You are on page 1of 90

Jurnal ISSN 1410-7244

13/Akred-LIPI/P2MBI/9/2006

TANAH DAN IKLIM


Indonesian Soil and Climate Journal
Nomor 27, Juli 2008

Validasi Model Pendugaan Evapotranspirasi : Upaya Melengkapi Sistem


Database Iklim Nasional
E. Runtunuwu, H. Syahbuddin, dan A. Pramudia
Penyusunan Model Prediksi Curah Hujan dengan Teknik Analisis Jaringan
Syaraf (Neural Network Analysis) di Sentra Produksi Padi di Jawa Barat dan
Banten
A. Pramudia, Y. Koesmaryono, I. Las, T. June, I W. Astika, dan E. Runtunuwu
Karakterisasi dan Resiliensi Tanah Terdegradasi di Lahan Kering Kalimantan
Tengah
M.A. Firmansyah, Sudarsono, H. Pawitan, S. Djuniwati, dan G. Djajakirana
Pengaruh Pengeringan dan Pembasahan Terhadap Sifat Kimia Tanah Sulfat
Masam Kalimantan
M. Noor, A. Maas, dan T. Notohadikusomo
Kelarutan Fosfat Alam dan SP-36 dalam Gambut yang Diberi Bahan Amelioran
Tanah Mineral
W. Hartatik dan K. Idris
Karakteristik dan Teknik Rehabilitasi Lahan Pasca Penambangan Timah
di Pulau Bangka dan Singkep
Santun R.P. Sitorus, E. Kusumastuti, dan L. Nurbaiti Badri
Preservation of Organic Matter as Affected by Various Clay Contents in an
Acid Soil : Beneficial Impact on Groundnut Yield
M. Anda, E. Suryani, S. Widati, dan U. Kurnia

Departemen Pertanian
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN
ISSN 1410-7244
Jurnal
Tanah dan Iklim
Indonesian Soil and Climate Journal
Nomor 27, Juli 2008 Dari Redaksi
Terakreditasi berdasarkan Keputusan Jurnal Tanah dan Iklim Edisi No. 27 tahun 2008
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia No. 1417/D/2006 mengetengahkan 7 judul tulisan yang ditulis oleh
peneliti dari bidang tanah dan iklim baik dari lembaga
Ketua pengarah : penelitian, pengkajian, dan perguruan tinggi. Dalam edisi
Kepala Balai Besar Penelitian dan ini, topik-topik yang diketengahkan yaitu mengenai:
Pengembangan Sumberdaya Lahan Validasi model pendugaan evapotranspirasi di stasiun
Pertanian
iklim Cikarawang (Bogor) dan Ciledug (Tangerang);
Ketua penyunting : Penyusunan model prediksi curah hujan dengan teknik
Le Istiqlal Amien analisis jaringan syaraf (neural network analysis) di
sentra produksi padi di Jawa Barat dan Banten;
Anggota penyunting :
Karakterisasi dan resiliensi tanah terdegradasi di lahan
Abdurachman Adimihardja
kering Kalimantan Tengah; Pengaruh pengeringan dan
Diah Setyorini
D. Subardja pembasahan terhadap sifat kimia tanah sulfat masam
Kasdi Subagyono Kalimantan; Kelarutan fosfat alam dan SP-36 dalam
Kusumo Nugroho gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral;
Santun R.P. Sitorus
Sudarsono
Karakteristik dan teknik rehabilitasi lahan pasca
penambangan timah di Pulau Bangka dan Singkep; dan
Penyunting pelaksana : Preservation of organic matter as affected by various
Karmini Gandasasmita clay contents in an acid soil.
Rizatus Shofiyati Untuk memperkaya khasanah keilmuan di bidang
Yiyi Sulaeman
Widhya Adhy tanah dan iklim, Redaksi mengharapkan partisipasi para
pembaca untuk memberikan kontribusi dengan
Mitra bestari : mengirimkan tulisan, komentar, dan saran ke Jurnal
Supiandi Sabiham Tanah dan Iklim. Sejak tahun 2007, Jurnal Tanah dan
A.M. Fagi Iklim terbit dua kali dalam bulan Juli dan Desember.
Suyamto Hardjosuwirjo
Redaksi juga mengajak pembaca sekalian untuk turut
Penerbit : menyebarluaskan hasil penelitiannya melalui jurnal ini
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan sebagai media komunikasi ilmiah dalam bidang ilmu
Sumberdaya Lahan Pertanian tanah dan agroklimat. Semoga informasi yang kami
sajikan pada jurnal ini dapat bermanfaat bagi
Alamat redaksi :
peningkatan pemahaman kita tentang sumberdaya
Jl. Ir. H.Juanda No. 98 Bogor 16123
Telp. (0251) 323012 tanah dan iklim sehingga dapat dipergunakan dengan
Fax (0251) 311256 lestari.
e-mail : csar@indosat.net.id
www.soil-climate.or.id
Bogor, Juli 2008
Frekuensi terbit :
Setahun dua kali
Redaksi
Jurnal Tanah dan Iklim
Indonesian Soil and Climate Journal
Nomor 27, Juli 2008

DAFTAR ISI

Halaman

Validasi Model Pendugaan Evapotranspirasi : Upaya Melengkapi Sistem


Database Iklim Nasional
E. Runtunuwu, H. Syahbuddin, dan A. Pramudia ..................................... 1

Penyusunan Model Prediksi Curah Hujan dengan Teknik Analisis Jaringan


Syaraf (Neural Network Analysis) di Sentra Produksi Padi di Jawa Barat dan
Banten
A. Pramudia, Y. Koesmaryono, I. Las, T. June, I W. Astika, dan E.
Runtunuwu ........................................................................................ 11

Karakterisasi dan Resiliensi Tanah Terdegradasi di Lahan Kering Kalimantan


Tengah
M.A. Firmansyah, Sudarsono, H. Pawitan, S. Djuniwati, dan G. Djajakirana. 21

Pengaruh Pengeringan dan Pembasahan Terhadap Sifat Kimia Tanah Sulfat


Masam Kalimantan
M. Noor, A. Maas, dan T. Notohadikusomo ............................................ 33

Kelarutan Fosfat Alam dan SP-36 dalam Gambut yang Diberi Bahan
Amelioran Tanah Mineral
W. Hartatik dan K. Idris ....................................................................... 45

Karakteristik dan Teknik Rehabilitasi Lahan Pasca Penambangan Timah


di Pulau Bangka dan Singkep
Santun R.P. Sitorus, E. Kusumastuti, dan L. Nurbaiti Badri ....................... 57

Preservation of Organic Matter as Affected by Various Clay Contents in an


Acid Soil : Beneficial Impact on Groundnut Yield
M. Anda, E. Suryani, S. Widati, dan U. Kurnia ........................................ 75
Validasi Model Pendugaan Evapotranspirasi: Upaya Melengkapi Sistem Database Iklim Nasional

Validation of Evapotranspiration Prediction Model: An Effort to Complete the National Climate Database System

E. RUNTUNUWU1, H. SYAHBUDDIN2, DAN A. PRAMUDIA1

ABSTRAK Keywords : Blaney Criddle, Evapotranspiration, Penman, Pan


evaporation, Radiation, Validation.
Untuk mengatasi masalah keterbatasan data
evapotranspirasi, hingga saat ini banyak metode pendugaan
evatpotranspirasi yang telah dikembangkan. Metode tersebut PENDAHULUAN
umumnya dikembangkan di daerah sub tropis yang kondisi
iklimnya sangat berbeda dengan Indonesia sehingga metode
tersebut tidak dapat langsung diaplikasikan. Validasi terhadap Tiga istilah evaporasi yang sering digunakan di
metode pendugaan evapotranspirasi yaitu Blaney Criddle, Radiasi, dalam studi agroklimatologi adalah (1) evaporasi
Penman, dan evaporasi Panci telah dilakukan di Stasiun iklim
Cikarawang (Bogor) dan Ciledug (Tangerang). Angka koreksi dan (Epan), yang menggambarkan jumlah air menguap
koefisien korelasi (r) rata-rata yang diperoleh untuk setiap metode dari permukaan air langsung ke atmosfir (misalnya
adalah: 1,83 untuk metode Blaney Criddle (r=0,97); 1,90 untuk
metode Radiasi (r=0,97); 1,10 untuk metode Penman (r=0,96), dari danau dan sungai), (2) evapotranspirasi aktual
dan 1,81 untuk metode evaporasi Panci (r=0,98). Dari keempat (ETa), yang menggambarkan jumlah air pada
metode tersebut, Penman merupakan metode yang terbaik karena
memiliki angka koreksi terkecil. Stasiun yang memiliki data iklim permukaan tanah yang berubah menjadi uap air pada
lengkap sebaiknya memilih pendekatan ini sedangkan yang tidak kondisi normal, dan (3) evapotranspirasi potensial
lengkap dapat memilih metode lain sesuai dengan ketersediaan
datanya karena semua metode di atas memiliki koefisien korelasi (ETp) adalah kehilangan air yang terjadi untuk
lebih dari 0,95. Angka koreksi dari metode Penman dan evaporasi memenuhi kebutuhan vegetasi yang terjadi pada
Panci selanjutnya digunakan untuk menghitung evapotranspirasi
aktual di Bogor dari tahun 1995-2005. Hasil penelitian ini saat kondisi air tanah jenuh (Xu and Chen, 2005).
memberikan alternatif untuk stasiun yang tidak memiliki lisimeter
dapat menggunakan salah satu metode tersebut dengan
Peubah iklim yang paling sering diamati di
mempertimbangkan data iklim yang tersedia. stasiun klimatologi adalah curah hujan. Balai
Kata kunci : Blaney Criddle, Evapotranspirasi, Penman,
Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat)
Evaporasi panci, Radiasi, Validasi. sejak tahun 2002 telah mengembangkan sistem
basisdata iklim nasional (Runtunuwu et al., 2005,
ABSTRACT 2006). Sampai saat ini, ada 2679 stasiun curah
hujan/iklim yang telah tercatat di sistem database
To cope with limited evapotranspiration data, recently, (Runtunuwu et al., 2007; Runtunuwu dan Las,
there are many evapotranspiration estimation methods have been
developed. Those methods were generally developed in sub 2007). Namun, dari semua data tersebut, belum ada
tropic region when climate is not similar with Indonesia and the stasiun yang secara periodik mengukur
methods may not be applied directly. Validation of several
estimation methods including Blaney Criddle, Radiation, Penman, evapotranspirasi potensial ataupun aktual, padahal
and Pan Evaporation have been done in Cikarawang (Bogor) and peubah tersebut sangat penting di dalam
Ciledug (Tangerang). The average correction factor and
correlation coefficient (r) were respectively 1.83 for Blaney agroklimatologi.
Criddle method (r = 0.97); 1.90 for Radiation method (r=0.97);
1.10 for Penman method (r=0.96), and 1.81 for Pan Lisimeter merupakan instrumen penting yang
Evaporation method (r=0.98). Penman is the best method with digunakan untuk mengukur real penggunaan air oleh
regard on the smallest correction factor especially for station
with complete climatic data. Since all methods have correlation tanaman. Namun demikian, alat tersebut sangat
coefficient of more than 0.95, those methods can be used to mahal sehingga tidak mungkin mengukur
estimate evapotranspiration based on the available climatic
data. The present study used the Penman and Pan Evaporation evapotranspirasi di setiap lahan pertanian, apalagi
methods to estimate evapotranspiration in Bogor for period of
1995-2005. The study provides insight into alternative to 1. Peneliti pada Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor.
estimate the evapotranspiration for the area with no lysimeter.
2. Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan
The method is selected by considering the available climatic
Perkebunan, Bogor.
data.

ISSN 1410 – 7244 1


JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

dalam jangka waktu yang sangat panjang. Oleh Penman-Monteith merupakan yang terbaik. Metode
karena itu, banyak metode pendugaan ETp yang inipun belum dapat sepenuhnya diaplikasikan di
dikembangkan berdasarkan peubah iklim lain yang Indonesia, karena hanya sedikit stasiun pengamatan
relatif lebih mudah diamati setiap hari, seperti suhu, cuaca di Indonesia yang mengamati peubah iklim
kecepatan angin, lama peyinaran, dan radiasi secara lengkap dan kontinyu.
matahari. Hasil penentuan ETp ini selanjutnya Sehubungan dengan masalah tersebut telah
dikalikan dengan koefisien tanaman (Kc) untuk dilakukan validasi terhadap metode pendugaan
memperoleh Eta: evapotranspirasi, agar metode tersebut dapat
diaplikasikan di daerah tropis, khususnya Indonesia.
ETa = Kc * Etp ..............................................(1) Tujuan penelitian ini adalah untuk: (a) mendapatkan
angka koreksi formula pendugaan evapotranspirasi
Koefisien tanaman diperoleh baik secara (metode Blaney Criddle, Radiasi, Penman, dan
empiris berdasarkan fase pertumbuhan, tanah, dan evaporasi Panci), (b) mengaplikasikan angka koreksi
karakteristik iklim (Testi, et al. 2004; Williamsa and untuk perhitungan ETa tahun 1995-2005, sebagai
Ayarsb, 2005.) maupun dengan merujuk tabel Kc upaya untuk melengkapi sistem basisdata yang
seperti yang telah dicatat oleh Doorenbos dan Pruit dikembangkan Balitklimat. Dengan demikian,
(1977) dan Allen et al. (1998). daerah yang belum memiliki lisimeter, dapat
Beberapa metode pendugaan ETp yang sering memiliki data ETa dengan menggunakan
digunakan adalah metode Thornthwaite (1948, pendekatan di atas.
1951), Priestly-Taylor (1972), Radiasi, Blaney
Criddle, Penman, evaporasi Panci (Doorenbos and
Pruitt, 1977), Brutsaert dan Stricker (1979), Morton BAHAN DAN METODE
(1983), dan Penman-Monteith (Allen et al., 1998).
Kendala utama penggunaannya di negara kita adalah Tempat penelitian
metode tersebut dirumuskan berdasarkan parameter
Pengamatan cuaca dilakukan di dua stasiun
iklim daerah sub tropis yang sangat berbeda dengan
klimatologi di Jawa Barat, yaitu Stasiun Klimatologi
kondisi di Indonesia.
Cikarawang, Bogor (St. Cikarawang) pada posisi
Kondoh (1994) dan Salazar dan Poveda geografis 6,67º LS dan 106,75º BT dengan
(2006) telah mengaplikasikan beberapa model ketinggian 260 m dpl, dan Stasiun Klimatologi
tersebut pada berbagai ekosistem. Xu dan Chen Ciledug, Tangerang (St. Ciledug) pada posisi
(2005) mengaplikasikan metode Thornthwaite di geografis 6,219º LS dan 106,417º BT dengan
China dan memperoleh formula sebagai berikut: ketinggian 190 m dpl.

Eo* = 1,04X + 0,92 ...................................... (2) Data yang digunakan

Dimana Eo* adalah evapotranspirasi yang sudah Data iklim yang digunakan merupakan data
dikoreksi (mm), X adalah evapotranspirasi pengamatan lisimeter bulan Juni sampai dengan
berdasarkan metode Thornthwaite (mm), 0,92 November 1996 dari St. Cikarawang dan bulan Juli
adalah titik potong dan 1,04 adalah angka koreksi. sampai dengan Desember 1996 dari St. Ciledug dan
Jensen et al. (1990) telah mengujicobakan data iklim periode 1995-2005. Selain data iklim
dua puluh persamaan pendugaan ETp berdasarkan iklim tersebut, penelitian ini juga menggunakan data
peubah iklim dan menyatakan bahwa metode pendukung dari Doorenbos dan Pruitt (1977).

2
E. RUNTUNUWU ET AL. : VALIDASI MODEL PENDUGAAN EVAPOTRANSPIRASI : UPAYA MELENGKAPI SISTEM DATABASE IKLIM NASIONAL

Metodologi a. Metode Blaney Criddle

Penelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu Data utama yang diperlukan dalam metode ini
(1) pengamatan cuaca dan evapotranspirasi, (2) adalah suhu udara. Persamaan umum yang
analisis pendugaan evapotranspirasi, (3) validasi digunakan:
model, dan (4) aplikasi hasil analisis berdasarkan
data iklim St. Cikarawang. ETa = c [ p ( 0,46 T + 8 )] mm hari-1 ................(3)

Pengamatan cuaca
dimana:
Peubah iklim (Tabel 1) diamati setiap hari
ETa = Evapotranspirasi tanaman (mm hari-1)
pada Pkl. 07.00, 12.00, dan 17.00 WIB. Peubah
T = Suhu harian rata-rata per bulan (°C)
iklim curah hujan, suhu udara, kelembaban udara,
p = Persentase harian rata-rata dari jumlah
radiasi, lama penyinaran, dan kecepatan angin panjang hari setahun, yang besarnya
diamati setiap hari secara kontinyu. Selama tergantung pada posisi lintang
pengamatan berlangsung, alat lisimeter sempat c = Faktor koreksi yang tergantung pada
mengalami kerusakan sehingga periode kelembaban relatif minimum, panjang hari,
dan kondisi angin pada siang hari
pengamatannya menjadi terbatas. Selain itu, panci
klas A yang mengukur evaporasi hanya ada di St. Selain data suhu udara, metode radiasi juga
Cikarawang. membutuhkan data pendukung berupa letak lintang,
dan besaran angka koreksi (c).
Tabel 1. Peubah iklim yang diamati di stasiun
Cikarawang dan stasiun Ciledug
b. Metode radiasi
Table 1. The observed climatic variable of Station
Cikarawang and Station Ciledug Metode ini dipakai terutama untuk stasiun
No. Peubah iklim Alat pengukur Satuan yang memiliki pengamatan suhu udara, panjang hari,
1. Evapotranspirasi Lisimeter mm dan keawanan atau radiasi. Persamaan umum yang
2. Evaporasi Panci klas A mm digunakan adalah:
3. Curah hujan Ombrometer mm
ETa = c ( W. Rs) mm hari-1 .......................... (4)
4. Suhu udara Termometer °C
5. Kelembaban udara Hygrometer %
dimana:
6. Radiasi Solarimeter cal cm-2 min-1
ETa = Evapotranspirasi tanaman (mm hari-1)
7. Lama penyinaran Cambell stokes %
8. Kecepatan angin Anenometer km jam-1 Rs = Radiasi gelombang pendek yang diterima
bumi, dalam satuan evaporasi ekuivalen
(mm hari-1)
Analisis pendugaan evapotranspirasi W = Faktor pembobot yang bergantung pada
suhu udara dan ketinggian
Data pengamatan lisimeter selanjutnya
C = Faktor koreksi yang bergantung pada
dibandingkan dengan data evapotranspirasi hasil kelembaban relatif dan kondisi angin pada
perhitungan yang menggunakan keempat metode siang hari
pendugaan yang dipublikasikan oleh Doorenbos dan
Pruitt (1977). Analisis difokuskan untuk validasi Penggunaan rumus Radiasi selain menggunakan
keempat metode pendugaan evapotranspirasi data yang disebutkan di atas, juga membutuhkan
tersebut. posisi geografis dan faktor koreksi.

3
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

c. Metode Penman Y = mX + c .................................................(7)

Metode Penman membutuhkan data suhu, dimana:


kelembaban, kecepatan angin, lama penyinaran dan Y = Mewakili ETa hasil pendugaan (mm bulan-1)
intensitas radiasi. Selain itu juga membutuhkan data X = ETa hasil pengamatan (mm bulan-1)
posisi geografis dan faktor koreksi (c). Bila m = Merupakan konstanta yang mewakili
dibandingkan dengan metode yang lain, metode gradien (slope)
Penman dianggap paling banyak membutuhkan input c = Titik potong (intercept) dari persamaan
data. Bentuk persamaan yang dikembangkan: regresi. Dalam kajian ini, titik potong c
adalah nol, sehingga m menjadi angka
koreksi antara data evapotranspirasi hasil
ETa = c [W.Rn + (1-W).f(u).(ea-ed)] ................(5) pengamatan dengan pendugaan
radiasi aerodinamik
Aplikasi
dimana:
ETa = Evapotranspirasi tanaman (mm hari-1) Metode Penman dan metode evaporasi Panci
W = Suhu udara yang dihubungkan dengan selanjutnya diaplikasikan untuk menghitung
faktor pembobot
evapotranspirasi bulanan St. Cikarawang, Bogor,
Rn = Radiasi neto yang disepadankan dengan
untuk periode 1995-2005. Hal ini merupakan salah
evaporasi (mm hari-1)
f(u) = Fungsi angin satu upaya untuk melengkapi sistem database iklim
(ea-ed) = Perbedaan antara tekanan uap air jenuh nasional yang dikelola oleh Balitklimat.
pada suhu udara rata-rata dan tekanan
uap air aktual di udara (mbar)
c = Faktor koreksi untuk mengimbangi HASIL DAN PEMBAHASAN
pengaruh kondisi cuaca pada siang dan
malam hari Metode Blaney Criddle, Radiasi, Penman, dan
Evaporasi Panci menggunakan rumput sebagai
tanaman di dalam proses penyusunan formula
d. Metode evaporasi Panci
(Doorenboss and Pruit, 1977 dan Allen et al. 1998).
Metode evaporasi Panci merupakan pengukuran Demikian juga pengamatan lisimeter yang dilakukan
yang melihat pengaruh radiasi, angin, suhu udara, di kedua lokasi. Oleh karena itu, evapotranspirasi
dan kelembaban terhadap evaporasi di tempat yang diperoleh dari pengamatan lisimeter dan
terbuka. Evapotranspirasi tanaman dapat diperoleh pendugaan merupakan evapotranspirasi aktual (ETa)
dengan menggunakan rumus: sehingga dapat langsung dikorelasikan. Setiap
metode di bawah ini membutuhkan tabel pendukung
ETa = Kp . Epan .............................................(6)
dari Doorenbos dan Pruitt (1977).
dimana:
Eta = Evapotranspirasi tanaman (mm hari-1)
Kp = Koefisien panci Perhitungan evapotranspirasi

Validasi model a. Metode Blaney Criddle

Validasi model dilakukan dengan meregresikan Tabel 2 memuat hasil perhitungan ETa dengan
data evapotranspirasi hasil pengamatan dengan menggunakan metode Blaney Criddle di St.
pendugaan melalui persamaan sederhana: Cikarawang maupun St. Ciledug.

4
E. RUNTUNUWU ET AL. : VALIDASI MODEL PENDUGAAN EVAPOTRANSPIRASI : UPAYA MELENGKAPI SISTEM DATABASE IKLIM NASIONAL

Tabel 2. Data input dan hasil perhitungan Eta dengan metode Blaney Criddle di stasiun Cikarawang dan
stasiun Ciledug
Table 2. The input data and simulated Eta based on Blaney Criddle method at station Cikarawang and station
Ciledug
St. Cikarawang St. Ciledug
Peubah
Jun Jul Agt Sep Okt Nov Jul Agt Sep Okt Nov Des
p 0,27 0,27 0,27 0,27 0,218 0,28 0,27 0,27 0,27 0,28 0,28 0,28
Rhmin 65 63 61 58 71 71 55 57 61 68 66 70
n N-1 0,73 0,43 0,88 0,83 0,42 0,56 0,69 0,72 0,65 0,42 0,44 0,37
U 1,5 1,6 1,7 1,8 1,5 1,6 2,6 2,6 21 1,7 2,2 2,1
T 26,9 26,8 26,8 27 26,18 26,6 27,7 27,4 27,3 26,7 26,9 26,1
F 5,5 5,5 5,5 5,5 5,7 5,66 5,6 5,6 5,55 5,7 5,68 4,4
C 0,7 0,75 0,75 0,8 0,8 0,83 0,5 0,75 0,8 0,8 0,83 0,83
ETa (mm hr-1) 2,2 2,30 3,40 3,60 2,80 2,60 3,50 3,50 3,70 2,60 3,20 3,20
ETa (mm bln-1) 66 71 105 108 84 78 108 108 115 81 96 99

Tabel 3. Data input dan hasil perhitungan Eta dengan metode Radiasi di stasiun Cikarawang dan stasiun
Ciledug
Table 3. The input data and simulated ETa based on Radiation method at station Cikarawang and station
Ciledug
St. Cikarawang St. Ciledug
Peubah
Jun Jul Agt Sep Okt Nop Jul Agt Sep Okt Nop Des
n 5,9 6,7 7 6,6 3,8 4,5 5,55 5,76 5,2 3,35 3,51 2,95
N 11,8 11,8 11,9 12 12,2 12,3 11,8 11,9 12 12,2 12,3 12,4
n/N 0,5 0,57 0,59 0,55 0,31 0,37 0,90 0,85 0,80 0,78 0,78 0,79
Ra 12,8 13,1 14 15 15,7 15,8 13,1 14 15 15,7 15,8 15,7
Rh rata-rata 85 84 82 83 87 88 76 77 77 84 82 85
U 1,5 1,6 1,7 1,8 1,5 1,6 2,6 2,6 2,1 1,7 2,2 4,4
T 26,9 26,8 26,8 27 26,8 26,6 27,7 27,4 27,3 26,7 26,9 26,7
Rs 6,4 6,97 7,62 7,88 6,37 6,84 6,35 6,86 6,98 6,04 6,24 5,81
W 0,77 0,77 0,77 0,77 0,77 0,77 0,77 0,76 0,76 0,76 0,76 0,75
Rs.W 4,9 5,3 5,8 6 4,9 5,23 4,89 5,21 5,30 4,59 4,74 4,36
c 0,7 0,75 0,75 0,8 0,8 0,83 0,75 0,75 0,8 0,8 0,83 0,83
Eta (mm hr-1) 2,50 2,70 3,10 3,6 2,80 3,20 2,90 3,0 3,3 2,5 2,7 2,6
ETa (mm bln-1) 75 84 96 108 87 96 90 93 99 78 81 81

Metode Radiasi Validasi model

Dengan menggunakan data hasil pengamatan Tabel 6 memuat rekapitulasi hasil pengamatan
di kedua lokasi, dilakukan perhitungan ETa dan perhitungan evapotranspirasi dari semua metode
berdasarkan metode Radiasi (Tabel 3). yang digunakan. Data hasil pengamatan di Ciledug
sempat terhenti pada bulan September karena
Metode Penman kerusakan alat.
Hasil perhitungan ETa dengan metode ini Data pengamatan dan hasil pendugaan
dapat dilihat pada Tabel 4. evapotranspirasi yang tertera pada Tabel 6
selanjutnya diregresikan untuk mendapatkan angka
Metode evaporasi Panci koreksi. Koefisien korelasi dan angka koreksi
Hasil perhitungan ET dengan metode evaporasi masing-masing metode di kedua lokasi dicantumkan
Panci tertera pada Tabel 5. pada Tabel 7.

5
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Tabel 4. Data input dan hasil perhitungan Eta dengan metode Penman di stasiun Cikarawang dan stasiun
Ciledug
Table 4. The input data and simulated ETa based on Penman method at station Cikarawang and station
Ciledug
St. Cikarawang St. Ciledug
Peubah
Jun Jul Agt Sep Okt Nov Jul Agt Sep Okt Nov Des
Tmax 31,3 31,6 31,6 31,8 30,9 30,7 33,7 33,3 33,1 32,7 32,5 32
Tmin 22,4 21,9 21,8 22,1 22,6 22,5 23,4 23 23,8 23,2 22,2 23
T 26,9 26,8 26,8 27 26,8 26,6 27,7 27,4 33,1 26,7 26,9 26,1
Rhmax 96 95 95 94 95 95 88 89 87 89 89 91
Rhmin 65 63 61 61 71 71 55 57 61 68 66 70
Rh 85 84 82 83 87 88 76 77 77 84 82 85
U 130 138 147 156 130 138 225 225 181 147 190 380
n/N 0,5 0,57 0,59 0,55 0,31 0,37 0,47 0,48 0,43 0,27 0,29 0,24
Ea-ed 6,74 7,41 6,43 6,07 4,64 4,28 37,8 8,21 8,21 5,71 6,43 5,04
F(u) 0,62 0,64 0,67 0,69 0,62 0,64 0,88 0,88 0,76 0,67 0,78 1,30
1-W 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,24 0,24 0,24 0,24 0,25
Wf 0,76 0,77 0,77 0,77 0,77 0,77 0,77 0,76 0,76 0,76 0,76 0,75
Rn 4,99 4,72 4,66 4,88 4,14 4,54 5,11 5,45 5,50 4,58 4,80 4,48
c 0,95 1 1 1,10 1,10 1,15 1 1 1,10 1,10 1,15 1,15
ETo (mm hr-1) 4,07 4,71 4,58 5,19 4,22 6,81 5,03 5,15 5,43 4,30 4,98 5,21
ETo (mm bln-1) 122 146 142 156 131 204 156 160 163 133 149 162

Tabel 5. Data input dan hasil perhitungan ETa dengan metode


Evaporasi panci di stasiun Cikarawang*
Table 5. The input data and simulated ETa based on Panci
Evaporation method at station Cikarawang
Cikarawang
Peubah
Jun Jul Agt Sep Okt Nov
ET panci 3,3 3,8 4,1 4,6 4,80 3,2
c 0,85 0,85 0,85 0,85 0,85 0,85
ET (mm hr-1) 2,81 3,23 3,49 3,91 4,08 2,72
ET (mm bln-1) 84 100 108 117 126 82
* tidak ada data pengamatan evaporasi di stasiun Ciledug

Tabel 6. Evapotranspirasi hasil pengamatan dan pendugaan di stasiun Cikarawang (1) dan
Ciledug (2)
Table 6. The observed and simulated Evapotranspiration at Cikarawang (1) and Ciledug (2)
station
ETa pendugaan
ETa pengamatan
Bulan Blaney
Radiasi Penman Evaporasi
1 2 1 2 1 2 1 2 1
…………………………………………… mm hr-1 ……………………………………………
Juni 4,7 -- 2,2 -- 2,5 -- 4,07 -- 2,81
Juli 5,5 3,6 2,3 3,5 2,7 2,9 4,71 5,03 3,23
Agt 7,6 4,4 3,4 3,5 3,1 3 4,58 5,15 3,49
Sep 8,4 -- 3,6 3,7 3,6 3,3 5,19 5,43 3,91
Okt 5,3 6,7 2,8 2,6 2,8 2,5 4,22 4,30 4,08
Nov 5,3 4,9 2,6 3,2 3,2 2,7 6,81 4,98 2,72
Des -- 3,5 -- 3,2 -- 2,6 -- 5,21 --

6
E. RUNTUNUWU ET AL. : VALIDASI MODEL PENDUGAAN EVAPOTRANSPIRASI : UPAYA MELENGKAPI SISTEM DATABASE IKLIM NASIONAL

Tabel 7. Koefisien korelasi dan angka koreksi untuk setiap metode di


stasiun Cikarawang dan Ciledug
Table 7. The correlation coefficient and correction factor of each
method at Cikarawang and Ciledug station
Korelasi Angka koreksi
No. Metode Lokasi
Rata-rata Rata-rata
…….. % ……..
1. Blaney Criddle Cikarawang 99,7 2,19
Ciledug 94,3 96,88 1,47 1,83

2. Radiasi Cikarawang 99,0 2,07


Ciledug 95,8 97,40 1,73 1,90

3. Penman Cikarawang 96,2 1,21


Ciledug 95,8 96,00 0,99 1,10

4. Evaporasi panci Cikarawang 98,3 1,81


Ciledug* -- 98,30 -- 1,81

* panci evaporasi tidak tersedia

Tabel 8. Hasil pendugaan evapotranspirasi periode 1995-2005 dengan menggunakan metode Penman
Table 8. The estimated evapotranspiration period of 1995-2005 based on Penman method
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Tahunan
-1
…………………………………………………. mm bulan …………………………………………………. mm tahun-1
1995 131 134 160 173 185 161 195 234 203 201 162 156 2095
1996 138 125 180 186 196 173 190 212 217 177 177 148 2120
1997 137 143 210 155 191 204 203 233 245 265 217 211 2415
1998 203 163 188 181 190 154 144 172 208 176 152 170 2100
1999 160 132 164 181 184 187 185 226 240 202 179 149 2189
2000 138 145 168 170 180 160 192 222 233 203 169 213 2193
2001 160 129 179 190 180 156 192 225 218 190 179 202 2198
2002 150 127 209 183 182 169 184 236 226 246 197 188 2298
2003 204 136 191 183 187 199 213 231 225 226 203 164 2363
2004 192 135 191 202 179 182 192 235 227 258 208 165 2364
2005 152 162 201 192 184 168 189 219 218 220 208 162 2275

Kisaran angka koreksi rata-rata yang diperoleh instansi pengelola stasiun iklim di Indonesia. Tetapi
adalah 1,10 sampai dengan 1,90, sehingga metode kerjasama antar instansi tersebut dapat meningkatkan
yang terbaik adalah metode Penman, yang diikuti kerapatan distribusi stasiun dan kelengkapan
metode evaporasi Panci dan Blaney Criddle. Metode instrumen pengamatan peubah iklim. Adanya
Penman dalam hal ini merupakan metode yang teknologi satelit cuaca juga merupakan salah satu
terbaik, tetapi konsekuensinya adalah data yang cara untuk mendapatkan peubah iklim secara spasial
harus dilengkapi lebih banyak dibandingkan dengan dan temporal yang lebih detail.
metode lain. Koefisien korelasi keempat metode
lebih besar dari 95%, sehingga semuanya pada Aplikasi penggunaan model
dasarnya dapat digunakan tergantung pada data
iklim yang tersedia. Angka koreksi untuk masing-masing metode
Metode Penman-Monteith yang diunggulkan selanjutnya dapat digunakan untuk menduga
FAO (Allen et al., 1998) memiliki akurasi lebih tinggi evapotranspirasi. Tabel 8 dan 9 secara berturut-
tetapi menuntut data input yang lebih banyak. turut menyajikan hasil pendugaan evapotranspirasi
Kondisi ini memang agak sulit dipenuhi oleh instansi- yang menggunakan metode Penman dan Metode

7
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Tabel 9. Hasil pendugaan evapotranspirasi periode 1995-2005 dengan menggunakan metode evaporasi Panci
Table 9. Estimated evapotranspiration for period of 1995-2005 based on Pan evaporation method
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Tahunan
………………………………………………….. mm bulan-1 ………………………………………………….. mm tahun-1
1995 134 148 176 191 176 148 172 215 229 196 162 153 2099
1996 148 138 176 234 186 157 172 91 224 167 167 153 2013
1997 129 167 210 148 172 162 176 224 229 253 234 219 2323
1998 172 172 148 181 162 134 148 157 191 176 153 186 1979
1999 143 134 186 181 172 162 157 215 224 191 167 148 2079
2000 129 157 167 181 176 143 167 200 224 205 162 229 2141
2001 181 138 181 172 181 167 181 200 196 167 162 205 2132
2002 134 105 1913 167 176 162 148 200 243 234 191 176 3849
2003 215 138 181 181 181 167 176 219 205 210 200 162 2237
2004 200 157 205 224 191 167 167 205 224 224 200 167 2332
2005 143 181 200 196 172 167 172 196 210 224 210 157 2227

Tabel 10. Kebutuhan data iklim minimum yang dibutuhkan untuk pendugaan evapotranspirasi
Table 10. Minimum data requirement of evapotranspiration estimation
Data iklim
No. Metode Suhu Panjang Lama Keawanan Radiasi Kelembaban Kecepatan Penguapan
udara hari penyinaran udara angin panci
1. Blaney-Criddle √
2. Radiasi √ √ √ √
3. Penman √ √ √ √ √ √
4. Evaporasi panci √

Evaporasi Panci yang diaplikasikan dengan bangan kualitas dan kuantitas data dan informasi
menggunakan data iklim Stasiun Cikarawang, Bogor, iklim. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat dalam
Periode 1995-2005. upaya melengkapi kebutuhan data evapotranspirasi.
Caranya adalah dengan memgintegrasikan metode-
Pengembangan sistem database iklim nasional metode pendugaan evapotranspirasi lengkap dengan
yang dikelola Balitklimat angka koreksinya masing-masing ke dalam sistem
Sistem database iklim nasional yang sedang database iklim nasional. Pengguna nanti yang akan
dikembangkan Balitklimat, pada awalnya dibangun memilih metode yang akan dipakai berdasarkan
untuk menampilkan (a) data dan informasi iklim ketersediaan data iklim yang dimilikinya (Tabel 10).
secara cepat berdasarkan jenis parameter, periode
Berdasarkan ketersediaan data iklim yang ada
waktu, dan lokasi stasiun yang diinginkan, (b)
distribusi stasiun pengamatan iklim/curah hujan, (c) di sistem database Balitklimat, hanya ada 166 dari
hasil olahan data menurut satuan harian, dasarian, 2.679 stasiun yang menangani data iklim. Umumnya
bulanan, tahunan, dan (d) tampilan olahan data hanya data curah hujan dan suhu udara, sehingga
dalam bentuk grafik, print out maupun file (Gambar walaupun metode Penman merupakan yang terbaik,
1) (Runtunuwu et al., 2005, 2006, 2007). metode Blaney Criddle akan lebih banyak dipilih
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan karena hanya memerlukan data suhu udara yang
informasi iklim dewasa ini, perlu dilakukan pengem- relatif mudah didapatkan.

