You are on page 1of 10

Pendekatan Algoritma Genetika dalam Menyelesaikan Model Fuzzy Goal Programming

(Titin Isna Oes dan Miftahol Arifin)

PENDEKATAN ALGORITMA GENETIKA DALAM


MENYELESAIKAN MODEL FUZZY GOAL PROGRAMMING

Titin Isna Oes dan Miftahol Arifin

ABSTRACT
This paper has examined the use of genetic algorithms as a tool for the solution
and analysis of multiple objective programming models. It has shown that multiple
objectives can be effectively incorporated into the genetic algorithm framework.
Various attributes of genetic algorithm can be exploited for this purpose. The
randomised selection algorithm uses the random search aspect of the genetic
algorithm in order to ensure that an appropriate solution can be found without
directly summing or comparing any of the objectives.

1. Pendahuluan
Pada lingkungan sistem global yang makin tidak dapat diprediksi, faktor ketidakpastian
merupakan elemen penting yang harus diperhatikan sehingga pengunaan model matematis
dalam proses optimasi pengambilan keputusan semakin lama semakin meningkat.
Kompleksitas dalam sistem riil menuntut makin lengkapnya model dengan memperhatikan
semua parameter yang ada. Bidang pemrograman multi kriteria terdiri dari sejumlah teknis
dengan filosofi mendasar yang berlainan namun sama dalam pencapain tujuannya. Yaitu
menyediakan solusi efektif terhadap pengambil keputusan yang dihadapkan pada suatu situasi
di mana ada multi kriteria yang hendak dipenuhi.
Teknik yang umum digunakan dalam menyelesaikan model multi kriteria adalah multiple
objective programing models yang mencakup goal programming, compromise programming,
pareto set generation methodes. Cara algoritmis yang umum dipakai untuk menyelesaikan
permasalahan di atas adalah dengan menggunakan teknik optimalisasi konvensional versi
adaptasi. Teknik tersebut mencakup metode simpleks untuk model linier, branch and bound
technique, dan berbagai metode berbasis kalkulus dan metode lain pada model non-linier.
Teknik-teknik ini efektif ketika menghadapi model yang jelas dan berperilaku baik namun akan
kesulitan untuk model yang kurang jelas atau kompleks.
Sebagai konsekuensinya, diperlukan sebuah pendekatan baru yang mampu memberikan
efektifitas dalam menyelesaikan permasalahan optimasi. Pendekatan yang paling
memungkinkan adalah algoritma genetika. Algoritma genetika berhasil digunakan untuk
memecahkan banyak model sulit dari bidang optimalisasi.
Algoritma Genetika (GA) merupakan sebuah teknik pencarian yang berusaha menyamai
operasi-operasi genetika alami. GA secara simultan dapat mengevaluasi banyak titik yang ada
dalam ruang lingkup parameter penelitian sekaligus dan kemudian mengarahkannya menuju
nilai optimum global. Evaluasi ini dapat digunakan untuk persoalan yang menggunakan banyak
fungsi tujuan (multi objective). GA tidak memerlukan asumsi tentang jenis ruang lingkup
parameternya, apakah differentiable atau continuous. Di samping itu GA dapat mereduksi
waktu siklus yang diperlukan dalam simulasi.
2. Goal Programming
Goal Programming merupakan modifikasi atau variasi dari program linier dengan
menggunakan struktur prioritas tujuan dan pembobotan. Struktur prioritas menentukan urutan

13
Jurnal Teknologi Industri Vol. V No. 1 Januari 2001 : 13-22

tujuan-tujuan derajat preferensi untuk tujuan-tujuan yang berada pada level prioritas yang lebih
tinggi akan dipenuhi dahulu sampai mencapai nilai yang mungkin tidak diperbaiki lagi.
Istilah yang terdapat dalam Goal Programming (GP) adalah sebagai berikut :
a. Objective
Adalah suatu pernyataan yang menggambarkan keinginan dari pengambil keputusan.
b. Tingkat Aspirasi
Adalah nilai tertentu yang berhubungan dengan keinginan atau tingkat penerimaan dari
sebuah obyektif. Jadi tingkat aspirasi digunakan sebagai ukuran pencapaian sebuah obyektif.
c. Goal
Hubungan antara obyektif dengan tingkat aspirasi disebut goal.
d. Goal Deviation
Adalah perbedaan antara yang hendak dicapai dengan yang didapat.

