah
Syaikh Syarf al-Din al-Jabarti. Dalam konteks ini, al-Jili menolak dengan keras jika teori ‘penjelmaan Muhammad’
disebut sebagai bentuk ‘reinkarnasi’ (tanâsukh/metempsychosis).[21]

Background sosio-historis teorisasi Insan Kamil menunjukkan bahwa konsep tersebut terkonstruk melalui proses-
proses dialektik dengan realitas konkret. Historisitas konsep Insan Kamil memunculkan spekulasi bahwa teorisasi
dan epistemifikasinya dilatari oleh ‘proyek mistifikasi dan sakralisasi’ terhadap master sufi. Secara dramatis al-Jili
telah berusaha mensakralkan dan memistifikasi Syaikh al-Jabarti dengan menganggapnya sebagai titisan Muhammad
saw. Dalam kacamata dialektika materialis-historis, sakralisasi dan mistifikasi itu memang dibutuhkan untuk
membentengi ordo mistik al-Jabarti dari serangan fuqaha di satu sisi, sekaligus mengukuhkan reputasi al-Jabarti di
mata para penguasa Dinasti Bani Rasul, di sisi yang lain. Upaya sakralisasi dan mistifikasi juga terlihat dalam
statemen al-Jili, “Wajib bagi Anda untuk menghormati sufi titisan Muhammad saw sebagaimana Anda menghormati
Muhammad saw itu sendiri. Ketika Anda telah mendapatkan ‘penyingkapan tabir’ (kasyf) bahwa Muhammad saw
telah menjelma dalam diri wali, maka Anda tidak boleh memperlakukannya dengan cara seperti biasanya.[22]

Statemen tersebut menimbulkan konsekuensi radikal bahwa seorang wali memiliki posisi religius yang setara dengan
Muhammad saw. Bahkan memberikan penghormatan setara kepada keduanya adalah ‘wajib’.[23] Akar
persoalannya, sakralisasi dan mistifikasi ini mengandung sisi ideologis yang tak bisa disembunyikan. Dengan
menganggap wali-wali, khususnya al-Jabarti, sebagai Insan Kamil titisan Muhammad saw maka terciptalah ‘ideologi
kekramatan’. Ideologi ‘kekramatan sufi’ penting dibangun untuk mewujudkan hegemoni dan otoritarianisme.
Kalangan sufi merasa berkepentingan untuk merebut kendali agama dari para khalifah teokratik dan tiranik yang
mendaku sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Kendali agama yang berpotensi dimonopoli oleh penguasa elit harus
dialihkan ke tangan para sufi sebagai representasi kaum proletar. Di sisi lain, ideologi kekramatan wali-wali juga
merupakan produk dialektik di tengah-tengah clash antara genre esoterisme dan eksoterisme.[24]

Di era modern, sejarah teorisasi konsep Insan Kamil termasuk bagian dari objek studi isalamolog-islamolog Barat.
Untuk melacak jejak arkeologisnya, H. H. Schader, Louis Massignon, T. Andrae, R. A. Nicholson, H. S. Nyberg dan
lain-lain telah berusaha menggali lapisan-lapisan geologis sejarahnya. Dengan menggunakan teori borrowing and
influence (al-ta`tsir wa ta`atsur), mereka sampai pada satu kesimpulan bahwa konsep Insan Kamil tak lain
merupakan adopsi dari tradisi gnostik Iran kuno tentang doktrin kosmologis ‘Insan Awal’. Konsep ini kemudian
merasuk dalam doktrin Manichaisme dengan mengambil bentuk mistik. Para orientalis juga tampak sepakat bahwa
mistisisme Islam tidak secara langsung mengadopsi konsep Insan Awal dari tradisi hermetisme Iran kuno dalam
bentuk mitologis, melainkan memalui jalur budaya helenisme setelah mengalami proses teorisasi filosofis; proses
harmonisasi dengan pandangan metafisik tentang nous (‘aql) dan logos (kalimat).