8
E. RUNTUNUWU ET AL. : VALIDASI MODEL PENDUGAAN EVAPOTRANSPIRASI : UPAYA MELENGKAPI SISTEM DATABASE IKLIM NASIONAL

(a) (b)

(c)

(d)

Gambar 1. Sistem database iklim nasional yang dikelola Balitklimat : (a) distribusi stasiun secara spasial, (b)
informasi nama dan lokasi stasiun, (c) tampilan data dalam bentuk grafik, dan (d) tampilan data
dalam bentuk tabular
Figure 1. The national climatic database system of IAHRI :(a) spatial distribution of climatic station, (b)
information of the name and location of the station, (c) graphical data, and (d) tabular data

KESIMPULAN data bulanan, maka hanya berlaku untuk


perhitungan data bulanan.
1. Angka koreksi dan koefisien korelasi (r) rata-rata
2. Dari keempat metode tersebut, Penman
yang diperoleh untuk setiap metode adalah:
merupakan metode yang terbaik karena memiliki
1,83 untuk metode Blaney Criddle (r=0,97); angka koreksi terkecil. Stasiun yang memiliki
1,90 untuk metode Radiasi (r=0,97); 1,10 data iklim lengkap sebaiknya memilih pendekatan
untuk metode Penman (r=0,96), dan 1,81 ini sedangkan yang tidak lengkap dapat memilih
untuk metode evaporasi Panci (r=0,98). Karena metode lain karena semua metode tersebut
angka koreksi ini diperoleh melalui perhitungan memiliki koefisien korelasi lebih dari 0,95.

9
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

3. Dengan mengintegrasikan formula pendugaan Runtunuwu, E., B Kartiwa, N. Pujilestari, Suciantini,


dan angka koreksi ke sistem database iklim dan K. Sari. 2006. Penyusunan Alat Bantu
nasional yang dikelola Balitklimat, data Pengambil Keputusan Pendayagunaan Sum-
evapotranspirasi dapat dihitung berdasarkan berdaya Iklim dan Air untuk Perencanaan
data iklim yang tersedia. Pertanian. Laporan akhir penelitian. Balai
Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Runtunuwu, E., H. Syahbuddin, B. Kartiwa, dan K.
DAFTAR PUSTAKA Sari. 2007. Pemutakhiran dan Pendayaguna-
an Sistem Informasi Sumberdaya Iklim dan
Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes, and M. Smith.
Air Nasional untuk Perencanaan Pertanian.
1998. Crop Evapotranspiration: Guidelines
Laporan akhir penelitian. Balai Penelitian
for computing crop water requirements.
Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Irrigation and Drainage Paper 56, Food and
Agriculture Organization of the United Runtunuwu, E. dan I. Las. 2007. Penelitian
Nations, Rome, 300 p. Agroklimat dalam Mendukung Perencanaan
Pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan
Brutsaert, W. and H. Stricker. 1979. An advection- Pertanian 1(3):33-42. Balai Besar Penelitian
aridity approach to estimate actual regional dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
evapotranspiration. Water Resource 15: Pertanian, Bogor.
443-450.
Salazar, L.F. and G. Poveda. 2006. Validation of
Doorenbos, J. and W.O. Pruitt. 1977. Guidelines for Diverse Evapotranspiration Estimation
predicting crop water requirements. Methods using the Long-term Water Balance
Irrigation and Drainage Paper 24 Rev. Rome. in the Amazon River Basin. Pp. 815-820. In
156 p. Proceedings of 8 ICSHMO, Foz do Iguaçu,
Jensen, M.E., R.D. Burman, and R.G. Allen. 1990. Brazil, April 24-28, 2006, INPE.
Evaporation and irrigation water requirement. Xu, C-Y. and D. Chen. 2005. Comparison of seven
ASCE Manual No. 70. American Society of models for estimation of evapotranspiration
Civil Engineers, New York. P. 332. and groundwater recharge using lysimeter
Kondoh, A. 1994. Comparison of the evapotrans- measurement data in Germany. Hydrol.
piration in Monsoon Asia estimated from Processes. 19:3717-3734.
different methods. J. of Japanese Assoc. Testi, L., F.J. Villalobosa, and F. Orgaza. 2004.
Hydrol. Sci. 24:11-30. Evapotranspiration of a young irrigated olive
orchard in southern Spain. Agricultural and
Morton, F.I. 1983. Operational estimates of areal
Forest Meteorology 121(1-2):1-18.
evapotranspiration and their significance to
the science and practical hydrology. J. Thornthwaite, C.W. 1948. An approach toward a
Hydrol 66:1-76. rational classification of climate. Geographical
Review 38:55-94.
Priestley, C.H.B. and R.J. Taylor. 1972. On the
assessment of surface heat flux and Thornthwaite, C.W. 1951. The water balance in
evaporation using large-scale parameters. tropical climates. Bulletin American
Monthly Weather Review 100(2):81-92. Meteorological Society 32(5):166-173.

Runtunuwu, E., E. Surmaini, W. Estiningtyas, dan Williamsa, L.E. and J.E. Ayarsb. 2005. Water use of
Suciantini. 2005. Sistem Basis Data thompson seedless grapevines as affected
Sumberdaya Iklim dan Air. Hlm 39-54. by the application of gibberellic acid (GA3)
dalam Buku Sistem Informasi Sumberdaya and trunk girdling-practices to increase berry
Iklim dan Air. Balai Penelitian Agroklimat dan size. Agricultural and Forest Meteorology
Hidrologi. Bogor. 129(1-2):85-94.

10
Penyusunan Model Prediksi Curah Hujan dengan Teknik Analisis Jaringan Syaraf
(Neural Network Analysis) di Sentra Produksi Padi di Jawa Barat dan Banten

Rainfall Prediction Modeling using Neural Network Analysis Technics


at Paddy Production Centre Area in West Java and Banten

A. PRAMUDIA1, Y. KOESMARYONO2, I. LAS3, T. JUNE4, I W. ASTIKA5, DAN E. RUNTUNUWU1

ABSTRAK months (X4=CHt+2), the southern ossilation index (SOI) at the


current month (X5=SOIt) and the NINO-3,4 sea surface
temperature anomaly at the current month (X6=AnoSSTt).
Curah hujan memiliki sifat sangat berfluktuasi dan acak.
Rainfall data recorded in the 1990-2002 period have been used
Sehingga, seringkali dalam budidaya tanaman pangan, seperti
for composing the model, and those in the 2003-2006 periods
padi, sulit menyesuaikan bahkan terlambat mengantisipasi have been used for validating the model. The validated model has
perubahan curah hujan yang tiba-tiba dan ekstrim. Dengan been used to predict rainfall in the 2007-2008. The best model
demikian, diperlukan suatu sistem peringatan dini dalam sistem are those that using a combination of those six input variables.
pertanaman padi. Dalam makalah ini disajikan penyusunan model These models are able to explain 88-91% of the data variability
prediksi curah hujan menggunakan teknik analisis jaringan syaraf with 4-8 mm month-1 of the maximum prediction error. At Baros
di wilayah sentra produksi padi di Pantura Banten dan Pantura Serang, the predicted rainfall in the 2007-2008 periods will be
Jawa Barat. Data yang digunakan adalah data curah hujan varied from Normal to Above Normal. At Karawang and
stasiun Baros di Banten, serta stasiun Karawang, dan stasiun Kasomalang Subang, predicted rainfall will be high at the end of
Kasomalang Subang di Jawa Barat. Keluaran model adalah nilai 2007 until early 2008, and then will be low in the middle of
curah hujan tiga bulan ke depan (Y=CHt+3), sedangkan data 2008 and increases at the end of 2008.
masukan yang digunakan adalah nomor bulan (X1=t), curah hujan
pada bulan sekarang (X2=CHt), curah hujan bulan depan Key words : Rainfall prediction model, Neural network analysis,
(X3=CHt+1) dan curah hujan dua bulan berikutnya (X4=CHt+2), Rainfall prediction.
nilai indeks osilasi selatan pada bulan ini (X5=SOIt) dan nilai
anomali suhu permukaan laut zone NINO-3,4 pada bulan ini
(X6=AnoSSTt). Penyusunan model dilakukan menggunakan data
tahun 1990-2002, sedangkan validasi model menggunakan data PENDAHULUAN
tahun 2003-2006. Model yang tervalidasi digunakan untuk
prediksi curah hujan tahun 2007-2008. Model prediksi curah Curah hujan merupakan salah satu faktor yang
hujan yang disusun menggunakan teknik analisis jaringan syaraf
mampu menjelaskan 88-91% keragaman data dengan maksimum menentukan keberhasilan pertumbuhan dan produksi
kesalahan prediksi sebesar 4-8 mm bulan-1. Di Baros Serang, tanaman padi, sehingga budidaya tanaman padi
curah hujan tahun 2007-2008 diprediksi berada pada kondisi
Normal hingga Atas Normal. Di Karawang dan Kasomalang perlu disesuaikan terhadap fluktuasi curah hujan.
Subang, curah hujan diprediksi akan tinggi pada akhir 2007 Namun, karena curah hujan sangat berfluktuatif dan
hingga awal 2008, kemudian rendah pada pertengahan 2008,
dan meningkat lagi pada akhir 2008.
acak, budidaya tanaman padi seringkali sulit
disesuaikan bahkan terlambat antisipasi perubahan
Kata kunci : Model prediksi curah hujan, Analisis jaringan syaraf,
yang tiba-tiba dan ekstrim. Sebagian tanaman padi
Prediksi curah hujan
mengalami puso karena kekeringan atau kebanjiran
(Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (2006a,b).
ABSTRACT Untuk itu, suatu sistem peringatan dini sangat
diperlukan dalam budidaya padi. Hal tersebut dapat
Rainfall fluctuates with time and changes randomly, which
unfavorable for most of the cropping, such as paddy. An early
warning system is required to ensure a productive paddy
cropping system. This paper describes the rainfall prediction 1. Peneliti pada Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor.
modelling using a neural network analysis at paddy production 2. Guru Besar pada Departemen Geofisika dan Meteorologi,
centre area in the northern coast of Western Java and Banten. Fakultas MIPA, IPB, Bogor.
Rainfall data from Baros in the northern coast of Banten,
3. Peneliti pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Karawang, and Kasomalang Subang in the northern coast of
Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
West Java have been used for setting and validating the model.
The model provides rainfall prediction for the next three months 4. Pengajar pada Departemen Geofisika dan Meteorologi,
(Y=CHt+3), using the inputs data of the number of month Fakultas MIPA, IPB, Bogor.
(X1=t), the rainfall at the current month (X2=CHt), the rainfall at 5. Pengajar pada Departemen Keteknikan Pertanian, Fakultas
the following month (X3=CHt+1), the rainfall at the following two Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

ISSN 1410 – 7244 11


JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

diawali dengan membuat dan memanfaatkan model karena semakin jauh memprediksi hasilnya semakin
prediksi curah hujan, sehingga gambaran curah konstan mendekati nilai tertentu, umumnya semakin
hujan beberapa periode ke depan dapat diperoleh mendekati nilai tengahnya. Filter Kalman adalah
dengan lebih awal. salah satu metode statistik yang merupakan
Beberapa peneliti membuat model prediksi pengembangan dari metode autoregresi. Teknik ini
curah hujan dengan pendekatan analisis keterkaitan menggabungkan antara model deterministik dengan
antar waktu maupun keterkaitan ruang antar model stokastik yang digunakan untuk tujuan
stasiun, misalnya: regresi, ARIMA, analisis Fourier, peramalan segera dan dapat diterapkan pada suatu
dan analisis Kalman Filter (Askari dan Bey, 2000; sistem dinamik. Selain itu, Filter Kalman dapat
Dupe, 1999; Estiningtyas dan Amien, 2006), serta diaplikasikan untuk masalah estimasi dalam sistem
pendekatan analisis keterkaitan ruang atau dinamik. Teknik ini pernah dimanfaatkan oleh
keterkaitan antara parameter, seperti hubungan Estiningtyas dan Amien (2006) untuk peramalan
antara curah hujan dengan anomali suhu muka laut hujan yang diaplikasikan pada skenario massa tanam
di Nino-3,4 (Haryanto, 1999; Pramudia, 2002), dan dengan menggunakan input data anomali suhu
lain sebagainya. Model-model yang disusun permukaan laut. Pemodelan tersebut masih dalam
umumnya menggambarkan adanya ketidakseimbang- kerangka analisis hubungan antar parameter dan
an antara aspek analisis ruang (spatial analysis) tidak terlihat ketajaman dalam analisis deret waktu
dengan analisis deret waktu (time series analysis). secara simultan.
Model-model peramalan deret waktu umumnya Dengan demikian, terbuka kesempatan untuk
cenderung tidak tajam dalam membahas aspek mengembangkan suatu model peramalan curah
keterkaitan ruang. Sebaliknya pada model-model hujan yang menerapkan keterkaitan deret waktu
prediksi yang menggunakan analisis keterkaitan dengan keterkaitan ruang antar stasiun atau
ruang antar stasiun atau analisis hubungan antar keterkaitan dengan parameter iklim dan parameter
parameter umumnya diterapkan pada satu periode fisik lainnya. Lee et al. (1998) serta Halide dan Ridd
waktu tertentu dan mengabaikan keterkaitan deret (2000) memanfaatkan teknik analisis jaringan syaraf
waktu. (neural network analysis, NNA) pada bidang
Metode Fourier, memiliki kemampuan yang hidrologi. Teknik ini mampu menggabungkan aspek
hampir sempurna dalam memodelkan pola dari analisis waktu dan ruang secara simultan. Apriyanti
parameter terukur dalam satu periode tertentu. (2005) menggambarkan bahwa teknik analisis
Metode ini menerapkan model yang sinusoidal, jaringan syaraf memungkinkan diterapkan pada
sehingga akan menghasilkan nilai prediksi yang model prediksi curah hujan yang memfokuskan pada
sama untuk setiap waktu t pada periode mana pun. aspek skala waktu dan skala ruang secara
Pada kenyataannya, fluktuasi curah hujan sangat bersamaan.
acak dan akan memiliki nilai yang berbeda dan acak Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
meskipun pada waktu t yang sama pada periode mengemukakan suatu penyusunan model prediksi
yang berbeda. Sehingga teknik ini pun sangat curah hujan menggunakan teknik analisis jaringan
berpotensi menghasilkan bias yang tidak kecil. syaraf yang memadukan aspek hubungan antar
Metode ARIMA merupakan pengembangan lebih waktu (time series analysis) dan hubungan antar
lanjut dari model Autoregressive Moving Average parameter (spatial analysis) secara simultan dalam
(ARMA) yang berdasar pada konsep regresi linier analisisnya. Sebagai studi kasus, digunakan data
dan keterkaitan antar waktu terhadap data yang curah hujan dari stasiun Baros yang mewakili sentra
berurutan. Kelemahan model autoregresif atau produksi padi di Pantura Banten, serta stasiun
moving average seperti ini adalah tidak mampu Karawang dan Kasomalang Subang yang mewakili
memprediksi untuk periode yang jauh ke depan, sentra produksi padi di Pantura Jawa Barat.

12
A. PRAMUDIA ET AL. : PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN DENGAN TEKNIK ANALISIS JARINGAN SYARAF

METODOLOGI hj =
1
− β Σ w ij x i
1+ e
Penyusunan model
1
yk = − β Σ v jk h j
Model prediksi curah hujan yang 1+ e
dikembangkan adalah model untuk memprediksi data
curah hujan bulanan, disusun menggunakan teknik
analisis jaringan syaraf (neural network analysis, Σwijxi = w0j + w1j * x1 + w2j * x2 + w3j * x3 +
NNA) propagasi balik. Keluaran model adalah nilai w4j * x4 + w5j * x5 + w6j * x6
curah hujan tiga bulan ke depan (Y=Xt+3),
Σvjkhk = v0k + v1k * h1 + v2k * h2 + v3k * h3 + v4k
sedangkan peubah masukan merupakan kombinasi
* h4 + v5k * h5 + v6k * h6 + v7k * h7 +
dari (1) kode bulan (X1=t), (2) nilai-nilai curah hujan v8k * h8
pada bulan ini (X2=Xt), (3) curah hujan bulan depan
(X3=Xt+1), (4) curah hujan dua bulan berikutnya Yk = Xt+3
(X4=Xt+2), (5) nilai SOI pada bulan ini (X5=SOIt)
dan (6) nilai Anomali SST pada bulan ini dimana:
(X6=AnoSSTt). Data yang digunakan untuk hj = elemen-elemen matriks H pada lapisan
pembentukan model (training set) adalah data hasil tersembunyi (hidden layer)
pengamatan tahun 1990-2002. Penyusunan model yk = elemen-elemen matriks Y pada lapisan
dilakukan melalui lima langkah, sebagai berikut: keluaran (output layer)
xi = elemen-elemen matriks X pada lapisan
Langkah 1 masukan (input layer)
Normalisasi atau transformasi data masukan Xi wij = pembobot untuk setiap elemen xi
dan nilai keluaran aktual Tk (=Yk) kedalam kisaran vjk = pembobot untuk setiap elemen hk
[0...1]. Curah hujan yang bernilai nol ditransformasi
menjadi angka normal 0, curah hujan yang bernilai
maksimum ditransformasi menjadi angka normal 1, Langkah 4
sedangkan nilai-nilai curah hujan lainnya Penentuan nilai galat E per tahun, sebagai
ditransformasi menjadi angka antara 0 dan 1 melalui berikut:
intrapolasi linear.
∀E = Σp 0.5 ( tkp – ykp)2
Langkah 2 dimana:
Penetapan nilai awal untuk semua pembobot tkp = nilai target data ke-p dari training set node k
wij untuk matriks X dan vjk untuk matrik H, yaitu ykp = nilai dugaan data ke-p dari training set node k
suatu matrik antara yang tersembunyi. Nilai awal
bersifat acak, namun untuk memudahkan kontrol Langkah 5
nilai awal untuk semua pembobot dibuat sama Proses learning atau training set untuk
dengan nilai antara 0 dan 1. menentukan nilai bobot vjk dan wij melalui iterasi
menggunakan modul solver pada Microsoft Excel.
Langkah 3 Target dari proses iterasi adalah menentukan nilai Y
Menghitung hj dan yk melalui persamaan sedekat mungkin dengan nilai T sehingga
berikut (Patterson, 1996): menghasilkan galat yang mendekati nilai nol.

13
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Tabel 1. Hasil penyusunan model prediksi curah hujan menggunakan enam peubah masukan di Stasiun Baros
Pantura Banten, Stasiun Karawang, dan Stasiun Kasomalang Subang Pantura Jabar
Table 1. Training set of rainfall prediction model using six input-variables at Station Baros, Northern of
Banten, Station Karawang, and Station Kasomalang Subang, Northern of West Java
Data masukan*)
Stasiun/ Jumlah Sensitivitas model*) Cakupan Kesalahan MSE validitas
No. Simpangan
lokasi Rata-rata iterasi (data 1990-2002) keragaman maksimum (data 2003-2006)
baku
% mm
1. Baros-Serang 0,309 0,210 934 0,000-0,848 90 4,1 0,091-0,116
2. Karawang 0,177 0,160 35 0,010-0,348 91 5,1 0,021-0,129
3. Kasomalang- 0,360 0,291 450 0,000-0,835 88 7,9 0,309-0,462
Subang
*) Dalam bentuk bilangan terstandarisasi dengan skala [0,1]

Validasi model hujan, model yang paling baik adalah model yang
mengkombinasikan keenam peubah masukan karena
Dari berbagai kombinasi antara jumlah peubah menghasilkan tingkat kesalahan yang paling kecil
masukan dan berbagai nilai awal dari setiap dan memiliki sensitivitas yang paling tinggi diantara
pembobot, maka di masing-masing lokasi dipilih satu kombinasi lainnya. Di stasiun Baros Serang, proses
model yang memiliki galat terendah dan memiliki pembelajaran (training set) menghasilkan model
sensitivitas tertinggi sebagai model terbaik. Dalam yang memiliki sensitivitas prediksi pada kisaran
proses validasi, model terbaik di setiap lokasi 0,000-0,848 dan mampu menjelaskan 90%
digunakan untuk memprediksi kondisi tahun 2003- keragaman data dengan maksimum kesalahan
2006. Hasil prediksi tersebut kemudian dibandingkan prediksi sebesar 4 mm bulan-1. Di stasiun Karawang,
dengan data aktualnya. model memiliki sensitivitas prediksi pada kisaran
0,010-0,348 dan mampu menjelaskan 91%
Aplikasi model keragaman data dengan maksimum kesalahan
prediksi sebesar 5 mm bulan-1. Di stasiun
Model yang sudah divalidasi kemudian
Kasomalang Subang, model memiliki sensitivitas
digunakan untuk memprediksi kondisi curah hujan
prediksi pada kisaran 0,000-0,835 dan mampu
tahun 2007-2008. Hasil prediksi curah hujan akan
menjelaskan 88% keragaman data dengan
dibandingkan dengan kondisi rata-rata di masing- maksimum kesalahan prediksi sebesar 8 mm bulan-1
masing lokasi. Interpretasi terhadap hasil prediksi (Tabel 1).
akan memberikan gambaran apakah kondisi curah
Gambar 1 menyajikan fluktuasi prediksi curah
hujan tahun 2007-2008 akan meningkat hingga
hujan hasil prediksi dalam proses penyusunan model
berada pada kondisi Atas Normal (>115% rata-
(garis) dan perbandingannya terhadap data aktual
rata), Normal (85-115% rata-rata) atau Bawah
(garis putus-putus). Terlihat bahwa teknik analisis
Normal (<85% rata-rata).
jaringan syaraf memiliki kemampuan yang bagus
dalam meniru atau mereplikasi fluktuasi curah hujan
HASIL DAN PEMBAHASAN yang acak ke dalam bentuk persamaan atau model
buatan yang memiliki fkluktuasi yang hampir sama.
Penyusunan model prediksi curah hujan Namun demikian terdapat ketidakcocokan hasil
prediksi dengan nilai aktual, terutama pada bulan-
Proses trial and error yang melibatkan berbagai bulan pengamatan yang memiliki nilai ekstrim tinggi,
kombinasi peubah masukan X1, X2, X3, X4, X5 dan dimana besaran curah hujan hasil prediksi terlihat
X6 menunjukkan bahwa, di ketiga stasiun curah umumnya lebih rendah dari data aktual, misalnya

14
A. PRAMUDIA ET AL. : PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN DENGAN TEKNIK ANALISIS JARINGAN SYARAF

Training set X 1 , X 2 , X 3 , X 4 , X 5 , X 6 - Baros (1990-2002)


1.00
Prediksi Aktual
0.90

0.80

Normalized monthly rainfall


0.70

0.60

0.50

0.40

0.30

0.20

0.10

0.00
1990
1 11991 1 1992 1
1993 11994 1995
1 1996
1 1997
1 1998
1 11999 2000
1 2001
1 2002
1

Training set X 1 , X 2 , X 3 , X 4 , X 5 , X 6 - Karawang (1990-2002)


1.00
Prediksi Aktual
0.90

0.80
Normalized monthly rainfall

0.70

0.60

0.50

0.40

0.30

0.20

0.10

0.00
1990
1 11991 11992 11993 11994 11995 1996
1 1997
1 1998
1 1999
1 2000
1 2001
1 2002
1

Training set X 1 , X 2 , X 3 , X 4 , X 5 , X 6 - Kasomalang (1990-2002)


1.00
Prediksi Aktual
0.90

0.80
Normalized monthly rainfall

0.70

0.60

0.50

0.40

0.30

0.20

0.10

0.00
11990 11991 1992
1 11993 1994
1 11995 1996
1 1997
1 11998 1999
1 2000
1 2001
1 2002
1

Gambar 1. Hasil penyusunan model prediksi curah hujan pada Stasiun Baros Pantura Banten, Stasiun
Karawang, dan Stasiun Kasomalang Subang, Pantura Jawa Barat
Figure 1. Training set of rainfall prediction model at station Baros, northern of Banten, station Karawang, and
station Kasomalang Subang, northern of West Java

15
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

terlihat jelas di stasiun Karawang. Hal ini pada bulan Januari-Februari 2008 dengan intensitas
menunjukkan bahwa model memiliki keterbatasan kira-kira 302 mm (Atas Normal, 119% rata-rata) dan
dalam memprediksi nilai ekstrim. Secara fisik, masih 350 mm (Atas Normal, 146% rata-rata), selanjutnya
ada faktor lain yang belum mampu diperhitungkan akan berfluktuasi lebih rendah dan mencapai titik
dalam model buatan tersebut. Nilai-nilai curah hujan terendah pada bulan Juli 2008 (106 mm, Atas
ekstrim umumnya terjadi pada bulan-bulan
Normal, 133% rata-rata). Di Karawang, curah hujan
September, Oktober, Februari, dan Maret, dimana
diprediksi akan semakin meningkat sejak akhir 2007
saat itu bertepatan dengan adanya lintasan matahari
dan mencapai titik tertinggi pada bulan Maret 2008
yang tepat berada di atas lokasi studi dan
(229 mm, Atas Normal, 138% rata-rata), selanjutnya
berkonotasi dengan pembentukan awan yang
intensif dan menghasilkan banyak curah hujan (inter- akan menurun selama periode April hingga Juli 2008
tropical convergence zone, ITCZ). Kondisi tersebut umumnya Normal-Bawah Normal, kemudian
tidak tergambarkan secara matematika dalam model meningkat kembali hingga bulan Desember 2008
jaringan syaraf yang menggunakan kombinasi (198 mm, Atas Normal, 134% rata-rata). Di
resiprok (kebalikan) dan ordo negatif dari eksponen Kasomalang Subang, curah hujan diprediksi akan
berbasis angka napier (e), diduga merupakan salah berfluktuasi dalam intensitas yang tinggi selama
satu sebab yang menghasilkan prediksi yang berpola periode Oktober 2007 hingga Januari 2008, dengan
sigmoid dan memiliki nilai maksimum dan minimum intensitas 331-651 mm (Normal-Atas Normal, 100-
(asymtoot) pada besaran tertentu. 164% rata-rata). Selama periode Maret-Juli 2008
curah hujan menurun dan mencapai titik terendah
Validasi data 2003-2006 (Bawah Normal). Selama periode Agustus-Desember
Dalam proses validasi model terhadap data 2008 curah hujan berfluktuasi dengan intensitas
tahun 2003-2006 pada lokasi yang sama, yang sangat tinggi berkisar antara 434-456 mm
didapatkan bahwa nilai galat rata-rata hasil validasi (Normal-Atas Normal, 100-600% rata-rata) (Tabel 2
per tahun di stasiun Baros berkisar antara 0,091- dan Gambar 3).
0,116 atau setara dengan kesalahan prediksi 4-5 Hasil prediksi tersebut memberikan gambaran
mm bulan-1, di stasiun Karawang didapatkan nilai
bahwa curah hujan di Baros Banten diperkirakan
galat rata-rata hasil validasi per tahun berkisar
akan tinggi sepanjang tahun 2008. Sementara di
antara 0,021-0,129 atau setara dengan kesalahan
Karawang dan Subang curah hujan diperkirakan
prediksi 1-8 mm bulan-1, sedangkan di stasiun
Kasomalang Subang didapatkan nilai galat rata-rata akan tinggi hingga Maret 2008, kemudian
hasil validasi per tahun berkisar antara 0,309-0,462 diperkirakan akan disambung dengan adanya periode
atau setara dengan kesalahan prediksi 20-30 mm kering pada periode April-Juli 2008, dan
bulan-1 (Tabel 1). Hasil validasi yang kurang bagus di diperkirakan diikuti dengan periode basah basah lagi
stasiun Kasomalang Subang diperkirakan akibat pada periode Agustus-Desember 2008. Angka-
adanya pergeseran awal musim hujan 1-2 bulan angka hasil prediksi tersebut menggambarkan bahwa
lebih lambat dibandingkan pola fluktuasi periode musim kemarau 2008 akan lebih rendah dari rata-
1990-2002 yang tergambarkan pada model (Gambar
ratanya, serta diikui dengan awal musim hujan yang
2).
maju lebih cepat 1-2 bulan. Apabila prediksi curah
hujan tersebut mewakili kondisi yang akan dihadapi
Prediksi curah hujan 2007-2008
tahun 2008 yang akan datang, maka hal tersebut
Pada akhir 2007 hingga 2008 curah hujan di sangat berimplikasi terhadap perilaku pertanian,
Baros Serang sepanjang tahun diprediksi akan khususnya tanaman padi, di lokasi penelitian. Musim
berada di atas Normal. Curah hujan tertinggi terjadi tanam kedua (MK1) di lokasi studi akan lebih kering

16
A. PRAMUDIA ET AL. : PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN DENGAN TEKNIK ANALISIS JARINGAN SYARAF

Validasi - Baros 2003-2006


1.00
Prediksi Aktual
0.90

0.80

Normalyzed monthly rainfall


0.70

0.60

0.50

0.40

0.30

0.20

0.10

0.00
12003 1 2004 1 2005 1 2006

Validasi - Karawang 2003-2006


1.00
Prediksi Aktual
0.90

0.80
Normalized monthly rainfall

0.70

0.60

0.50

0.40

0.30

0.20

0.10

0.00
1 2003 1 2004 1 2005 1 2006

Validasi - Kasomalang 2003-2006


1.00
Prediksi Aktual
0.90

0.80
Normalized monthly rainfall

0.70

0.60

0.50

0.40

0.30

0.20

0.10

0.00
1
2003 1
2004 1 2005 1 2006

Gambar 2. Validasi model terhadap data aktual periode 2003-2006 di Stasiun Baros Pantura Banten, Stasiun
Karawang, dan Stasiun Kasomalang Subang, Pantura Jawa Barat
Figure 2. Validation of model to actual data of 2003-2006 periods at Station Baros, northern of Banten,
Station Karawang, and Station Kasomalang Subang, northern of West Java

17
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Prediksi Baros 2007-2008


1.00

0.90

0.80

Normalyzed monthly rainfall


0.70

0.60

0.50

0.40

0.30

0.20

0.10

0.00
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2007 2008

Prediksi Karawang 2007-2008


0.60

0.50
Normalyzed monthly rainfall

0.40

0.30

0.20

0.10

0.00
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2007 2008

Prediksi Kasomalang 2007-2008


1.00

0.90

0.80
Normalyzed monthly rainfall

0.70

0.60

0.50

0.40

0.30

0.20

0.10

0.00
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2007 2008

Gambar 3. Prediksi curah hujan periode Oktober 2007 hingga Desember 2008 menggunakan model jaringan
syaraf di stasiun Baros Pantura Banten, stasiun Karawang, dan stasiun Kasomalang Subang
Pantura Jawa Barat
Figure 3. Rainfall prediction on the October 2007 to December 2008 by using neural network model at
station Baros, Northern of Banten, station Karawang, and station Kasomalang Subang, Northern
of West Java

18
A. PRAMUDIA ET AL. : PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN DENGAN TEKNIK ANALISIS JARINGAN SYARAF

Tabel 2. Prediksi curah hujan selama periode Oktober 2007 hingga Desember 2008 menggunakan model
jeringan syaraf dan perbandingannya dengan kondisi rata-rata
Table 2. Rainfall prediction during the October 2007 to December 2008 by using neural network model and
its comparing to average condition
Oct- Nov- Dec- Jan- Feb- Mar- Apr- May- Jun- Jul- Aug- Sep- Oct- Nov- Dec-
No. Stasiun/ lokasi Parameter
07 07 07 08 08 08 08 08 08 08 08 08 08 08 08
1. Baros-Serang CH dugaan 161 202 247 302 350 160 116 141 113 106 132 147 172 212 256
CH rata-rata 107 155 184 254 240 143 122 129 80 80 69 72 107 155 184
Persentase 151 130 134 119 146 112 96 110 140 133 190 206 160 137 139
Status AN AN AN AN AN AN AN AN AN AN AN AN AN AN AN
2. Karawang CH dugaan 77 138 191 218 226 229 70 58 45 24 38 52 93 151 198
CH rata-rata 93 144 147 299 269 165 150 87 44 39 30 46 93 144 147
Persentase 83 95 130 73 84 138 47 66 103 63 129 112 100 105 134
Status BN N AN BN BN AN BN BN N BN AN N N N AN
3. Kasomalang- CH dugaan 331 512 447 651 225 141 0 0 0 0 437 456 456 434 446
Subang CH rata-rata 202 424 446 495 389 482 464 251 134 68 58 76 202 424 446
Persentase 164 121 100 132 58 29 0 0 0 0 751 600 226 103 100
Status AN AN N AN BN BN BN BN BN BN AN AN AN N N
Keterangan: AN = di Atas Normal
N = Normal
BN = di Bawah Normal

sehingga pengelolaan air menjadi hal yang sangat 2. Nilai galat rata-rata (mean square error, MSE)
penting dalam budidaya selama periode tersebut, validasi model terhadap data tahun 2003-2006
atau bahkan di beberapa tempat perlu ada pada lokasi yang sama menunjukkan bahwa nilai
diversifikasi pangan dari tanaman padi sawah galat rata-rata hasil validasi per tahun di stasiun
menjadi palawija. Musim tanam ketiga (MK2) tidak Baros berkisar antara 0,091-0,116 atau setara
memungkinkan untuk dilakukan budidaya. Musim dengan kesalahan prediksi 4-5 mm bulan-1, di
hujan yang akan datang lebih cepat sehingga stasiun Karawang berkisar antara 0,021-0,129
diperkirakan akan terjadi pergeseran waktu tanam atau setara dengan kesalahan prediksi 1-8 mm
menjadi lebih cepat. bulan-1, sedangkan di stasiun Kasomalang
Subang berkisar antara 0,309-0,462 atau setara
dengan kesalahan prediksi 20-30 mm bulan-1.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Nilai galat yang tinggi untuk stasiun Kasomalang
Subang diduga akibat adanya perubahan atau
1. Proses penyusunan model (training set)
pergeseran pola fluktuasi curah hujan pada
menghasilkan model terbaik dengan meng-
periode 2003-2006 terhadap periode
kombinasikan enam peubah penduga. Model
pembentukan model tahun 1990-2002.
terbaik memiliki sensitivitas 0,000-0,848 di
Baros Serang, 0,010-0,348 di Karawang, dan 3. Hasil prediksi tersebut memberikan gambaran
0,000-0,835 di Kasomalang Subang. Model bahwa curah hujan di Baros Banten diperkirakan
mampu menjelaskan 88-91% keragaman data akan tinggi sepanjang tahun 2008 (Normal-Atas
dengan maksimum kesalahan prediksi sebesar 4- Normal). Sementara di Karawang dan Subang
8 mm bulan-1. Model jaringan syaraf yang curah hujan diperkirakan akan tinggi hingga
disusun mampu mereplikasi fluktuasi acak curah Maret 2008 (Normal-Atas Normal), kemudian
hujan di ketiga lokasi, namun sensitivitas model diperkirakan akan disambung dengan adanya
terhadap nilai-nilai curah hujan yang ekstrim periode kering pada periode April-Juli 2008
masih perlu ditingkatkan. (Bawah Normal), dan diperkirakan diikuti dengan

19
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

periode basah basah lagi pada periode Agustus- an, Direktorat Jenderal Bina Produksi
Desember 2008 (Normal-Atas Normal). Angka- Tanaman Pangan. http://www.deptan.go.id/
angka hasil prediksi berimplikasi bahwa perilaku ditlin-tp/basisdata/data_ba/kering_padi.html
(12 Oktober 2007).
pertanian di lokasi penelitian bisa berubah atau
bergeser akibat bergesernya periode ketersediaan Dupe Z.L. 1999. Prediction Nino-3.4 SST anomaly
using simple harmonic model. Paper
air di lokasi studi.
presented at the Second International
4. Mengingat bahwa dampak implikasi kondisi Conference on Science and Technology for
prediksi curah hujan terhadap perilaku pertanian the Assessment of Global Climate Change
and Its Impact on Indonesian Maritime
tanaman pangan sangat besar, maka disarankan
Continent, 29 November-1 Desember 1999.
bahwa prediksi curah hujan pada tahun 2008
Estiningtyas, W. dan L.I. Amien. 2006.
dan seterusnya perlu dilakukan terus menerus
Pengembangan model prediksi hujan dengan
secara simultan dengan memanfaatkan data metode filter kalman untuk menyusun
masukan terbaru. Hal ini diperlukan untuk skenario masa tanam. Jurnal Sumber Daya
mengantisipasi risiko pertanian yang diduga akan Lahan. Balai Besar Penelitian dan
muncul akibat menurunnya curah hujan atau Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
bergesernya pola hujan. Bogor.
Halide, H. and P. Ridd. 2000. Modeling Inter-Annual
Variation of Local Rainfall Data using a
DAFTAR PUSTAKA Fuzzy Logic Technique. International Forum
on Climate Prediction, Agriculture and
Apriyanti, N. 2005. Optimasi Jaringan Syaraf Tiruan Development, James Cook Univ. 26-28 April
dengan Algoritma Genetika untuk Peramalan 2000.
Curah Hujan. Skripsi. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Haryanto, U. 1999. Response to climate change:
Pertanian Bogor. simple rainfall prediction based on Southern
Oscillation Index. Paper presented at the
Askari, M. dan A. Bey. 2000. Analisis Deret Waktu Second International Conference on Science
(Analisis Data Iklim dengan Metode Box- and Technology for the Assessment of
Jenkins). Bahan Praktikum Metode Global Climate Change and Its impact on
Klimatologi pada Program Pencangkokan Indonesian Maritime Continent, 29
Agroklimatologi. Jurusan Geofisika dan November-1 December 1999.
Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Lee, S., S. Cho, and P.M. Wong. 1998. Rainfall
prediction using artificial neural networks. J.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2006a. of Geographic Information and Decision
Luas Banjir pada Tanaman Padi tahun 1998- Analysis 2(2):233-242.
2005. Direktorat Perlindungan Tanaman,
Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Patterson, D.W. 1996. Artificial Neural Network.
Pangan. http://www.deptan.go.id/ditlin-tp/ Singapore. Prentice Hall.
basisdata/data_ba/banjir_kering_padi.html Pramudia, A. 2002. Analisis Sensitivitas Tingkat
(12 Oktober 2007). Kerawanan Produksi Padi di Pantai Utara
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2006b. Jawa Barat terhadap Kekeringan dan El-
Luas Kekeringan pada Tanaman Padi tahun Nino. Tesis. Program Pascasarjana, Institut
1998-2004. Direktorat Perlindungan Tanam- Pertanian Bogor.