Berkaitan dengan goal deviation di dalam GP, terdapat dua buah variabel deviasi yang
menentukan kemungkinan penyimpangan negatif atau positif dari goal (Ignizio, 1982) yaitu :
- Variabel deviasi negatif (d -)
- Variabel deviasi positif (d+)
Model umum GP dengan m tujuan dapat dirumuskan sebagai berikut :
a = { [ d1- + d1+],….. [ dm- + dm+] }
syarat ikatan :
fi (x) = d1- - d1+ = bi i = 1,2,3….m
x,d ,d  0
- +

di mana :
a = Vektor fungsi variabel deviasi
d- = Vektor variabel negatif
d+ = Vektor Variabel positif
-
dm = Variabel deviasi negatif
dm+ = Variabel deviasi negatif
fi (x) = Fungsi tujuan ke-i
bi = Target berkaitan dengan fungsi tujuan ke-I

Persamaan di atas belum mempertimbangkan struktur prioritas di antara fungsi


pengambil keputusan jika suatu pengambil keputusan menghadapai suatu persoalan dengan
multiple goal dimana suatu tujuan saling bertentangan maka pengambil keputusan harus
menentukan prioritas urutan berbagai tujuan yang telah ditentukan. Ignizio (1982)
memperkenalkan konsep lexicographic minimum untuk menentukan optimalisasi solusi, maka
model umum program goal dengan menggunakan k prioritas dinyatakan dengan menggunakan:
Minimum secara lexicographic :
a = {g1 [ d- + d+],….. gk[ d- + d+] }
Sedemikian hingga :
fi (x) = d1- - d1+ = bi i = 1,2,3….m
x,d- ,d+  0
di mana :
dm- = Vektor variabel deviasi negatif
dm+ = Vektor variabel deviasi negatif
Konsep lexicograph minimum mendefinisikan solusi otimal sebagai berikut : jika
diberikan barisan berurutan a yang terdiri dari elemen-elemen non negatif ak, maka solusi a(1)
dinyatakan lebih baik daripada solusi a(2). Jika a(1) < a(2) atau solusi a(1) dinyatakan lebih tinggi
atau lebih disukai daripada elemen a(1+i).
Konsep ini sama dengan konsep preemptive priority yang diumumkan oleh Y. Ijiri

14
Pendekatan Algoritma Genetika dalam Menyelesaikan Model Fuzzy Goal Programming
(Titin Isna Oes dan Miftahol Arifin)

(Ignizio,1982) bahwa setiap tujuan yang memiliki prioritas preemptive priority k (yang
disimbulkan dengan Pk akan selalu lebih baik dari tujuan yang memiliki prioritas preemptive
priority yang lebih rendah.

3. Formulasi Model Keputusan Fuzzy Goal Programming


Pemaparan teori himpunan fuzzy untuk masalah goal programming pertama kali
dikemukakan oleh Narasimhan (1980) dan Ignizio (1982). Secara komprehensif berbagai aspek
teori keputusan dengan menggunakan pendekatan fuzzy goal programming didiskusikan oleh
Rubin dan Narasimhan (1984) dan Tiwari et.al. (1986). Aplikasinya untuk pemodelan
keputusan untuk berbagai aspek yang luas, misalnya untuk persoalan manajemen lingkungan.
Ciptomulyono membahas untuk perencanaan produksi agregat, sementara Chang et.al. (1998)
mengembangkan model fuzzy goal programming untuk manajemen operasional angkutan bus.
Model fuzzy goal programming yang dikemukakan dalam tulisan ini menggunakan
konsep Tiwari et.al. (1987) berupa model simple additive method. Pendekatan itu diadopsi
dikarenakan kesamaan struktur keputusan dan kesederhanaannya dibandingkan model yang
lain. Tiwari et.al. (1987) kemudian merumuskan persoalan fuzzy goal programming sebagai:

Cari nilai X untuk memenuhi Gs (X) <gs atau Gs (X) > gs untuk s = 1,2,……, m.
s.t.
AX  b
X  0

simbol < dan > menyatakan pertidaksamaan fuzzy kendala goal G s(X)< g, atau Gs(X)>gs, dan
G(X) merupakan fungsi goal dan g s adalah goal yang menjadi aspirasi pengambil keputusan. X
adalah vector variabel keputusan dan AX  b sebagai kendala sistem. Persamaan fuzzy kendala
goal mewujudkan aspirasi yang bersifat “imprecise”. Model fuzzy ini perlu diubah ke dalam
persamaan “crips” dengan mensubstitusikan fungsi tersebut pada fungsi keanggotaan fuzzy
liniernya yang relevan. Fungsi keanggotaan fuzzy linier untuk fungsi kendala goal yang
diformulasikan Tiwari et.al. adalah seperti berikut di bawah:

3.1. Untuk Problem Fungsi Kendala Fuzzy Goal (Gs (X) > gs :
1 Jika Gs(X) > gs

i = Gs(X)- Ls
g s - Ls Jika Ls < Gs(X) < gs

0 Jika Gs(X) > Ls

dimana Ls adalah batas toleransi aspirasi terendah yang ditetapkan subjektif oleh pengambil
keputusan untuk fungsi kendala fuzzy goal Gs (X).

3.2. Untuk Problem Kendala Fuzzy Goal (Gs (X) < gs :

1 Jika Gs(X) < gs

i = Us- Gs(X)
us - gs Jika gs < Gs(X) < Us

0 Jika Gs(X) > Us

15
Jurnal Teknologi Industri Vol. V No. 1 Januari 2001 : 13-22

di mana Us adalah batas tingkat aspirasi toleransi tertinggi yang ditetapkan subyektif oleh
pengambil keputusan.
Model keputusan yang dapat dibentuk adalah problem optimasi dalam bentuk linier
programming biasa yang dapat diselesaikan dengan algorithma standar. Model memiliki fungsi
objektif berkriteria tunggal yaitu maksimasi derajat keanggotaan us untuk keseluruhan aspirasi
goal. Fungsi kendalanya bisa dalam bentuk “crisp” atau “fuzzy”. Misalnya untuk aspirasi goal:
Gs(X) > gs diperoleh model keputusan sebagai berikut:
Maximize V() =  s
S=1
s.t.
G s (X)  L s
s =
gs  Ls
AX  b
s  1

X, s  0, s = 1,2,……………………., m.