Schader menilai konsep Insan Awal telah mencapai kematangan epistemifikasi dalam anggitan-anggitan Ibn Arabi.
Hal ini ditengarai oleh keberhasilan Ibn Arabi dalam melakukan singkretisasi Insan Awal dengan konsep kenabian
dan kewalian. Dari situlah, Schader terpaksa menyetujui tesis R. A. Nicholson bahwa Insan Kamil telah menjadi
paradigma mapan Ibn Arabi, sehingga Abd al-Karim al-Jili sama sekali tidak memberikan perspektif baru dalam
diskursus ini. Al-Jili hanya berperan meringkas ide-ide Ibn Arabi.[25] Rajab Abd al-Mushanif menawarkan
perspektif lain. Ia lebih cenderung memposisikan teori-teori al-Jili sebagai pengembangan dari teori Ibn ‘Arabi.
Baginya, salah satu dari sekian banyak pembaharuan al-Jili adalah konsepnya tentang al-'ama`, alam kegelapan bagi
penampakan absolusitas keesaan Tuhan tanpa nama dan atribut.[26]

Pluralisme Agama

Adalah sebuah aksioma bahwa Abd al-Karim al-Jili bukanlah founding father konsep wihdat al-adyân (unity of
religions). Al-Hallaj, Ibn Arabi dan Jajaluddin al-Rumi telah mendahului al-Jili dalam menawarkan gagasan pluralis
ini. Secara sosiologis, konsep inklusif para raksasa sufi klasik ini menemukan relevansinya dengan tantangan realitas
kultural pada masa silam. Al-Hallaj amat prihatin menyaksikan ekslusivisme kaum eksoterik dan intoleransi di
tengah-tengah masyarakatnya. Di Baghdad, al-Hallaj melihat non-Muslim—sebagai masyarakat minoritas kelas dua
—terus disubordinasikan oleh pemeluk Islam mayoritas. Untuk merespon fenomena itu, al-Hallaj menawarkan
pluralisme agama sebagai solusi.[27]

Pluralisme agama semakin niscaya untuk dipromosikan di masa Ibn Arabi dan Jalaluddin al-Rumi. Peperangan
Alarco (591/1195 M), Las Navas De Tolos (609/1212 M), Perang Salib (1096-1270 M) dan ekpansi Mongol (1220-
1300 M) membutuhkan respon filosofis untuk meminimalisir ketegangan-ketegangan yang terjadi.[28] Namun,
ketegangan dan ketidakharmonisan relasi antar umat beragama masih terus bergentayangan pada masa al-Jili. Relasi
antar umat beragama terus diwarnai oleh sikap-sikap antagonis. Oleh karena itu, tak pelak jika al-Jili merasa
terpanggil untuk meneguhkan kembali inklusivisme Islam.

Dalam konteks kekinian, ide-ide al-Jili masih relevan dipromosikan guna meredam konflik antar agama yang
berkepanjangan dan untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh tesis Samuel P. Huntington, yakni
“benturan antar peradaban” (clash of civilization). Huntington memprediksikan bahwa masa depan politik dunia
pasca runtuhnya komunisme ditandai dengan benturan sengit antara peradaban Barat vis a vis Islam. Tesis ini
mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan dan, sebagai jalan tengah, mereka mengajukan alternatif bahwa
dialog antar agama adalah solusi produktif.[29] Problem yang muncul kemudian adalah, sejauhmana dialog antar
agama dapat dilakukan? Di sinilah kita akan memberikan kesempatan kepada Abd al-Karim al-Jili untuk
menjawabnya.

Al-Jili dan para mistikus raksasa pendahulu, seperti al-Halaj, Ibn Arabi dan Rumi, telah menorehkan jejak dalam
dialog spiritual dengan agama dan tradisi non-Islam. Seperti telah diuraikan sebelumnya, al-Jili memiliki pengalaman
berinteraksi dengan tradisi non-Islam dalam ekspedisi ilmiahnya. Interaksi itu pula yang sejatinya ikut membentuk
pandangan-pandangan pluralisnya. Dengan dialog spiritual, yang dibarengi dengan penghayatan esoteris terhadap
doktrin-doktrin kepercayaan lain, al-Jili mampu melampaui sekat-sekat dan batas-batas formalisme agama.