20
Karakterisasi dan Resiliensi Tanah Terdegradasi di Lahan Kering Kalimantan Tengah

Characterization and Resilience of Upland Degraded Soils of Central Kalimantan

M.A. FIRMANSYAH1, SUDARSONO2, H. PAWITAN3, S. DJUNIWATI4, DAN G. DJAJAKIRANA4

ABSTRAK commodity estimation within each LUT based on land quality is


used to classify land suitability. Research result shows that
Alfisols has the highest soil capability. It is indicated by land
Degradasi tanah merupakan isu penting karena terkait
index that is higher than the other soils. The main indicators of
dengan pengelolaan lahan dan kualitas lingkungan berkelanjutan.
soil degradation and resilience involve LQ of nutrient availability,
Pemulihan tanah degradasi lebih tepat dilakukan, jika diketahui
water availability, and Al toxicity. The high soil potency does not
karakteristik atau resiliensinya. Tujuan utama penelitian ini adalah
show the ability of resilience. On the other hand, the low soil
karakterisasi dan klasifikasi tanah terdegradasi di lahan kering di
potency cannot be able to keep sensitivity of degradation. The
Kalimantan Tengah berdasarkan kualitas lahan (LQ) yang
resistency of soils at study area is relatively high. Generally,
menentukan kelas kesesuaian lahan pada tipe penggunaaan lahan
degraded agricultural land region is difficult to be conserve
(LUT). Kualitas lahan yang digunakan terdiri atas ketersediaan air
through natural revegetation period known as bare land. Both
(w), ketersediaan hara (n), toksisitas Al (t), ketahanan tanah
natural and antropogenic resilience are not quite different at
terhadap erosi (e), dan deteriorasi tanah antropogenik (d). Tipe
upland soils in Central Kalimantan. Soil taxa cannot reflect the
penggunaan lahan yang digunakan antara lain padi lokal, padi-
difference of degradation process and resilience at upland soils in
padi-kedelai, karet, dan kelapa sawit pada tiga pola A, B, dan C.
Central Kalimantan.
Tujuan lainnya adalah karakterisasi dan klasifikasi degradasi dan
resiliensi tanah berdasarkan indeks lahan dan kelas kesesuaian
Keywords : Degradation, Resilience, Upland
lahan. Pengkelasan kesesuaian lahan secara parametrik
didasarkan indeks lahan yang berasal dari pendugaan produksi
komoditas masing-masing LUT berdasarkan kualitas lahan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Alfisols memiliki daya dukung PENDAHULUAN
tertinggi ditunjukkan dengan indeks lahan yang lebih tinggi dari
tanah lainnya pada LUT kelapa sawit. Indikator utama degradasi
dan resiliensi tanah adalah LQ ketersediaan hara, ketersediaan air, Konsep pengelolaan lahan berkelanjutan terkait
dan toksisitas Al. Potensi tanah yang tinggi tidak menunjukkan dengan degradasi dan resiliensi tanah. Menurut FAO
kemampuan resiliensi, begitu pula sebaliknya bahwa potensi
tanah yang rendah tidak menjamin rentan degradasi. Resistensi (1997), degradasi tanah merupakan proses
tanah di lokasi penelitian relatif tinggi. Lahan pertanian yang penurunan kemampuan tanah untuk memproduksi
terdegradasi umumnya sulit untuk pulih kembali melalui masa
revegetasi alami yang dikenal sebagai lahan tidur. Resiliensi alami barang dan jasa. Umumnya, untuk mengetahui
maupun resiliensi antropogenik tidak banyak berbeda di tanah- tingkat degradasi tanah disusun klasifikasi degradasi
tanah lahan kering Kalimantan Tengah. Taksa tanah tidak mampu
menunjukkan perbedaan terjadinya degradasi dan resiliensi di tanah. Klasifikasi degradasi tanah di tingkat global
lahan kering Kalimantan Tengah.
(GLASOD) dan tingkat regional di Asia Selatan dan
Kata kunci : Degradasi, Resiliensi, Lahan kering Asia Tenggara (ASSOD) lebih menekankan pada
faktor eksternal erosi, serta faktor internal

ABSTRACT memburuknya sifat kimia dan fisik tanah akibat ulah


manusia (Oldeman 1994; Lynden and Oldeman
In relation to land management and sustainable 1997), sedangkan klasifikasi degradasi tanah di
environment quality, soil degradation is considered as important
issue. Soil degradation could be appropriately overcome when the Indonesia beragam. Menurut Suwardjo et al. (1996)
characteristics of restoration or its resilience are recognized. The
klasifikasi degradasi tanah di sektor kehutanan
main purpose of this research is to characterize and classify
upland degraded soils in Central Kalimantan based on land quality
(LQ) that determine land suitability classification within land 1. Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan
utilization type (LUT). The parameters of LQ involve water Tengah, Palangkaraya.
availability (w), nutrient availability (n), Al toxicity (t), soil
2. Guru Besar pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
resistance to erosion (e), and antropogenic soil deterioration (d).
Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
While, for LUT, there are several types i.e. rice; rice-rice-soybean;
rubber; and oil palm within three patterns A, B, C. The other 3. Guru Besar pada Departemen Geofisika dan Meteorologi,
purpose is to characterize and classify degraded soils and soil FMIPA, IPB, Bogor.
resilience based on land index and land suitability classification. 4. Pengajar pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
The parametric reffering to land index taken from production of Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.

ISSN 1410 – 7244 21


JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

menekankan aspek hidrologi lahan, sektor Di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 1999/
transmigrasi melihatnya sebagai tanah marjinal, dan 2000 degradasi tanah mencapai 1,76 juta ha (Badan
sektor pertanian mengartikannya sebagai tanah Pusat Statistik, 2001). Sebaliknya menurut
kritis; sedangkan PP No. 150/2000 menyebutnya Puslittanak (1997) degradasi terjadi di lahan kering
sebagai tanah rusak. sekitar 4,78 juta ha atau 31% luas Kalimantan
Resiliensi merupakan hal yang relatif baru dan Tengah. Penggunaan lahan umumnya tanaman
relevan di bidang ilmu tanah yang diadopsi dari pangan dan perkebunan.
ekologi (Seybold et al., 1999). Resiliensi (resilience) Tujuan penelitian ini adalah untuk
yaitu kemampuan ekosistem untuk pulih, setelah mengkarakterisasi dan mengklasifikasikan degradasi
gangguan hilang (Tengberg and Stocking 2001; tanah di lahan kering Kalimantan Tengah berdasarkan
Szabolcs 1994). Umumnya saat resiliensi ditandai LQ yang menentukan kelas kesesuaian lahan (KKL)
dengan pemulihan vegetasi alami antara 4-15 tahun pada LUT berbasis padi lokal, padi-padi-kedelai,
(Lahjie 1989; Elliot and Lynch 1994; Uexkull 1996; karet, dan kelapa sawit, pada tiga pola yaitu A, B,
Islam and Weil 2000). Kendala waktu penelitian dan C yang didasarkan atas asumsi tingkat produksi
resiliensi yang cukup lama di penelitian ini dicoba dan pemupukan. Pola A didasarkan pada asumsi
diatasi melalui penggunaan lahan tidur. Pengetahuan tingkat produksi lokal dan tanpa pemupukan, pola B
tentang resiliensi tanah umumnya berupa konsep pada tingkat produksi nasional dan pemupukan
dan hipotesis. Eswaran (1994) mengungkapkan sesuai anjuran, serta pola C pada tingkat produksi
hipotesis bahwa setiap jenis tanah berbeda nasional dengan pemupukan secara preskripsi.
kemampuannya dalam resiliensi dan degradasi. Daya Tujuan lainnya adalah mencari indikator utama
resiliensi beberapa jenis tanah dari yang terkuat mengenal degradasi dan resiliensi tanah.
hingga terlemah adalah Mollisols > Vertisols >
Alfisols > Oxisols. Sedangkan untuk degradasi BAHAN DAN METODE
terjadi kebalikannya yaitu pada tingkat ringan
dimulai Mollisols dan semakin berat pada Oxisols Waktu dan tempat penelitian
yaitu Mollisols < Vertisols < Alfisols < Oxisols.
Waktu penelitian dimulai Maret 2004-
Sifat lahan (Land characteristic = LC) umum
September 2006, di lahan kering Kalimantan Tengah
digunakan untuk kajian degradasi, resiliensi dan
pada berbagai jenis tanah didasarkan atas dugaan
evaluasi lahan di Indonesia, namun kualitas lahan
perbedaan kepekaan terhadap degradasi dan
(Land quality = LQ) relatif belum digunakan.
resiliensi, antara lain: Alfisols (Alf) di Barito Selatan,
Pengertian LC yaitu atribut lahan yang
Ultisols (Ult) di Barito Utara, Oxisols (Ox) di
mempengaruhi LUT secara tidak langsung,
Kotawaringin Barat, dan Spodosols (Od) di Gunung
sedangkan LQ adalah atribut lahan kompleks dan
Mas.
terkait langsung dengan LUT. Akibatnya indikator LC
sulit menjelaskan tingkat produksi atau manfaat dari
Bahan penelitian dan pengambilan contoh tanah
LUT. Sebaliknya menurut Sys et al. (1991)
keuntungan penggunaan LQ antara lain: LQ terkait Bahan penelitian berupa peta tanah, vegetasi
langsung dengan kebutuhan spesifik LUT, LQ dan penggunaan lahan, dan rekomendasi penggunaan
mampu menghitung interaksi antar faktor lahan. Contoh tanah diambil pada berbagai unit
lingkungan, dan jumlah LQ lebih sedikit dari LC. lahan, yaitu: lahan hutan (LH) sebagai awal kondisi

22
M.A. FIRMANSYAH ET AL. : KARAKTERISASI DAN RESILIENSI TANAH TERDEGRADASI DI LAHAN KERING KALIMANTAN TENGAH

Tabel 1. Tipe penggunaan lahan berdasarkan komoditas dan atribut LUT


Table 1. Land utilization type, based on comodity and LUT attribute
Pola A Pola B Pola C
LUT
Produksi Pupuk Produksi Pupuk Produksi Pupuk
t ha-1 t ha-1 % t ha-1
Padi lokal 1,5 - 2,5 100a 2,5 Preskripsib
Padi-padi-kedelai 1,5-1,5-0,8 - 2,5-2,5-1,2 100 2,5-2,5-1,2 Preskripsi
Karet 1,0c - 1,8d 100 1,8d Preskripsi
Kelapa sawit 18 - 24 100 24 Preskripsi
Keterangan:
a Penggunaan hara pupuk didasarkan takaran anjuran Tabel 2, dan preskripsi Tabel 3
b Pupuk preskripsi = hara pupuk yang ditambahkan untuk mencukupi kebutuhan tanaman
mencapai produksi tertentu,
c 113 hr sd th-1
d 183 hr sd th-1
KK = Karet kering; TBS = Tandan buah segar; - = tidak digunakan

tanah, lahan pertanian (LP) untuk mengetahui terdapat 12 LUT (Tabel 1). LUT terbagi tiga pola,
apakah pengelolaan lahan oleh petani menyebabkan yaitu pola A digunakan produksi tingkat lokal tanpa
degradasi, dan lahan tidur (LT) atau terdegradasi pupuk, pola B dan C memiliki tingkat nasional dan
pada berbagai jangka waktu (5, 10, 15, dan 20 masing-masing dengan pupuk anjuran dan preskripsi.
tahun) untuk menunjukkan waktu pencapaian Asumsi produksi digunakan asumsi tingkat lokal dan
resiliensi. Penentuan LH dan LT di lapangan dipandu nasional, untuk melihat kemampuan tanah secara
petani setempat. spesifik lokasi. Asumsi pemupukan diterapkan
Contoh tanah utuh dan komposit diambil per teknologi pemupukan tradisional (tanpa pupuk),
horison tanah hingga kedalaman 100 cm kecuali ada anjuran (Tabel 2), ataupun preskriptif (Tabel 3),
lapisan keras. Analisis tanah, yaitu: tekstur, dengan tujuan untuk melihat kemampuan tanah
struktur, BD, permeabilitas, kadar air (pressure dalam menghasilkan produksi berdasarkan model-
plate), pH H2O, Ca dan Mg-dd (AAS), K dan Na-dd model yang telah ditetapkan.
(flamephoto-meter), KTK, KB, C organik, Al-dd, N
Tabel 2. Takaran pemupukan anjuran masing-
total, P (Bray-1), mineral pasir (line counting). Selain
masing komoditas LUT
itu dilakukan analisis mineral fraksi pasir untuk
Table 2. Dosage of fertilizer recomendation in each
mengetahui kondisi cadangan hara di tanah-tanah commodity of LUT
lokasi penelitian, menggunakan teknik microscope-
Komoditas Pupuk anjuran
line counting. LUT N P2O5 K2O MgO
Pengambilan contoh tanah untuk penilaian ……………… kg ha-1 ………………
Padi 100 90 30 -
degradasi dan resiliensi tanah dilakukan secara in Kedelai 35 54 60 -
situ, yaitu berdasarkan titik profil tanah bukan Karet 60 75 68 -
Kelapa sawit 167 107 178 57
poligon, dan tidak pada titik yang sama.
Keterangan:
Pupuk anjuran padi berdasarkan Bastari (1987), kedelai
Tahapan penelitian (Arsyad dalam Hilman 2004), karet (Adiwiganda et al.
dalam Adiwiganda, 1994), kelapa sawit (Winarna et al.,
2000).
Penentuan LUT (tipe penggunaan lahan)
* Populasi 375 pohon per ha (Adiwiganda dan
Sihotang, 1992 dalam Adiwiganda, 1994).
Pemilihan LUT berdasarkan pola tanam, dan ** Populasi 132 pohon per ha (Sukarji et al., 2000).
atribut tingkat produksi serta pemupukan, sehingga - = tidak digunakan.

23
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Hara pupuk anjuran belum diperhitungkan padi, kedelai karet, dan kelapa sawit berturut-turut
efisiensi pupuk 40% N, 20% P2O5, 60% K2O, untuk menggunakan data Sudjito (1986), Mar’ah (1996),
tanah berpasir (Spodosols) digunakan 22% N, 13% Thomas et al. (1994), dan Calliman (1992).
P2O5, 33% K2O, dan 19% MgO. Persamaan pertama hingga keempat berturut-turut
untuk padi, kedelai, karet, dan kelapa sawit adalah
Tabel 3. Takaran pemupukan preskripsi masing- sebagai berikut:
masing komoditas LUT
Table 3. Dosage of prescription fertilizer to each y = 1,2058Ln(x) - 2,318; R2 = 0,97 .............. (1)
commodity of LUT y = 0,4688Ln(x) – 0,5079; R2 = 0,99 ............ (2)
Jenis tanah Komoditas Pupuk preskripsi
y = 0,09x + 13,87; R2 = 0,76 ..................... (3)
dan lokasi LUT N P2O5 K2O MgO
…………… kg ha-1 …………… y = -0,0277x + 24; R2 = 0,86 ..................... (4)
Alf, Barsel Padi 130,1 51,4 52,9 -
Kedelai 101,3 26,9 - -
Karet 4,7 9,6 - - Untuk komoditas padi dan kedelai digunakan x
Kelapa sawit 88,6 31,2 - - = ketersediaan air rata-rata bulanan dari air tersedia
Ult, Barut Padi 131,0 50,8 128,0 - profil (mm), dan y = t ha-1; untuk karet digunakan x
Kedelai 102,2 26,2 - -
Karet 13,7 4,9 - -
= ketersediaan air rata-rata bulanan untuk ETc (mm)
Kelapa sawit 97,7 26,5 15,7 47,7 dan air tersedia profil (mm), dan y = g sd-1 ph-1 KK;
Od, Gumas Padi 139,8 46,3 166,7 - untuk kelapa sawit digunakan x = total defisit air
Kedelai 111,0 21,7 17,6 - pada air tersedia profil (mm), dan y = t ha-1 th-1
Karet 32,3 5,8 - -
Kelapa sawit 116,2 27,4 159,7 54,4 TBS.
Ept, Kobar Padi 118,4 43,1 122,8 -
Kedelai 89,6 18,5 - - LQ ketersediaan hara (LQn)
Karet 12,8 1,0 - -
Kelapa sawit 96,8 22,6 45,3 40,5
Jumlah hara tersedia dari pupuk (Tabel 2) dan
Keterangan: Alf = Alfisols, Ult = Ultisols, Od = tanah mempengaruhi produksi berdasarkan model
Spodosols, Ept = Inceptisosl, Barsel = Barito Selatan,
Barut = Barito Utara, Gumas = Gunung Mas, Kobar = pendugaan komoditas LUT pada LQ ketersediaan
Kotawaringin Barat, - = tidak digunakan. hara (Tabel 4). Penetapan indeks LQ ketersediaan
hara berdasarkan produksi komoditas terendah
akibat ketersediaan jenis unsur hara tertentu sesuai
Penentuan kualitas lahan (LQ)
hukum Liebig, yaitu kondisi hara terburuk lebih
LQ ketersediaan air (LQw) mempengaruhi produksi.

Penggunaan air tersedia profil dari neraca air


LQ ketahanan tanah terhadap erosi (LQe)
untuk memenuhi ETc (Evapotranspirasi) mengacu
kepada Doorenbos dan Pruitt (1977). Tanaman Jumlah tanah tererosi diduga dengan metode
menggunakan 40, 30, 20, dan 10% air tersedia USLE (Wischmeir and Smith 1978). Pendugaan
profil pada seperempat lapisan pertama, kedua, penurunan produktivitas akibat erosi tanah sesuai
ketiga, dan keempat. Tebal lapisan tanah untuk penelitian Shah (1982), masing-masing dibedakan
tanaman pangan 30 cm dan untuk tanaman untuk tingkat agak peka yaitu Alfisols (persamaan 5)
perkebunan 60 cm. Penentuan data curah hujan dan sangat peka terhadap penurunan produktivitas
(CH) berdasarkan CH P>75% dan GH Efektif 50%. yaitu: Ultisols, Inceptisols, dan Spodosols
Pendugaan produksi masing-masing komoditas yaitu (persamaan 6), berturut-turut:

24
M.A. FIRMANSYAH ET AL. : KARAKTERISASI DAN RESILIENSI TANAH TERDEGRADASI DI LAHAN KERING KALIMANTAN TENGAH

Tabel 4. Persamaan regresi pendugaan produksi komoditas LUT pada LQn


Table 4. Model of estimate regression to LUT commodity product on LQn
Komoditas Hara Persamaan regresi Sumber data
Padi N y = 0,4824Ln(x) - 0,5207 R2= 0,80 Gupta (1983 dalam Gupta dan O’toole, 1986)
P2O5 y = 0,4258Ln(x) - 0,1402 R2 = 0,95 Suwardjo dan Prawirasumantri (1987)
K2O y = 2,1093Ln(x) - 5,9543 R2 = 0,62 Jumberi et al. (1994)
Kedelai N y = 0,5733Ln(x) - 1,602 R2 = 0,76 Pasaribu dan Suprapto (1985)
P2O5 y = -0,000001(x)2 + 0,0412x - 0,1752; R2 = 0,96 Ballitan (1986)
K2O y = 0,23572Ln(x) - 0,2429; R2 = 0,94 Suwono (1986)
Karet* N y = 2,8842Ln(x) + 15,605; R2 = 0,84 Tambunan et al. (1987)
P2O5 y = 4,4938Ln (x) + 0,4039; R2 = 0,99 Angkapradipta (1976)
K2O y = 3,0848Ln(x) + 10,159; R2 = 0,94 Tambunan et al. (1987)
K. Sawit N y = 11,38Ln(x) - 35,139; R2 = 0,83 Sukarji et al. (2000)
P2O5 y = 11,433Ln(x) - 28,597; R2 = 0,89 Sukarji et al. (2000)
K2O y = 8,3351Ln(x) - 27,898; R2 = 0,91 Sukarji et al (2000)
MgO y = 6,2227Ln(x) - 10,563; R2 = 0,84 Sukarji et al. (2000)
Keterangan: y = t ha-1; x = kg ha-1
* y = g ph-1 sd-1; x = kg ha-1.

y = 104,43 [1– exp(-0,018676x)]; R2 = 88,1 .. (5) terjadi secara permanen, hanya menguntungkan
2
y = 100,25 [1– exp(-0,025622x)]; R = 80,3 .. (6) untuk jangka pendek namun merugikan untuk
penggunaan jangka panjang dan berkelanjutan.
dimana:
Contohnya adalah pembentukan orstein (padasan
y = kehilangan produktivitas (%)
yang keras dari horison spodik yang berkembang
x = kehilangan tanah (cm)
lanjut) akibat pengelolaan petani.

LQ toksisitas Al (LQt)
Penetapan indeks LQ , indeks lahan, dan klasifikasi
Penggunaaan LQt hanya untuk tanaman kesesuaian lahan
pangan, karena tanaman perkebunan toleran terhadap
toksisitas Al. Persamaan pendugaan produksi padi Indeks LQ dihitung dengan Square Root Land
dan kedelai akibat toksisitas Al digunakan hasil Index Method (Khidir 1986 dalam Sys et al., 1991)
penelitian Sudjadi et al. (1988), untuk padi dapat dilihat pada persamaan 9:
(persamaan 7) dan untuk kedelai (persamaan 8),
Indeks lahan = Rmin [(A/100)(B/100)(C/100)(D/100)]1/2
berturut-turut:
dimana:
y = -0,0289x + 4,2817; R2 = 0,94 ............... (7) Rmin = indeks LQ minimum
y = -0,0153x + 1,3246; R2 = 0,70 ............... (8) A, B, C, D = indeks LQ lainnya
dimana:
Penetapan kelas kesesuaian lahan (KKL)
y = produksi (t ha-1)
menggunakan metode parametrik (Sys, 1985; Sys
x = kejenuhan aluminium (%)
et al., 1991). Klasifikasi kesesuaian lahan
LQ deteriorasi antropogenik (LQd) berdasarkan indeks lahan, yaitu: indeks lahan 75-
100 termasuk S1 (sangat sesuai), 50-75 termasuk
Kualitas lahan deteriorasi tanah antropogenik S2 (agak sesuai), 25-50 termasuk S3 (sesuai
(LQd) adalah penurunan kondisi fisik tanah yang marjinal), dan 0-25 termasuk N (tidak sesuai).

25
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Klasifikasi resiliensi dan degradasi tanah Besarnya indeks lahan umumnya terjadi
diusulkan menggunakan indeks lahan dan KKL peningkatan dari pola A ke pola B maupun pola C,
berdasarkan LQ. Hal ini disebabkan masing-masing hal ini menunjukkan bahwa atribut LUT yang
kelas kesesuaian lahan memiliki tingkat faktor berperan langsung dalam penghitungan indeks lahan
pembatas, produktivitas atau input yang berbeda. yaitu ketersediaan hara dan produksi. Namun hal itu
Penetapan tingkat resiliensi tanah terbagi dalam tiga berbeda dengan pola tanam karet, sebab pola A
kelas: resiliensi kuat, jika peningkatan KKL lebih satu
umumnya memiliki nilai indeks lahan lebih tinggi
kelas (R3); resiliensi sedang, jika peningkatan KKL
dibandingkan pola B dan C, hal ini menunjukkan
satu kelas (R2); resiliensi lemah, jika hanya ada
bahwa atribut produksi tingkat lokal (pola A) 0,7 t
peningkatan indeks lahan (R1). Jika terjadi
ha-1 th-1 meskipun tanpa pemupukan lebih sesuai
penurunan KKL dan indeks lahan, maka masuk ke
dengan daya dukung lahannya, sedangkan pola B
tanah terdegradasi. Tingkat degradasi tanah terbagi
dan C karena menggunakan atribut produksi tingkat
tiga kelas, yaitu: degradasi berat, jika ada penurunan
KKL lebih satu kelas (D3); degradasi sedang, jika nasional 1,8 t ha-1 th-1 meskipun dengan pemupukan
penurunan KKL satu kelas (D2); degradasi ringan, anjuran dan preskripsi terlihat kurang sesuai jika
jika hanya penurunan indeks lahan (D1). digunakan di Kalimantan Tengah, selain itu tanaman
karet tidak banyak mengalami peningkatan LQn
meskipun digunakan pemupukan anjuran atau
HASIL DAN PEMBAHASAN
preskripsi. Sugiyanto et al. (1997) menduga bahwa
ketidakrakusan tanaman karet terhadap hara karena
Kondisi iklim dan lahan
lateks sebagai produksi yang diambil bukanlah hasil
Rata-rata curah hujan (1994-2003) lokasi dari metabolisme primer.
Barito Utara- Barito Selatan sebesar 2.961 mm th-1
Berdasarkan indeks lahan ternyata kelas
adalah tertinggi diikuti Kotawaringin Barat sebesar
kesesuaian lahan pada LUT berbasis tanaman
2.917 mm th-1, dan terendah di Gunung Mas (1996-
2003) sebesar 2.507 mm th-1. Suhu udara tertinggi perkebunan lebih tinggi dibandingkan tanaman
terjadi di Gunung Mas, disusul Barito Utara-Barito pangan yaitu S2 hingga S1 (Tabel 6). Jika di LUT
Selatan dan Kotawaringin Barat, masing-masing berbasis tanaman pangan pola A dan B umumnya di
27,0; 26,7; dan 26,4oC. bawah 50, maka di tanaman perkebunan pada pola
yang sama memiliki nilai di atas 50 hingga di atas
Mineral tanah umumnya didominasi mineral
sukar lapuk (kuarsa, magnetit, konkresi besi) dan 75. Perkecualian pada tanah Spodosols pada
sedikit mineral mudah lapuk (hiperstein, amphibol, berbagai pola LUT dan pola tanam di luar LH yaitu
hornblende, dan augit). Hal itu berarti tanah di lokasi LT10, LT5, dan LP menunjukkan nilai indeks lahan
penelitian memiliki cadangan hara sangat rendah. 0, hal ini disebabkan adanya penghambat LQd yaitu
terbentuknya padas orstein pada horizon spodik
Indeks lahan dan kelas kesesuaian lahan yang berkembang lanjut. Menurut Adiwiganda et al.
(1993) Spodosols di kebun Sungai Buatan dan di
Indeks lahan pada jenis tanah dan unit lahan
Sikijang terdapat horizon albik pucat (horizon E),
yang sama ternyata memiliki nilai berbeda pada LUT
tersusun atas fraksi pasir, dan terdapat horizon
yang berbeda (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa
Spodik (Bh atau Bhs) yang sangat keras dengan
setiap LUT memiliki persyaratan penggunaan yang
kekerasan melebihi 4,5 kg cm-2.
berbeda. FAO (1976) menyatakan bahwa setiap
LUT merupakan kumpulan yang mempertimbangkan Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tanah-
spesifikasi kondisi fisik, selain ekonomi dan sosial. tanah di lahan kering (Alfisols, Ultisols, Inceptisols) di

26
M.A. FIRMANSYAH ET AL. : KARAKTERISASI DAN RESILIENSI TANAH TERDEGRADASI DI LAHAN KERING KALIMANTAN TENGAH

Tabel 5. Indeks lahan pada berbagai pola, unit lahan, jenis tanah, dan lokasi di Kalimantan
Tengah
Table 5. Land index to pattern, land unit, soil taxa, and location in Central Kalimantan
Pola A Pola B Pola C
Unit lahan
Alf Ult Od Ept Alf Ult Od Ept Alf Ult Od Ept
Padi lokal
LH 42 35 67 40 49 46 49 43 63 60 63 55
LT20 41 - - 39 48 - - 34 63 - - 38
LT15 46 30 - 40 43 40 - 24 56 53 - 27
LT10 50 45 0 57 48 40 0 41 62 52 0 45
LT5 51 42 0 48 48 40 0 28 62 52 0 30
LP 46 43 0 59 48 46 0 39 63 59 0 43
Padi-padi-kedelai
LH 28 26 63 31 44 41 49 39 63 58 60 52
LT20 29 - - 33 45 - - 33 64 - - 41
LT15 39 22 - 41 38 35 - 31 53 40 - 34
LT10 43 36 0 49 44 34 0 39 62 45 0 46
LT5 45 33 0 47 46 34 0 32 63 39 0 35
LP 37 35 0 54 44 40 0 40 61 54 0 45
Karet
LH 69 70 87 70 58 59 61 52 54 50 57 43
LT20 70 - - 78 58 - - 56 54 - - 47
LT15 73 74 - 90 57 59 - 60 54 51 - 54
LT10 76 81 0 90 59 61 0 61 56 55 0 54
LT5 70 79 0 85 59 59 0 58 55 52 0 50
LP 76 76 0 92 60 59 0 61 57 51 0 54
Kelapa sawit
LH 92 93 99 87 96 96 71 96 93 99 99 93
LT20 94 - - 99 96 - - 99 100 - - 99
LT15 100 45 - 89 98 91 - 97 100 99 - 94
LT10 100 99 0 99 100 99 0 99 100 99 0 99
LT5 94 56 0 99 96 92 0 99 100 93 0 99
LP 100 99 0 99 100 99 0 99 100 92 0 99
Keterangan: Alf = Alfisols, Ult = Ultisols, Od = Spodosols, Ept = Inceptisols, LH = Lahan hutan, LT
= Lahan tidur, LP = Lahan pertanian, 20-5 = lamanya lahan tidur/tidak digunakan, - = tidak dijumpai

Kalimantan Tengah kecuali Spodosols, memiliki sekaligus dalam periode singkat atau tanaman yang
potensi yang lebih tinggi dalam mendukung memerlukan banyak persyaratan khusus.
pengembangan tanaman perkebunan (karet dan
kelapa sawit) dibandingkan tanaman pangan (padi Karakterisasi degradasi dan resiliensi tanah
lokal dan padi-padi-kedelai). Hal tersebut disebabkan
karena tanaman perkebunan umumnya termasuk
Degradasi tanah
tanaman non-exigence crop yaitu tanaman yang
membutuhkan hara dalam jumlah relatif lebih rendah Kondisi LP ternyata tidak seluruhnya
karena diambil bertahap dan dalam periode yang mengalami degradasi, bahkan pada Ultisols, Alfisols
panjang atau tanaman yang tidak banyak dan Inceptisols pada semua LUT yang dikaji berpola
memerlukan persyaratan khusus, sedangkan A tidak mengalami degradasi. Sebaliknya pada LUT
tanaman pangan termasuk exigence crops yaitu yang dikaji dengan pola B dan C mengalami
tanaman yang membutuhkan pemenuhan hara degradasi secara menyeluruh.