4. Algoritma Genetika
Sebuah algoritma genetika (GA) dapat dipakai sebagai algoritma probabilistik dengan
intelegensi tinggi yang dapat diaplikasikan pada berbagai jenis kombinasi permasalahan
optimasi. Dasar teori GA ini dibangun oleh Holland (1975).
GA didasarkan pada seleksi alam dalam proses evolusi makhluk hidup. Individu yang
mampu beradapatasi dengan lingkungan akan memiliki peluang hidup yang lebih besar dan
melakukan reproduksi. Sedangkan yang tidak mampu akan tereleminasi. Kombinasi dari
karakteristik-karakteristik yang bagus dari individu yang paling mampu beradaptasi ini akan
direproduksi sehingga spesiesnya akan memiliki adaptasi yang semakin baik dan semakin
mampu untuk bertahan.
Proses GA dimulai dengan mengambil populasi awal dan menerapkan operasi-operasi
genetika untuk membentuk generasi berikutnya. Setiap individu dalam populasi dianggap
sebagai sebuah kromosom yang dapat mewakili sebuah solusi yang layak dari masalah yang
dikaji. Individu yang mempunyai kecocokan yang tinggi memiliki kesempatan untuk
direproduksi dengan cara menukarkan informasi genetiknya melalui crossover dengan individu
lain tersebut. Setelah crossover melakukan mutasi gen untuk merubah beberap sifat gen tertentu
secara non produksi. Keturunan yang dihasilkan dapat mengganti individu-individu yang
memiliki fungsi kecocokan rendah (steady state approach). Siklus reproduksi- crossover–
mutasi–evaluasi ini berulang sampai ditemukannya sebuah solusi yang memuaskan (global
optimum solution). Berikut ini adalah langkah dasar dari sebuah GA secara sederhana.
generate an initial population;
evaualte fitness of individual in the population;
repeat;
select parents from the population;
recombine parents to produce children;
evaluate fitness of the children;
replace some or all of the population by the children;

Until a satisfactory solution has been formed.

Setelah memahami dasar algoritma genetika, maka apa yang diproses oleh GA? dan

16
Pendekatan Algoritma Genetika dalam Menyelesaikan Model Fuzzy Goal Programming
(Titin Isna Oes dan Miftahol Arifin)

Bagaimana kita mengetahui apakah proses tersebut akan membawa kepada solusi optimal atau
mendekatan solusi optimal pada suatu problem tertentu? Untuk menjawabnya maka kita perlu
memahami informasi dari populasi String dan kaitannya dengan nilai fungsi obyektif yang
mendukung proses pencarian. Mari kita perhatikan tabel yang berisi keempat String pada
contoh perhitungan fungsi kecocokan F(x) = x2
Tabel 1. String dan fitness.

String Fitness
01101 169
11000 576
01000 64
10011 361

Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa suatu String yang sukses cenderung memiliki korelasi
yang tinggi dengan String terdahulu yang telah mengalami sukses. Sebagai contoh pada tabel 1.
Kesamaan gen perta (bernilai 1) pada String 2 dan String 4 memberikan indikasi yang kuat
untuk diturunkan pada String berikutnya.
Menurut Holland ( David E. Goldberg, 1989), schema adalah sebuah pola kesamaan
yang menggambarkan sebuah himpunan bagian dari populasi String dengan kesamaan feature
pada posisi tertentu. Untuk memudahkan pemahaman ditambahkan simbol * atau dibaca don’t
care yang berarti bahwa feature tersebut tidak berpengaruh dalam perhitungan dapat bernilai 0
atau 1. Dengan demikian sebuah schema tersusun atas angka { 0,1,*}. Kesamaan haruslah
berbentuk nilai feature (atau disebut alele) yang sama 0 dengan 0 atau 1 dengan 1 pada posisi
yang sama pula. Sebagai contoh skema *0000 mewakili 2 String {10000,00000}. Schema
dengan n simbol * memiliki kesesuaian dengan 2n String.
Orde suatu skema H, dinotasikan o(H) adalah feature yang bernilai tetap dalam skema.
Sebagai contoh o(011*1**)=4 dan o(0****) = 1. Panjang definit skema H, dinotasikan (H)
adalah jarak antara feature pertama yang bernilai tetap dengan feature terakhir yang bernilai
tetap. Sebagai contoh (011*11**) = 5-1 = 4 dan (1****)=1-1 = 0. Representasi skema H orde
skema o(H) dan panjang skema (H) digunakan untuk memahami pengaruh operator
reproduksi, crossover dan mutasi terhadap sebuah skema.

