You are on page 1of 50

[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Bab 1
PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di
antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima
besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor
payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher
menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah
kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor
ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).1,2,3
Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data
patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair  Surabaya (1973 – 1976)
diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan
127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan
pada tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma
nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di
seluruh Indonesia.1,2
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu
masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta
letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli
sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai
gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan
hidup 5 tahun) semakin buruk.

Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan,
deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini. Penulis berusaha untuk
menuliskan aspek-aspek yang dirasakan perlu untuk dipahami melalui tinjauan pustaka dalam
referat ini dan diharapkan dapat bermanfaat.

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 1
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Bab 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial
yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.2
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang
dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring.
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial
pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring).2

2.2. EPIDEMIOLOGI dan ETIOLOGI


Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7
kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
“pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair 
Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT
Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Di RSCMJakarta ditemukan
lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang
25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam
pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari
ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.1,3

Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari
penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer)
dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964, dan dari
investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting di semua
aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta
agregasi family.1,4

KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang antara berbagai
Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/105 di

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 2
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

semua area. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong), dan
insiden ini tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk.
Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002
ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus
meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus
pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan
timur tengah 1,4,5

Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1 dan
apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan
factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF
berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah
insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daeraj dengan insiden
tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, ;uncaknya pada umur 40-59 tahun dan
menurun setelahnya 5

Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan


cukup tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan
Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi
epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah
satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF)
pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China
town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam
terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan
penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan
Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi.
Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang
masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal
terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang
dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang ‘memudahkan’
untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama
di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi
maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 3
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan
konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu
adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi
yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.1,4,5

Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat
people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak
mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti
epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang
dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh
keturunan Melayu (6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000) 4,5

Prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 per 100.000 penduduk setiap tahun. Di rumah
Sakit H. Adam Malik Medan, Provinsi Sumatera Utara, penderita KNF ditemukan pada lima
kelompok suku. Suku yang paling banyak menderita KNF adalah suku Batak yaitu 46,7%
dari 30 kasus.5
Karsinoma nasofaring secara histopatologi dapat dibedakan menjadi Karsinoma
nasofaring dengan keratinisasi dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi, di mana karsinoma
nasofaring non keratinisasi ada yang berdiferensisasi dan tidak berdiferensisasi. Pada
penelitian ditemukan bahwa Ca Nasofaring non-keratinisasi merespons pengobatan dan terapi
lebih baik dibandingkan Ca Nasofaring keratinisasi. Karsinoma nasofaring non-keratinisasi
merupakan yang paling sering terjadi (75% dari kasus KNF yang ada).1,4,7,8
Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF non
keratinisasi telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada
1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta
titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan
pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada
beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal
tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak
cukup untuk menimbulkan proses keganasan.4,7,8

Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring (KNF)
jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan
dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 4
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

tetap ada peneliti yg mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara umum resiko
terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok (HSU dkk.2009).
ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong
merupakan hasil dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor
kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF
dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak
dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan
dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina
makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.7,8

Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari
pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu cintoh terkenal di Cina selatan,
satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita
tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring
menderita keganasan organ lain.7,8

Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu
kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami
(Chinese herbal medicine=CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara
terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beebrapa tanaman dan bahan CHB
dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yg laten. Seperti pada TPA
(Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan jika
dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob yang ditemukan
di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi
cell-mediated immunity dari EBV dan mempromosikan pembentukan KNF (genesis).9

2.3. ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOPHARING

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral. Batas-
batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah os sphenoid dan sebagian prosessus basilaris,

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 5
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

batas anterior adalah koana dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra servikal dan
batas inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring.4

Batas nasofaring:

 Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia


 Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat
subjektif karena tergantung dari palatum durum.
 Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
 Posterior : - vertebra cervicalis I dan II
-
Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
-
Mukosa lanjutan dari mukosa atas
 Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang
-
Muara tuba eustachii
-
Fossa rosenmulleri10,11

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal
inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius
terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu
lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum.
Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara
tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah.4

Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina


faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung
jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan
kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran
tumor ke intrakranial.

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 6
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Gambar 1 Anatomi nasofaring

Gambar 2 Fossa of Rosenmuller

Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena
dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 7
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah,
mengucapkan kata-kata tertentu.