27
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Tabel 6. Kelas kesesuaian lahan pada berbagai pola, unit lahan, jenis tanah, dan lokasi di
Kalimantan Tengah
Table 6. Land suitability class to pattern, land unit, soils taxa, and location in Central Kalimantan
Pola A Pola B Pola C
Unit lahan
Alf Ult Od Ept Alf Ult Od Ept Alf Ult Od Ept
Padi lokal
LH S3n S3n S2n S3n S3n S3n S2n S3n S2n S2n S2n S2n
LT20 S3n - - S3n S3n - - S3nw S2n - - S3w
LT15 S2n S3n - S3n S3n S3n - Nw S2n S2n - S3w
LT10 S3n S3n Nd S2n S3n S3n Nd S3nw S2n S2n Nd S3w
LT5 S3n S3n Nd S3n S3n S3n Nd S3w S2n S2n Nd S3w
LP S3n S3n Nd S2n S3n S3n Nd S3nw S2n S2n Nd S3w
Padi-padi-kedelai
LH S3n S3n S2n S3n S3n S3n S3n S3n S2n S2n S2n S2n
LT20 S3n - - S3n S3n - - S3nw S2n - - S3w
LT15 S3n Nn - S3n S3n S3n - S3wn S2n S3t - S3w
LT10 S3n S3n Nd S3n S3n S3n Nd S3n S2n S3nt Nd S3wn
LT5 S3n S3n Nd S3n S3n S3n Nd S3wn S2n S3nt Nd S3w
LP S3n S3n Nd S2n S3n S3n Nd S3nw S2n S2n Nd S3w
Karet
LH S2n S2n S1n S2n S2n S2n S2n S2n S2n S3n S2n S3n
LT20 S2n - - S1n S2n - - S2n S2n - - S3n
LT15 S2n S2n - S1ne S2n S2n - S2n S2n S2n - S2n
LT10 S1n S1n Nd S1ne S2n S2n Nd S2n S2n S2n Nd S2n
LT5 S2n S1n Nd S1n S2n S2n Nd S2n S2n S2n Nd S3n
LP S1n S2n Nd S1ne S2n S2n Nd S2n S2n S2n Nd S2n
Kelapa sawit
LH S1n S1n S1 S1n S1 S1 S2n S1 S1n S1 S1e S1n
LT20 S1n - - S1 S1 - - S1 S1 - - S1
LT15 S1 S3n - S1n S1 S1n - S1n S1 S1 - S1n
LT10 S1 S1 Nd S1 S1 S1 Nd S1 S1 S1 Nd S1
LT5 S1n S2n Nd S1 S1 S1n Nd S1 S1 S1n Nd S1
LP S1 S1 Nd S1 S1 S1 Nd S1 S1 S1n Nd S1
Keterangan: Alf = Alfisols, Ult = Ultisols, Od = Spodosols, Ept = Inceptisols, LH = Lahan hutan, LT
Lahan tidur, LP = Lahan pertanian, 20-5 = lamanya lahan tidur/tidak digunakan, - = tidak dijumpai

Kondisi tanah LP yang tidak mengalami (lahan hutan) dikonversi untuk penggunaan pertanian
degradasi (ND) pada LUT tertentu menujukkan bahwa ataupun perkebunan.
tanah-tanah tersebut memiliki resistensi tinggi Resistensi tanah ternyata berbeda-beda
terhadap perubahan berbagai penggunaan lahan.
tergantung pada jenis tanah dan LUT yang
Degradasi tanah pada LP umumnya tingkat digunakan. Jenis tanah yang berbeda menunjukkan
ringan (D1), kecuali pada Spodosols yang umumnya perbedaan tingkat degradasi, dan perbedaan LUT
mengalami degradasi berat (D3) pada seluruh LUT juga mempengaruhi terjadinya tingkat degradasi.
yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa tanah
Spodosols memiliki resistensi rendah atau Resiliensi tanah
sensitivitas tinggi, artinya adalah Spodosols sangat
tidak mampu mempertahankan kualitas lahannya Resiliensi tanah terdegradasi dalam bahasan ini
dan cenderung makin memburuk jika lahan alaminya dibagi ke dalam dua bagian, yaitu resiliensi alami dan

28
M.A. FIRMANSYAH ET AL. : KARAKTERISASI DAN RESILIENSI TANAH TERDEGRADASI DI LAHAN KERING KALIMANTAN TENGAH

Tabel 7. Tingkat degradasi, resiliensi alami (Rm), dan resiliensi antropogenik (Rt) melalui
periode lahan tidur pada berbagai LUT, jenis tanah, dan lokasi di Kalimantan
Tengah
Table 7. Level of degradation, nature resilience, and antropogenic resilience by bare land
periode on various of LUT, soils taxa, and location in Central Kalimantan
Alfisols Barsel Ultisols Barut Spodosols Gumas Inceptisols Kobar
Unit lahan
D Rm Rt D Rm Rt D Rm Rt D Rm Rt
Pola A
PL ND - - ND - - D3 R1 R1 ND - -
P-P-K ND - - ND - - D3 R1 R1 ND - -
Karet ND - - ND - - D3 R1 R1 ND - -
KSw ND - - ND - - D3 R1 R1 ND - -
Pola B
PL D1 R1 R1 D1 R1 R1 D2 R1 R1 D1 R1 R1
P-P-K D1 R1 R3 D1 R1 R1 D2 R1 R1 ND - -
Karet ND - - D1 R2 R3 D3 R1 R1 ND - -
KSw ND - - ND - - D3 R1 R1 ND - -
Pola C
PL D1 R1 R1 D1 R1 R1 D3 R1 R1 D2 R2 R2
P-P-K D1 R1 R1 D1 R1 R1 D3 R1 R1 D2 R2 R2
Karet ND - - ND - - D3 R1 R1 ND - -
KSw ND - - D1 R3 R3 D3 R1 R1 ND - -
Keterangan: PL = Padi lokal, P-P-K = Padi-padi-kedelai, KSw = Kelapa sawit, Barsel = Barito Selatan,
Barut = Barito Utara, Gumas = Gunung Mas, Kobar = Kotawaringin Barat, D = Tingkat degradasi,
ND = Non degradasi, D1 = Degradasi ringan, D2 = Degradasi sedang, D3 = Degradasi berat, Rm =
Resiliensi alami, Rt = Resiliensi antropogenik, R1 = Resiliensi lambat, R2 = Resiliensi sedang, R3 =
Resiliensi cepat, - = tidak berlaku.

resiliensi antropogenik. Resiliensi alami (Rm) adalah Perbandingan kecepatan resiliensi alami dan
klasifikasi resiliensi tanpa memperhitungkan LQn antropogenik relatif tidak banyak perbedaan, hanya
(ketersediaan hara), sedangkan resiliensi antropogenik pada tanah Alfisols pada LUT padi-padi-kedelai
(Rt) mengikutsertakan LQ ketersediaan hara yang terlihat bahwa atribut pemupukan mampu
dipengaruhi oleh LUT pemupukan. Hal ini ditujukan mempercepat tercapainya resiliensi dari lambat (R1
agar diketahui apakah penerapan atribut LUT = > 10 tahun) menjadi resiliensi cepat (R3 = 5
pemupukan mampu mempercepat resiliensi yang tahun), begitu pula di Ultisols pada LUT karet
terjadi. menunjukkan bahwa atribut pemupukan mampu
Resiliensi yang terjadi pada tanah Ultisols mempercepat resiliensi dari resiliensi sedang (R2)
tergolong cepat (R3) khususnya untuk LUT berbasis menjadi resiliensi cepat (R3).
tanaman perkebunan, dan termasuk resiliensi lambat Hipotesis Eswaran (1994) bahwa tanah
jika digunakan untuk LUT berbasis tanaman pangan. tertentu memiliki ketahanan terhadap degradasi dan
Pada tanah Spodosols terlihat bahwa resiliensi yang kemampuan resiliensi lebih baik dari jenis tanah
terjadi pada lahan pertanian yang terdegradasi berat lainnya ternyata tidak berlaku di tanah-tanah lahan
(D3) termasuk dalam resiliensi lambat (R1). Artinya kering Kalimantan Tengah. Hal ini disebabkan
bahwa tanah Spodosols cenderung mengalami perbedaan antara taksa (ordo) tanah di lahan kering
degradasi berat jika dilakukan perubahan penggunaan Kalimantan Tengah umumnya tidak ekstrim, berbeda
dari lahan alaminya, dan tanah Spodosols yang halnya dengan tanah-tanah di Amerika serikat
rusak berat akan lama untuk pulih kembali. dimana Eswaran mengajukan hipotesisnya.

29
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Rekomendasi LUT digunakan untuk budidaya, sehingga perlu


dipertahankan kondisi alaminya.
Berdasarkan tingkat degradasi dan resiliensi
maka disusun rekomendasi penggunaan tanah 4. Taksa tanah tidak mampu menunjukkan bahwa
tanah tertentu di lahan kering Kalimantan
terbagi tiga macam: 1) direkomendasikan, artinya
Tengah lebih tahan terhadap degradasi atau
jenis tanah tertentu tidak mengalami degradasi
lebih cepat mengalami resiliensi.
apabila diterapkan LUT tertentu; 2) direkomendasikan
bersyarat, artinya akan terjadi degradasi tingkat
sedang namun memiliki resiliensi sedang hingga SARAN
cepat jika tanah tersebut digunakan untuk LUT
tertentu; 3) tidak direkomendasikan, artinya Pengelolaan wilayah untuk kawasan budidaya
penggunaan tanah tersebut akan menyebabkan hendaknya menggunakan tanah yang dimungkinkan
degradasi berat atau sedang, namun resiliensi yang tidak mengalami deteriorasi tanah antropogenik yaitu
akan terjadi tergolong lambat. Spodosols. Selain itu, upaya resiliensi adalah
memperbaiki faktor pembatas, dan tidak hanya
Jenis rekomendasi LUT pada jenis tanah di
menyandarkan kepada proses alami namun juga
Kalimantan Tengah yang termasuk direkomendasikan
diupayakan melalui rehabilitasi.
antara lain: 1) tanah Ultisols untuk LUT PL pola A,
PPK pola A, Karet pola A dan C, kelapa sawit pola A
dan B; 2) tanah Alfisols untuk LUT PL pola A, PPK DAFTAR PUSTAKA
pola A, karet pola A dan C, kelapa sawit pola A, B,
Adiwiganda, R., A.S. Koendadiri, dan Z. Poeloengan.
dan C; 3) tanah Inceptisols untuk LUT PL pola A,
1993. Karakteristik tanah Spodosols pada
PPK pola A dan B, karet pola A, B, dan C, kelapa formasi geologi Minas (Qpmi). Bulletin PPKS
sawit pola A, B, dan C. Jenis LUT yang 1(2):163-173.
direkomendasikan bersyarat antara lain: 1) tanah ____________. 1994. Tinjauan pemupukan tanaman
Ultisols pada LUT PL pola B, PPK pola B dan C, karet. Warta Perkaretan. 13(2):14-18.
karet pola B, kelapa sawit pola C, 2) tanah Alfisols Angkapradipta, P. 1976. Hasil sementara percobaan
pada LUT PL pola B dan C, PPK pola B dan C; 3) pemupukan optimum NPK dengan tanaman
tanah Inceptisols pada LUT PL pola B dan C, PPK produktif klon GT 1 pada tanah Latosol.
Menara Perkebunan 44(5):227-233.
pola C. Seluruh LUT yang digunakan tidak
direkomendasikan pada tanah Spodosols. Bastari, T. 1987. Penetapan anjuran teknologi untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk.
Hlm. 7-35. Dalam Prosiding Lokakarya
KESIMPULAN Nasional Efisiensi Pupuk. Cipayung, 16-17
November 1987. Puslittanak.
1. Potensi tanah di lokasi penelitian lebih baik Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik Indonesia
dalam mendukung LUT berbasis tanaman 2001. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
perkebunan dibandingkan tanaman pangan. Balittan. 1986. Laporan Tahunan 1984/1985. Bogor.
2. Faktor utama degradasi dan resiliensi tanah- Caliman, J.P. 1992. Kelapa sawit dan defisit air.
tanah di lahan kering Kalimantan Tengah adalah Lokakarya Kiat Menghadapi Kemarau
Panjang. Bandung, 19-20 Februari 1992.
LQ ketersediaan hara, kecuali pada Spodosols
AP3I-Perhimpi-BMG. Hlm 22.
dijumpai LQ deteriorasi tanah antropogenik.
Doorenbos, J. and W.O. Pruitt. 1977. Guidelines for
3. Spodosols memiliki sifat mudah terdegradasi predicting crop water requirements. FAO.
berat dan lambat untuk pulih kembali jika Rome. 144 p.

30
M.A. FIRMANSYAH ET AL. : KARAKTERISASI DAN RESILIENSI TANAH TERDEGRADASI DI LAHAN KERING KALIMANTAN TENGAH

Elliott, L.F., and J.M. Lynch. 1994. Biodiversity and Shah, M.M. 1982. Economic aspects of soil erosion
soil resilience. CAB International. Pp 353- and conservation. CSR-FAO. Bogor. 19 p.
364.
Sudjadi, M., J.S. Adiningsih, dan I P.G. Widjaja-
Eswaran, H. 1994. Soil resilience and sustainable Adhi. 1988. Pengelolaan lahan masam untuk
land management in the context of AGENDA tanaman pangan. Hlm 387-399. Dalam
21. CAB International. Pp 21-40. Risalah Simposium II Penelitian Tanaman
FAO. 1997. A framework for land evaluation. Soil Pangan. Buku 2. Ciloto, 21-23 Maret 1988.
Bulletin 32. Rome. 72 p. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan.
Gupta, P.C. and C.J. O’toole. 1986. Upland rice a
global perspective. IRRI. 360 p. Sudjito, D. 1986. Pengaruh Status Air Tanah
terhadap Evapotranspirasi, Koefisien
Hilman, Y. 2004. Inovasi teknologi pengembangan
Tanaman, dan Pertumbuhan Empat Varietas
kedelai lahan kering masam. Hlm 10-22.
(Galur) Padi Gogo. Skripsi. Jurusan Geofisika
Dalam Prosiding Lokakarya Pengembangan
dan Meteorologi. FMIPA. IPB.
Kedelai Lahan Kering. Palembang, 9
Desember 2004. PPSE. Sugiyanto, Y., M.Z. Nasution, dan H. Munthe.
Islam, K.R. and R.R. Weil. 2000. Land use effects 1997. Peluang dan strategi peningkatan
on soil quality in a tropical forest ecosystem efisiensi pemupukan tanaman karet. Hlm 19-
of Bangladesh. Agric. Ecosys. Environ. 79:9- 32. Dalam Prosiding Apresiasi Teknologi
16. peningkatan Produktivitas Lahan Perkebunan
Karet. Medan, 30-31 Juli 1997.
Jumberi, A., M. Imberan M, dan Nurita. 1994.
Pemupukan kalium padi gogo di lahan kering Sukarji, R., Sugiyono, dan W. Darmosarkoro. 2000.
beriklim basah Kalimantan Selatan. Buletin Pemupukan N, P, K, Ca, dan Mg pada kelapa
Penelitian Kindai 5(1):23-30. sawit pada Typic Distropepts di Sumut.
Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 8(1):23-37.
Lahjie, A.M. 1989. Praktek perladangan penduduk
asli dan pendatang di Kaltim. Pp 163-178. In Suwardjo, H., Rb. Sunyoto, Wahyunto, dan A.
Proceeding of the Pusrehut Seminar on Dariah. 1996. Penyebaran lahan kiritis dan
Reforestration. Mulawarman University. teknologi penanggulangannya di Kawasan
Lynden, van G.W.J. and L.R. Oldeman. 1997. The Timur Indonesia. Hlm 275-295. Dalam
assessment of the status of human-induced Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya
soil degradation in South and Southeast Lahan untuk Pembangunan Kawasan Timur
Asia. UNEP-FAO-ISRIC. 35 p. Indonesia. Palu, 17-20 Januari 1994.
Puslittanak.
Mar’ah, M. 1996. Pengaruh Tingkat Air Tersedia
dan Tingkat Pemberian Pupuk K terhadap Suwardjo, H. dan J. Prawirasumantri. 1987. Status
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman. Skripsi. report kelompok kerja efisiensi pupuk pada
FMIPA. IPB. Hlm 87. lahan kering. Hlm 141-160. Dalam Prosiding
Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk.
Oldeman, LR. 1994. An international methodology
Cipayung, 16-17 November 1987.
for an assessment of soil degradation land
georeferenced soils and terrain database. Suwono. 1986. Pegaruh pemupukan kalium
Bangkok, 25-29 October 1994. FAO. Pp 35- terhadap hasil dan pertumbuhan kedelai di
68. lokasi “gejala kuning” di Ponorogo.
Pasaribu, D. dan S. Suprapto. 1985. Pemupukan Penelitian Palawija 4(2):142-148.
NPK pada kedelai. Puslitbangtan. Hlm 159- Sys, C. 1985. Land Evaluation Part I, II, III. State
169. University of Ghent. 352 p.
Puslittanak. 1997. Statistik Sumberdaya Lahan/ Sys, C., Ranst vans E. and J. Debaveye. 1991. Land
Tanah Indonesia. Hlm 301. evaluation part I: principles in land evaluation
Seybold, C.A., J.E. Herrick, and J.J. Brejda. 1999. and crop production calculations. Agricultural
Soil resilience. Soil Sci. 164(4):224-234. Publications No. 7. Brussels. 274 p.

31
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Szabolcs, I. 1994. The concept of soil resilience. Pp Uexkull von H. 1996. Constraints to agricultural pro-
33-39. In. Greenland and Szabolcs (Ed.). Soil duction and food security in Asia. IMPHOS-
resilience and use sustainable land. CAB AARD/CSAR. Bali, December 9-12, 1996.
International. Wallingford. Pp 1-28.
Tambunan, D., H. Sihombing, dan R. Arianto. 1987. Winarna, W. Darmosarkoro, dan E.S. Sutarta. 2000.
Hasil sementara percobaan pemupukan Teknologi Pemupukan Tanaman Kelapa
optimum NPK karet menghasilkan GT1 pada Sawit. PPKS. Medan. Hlm 113-134.
PMK. Buletin Perkaretan Rakyat 3(2):17-23.
Wischmeier, W.H. and D.D. Smith. 1978. Predicting
Tengberg, A. and M. Stocking. 2001. Land degra- rainfall erosion losses: a guide to
dation, food security, and agrobiodiversity- conservation planning. USDA. Agriculture
examining an old problem in a new way. Handbook No. 537. 58 p.
Science Publishers, Inc. Pp 171-185.
Thomas, M., Lasminingsih, U. Junaidi, G. Wibawa,
K. Amylupy, dan H. Sihombing. 1994.
Pengaruh kekeringan dan usaha mengatasinya
pada karet. Warta Perkaretan 13(2):1-7.

32
Pengaruh Pengeringan dan Pembasahan Terhadap Sifat Kimia Tanah Sulfat Masam Kalimantan

The Effects of Drying and Wetting on the Soil Chemical Properties of Acid Sulphate Soils of Kalimantan

M. NOOR1, A. MAAS2, DAN T. NOTOHADIKUSOMO2

ABSTRAK and diluting that is define as (1) drying continuously after wetting
= W1, (2) wetting continuously = W2; (3) drying after weeting
and diluting =W3; and (4) wetting and diluting. The result of
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
experiments show that continuous drying after wetting (W1) and
pengeringan dan pembasahan terhadap perubahan sifat-sifat
drying after wetting and diluting (W3) or continuous weeting
kimia tanah sulfat masam, Kalimantan. Penelitian dirancang
(W2) gave soils pH lower than the weeting and diluting (W4).
menurut Acak Lengkap dengan dua ulangan. Perlakuan terdiri
Dried on the strong reactive soils (R4) not decrease soil pH
atas dua faktor. Faktor I terdiri atas empat tingkat reaktivitas
significantly. The continouos drying after wetting (W1) can
tanah, yaitu reaktivitas lemah (R1), sedang (R2), agak kuat (R3)
increase EC (electrical conductivity) higher than the continous
dan kuat (R4). Faktor II terdiri atas pengeringan, pembasahan dan
wetting (W2) and wetting that followed diluting (W4) or drying
pengenceran, yaitu (1) pengeringan langsung setelah pembasahan
after wetting and diluting (W3). The continouos wetting (W2) and
(W1), (2) pembasahan terus-menerus (W2), (3) pengeringan
the continouos drying after wetting (W1) has given the total
setelah pembasahan dan pengenceran (W3); dan (4) pembasahan
soluble acidity of 63,30 dan 61,71 cmolc kg-1 respectively, higher
dan pengenceran (W4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
than drying after wetting and diluting (W3) and wetting that
pengeringan langsung setelah pembasahan (W1) dan pengeringan
followed diluting (W4) that given total soluble acidity of 54,03
setelah pembasahan dan pengenceran (W3) atau pembasahan
and 51,95 cmolc kg-1 respectively. The effects of drying, wetting,
terus-menerus (W2) menunjukkan pH lebih rendah dibandingkan
flushing, and leaching on the total soluble acidity, Soluble Al and
dengan pembasahan dan pengenceran (W4). Pengeringan pada
soluble H, especially on the strong reactive soils are very
tanah reaktivitas kuat (R4) tidak sampai menurunkan pH secara
significant. All of the exchangeble bases (Ca, Mg, K, Na) on the
nyata. Pengeringan langsung setelah pembasahan (W1)
continouos drying after wetting (W1) are lower than the
mempunyai nilai DHL tanah lebih tinggi dibandingkan dengan
continous wetting (W2) and wetting that followed diluting (W4)
pembasahan terus-menerus (W2) dan pembasahan disertai
or drying after wetting and diluting (W3) respectively. The
pengenceran (W4) atau pengeringan setelah pembasahan dan
continouos drying after wetting (W1), the continous wetting
pengenceran (W3). Pembasahan terus-menerus (W2) dan
(W2) and wetting that follow diluting (W4) or drying after wetting
pengeringan setelah pembasahan (W1) mempunyai kemasaman
and diluting (W3) decrease exchangable Mg, especially on strong
total tertukar masing-masing 63,30 dan 61,71 cmolc kg-1 lebih
reactive soils (R4), but contradictive to low reactive soils (R1).
tinggi dibandingkan pembasahan yang disertai pengenceran (W3,
The continouos drying after wetting (W1) increase exchangable
W4) masing-masing mempunyai kemasaman tertukar 54,03 dan
Na, especially on low reactive soils (R1), but the wetting that
51,95 cmolc kg-1. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan
followed diluting (W3, W4) decreases exchangable Na.
pengenceran terhadap kemasaman total tertukar atau Al3+
tertukar dan H+ tertukar sangat nyata pada tanah reaktivitas
Keywords : Reclamation, Soil chemical dynamic, Acid sulphate
kuat. Semua kation-kation basa (Ca, Mg, K, Na) pada perlakuan
soils
pengeringan setelah pembasahan (W1) lebih rendah dibandingkan
pembasahan terus-menerus (W2) dan pengeringan/pembasahan
dengan pengenceran (W3, W4). Pengeringan setelah pembasahan
(W1) dan yang disertai dengan pengenceran (W3, W4) jauh PENDAHULUAN
menurunkan Mg tertukar khususnya pada tanah reaktivitas kuat
(R4), tetapi sebaliknya pada tanah reaktivitas lemah (R1).
Pengeringan setelah pembasahan (W1) meningkatkan Na tertukar, Tanah sulfat masam mempunyai sifat mudah
khususnya pada tanah reaktivitas lemah (R1), tetapi pembasahan
yang disertai pengenceran (W3, W4) menurunkan Na tertukar. berubah (fragile). Pemanfaatan tanah sufat masam
untuk pengembangan pertanian sudah sejak lama
Kata kunci : Reklamasi, Dinamika kimia tanah, Sulfat masam
dilakukan karena terbatasnya tanah-tanah yang
subur. Perluasan areal pertanian ke tanah-tanah
ABSTRACT piasan (marginal) seperti tanah sulfat masam ini juga

This reseach aimed to study the effects of land


didorong oleh perkembangan pertambahan penduduk
reclamation (drying, wetting, flushing, and leaching) on the yang cepat dan penyebarannya yang tidak merata.
change of soil chemical properties of acid sulphate soils from
Kalimantan. Randomized Complete Design (RCD) by two factors Pemanfaatan tanah sulfat masam untuk
treatments with two replications is used in this research. Factor I
was soil reactiveness that is define as (a) low reactive= R1; (b) 1. Peneliti pada Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa,
moderate reactive =R2; (c) strong reactive= R3, and (d) very Banjarbaru.
strong reactive= R4 respectively. Factor II was drying, wetting, 2. Guru Besar pada Fakultas Pertanian, UGM, Yogyakarta.

ISSN 1410 – 7244 33


JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

pengembangan pertanian dihadapkan pada sifat-sifat FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O → 15Fe2+ + 2SO42- +
kimia tanahnya yang kurang mendukung antara lain 16H+
pH yang rendah; kadar Al, Fe, Mn, dan SO4 yang
tinggi; salintas yang tinggi, kahat hara P, Cu, Zn, Besi ferro (Fe2+) kembali masuk ke dalam
dan B. Permasalahan utama pada tanah sulfat sistem untuk dioksidasi oleh bakteri Thiobacilus
masam akibat adanya lapisan pirit (FeS2). Lapisan ferrooxidans menurut persamaam reaksi berikut:
pirit ini sejatinya dibiarkan di lapisan bawah yang
Fe2+ + ¼O2 + H+ → Fe3+ + ½H2O
reduktif, tetapi dalam reklamasi lahan dan
pengolahan tanah, pirit dapat tersingkap bahkan Laju reaksi dikendalikan oleh luas permukaan
sebagian muncul di permukaan tanah (Pons, 1973; pirit dan laju transfer oksidan (O2 dan Fe3+) dalam
Dent, 1986). Pirit bersifat labil dalam suasana aerob sistem tanah.
dan mudah teroksidasi yang memunculkan
Pada kondisi lapangan, proses oksidasi tidak
kemasaman tanah sampai mencapai pH 2-3 dapat dihindarkan. Oksidasi berjalan sangat
sehingga hampir semua tanaman budidaya tidak kompleks, masuknya oksigen melalui pori-pori atau
dapat tumbuh sehat (Rorison, 1973; Mensvoort et retakan tanah, bekas akar tanaman, bahkan melalui
al., 1985; Bloomfield and Coulter, 1973). Oksidasi aliran air yang masuk baik oleh oksigen maupun oleh
pirit merupakan proses fisiko-kimia, dan Fe3+ (Breemen, 1979). Reklamasi lahan atau
mikrobiologi. Oksidasi utama oleh oksigen secara pengatusan secara berlebihan dari sistem jaringan
perlahan menghasilkan Fe2+, SO42-, dan H+. Proses tata air yang dimaksudkan untuk menurunkan
oksidasi ini dikatalisir oleh bakteri autotroph pada pH genangan air musim hujan dapat berubah menjadi
mendekati netral. Waktu paruh dari reaksi oksidasi penyebab pengeringan hebat di musim kemarau.
oleh oksigen ini antara 20-1.000 menit (Stumm and Kondisi lingkungan rawa yang dipengaruhi oleh
Morgan dalam Dent, 1986). Oksidasi pirit juga pasang dan surutnya air laut/sungai cukup memberi
terjadi oleh Fe3+ sebagai oksidator. Proses oksidasi kontribusi terhadap perubahan terhadap sifat-sifat
ini berlangsung sangat cepat bahkan lebih cepat dari kimia dan hara tanah.
reaksi oksidasi Fe2+ sendiri untuk menjadi Fe3+. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
Rumus berikut menggambarkan peristiwa oksidasi pengaruh pengeringan, pembasahan, dan kombinasi-
pirit yang menghasilkan Fe3+, SO42-, dan H+: nya dengan pengenceran terhadap sifat-sifat kimia
tanah sulfat masam (Typic Sulfaquents dan Typic
• Seluruh besi dioksidasi dan tertinggal dalam Sulfaquepts) dari Kalimantan.
larutan sebagai bentuk Fe3+
FeS2 + 15/4O2 + ½H2O → Fe3+ + 2SO42- + H+
BAHAN DAN METODE
• Besi dibebas sebagai Fe 2+

Bahan dan deskripsi tanah penelitian


FeS2 + 7/2O2 + H2O → Fe2+ + 2SO42- + 2H+

• Seluruh besi diendapkan dan dihidrolisis menjadi Tanah sulfat masam (Typic Sulfaquents dan
Typic Sulfaquepts) yang digunakan dalam penelitian
besi (III) hidroksida
ini terdiri atas empat tingkat reaktivitas berdasarkan
FeS2 + 15/4O2 + 7/2H2O → Fe(OH)3 + 2SO42- +
pada perlakuan dengan larutan peroksida (H2O2)
4H+
30% dengan memperhatikan gejala yang muncul
• Terbentuknya jarosit antara lain: intensitas buih, waktu reaksi, warna
FeS2 + 15/4O2 + 5/2H2O + 1/3K+ → 1/3 buih, pH buih, warna endapan, warna larutan, dan
KFe3(SO4)2 (OH)6 + 4/3SO42- + 3H+ pH larutan setelah pengenceran (Notohadiprawiro,
1985; Jansen et al., 1900; Sri-Nuryani et al.,
• Oksidasi oleh Fe3+

34
M. NOOR ET AL. : PENGARUH PENGERINGAN DAN PEMBASAHAN TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH SULFAT MASAM KALIMANTAN

2000). Reaktivitas dipilah dalam empat kategori acak lengkap dengan dua ulangan.
yang terdiri atas reaktivitas lemah (R1), reaktivitas Faktor I terdiri atas jenis reaktivitas tanah,
sedang (R2), reaktivitas agak kuat (R3), dan yaitu (a) reaktivitas lemah = R1; (b) sedang = R2;
reaktivitas kuat (R4). (3) agak kuat = R3; dan (4) kuat = R4). Faktor II
Tanah sulfat masam diambil dari lokasi UPT terdiri atas pengeringan, pembasahan, dan pengen-
(Unit Pemukiman Transmigrasi) Tabunganen, Kalsel, ceran, yaitu (1) pengeringan langsung setelah
UPT Palingkau, Kalteng, UPT Sungai Puntik, Kalsel, pembasahan = W1; (2) pembasahan terus-menerus
dan UPT Basarang, Kalteng berturutan mempunyai = W2; (3) pengeringan setelah pembasahan dan
reaktivitas lemah (R1), sedang (R2), agak kuat (R3), pengenceran = W3; dan (4) pembasahan dan
pengenceran = W4. Jadi keseluruhan perlakuan
dan kuat (R4). Dua contoh tanah pertama (R1, R2)
berjumlah 4 x 4 x 2 = 32 unit.
diambil dari lapisan atas tanah sawah, sedangkan
dua terakhir (R3, R4) diambil dari lapisan atas tanah Pembasahan menggunakan air suling
(aquadest) dan pengocokan menggunakan mesin
surjan. Keempat lokasi contoh tanah merupakan
pengocok dengan kecepatan 180 RPM selama
lahan usaha tani bagi transmigrasi yang dibuka
empat jam kemudian dibiarkan 1-2 x 24 jam agar
antara tahun 1969-1995. Tabel 1 menunjukkan
pengedapan sempurna. Pembasahan (pemberian air)
deskripsi umum dan karakteristik tanah dengan
disesuaikan dengan kehilangan air selama
selidik cepat di lapangan. pengeringan (W1, W3). Pengenceran sekaligus
karena adanya pengambilan contoh air lindian untuk
Metode dan rancangan penelitian dianalisis di laboratorium (W3, W4). Pengeringan
menggunakan pemanas (oven) listrik yang
Keempat jenis tanah di atas (Tabel 1) o
dipertahankan pada suhu 60 C sampai dicapai berat
dikeringanginkan (lolos ayakan 0,50 cm) dan tanah semula (pada keadaan kering udara) yang
ditimbang 100 g sebelum diperlakukan. Perlakuan memerlukan waktu rata-rata 2-3 x 24 jam.
terdiri atas dua faktor disusun dengan rancangan Pembasahan dan pengeringan dilakukan sebanyak 5

Tabel 1. Deskripsi dan karakteristik contoh tanah penelitian


Table 1. Description and characteristics of soil samples used in this research
Tingkat reaktivitas
Karakteristik
Lemah (R1) Sedang (R2) Agak kuat (R3) Kuat (R4)
Warna 10 YR 6/2-2,5 Y 6/2 10 YR 6/2-10 YR 3/2 10 YR 3/1 10 YR 4/2
Bercak Tanpa 7,5 YR 5/8 Tanpa 5 Y 6/1
Tekstur Lempung Lempung Lempung debuan Lempung debuan
Kematangan Hampir mentah Setengah matang Hampir matang Hampir matang
pH-H20 (inkubasi) 5,99 4,36 3,83 3,11
Reaksi dengan peroksida
• Intensitas buih Lemah Lemah Sedang Sangat kuat
• Waktu tunggu berbuih > 3 menit > 3 menit > 3 menit < 3 menit
• Warna buih 10 YR 5/3 10 YR 3/1-3/2 10 YR 3/1 5 Y 6/2
• pH buih 4,00 4,00 3,41 1,00
Setelah pengenceran
• Warna larutan Kuning bening Kuning bening Kuning teh Kuning teh
• Warna endapan 5 Y 6/1 5 Y 6/1 5 Y 6/1
• pH larutan 3,83 2,96 2,82 1,96
Lokasi contoh tanah Tabunganen Palingkau Sei Puntik Basarang

35
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

kali setiap sepuluh hari dan terakhir (ke-6) dilakukan kuat. Kadar pirit pada tanah reaktivitas kuat (R4)
setelah 30 hari sehingga waktu yang digunakan mencapai 5,60%, menyusul reaktivitas agak kuat
untuk pengamatan mencapai 80 hari (sekitar 3 (R3), sedang (R2), dan lemah (R1) masing-masing
bulan). 2,43; 1,51; dan 1,35%. Deskripsi dan karakteristik
Sifat-sifat kimia tanah yang diamati meliputi tanah lapangan antara lain pH inkubasi, reaksi atau
pH, daya hantar listrik (DHL), Al3+, H+, SO42-, Fe2+, intensitas buih, dan pH larutan menunjukkan
Ca2+, Mg2+, K+, dan Na+ tertukar pada keadaan hubungan yang baik dengan kadar pirit (Tabel 1).
awal dan akhir pembasahan dan pengeringan. Selain Dengan kata lain, uji lapangan menggunakan larutan
itu juga diamati sifat kimia tanah lainnya seperti N- H2O2 30% menunjukkan dapat memberikan gambaran
total, C-organik, P-tersedia, S-terlarut, S-total, S- kondisi kemasaman dan kadar pirit dari tanah sulfat
pirit, dan Fe-tertukar pada keadaan awal. masam. Tabel 2 menyajikan sifat-sifat kimia tanah
keadaan awal sebelum pembasahan dan pengeringan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sifat kimia tanah setelah pengeringan
dan pembasahan
Sifat kimia tanah awal

Kemasaman tanah beragam dari agak masam Kemasaman atau pH tanah


sampai sangat masam antara pH 5,15 (R2) sampai
Pengeringan langsung setelah pembasahan
2,52 (R4). Semakin reaktivitas sifat reaksi tanah
semakin masam. Reaktivitas tanah yang kuat (W1) dan pengeringan setelah pembasahan dan
menunjukan kadar pirit yang tinggi. DHL beragam pengenceran (W3) atau pembasahan terus-menerus
antara 0,13 dS m-1 (R2) sampai 3,37 dS m-1 (R4). (W2) menunjukkan pH lebih rendah dibandingkan
DHL atau tingkat kegaraman pada tanah reaktivitas dengan pembasahan dan pengenceran (W4).
lemah (R1) cukup tinggi 2,12 dS m-1 akibat Pembasahan dan pengenceran (W4) memberikan
pengaruh lingkungan marin dan susupan air laut nilai pH tanah lebih tinggi (pH > 4), kecuali pada
sesuai dengan lokasi (Tabunganen) yang dekat tanah reaktivitas kuat (R4) pH tanah relatif tetap (pH
dengan pesisir pantai/laut. Kadar bahan organik < 3) (Gambar 1). Pembasahan dapat menurunkan
tanah cukup tinggi berkisar antara 7-30%. Kadar redoks potensial (Eh) sehingga meningkatkan nilai
bahan organik tanah reaktivitas agak kuat (R3) pH, sedangkan pengenceran jelas berhubungan
paling tinggi karena berasosiasi dengan tanah dengan menurunnya kadar ion yang berada dalam
gambut. Basa tertukar dalam bentuk Ca tertukar dan larutan termasuk jumlah ion hidrogen sehingga
Mg tertukar pada tanah reaktivitas kuat (R4)
menaikkan nilai pH dengan turunnya kadar ion H+.
tergolong tinggi dimungkinkan karena kondisi lahan
Menurut Ponnamperuma (1977) penggenangan pada
pernah diberikan kapur dolomit secara terbatas
tanah sulfat masam dapat meningkatkan pH tanah,
sebelumnya, tetapi tidak menunjukkan pengaruh
tetapi setelah 2 minggu penggenangan pH relatif
terhadap kemasaman tanah. Tingkat kemasaman
tetap. Pengeringan sejatinya menurunkan pH tanah,
total dan aluminium tertukar tergolong rendah pada
tanah reaktivitas lemah (R1) sebesar 4,49 cmolc kg-1 karena pengeringan dapat menimbulkan oksidasi
dan reaktivitas sedang sebesar (R2) 2,49 cmolc kg-1, terhadap pirit yang melepaskan ion-ion sulfat dan
tetapi tergolong tinggi pada tanah reaktivitas agak hidrogen pada pH 2-3 (Pons, 1973, Notohadikusumo,
kuat (R3) dan reaktivitas kuat (R4) masing-masing 2000), tetapi khususnya pada tanah reaktivitas kuat
mencapai 11,68 dan 29,10 cmolc kg-1. Kadar pirit (R4) pengeringan tidak sampai menurunkan pH
sebagai sumber kemasaman menunjukkan perbedaan secara nyata. Gejala ini menunjukkan bahwa pH
jelas antara tanah reaktivitas lemah, sedang dan