4.1. Pengaruh Reproduksi terhadap Schema H


Pengaruh reproduksi dengan mudah untuk ditentukan. Misal, pada generasi t ada
sejumlah m String yang mewakili suatu skema H, m = m(H,t). Peluang suatu String Ai terpilih
adalah pI = ft / fj. Jika reproduksi terjadi pada populasi sejumlah n, maka pertumbuhan skema
pada generasi berikutnya adalah :

f (H )
m( H , t  1)  m( H , t ) n
f
f (H )
 m( H , t )
f

Di mana :
f(H) = rata-rata suaian dari String yang mewakili skema H pada generasi t
f = rata-rata suaian populasi

Dari persamaan diatas diketahui bahwa pertumbuhan schema adalah berbanding lurus
dengan perbandingan antara rata-rata suaian schema dengan rata-rata suaian populasi.

17
Jurnal Teknologi Industri Vol. V No. 1 Januari 2001 : 13-22

Diumpamakan suatu skema berada diata rata-rata duaian populasi sebesar c f ( c -=


constanta ) dan dengan mengasumsikan nilai c konstan, maka pada t = 0 persamaan diatas
dapat ditulis menjadi :
M(H,t) = m(H,0) (1+c)t
Persamaan diatas menunjukkan suatu fungsi eksponensial, sehingga dapat disimpulkan
bahwa proses reproduksi menurunkan skema ke generasi berikutnya secara eksponensial.

4.2. Pengaruh Crossover terhadap Schema H


Crossover merupakan proses pertukaran gen-gen antar individu dalam suatu populasi.
Untuk melihat pengaruh crossover terhadap schema, dapat diperhatikan suatu String A, dengan
panjang 7, dan dua schema yang mewakili String A berikut ini :

A =01 1|1000
H1 =*1 *|***0
H2 =** *|10**

Pada String A crossover dapat terjadi pada 6 tempat (l-1 = 7-1 = 6). Misalkan
Crossover terjadi antara feature 3 dan feature 4 maka schema H1 akan rusaj karena nilai 1 pada
urutan kedua dan nilai 0 pada urutan ketujuh akan diturunkan pada dua individu baru yang
berbeda , sedangkan schema H2 akan menurunkan nilai 1 pada urutan ke empat dan nilai 0 pada
urutan kelima pada suatu individu baru.
Jika pemilihan tempat crossover berdistribusi seragam, maka peluang H1 rusak adalah pd
=  (H)/(l-1) = 5/6 atau dengan kata lain peluang hidupnya adalah p s= 1- pd = 1/6. Begitu pula
H2, peluang rusaknya = 1/6 atau peluang hidupnya p s = 5/6. Karena crossover terjadi dengan
peluang ps , maka peluang suatu schema hidup adalah :
p  1  p ( H ) / l  1
Dengan mengasumsikan reproduksi dan crossover saling independen, pengaruh kedua
faktor tersebut dapat dikembangkan berdasarkan persamaan di atas.

5. Contoh Penerapan
Di dalam contoh ini diasumsikan bahwa perbandingan langsung atau sumasi tambahan
dari objektif tidak diperbolehkan. Kepentingan relatif dari objektif diketahui a priori. Model
non-linier dengan tiga objektif dan tiga variabel keputusan diberikan sebagai berikut :
Fungsi tujuan
Max z1 = -a1 2 – 2a2 2 – a3 2
Max z2 = a1 a2 a32
Max z1 = a1 + a2 – a3
Subject to
a1 + a2 + a3  4
a1 , a2 , a3  0

Mengingat fungsi tujuan terdiri dari tiga tujuan, maka perlu diberikan sebuah nilai
pembobotan prioritas terhdap ketiga fungsi tujuan tersebut. Bobot a priori untuk objektif
diberikan dengan
w1 = 1/6 ; w2 = 1/3 ; w3 = ½
Jumlah ketidakmungkinan (infeasibility) f(x) diberikan dengan :
f(x) = Max(a1 + a2 + a3 – 4,0)