Struktur penting yang ada di Nasopharing

1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva


2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan
karena cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena musculus levator veli palatini.
4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan
dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum
tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan.
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi
Karsinoma Nasofaring.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada
pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan
oropharing karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 8
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Gambar 3 Nasofaring

Fungsi nasofaring :
 Sebagai jalan udara pada respirasi
 Jalan udara ke tuba eustachii
 Resonator
 Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

2.4. HISTOLOGI

Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia repiratory type. Setelah 10


tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel
nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa
mengalami invaginasi membentuk kripta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan
terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta
sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel
membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai,
tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.13

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 9
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Gambar 4 Sel epitel transisional, pelapis nasofaring (Dikutip dari : Respiratory system pre lab [cited
2010 Jan 5]. Available from: http://anatomy.iupui.edu/courses/histo_D502)

2.5. GEJALA DAN TANDA KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring


termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar
nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau
palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening
servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang).
Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena1,2. Sekitar separuh pasien
memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar
getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai5,13. Gejala
dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan infeksi saluran nafas atas.

Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala telinga. Ini terjadi
karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring. Tumor tumbuh mula-mula di fossa
Rosenmuller di dinding lateral nasofaring dan dapat meluas ke dinding belakang dan atap
nasofaring, menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Permukaan tumor biasanya rapuh

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 10
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

sehingga pada iritasi ringan dapat tejadi perdarahan. Timbul keluhan pilek berulang dengan
ingus yang bercampur darah. Kadang-kadang dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat
menyumbat muara tuba eustachius, sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa
berdenging kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini umumnya
unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring. Sehingga bila
timbul berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai
karsinoma nasofaring6,17.

Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga pada
umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer telah meluas
ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah bening
servikal. Pada stadium ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan pada syaraf otak karena
pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran kelenjarleher 5,6,17. Tumor yang meluas ke
rongga tengkorak melalui foramen laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu
syaraf otak III, IV dan VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis
abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit.
Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal) pada pipi dan
wajah. Gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi bila ketiga syaraf penggerak mata terkena.
Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intrakranial6,17. Metastasis sel-sel
tumor melalui kelenjar getah bening mengakibatkantimbulnya pembesaran kelenjar getah
bening bagian samping ( limfadenopati servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat
mengadakan infiltrasi menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi
lekat pada otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala utama yang

dikeluhkan oleh pasien6,17.

Gejala nasofaring yang pokok adalah :

1. Gejala Telinga
 Oklusi Tuba Eustachius
Pada umumnya bermula pada fossa Rossenmuller. Pertumbuhan tumor dapat
menekan tuba eustachius hingga terjadi oklusi pada muara tuba. Hal ini akan
mengakibatkan gejala berupa mendengung (Tinnitus) pada pasien. Gejala ini
merupakan tanda awal pada KNF.
 Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis Media.

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 11
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

 Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan
dengan tes rinne dan webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif

2. Gejala Hidung
 Epistaksis; dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang dindingnya
rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan dinding pembuluh
darah tersebut pecah.
 Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor dalam
nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis kronis.

Gejala telinga dan hidung di atas bukanlah gejala khas untuk Karsinoma Nasofaring,
karena dapat ditemukan pada berbagai kasus pada penyakit lain. Namun jika gejala terus
terjadi tanpa adanya respons yang baik pada pengobatan, maka perlu dicurigai akan
adanya penyebab lain yang ada pada penderita; salah satu di antaranya adalah KNF.

3. Gejala Mata
 Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan
ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan
menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan
menimbulkan kebutaan.

4. Tumor sign :
 Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau
metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.

5. Cranial sign :
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf
kranialis.
Gejalanya antara lain :
 Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara
hematogen.
 Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 12
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

 Kesukaran pada waktu menelan


 Afoni
 Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N.
X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
o
Lidah
o
Palatum
o
Faring atau laring
o
M. sternocleidomastoideus
o
M. trapezeus 14,15

Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan dengan
elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa nyeri pada wajah dan
bagian lateral dari leher (akibat gangguan pada nervus trigeminal). Ketiga gejala ini
jika ditemukan bersamaan, maka disebut Trotter’s Triad.

2.6. PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING


Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal
dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai
pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan
sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa
Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kjelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi
perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya.
Penyebaran KNF dapat berupa :
1. Penyebaran ke atas

Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran


Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus dan
Fossa kranii media dan fossa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior ( n.I –
n VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat
metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah
diplopia dan neuralgia trigeminal.

2. Penyebaran ke belakang

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 13
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia pharyngobasilaris


yaitu sepanjang fossa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll)
di mana di dalamnya terdapat nervus kranialais IX – XII; disebut penjalaran retroparotidian.
Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu n VII - n XII beserta nervus
simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada n IX – n XII disebut sindroma
retroparotidean atau disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang
mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tonggi dalam sistem anatomi tubuh,

Gejala yang muncul umumnya antara lain:

a. Trismus
b. Horner Syndrome ( akibat kelumpuhan nervus simpatikus servikalis)
c. Afonia akibat paralisis pita suara
d. Gangguan menelan

3. Penyebaran ke kelenjar getah bening


Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya
menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah
bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada lapisan sub
mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus
limfatik yang terletak di lateral retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier.
Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar
menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini
dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker
dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar
menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut
lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter.