36
M. NOOR ET AL. : PENGARUH PENGERINGAN DAN PEMBASAHAN TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH SULFAT MASAM KALIMANTAN

Tabel 2. Sifat kimia tanah keadaan awal


Table 2. Soil chemical properties before treatments
Tingkat reaktivitas
Sifat kimia tanah
Lemah (R1) Sedang (R2) Agak kuat (R3) Kuat (R4)
pH-H2O (1:2,5) 4,80 5,15 3,75 2,52
pH KCl (1:2,5) 4,00 4,02 3,17 2,30
DHL (dS/m) 2,120 0,139 0,198 3,370
N-total (%) 0,21 0,26 0,54 0,20
Bahan organik (%) 7,81 7,93 29,60 8,84
P-Bray II (ppm) 1,88 6,97 30,16 0,31
KTK (cmolc kg-1) 21,73 (S)* 21,21 (S)* 19,81 (S)* 25,34 (T)*
Ca-exch (cmolc kg-1) 10,02 (S) 6,75 (S) 9,78 (S) 18,36 (T)
Mg-exch (cmolc kg-1) 2,67 (T) 1,08 (R) 0,78 (R) 3,21 (T)
K-exch (cmolc kg-1) 0,83 (T) 0,15 (R) 0,11 (R) 0,07 (SR)
Na-exch (cmolc kg-1) 0,71 (S) 0,19 (R) 0,23 (R) 0,05 (SR)
Al-tertukar (cmolc kg-1) 0,00 0,00 1,32 9,45
H-tertukar (cmolc kg-1) 4,48 2,49 10,36 14,65
Fe-tertukar (cmolc kg-1) 0,06 0,05 0,04 0,11
S-terlarut (%) 0,04 0,04 0,04 4,17
S-total (%) 1,40 1,60 2,47 9,77
S-pirit (%) 1,36 1,56 2,43 5,60
Keterangan:
* (SR) = Sangat rendah; (R) = Rendah; (S) = Sedang; (T) = Tinggi

7,0

6,0 R1- Reaktif Lemah


R2-Reaktif Sedang
5,0
5,0
(1:2,5)

R3-Reaktif Agak Kuat


pH-H2O (1:2,5)

4,0
4,0 R4-Reaktif Kuat
pH-H2O

3,0
3,0

2,0
2,0

1,0
1,0

0,0
0,0
W1
W1 W2
W2 W3
W3 W4
W4
Pengeringan dan pembasahan
Pengeringan dan Pembasahan

Keterangan:
W1 = Pengeringan langsung setelah pembasahan
W2 = Pembasahan terus-menerus
W3 = Pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran
W4 = Pembasahan dan pengenceran

Gambar 1. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran


terhadap pH-tanah
Figure 1. The effect of drying, wetting, flushing, and diluting on soil
pH

37
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

2,8 pada tanah reaktivitas kuat (R4) merupakan turut 2,12; 0,13; 0,20; dan 3,37 dS m-1 (Tabel 2).
batas minimal kemampuan (buffer capacity) tanah, Pengeringan langsung setelah pembasahan (W1)
sedangkan pada tanah-tanah yang mempunyai mempunyai nilai DHL tanah lebih tinggi dibandingkan
bahan organik yang tinggi dan aerasi yang jelek, dengan pembasahan terus-menerus (W2) dan
oksidasi dapat terhambat yang dicirikan dengan
pembasahan disertai pengenceran (W4) atau
tidak terbentuknya jarosit (Breemen, 1976;
pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran
Mensvoort and Tri, 1988; Sutrisno, 1990) sehingga
pengeringan tidak berpengaruh besar terhadap (W3). Hal ini terjadi dengan beberapa sebab antara
perubahan pH seperti pada tanah reaktivitas kuat lain sebagian ion ikut hilang bersamaan dengan (1)
(R3) dan sangat kuat (R4). pengeringan, dan atau (2) pengenceran. Dengan
kata lain, pengeringan setelah pembasahan (W3) atau
Daya hantar listrik (DHL) pengenceran terus-menerus (W4) secara sinambung
menurunkan kadar ion-ion dalam tanah. Ion-ion yang
Pembasahan terus-menerus (W2) dan
hilang akibat pengeringan atau pemanasan antara
pembasahan yang disertai pengenceran (W4) dan
lain SO2, NO2, hidrokarbon dan karbonmonoksida
atau pengeringan langsung setelah pembasahan
(CO). Pengaruh pembasahan dan pengenceran
(W1) dan pengeringan setelah pembasahan dan
pengenceran (W3) rata-rata meningkatkan DHL dari tampak sangat jauh menurunkan DHL pada tanah
keadaan awal. Masing-masing tanah reaktivitas reaktivitas lemah (R1) dan tanah reaktivitas kuat
lemah (R1), sedang (R2), agak kuat (R3) dan kuat (R4) seperti disajikan pada Gambar 2. Keadaan ini
(R4) pada keadaan awal mempunyai DHL berturut- menunjukkan bahwa garam-garam pada tanah-tanah

8,0
8,0

R1-Reaktif Lemah

6,0
6,0 R2-Reaktif Sedang
(dS m-1))

R3-Reaktif Agak Kuat


-1
AL (dS.m

R4-Reaktif Kuat
4,0
4,0
D DHL

2,0
2,0

0,0
0,0
W1
W1 W2
W2 W3
W3 W4
W4
Pengeringan dan pembasahan
Pengeringan dan Pembasahan

Keterangan:
W1 = Pengeringan langsung setelah pembasahan
W2 = Pembasahan terus-menerus
W3 = Pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran
W4 = Pembasahan dan pengenceran

Gambar 2. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran


terhadap DHL tanah
Figure 2. The effect of drying, wetting, flushing, and diluting on soil
electrical conductivity

38
M. NOOR ET AL. : PENGARUH PENGERINGAN DAN PEMBASAHAN TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH SULFAT MASAM KALIMANTAN

yang dipengaruhi pasang atau intrusi air laut mudah menjadi 40,88 (R2); 50,18 (R2) dan 136,37 (R3)
digelontor atau dilindi, sedangkan pada tanah cmolc kg-1. Pembasahan terus-menerus (W2) dan
reaktivitas kuat (R4) akibat kemasaman yang tinggi pengeringan setelah pembasahan (W1) memberikan
disertai dengan pengeringan dapat memacu kation kemasaman total tertukar masing-masing 63,30 dan
tertukar seperti Al3+, H+ untuk terlarut agar 61,71 cmolc kg-1 lebih tinggi dibandingkan
selanjutnya mudah dilindi. pembasahan yang disertai pengenceran (W3) atau
pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran
(W4) masing-masing mempunyai kemasaman
Kemasaman total tertukar -1
tertukar 54,03 dan 51,95 cmolc kg . Pengaruh
Kemasaman total tertukar (jumlah aluminium pengeringan, pembasahan, dan pengenceran
dan hidrogen tertukar) dari tanah reaktivitas lemah terhadap kemasaman total tertukar atau Al3+
(R1) menurun dari keadaan awal, tetapi untuk tanah tertukar dan H+ tertukar sangat nyata pada tanah
reaktivitas sedang (R2), agak kuat (R3) dan kuat reaktivitas kuat (Gambar 3, 4, dan 5). Pengeringan
(R4) meningkat. Berturutan dari tanah reaktivitas (W1) meningkatkan kemasaman total tertukar, Al3+
lemah sampai kuat mempunyai kemasaman total atau H+ tertukar secara tajam jauh lebih tinggi
tertukar rata-rata sebesar 4,49 (R1); 2,49 (R2); dibandingkan dengan pembasahan terus-menerus
11,68 (R3); dan 24,10 cmolc kg-1 (R4) menurun (W2) atau pengeringan setelah pembasahan dan
menjadi 2,91 cmolc kg-1 (untuk R1); dan meningkat pengenceran (W3).

250
250
c kg ))
-1
-1
(+).kg

204
R1- Reaktif Lemah
200
200
(cmol

R2-Reaktif Sedang
tertukar(cmol

162
R3-Reaktif Agak Kuat
150
totaltertukar

150 R4-Reaktif Kuat


Kemasamantotal

94
100
100 86
Kemasaman

59
54 50
41 4339 45
50
50 35

4 6
0 1
00
W1
W1 W2
W2 W3
W3 W4
W4
Pengeringandan
Pengeringan danPembasahan
pembasahan
Keterangan:
W1 = Pengeringan langsung setelah pembasahan
W2 = Pembasahan terus-menerus
W3 = Pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran
W4 = Pembasahan dan pengenceran

Gambar 3. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran


terhadap kemasaman total tertukar
Figure 3. The effect of drying, wetting, flushing, and diluting on total
exchangable acidity

39
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

120
120
105
R1- Reaktif Lemah
100

)
100

c kg )-1
ol (+).kg
R2-Reaktif Sedang

-1
80
80 R3-Reaktif Agak Kuat

(cmol
66
R4-Reaktif Kuat
(cm
tertukar
tertukar 60
60
48 47
39
40
40 33
29 29
26 28
25
Al Al

21
20
20
0 0 0 0
00
W1 W2 W3 W4
Pengeringandan
Pengeringan danPembasahan
pembasahan

Gambar 4. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran


terhadap aluminium tertukar
Figure 4. The effect of drying, wetting, flushing, and diluting on
exchangable aluminium

120
120
99 96 R1- Reaktif Lemah
tertukar (cmol (+).kg )

100
100
+ + tertukar (cmolc kg-1-1)

R2-Reaktif Sedang

80
80 R3-Reaktif Agak Kuat
R4-Reaktif Kuat
60
60
47
39
40
40
H H

21 21 20
16 14 14 14 16
20
20
4 6
0 1
0
0
W1 W2 W3 W4
Pengeringan dan
Pengeringan dan pembasahan
Pembasahan

Keterangan:
W1 = Pengeringan langsung setelah pembasahan
W2 = Pembasahan terus-menerus
W3 = Pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran
W4 = Pembasahan dan pengenceran

Gambar 5. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran


terhadap hidrogen tertukar
Figure 5. The effect of drying, wetting, flushing, and diluting on
exchangable hidrogen

40
M. NOOR ET AL. : PENGARUH PENGERINGAN DAN PEMBASAHAN TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH SULFAT MASAM KALIMANTAN

30
30

R1- Reaktif Lemah


25

KPK (cm ol (+).kg-1 )


25 24 R2-Reaktif Sedang
23 23 23

KTK (cmolc kg-1)


22 21 R3-Reaktif Agak Kuat
21 21 21
20 R4-Reaktif Kuat
20
20
19 19 20 19

17
16

15
15

10
10
W1 W2 W3 W4
Pengeringandan
Pengeringan danPembasahan
pembasahan

Keterangan:
W1 = Pengeringan langsung setelah pembasahan
W2 = Pembasahan terus-menerus
W3 = Pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran
W4 = Pembasahan dan pengenceran

Gambar 6. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran


terhadap kapasitas tukar kation (KTK)
Figure 6. The effect of drying, wetting, flushing, and diluting on
capacity exchangable cations

Kapasitas tukar kation (W1) lebih rendah dibandingkan pembasahan terus-


menerus (W2) dan pengeringan/pembasahan dengan
Kapasitas tukar kation (KTK) dari masing-
pengenceran (W3, W4). Kation-kation utama yang
masing tanah rata-rata mengalami penurunan,
kecuali pada tanah reaktivitas agak kuat (R3) merajai setelah pengeringan dan pembasahan adalah
meningkat. Hal ini karena pada tanah reaktivitas Mg dan Na. Menurut Maas et al. (2000), munculnya
agak kuat (R3) kadar bahan organik sangat tinggi dominasi kation Mg dan Na pada tanah sulfat
sehingga mempunyai daya sangga lebih besar. masam, terutama setelah reklamasi lahan
Pembasahan terus-menerus (W2) memberikan KTK merupakan watak dari kondisi ekosistem marin yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pembasahan yang menyimpan bekas sisa kehidupan laut (koral).
disertai pengenceran (W1) atau yang dilanjutkan Pengeringan setelah pembasahan (W2) dan yang
dengan pengeringan (W3, W4) (Gambar 6). Keadaan disertai dengan pengenceran (W3, W4) jauh
ini menunjukkan bahwa sebagian besar kation hilang menurunkan Mg tertukar khususnya pada tanah
akibat pengeringan dan pengenceran yang reaktivitas kuat (R4), tetapi sebaliknya pada tanah
merupakan konsekuensi dari upaya reklamasi - reaktivitas lemah (R1). Hal ini diduga karena
pengatusan dan pelindian (Maas et al., 2000). cadangan Mg pada tanah reaktivitas lemah (R1)
cukup besar dan dengan selang selingnya
Kation-kation basa tertukar
pengeringan dan pembasahan/pengenceran maka
Semua kation-kation basa (Ca, Mg, K, Na) proses pelapukan meningkat yang mendorong
pada perlakukan pengeringan setelah pembasahan meningkatnya Mg tertukar. Pengeringan setelah

41
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

9,0

Kation basa tertukar (cmolc kg-1)


Kation BasaTertukar (cmol (+)kg-1)

8,0
7,0
Mg Na
6,0
5,0
4,0
3,0
2,0
1,0
0,0
W1 W2 W3 W4 W1 W2 W3 W4

R1-Reaktif Lemah 4,44 5,12 7,61 8,14 7,12 8,19 0,34 0,77
R2-Reaktif Sedang 0,37 0,19 0,21 0,25 0,22 0,13 0,03 0,03
R3-Reaktif Agak Kuat 0,15 0,05 0,52 0,50 0,55 0,28 0,02 0,04
R4-Reaktif Kuat 5,19 2,81 1,55 1,35 0,01 0,13 0,01 0,06

Perlakuan
Perlakuan
Keterangan:
W1 = Pengeringan langsung setelah pembasahan
W2 = Pembasahan terus-menerus
W3 = Pengeringan setelah pembasahan dan pengenceran
W4 = Pembasahan dan pengenceran

Gambar 7. Pengaruh pengeringan, pembasahan, dan pengenceran terhadap kation-kation basa


tertukar (Mg dan Na)
Figure 7. The effect of drying, wetting, flushing, and diluting on exchangable cations Mg and
Na

pembasahan (W2) meningkatkan Na tertukar, KESIMPULAN DAN SARAN


khususnya pada tanah reaktivitas lemah (R1), tetapi
1. Pengeringan langsung setelah pembasahan (W1)
pembasahan yang disertai pengenceran (W3, W4)
dan pengeringan setelah pembasahan dan
menurunkan Na tertukar dari semula tergolong
pengenceran (W3) atau pembasahan terus-
sedang pada kadar 0,71 cmolc kg-1 (Tabel 2). Hal ini
menerus (W2) menunjukkan pH lebih rendah
karena Na mudah terlindi sehingga pengenceran
dibandingkan dengan pembasahan dan
mendorong menurunkan Na tertukar (Gambar 7). pengenceran (W4).
Hasil ini sejalan dengan yang digambarkan nilai DHL
2. Pengeringan langsung setelah pembasahan (W1)
di atas yang menunjukkan bahwa pengenceran (W3,
menpunyai nilai DHL tanah lebih tinggi
W4) diikuti penurunan DHL. Pola susunan kation- dibandingkan dengan pembasahan terus-menerus
kation di tanah reaktivitas lemah (R1): Mg > Na > (W2) dan pembasahan disertai pengenceran
Ca> K; tanah reaktivitas sedang (R2): Mg > Na = (W4) atau pengeringan setelah pembasahan dan
K > Ca; tanah reaktivitas agak kuat (R3) dan kuat pengenceran (W3).
(R4) masing-masing: Mg > Na > K > Ca. Pola 3. Pembasahan terus-menerus (W2) dan penge-
susunan ini merupakan ciri umum dari tanah atau ringan setelah pembasahan (W1) mempunyai
lingkungan marin (Maas et al., 2000). kemasaman total tertukar masing-masing 63,30

42
M. NOOR ET AL. : PENGARUH PENGERINGAN DAN PEMBASAHAN TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH SULFAT MASAM KALIMANTAN

dan 61,71 cmolc kg-1 lebih tinggi dibandingkan Breemen, N.V. 1976. Genesis and Solution
pembasahan yang disertai pengenceran (W3, Chemistry Of Acid Sulphate Soils in
W4) masing-masing mempunyai kemasaman Thailand. Thesis. Centre Agric. Publ. Duc.
Wageningen. 283 p.
tertukar 54,03 dan 51,95 cmolc kg-1. Pengaruh
pengeringan, pembasahan, dan pengenceran Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A Baseline for
terhadap kemasaman total tertukar atau Al3+ Research and Development. ILRI Publ. No.
tertukar dan H+ tertukar sangat nyata pada 39. Wageningen. 204 p.
tanah reaktivitas kuat. Jansen J.A.M., B.H. Prasetyo, and Alkasuma. 1990.
Acid sulphate soils: field charateristics and
4. Pengeringan setelah pembasahan (W2) dan yang
mapping. Pp. 51-61. In AARD-LAWOO.
disertai dengan pengenceran (W3, W4)
Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in
menurunkan Mg tertukar, khususnya pada tanah the Humid Tropics, 20-22 November, 1990.
reaktivitas kuat (R4), tetapi sebaliknya AARD-LAWOO. Bogor/Jakarta.
meningkat pada tanah reaktivitas lemah (R1).
Maas, A., R. Sutanto, dan T. Purwadi. 2000.
Pengeringan setelah pembasahan (W2) Pengaruh air laut terhadap laju oksidasi pirit
meningkatkan Na tertukar, khususnya pada dan tahanan hara tanah sulfat masam.
tanah reaktivitas lemah (R1), tetapi pembasahan Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2(2):41-
yang disertai pengenceran (W3, W4) 46. Fakultas Pertanian. UGM. Yogyakarta
menurunkan Na tertukar. Mensvoort, M.E.F. and Le Quang Tri 1988.
5. Penghawaan (aerasi) terganggu dalam Morphology and genesis of acid sulphate
pengeringan dengan oven (tertutup) dan tanah soils without jarosit in the Ha Tien Plain,
sangat padat setelah berulang dikocok dan Mekong delta, Vietnam. Pp.11-15. In H.
Dost (Ed.). Selected paper of the Dakar
dikeringkan maka oksidasi tidak terjadi
Symp. on Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. No.
sepenuhnya. Disarankan untuk pengeringan 44 Wageningen.
dilakukan di ruang udara terbuka dan tanah
Mensvoort, M.E.F., R.S. Lantin, R. Brinkman, and
diaduk rata setiap kali pembasahan dan
N.V. Breemen. 1985. Toxicities of wetland
pengeringan.
soils. Pp. 123-138. In IRRI. Wetland Soils:
Characterization, Classification, and
Utilization. Philippines.
PENGHARGAAN
Notohadiprawiro, T. 1985. Selidik Cepat Ciri Tanah
Terima kasih diucapkan atas terlaksananya di Lapangan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm
penelitian ini yang dibiayai dari dana bantuan Proyek 94.
Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif (PAATP)-
Notohadikusumo, T. 2000. Benang merah tulisan-
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. tulisan yang pernah disusun. Dalam Buku
Terima kasih pula, kepada Balai Pengkajian Panduan Seminar Nasional Pengembangan
Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta yang telah Ilmu Tanah Bervisi Lingkungan. Jurusan Ilmu
menyediakan fasilitas dan staf teknis laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.
dalam membantu terlaksananya penelitian di atas. Ponnamperuma, F.N. 1977. Physicochemical
properties of submergen soils in relation to
fertility. IRRI Res. Paper Series No. 5. IRRI.
DAFTAR PUSTAKA Philippines. 32 p.
Bloomfield, C. and J.K. Coulter. 1973. Genesis and Pons, L.J. 1973. Outline of the genesis,
management of acid sulfate soils. In N.C. charactristics, classification and improvement
Brady (Ed.) Adv. Agron 25:265-324. ACAD of acid sulphate soils. Pp 1-27. In Dost (Ed).
Press Inc. Acid Sulphate Soils. I. Introduction Paper and

43
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Bibliography. Proc. Int. Symp. Publ. No. 18 Sri-Nuryani, U., A. Maas, A. Haerani, dan C. Anwar.
Vol. I. ILRI Publ. Wageningen. 2000. Uji Cepat Kualitas Air dan Tanah di
Lahan Rawa. Laporan Hasil Penelitian LP-
Rorison, I.H. 1973. The effect of extreme soil
UGM bekerjasama dengan PAATP-Badan
acidity on the nutrient uptake and physiology
Litbang Pertanian. Hlm 30.
of plant. Pp 223-254. In Dost (Ed). Acid
Sulphate Soils. I. Introduction Paper and Sutrisno. 1990. Genesis, Klasifikasi Tanah Sulfat
Bibliography. Proc. Int. Symp. Publ. No. 18 Masam Delta Pulau Petak, Kalimantan
Vol. I. ILRI Publ. Wageningen. Selatan/Tengah. Tesis. Program Pascasarjana
IPB. Bogor.

44
Kelarutan Fosfat Alam dan SP-36 dalam Gambut yang Diberi Bahan Amelioran Tanah Mineral

Solubility of Rock Phosphate and SP-36 in Peat Soils Amended with Mineral Soil

W. HARTATIK1 DAN K. IDRIS2

ABSTRAK phosphates (Marocco, Christmas, and Ciamis) in peat soils. For


this study a 100 g of oven dried (105oC) peat soil for each
treatment was used for this study. The treatments were eleven
Pemupukan fosfat alam pada gambut mempunyai prospek
levels of P i.e. 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 75, 100, 125, and 150
yang baik karena mudah larut dalam kondisi masam. Namun
ppm P applied to dried peat soils. The treated peat soils were
penelitian penggunaan fosfat alam pada tanah gambut, masih
then incubated for 2 weeks before analyses of soluble P was
sangat terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari
conducted. The molybdat blue method was used to analyze the
kelarutan fosfat alam dan SP-36 dalam gambut yang diberi bahan
samples at 2, 4, 8, and 12 weeks after the incubation. 2) The
amelioran tanah mineral. Penelitian dilaksanakan di laboratorium
second study i.e. the application of some rock phosphates or SP-
Balai Penelitian Tanah Bogor. Penelitian terdiri atas dua kegiatan:
36 on the peat soils amended with mineral soils, four levels of P
1) Kelarutan fosfat alam pada gambut. Bahan tanah gambut
(25, 50, 74, and 100% of P sorption) plus partial and complete
oligotropik dari Air Sugihan, Sumatera Selatan setara 100 g
control treatments have been replicated twice. Two hundred
bobot kering oven 105oC diinkubasi selama 12 minggu dengan
grams of oven dried peat soils (105oC) amended with mineral
fosfat alam dari Maroko, Christmas, dan Ciamis. Perlakuan
soils at 7,5% maximum Fe sorption, incubated for four weeks,
berupa 11 tingkat takaran fosfat alam, yaitu 0, 10, 20, 30, 40,
and then soluble P was analyzed using molybdat blue at 1, 2, 4,
50, 60, 75, 100, 125, dan 150 ppm P. Analisis P larut dengan
6, 8, 10, and 12 weeks after incubation. The results showed that
metode biru molibdat dilaksanakan pada 2, 4, 8 dan 12 minggu
the order of rock phosphates solubility in peat soils was
setelah inkubasi. Kegiatan 2) Pemberian beberapa jenis fosfat
Marocco> Ciamis>Christmas. The solubility of P in peat soils
alam atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran
amended with mineral soil and rock phosphates gave similar
tanah mineral. Takaran P yang dicoba sebanyak 4 taraf (25, 50,
results as rock phosphate was in the order of SP-
75, dan 100% erapan P) ditambah perlakuan kontrol parsial dan
36>Marocco>Ciamis> Christmas. Soluble P increased up to 8
kontrol lengkap, diulang dua kali. Bahan tanah gambut yang
weeks of incubation, and then decreased. The effect of soil
digunakan setara 200 g bobot kering oven 105oC kemudian diberi
mineral ameliorant and some rock phosphates application of
bahan amelioran tanah mineral dengan takaran 7,5% erapan
soluble P at 12 weeks after the incubation around 15.7-34.2 ppm
maksimum Fe, diinkubasi 12 minggu. P larut diukur dengan
P. Rock phosphates that has high reactivity gave a high P
metode biru molibdat pada 1, 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 minggu.
solubility on peat soils so it that can be used as P sources in the
Hasil percobaan menunjukkan bahwa dalam gambut, kelarutan
peat soil.
fosfat alam Maroko lebih tinggi dari fosfat alam Ciamis,
sementara kelarutan yang terendah ditunjukkan oleh fosfat alam
Keywords : Peat, Amelioration, P fertilization, Solubility of P
Christmas. Kelarutan sumber P dalam tanah gambut yang telah
diberi perlakuan bahan amelioran tanah mineral memberikan hasil
yang sejalan dengan kelarutan fosfat alam dalam gambut, yaitu:
SP-36 > fosfat alam Maroko > fosfat alam Ciamis > fosfat PENDAHULUAN
alam Christmas. Kelarutan P meningkat sampai minggu ke-8 dan
selanjutnya menurun. Konsentrasi P larut akibat perlakuan Tanah gambut digolongkan ke dalam tanah
pemberian fosfat alam atau SP-36 pada pengamatan 12 minggu marginal yang dicirikan oleh reaksi tanah yang
setelah inkubasi berkisar 15,7-34,2 ppm P. Fosfat alam yang
mempunyai reaktivitas tinggi memberikan kelarutan yang cukup masam hingga sangat masam, ketersediaan hara
tinggi dalam gambut, sehingga dapat digunakan sebagai sumber P dan kejenuhan basa yang rendah serta kandungan
pada tanah gambut.
asam-asam organik yang tinggi, terutama derivat
Kata kunci : Gambut, Ameliorasi, Pemupukan P, Kelarutan P asam fenolat yang bersifat racun bagi tanaman
(Tadano et al., 1990; Rachim, 1995; Prasetyo,
1996; Salampak, 1999).
ABSTRACT Prospek penggunaan fosfat alam sebagai
sumber P pada tanah gambut diharapkan cukup
Rock phosphates application on peat soil has a good
prospect because of its high solubility in acid condition. However, baik, karena fosfat alam mudah larut dalam kondisi
the study of the solubility of rock phosphate in peat soils is still masam serta dapat melepaskan fosfat secara lambat
limited. This study aimed to quantify the solubility of rock
phosphate and the effects of some sources of rock phosphates
and SP-36 in the peat soils, taken from South Sumatera amended
with mineral soil. The study was conducted in the laboratory of 1. Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Indonesian Soil Research Institute, in Bogor. The study consisted 2. Pengajar pada Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian,
of two activities: 1) study on the solubility of some rock IPB, Bogor.

ISSN 1410 – 7244 45


JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

(slow release), namun informasi penggunaan fosfat bertujuan mempelajari kelarutan beberapa jenis
alam dan kelarutannya pada tanah gambut masih fosfat alam dan SP-36 dalam gambut yang diberi
sangat terbatas. bahan amelioran tanah mineral.
Efektivitas pupuk fosfat alam yang digunakan
dipengaruhi secara langsung oleh sifat fisik dan BAHAN DAN METODE
kimia pupuk, faktor tanah dan lingkungan serta
faktor tanaman (Rajan et al., 1996). Sifat kimia dan Bahan
fisik pupuk yang penting adalah reaktivitas,
Bahan tanah gambut (Terric Sulfihemist) diambil
kelarutan, dan ukuran butir pupuk. Khasawneh dan
dari Desa Sumber Mulyo, Air Sugihan Kiri, Sumatera
Doll (1978) mengemukakan bahwa peningkatan
kelarutan fosfat alam akibat kehalusan butir pupuk Selatan yang merupakan gambut oligotropik dengan
hanya berlaku untuk fosfat alam yang reaktivitasnya tingkat dekomposisi hemik dengan kadar air 450%,
tinggi dan tidak berlaku bagi fosfat alam yang tidak bobot volume berkisar 0,16 sampai 0,21 g cc-1 dan
reaktif. Peningkatan kelarutan fosfat alam sudah ketebalan gambut 100 sampai 120 cm. Bahan tanah
tidak nyata bila ukuran butir < 100 mesh. Ciri-ciri mineral (Typic Hapludox), diambil dari Desa Dwijaya,
tanah yang harus diperhatikan bila menggunakan Kecamatan Tugumulyo, Sumatera Selatan. Fosfat
pupuk fosfat alam, yaitu: kadar air tanah, kemasaman yang digunakan adalah fosfat alam dari Maroko,
tanah, konsentrasi dan status Ca+2 dan P serta Christmas, Ciamis, dan SP-36.
kadar bahan organik tanah.
Untuk penggunaan langsung fosfat alam dari Metode
batuan sedimen kualitasnya lebih baik daripada
fosfat alam dari batuan metamorfosa dan batuan Penelitian ini terdiri atas dua percobaan.
beku (Lehr and McLean, 1972). Kelarutan fosfat Percobaan pertama, dilakukan untuk mempelajari
alam dalam gambut sangat menentukan efektivitas kelarutan beberapa jenis fosfat alam dalam tanah
penggunaan fosfat alam dalam gambut. Efektivitas gambut (tanpa bahan amelioran), dan percobaan
penggunaan fosfat alam sangat ditentukan oleh kedua dilakukan untuk mempelajari penggunaan
reaktivitas kimia, ukuran butir, sifat-sifat tanah, beberapa jenis fosfat alam dan SP-36 pada tanah
waktu dan cara aplikasi, takaran fosfat alam, jenis gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral
tanaman, dan pola tanam (Lehr and McClellan, terhadap P larut.
1972; Chien, 1995; Rajan et al.,1996).
Penambahan bahan amelioran yang Kelarutan beberapa jenis fosfat alam pada tanah
gambut
mengandung besi tinggi perlu dilakukan untuk
meningkatkan ikatan P pada tanah gambut. Kation Percobaan kelarutan beberapa jenis fosfat
besi dari bahan amelioran tanah mineral dapat alam dalam tanah gambut dilakukan dengan
menimbulkan tapak erapan baru pada gambut mencampur bahan tanah gambut dengan fosfat
sehingga ikatan fosfat menjadi lebih kuat dan tidak alam. Bahan tanah gambut yang digunakan setara
mudah lepas. Kation besi berperan sebagai jembatan 100 g bobot kering oven 105oC, sedangkan fosfat
pengikat fosfat pada tapak erapan reaktif bahan alam berasal dari Maroko, Christmas, dan Ciamis.
gambut. Perlakuan terdiri atas 11 tingkat takaran fosfat alam
Berdasarkan sifat fosfat alam yang mudah yaitu 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 75, 100, 125, dan
larut dalam kondisi masam dan lambat tersedia, 150 ppm P. Bahan tanah gambut dan masing-
serta kemampuan kation Fe yang terkandung dalam masing fosfat alam dengan takaran sesuai perlakuan
bahan amelioran tanah mineral dalam menurunkan dicampur/diaduk hingga merata, diinkubasi dua
reaktivitas asam-asam fenolat dan sebagai jembatan minggu dalam keadaan tergenang, dengan tinggi
pengikat fosfat maka dilakukan penelitian ini yang genangan 5 cm dari permukaan tanah. Setelah

46
W. HARTATIK DAN K. IDRIS : KELARUTAN FOSFAT ALAM DAN SP-36 DALAM GAMBUT YANG DIBERI BAHAN AMELIORAN TANAH MINERAL

inkubasi dilakukan pengambilan larutan tanah HASIL DAN PEMBAHASAN


dengan alat injeksi, untuk analisa P larut dengan
metode biru molibdat pada 2, 4, 8, dan 12 minggu.
Ciri kimia tanah gambut

Penggunaan beberapa jenis fosfat alam atau SP-36


Hasil analisis pendahuluan terhadap ciri-ciri
pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah
mineral kimia bahan tanah gambut disajikan pada Tabel 1.
Nilai pH H2O berdasarkan kriteria yang diajukan oleh
Perlakuan terdiri atas empat sumber pupuk P
IPB (1983) tergolong sangat masam. Reaksi tanah
yaitu fosfat alam Maroko, Christmas, Ciamis, dan
gambut berkaitan erat dengan kandungan asam-
SP-36 dengan 4 taraf takaran pupuk P yaitu 25, 50,
asam organiknya (Salampak, 1999). Kadar abu
75, dan 100% erapan P, ditambah perlakuan kontrol-
tanah mineral (kontrol parsial) dan kontrol + tanah 3,6% bahan tanah gambut tergolong rendah dan
mineral (kontrol lengkap), diulang dua kali. Takaran kehilangan pijar 96,4%. Hal ini menunjukkan bahwa
fosfat alam berdasarkan erapan P untuk mencapai P gambut tersebut tergolong gambut murni (true peat)
dalam larutan tanah 0,2 ppm P yaitu sebesar 81,33 karena mempunyai rata-rata kehilangan pijar lebih
ppm P (100% erapan P). Untuk takaran 100% dari 90% (Andriesse, 1974). Kadar abu gambut
erapan P fosfat alam Maroko, Christmas, Ciamis, sangat dipengaruhi oleh bahan mineral di bawahnya,
dan SP-36 masing-masing sebesar 133 mg pot-1 selain itu juga dipengaruhi oleh limpasan pasang air
(280 kg ha-1), 123 mg pot-1 (260 kg ha-1), 108 mg sungai dan laut yang banyak membawa bahan
pot-1 (230 kg ha-1), dan 104 mg pot-1 (217 kg ha-1).
mineral. Menurut kriteria penggolongan tingkat
Bahan tanah gambut setara 200 g bobot kesuburan tanah gambut yang dikemukakan oleh
kering oven 105oC diberi bahan amelioran tanah Polak (1949), kadar hara P, K dan Ca serta kadar
mineral dengan takaran 7,5% erapan maksimum Fe abu gambut tersebut tergolong ke dalam tingkat
yaitu 10,4 g pot-1 atau setara 21,8 t ha-1
kesuburan oligotropik.
(perhitungan ini berdasarkan kandungan Fe total
bahan amelioran 6,1% dan kelarutan Fe sebesar Berdasarkan kriteria IPB (1983) kandungan
13%). Erapan maksimum Fe ditetapkan berdasar nitrogen total (N-total) dan C-organik tergolong
metode Fox dan Kamprath yang dimodifikasi oleh tinggi. Kandungan N total yang tinggi tidak diikuti
Widjaja-Adhi, Silva, dan Fox (1990). Dalam oleh tingginya ketersediaan N bagi tanaman yang
penentuan ini digunakan FeCl3.6H2O sebagai sumber tercermin dari nisbah C/N yang tinggi yaitu 38,5.
Fe. Nilai erapan diperoleh dengan menginkubasi Kandungan fosfor ekstrak Bray I tergolong sedang.
bahan tanah gambut selama 6 hari dengan larutan Gambut dari Air Sugihan Kiri telah lama diusahakan
yang mengandung kation Fe+3, mulai dari konsentrasi sebagai lahan pertanian. Rachim (1995)
terendah hingga tertinggi (0-1.600 ppm). Kelarutan
mengemukakan lamanya pengusahaan dapat
Fe dihitung berdasarkan fraksionasi bentuk-bentuk
meningkatkan P terekstrak dengan Bray I,
Fe (Mathur dan Lavesque, 1983). Bahan tanah
peningkatan ini berkaitan dengan dekomposisi dan
gambut setelah diberi bahan amelioran dan
mineralisasi bahan organik, sehingga unsur P
perlakuan pupuk diinkubasi empat minggu dalam
keadaan tergenang dengan tinggi genangan lima cm menjadi terlepas. Mineralisasi P dipengaruhi oleh
dari permukaan tanah. Setelah inkubasi dilakukan beberapa faktor diantaranya nisbah C-organik dan P.
pengambilan larutan tanah dengan alat injeksi, Pada nisbah 200 : 1 mineralisasi P dapat terjadi,
kemudian diukur P larutan dengan metode biru sedangkan pada nisbah 300 : 1 immobilisasi
molibdat pada 1, 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 minggu. berlangsung (Tisdale et al., 1985).