Al-Jili, dalam al-Insân al-Kâmil fi Ma’rifat al-Awâkhir wa al-Awâ`il, bab hakikat agama-agama, mengelaborasi
pluralisme agama secara komprehensif. Baginya, Tuhan menciptakan semua makhluknya demi sebuah motif
keberhambaan. Al-Jili bertendensi pada QS. Al-Dzâriyât: 56 yang menegaskan bahwa semua makhluk diciptakan
hanya untuk menyembah Tuhan. Penganut Islam, Yahudi, Kristen, Shabi’ah, para filosof naturalis, Majusi, pengikut
paganisme, heretik dan penganut keyakinan lainnya adalah para penyembah Tuhan, karena sejatinya Tuhan adalah
eksistensi yang menapasi seluruh alam semesta. Varian praktik ritus diantara mereka tak lain merupakan manifestasi
dari varian nama dan atribut Tuhan. Para pengikut rasul-rasul adalah para penyembah Tuhan sebagai representasi
manifestasi nama Tuhan al-Hadi, pemberi petunjuk. Sementara para pembangkang ajaran rasul-rasul juga merupakan
penyembah Tuhan sebagai representasi manifestasi nama Tuhan al-Mudhil, pemberi kesesatan. Manifestasi dari dua
nama Tuhan itulah yang menyebabkan munculnya perbedaan keyakinan.

Secara teoretis, pluralisme agama al-Jili muncul sebagai konsekuensi konsep wihdat al-wujûd yang mengandaikan
bahwa setiap entitas adalah manifestasi Tuhan. Tuhan al-Jili adalah Sang Kekasih yang meresapi setiap objek yang
dicintai dan disembah. Patung-patung bagi kaum pagan, bintang-bintang bagi kaum Shabiah, Yesus Kristus bagi
umat Kristiani dan objek-objek sesembahan lainnya adalah manifestasi Tuhan. Tuhan dapat disembah melalui
patung, Yesus, bintang-bintang dan lain sebagainya. Kesalahan orang Kristen, pagan dan Shabi’ah tidak terletak pada
penyembahan terhadap objek-objek tersebut, melainkan terletak pada penyembahan yang ‘dibatasi’ hanya pada
objek-objek tertentu, padahal Tuhan sejatinya senantiasa mewujud dalam setiap eksistensi. Dalam al-Nadirât
al-‘Ayniyyah, al-Jili menggubah syair untuk mengekspresikan pandangannya dalam persoalan ini,

"Tidak ada eksistensi di dunia ini kecuali Tuhan berada di belakangnya.

Tidak ada eksistensi kecuali ia adalah Sang Terdengar sekaligus Sang Pendengar".[30]

Teori ini mengakibatkan keterleburan dan keterlarutan transendensi Tuhan dalam imanensi makhluk-Nya. Pemikiran
inilah yang membedakan antara Ibn Arabi dengan al-Jili, dimana panteisme mengambil bentuk yang sangat
transparan dalam kerangka konseptual al-Jili. Alih-alih tabu, panteisme al-Jili justru muncul sebagai amukan-amukan
esoteris yang vulgar.[31]

Epilog

Produktivitas, inovasi dan orisinalitas Abd al-Karim al-Jili merupakan bukti bahwa tradisi ijtihad kreatif dalam
peradaban Islam terus bergerak. Sebaliknya, klaim-klaim mayoritas orientalis—yang menyatakan bahwa dinamika
intelektual Islam telah gulung tikar pasca runtuhnya Baghdad—adalah absurd. Konklusi ini bukan apologi,
melainkan sebuah realitas sejarah yang tak bisa ditutup-tutupi.

* Dipresentasikan dalam kajian Lakpesdam PCI-NU Mesir, Sabtu 29 September 2007. Makalah ini didedikasikan untuk ‘teofani-Nya’.

[1] Abd al-Karim al-Jili, al-Nâdirât al-‘Ainiyyah, Kairo: Dar al-Amin, cet. I, 1999, h. 87.

[2] Bernard Lewis, Islam in History: Ideas, People and Events in the Middle East, diarabkan oleh Mahdat Thaha & Ahmad Kamal Abu Majid,
Kairo: Majlis A’la li Tsaqafah, cet. I, 2003, h. 307-308.

[3] T. J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, diarabkan oleh Abu Raydah, Kairo: Lajnah al-Ta`lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, cet. III,
1948, h. 10.

[4] Terdapat kontroversi dalam mengidentifikasi masa awal munculnya pembebekan (taqlîd) dan stagnansi. Versi pertama merujuk pada masa
setelah runtuhnya Baghdad. Versi kedua, yakni pendapat Ibn Hazm (dalam salah satu riwayatnya) dan al-Saukani, menyatakan bahwa taqlîd
sudah muncul sejak tahun 140 Hijriyah. Versi ketiga, yakni menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah dan Ibn Hazm (dalam versi riwayat lain),
menegaskan munculnya taqlîd sejak abad keempat Hijriyah. Baca Yahya Muhammed, al-Ijtihâd wa Taqlîd wa al-Itbâ’ wa al-Nadhr, Beirut: Dar al-
Intisyar al-Arabi, cet. I, 2000, h. 91.