Dari hasil penelitian didapati :

- gejala-gejala hidung sebanyak 77,5%

- gejala-gejala telinga sebanyak 73%

- sakit kepala sebanyak 61%

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 14
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

- pembesaran kelenjar getah bening sebanyak 60%

Dari hasil penelitian lain berdasarkan pemeriksaan fisik didapati :

-Gejala yang paling sering didapati adalah pembesaran kelenjar getah bening tanpa nyeri
sebanyak 80%.

-Kelumpuhan saraf cranial ditemukan pada 25% penderita

Penelitian mengenai metastase jauh, didapati :

- paru-paru 20%

- tulang 20%

- hati 10%

- ginja1 0,4%

- otak 0,4%

Gejala akibat metastase jauh:

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini
merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.

Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan


metastase jauh, yang terbanyak ke paru-paru dan tulang, masing-masing sebanyak 20%,
sedangkan ke hati 10%, otak 4%, ginjal 0,4%, tiroid 0,4%. Kira-kira 25% penderita datang
berobat ke dokter sudah-mempunyai pertumbuhan ke intrakranial atau pada foto rontgen
terlihat destruksi dasar tengkorak dan hampir 70% metastase kelenjar leher.

Karsinoma nasofaring umumnya disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang


penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring
ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah
segar. Faktor lain adalah non makanan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu
bakar dan asap dupa (kemenyan). 2-19
Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma nasofaring 1. Selain itu
terbukti juga infeksi virus Epstein Barr juga dihubungkan dengan terjadinya karsinoma
[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 15
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

nasofaring terutama pada tipe karsinoma nasofaring non-keratinisasi. Hal ini dibuktikan
dengan adanya kenaikan titer antigen EBV dalam tubuh penderita Ca Nasofaring non
keratinisasi dan kenaikan titer ini pun berbanding lurus dengan stadium Ca nasofaring; di
mana semakin berat stadium Ca Nasofaring, ditemukan titer antibodi EBV yang semakin
tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten
pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan
menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda
(marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A
dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma
nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma
nasofaring2. Selain itu dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku
Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai
sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring primer. 12,13,15
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga
dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini. Pada pasien
karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum
plasma.1-19 EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom
virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di
dalam sel penderita karsinoma nasofaring. 12,13,15
Karsinoma nasofaring sangat sulit didiagnosa, hal ini mungkin disebabkan karena
letaknya sangat tersembunyi dan juga pada keadaan dini pasien tidak datang untuk berobat.
Biasanya pasien baru datang berobat, bila gejala telah mengganggu dan tumor tersebut telah
mengadakan infiltrasi serta metastase pada pembuluh limfe sevikal. Hal ini merupakan
keadaan lanjut dan biasanya prognosis yang jelek. Pemeriksaan terhadap karsinoma
nasofaring dilakukan dengan cara anamnesa penderita dan disertai dengan pemeriksaan
nasofaringoskopi, radiologi, histopatologi, immunohistokimia, dan juga pemeriksaan serologi
dengan menggunakan tehnik Enzyme Linked Immunosorbent Assay atau disingkat dengan
ELISA6. Karena beberapa penelitian telah membuktikan bahwa di dalam serum penderita
karsinoma nasofaring dijumpai EBNA-1 maka sebaiknya pasien yang mempunyai gejala
yang mengarah ke karsinoma nasofaring dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan serologi
yaitu antibodi anti EBV (EBNA-1).13,14,15 Tentang pengaruh EBV yang sebagian besar hanya
ditemukan pada Ca Nasofaring tipe non-keratinisasi belum dapat dijelaskan hingga saat ini.