47
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Tabel 1. Ciri kimia bahan tanah gambut dan bahan amelioran tanah mineral
Table 1. Chemical properties of peat and mineral soil ameliorant material
Ciri tanah Tanah gambut Bahan amelioran tanah mineral
Tekstur
Pasir (%) - 5
Debu (%) - 12
Liat (%) - 83
pH
H2 O 3,8 4,5
KCl 2,9 3,9
Bahan I
C (%) 58,76 0,85
N (%) 1,54 0,09
C/N 38,5 9
P- Bray I (ppm) 18,5 2,88
Kapasitas tukar kation (cmolc kg-1 tanah) 119,66 9,11
Kation dapat dipertukarkan
Ca (cmolc kg-1 tanah) 17,61 0,55
Mg (cmolc kg-1 tanah) 5,38 0,22
K (cmolc kg-1 tanah) 0,22 0,10
Na (cmolc kg-1 tanah) 0,71 0,14
Kejenuhan basa (%) 20 11
KCl 1N
Aldd (cmolc kg-1 tanah) 1,4 4,35
Hdd (cmolc kg-1 tanah) 3,15 0,09
Unsur mikro ekstrak DTPA
Fe (ppm) 726 0,06
Mn (ppm) 9,42 0,10
Cu (ppm) 3,58 0,08
Zn (ppm) 9,20 0,33
Fe-total (%) 0,17 6,1
Fe2O3 ekstrak ditionit sitrat bikarbonat (%) 0,79
Mineral besi dominan goetit
Kadar abu (%) 3,6

Kapasitas tukar kation gambut tergolong yang diekstrak dengan DTPA tergolong rendah.
sangat tinggi. Basa-basa dapat ditukar yaitu Cadd Rendahnya kation polivalen ini berkaitan dengan
dan Mgdd tergolong tinggi, Kdd sangat rendah, dan terbentuknya ikatan yang kuat antara kation
Nadd sedang. Tingginya Cadd dan Mgdd diduga berasal (terutama Cu) dengan senyawa organik dari tanah
dari residu pemberian dolomit pada musim tanam gambut.

sebelumnya, Namun kejenuhan basa tergolong Pemberian bahan amelioran tanah mineral
rendah. Kejenuhan basa mempunyai hubungan yang dapat menurunkan asam-asam fenolat agar tidak
erat dengan kadar abu. Kadar abu dari gambut Air toksik melalui pembentukan senyawa kompleks
logam organik. Selain itu, kation Fe berfungsi
Sugihan Kiri rendah, sehingga kejenuhan basa juga
sebagai jembatan kation bagi P, sehingga P tidak
rendah.
mudah tercuci dalam tanah gambut. Hasil penelitian
Kandungan Aldd yaitu sebesar 1,4 cmolc kg-1 Saragih (1996) menunjukkan bahwa kation Fe
tanah, sedangkan kandungan Fe-total sebesar mempunyai reaktivitas yang sangat tinggi terhadap
0,17%. Secara umum kadar Cu, Zn, Mn, dan Fe yang asam ferulat.

48
W. HARTATIK DAN K. IDRIS : KELARUTAN FOSFAT ALAM DAN SP-36 DALAM GAMBUT YANG DIBERI BAHAN AMELIORAN TANAH MINERAL

Ciri kimia Oxisol Tugumulyo Sumatera Selatan Berdasarkan ciri-ciri kimianya tanah mineral
sebagai bahan amelioran tersebut merupakan tanah marginal dengan
kesuburan rendah. Di sisi lain tanah mineral tersebut
Hasil analisis ciri-ciri kimia bahan amelioran mengandung Fe total 6,1% dan Aldd 4,35 cmolc kg-1
tanah mineral disajikan pada Tabel 1. Bahan tanah yang sangat diperlukan oleh tanah gambut
amelioran tanah mineral berasal dari Tugumulyo sebagai sumber kation untuk meningkatkan retensi P
Sumatera Selatan dalam klasifikasi Taxonomi tanah melalui pembentukan senyawa kompleks kation
termasuk sub group Typic Hapludox, sangat halus, logam organik.
kaolinitik, isohipertemik. Tanah mineral ini bertekstur
liat. Berdasarkan analisis mineral liat dengan XRD Ciri kimia fosfat alam yang digunakan
menunjukkan mineral liat dominan adalah kaolinit
dengan sedikit vermikulit. Hasil analisis fosfat alam disajikan pada Tabel
2. Kadar P2O5 total pupuk fosfat alam Maroko lebih
Berdasarkan kriteria Pusat Penelitian Tanah
rendah dari Christmas dan Ciamis. Sedangkan untuk
(1998) reaksi tanah tergolong masam. Kadar C-
kadar P2O5 dengan pengekstrak asam sitrat 2%
organik dan N-total sangat rendah dengan nisbah fosfat alam Ciamis paling tinggi diikuti Maroko dan
C/N rendah. Fosfor ekstrak HCl, maupun ekstrak terendah Christmas. Fosfat alam Ciamis mempunyai
Bray I tergolong sangat rendah. Demikian juga kadar P2O5 total paling tinggi dan kadar P2O5 dengan
Kalium ekstrak HCl tergolong sangat rendah. Basa- pengekstrak asam sitrat 2% dua kali lebih tinggi dari
basa dapat ditukar (Ca, Mg, K dan Na) tergolong fosfat alam Maroko dan Christmas (Tabel 2).
sangat rendah sampai rendah. Kapasitas tukar Penggunaan pengekstrak asam lemah seperti
kation tergolong rendah. Kejenuhan basa tergolong asam sitrat 2% dapat digunakan sebagai indikator P
sangat rendah. Secara umum ketersediaan unsur tersedia bagi tanaman. Nilai yang dihasilkan dari
mikro (Fe, Cu, Mn, dan Zn) tergolong rendah. metode ekstraksi tersebut mempunyai korelasi yang

Tabel 2. Ciri kimia beberapa jenis fosfat alam yang digunakan dalam penelitian
Table 2. Chemical properties of some rock phosphates used in the experiment
Hasil analisis
No. Ciri kimia Satuan
Maroko Christmas Ciamis
1. Kadar unsur hara fosfor sebagai P2O5
Total (asam mineral) % b/b 28,04 30,22 34,38
Larut dalam asam sitrat 2% % b/b 14,32 12,00 28,24
2. Kadar Ca setara CaO % b/b 46,70 26,15 45,65
3. Kadar Mg setara MgO % b/b 1,20 0,47 0,13
4. Kadar seskuioksida (R2O3)
Al2O3 % b/b 0,29 14,77 1,43
Fe2O3 % b/b 0,15 6,30 0,39
5. Kadar air % b/b 1,09 1,65 2,88
5. Kehalusan lolos 80 mesh tyler % b/b 60 80 80
6. Kandungan logam
Mangan (Mn) ppm 5 619 1680
Seng (Zn) ppm 651 414 4746
Tembaga (Cu) ppm 28 76 558
7. Cemaran logam berat
Cadmium (Cd) ppm 59 25 12
Chrom (Cr) ppm 375 322 22
Timbal (Pb) ppm tu tu tu
Keterangan : Semua analisis atas dasar bahan kering
tu = tidak terukur

49
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

tinggi dengan tanggap tanaman (efektivitas Kadar Mn, Cu, dan Zn fosfat alam Ciamis lebih
agronomi relatif) (Sediyarso, 1999). Persen tinggi dari fosfat alam Christmas dan Maroko.
kelarutan P2O5 dalam asam sitrat 2% terhadap P2O5 Sediyarso (1999) dan Rachim (1995) melaporkan
total untuk fosfat alam Maroko, Christmas, dan bahwa fosfat alam dari Indonesia mempunyai kadar
Ciamis berturut-turut sebesar 51, 40 dan 82%. Cu dan Zn lebih tinggi. Adanya kadar Mn, Cu, dan
Kelarutan P2O5 dalam asam sitrat 2% terhadap P2O5 Zn yang lebih tinggi pada fosfat alam Ciamis
total, fosfat alam Ciamis lebih tinggi dari Maroko menguntungkan untuk memenuhi kebutuhan unsur
dan yang terendah Christmas. mikro tanaman dan dapat berfungsi sebagai kation
Fosfat alam Maroko merupakan deposit fosfat polivalen dalam pembentukan senyawa kompleks
batuan sedimen (marine phosphorite deposite) yang untuk menurunkan derivat asam-asam fenolat.
terjadi pada lingkungan yang kaya Ca (McClellan, Berdasarkan syarat mutu pupuk fosfat alam (SNI 02-
1978), dengan kandungan seskuioksida rendah, 3776-2005), fosfat alam Maroko, Ciamis, dan
sedangkan fosfat alam Ciamis merupakan deposit Christmas tergolong fosfat alam mutu (kualitas) A.
guano dengan kandungan seskuioksida sedikit lebih Cemaran logam berat Cd dan Cr fosfat alam
tinggi. Kadar Ca setara CaO fosfat alam Maroko dan Christmas dan Maroko lebih tinggi dari fosfat alam
Ciamis cukup tinggi sehingga secara kimia Ciamis. Alloway (1990) mengemukakan bahwa
dikelompokkan karbonat kalsium-fosfat (francolit). kandungan Cd dalam fosfat alam dijumpai dalam
Fosfat alam Christmas merupakan batuan kisaran 1,94-113 mg kg-1 pupuk dan secara umum
terfosfatisasi dari guano yang dalam pembentukannya bahan baku batuan fosfat untuk pupuk P
terjadi akumulasi Al dan Fe fosfat (Chien and Van mengandung Cd < 500 mg kg-1. Menurut batasan
Kauwenberg, 1992), dengan kandungan Uni Eropa (1994) dalam Laegreid et al. (1999)
seskuioksida tinggi Fe2O3 6,3% dan Al2O3 14,77%, kandungan Cd dalam fosfat alam yang digunakan
dan kadar Ca setara CaO sebesar 26,15%. Fosfat secara langsung tidak boleh lebih dari 90 mg Cd kg-1
alam Christmas walaupun mengandung Fe dan Al P2O5 atau 210 mg Cd kg-1 P. Berdasarkan batasan di
tinggi, namun kadar kalsium cukup tinggi sehingga atas maka cemaran logam Cd dalam fosfat alam
secara kimia dikelompokkan karbonat kalsium- yang digunakan masih di bawah ambang batas yang
(Al,Fe)-fosfat. Kandungan seskuioksida yang lebih diperbolehkan. Sedangkan cemaran logam Cr dan Pb
tinggi pada fosfat alam Christmas diharapkan rendah. Laegreid et al. (1999) mengemukakan
memberikan kontribusi dalam pengikatan P dalam bahwa rataan Cr dalam batuan fosfat yaitu 770 mg
gambut. kg-1 P.
Kandungan Ca yang tinggi pada fosfat alam ini
sangat bermanfaat untuk meningkatkan kejenuhan Kelarutan beberapa jenis fosfat alam dalam gambut
basa dan menambah hara Ca untuk tanaman. Fosfat
alam Maroko memberikan kadar Mg yang lebih Secara umum keragaan P larutan fosfat alam
tinggi dari fosfat alam Ciamis dan Christmas. Maroko, Ciamis dan Christmas dalam gambut
Kehalusan lolos 80 mesh tyler fosfat alam Christmas menurun pada pengamatan 4 minggu, kemudian
dan Ciamis yaitu 80%, sedangkan Maroko 60%. meningkat kembali pada 8 minggu, selanjutnya pada
Ukuran butir fosfat alam Ciamis dan Christmas pengamatan 12 minggu terjadi penurunan kembali
cukup halus, sedangkan fosfat alam Maroko sedikit (Gambar 1).
lebih kasar. Peningkatan kelarutan fosfat alam akibat Pola P larutan yang menurun pada 4 minggu
kehalusan butir pupuk hanya berlaku untuk fosfat berkaitan erat dengan pH tanah yang meningkat,
alam yang reaktivitasnya tinggi (Khasawneh and peningkatan pH ini menyebabkan semakin meningkat
Doll, 1978). erapan gambut terhadap fosfat melalui jembatan

50
W. HARTATIK DAN K. IDRIS : KELARUTAN FOSFAT ALAM DAN SP-36 DALAM GAMBUT YANG DIBERI BAHAN AMELIORAN TANAH MINERAL

Maroko
16 0 ppm P

14 20 ppm P

(ppmP)P)
12 40 ppm P
10
larut (ppm
60 ppm P
PPlarutan 8 100 ppm P
6
125 ppm P
4
2
0
2 4 8 12
Waktu inkubasi (minggu)

Christmas
Chrismas 0 ppm P
12
20 ppm P
10
40 ppm P
(ppmP)P)

8 60 ppm P
P larut (ppm

6 100 ppm P
P larutan

125 ppm P
4

0
2 4 8 12
W aktu inkubasi (minggu)

Ciamis 0 ppm P
12
20 ppm P
10
40 ppm P
P)
(ppmP)

8 60 ppm P
larut (ppm

6 100 ppm P
larutan

125 ppm P
4
PP

0
2 4 8 12
Waktu inkubasi (minggu)

Gambar 1. Pola kelarutan fosfat alam Maroko, Christmas, dan Ciamis


dalam gambut
Figure 1. Trend of solubility rock phoaphates Marocco, Christmas, and
Ciamis on peat soil

kation besi. Sedangkan keragaan P larutan fosfat sampai takaran 50 ppm P terjadi penurunan dan
alam Ciamis meningkat sampai takaran 60 ppm P, penambahan takaran selanjutnya meningkatkan P
penambahan takaran selanjutnya menurunkan P larutan. Secara umum pada pengamatan 8 minggu
larutan dan sebaliknya pada pengamatan 8 minggu terjadi peningkatan kembali P larutan, hal ini diduga

51
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

berkaitan erat dengan sifat lambat tersedia dari dari fosfat alam Maroko. Fenomena ini perlu dikaji
fosfat alam, selain itu kelarutan fosfat alam lebih lanjut untuk mendapatkan sampai sejauh mana
dipengaruhi oleh suplai H+ untuk melemahkan ikatan hubungan kelarutan fosfat alam dalam asam sitrat
kimia kristal fosfat alam. Pada tanah gambut sumber dan dalam gambut. Walaupun ukuran butir fosfat
H+ berasal dari disosiasi asam-asam organik, dimana alam Maroko lebih kasar ternyata lebih larut
derajat ionisasi asam-asam organik rendah (Tan, dibandingkan dengan fosfat alam Ciamis dan
1993). Christmas, hal ini karena fosfat alam Maroko
Pada pengamatan 12 minggu terjadi mempunyai reaktivitas kimia yang lebih tinggi dari
penurunan P larutan untuk semua takaran P. Hal ini fosfat alam Ciamis dan Christmas, sehingga
diduga adanya pengikatan oleh kation Ca dan Mg peningkatan kelarutan fosfat alam akibat kehalusan
dalam bahan tanah gambut yang cukup tinggi. butir pupuk tidak terlihat.
Kation Ca dan Mg sebagai jembatan kation antara Proses pelarutan fosfat alam di dalam tanah
tapak reaktif gambut dengan P. Secara umum dapat digambarkan dengan reaksi :
konsentrasi P larutan dalam gambut fosfat alam
Maroko paling tinggi, kemudian diikuti dengan fosfat Ca10-a-hNaaMgb(PO4)6-xF2+0.4x +12 H+ Æ 10 Ca2++
alam Ciamis dan Christmas. (6-x)H2PO4- + xCO2 + (2+0.4x)F +xH2O

Kelarutan fosfat alam dalam gambut Reaksi di atas menunjukkan bahwa


menunjukkan bahwa fosfat alam Maroko +
ketersediaan H (proton) dan penurunan kadar hasil
memberikan kelarutan yang lebih tinggi kemudian reaksi berupa Ca+2 serta H2PO4- sangat diperlukan
diikuti fosfat alam Ciamis dan Christmas (Tabel 3 agar proses pelarutan fosfat alam dapat berjalan
dan 4). Hal ini ditunjukkan dari konsentrasi P larutan optimal. Chien (1979) menyatakan bahwa dalam
dalam tanah gambut fosfat alam Maroko paling proses kimia di atas, H+ berperan untuk
tinggi, kemudian diikuti fosfat alam Ciamis dan melemahkan ikatan kimia pada permukaan kristal
Christmas. Fosfat alam Maroko merupakan karbonat fracolit, oleh karena itu fosfat alam mempunyai
fluorapatit (francolit) dari batuan sedimen yang kelarutan yang tinggi hanya dalam tanah bereaksi
mempunyai substitusi CO3-2 yang lebih tinggi dari masam.
fosfat alam Ciamis dan Christmas (Muljadi,1997).
Kelarutan fosfat alam meningkat dengan
-2
meningkatnya substitusi CO3 untuk PO4 dalam -3 Pengaruh pemberian bahan amelioran tanah mineral
dan beberapa jenis fosfat alam/SP-36
struktur francolit. Besarnya CO3-2 yang
-3
terhadap kelarutan P
mensubstitusi PO4 berpengaruh besar terhadap
reaktivitas atau kelarutan francolit. Makin besar Perlakuan pemberian bahan amelioran tanah
substitusi PO4-3 oleh CO3-2 makin tinggi reaktivitas mineral memberikan fosfat larut yang lebih rendah
pupuk fosfat alam. Pengaruh tersebut karena dibandingkan tanpa pemberian bahan amelioran. Hal
terjadinya perpendekan sumbu a dari mineral ini karena penggunaan bahan amelioran tanah
hexagonal francolit (Lehr and McClean, 1972). mineral yang mengandung kation polivalen seperti
Fosfat alam Maroko mempunyai panjang sumbu a Fe, Al dan Cu mampu meningkatkan erapan P pada
sebesar 9,342 Ao dan Christmas sebesar 9,389 Ao tanah gambut melalui pembentukan senyawa
(International Fertilizer Development Center,1975; kompleks kation logam-organik, sehingga dapat
Chien and Van Kauwenberg, 1992). mengurangi pencucian fosfat. Salampak (1999)
Walaupun ciri kimia kelarutan fosfat alam melaporkan bahwa pemberian bahan amelioran
Ciamis dalam asam sitrat lebih tinggi, namun tanah mineral mengurangi pencucian fosfat, kadar P
kelarutan dalam tanah gambut ternyata lebih rendah dalam kolom tanah terakumulasi pada lapisan atas.

52
W. HARTATIK DAN K. IDRIS : KELARUTAN FOSFAT ALAM DAN SP-36 DALAM GAMBUT YANG DIBERI BAHAN AMELIORAN TANAH MINERAL

Tabel 3. Konsentrasi P larutan beberapa jenis fosfat alam dalam gambut


Table 3. Consentration of P soluble some rock phosphate on peat soil
Konsentrasi P larutan
Maroko Christmas Ciamis
Takaran P
Waktu pengamatan (minggu)
2 4 8 12 2 4 8 12 2 4 8 12
…………………….………………………………………. ppm ………………………………………….………………….
0 0,85 1,20 1,57 0,47 1,10 0,30 0,93 0,63 0,69 0,94 1,31 0,63
10 2,28 1,72 3,14 0,93 1,21 0,34 0,21 0,79 0,77 1,72 2,58 0,43
20 3,29 1,89 3,22 1,13 1,10 0,39 1,14 0,88 0,95 2,53 1,25 1,06
30 3,78 2,66 3,25 1,40 3,43 0,77 0,37 0,90 1,08 4,03 1,51 0,99
40 4,70 2,75 3,70 1,62 3,40 1,16 2,00 1,31 1,25 3,51 1,63 1,33
50 4,77 3,35 4,82 1,78 3,63 1,29 4,00 1,56 2,02 4,12 1,85 1,40
60 5,37 4,08 3,33 1,78 3,63 1,63 2,43 1,71 2,36 3,63 6,09 1,47
75 6,69 5,33 2,22 1,78 3,31 1,68 5,18 1,60 3,53 3,31 6,34 1,76
100 11,37 5,50 10,54 1,80 3,40 1,93 2,04 1,94 4,00 3,40 7,12 1,62
125 13,07 5,63 10,37 1,87 3,43 2,24 2,90 2,03 5,16 3,43 8,11 1,92
150 15,38 6,15 8,66 2,12 2,73 2,41 2,34 2,48 5,89 2,73 10,08 2,05

Tabel 4. Persentase kelarutan fosfat alam dalam gambut


Table 4. Solubility percentage of rock phosphates on peat soil
Persentase kelarutan fosfat alam
Maroko Christmas Ciamis
Takaran P
Waktu pengamatan (minggu)
2 4 8 12 2 4 8 12 2 4 8 12
ppm …………………………………………………………. % ………………………………………………………….
10 14,33 5,16 15,70 4,51 1,09 0,43 -7,66 1,58 0,86 7,83 12,71 -2,03
20 12,20 3,44 8,235 3,27 0,00 0,43 0,84 1,24 1,29 7,95 -0,28 2,14
30 9,77 4,73 5,61 3,08 7,76 1,58 -1,99 0,90 1,29 10,30 0,69 1,20
40 9,63 3,87 5,33 2,88 5,76 2,15 2,57 1,69 1,40 6,44 0,79 1,75
50 7,83 4,30 6,51 2,62 5,06 1,98 6,06 1,85 2,67 6,36 1,08 1,53
60 7,54 4,80 2,93 2,18 4,22 2,22 2,43 1,80 2,79 4,48 7,98 1,39
75 7,79 5,50 0,87 1,74 2,96 1,83 5,61 1,29 3,78 3,16 6,70 1,50
100 10,52 4,30 8,97 1,33 2,31 1,63 1,07 1,31 3,31 2,46 5,81 0,99
125 9,78 3,54 7,04 1,12 1,86 1,55 1,54 1,12 3,58 1,99 5,44 1,03
150 9,69 3,30 4,72 1,10 1,09 1,40 0,91 1,23 3,47 1,19 5,85 0,95
Rataan 9,91 4,29 6,59 2,38 3,21 1,52 1,14 1,40 2,44 5,22 4,68 1,05

Pemberian bahan amelioran menyebabkan kadar P meningkat dengan bertambahnya waktu pengamatan
dalam kolom tanah terakumulasi pada lapisan atas, delapan minggu, kemudian menurun pada
dan P dalam air cucian menurun (Hartatik, 2004). pengamatan 10 minggu, selanjutnya meningkat
kembali pada pengamatan 12 minggu (Gambar 2).
Keragaan fosfat larut yang diberi perlakuan
bahan amelioran tanah mineral dan fosfat alam Kelarutan fosfat alam dalam gambut dengan
Maroko, Christmas, Ciamis, dan SP-36 sejalan pemberian bahan amelioran tanah mineral terjadi
dengan keragaan kelarutan fosfat alam tanpa bahan peningkatan kelarutan P sampai 8 minggu, hal ini
amelioran tanah mineral. Pada awal pengamatan diduga berkaitan erat dengan sifat lambat tersedia
terjadi pelarutan fosfat secara bertahap. Fosfat larut dari fosfat alam, selain itu kelarutan fosfat alam

53
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

kontrol tanpa TM 35
35
30 kontrol + TM 30 kontrol tanpa TM
P larutan (ppm P)

kontrol + TM

P larutan (ppm P)
25 Maroko 25% P 25
Christmas 25% P
20 Maroko 50% P 20
Christmas 50% P
15 Maroko 75% P 15
Christmas 75% P
10 Maroko 100% P 10 Christmas 100% P
5 5
0 0
1 2 4 6 8 10 12 1 2 4 6 8 10 12
Waktu (minggu) Waktu (minggu)

50
35 45
40 kontrol tanpa TM
30

P) P)
P larutan (ppm P)

kontrol tanpa TM kontrol tanpa TM


35 kontrol + TM

(ppm
25 kontrol + TM kontrol + TM

P-larut (ppm
30 SP-36 25% P
20 Ciamis 25% P SP-36 25% P
25

P larutan
Ciamis 50% P SP-36 50% P
15 20 SP-36 50% P
Ciamis 75% P SP-36 75% P
15 SP-36 75% P
10 SP-36 100% P
Ciamis 100% P 10 SP-36 100% P
5 5
0 0
1 2 4 6 8 10 12 1 2 4 6 8 10 12
Waktu (minggu) Waktu (minggu)
Waktu (minggu)

Gambar 2. Pola P larutan akibat pemberian bahan amelioran tanah mineral (TM) dan fosfat alam Maroko,
Christmas, Ciamis, dan SP-36, setelah inkubasi empat minggu pada tanah gambut
Figure 2. Trend of P soluble treated by ameliorant material mineral soil and Marocco, Christmas, Ciamis rock
phosphate, and SP-36, after four weeks incubation on peat soil

dipengaruhi oleh suplai H+. Sedangkan penurunan Konsentrasi fosfat larut paling tinggi pada
kelarutan P berkaitan erat dengan pH tanah yang perlakuan pemberian bahan amelioran dan SP-36,
meningkat, peningkatan pH ini menyebabkan kemudian fosfat alam Maroko, Ciamis dan terendah
semakin meningkat erapan gambut terhadap fosfat Christmas. Konsentrasi fosfat larut berkaitan erat
melalui jembatan kation besi. Pola kelarutan fosfat dengan kelarutan fosfat alam/SP-36. Pupuk SP-36
alam ini berimplikasi terhadap ketersediaan P dan merupakan sumber P yang mudah larut, selanjutnya
diikuti fosfat alam Maroko, Ciamis, dan Christmas.
pemanfaatan oleh tanaman.
Fosfat alam Christmas memberikan fosfat larut yang
Pola kelarutan fosfat alam ini agak berbeda lebih rendah, hal ini sejalan dengan kelarutan P2O5
dengan pola kelarutan fosfat alam North Carolina dalam asam sitrat 2% yang paling rendah dari
pada tanah mineral, kelarutan P meningkat sampai Ciamis dan Maroko, serta fosfat alam Christmas
pengamatan satu minggu, dengan bertambahnya kurang reaktif yang ditunjukkan adanya substitusi
waktu peningkatannya semakin rendah (Kanabo and CO3-2 untuk PO4-3 yang lebih rendah dan sumbu a
Gilkes, 1988). Purnomo (2002) melaporkan bahwa yang lebih panjang (Chien and Van Kauwenberg,
kelarutan fosfat alam Ciamis pada Typic Hapludox 1992).
Sitiung menunjukkan kelarutan yang cepat pada Peningkatan takaran fosfat alam Maroko,
awal inkubasi sampai satu minggu mencapai 90%. Ciamis, Christmas, dan SP-36 sampai 100% erapan

54
W. HARTATIK DAN K. IDRIS : KELARUTAN FOSFAT ALAM DAN SP-36 DALAM GAMBUT YANG DIBERI BAHAN AMELIORAN TANAH MINERAL

maksimum P meningkatkan fosfat larut. Peningkatan International Fertilizer Development Center.


fosfat larut ini berkaitan erat dengan peningkatan Muscle Shoals, Alabama U.S.A.
takaran fosfat dari 25 sampai 100% erapan Chien, S.H and S.J. Van Kauwenberg. 1992.
maksimum P. Peningkatan takaran fosfat Chemical and mineralogical characteristic of
menyebabkan jumlah fosfat yang terlarut lebih phosphate rocks for direct application. Pp 3-
banyak. 31. In First National Seminar on phosphate
Rock in Agriculture. Serie Carilance No. 29,
Institude de Investigaciones Agropecuarios,
Temueo, Chile.
KESIMPULAN
Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djunawati, dan
1. Kelarutan fosfat alam dalam gambut J.S. Adiningsih. 2004. Peningkatan ikatan P
menunjukkan bahwa fosfat alam Maroko lebih dalam kolom tanah gambut yang diberi
tinggi dari Ciamis dan kelarutan terendah bahan amelioran tanah mineral dan beberapa
Christmas. jenis fosfat alam. Jurnal Tanah dan
Lingkungan 6(1):22-30.
2. Kelarutan pupuk P dalam tanah gambut yang
International Fertilizer Development Center. 1975.
diberi perlakuan bahan amelioran tanah mineral
Fertilizer Manual. IFDC, Muscle Shoals,
memberikan hasil yang sejalan dengan kelarutan Alabama, USA.
fosfat alam tanpa bahan amelioran dalam
Institut Pertanian Bogor. 1983. Kriteria Penilaian
gambut yaitu SP-36 > fosfat alam Maroko >
Kandungan Unsur dan Kemasaman Tanah
Ciamis > Christmas. Daerah Pasang Surut. IPB. Bogor.
3. Umumnya P larut meningkat sampai pengamatan
Kanabo, I. and R.J. Gilkes. 1988. The effect of
delapan minggu, selanjutnya terjadi penurunan particle size of North Carolina phosphate
kembali. Konsentrasi P larutan akibat perlakuan rock on its dissolution in soil and on levels of
pemberian fosfat alam atau SP-36 pada bicarbonate-soluble phosphorus. Fert. Res
pengamatan 12 minggu setelah inkubasi berkisar 15:137-145.
15,7-34,2 ppm P. Khasawneh, F.E. and E.C. Doll. 1978. The use of
4. Fosfat alam yang mempunyai reaktivitas tinggi rock phosphate for direct application to
soils. Adv. In Agron. 30:59-206.
memberikan kelarutan yang cukup tinggi
sehingga dapat digunakan sebagai sumber P Laegreid, M., O.C. Bockman, and O. Kaarstad. 1999.
pada tanah gambut. Agriculture, Fertilizers and the Environment.
CABI Publishing, Norsk Hydro ASA.
Lehr, J.R. and G.H. McClellan. 1972. A revised
DAFTAR PUSTAKA laboratory reactivity scale for evaluating
phosphate rock for direct application. Bull.
Alloway, B.J. 1990. Heavy Metals in Soil. Blackie 4-43. TVA. Alabama. U.S.A.
Academic and Professional. London.
Mathur, S.P. and M.P. Lavesque. 1983. The effect
Andriesse, J.P. 1974. Tropical peats in South East of using copper for mitigating Histosol
Asia. Dept. of Agric. Res of the Royal Trop. subsidence on: 2. The distribution of Cu,
Inst. Comm. 63. Amsterdam. 63p. Mn, Zn and Fe in an organik soil, mineral
Chien, S.H. 1979. Dissolution of phosphate rocks in sublayers and their mixtures in the context
solutions and soils. In Seminar on Phosphate of setting a treshold of phytotocix soil
Rock for Direct Application. International copper. J. Soil Sci. 135(3):166-176.
Fertilizer Development Center. Muscle
McClellan, G.H. 1978. Mineralogy and reactivity of
Shoals, Alabama U.S.A.
phosphate rock. Seminar on Phosphate Rock
__________. 1995. Seminar on the Use of Reactive for Direct Application. Haifa, Israel, March
Phosphate Rock for Direct Application. 20-23:57-81.

55
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Muljadi, D. 1997. Sifat khusus pupuk P alam Rajan, S.S.S., J.H. Watkinson, and A.G. Sinclair.
bermutu untuk aplikasi langsung pada tanah 1996. Phosphate rock for direct application
masam di daerah Tropika. Lokakarya to soils. Adv. In Agron. 57:77-159.
Penggunaan Pupuk Fosfat Alam Berkualitas Salampak, 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah
Tinggi untuk Mendorong Peningkatan Gambut yang Disawahkan dengan
Produksi Tanaman Pangan dan Perkebunan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral
pada Tanah Masam. Banjarmasin, 19 Berkadar Besi Tinggi. Disertasi. Program
September 1997. Pascasarjana, IPB Bogor.
Polak, B. 1949. The Rawa Lakbok (South Priangan, Saragih, E.S. 1996. Pengendalian Asam-asam
Java). Investigation into the composition of Organik Meracun dengan Penambahan Fe
an eutrophic topogenous Bog. Cont. Gen. (III) pada Tanah Gambut Jambi, Sumatera.
Agr. Res. Sta. No. 8, Bogor, Indonesia. Thesis. Program Pascasarjana, Institut
Purnomo, J. 2002. Pengaruh Fosfat Alam dan Pertanian Bogor.
Bahan Organik terhadap Kelarutan Pupuk, Sediyarso, M. 1999. Fosfat Alam sebagai Bahan
Ciri Kimia Tanah, dan Efisiensi Pemupukan P Baku dan Pupuk Fosfat. Pusat Penelitian
pada Typic Hapludox Sitiung Sumatera Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Barat. Tesis Program Pasca Sarjana. Institut
Tadano, T., K.B. Ambak, K. Yonebayashi, T. Hara,
Pertanian Bogor.
P. Vijarnsorn, C. Nilnond, and S. Kawaguchi.
Pusat Penelitian Tanah. 1998. Kriteria Penilaian 1990. Nutritional factors limiting crop
Angka-Angka Hasil Analisis. Pusat Penelitian growth in tropical peat soils. In Soil
Tanah, Bogor. Constraints on Sustainable Plant Production
in the Tropics. Proc. 24th Inter. Symp.
Prasetyo, T.B. 1996. Perilaku Asam-asam Organik Tropical Agric. Res. Kyoto.
Meracun pada Tanah Gambut yang Diberi
Garam Na dan Beberapa Unsur Mikro dalam Tan. 1993. Principles of Soil Chemistry. Marcel
Kaitannya dengan Hasil Padi. Disertasi. Dekker, Inc. New York. 362p.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Tisdale, S.L., W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985.
Bogor. Soil Fertility and Fertilizers. 4Th ed. The
Rachim, A. 1995. Penggunaan Kation-kation Macmillan Publ. Co. New York. 694p.
Polivalen dalam Kaitannya dengan Widjaja-Adhi, I P.G., J.A. Silva, and R.L. Fox. 1990.
Ketersediaan Fosfat untuk Meningkatkan Assesment of external P requirement of
Produksi Jagung pada Tanah Gambut. maize on Paleudults and Eutrustox.
Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 9:
Pertanian Bogor. 14-20.