[5]The al-Itqân and Its Sources: A Study of Itqân fi 'Ulûm al-Qur'ân by Jalal al-Dîn al-Suyûthî with Special Reference to al-Burhân fi 'Ulûm al-
Qur'ân by Badr al-Dîn al-Zarkasyi, disertasi di Hartfor Seminary Foundation, USA, 1968, disadur dan dikritisi oleh Ilham Saenong, Jurnal Studi
Al-Quran, vol. I, No. I, Januari, 2006, h. 153.

[6] Bernard Lewis, loc. cit.

[7] Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar Ushul Fiqh Madzhab Sunni, (pent.) E. Kusnadiningrat & Abdul Haris bin Wahid,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet. I, 2000.

[8] James Winston Morris, Ibn ‘Arabi and His Interpreters, pdf, www.ibnarabisociety.org.

[9] T. Burck Hardt, Abd al-Karim al-Jili, Fascicule II Alger, Lyon, 1953, h. I. Dikutip oleh Suhaylah Abd al-Ba’its al-Tarjuman, Nadhariyyah
Wahdat al-Wujûd bayn Ibn Arabi wa al-Jili: Dirâsah Tahliliyyah Naqdiyyah MuqaranahPantheism between Ibn Arabi and al-Jili: Analytical
Comparative Study), Beirut: Khaz’al, cet. I, 2002, h. 588.

[10] Menurut Nicholson, al-Jili wafat pada 820 H. Goldziher dan Massignon memperkirakan wafatnya al-Jili antara 811 hingga 820 H. Sedangkan
menurut Brockelmann adalah tahun 832 H/1428 M. Lihat Dâ`irah al-Ma`ârif al-Islâmiyyah: al-Jili, al-Tarjamah al-Arabiyyah, vol. V, h. 67.
Bandingkan dengan C. Brockelmann, Geschichte Der Arabischen Litteratur, diarabkan oleh Abd al-Halim al-Najar, Dar al-Ma`arif, cet. III, t.t.,
vol. II, h. 284.

[11] Yusuf Zidan, Abd al-Karim al-Jili: Faylasuf al-Shûfiyyah, Beirut: Dar al-Jayl, cet. I, 1992, h. 13-55.

[12] Suhaylah Abd al-Ba’its al-Tarjuman, op. cit., h. 580.

[13] Ibid, h. 567-568. Bandingkan dengan Yusuf Zidan, op. cit., h. 191.

[14]al-Insân al-Kâmil fi Ma`rifat al-Awâkhir wa al-Awâ`il, Kairo: Maktabah Zahran, vol. II, h. 72.

[15] Karen Armstrong, A History of God: The 4000-Year Quest of Judaisme, Cristianity and Islam, dialihbahasakan oleh Zaimul Am, Mizan, cet.
VI, 2004, h. 312-313 & 319.

[16] Abd al-Karim al-Jili, op. cit., h. 90.

[17] Insan Kamil dalam teori Ibn ‘Arabi dapat dipandang dari tiga aspek: 1) dari segi eksistensinya sebagai manifestasi Tuhan yang sempurna; 2)
dari segi fungsinya sebagai mediator Tuhan kepada makhluknya, yakni para Nabi. Nabi dalam pandangan Ibn ‘Arabi adalah teofani Tuhan yang
Azali. Tetapi penampakan Tuhan yang paling sempurna adalah terdapat dalam Haqiqat Muhamadiyyah atau Kalimat al-Muhadiyyah. Muhammad
saw. adalah ‘Titisan Perdana’ Tuhan, asal bagi wujud kosmos dan logos Tuhan; 3) dari segi pengetahuan yang ia miliki. Insan Kamil adalah
manusia yang secara esoteris mampu menghayati status kemanusiaannya. Ia mengerti eksistensinya adalah penampakan wujud Tuhan dan mikro-
kosmos yang mengakomodir atribut-atribut Tuhan sekaligus atribut-atribut alam. Hal ini dijustifikasi oleh hadits, “Barang siapa mengenal dirinya,
maka ia mengenal Tuhannya”. Insan Kamil aspek ketiga ini dapat dicapai oleh siapapun, tetapi pada realitas konkret, tidak ada yang dapat
menembus derajat ini kecuali para nabi dan wali-wali kutub sufi. Lihat Husayn Muruwah, Naz’ah Madiyyah fi al-Falsafah al-Arabiyyah-al-
Islamiyyah, Beirut: Dar al-Farabi, cet. II, 2002, vol. III, h. 184-186.