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 16
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Proses perkembangan KNF:

Tumor Confined
in Nasopharynx

Regional Lymph Spread of tumor Hemmorhage in Infection in


Distant Metastis
Node Metastasis to nasopharyngeal Nasopharynx Nasopharynx
surrounding parts

Other
Symptoms
Neurological Other Neurological Other
s
Symptoms Symptoms Symptoms Symptoms
Other
s s
Symptoms
s

Gambar 5 Patogenesis KNF

2.6.1 Virus Epstein-Barr


Group : Grup I (dsDNA)
Family : Herpesviridae

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 17
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Subfamily : Gammaherpesvirinae
Genus : Lymphocryptovirus
Species : Human Herpes Virus 4 (HHV-4)

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.
Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel
limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus,
yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan
rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan
selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan
pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke
dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel
yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel
menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau
virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel
kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus
sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel
menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.16
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,
EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan
virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal
tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen
tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein
LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6
segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi
(C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis
factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat
respon imun lokal. 16

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 18
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Gambar 6 Infeksi EBV

2.6.2 Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan
terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan
memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte
antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas
aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen.
Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan
HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih
besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita
karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Studi dari
kelemahan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 19
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk
terkena karsinoma nasofaring.13,14,15,17

2.6.3 Faktor lingkungan


Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai
daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan
lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA),
nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor
karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu pengkonsumsi alkohol dan perokok juga
merupakan salah satu faktor yan diperkirakan menginisiasi terjadinya karsinoma
nasofaring. Di mana alkohol dan asap rokok ditemukan mengadung formaldehyde yang
diteliti merupakan faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali
infeksi dari EBV.13,14,15,17

2.7 DIAGNOSIS
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium
tumor:
2.7.1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala KNF)

2.7.1.1 Pemeriksaan Nasofaring


Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior
(tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi15. Jika
ditemukan tumor berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki permukaan halus,
berrnodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau massa yang menggantung dan
infiltratif. Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada nasofaring sehingga harus dilakukan
biopsi dan pemeriksaan sitologi.

2.7.1.2 Gejala Klinis


Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan
berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan ada tidaknya karsinoma nasofaring

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 20
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

17
Tabel 1 Formula Digsby

Gejala Nilai

Massa terlihat pada Nasofaring 25

Gejala khas di hidung 15

Gejala khas pendengaran 15

Sakit kepala unilateral atau bilateral 5

Gangguan neurologik saraf kranial 5

Eksoftalmus 5

Limfadenopati leher 25

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring,
namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis
histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan
pengobatan dan prognosis.17

2.7.1.3 Biopsi nasofaring


Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat
ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau
sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari
mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan
xylocain 10%.
 Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 21
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

 Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang


dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga
kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke
atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop
yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

2.7.1.4 Sitologi dan Histopatologi


Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing
squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercellular bridge
atau keduanya. (2) Non keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai
dengan batas sel yang jelas (pavement cell pattern). (3) Undifferentiated
carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan syncitial, sel-sel poligonal berukuran
besar atau sel dengan bentuk spindel,anak inti yang menonjol dan stroma dengan
infiltrasi sel-sel radang limfosit. 1,2,3,4
Sedangkan klasifikasi WHO tahun 1991
membagi karsinoma nasofaring menjadi Keratinizing squamous cell carcinoma,
Non keratinizing squamous cell carcinoma terdiri atas differentiated dan
undifferentiated dan Basaloid Carcinoma. 1, 18
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu
bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.18

2.7.1.4.1 Sitologi

Squamous Cell Carcinoma


Inti squamous cell carcinoma bentuknya lebih "spindel" dan lebih memanjang
dengan khromatin inti yang padat dan tersebar tidak merata. Pleomorfisme dari
[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 22
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

inti dan membran inti lebih jelas. Selalu terlihat perbedaan (variasi) yang jelas
dalam derajat khromasia di antara inti yang berdampingan. Nukleoli bervariasi
dalam besar dan jumlahnya. Sitoplasma lebih padat, berwarna biru dan batas sel
lebih mudah dikenal. Perbandingan inti, sitoplasma dan nukleolus adalah inti lebih
kecil. Keratinisasi merupakan indikasi yang paling dapat dipercaya sebagai tanda
adanya diferensiasi ke arah squamous cell. Bila keratinisasi tidak terlihat maka
dijumpainya halo pada sitoplasma di sekitar inti dan kondensasi sitoplasma pada
bagian pinggir sel merupakan penuntun yang sangat menolong untuk mengenal
lesi tersebut sebagai squamous cell carcinoma. 19

Gambar 7 Cytology smear showing clusters of keratinizing squamous


carcinoma indicating metastasis in the lymph node. (MGG X 400)
(*cited from The Internet Journal of Pathology™ ISSN: 1528-8307)

Undifferentiated Carcinoma
Gambaran sitologi yang dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma
berupa kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, inti yang
membesar dan khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma
sedang, dijumpai latar belakang sel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel19,20,21.

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 23
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Dijumpai gambaran mikroskopis yang sama dari aspirat yang berasal dari lesi primer dan
metastase pada kelenjar getah bening regional 19,20

Gambar 8 Kelompokan sel-sel epitel undifferentiated, dengan latar belakang limfosit.