56
Karakteristik dan Teknik Rehabilitasi Lahan Pasca Penambangan Timah
di Pulau Bangka dan Singkep

Post-mining Land Characteristics and Rehabilitation Technique in Bangka and Singkep Islands

SANTUN R.P. SITORUS1, E. KUSUMASTUTI2, DAN L. NURBAITI BADRI3

ABSTRAK ABSTRACT

Lahan pasca penambangan umumnya mempunyai sifat Post-mining land has generally unfavourable
fisik dan kimia yang kurang baik sebagai media tumbuh untuk characteristics for a growing media for crops. The objectives of
tanaman. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mempelajari the present study were: (1) to study natural changing of soil
karakteristik dan perubahan alami sifat fisik dan kimia tanah serta physical and chemical properties and natural vegetation of four
vegetasi alami pada empat tingkat umur tailing setelah different ages of tailing, (2) to study rehabilitation technique of
penambangan; (2) mempelajari teknik rehabilitasi lahan pasca post mining tailing for forest crops, and (3) to study effects of
tambang timah untuk tanaman kehutanan, (3) mempelajari ameliorant on soil physical and chemical properties, and heavy
pengaruh pemberian amelioran terhadap sifat fisik, kimia, dan metal content on four different ages of tailing. Analysis of tailing
kadar logam berat tanah pada empat tingkat umur tailing setelah characteristics, in situ natural vegetation analysis and two sets of
penambangan. Analisis sifat tailing dan vegetasi alami di lapangan green house experiments had been done. The two greenhouse
dilakukan pada empat tingkat umur tailing (1, 6, 16, 25 tahun) experiments comprise: (1) tailing from Sungai Liat Bangka with
serta dua percobaan Rumah Kaca dilaksanakan yaitu (1) tailing two factors, those are three level applications of organic matter
dari Sungai Liat Bangka, dengan pemberian amelioran bahan and mineral soil with teak as an indicator plant and (2) tailing
organik dan bahan tanah mineral dengan tanaman jati (Tectona from Dabo Singkep with treatments: tailing + compost 9:1,
grandis), dan (2) tailing dari Dabo Singkep, dengan rekayasa tailing + animal manure 9:1 and tailing as control, CMA
media tanam berupa tailing + kompos 9:1, tailing + pupuk inoculant and forest trees akasia (Acacia auriculiformis), gamal
kandang 9:1 dan tailing sebagai kontrol, pemberian inokulan (Gliricidia maculata), lamtoro (Leucaena leucocephala) and sengon
Cendawan Mikoriza arsbuskula (CMA) dengan tanaman or jeungjing (Paraserianthes falcataria). The result showed that:
kehutanan akasia (Acacia auriculiformis), gamal (Gliricidia generally, tin mining reduce soil quality and number of natural
maculata), lamtoro (Leucaena leucocephala), dan sengon atau vegetation. The soil characteristics and number of vegetation are
jeungjing (Paraserianthes falcataria). Hasil penelitian menunjukkan generally increase (getting better) with time. The first greenhouse
penambangan timah secara umum menurunkan kualitas tanah experiment showed that the best response of teak plant was
dan jumlah jenis vegetasi alami. Tailing pasca penambangan under combination of organic mater and soil mineral whereas
timah di Sungai Liat Bangka mempunyai sifat fisik dan kimia ameliorant proportion factor is not significantly different. The
tanah yang buruk, dan cenderung membaik seiring dengan second greenhouse experiment showed that the treatments were
bertambah lamanya waktu setelah penambangan. Jumlah jenis significantly influencing canopy diameter, leaf number, root
vegetasi alami meningkat dengan bertambahnya umur tailing length and tree trunk circle, respectively. The best rehabillitation
setelah penambangan. Hasil penelitian rumah kaca pertama technique was combination of animal manure, mycorrhizal
menunjukkan tanggap tanaman jati terbaik pada jenis amelioran inoculants treatments and lamtoro (L. leucocephala). Soil
campuran bahan organik-tanah mineral sedangkan faktor proporsi characteristics and heavy metal contents were significantly
amelioran yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang nyata influenced by ameliorant and tailing ages. Soil chemical properties
pada ketiga taraf. Kadar dan serapan logam berat tanaman jati were significantly influenced by tailing age, types and proportions
dipengaruhi oleh jenis dan proporsi amelioran. Hasil penelitian of ameliorant. The Fe, Mn, Cu, Pb, and Sn of soil were
rumah kaca kedua menunjukkan perlakuan yang diberikan significantly influenced by tailing ages and the highest was on
berpengaruh nyata terhadap diameter tajuk, lebar daun, panjang the six years tailing.
akar dan lingkar batang tanaman. Teknik rehabilitasi terbaik
adalah kombinasi antara pemberian pupuk kandang, inokulan Keywords : Tin post-mining land, Characteristic, Rehabilitation,
mikoriza dan tanaman lamtoro (L. leucocephala). Sifat tanah dan Ameliorant, Forest vegetation, CMA inoculant
kadar logam berat tanah dipengaruhi secara nyata oleh pemberian
amelioran dan tingkat umur tailing. Kadar pasir dan liat
dipengaruhi secara nyata oleh tingkat umur tailing. Sifat kimia
tanah dipengaruhi secara nyata oleh umur tailing, jenis dan 1 Guru Besar Fakultas Pertanian dan Sekolah Pascasarjana,
proporsi amelioran. Kadar Fe, Mn, Cu, Pb, dan Sn tanah nyata Institut Pertanian Bogor, Bogor.
dipengaruhi oleh umur tailing dengan kadar tertinggi pada tailing
umur 6 tahun. 2 Staf pada Direktorat Teknologi Pengembangan Sumberdaya
Mineral, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT),
Kata kunci : Lahan pasca tambang timah, Karakteristik, Jakarta.
Rehabilitasi, Amelioran, Tanaman kehutanan, 3 Staf pada Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup, Pemda
Inokulan cendawan Mikoriza arsbuskula Kota Depok.

ISSN 1410 – 7244 57


JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

PENDAHULUAN alam, pupuk kandang, abu bakaran dan inokulasi


mikoriza (PT. Tambang Timah, 1991; Tala’ohu et
Kegiatan pertambangan timah pada umumnya al., 1998; Sitorus, 2007).
menggunakan lahan yang luas, memanfaatkan
Tujuan penelitian adalah: (1) mempelajari
sumberdaya tak terbarukan, menghasilkan banyak
karakteristik dan perbedaan alami sifat fisik dan
limbah dan menciptakan lahan terdegradasi sehingga
kimia tanah serta vegetasi alami pada empat tingkat
lahan menjadi tidak produktif (Barrow, 1991;
umur tailing setelah penambangan; (2) mempelajari
Sitorus, 2002). Penambangan timah di Sungai Liat
teknik rehabilitasi lahan pasca tambang timah untuk
Bangka dan Dabo Singkep umumnya dilakukan
tanaman kehutanan, (3) mempelajari pengaruh
secara terbuka (open mining) dengan cara tambang
pemberian amelioran terhadap sifat fisik, kimia dan
semprot serta penggalian dan pemindahan lapisan
kadar logam berat tanah pada empat tingkat umur
atas tanah dengan menggunakan alat-alat berat.
tailing setelah penambangan.
Kegiatan ini berdampak buruk terhadap kualitas
lingkungan, mempengaruhi sifat fisik dan kimia
tanah, menurunkan kesuburan tanah, meningkatkan BAHAN DAN METODE
erosi, merubah iklim mikro, mencemari perairan
dengan adanya logam berat dan tanah menjadi
Tempat dan waktu
terdegradasi dalam jangka panjang (PT. Tambang
Timah, 1991; Ripley et al., 1996; Latifah, 2000). Penelitian dilakukan di empat lokasi pasca
Rehabilitasi lahan diperlukan untuk memperbaiki penambangan timah di Sungai Liat Kabupaten
lingkungan lahan pasca penambangan dengan Bangka Induk Provinsi Bangka Belitung dan tailing
penghijauan/regreening dengan tanaman non dari Bukit Setajam, Kecamatan Dabo Singkep
konsumtif terutama bila terdapat logam berat yang Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau.
relatif tinggi dan berbahaya untuk kesehatan Penelitian dilakukan dari bulan Juni 2002
manusia. Pemilihan tanaman diutamakan jenis yang hingga September 2003. Analisis tanah dilakukan di
mampu tumbuh dalam kondisi buruk dan cepat Laboratorium Tanah Departemen Ilmu Tanah dan
tumbuh (Tala’ohu et al., 1998). Sumberdaya Lahan, IPB, Balai Besar Litbang
Sifat fisik dan kimia tanah pada lahan pasca Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor dan Balai Besar
penambangan umumnya kurang baik, sehingga Hasil Industri Pertanian (Balai Besar Agro,
dalam rehabilitasi perlu upaya mengatasi kendala Deperindag), Bogor. Analisis Mikoriza dilakukan di
tersebut (PT. Tambang Timah, 1991). Kendala fisik Laboratorium Bioteknologi Kehutanan dan Lingkungan
misalnya struktur tanah rusak, tekstur kasar Pusat Riset IPB. Identifikasi nama botani vegetasi
(dominan pasir), peka terhadap erosi, dan alami dilakukan di Laboratorium “Herbarium
kemampuan memegang air rendah. Kendala kimia Bogoriense”, LIPI Bogor. Penanaman dilakukan di
misalnya rendahnya pH dan kapasitas tukar kation, Rumah Kaca Departemen Ilmu Tanah dan
kejenuhan aluminium (Al), kadar besi (Fe) dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut
mangan (Mn) yang tinggi, miskin unsur hara dan Pertanian Bogor (Percobaan I) dan Rumah Kaca Balai
bahan organik serta adanya kandungan logam berat Pengembangan dan Penelitian Hutan dan Konservasi
yang relatif tinggi (Tim Pusat Penelitian Tanah, Alam, Bogor (Percobaan II).
1987; Amriwansyah, 1990). Sifat-sifat ini pada
umumnya membaik dengan meningkatnya umur
Bahan penelitian
tailing setelah penambangan (Saptaningrum, 2001).
Perbaikan sifat fisik dan kimia dapat dilakukan Penelitian menggunakan tailing penambangan
dengan penambahan amelioran tanah seperti bahan timah dari dua lokasi, yaitu (1) Sungai Liat,
organik, bahan tanah mineral, kapur atau fosfat Kabupaten Bangka Induk dari empat tingkat umur

58
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP

setelah penambangan yaitu 1, 6, 16, dan 25 tahun umur tailing yaitu 1, 6, 16, dan 25 tahun setelah
(T1, T6, T16, dan T25) dari lokasi Wilayah penambangan (T1, T6, T16, dan T25) (Tabel 1).
Pengawasan Produksi I PT. Timah (Wasprod I) Masing-masing diulang sebanyak dua ulangan. T0
Sungai Liat, dan (2) Bukit Setajam, Kecamatan Dabo merupakan kontrol tanah asli yang belum mengalami
Singkep, Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau penambangan dan B0 adalah kontrol kelompok umur
dengan umur tailing 13 tahun setelah penambangan. tanpa pemberian amelioran. Dengan demikian
Bahan organik berupa kotoran ayam berasal dari terdapat 3 x 3 x 4 x 2 ulangan = 72 unit
peternakan ayam petelur di Rumpin, Bogor; bahan percobaan, ditambah 1 x 2 ulangan tanah asli = 2,
tanah mineral dari Desa Pemali, Sungai Liat, Bangka; dan 4 umur tailing x 2 ulangan = 8 sebagai kontrol.
fosfat alam dari Cileungsi, Bogor sebagai pupuk Jumlah keseluruhan unit percobaan adalah 82.
dasar; bibit jati (kultur jaringan) dengan nama Media tumbuh (tanah, tailing, dan campurannya)
komersial Jati Emas dari BIOTROP Bogor; Inokulum dimasukkan kedalam kantong polibag setara dengan
Mikoriza dan bibit akasia, gamal, lamtoro, sengon 5 kg berat kering mutlak (BKM). Tanaman indikator
dari Laboratorium Bioteknologi Kehutanan dan adalah bibit jati (Tectona grandis) hasil kultur
Lingkungan, Pusat Riset IPB; fungisida dan jaringan.
insektisida, contoh tanah komposit, dan jaringan
tanaman untuk analisis laboratorium. Tabel 1. Perlakuan pada percobaan rumah kaca I
Table 1. Treatment for greenhouse experiment I
Kode perlakuan Kode perlakuan
Metode penelitian
A1 = Amelioran bahan organik B1 = Perbandingan
/kotoran ayam saja amelioran:tailing = 1:4
Metode yang digunakan adalah Metode
A2 = Amelioran tanah mineral B2 = Perbandingan
Analisis Vegetasi, yaitu menghitung jumlah jenis saja amelioran:tailing = 2:3
vegetasi alami yang ada pada tiap lokasi A3 = Amelioran bahan organik B3 = Perbandingan
pengambilan tailing dan tanah asli. Pada setiap + tanah mineral amelioran:tailing = 3:2
T1 = Tailing umur ± 1 tahun T0 = Tanah asli sebagai
lokasi dilakukan sampling dengan membuat petakan setelah penambangan kontrol
berukuran 1 x 1 m2 sepanjang jalur 10 meter. T6 = Tailing umur ± 6 tahun B0 = Perbandingan
Pengulangan sebanyak lima kali untuk tiap lokasi. setelah penambangan amelioran:tailing = 0:5
T16 = Tailing umur ± 16 tahun (sebagai kontrol umur
Vegetasi yang tidak diketahui namanya diambil tailing)
setelah penambangan
sampel untuk diidentifikasi di Laboatorium “Herbarium T25 = Tailing umur > 25 tahun
Bogoriense”. Selanjutnya dilakukan tabulasi dan setelah penambangan
penghitungan jumlah jenis vegetasi alami.
Tailing untuk media tumbuh disiapkan dengan
Teknik rehabilitasi dilakukan dengan percobaan rumah mencampur kotoran ayam dan bahan tanah mineral
kaca
sesuai perlakuan, kemudian ditambahkan pupuk
Percobaan rumah kaca I
dasar fosfat alam dan diinkubasi 14 hari selama bibit
jati diaklimatisasi. Bibit jati diaklimatisasi pada waktu
Percobaan rumah kaca I menggunakan tailing ± 1 bulan sebelum penanaman di polibag.
dari Sungai Liat Bangka menggunakan Rancangan Campuran amelioran (kotoran ayam, tanah mineral)
Acak Kelompok dengan dua faktor. Faktor pertama dan tailing diberikan pada tiap polibag dengan
adalah jenis amelioran: bahan organik/kotoran ayam, takaran sesuai perlakuan, dengan cara mencampur
tanah mineral dan campurannya (A) dengan tiga hingga merata kemudian dimasukkan ke polibag
takaran (A1, A2, A3), dan faktor kedua adalah seberat setara 5 kg BKM sesuai perlakuan. Ukuran
perbandingan/proporsi amelioran dan tailing dengan polibag yang digunakan adalah 40 x 40 cm
tiga takaran (B1, B2, B3). Sebagai kelompok adalah berjumlah 82 buah.

59
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Tanaman indikator adalah satu tanaman jati (cm), dan berat kering total (g). Pengukuran dimulai
emas per polibag yang dipindahkan setelah berumur pada saat tanaman berumur dua minggu setelah
± 30 hari setelah aklimatisasi. Pemeliharaan tanam (MST) dan dilakukan secara berkala setiap
tanaman meliputi: penyulaman, penyiraman, dua minggu selama tiga bulan, kecuali pengukuran
pemupukan, penyiangan gulma, penyemprotan tinggi tanaman dimulai pada 0 MST.
dengan insektisida dan fungisida. Analisis data dilakukan dengan Analisis Sidik
Parameter sifat tanah yang dianalisis adalah Ragam (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh
tekstur tanah (kadar pasir, debu dan liat), C-Organik, perlakuan dilanjutkan dengan Uji Nilai Tengah
kapasitas tukar kation (KTK), kation dapat ditukar Duncan terhadap perlakuan yang mempunyai
(Ca, Mg, K, Na), pH tanah, dan logam berat Fe, Mn, pengaruh nyata.
Cu, Pb, dan Sn. Pengamatan terhadap tanaman
setiap dua minggu, meliputi tinggi tanaman dan
HASIL DAN PEMBAHASAN
diameter batang. Analisis jaringan tanaman
menggunakan seluruh tanaman (tajuk dan akar)
secara komposit untuk tiap perlakuan, untuk melihat Karakteristik dan perbedaan vegetasi alami dan sifat
tanah pada empat tingkat umur tailing
kadar dan serapan logam berat Fe, Mn, Cu, Pb, dan
Sn tanaman. Proses penambangan menurunkan jumlah jenis
Analisis data dengan menggunakan Analisis vegetasi alami di lokasi penambangan dibandingkan
Sidik Ragam (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh dengan jumlah jenis vegetasi alami pada tanah asli
perlakuan dilanjutkan dengan Uji Nilai Tengah (17 jenis). Semakin lama umur tailing, jumlah jenis
Duncan terhadap perlakuan yang mempunyai vegetasi alami semakin meningkat hingga mencapai
pengaruh nyata. 76,47% dari vegetasi tanah asli pada tailing umur
25 tahun. Nama dan jumlah vegetasi alami pada tiap
Percobaan rumah kaca II lokasi pengambilan sampel tailing tertera pada
Lampiran 1.
Percobaan rumah kaca II menggunakan tanah/
tailing pasca tambang dari Dabo Singkep dengan Karakteristik sifat fisik, kimia, dan kadar logam
umur 13 tahun. Adapun perlakuan yang diberikan berat tanah serta vegetasi alami pada empat tingkat
adalah : (1) tiga jenis media tanam (tailing sebagai umur tailing dan tanah asli disajikan pada Tabel 2
kontrol, tailing dengan pupuk kompos 9:1, dan dan Lampiran 1.
tailing dengan pupuk kandang 9:1); (2) Tanah asli/T0 mempunyai tekstur liat dengan
menggunakan inokulan mikoriza CMA dan tidak kadar pasir 21%, debu 28%, dan liat 71%,
menggunakan inokulan mikoriza CMA; (3) empat sedangkan tailing timah pada semua tingkat umur
jenis tanaman kehutanan yaitu akasia (Acacia mempunyai tekstur pasir dengan kadar pasir diatas
auriculiformis), gamal (Gliricidia maculata), lamtoro 90%. Kadar pasir tertinggi dijumpai pada tailing T1
(Leucaena leucocephala), dan sengon atau jeungjing dan terendah pada T6. Kadar pasir pada semua
(Paraserianthes falcataria). tingkat umur tailing sangat tinggi tetapi tidak
Rancangan percobaan yang digunakan adalah menunjukkan pola perubahan tertentu. Berbeda
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Percobaan dengan kadar pasir, kadar debu dan kadar liat tailing
dilakukan dengan menggunakan lima ulangan, sangat rendah dibandingkan tanah asli. Hasil ini
sehingga terdapat 3 x 2 x 4 x 5 = 120 unit sejalan dengan penelitian PT. Tambang Timah (1991)
percobaan. Parameter pertumbuhan tanaman yang yang menunjukkan bahwa tailing hingga berumur
diukur adalah: tinggi tanaman (cm), diameter tajuk lebih dari 40 tahun sifat fisiknya masih belum dapat
(cm), jumlah daun, panjang akar (cm), lingkar batang menyamai tanah asli. Tekstur tanah tidak berubah

60
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP

Tabel 2. Karakteristik sifat fisik, kimia, dan kadar logam berat tanah serta vegetasi alami pada empat tingkat
umur tailing, tanah asli, dan kotoran ayam
Table 2. Chemical and physical characteristics, heavy metal content, and natural vegetation of the four
different ages of tailing, original soils, and poultry manure
Kelompok Tingkat umur tailing *
Parameter T0 T1 T6 T16 T25 Kotoran ayam
a. Vegetasi alami
Jumlah jenis ** 17 0 9 10 13
b. Sifat fisik
Kadar pasir (%) 21 96 92 93 94
Kadar debu (%) 8 0 2 1 2
Kadar liat (%) 71 4 6 6 4
Kelas tekstur Liat Pasir Pasir Pasir Pasir
c. Sifat kimia
pH 4,4 3,6 4,2 4,6 4,7
KTK (me 100g-1) 5,61 0,23 0,19 0,19 0,19
Total Basa-basa (me 100g-1) 0,86 0,47 0,49 0,43 0,46
Kadar N total (%) 0,13 0,02 0,02 0,02 0,01 1,01
Kadar C- Organik (%) 1,79 0,17 0,16 0,26 0,10 30,22
P tersedia (Bray I) (ppm) 1,4 2,8 3,4 3,9 2,3
K tersedia (Morgan)(ppm) 24,2 4,9 19,1 9,6 19,5
Cadd NH4-Ac (me 100g-1) 0,42 0,25 0,10 0,25 0,20
Mgdd NH4-Ac (me 100g-1) 0,20 0,14 0,16 0,16 0,16
Kdd NH4-Ac (me 100g-1) 0,05 0,01 0,04 0,02 0,04
Nadd NH4-Ac (me 100g-1) 0,19 0,07 0,19 0,00 0,06
P2O5 total (%) 4,51
Ca total (%) 3,22
Mg total (%) 0,48
Kadar logam berat …………………………………………… ppm ……………………………………………
Besi (Fe) 46.191 3.040 159 650 2960
Mangan (Mn) 83,3 15,8 2,7 4,8 34,8
Tembaga (Cu) 19,9 1,9 0,6 1,2 4,2
Timbal (Pb) 23,78 6,29 2,77 2,19 4,95
Timah putih (Sn) 0,25 0,25 0,52 0,22 0,32
Keterangan :
* T0 = Tanah asli/belum ditambang
T1 = Tailing umur 1 tahun setelah penambangan
T6 = Tailing umur 6 tahun setelah penambangan
T16 = Tailing umur 16 tahun setelah penambangan
T25 = Tailing umur 25 tahun setelah penambangan
** Data jumlah jenis vegetasi alami didapat dari pengamatan di lapangan (lihat Lampiran 1)

dengan waktu karena sifatnya yang sulit berubah mengalami peningkatan dan pH tailing umur 25
secara alami. Selain itu, tanah di Sungai Liat Bangka tahun (T25) lebih tinggi dari tanah asli. Tailing umur
umumnya terbentuk dari hasil pelapukan granit yang 1 dan 6 tahun mempunyai pH sangat masam,
menghasilkan tanah bertekstur kasar (PT. Tambang kemudian mengalami peningkatan hingga nilai pH
Timah, 1991). Penambangan timah membuat tanah menjadi masam (4,7) hingga umur tailing 25 tahun.
menjadi hamparan tailing bertekstur kasar dari tanah Dari Tabel 2 terlihat bahwa KTK tanah asli
asli bertekstur halus. termasuk rendah yaitu sebesar 5,61 dan menurun
pH tailing pada T1 mengalami penurunan pada seluruh tingkat umur setelah penambangan.
dibandingkan tanah asli, tetapi dengan waktu, Secara keseluruhan tailing mempunyai nilai KTK

61
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

yang sangat rendah (kurang dari 5,0 me 100g-1) terutama pada perlakuan jenis amelioran campuran
yaitu berkisar dari 0,19 hingga 0,23 me 100g-1. bahan organik-tanah mineral (A3) dan amelioran
Tailing umur 6 hingga 25 tahun KTK-nya lebih bahan organik saja (A1), sedangkan pada perlakuan
rendah dari tailing umur 1 tahun. jenis amelioran tanah mineral saja (A2) tailing T25
Kapasitas tukar kation yang sangat rendah ini dan T16 yang mempunyai pengaruh terbaik
sejalan dengan berbagai hasil penelitian yang telah terhadap tinggi tanaman.
dilakukan pada tanah Bangka (Tim PPT, 1987; Semua kelompok umur setelah penambangan
Amriwansyah, 1990; Saptaningrum, 2001) karena cenderung memiliki pola yang sama yaitu pada
KTK dari awalnya (tanah asli) memang sangat perlakuan jenis amelioran campuran bahan organik-
rendah (0,43-0,86 me 100g-1). KTK menurun tanah mineral (A3) mempunyai nilai rataan tertinggi
setelah penambangan hingga tailing berumur 25 (27,56 cm) diikuti bahan organik (A1) dengan rataan
tahun. Dengan demikian KTK relatif sulit untuk 18,98 cm dan terendah pada jenis amelioran tanah
kembali ke keadaan seperti semula. Bahkan setelah mineral (A2) setinggi 12,31 cm. Nilai tengah jenis
lebih dari 40 tahun, KTK hanya mencapai nilai rata- amelioran campuran bahan organik-tanah mineral
rata 3,9 me 100g-1 dari keadaan KTK tanah awal
(A3) lebih tinggi dan berbeda secara nyata pada
6,9 hingga 11,3 me 100g-1 (PT. Tambang Timah,
taraf 1% dengan jenis amelioran yang lain. Apabila
1991).
dilihat dari pengaruh faktor jenis ameliorannya saja,
Kadar C-organik tanah asli tergolong rendah, pengaruh terbaik pada tinggi tanaman terdapat pada
tetapi tertinggi dibandingkan dengan tailing pada perlakuan A3 untuk semua tingkat umur disusul A1
semua tingkat umur. Rendahnya kadar C-organik dan terendah pada A2. Jenis amelioran A3
tailing diduga karena proses penambangan merupakan amelioran campuran yang mempunyai
menyebabkan terkikis dan tercucinya bahan organik pengaruh lebih baik terhadap tanah, sifat fisik dan
serta kehilangan kandungan liat dan bahan kimia. Adanya tanah mineral akan meningkatkan
penyemen lain yang berfungsi sebagai pengikat kadar liat pada tailing, sedangkan bahan organik
bahan organik dengan butir-butir tanah lainnya. menyumbangkan unsur hara yang dapat
Kadar logam berat tailing mengalami penurunan memperbaiki sifat kimia tailing dan sebagai bahan
setelah penambangan dan secara berangsur-angsur
pengikat partikel dan agregat mikro yang
meningkat dengan lamanya umur tailing.
memperbaiki struktur tanah sehingga pertumbuhan
tanaman menjadi lebih baik. Hasil pengujian
Percobaan rumah kaca I
berpasangan jenis amelioran terhadap nilai tengah
tinggi tanaman dengan uji Duncan disajikan pada
Tanggap tanaman jati (Tectona grandis) terhadap
pemberian jenis dan proporsi amelioran Gambar 2.
Hasil pengujian nilai tengah menunjukkan
Tinggi tanaman dan diameter batang jati umur 14 MST
bahwa tinggi tanaman pada 14 MST, ketiga jenis
Pengaruh pemberian jenis amelioran (bahan amelioran saling berbeda nyata dengan nilai tengah
organik saja, tanah mineral saja serta campuran terendah pada A2 kemudian A1 dan tertinggi pada
bahan organik dan tanah mineral) dan proporsi A3, sedangkan pada perlakuan proporsi amelioran
tailing :amelioran (1:4, 2:3 dan 3:2) diamati pada ketiga taraf tidak berbeda nyata. Nilai rataan
parameter pertumbuhan tanaman jati yaitu tinggi tertinggi dijumpai pada proporsi amelioran:tailing =
tanaman dan diameter batang pada pengamatan 14 2:3 (B2) sebesar 19,88 cm, diikuti dengan proporsi
MST (Gambar 1). Tailing pada tingkat umur 6 tahun 1:4 (B1) sebesar 19,14 cm dan terendah pada
(T6) mempunyai tinggi tanaman yang tertinggi proporsi 3:2 (B3) sebesar 18,55 cm.

62
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP

39
36

Tinggi tanaman jati 14 MST(cm)


33
30
27
24 T0

21 T1
18 T6
15 T16
12
T25
9
6
3
0

A1B1

A1B2

A1B3

A2B1

A2B2

A2B3

A3B1

A3B2

A3B3
Kontrol
Perlakuan
a. Seluruh perlakuan

Pengaruh proporsi amelioran terhadap tinggi tanaman 14 MST


Pengaruh jenis amelioran terhadap tinggi tanaman 14 MST
30

35
25
30

Tinggi tanaman (cm)


Tinggi tanaman (cm)

25 20 T1
T1
20 T6 T6
15
15 T16 T16
10 T25 10 T25
5 5
0
Kontrol A1 A2 A3 0
Proporsi
Jenis amelioran B1 B2 B3
amelioran

b. Jenis amelioran c. Proporsi amelioran

Gambar 1. Pengaruh pemberian jenis amelioran dan proporsi amelioran terhadap


tinggi tanaman 14 MST pada empat tingkat umur tailing dan tanah asli
Figure 1. Influence of type and proportion of ameliorant on 14 weeks after planting
crop height at the four ages of tailing and original soils

TM Taraf pada proporsi amelioran tidak secara


C nyata meningkatkan rataan tinggi tanaman karena
BO TM terbukti tinggi tanaman pada B3 dengan tiga bagian
amelioran mempunyai nilai paling kecil. Untuk
Keterangan : parameter tinggi tanaman terbaik adalah proporsi
BO = Bahan organik (A1)
TM = Tanah mineral (A2) tailing:amelioran dengan perbandingan dua bagian
CO = Campuran BO-TM (A3) amelioran dengan tiga bagian tailing, meskipun
secara statistik perbedaannya tidak nyata.
Gambar 2. Hasil pengujian berpasangan jenis
amelioran untuk tinggi tanaman 14 MST Gambar 3 menyajikan rataan diameter
Figure 2. Pair test result of ameliorant types for tanaman pada pengamatan 14 MST. Pola yang sama
crop height 14 weeks after planting cenderung terjadi untuk semua tingkat umur setelah

63
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

11
10

Diameter batang 14 MST (mm)


9
8
7
6
T0
5
T1
4
T6
3 T16
2 T25
1
0

A1B1

A1B2

A1B3

A2B1

A2B2

A2B3

A3B1

A3B2

A3B3
Kontrol Perlakuan

a. Seluruh perlakuan

Pengaruh jenis amelioran terhadap Pengaruh proporsi amelioran terhadap


diameter batang 14 MST diameter batang 14 MST
8
10
9 7
8 6
Diameter (mm)
7 T1 T1
Diameter (mm)

6 T6 5
T6
5 T16 4
T16
4 T25 3
3 T25
2 2
1 1
0
Jenis 0
Kontrol A1 A2 A3 B1 B2 B3 Proporsi
amelioran amelioran
b. Jenis amelioran c. Proporsi amelioran

Gambar 3. Pengaruh pemberian jenis amelioran dan proporsi amelioran terhadap


diameter batang tanaman umur 14 MST pada empat tingkat umur
tailing dan kontrol tanah asli
Figure 3. Influence of types and proportion of ameliorant for trunk diameter 14
weeks after planting at four ages of tailing and original soil

penambangan yaitu pada perlakuan jenis amelioran 14 MST, ketiga jenis amelioran ini saling berbeda
campuran bahan organik-tanah mineral (A3) nyata dengan nilai tengah terendah pada A2 (tanah
mempunyai nilai rataan diameter batang tertinggi mineral) kemudian A1 (bahan organik) dan tertinggi
(8,76 mm) diikuti bahan organik (A1) dengan rataan pada A3 (amelioran campuran bahan organik-tanah
6,91 mm dan terendah pada jenis amelioran tanah mineral).
mineral (A2) sebesar 3,33 mm. Diameter batang Pada perlakuan proporsi amelioran, ketiga
jenis amelioran campuran bahan organik-tanah faktor/taraf tidak berbeda nyata dengan nilai rataan
mineral (A3) lebih tinggi dan berbeda sangat nyata diameter tertinggi pada proporsi amelioran:tailing =
(dengan taraf kepercayaan 1%) dengan jenis 2:3 (B3) sebesar 6,45 mm, diikuti dengan proporsi
1:4 (B1) sebesar 6,11 mm, dan terendah pada
amelioran yang lain.
proporsi 2:3 (B2) sebesar 5,82 mm. Taraf pada
Hasil pengujian berpasangan jenis amelioran proporsi tidak secara nyata meningkatkan rataan
terhadap nilai tengah diameter tanaman dengan uji diameter tanaman meskipun diameter tanaman pada
Duncan menunjukkan bahwa diameter tanaman pada B3 bernilai paling besar.

64
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP

Kadar Fe, Mn, Cu, Pb, dan Sn tanaman jati seperti pada T1 maka semua perlakuan A1 berada
diatas standar normal, sedangkan T16 mempunyai
Kadar Fe, Mn, Cu, Pb, dan Sn tanaman jati
selang kadar Mn tanaman berkisar dari 35,00
pada empat tingkat umur tailing dengan perlakuan
(A2B3) hingga 332,50 ppm (A1B3), dan hanya
jenis dan proporsi amelioran tertera pada Gambar 4.
A1B2 dan A1B3 yang melebihi batas normal. Pada
Besi merupakan unsur hara mikro esensial bagi
tanaman. Selang kecukupan pada tanaman adalah tailing T25 didapatkan kadar Mn tanaman berkisar
50-500 ppm (mg kg-1) berat kering tanaman (Pais antara 38,75 (A2B2) hingga 332,50 ppm (A1B1)
and Jones, 1997). Hasil pengukuran kadar Fe dengan A1B1 dan A1B2 saja yang melebihi batas
tanaman jati berkisar antara 60-3387,50 ppm. Nilai normal. Secara keseluruhan terdapat kesamaan
ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar Fe bahwa pada semua tingkat umur tailing yang
tanaman pada tanah asli sebesar 6046,61 ppm mempunyai kadar Mn tanaman tertinggi pada
(Gambar 4). tanaman jati adalah perlakuan jenis amelioran A1
Tailing umur 1 tahun setelah penambangan (bahan organik saja) seperti terlihat pada Gambar 4.
(T1) mempunyai kadar Fe tanaman berkisar dari 140
ppm (A1B1) hingga 2.123,33 ppm. Apabila Tabel 3. Kadar logam berat yang dapat ditoleransi
dibandingkan dengan kadar pada tanaman referensi pada tanaman referensi (reference plant)*
menurut Markert (1994a) dalam Pais dan Jones Table 3. Heavy metal content tolerable for
(1997) seperti tertera pada Tabel 2, maka hanya reference plant
perlakuan A1B1 yang berada dibawah standar. Pada
No. Unsur mg kg-1
T6 kadar Fe tanaman berkisar antara 167,50 (A3B3)
1. Besi (Fe) 150
hingga 775,00 ppm (A2B2), sehingga semua 2. Mangan (Mn) 200
perlakuan pada T6 mempunyai kadar Fe tanaman 3. Tembaga (Cu) 10
lebih tinggi dari standar. Tailing T16 mempunyai 4. Timbal (Pb) 1,0
5. Timah Putih (Sn) 0,2
kadar Fe tanaman berkisar dari 102,50 (A2B2)
* Sumber : Markert (1994a) dalam Pais dan Jones (1997)
hingga 910,00 ppm (A1B3). Pada kelompok umur
ini hanya tanaman dengan perlakuan A2B2 dan
A3B3 yang mempunyai kadar Fe berada di bawah Seperti halnya Fe dan Mn maka Cu juga
kadar yang dapat ditoleransi pada tanaman termasuk unsur hara mikro esensial bagi tanaman.
referensi. Pada T25 kadar Fe tanaman berkisar dari Cu diperlukan tanaman hanya dalam jumlah yang
170,00 (A2B2) hingga 1051,25 ppm (A3B3), sedikit dan akan bersifat meracuni jika kadar Cu
sehingga semua berada di atas standar normal. dalam tanaman melebihi 20-30 mg kg-1 (Pais and
Unsur Mn merupakan unsur hara mikro Jones, 1997). Hasil analisis jaringan tanaman jati
esensial untuk tanaman. Kadar kecukupannya untuk menunjukkan kadar Cu tanaman berkisar antara
tanaman sangat bervariasi, antara 10 - 500 mg kg-1 2,50 - 192,50 ppm dan kadar Cu tanaman pada
berat kering (Pais dan Jones, 1997). Kadar Mn pada tanah asli sebesar 77,50 ppm (melebihi kadar
tanaman referensi adalah 200 mg kg-1 (Tabel 3).
normal). Rataan kadar Cu tanaman untuk semua
Kadar Mn tanaman untuk seluruh perlakuan berkisar
tingkat umur tailing disajikan pada Gambar 4 dengan
antara 22,50 - 552,50 ppm, dengan kadar Mn
kadar tertinggi 147,86 ppm (A3B2 pada T6). Untuk
tanaman pada tanah asli sebesar 307,50 ppm. Pada
semua tingkat umur tailing, nilai Cu tanaman
T1 kadar Mn terendah 50,00 (A3B1) dan tertinggi
347,50 ppm (A1B3), hanya pada seluruh perlakuan melebihi standar normal sebesar 10 ppm (Tabel 2)
A1 yang kadar Mn tanaman melebihi kadar terlihat dari kadar Cu tanaman pada T1 (33,75 -
normal.Kadar Mn tanaman pada tailing T6 berkisar 57,50 ppm), T6 (23,75 - 147,50 ppm), T16 (21,25
dari 66,25 (A3B1) hingga 406,25 ppm (A1B3), - 73,75 ppm) dan pada T25 (13,75 - 72,50 ppm).

