Professional Documents
Culture Documents
Fakultas Kedokteran
Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
ANATOMI
A. Hidung Luar.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
8
Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung.8
Kerangka tulang terdiri dari : 8,9
1. Sepasang os nasalis ( tulang hidung )
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontalis
2. Kelompok konstriktor :
- m. nasalis
- m. depresor septi
B. Hidung dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian
anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut nares posterior
( koana ) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.8
a. Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrisae.8
b. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang terdiri dari : 8,9
- lamina perpendikularis os etmoid
- vomer
- krista nasalis os maksila
- krista nasalis os palatina
Bagian tulang rawan terdiri dari : 8,9
- kartilago septum ( lamina kuadrangularis )
- kolumela
c. Kavum nasi
! Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horisontal os palatum.8,9
! Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis
os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap
hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius
yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian
teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. 8,9
! Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis
os palatum dan lamina pterigoideus medial.9
! Konka
Pendarahan Hidung
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama: 9
1. a. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan
dinding lateral hidung.
2. a. etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ), mendarahi septum bagian
superior posterior.
3. a. sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang menuju ke
dinding lateral hidung dan a. septi posterior yang menyebar pada septum
nasi.
Persarafan hidung
1. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian
luar. 3
2. Saraf sensoris.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari
n. oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya , sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. 3
3. Saraf otonom.
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu : 3
a. Saraf post ganglion saraf simpatis ( Adrenergik ).
4. Olfaktorius ( penciuman )
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.8
Fisiologi hidung
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara ( air
conditioning ), penyaring udara, indra penghidu ( olfactory ), untuk resonansi suara ,
refleks nasal dan turut membantu proses bicara. 3,8
KEKERAPAN
Mygind ( 1988 ), seperti yang dikutip oleh Sunaryo ( 1998 ), memperkirakan
sebanyak 30 – 60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus rinitis
vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita.10
Walaupun demikian insidens pastinya tidak diketahui.2,5 Biasanya timbul pada
dekade ke 3 – 4.3 Secara umum prevalensi rinitis vasomotor bervariasi antara 7 –
21%.5
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon ( 1989 )
dijumpai sebanyak 21% menderita keluhan hidung non – alergi dan hanya 5%
dengan keluhan hidung yang berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari
kelompok non – alergi dijumpai pada dekade ke 3.5
Sibbald dan Rink ( 1991 ) di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien,
menderita rinitis perenial dimana setengah diantaranya menderita rinitis vasomotor.5
Sunaryo, dkk ( 1998 ) pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis selama
1 tahun di RS Sardjito Yogyakarta menjumpai kasus rinitis vasomotor sebanyak 33
kasus ( 1,38 % ) sedangkan pasien dengan diagnosis banding rinitis vasomotor
sebanyak 240 kasus ( 10,07 % ). 10
ETIOLOGI
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu.1,2,5,11
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 1,3,12
PATOGENESIS
GEJALA KLINIS
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan
dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan
bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat
bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu
perubahan posisi.1,2,6,7,11 Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan
dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata.1,2,6,7 Gejala
dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan
suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya.1 Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke
tenggorok ( post nasal drip ). 11
Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2
golongan, yaitu golongan obstruksi ( blockers ) dan golongan rinore (
runners / sneezers ). Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada
golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi,
perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.1
DIAGNOSIS
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor
dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi.1 Biasanya penderita tidak mempunyai
riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa.1,6,11
Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat
iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar.3
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema
mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua (
karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka dapat
licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid,
biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat
serosa dengan jumlah yang banyak.1,7,11,12 Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai
post nasal drip. 11
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta
kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada
sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang
ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret.1,2,7,11
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan
mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.1
DIAGNOSIS BANDING11
1. Rinitis alergi
2. Rinitis infeksi
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah
PROGNOSIS
KESIMPULAN
KEPUSTAKAAN
1. Elise Kasakeyan. Rinitis Vasomotor. Dalam : Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar,
Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI,
1997. h. 107 – 8.
2. Rhinitis vasomotor :
http://www.icondata.com/health/pedbase/files/RHINITI1.HTM
3. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed. Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp, 1993.p. 269 – 87.
5. Jones AS. Intrinsic rhinitis. Dalam : Mackay IS, Bull TR, Ed. Rhinology. Scott-
Brown’s Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth-Heinemann, 1997. p. 4/9/1
– 17.
6. Cody DTR, Kern EB, Pearson BW. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan,
EGC, Jakarta, 1986, h. 183 – 8.
9. Ballenger JJ. Aplikasi Kilinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus
Paranasal. Dalam : Ballenger JJ, Ed.Penyakit THT Kepala & Leher, Jilid 1,
Edisi ke –13. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994 . h. 1 – 25.
16. Groves J, Gray RF. A Synopsis of Otolaryngology. 4th ed. Great Britain : John
Wright & Sons Ltd, 1985. p. 130-1.