Tampak sitoplasma yang eosinofilik dan anak inti yang prominen (Dikutip dari: Orell, SR,
Philips,J.
Fine-Needle Aspiration Cytology, Fourth Edition Elsevier, 2005).

2.7.1.4.2 Histopatologi

Keratinizing Squamous Cell Carcinoma


Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma
memiliki kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya5,13.
Dijumpai adanya diferensiasi dari sel squamous dengan intercellular bridge atau
keratinisasi2,6. Tumor tumbuh dalam bentuk pulau-pulau yang dihubungkan
dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel
plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk
poligonal dan stratified. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular
bridge. Sel-sel pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik
yang banyak mengindikasikan keratinisasi. Dijumpai adanya keratin pearls.19,20

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 24
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Gambar 9 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and
Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,
2004).

Gambar 10 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and
Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,
2004).

Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma


memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau2,12. Sel-sel
menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 25
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

bridge yang samar-samar. Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma


ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik
dan anak inti tidak menonjol 19,20

Gambar 11 Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma. (Dikutip dari: Rosai J. Rosai
and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,
2004).

Undifferentiated Carcinoma
Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan gambaran sinsitial
dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular, dijumpai anak inti. Sel-
sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih 6. Beberapa sel tumor dapat berbentuk
spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga
dikenal juga sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel
plasma, eosinofil, epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang)2,12.
Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe Regauds, yang
terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan
ikat fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik
tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large
cell malignant lymphoma. 19,20

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 26
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Gambar 12 Undifferentiated Carcinoma terdiri dari sel-selyang membentuk sarang-sarang padat


( “Regaud type”). (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one,
Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).

Gambar 13 Undifferentiated Carcinoma terdiri sel-sel yang tumbuh membentuk gambaran


syncytial yang difus (Schmincke type). (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical
Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).

Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara karsinoma
nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari karsinoma nasofaring
memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah satu, dengan anak
inti yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari malignant lymphoma biasanya pinggirnya lebih
iregular, khromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik.
Terkadang undifferentiated memiliki sel-sel dengan bentuk oval atau spindle. 19,20
[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 27
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Basaloid Squamous Cell Carcinoma


Bentuk mikroskopis lain yang jarang dijumpai adalah basaloid squamous cell
carcinoma5,12. Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous.
Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti dan
sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa
kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau
invasif. Batas antara komponen basaloid dan squamous jelas. 19,20

Gambar 14 Basaloid Squamous Cell Carcinoma pada nasofaring.Sel-sel basaloid menunjukkan


festoonin growth pattern, sel-sel basaloid berselang-seling dengan squamous differentiaton.
(Dikutip dari: Barnes L. Eveson JW. Reichart P. Sidrasky D. Pathology and Genetic Head and
Neck Tumours. Lyon: IARC Press, 2003).

2.7.1.4.3 Pemeriksaan radiologi


Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang
diagnostic yang penting. Dapat dilakukan foto polos, CT Scan ataupun MRI. Saat ini untuk
mendiagnosa secara pasti C.T Scan dan MRI merupakan suatu modalitas utama. Melalui C.T
Scan dan MRI dapat dilihat secara jelas ada tidaknya massa dan sejauh apa penyebaran massa
tersebut, hingga dapat membantu dalam menentukan stadium dan jenis terapi yang akan
dilakukan.
[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 28
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah:



Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
daerah nasofaring

Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut

Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.12,21

a. Computed Tomography Scan (C. T Scan)

Fig. 1.-Example of early nasopharyngeal Fig. 2.-Tumor has spread through pharyngobasilar
carcinoma. There is blunting of left fossa of fascia to involve parapharyngeal fat space.
Rosenmuller and enlargement of levator palatini Note that normal fat density of this space is partly
muscle. Although there is asymmetry of superficial obliterated and that there is obvious asymmetry of the fossa
mucosal contours of nasopharynx, the changes can be of Rosenmuller.
quite subtle

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 29
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

3 Pemeriksaan neurologis. Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga


tengkorak melalui beberapa foramen, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi
sebagai gejala lanjut KNF ini.14,20

4 Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen)
untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma
nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5%
dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak
titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%,
sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan,
titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160. 14,20

2.8 DIAGNOSIS BANDING

1. Hiperplasia adenoid

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 30
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anak
hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu
massa jaringan lunak pada atap nasofaring umumnya berbatas tegas dan umumnya
simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seperti
tampak pada karsinoma. 12,14

2. Angiofibroma juvenilis
Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai
KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto
polos akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses
dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan
destruksi tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada
pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenal
sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vaskular maka arteriografi karotis
eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang
sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto
polos.14,18