[18] Ada asumsi yang mengidentikkan ajaran wihdat al-wujûd Ibn Arabi dengan panteisme dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam
semesta. Namun asumsi tersebut ditentang banyak pakar. Titus Burckhardt, Mir Valiuddin, Henry Corbin, Toshihiko Izutsu dan Sayyed Hossein
Nasr tidak menyetujui jika wihdat al-wujûd Ibn al-‘Arabi diinterpretasikan dengan panteisktik, karena doktrin wihdat al-wujûd sejatinya tetap
menekankan transendensi Tuhan, sementara panteisme tidak menekankan transendensi Tuhan dan menghilangkan perbedaan antara Tuhan dan
imanensi alam. (Irwan Masduqi, Makna Esoterik dalam Tafsir Sufistik, artikel). Dalam pandangan al-Jili, perbedaan Tuhan dengan makhluk-Nya
adalah laksana perbedaan air dengan salju. Secara kasatmata, salju bukanlah air, tetapi substansi salju adalah air. Lihat Rajab Abd al-Mushanif, op.
cit., h. 50.

[19] Ibid.

[20] Abd al-Karim al-Jili, op. cit., h. 98. Bandingkan Yusuf Zidan, op. cit., h. 156. Rajab Abd al-Mushanif mempunyai pemahaman lain atas
konsep ‘barzakh’. Menurutnya, pada tingkat bidâyah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan. Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya,
seperti Pengasih, Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassuth, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ‘ilm,
qudrat dll. (tajalli fi al-sifat). Pada tingkat khitâm, sufi disinari dzat Tuhan. Dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada
tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil, mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Lihat Rajab Abd al-
Mushanif, op. cit., h. 51-52.
[21] Abd al-Karim al-Jili, op. cit., h. 95.

[22] Ibid, h. 94.

[23] Jika penyetaraan ini dapat dianggap aksiomatis, maka al-Jili otomatis akan terjebak dalam inkonsistensi. Sebab, dalam bab yang sama, al-Jili
menyatakan bahwa nabi-nabi dan wali-wali adalah ‘sempurna’, sementara Muhammad ‘paling sempurna’. Dalam hal ini terdapatkan diferensiasi
antara wali dan Muhammad, tetapi di sisi lain, al-Jili mewajibkan memberikan penghormatan yang ‘setara’ kepada keduanya. Pertanyaan yang
muncul, mengapa harus memberikan penghormatan yang setara pada dua figur yang derajatnya tak setara? Jelas, di sini ada ambivalensi.

[24] Husain Muruwah, loc. cit., h. 76.

[25] H. H. Schader dan Louis Massignon dalam Abd al-Rahman al-Badawi, Insan Kamil fi Islam, Kuwait: Wikalah al-Mathbu’ah, cet. III, 1976, h.
14-15, 21, 42 & 67.

[26] Rajab Abd al-Mushanif, Muqadimah al-Insan al-Kamil fi Ma`rifat al-Awâkhir wa al-Awâ`il, Kairo: Maktabah Zahran, h. 47.

[27] Louis Massignon, La Passion De Husayn Ibn Mansur Hallaj, diarabkan oleh al-Husein Mustafa Hallaj, Beirut: Syirkah Qadmus Li al-Nashr
wa al-Tawzy', cet. I, 2004, h. 191-195.

[28] Mukti Ali, Wihdat al-Adyan: Upaya Menuju Format Ideal Relasi Antar Agama, Makalah ini dipresentasikan pada diskusi regular Lakpesdam
PCI-NU, di sekretariat PCI-NU Mesir, pada 11 Januari 2005.

[29] Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, diindonesiakan oleh Sadat Ismail, Yogyakarta: al-
Qalam, cet. III, 2002.

[30] Abd al-Karim al-Jili, loc. cit.

[31] Abd al-Karim al-Jili, op. cit., 150-161. Perbedaan antara Ibn Arabi dan al-Jili dapat ditelaah lebih detail dalam karya Suhaylah Abd al-Ba’its
al-Tarjuman, Nadhariyyah Wahdat al-Wujud bayn Ibn Arabi wa al-Jili: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah Muqaranah (Pantheism between Ibn
Arabi and al-Jili: Analytical Comparative Study), Beirut: Khaz’al, cet. I, 2002.

You might also like