Untuk menyelesaikan model ini dengan menggunakan algoritma genetik, harus

18
Pendekatan Algoritma Genetika dalam Menyelesaikan Model Fuzzy Goal Programming
(Titin Isna Oes dan Miftahol Arifin)

direncanakan sebuah pengkodean genetik. Kisaran dari masing-masing tiga variabel tersebut
ditentukan antara 0 dan 4 dengan kawasan yang memungkinkan. Ketika variabelnya
berkesinambungan, tingkat akurasinya harus diberikan. Karena itu diasumsikan bahwa 2 5 poin
terletak antara 0 dan 4, yang akan memberikan akurasi sekitar 10 -4. Jumlah poin dipilih secara
tepat untuk memastikan penentuan algoritma genetik yang efisien. Jadi pengkodean 45 bit
diberikan pada tiga variabel keputusan.
Kode algoritma genetik yang digunakan untuk menyelesaikan model ini adalah versi
modifikasi kode yang didasarkan pada software GASS ’99. Kode GA digunakan dengan
parameter berikut:
- Ukuran populasi = 50
- Probabilitas crossover (pc) = 0,6
- Probabilitas mutasi (pm) = 0,01
- Jumlah generasi = 201
Dimana 201 merupakan jumlah generasi yang memadai untuk memungkinkan algoritma
genetik bertemu, rangkaian pembatasan ditangani menggunakan pendekatan fungsi penalti.
Penalti diukur sama besarnya dengan fungsi objektif yang diseleksi. Jadi ketiga fungsi
kecocokan menjadi :
z1+ 8f(x)
z2+ 8 f(x)
z3+ f(x).

Sehingga diperoleh hasil :


a1 = 2.067 , a2 = 1.787 , a3 = 0.183
Hasil ini terletak pada a1 + a2 + a3  4 seperti yang diharapkan ketika objektif z2 dan z3
berlawanan dengan keterbatasan ini pada nilai ideal mereka. Nilai rata-rata permulaan (diseleksi
acak) pada ketiga objektif dan persentasi populasi yang dimungkinkan diberikan pada tabel 2.
Tabel 2. Statistik dari Populasi Akhir dan Awal.

Objektif z1 z2 z3 Persentase Feasible solution


Initial -20.988 7.805 2.149 18 %
Final -10.671 0.716 3.559 88 %

Tabel ini juga menunjukkan rata-rata nilai akhir dari objektif. Ini diambil sebagai rata-
rata pada empat generasi terakhir untuk mencegah bias terhadap objektif yang dipilih sebagai
fungsi kecocokan ketika mengkonstruksi generasi akhir.
Dari tabel 1. bisa dilihat bahwa populasi berhasil dituntun dari amat tidak mungkin
mejadi amat mungkin dengan fungsi hukuman (penalty). Nilai objektif pertama telah lebih baik.
Nilai-nilai objektif kedua diturunkan untuk mencapai kemungkinan. Nilai objektif ketiga telah
lebih baik, walaupun faktanya nilai ideal untuk fungsi ini tidak mungkin. Ini mencerminkan
fakta bahwa objektif ketiga memiliki bobot paling tinggi dan lebih sering dipilih sebagai fungsi
kecocokan.

6. Kepekaan Parameter
Dari contoh diatas jelas bahwa secara teoritis GA memiliki potensi yang baik untuk
menghasilkan solusi bagi model pemrogram dengan multi kriteria. Namun salah satu masalah
yang dihadapi dalam kenyataanya adalah bahwa GA memiliki parameter kontrol yang lebih
besar dibandingkan dengan metode solusi berbasis simplek klasik. Dengan demikian maka
perlu dilakukan pengendalian terhadap parameter GA yang mencakup :
- Penggunaan Elitism (bernilai on, off)
- Elitism adalah mekanisme yang menjamin agar individual terbaik didalam suatu

19
Jurnal Teknologi Industri Vol. V No. 1 Januari 2001 : 13-22

generasi dibawa ke generasi selanjutnya.