3. Tumor sinus sphenooidalis


Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya
tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan
pertama.14,18,19

4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. Secara C.T. Scan, pendesakan
ruang para faring ke arah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini
dengan KNF.14,19

5. Tumor kelenjar parotis


Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak
dalam mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah lumen nasofaring. Pada
sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang
tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.12,14,18,19

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 31
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat
KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk
membedakannya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama
di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar
cervikal bagian atas karena chordoma umumnya tidak memperlihatkan kelainan pada
kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.12,14,19

7. Meningioma basis kranii


Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang
meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT
meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat
kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena.
Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.12,14,19

2.9. STADIUM

Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union
Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak

N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional


N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat digerakkan
N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah
melekat pada jaringan sekitar.

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 32
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

M = Metastase, menggambarkan metastase jauh


M0 : Tidak ada metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :


Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1 M0
Stadium IV : T4 N0,N1 M0
Tiap T, N2,N3 M0
Tiap T, Tiap N, M12

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari
nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat
dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan
dindinglateral.
T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.
T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial (atau
keduanya).12,13,14,16

2.10. PROGNOSIS

Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa) memiliki prognosis
yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi
karena pada karsinoma nasofaring tipe 1, mestastasis lebih mudah terjadi. Secara
keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa
faktor, seperti :

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 33
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

 Stadium yang lebih lanjut.


 Usia lebih dari 40 tahun

 Laki-laki dari pada perempuan

 Ras Cina dari pada ras kulit putih

 Adanya pembesaran kelenjar leher

 Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

 Adanya metastasis jauh12,16

2.11. KOMPLIKASI

Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang
selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang
bermanifestasi dalam bentuk :

1. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan
kelainan :

 Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri


pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang
terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

 Ptosis palpebra ( N. III )

 Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )20

2. Retroparidean sindrom

Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke


sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 34
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X,
N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :


N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta
gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah


N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai
gangguan respirasi dan saliva


N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum
mole


N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.


Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan
fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.20

3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru.
Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain
ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-
paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4
%, dan tiroid 0.4 %. 11,12,17

2.12. PENATALAKSANAAN

2.12.1. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi, karena
kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan
dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator
linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air
dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 35
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom,
sehingga dapat terjadi :
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.
Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah
dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan yang
tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal.
Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya
sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari
sel kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.
Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal
serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah
bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran
kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga
nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer
tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini
diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi
masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.
perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi
yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit
mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy )
telah digunakan dibeberapa negara maju.
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA “Ribose
Nucleic Acid“ dan (2) DNA “ Desoxy Ribose Nucleic Acid “. DNA terutama terdapat paa
khromosom “ ionizing radiation “ menghambat metabolisme DNA dan menghentikan
aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi
granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang.
Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis
merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya
yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas.
Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral
kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 36
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih
terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai
4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat .
Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh
antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap
dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi
sampai sekitar 7000 rad.
Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis
kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad,
sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah tumor primer
yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran terhadap medulla
spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya
diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah.
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran
sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang
responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan terapi
radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan
metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita karsinoma
nasofaring tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium
penyakit.22
2.12.1.1 Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi
Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis
histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita juga
dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan
penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin
timbul selama periode pengobatan.

Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita
dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk
radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita, seperti obstruksi jalan
makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki
keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%,
jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL. 22

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 37
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

2.12.1.2 Penentuan batas-batas lapangan radiasi


Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin
berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer
dan sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah
bening regional.3,12
Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari :
1. Seluruh nasofaring
2. Seluruh sfenoid dan basis oksiput
3. Sinus kavernosus
4. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus
dan foramen jugularis lateral.
5. Setengah belakang kavum nasi
6. Sinus etmoid posterior
7. 1/3 posterior orbit
8. 1/3 posterior sinus maksila
9. Fossa pterygoidea
10. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar
11. Kelenjar retrofaringeal
12. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan
supraklavikular.22
Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan
orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui dasar
tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak di atas
fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau orbit,
seluruh sinus atau orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin
tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada
metastase ke kelenjar sub maksila.3 Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran
adalah :
- Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi.
- Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan koana
- Batas belakang : tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila terdapat
pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di belakang kelenjar

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 38
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

yang teraba.
- Batas bawah : terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila
didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar yang
teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita.3,12 Pada
penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode radiasi di atas
tidak dapat dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan depan dan belakang.
Batas atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah adalah tepi bawah klavikula,
batas kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar.12
Kelenjar supra klavikula serta leher bagian bawah mendapat radiasi dari lapangan
depan, batas atas lapangan radiasi ini berimpit dengan batas bawah lapangan radiasi
untuk tumor primer.22

2.12.1.3 Sinar dan radioisotop yang digunakan

1. Sinar Alfa
Sinar alfa ialah sinar korpuskuler atau partikel dari inti atom. Inti atom terdiri
dari proton dan neutron. Sinar ini tidak dapat menembus kulit dan tidak
banyak dipakai dalam radioterapi.

2. Sinar Beta
Sinar beta ialah sinar elektron. Sinar ini dipancarkan oleh zat radioaktif yang
mempunyai energi rendah. Daya tembusnya pada kulit terbatas, 3-5 mm.
Digunakan untuk terapi lesi yang superfisial.
3. Sinar Gamma
Sinar gamma ialah sinar elektromagnetik atau foton. Sinar ini dapat
menembus tubuh. Daya tembusnya tergantung dari besar energi yang
menimbulkan sinar itu. Makin tinggi energinya atau makin tinggi voltagenya,
makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak dosis maksimalnya.22

Radioisotop
1. Caecium137 ! sinar gamma
2. Cobalt60 ! sinar gamma
3. Radium226 ! sinar alfa, beta, gamma.22

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 39
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

2.12.1.4 3 cara utama pemberian radioterapi

1. Radiasi Eksterna / Teleterapi


Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar
tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar energi yang
diserap oleh suatu tumor tergantung dari :
a. Besarnya energi yang dipancarkan oleh sumber energi
b. Jarak antara sumber energi dan tumor
c. Kepadatan massa tumor.
Teleterapi umumnya diberikan secara fraksional dengan dosis 150-250 rad
per kali, dalam 2-3 seri. Diantara seri 1-2 atau 2-3 diberi istirahat 1-2 minggu
untuk pemulihan keadaan penderita sehingga radioterapi memerlukan waktu
4-6 minggu.22

2. Radiasi Interna / Brachiterapi


Sumber energi ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di dalam rongga tubuh.

Ada beberapa jenis radiasi interna :


a. Interstitial
Radioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya
jarum radium atau jarum irridium.
b. Intracavitair
Pemberian radiasi dapat dilakukan dengan :
- After loading
Suatu aplikator kosong dimasukkan ke dalam rongga tubuh ke
tempat tumor. Setelah aplikator letaknya tepat, baru dimasukkan
radioisotop ke dalam aplikator itu.
- Instalasi
Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misal :
pleura atau peritoneum.

3. Intravena

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 40
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I131 yang disuntikkan


IV akan diserap oleh tiroid untuk mengobati kanker tiroid.22

2.12.1.5 Tujuan Radioterapi

1. Radiasi Kuratif
Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita
dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher
dan supra klavikular. Dosis total radiasi yang diberikan adalah 6600-7000
rad dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per minggu.
Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad
lapangan penyinaran supraklavikular dikeluarkan.22

2. Radiasi Paliatif
Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal.
Dosis radiasi untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x
per minggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas pada
daerah kambuh.22
Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang
diberikan 5 x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis mencapai
4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir istirahat dilakukan
penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan lapangan radiasi dan
penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x
200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak
didapatkan pembesaran kelenjar regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan
supraklavikular cukup sampai 4000 cGy.22
Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan secara
bertahap dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan KGB
leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan menggunakan pesawat megavoltage dan
menggunakan radioisotop Cobalt60.22

2.12.1.6 Respon radiasi

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 41
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.
Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di
nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

2.12.1.7 Komplikasi radioterapi


a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang
diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum
- Anoreksia
- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar
parotis yang terkena radiasi)
- Eritema

b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Penurunan pendengaran
- Gangguan pertumbuhan

Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama
pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan
sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien
mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi
keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya
bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis
diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 42
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea,
anorexia dan sebagainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan tersebut.22

2.12.2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan
kambuh.14,15,18,23

2.12.2.1 Indikasi Kemoterapi

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah
mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

-
kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
-
kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.
-
pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan
dan metastasis jauh). 15,18,23

2.12.2.2 Kemoterapi berdasarkan waktu pemberiannya

Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher
dibagi menjadi

1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului


pembedahan dan radiasi)

2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan


bersamaan dengan penyinaran atau operasi)

3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau
radiasi )14,16,23

2.12.2.3 Efek Samping Kemoterapi

Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 43
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang
memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah
anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan
rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel
rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel
kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi
oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker23

Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung,
yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru.
Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal
hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping
pemberian kemoterapi.23

Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi


dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien
dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.22,23