- Probabilitas crossover pc (Nilai : 0.5; 0.55 ; 0.6 )
- Probabilitas mutasi pm (Nilai : 0.01; 0.02; 0.04)
- Besarnya atau ukuran populasi ( Nilai : 31 ; 51 ; 101 )

Nilai yang diberikan pada paramter ini mewakili kisaran nilai sebagaimana yang
dianjurkan oleh Mitsuo (1986). Jadi rangkain parameter yang dipilih harus mampu memberikan
solusi yang baik agar nilai optimalnya tercapai. Kepekaan parameter bertujuan untuk
menunjukkan paramater apa yang paling peka dan parameter mana yang harus diperhatikan
oleh pengguna.
Sebagai contoh gambar 6.1. menunjukkan variasi penyimpangan persentase pada tiap
faktor ada kisaran paramaternya.

16
14
Persentase

12
10
8
6
4
2
0
0 10 20 30
Bobot
Gambar 6.1. Variasi penyimpangan dari ukuran populasi.

Pada gambar 6.1. menunjukkan semakin tinggi ukuran populasi mengarah kepada
kenaikan penyimpangan yang signifikan dan probabilitas yang sangat rendah. Kasus parameter
ini jelas menunjukkan bahwa algoritma genetika peka setidaknya terhadap satu parameter
sehingga perlu diwaspadai dalam pemanfaatanya pada multi kriteria obyektif.

7. Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan untuk meneliti pemanfaatan algoritma genetik sebagai alat
untuk solusi dan analisis model fuzzy goal programming. Ini menunjukkan bahwa multi kriteria
bisa dimasukkan secara efektif ke dalam kerangka algoritma genetik. Berbagai atribut algoritma
genetik bisa dieksploitasi untuk keperluan ini. Algoritma seleksi acak menggunakan aspek
pencarian acak dari algoritma genetik untuk memastikan bahwa solusi yang tepat bisa diketahui
tanpa menjumlahkan atau membandingkan secara langsung salah satu dari objektif-objektif
tersebut. Penggunaan proses acak memungkinkan diperolehnya solusi model dengan susunan
preferensi leksikografis. Jadi terlihat bahwa semua jenis model multi kriteria bisa ditangani
secara efektif dengan algoritma genetik.
Ada kemungkinan bagi riset mendatang yang bekenaan dengan penggunaan metode
genetik hybrida dan konsep pemantapan penghalusan solusi yang dihasilkan yang lebih baik.
Banyaknya solusi yang dihasilkan di tiap generasi algoritma genetik juga harus mengarah pada
kemajuan di bidang pemrograman multi kriteria yang interaktif.

20
Pendekatan Algoritma Genetika dalam Menyelesaikan Model Fuzzy Goal Programming
(Titin Isna Oes dan Miftahol Arifin)

Daftar Pustaka

Beasley, J.E. et all., 1997. A genetic algorithm for multidimensional knapsack problem, The
Manajement School, Imperial College’s Lournal. London
Gen, Mitsuo, 1994, A Genetic Algorithms & Engineering Design, John Willey & Sons Inc.
New York.
Goldberg, David E, 1989, Genetic Algorithm in search, Optimazation and Machine Learning,
Reading Massachusetts , Addison Wesley Publshing Company, Inc.
Ignizio,James, 1982, Liniear progranmming in single objectives and multiple obyektive system,
Prentice Hall.
Jones, D.F., Tamiz,1998, Investigation into theIncorporaration and Use of Multiple Objectives
in Genetic Algorithms, University of portsmouth, UK.
Tamiz, Mehrdad.,1998., Goal Programing for decision making : An Overview of the curren
state of the art, European journal of operation research
Udisubakti, W., 2000, Fuzzy goal programing Model for Determining Weights in the Analytic
Hierarchy Process (AHP), Wahana Komunikasi Sains Indonesia, France.

21
Jurnal Teknologi Industri Vol. V No. 1 Januari 2001 : 13-22

22

You might also like