2.12.2.4 Manfaat Kemoradioterapi

Manfaat pemberian keoterapi adjuvan antara lain :

1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil
terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan
radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa
tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.
2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap
radiasi yang diberikan (radiosensitiser). 22,23

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki
manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar
radiasi.20,22,23

Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum


radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed
tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,
[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 44
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal
mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan
overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat
mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation). 20,22,23

Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan


kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat
memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi. 20,22,23

Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or


concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.
Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi
dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.
Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi,
membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel
kanker yang sublethal. 20,22,23

2.12.2.5 Kelemahan Kemoradioterapi

Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,
leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan
sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat
fatal. 22,23

Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan


dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak
diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal
pemberian.22,23

Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal


(single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan
sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering
digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.22,23

2.12.3. Operasi
[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 45
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan
dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi
paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring
yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.

2.12.4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi, yaitu
dengan mengambil sampel darah tepi dari penderita, yang kemudian melalui suatu proses
imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang kemudian diinjeksikan kembali ke tubuh pasien di
mana diharapkan melalui injeksi vaksin tersebut, tubuh akan memberikan reaksi imunitas
baru terhadap EBV. Namun teknik ini masih dalam pen elitian sehingga belum dapat
digunakan dalam terapi kanker nasofaring.

2.13. PENCEGAHAN

 Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.

 Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan


sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan
faktor penyebab.

 Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang
akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 46
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

 Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan dan
menempati urutan ke 10 dari seluruh tumor ganas di tubuh.
 Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu

(1)Adanya infeksi EBV,


(2) Faktor lingkungan
(3) Genetik
 Karsinoma nasofaring banyak ditemukan pada ras mongoloid, termasuk di Indonesia

3.2 SARAN

 Deteksi awal yang cermat terhadap gejala karsinoma nasofaring sangatlah diperlukan
walaupun sulit, karena seringkalai penderita KNF terdeteksi pada stadium lanjut.

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 47
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

CONTOH KASUS

Nama pasien : Mr Hendry Sumarpo Tan

Usia : 40 tahun

Dokter : dr. Reno Hardoyo Kelan Sp THT-KL

April 2010 datang dengan keluhan sebagai berikut :

1. Diplopia

2. Telinga kanan pendengaran menurun

3. Sering kesemutan pada daerah wajah

Gejala sudah berlangsung lebih dari 1 bulan.

Dilakukan pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan tes Rinne dan tes Webber.

Didapatkan hasil sebagai berikut :

-
Tes Rinne ( + )

-
Tes Webber didapatkan lateralisasi ke arah telinga kanan.
[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 48
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

Lalu dilakukan pemeriksaan penunjang radiologi ( CT Scan) dengan dan tanpa kontras,
hasilnya dilaporkan sebagai berikut:

-
Tampak masa di parapharyngeal space kanan yang menonjol ke mukosa dinding lateral
kanan nasofaring ( berdiameter +/- 2 cm). Masa tersebut mengobliterasi tuba eustachius
kanan, dan selanjutnya tampak mastoiditis kanan.

-
Fossa Rossenmulleri dan Torus Tubarius kanan terdistorsi ringan

-
Tidak tampak infiltrasi masa ke intrakranial

-
Parasellar dan daerah fossa media baik

-
Choana dan Cavum Nasi baik, dinding-dinding sinus paranasal baik

-
Tak tampak kelainan pada intrakranial /basis cranii intact

-
Tampak pembesaran kelenjar getah bening leher kanan atas (diameter =/- 2 cm)

-
Kelenjar parotis dan submandibula baik

Kesan:

-
Tampak masa di parapharyngeal space kanan yang menonjol ke submukosa dinding
lateral kanan nasofaring  curiga limfoma

-
Masa tersebut mengobliterasi tuba eustachius kanan dan selanjutnya tampak mastoiditis
kanan

-
Tampak pembesaran kelenjar getah bening leher kanan atas (+/- 2 cm)

Diagnosa: Karsinoma Nasofaring, kemungkinan berasal dari fossa Rossenmuller dan


menyebar ke daerah kranial.

Pasien menjalani kemoradioterapi di Malaysia, dan hasil kemoradioterapi cukup baik. Namun
didapatkan efek samping sebagai berikut:

-
Sulit menelan

-
Telinga kanan kadang terasa sakit

-
Penurunan berat badan drastis
[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 49
[Karsinoma Nasofaring] [2010]

-
Sering kali lemas dan mual

Hasil foto tidak didapatkan, karena pasien berobat di Malaysia, dan hasil CT Scan tidak ada
di Siloam Hospital Lippo Village.

[Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT periode 23 Agustus 2010 – 25 September 2010] Page 50

You might also like