65
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

ppm Kadar Fe jaringan tanaman jati ppm Kadar Mn jaringan tanaman jati
6.500 450
6.000
5.500 400
5.000 350
4.500
300
4.000
3.500 250
3.000 200
2.500
2.000 150
1.500 100
1.000
500 50
0 0

Kontrol
Kontrol

A1B1

A1B2

A1B3

A2B1

A2B2

A2B3

A3B1

A3B2

A3B3
A1B1

A1B2

A1B3

A2B1

A2B2

A2B3

A3B1

A3B2

A3B3
Perlakuan Perlakuan

ppm Kadar Cu jaringan tanaman jati ppm Kadar Pb jaringan tanaman jati
160 20
140 18
16
120
14
100 12
80 10
60 8
6
40
4
20 2
0 0
Kontrol

A1B1

A1B2

A1B3

A2B1

A2B2

A2B3

A3B1

A3B2

A3B3

Kontrol

A1B1

A1B2
A1B3

A2B1

A2B2

A2B3
A3B1

A3B2
A3B3
Perlakuan Perlakuan

ppm Kadar Sn jaringan tanaman jati Keterangan :


120 T0 = Tanah asli
110
T1 = Tailing 1 tahun
100
90 T6 = Tailing 6 tahun
80 T16 = Tailing 16 tahun
70
60 T25 = Tailing 25 tahun
50
40
30
20
10
0
Kontrol

A1B1

A1B2

A1B3

A2B1

A2B2

A2B3

A3B1

A3B2

A3B3

Perlakuan

Gambar 4. Kadar logam berat Fe, Mn, Cu, Pb, dan Sn tanaman jati pada empat
tingkat umur tailing dengan perlakuan jenis dan proporsi amelioran
serta pada tanah asli (T0)
Figure 4. Heavy metals contents of jati crop at four ages of tailing with type and
ameliorant portion treatments and original soil

66
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP

Timbal (Pb) merupakan unsur logam berat T1 adalah 18,88 ppm (A1B1) hingga 113,63 ppm
yang tidak esensial bagi tanaman dan hewan. Pb (A2B3), pada tailing T6 berkisar antara 0,0 - 47,38
dikenal sebagai logam berat yang toksik dan ppm (A1B1), tailing T16 (0,0 - 94,63 ppm pada
merupakan polutan utama yang diintroduksi ke A3B3) serta tailing T25 antara 0,0 hingga 28,38
atmosfer dari penggunaan bahan bakar minyak/ ppm (A2B2) seperti disajikan pada Gambar 4.
bensin. Kadar normal bagi tanaman menurut Markert Apabila dibandingkan dengan standar pada Tabel 3
(1994a) dalam Pais dan Jones (1997) hanyalah maka pada T1 semua kadar Sn dalam tanaman
sebesar 1,0 ppm. Hasil percobaan menunjukkan melebihi standar normal tanaman referensi.
kadar Pb tanaman berkisar antara 0,0 - 27,75 ppm. Sebagian besar kadar Sn pada T6 melebihi batas
Kadar Pb tanaman pada tanah asli adalah 17,75 normal, kecuali perlakuan A1B2 dan A3B1 yang
ppm. Hanya terdapat sebelas (11) perlakuan yang bernilai nol. Pada T16, semua perlakuan A1, A2B1
kadar Pb tanamannya dapat terukur. Kadar Pb dan A2B2 serta A3B3 melebihi batas normal. Tailing
tanaman tertinggi pada tailing T1 yaitu A2B2 (11,50 T25 mempunyai 4 perlakuan yang melebihi batas
ppm), T6 pada A2B3 (13,88 ppm), T16 pada A2B2 kadar Sn yang normal yaitu A1B2, A2B1, A2B2,
(13,74 ppm), dan pada T25 yaitu perlakuan A3B3 dan A3B2.
(12,75 ppm). Secara keseluruhan terlihat bahwa
perlakuan A2 (jenis amelioran tanah mineral) Pengaruh jenis amelioran dan proporsi amelioran
menunjukkan kadar Pb tanaman tertinggi. Hal ini terhadap sifat fisik tanah setelah panen
karena tanah mineral yang digunakan adalah sama
Jenis amelioran hanya berpengaruh nyata pada
dengan tanah asli dengan kadar Pb tanaman cukup
kadar pasir dan debu (Tabel 4).
tinggi (17,75 ppm). Kadar Pb 30 mg l-1 pada larutan
tanah akan bersifat beracun/toksik bagi tanaman,
Tabel 4. Hasil analisis sidik ragam sifat fisik tanah
kadar 10 mg l-1 pertumbuhan tanaman akan setelah panen
melambat dan 100 mg l-1 menjadi mematikan Table 4. Analysis of variance result of soil physical
(lethal). Pada beberapa tipe tanaman, timbal dapat properties after harvesting
ditemukan hingga 350 mg l-1 tanpa membahayakan/
Sumber keragaman db F hit P
merusak secara visual (Pais and Jones, 1997).
Persen pasir
Timah putih (Sn) bukan merupakan unsur hara Tingkat umur 3 16,31 0.0001**
yang esensial bagi tanaman maupun hewan. Timah Jenis amelioran 2 4,17 0.0280*
Proporsi amelioran 2 113,1 0.0001**
putih dapat dengan mudah diambil tanaman dari
Jenis*proporsi 4 0 0.7963 tn
larutan hara dan terakumulasi terutama di akar Galat 24 0,41
tanaman. Unsur Sn ini tidak dengan mudah Total 35
ditranslokasikan ke bagian atas tanaman. Kadar Sn Persen debu
tanaman mempunyai selang yang sangat lebar dari Tingkat umur 3 16,82 0,0001**
Jenis amelioran 2 3,41 0,0498*
< 1,0 - 300 mg kg-1, dengan selang normal antara Proporsi amelioran 2 55,25 0,0001**
5-10 mg kg-1 (Pais and Jones, 1997). Menurut Jenis*proporsi 4 1,96 0,1337tn
Markert (1994a) dalam Pais dan Jones (1997) kadar Galat 24
Total 35
normal pada tanaman referensi hanyalah sebesar
Persen liat
0,2 mg kg-1 (Tabel 3 terdahulu). Kadar Sn tanaman
Tingkat umur 3 8,21 0,0006**
pada tanah asli sebesar 94,75 ppm. Nilai ini besar Jenis amelioran 2 2,94 0,0723tn
karena memang belum dilakukan penambangan Proporsi amelioran 2 34,97 0,0001**
Jenis*proporsi 4 1,08 0,3871 tn
timah pada tanah asli, sehingga kadar Sn dalam
Galat 24
tanah masih tinggi. Kadar Sn tanaman dari seluruh Total 35
unit percobaan berkisar dari 0,0 hingga 227,25 *) : nyata pada taraf 5% tn : tidak nyata
ppm. Nilai rataan Sn tanaman tiap perlakuan untuk **): sangat nyata pada taraf 1%

67
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Pada kadar pasir ditemukan bahwa jenis Faktor proporsi amelioran:tailing memberikan
amelioran A3 yaitu pemberian campuran bahan peningkatan yang sangat nyata terhadap kadar
organik-tanah mineral mempunyai nilai rataan pasir, debu dan liat (Tabel 4, Gambar 6). Semakin
tertinggi (67,13%) dan berbeda nyata dibandingkan tinggi proporsi amelioran yang diberikan, semakin
dengan kedua jenis amelioran yang lain. Rataan tinggi kadar debu dan liat. Pada parameter kadar
kadar pasir pada jenis amelioran A2 (tanah mineral) pasir terjadi fenomena sebaliknya yaitu dengan
lebih tinggi dari A1 (bahan organik-tanah) meskipun
semakin tinggi proporsi amelioran maka kadar pasir
tidak berbeda nyata (Gambar 5a). Kadar debu
semakin menurun. Tanah mineral dan pupuk kotoran
tertinggi terdapat pada rataan perlakuan dengan
ayam yang digunakan memberikan sumbangan
jenis amelioran tanah mineral (A2) dan hanya
terhadap meningkatnya fraksi halus tanah sehingga
berbeda secara nyata dengan A3 (campuran bahan
kadar pasir menurun. Kadar liat tanah mineral
organik dan tanah mineral).
tersebut mencapai 71%, dan tergolong kelas tekstur
liat.
TM TM
C C
Pengaruh jenis amelioran dan proporsi amelioran
BO TM BO TM terhadap sifat kimia tanah setelah panen
a. Persen pasir b. Persen debu
Perlakuan jenis amelioran memberikan
Keterangan : perbedaan yang sangat nyata terhadap semua
BO = Bahan organik (A1)
TM = Tanah mineral (A2) parameter sifat kimia (Tabel 5).
CO = Campuran BO-TM (A3) Jenis amelioran bahan organik saja (A1)
memberikan nilai rataan sifat kimia tertinggi dan
Gambar 5. Hasil pengujian berpasangan jenis
amelioran untuk kadar pasir dan debu berbeda nyata dengan ketiga umur tailing yang lain,
setelah panen akibat perlakuan kecuali pada parameter pH tanah. Nilai terendah
pemberian amelioran pada empat tingkat sifat kimia ini (KTK, total basa, N-total, serta C-
umur tailing
organik) dijumpai pada perlakuan jenis amelioran A2.
Figure 5. Pair test comparison result of sand and
Jenis amelioran A2 (tanah mineral) memberikan nilai
silt contents after harvesting as a result
of ameliorant treatment at four ages of pH yang tertinggi baru diikuti A3 dan pH terendah
tailing pada A1 (bahan organik).

2:3 2:3 2:3


3:2 3:2 3:2
1:4 2:3 1:4 2:3 1:4 2:3
a. Persen pasir b. Persen debu c. Persen liat

Keterangan :
BO = Bahan organik (A1)
TM = Tanah mineral (A2)
CO = Campuran BO-TM (A3)

Gambar 6. Hasil pengujian berpasangan proporsi amelioran terhadap kadar pasir, debu, dan liat setelah panen
akibat perlakuan pemberian amelioran pada empat tingkat umur tailing
Figure 6. Pair test comparison result of ameliorant proportion to sand, silt, and clay contents after
harvesting as a result of ameliorant treatment at four ages of tailing

68
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP

Tabel 5. Hasil analisis sidik ragam sifat kimia tanah kualitas tanah dari segi sifat kimianya terutama bila
setelah panen akibat pemberian jenis dibandingkan dengan tanah asli. Dengan semakin
amelioran dan proporsi amelioran pada membaiknya sifat kimia tailing dari semua kelompok
empat tingkat umur tailing
umur diharapkan dapat mendukung pertumbuhan
Table 5. Analysis of variance result of soil chemical tanaman.
characteristics after harvesting as a result
of kind and proportion of ameliorant
Pengaruh jenis amelioran dan proporsi amelioran
treatments at four ages of tailing
terhadap kadar Fe, Mn, Cu, Pb, dan Sn tanah setelah
Sumber keragaman db F hit P panen
pH
Perlakuan jenis amelioran berpengaruh sangat
Tingkat umur 3 11,77 0,0001 **
Jenis amelioran 2 363,29 0,0001 ** nyata terhadap kadar Fe, Mn, Cu, dan Pb tanah
Proporsi amelioran 2 35,30 0,0001 ** setelah panen dan tidak berpengaruh nyata hanya
Jenis*proporsi 4 0,85 0,4991 tn terhadap kadar Sn (Tabel 6). Pada kadar Mn dan Cu,
Galat 60
Total 71 jenis amelioran bahan organik saja (A1) memberikan
KTK
nilai rataan tertinggi dan saling berbeda nyata
Tingkat umur 3 7,11 0,0004 ** dengan dua amelioran yang lain dengan nilai
Jenis amelioran 2 98,55 0,0001 ** terendah pada A2 (tanah mineral saja), sedangkan
Proporsi amelioran 2 86,71 0,0001 **
kadar Fe tertinggi pada jenis amelioran campuran
Jenis*proporsi 4 9,39 0,0001 **
Galat 60 bahan organik-tanah mineral (A3), disusul jenis
Total 71 amelioran bahan organik saja (A1) dan terendah
Total basa-basa pada A2 (hanya tanah mineral). Penyebabnya diduga
Tingkat umur 3 41,99 0,0001 ** dari sumbangan kadar Mn dan Cu yang terdapat
Jenis amelioran 2 140,17 0,0001 **
Proporsi amelioran 2 91,23 0,0001 ** pada kotoran ayam yang digunakan, karena pada
Jenis*proporsi 4 20,35 0,0001 ** analisis awal tidak dianalisis kadar Mn dan Cu pada
Galat 60 bahan organik tersebut.
Total 71
Sementara kadar Fe pada bahan amelioran
N Total
Tingkat umur 3 28,78 0,0001 ** termasuk sangat tinggi (5690 ppm pada bahan
Jenis amelioran 2 225,41 0,0001 ** organik dan 46191 ppm pada tanah mineral) dan
Proporsi amelioran 2 152,72 0,0001 ** telah melebihi batas normal kadar Fe tanah tidak
Jenis*proporsi 4 23,66 0,0001 **
Galat 60 tercemar. Menurut Pais dan Jones (1997), kadar Fe
Total 71 total di tanah dapat mencapai 38 g kg-1 (38 000
C-organik ppm) dengan kadar Fe total dalam tanah : 50 µg l-1.
Tingkat umur 3 19,34 0,0001 **
Menurut Adimihardja et al. (2000) dalam
Jenis amelioran 2 205,38 0,0001 **
Proporsi amelioran 2 127,46 0,0001 ** Setyorini dan Hartatik (2003), kandungan Mn dan
Jenis*proporsi 4 27,98 0,0001 ** Cu pada pupuk kandang ayam lebih tinggi
Galat 60 dibandingkan sapi maupun kambing. Kandungan Mn
Total 71
dapat mencapai 45% dan kandungan Cu = 56%,
**) : sangat nyata pada taraf 1% tn : tidak nyata
sedangkan kotoran sapi dan kambing masing-masing
hanya 13 dan 37,8% Mn serta 38 dan 13,5% Cu.
Faktor proporsi amelioran:tailing memberikan
peningkatan yang sangat nyata terhadap semua Jenis amelioran tanah mineral (A2) memberikan
parameter sifat kimia tanah setelah panen (Tabel 5). pengaruh tertinggi terhadap kadar Pb saja. Tanah
Semakin tinggi proporsi amelioran yang diberikan mineral (tanah asli yang belum ditambang) selain
akan memberikan peningkatan secara nyata mempunyai kandungan Pb tertinggi pada analisis
terhadap nilai sifat kimia tanah. Dengan demikian awal ternyata juga peranannya dominan pada semua
proporsi amelioran terbukti dapat meningkatkan unit percobaan.

69
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Tabel 6. Hasil analisis sidik ragam kadar logam Hasil uji berpasangan nilai tengah menunjukkan
berat tanah setelah panen akibat terdapat kesamaan pola dari keempat logam berat
pemberian jenis amelioran dan proporsi
(Fe, Mn, Cu, dan Pb) yaitu ketiga proporsi saling
amelioran pada empat tingkat umur tailing
berbeda nyata. Peningkatan proporsi amelioran yang
Table 6. Analysis of variance result of soil heavy
metal content after harvesting as a result diberikan meningkatkan secara nyata kadar logam
of kind and proportion of ameliorant berat dalam tailing pada berbagai tingkat umur. Hal
treatments at four ages of tailing ini perlu mendapat perhatian khusus dalam
Sumber keragaman db F hit P memanfaatkan tailing timah dalam rehabilitasi lahan
Besi (Fe) pasca tambang. Meskipun peningkatan proporsi
Tingkat umur 3 11,07 0,0001 ** amelioran meningkatkan dan memperbaiki sifat
Jenis amelioran 2 95,22 0,0001 **
Proporsi amelioran 2 23,46 0,0001 ** kimia/kesuburan tanah tetapi ternyata memberikan
Jenis*proporsi 4 3,47 0,0130 * peningkatan juga pada kandungan logam berat
Galat 60 tanah, sehingga perlu diperhatikan pemberian dosis
Total 71
atau proporsi amelioran dengan tailing yang akan
Mangan (Mn)
Tingkat umur 3 6,76 0,0005 ** memberikan hasil terbaik dalam peningkatan kualitas
Jenis amelioran 2 189,52 0,0001 ** tanah secara fisik dan kimia tetapi tidak berbahaya
Proporsi amelioran 2 66,92 0,0001 **
Jenis*proporsi 4 27,93 0,0001 ** dari segi kandungan logam berat.
Galat 60
Meskipun nilai kadar logam berat ini sangat
Total 71
kecil dibandingkan dengan standar yang
Tembaga (Cu)
Tingkat umur 3 6,76 0,0005 ** diperbolehkan, tetapi efek akumulasi (dari rantai
Jenis amelioran 2 189,52 0,0001 ** makanan) dapat membahayakan manusia sebagai
Proporsi amelioran 2 66,92 0,0001 **
Jenis*proporsi 4 27,93 0,0001 ** konsumen terakhir, terutama apabila reklamasi
Galat 60 ditujukan untuk keperluan budidaya tanaman pangan
Total 71 ataupun hijauan pakan ternak. Kusnoputranto
Timbal (Pb)
(1995) menyebutkan bahwa logam berat tidak
Tingkat umur 3 39,44 0,0001 **
Jenis amelioran 2 40,55 0,0001 ** pernah terurai atau terdegradasi seperti polutan
Proporsi amelioran 2 132,77 0,0001 ** organik yang dapat terurai oleh sinar matahari atau
Jenis*proporsi 4 1,48 0,2193 tn
Galat 60
panas. Logam tersebut dapat ditimbun (dalam
Total 71 landfill) dan tercuci ke dalam sedimen, tetapi tidak
Timah putih (Sn) pernah menghilang seluruhnya dan selalu mengancam
Tingkat umur 3 3,57 0,0190 * di masa mendatang.
Jenis amelioran 2 0,46 0,6345 tn
Proporsi amelioran 2 0,08 0,9256 tn
Jenis*proporsi 4 0,46 0,7620 tn Percobaan rumah kaca II
Galat 60
Total 71 Hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan
*) : nyata pada taraf 5% tn : tidak nyata
**): sangat nyata pada taraf 1%
media tanam yang digunakan dan inokulan mikoriza
menunjukkan perlakuan media tanam dan inokulan
Proporsi amelioran dari ketiga jenis yang mikoriza tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi
digunakan dibandingkan tailing (dalam berat) tanaman. Tinggi tanaman dipengaruhi sangat nyata
mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap oleh jenis tanaman. Gambar 7a menunjukkan hasil
kadar Fe, Mn, Cu, dan Pb, tetapi tidak nyata pada uji berpasangan rata-rata tinggi semai A.
kadar Sn tanah (Tabel 6). auriculiformis, G. maculata, L. leucocephala, dan P.

70
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP

falcataria pada minggu ke-10 setelah masa tanam antara tanaman P. falcataria dengan G. maculata
(MST-10). Nampak bahwa tinggi tanaman berbeda tidak berbeda nyata. Urutan diameter tajuk tanaman
nyata antara satu jenis dengan jenis yang lainnya. dari keempat jenis tanaman dari yang tertinggi
Adapun urutan tinggi tanaman dari keempat jenis sampai terendah adalah L. leucocephala > G.
tanaman yang digunakan dari yang tertinggi sampai maculata > P. falcataria > A. auriculiformis.
yang terendah adalah L. leucocephala > P. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
falcataria > G. maculata > A. auriculiformis. perlakuan inokulan mikoriza berpengaruh nyata
Hasil analisis sidik ragam diameter tajuk terhadap jumlah daun tanaman, sedangkan media
tanaman menunjukkan media tanam dan jenis tanam tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah
tanaman yang digunakan berpengaruh nyata daun tanaman. Hasil uji berpasangan jumlah daun
terhadap diameter tajuk tanaman. Hasil uji pada Gambar 7c menunjukkan bahwa pemberian
berpasangan diameter tajuk tanaman pada Gambar inokulan mikoriza pada tanaman berbeda nyata
7b menunjukkan penggunaan media tanam pupuk terhadap tanaman yang tidak diberikan inokulan
kandang satu sama lain berbeda nyata kecuali mikoriza. Jumlah daun L. leucocephala berbeda

Gm Gm Gm
Ll Ll Ll
Pf Pf Pf
K K K
Kt Kt Kt
Pk Pk Pk
I1 I1 I1
I0 I0 I0
Aa Gm LI Pf K Kt PK I1 Aa Gm LI Pf K Kt PK I1 Aa Gm LI Pf K Kt PK I1
(a) Tinggi tanaman (b) Diameter tajuk (c) Jumlah daun

Gm Gm
Ll Ll
Pf Pf
K K
Kt Kt
Pk Pk
I1 I1
I0 I0
Aa Gm LI Pf K Kt PK I1 Aa Gm LI Pf K Kt PK I1
(d) Panjang akar (e) Lingkar batang

Keterangan :
Berbeda nyata pada taraf nyata α = 0,05 Tidak berbeda nyata

Jenis tanaman : Gm = Gamal Media tanam : K = Kompos Inokulan : I0 = Tanpa inokulan


LI = Lamtoro Pk = Pupuk kandang I1 = Dengan inokulan
Aa = Akasia Kt = Kontrol
Pf = Sengon

Gambar 7. Hasil uji berpasangan pengaruh media tanam, inokulan mikoriza, dan jenis tanaman
terhadap lima parameter pertumbuhan tanaman kehutanan
Figure 7. Pair test comparison result of growth media, micorrhiza inoculant, and types of crops
for five growth parameters of forestry crops

71
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

nyata dengan A. auriculiformis, G. maculata, dan P. 2. Tailing pasca penambangan timah di Sungai Liat
falcataria, sedangkan antara 3 jenis tanaman yang Bangka pada empat tingkat umur tailing
terakhir tidak berbeda nyata. Urutan jumlah daun mempunyai sifat fisik dan kimia tanah yang
tertinggi sampai terendah adalah: L. leucocephala > buruk. Kemasaman tanah berkisar dari sangat
P. falcataria > A. auriculiformis > G. maculata. masam hingga masam. KTK, basa-basa dapat
Hasil analisis sidik ragam panjang akar ditukar, C-organik, dan N-total sangat rendah
tanaman menunjukkan inokulan dan jenis tanaman hingga rendah. Tanah asli yang digunakan
berpengaruh nyata terhadap panjang akar tanaman, sebagai bahan amelioran mempunyai sifat fisik
sedangkan media tanam tidak berpengaruh nyata. yang lebih baik dari tailing dengan kadar liat
yang tinggi.
Uji berpasangan pada Gambar 7d menunjukkan
bahwa pemberian inokulan mikoriza berbeda nyata 3. Teknik rehabilitasi lahan dengan menggunakan 4
terhadap tanaman yang tidak diberi inokulan jenis tanaman kehutanan menunjukkan respon
mikoriza, sedangkan untuk perlakuan yang lainnya tanaman yang berbeda-beda terhadap perlakuan
tidak berbeda nyata. Uji berpasangan panjang akar yang diberikan. Teknik rehabilitasi lahan dengan
tanaman berdasarkan jenis tanaman yang digunakan menggunakan kombinasi antara media tanam
menunjukkan semua pasangan jenis tanaman pupuk kandang, inokulan cendawan mikoriza
berbeda nyata kecuali antara L. leucocephala dengan arbuskula dan lamtoro (Leucaena lecocephala)
P. falcataria tidak berbeda nyata. merupakan teknik yang terbaik dalam
merehabilitasi lahan pasca tambang timah.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan media
tanam dan jenis tanaman berpengaruh nyata 4. Pemberian amelioran mempengaruhi sifat fisik,
terhadap lingkar batang tanaman, sedangkan kimia dan kadar logam tailing. Jenis amelioran
pemberian inokulan mikoriza tidak berpengaruh campuran bahan organik-tanah mineral
nyata. Hasil uji berpasangan pada Gambar 7e memberikan kadar pasir tertinggi. Kadar debu
menunjukkan bahwa lingkar batang tanaman pada dipengaruhi secara nyata oleh jenis amelioran
tanaman kontrol berbeda nyata dengan pupuk tanah mineral. Proporsi amelioran nyata
meningkatkan kadar debu dan liat serta
kandang dan kompos. Urutan lingkar batang
menurunkan kadar pasir. Tingkat umur tailing
tanaman dari yang tertinggi sampai yang terendah
setelah penambangan, jenis dan proporsi
adalah G. maculate > L. leucocephala > P.
amelioran nyata mempengaruhi sifat kimia tanah
falcataria > A. auriculiformis.
setelah panen. Nilai pH tanah setelah panen
tertinggi dijumpai pada tailing umur 25 tahun
KESIMPULAN sedangkan sifat kimia yang lain tertinggi pada
1. Penambangan timah menyebabkan penurunan tailing umur 6 tahun. pH tanah dipengaruhi oleh
kualitas tanah dan jumlah jenis vegetasi alami. jenis amelioran sedangkan sifat kimia yang lain
Jumlah jenis vegetasi alami meningkat dengan dipengaruhi oleh jenis amelioran bahan organik.
bertambahnya umur tailing setelah penambangan. 5. Pemberian jenis amelioran bahan organik nyata
Kadar pasir lebih banyak tetapi kadar debu dan meningkatkan kadar Fe, Mn, dan Cu. Kadar Pb
liat lebih sedikit pada keempat tingkat umur dipengaruhi oleh jenis amelioran tanah mineral
tailing (1, 6, 16, dan 25 tahun). Tingkat umur sedangkan kadar Sn tidak dipengaruhi oleh jenis
tailing nyata mempengaruhi pH, KTK, N-total, amelioran. Semua kadar logam berat tanah
dan C-organik tanah serta semua logam berat setelah panen dipengaruhi secara nyata oleh
yang dianalisis. meningkatnya proporsi amelioran.

72
SANTUN R.P. SITORUS ET AL. : KARAKTERISTIK DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA DAN SINGKEP

DAFTAR PUSTAKA Pais, I. and J.B. Jones Jr. 1997. The Handbook of
Trace Element. St. Lucie Press. Boca Raton,
Achmad, Y.N., S.R. Untung, dan A. Hakim. 2000. Florida
environmental management at the Selogiri
PT. Tambang Timah. 1991. Studi Evaluasi
gold mine. Indonesian Mining Journal
Lingkungan (SEL) Unit Penambangan dan
6(1):53-61.
Unit Peleburan Timah Pulau Bangka.
Amriwansyah. 1990. Evaluasi dan Deskripsi Ringkasan Eksekutif, Vol. 1- 4. PT. Tambang
Beberapa Sifat Fisik dan Kimia Tanah Timah. Pangkal Pinang.
Sebelum (Kondisi Tanah Alami) dan Setelah
Ripley, E.A., R.E. Redmann, and A.A. Crowder.
(Kondisi Tanah Kolong) Proses Aktivitas
1996. Environmental Effects of Mining. St.
Penambangan Timah di Tiga Lokasi Unit
Lucie Press Delray Beach, Florida. Pp 356.
Penambangan Timah Bangka (Tambang 25,
23, dan 45). Wilayah Produksi Pulau Ruchiat, Y. 1999. Pengaruh Top Soil, Pupuk dan
Bangka-Sumatera Selatan. Skripsi. Jurusan Bionature terhadap Pertumbuhan Casuarina
Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian equisetifolia Forst & Forst di Lahan Pasca
Bogor. Bogor. Tambang PT. International Nickel Indonesia
Barrow, C.J. 1991. Land Degradation. Cambridge (INCO) Soroako, Sulawesi Selatan. Skripsi.
University Press. Cambridge. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Kurniawansyah, A.M., Nurchaerijah, Sukristiyo-
nubowo, dan Subowo. 1999. Korelasi Sifat Saptaningrum, H. 2001. Karakterisasi dan
Tanah dengan Kandungan Logam Berat Pb Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Tanah Bekas
dan Cd-tersedia dalam Tanah. Dalam Galian Tambang (Tailing) dan Dampaknya
Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya terhadap Pertumbuhan Vegetasi. Skripsi.
Tanah, Iklim, dan Pupuk. Buku II. Lido- Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian,
Bogor, 6-8 Desember 1999. Pusat Penelitian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tanah dan Agroklimat. Bogor Sitorus, S.R.P. 2002. Pemberdayaan lahan pasca
Kusnoputranto, H. 1995. Pengantar Toksikologi tambang. Makalah disampaikan pada
Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Seminar Pengelolaan Lingkungan Pasca
Tinggi, Depdikbud. Jakarta Tambang. BPPT Jakarta, 25 September
2002.
Latifah, S. 2000. Keragaan Pertumbuhan Acacia
mangium Wild. pada Lahan Pasca Tambang ______________. 2007. Kualitas, Degradasi, dan
Timah (Studi Kasus di Areal Kerja PT. Timah Rehabilitasi Lahan. Program Pasca Sarjana
Tbk). Tesis. Program Studi Pengetahuan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Kehutanan, Program Pasca Sarjana, Institut Tala’ohu, S.H., S. Moersidi, Sukristiyonubowo, J.
Pertanian Bogor. Bogor. Purnomo, dan G. Syamsidi. 1998.
Mulyani, A., M. Soekardi, J.S. Adiningsih, dan L.R. Penggunaan Amelioran untuk Perbaikan Sifat
Widowati. 1996 Perbandingan campuran Fisik dan Kimia Tanah serta Pertumbuhan
tanah merah dan Blue Clay untuk dasar Tanaman Penutup Tanah pada Areal
reklamasi lahan di PT. BA Tanjung Enim Timbunan Sisa Galian Penambangan
dengan indikator Tanaman Jagung. Dalam Batubara di Tanjung Enim. Hlm. 23-41.
Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan
Komunikasi Hasil Pertanian dan Agroklimat. Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan
Buku II, Bidang Potensi Sumberdaya Lahan. Agroklimat. Buku IV. Bidang Fisika dan
Bogor 26-28 September 1995. Konservasi Tanah dan Air serta Agroklimat
dan Hidrologi. Bogor, 10-12 Februari 1998.
Nurdin. 2001. Kontribusi Mikorhiza pada Proses
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Biogeokimia di Tanah Galian Tambang Emas
Bogor.
dan Serapan Haranya untuk Pertumbuhan
Semai Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Tim Pusat Penelitian Tanah. 1987. Laporan Survei
dan Acacia mangium Wild. Skripsi. Jurusan dan Penelitian Tanah Pulau Bangka. Badan
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pusat Penelitian Tanah. Bogor.

73
74

Lampiran 1. Vegetasi alami di tiap lokasi pengambilan sampel tailing di Sungai Liat Bangka
Annex 1. Natural vegetation at each of the tailing sampling locations in Sungai Liat Bangka
No. Pemali (T0) Air Jangkang (T1) Air Jeliti (T6) Air Limo Selatan (T16) Sambung Giri (T25)
1. Kedebi * (Rhodomyrtus tomentosus) Tidak ada vegetasi Kedebi Kedebi Kedebi
2. Keramunting (Melastoma affine) Keramunting Keramunting Keramunting
3. Seru (Schima wallichii Korth.) Rumput Kalamento Ilalang Gelam (Melaleuca leucadendron)
(Ischaemum muticum L.)
4. Leben (Vitex pubescens Jack.) Ilalang (Imperata cylindrical) Rumput SG 1 (Eriachne Seru
pallescens R.Br.)
5. Kedemang (Eugenia sp.) Banit (Xylopia caudata) Simpur (Dillenia Rumput SG 1
suffruticosa)
6. Pepari (Clerodendrum fragrans Bebayu- *** Kerak ayam (Selaginella Rumput SG 2 (Cymbogon sp.)

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008


(Vent.) Willd) frondosa Warb)
7. Nasi-nasi (Eugenia lineate) Sayat-sayat/Serendai (Scleria Pelangas Syzygium lineatum (DC.) Merr.
levis Retz.) & Perry.
8. Pelangas (Drypetes sp.) Leben Sayat-sayat Ilalang
9. Pelempang (Adinandra dumosa) Akasia mangium (Acacia Resam (Dicranopteris Cengkok manis hutan (Breynia
mangium) linearis) racemosa Muell.Arg)
10. AN 1 PML- *** Akasia mangium (Acacia Pelawan
mangium)
11. Pules (Rourea minor (Gaerth) Leenh) Pelangas
12. Pakis (Neprolepis biserrata (Swartz) Riang-riang
Schott)
13. Mempari (Macaranga gigantea Muell.) Mempari
14. Riang-riang- ***
15. Pelawan (Tristania obovata)
16. Karet (Hevea brasilienses)
17. AN 2 PML (Eurya nitida Korth.)
Jumlah
17 0 9 10 13
**
Keterangan :
* Kedebi = kera duduk
** Jumlah jenis vegetasi tiap kelompok umur tailing setelah penambangan
*** Nama botani (nama ilmiah) tidak teridentifikasi
Preservation of Organic Matter as Affected by Various Clay Contents in an Acid Soil :
Beneficial Impact on Groundnut Yield

Kestabilan Bahan Organik Tanah yang Diakibatkan oleh Berbagai Kandungan Liat pada Tanah Masam :
Dampak Menguntungkan pada Hasil Kacang Tanah

M. ANDA1, E. SURYANI1 AND U. KURNIA2

ABSTRACT yang meningkat secara linear dengan peningkatan persentase liat,


dan (ii) tingkat mineralisasi C yang rendah seperti terlihat pada
nisbah CO2-C: total C yang meningkat dari 75 < 60 < 45 <30
Systematic study on the effect of various clay contents on
organic C dynamic and groundnut yield (Arachis hypogea) in upland < 15% liat. Setiap peningkatan liat 15% mampu mengawetkan
acid soils has not received any attention. The objectives of the study tambahan 0,3% C organik dalam waktu 12 bulan. Peningkatan C
were: (i) to assess the capability of various soil clay contents to organik tanah secara linear meningkatkan hasil kacang tanah
preserve organic C, (ii) and to relate the effects of soil clay fraction pada 15 dan 30% liat, dan secara kwadratik pada 45 and 60%
and organic C on groundnut yield of an acid soil (Ultisol). The soil liat. Hasil kacang tanah maksimum adalah 25,7-27,6 g pot-1
clay content was artificially adjusted to 15, 30, 45, 60 and 75%. Each (setara 2,9-3,1 t ha-1), yang diperoleh pada kandungan liat 30-
soil clay percentage was thoroughly mixed with finely ground rice 45% dan C organik 1,8 -1,9%.
straw at the rate equals to 0.5, 1, 2, 3, 4, and 5% of organic C. The
soil was then transferred into a pot and planted with corn (Zea mays) Kata kunci : Tanah masam, Pengawetan C organik, Asosiasi C
for the first 6 months and followed by groundnut for further 6 months. organik-liat, Kacang tanah
The experiment was arranged in a split plot design with three
replications under glasshouse conditions. Results for the first 6
months have been published elsewhere. Hence, results for the last 6
months were presented here. Soil clay was the major factor INTRODUCTION
responsible for the preservation of organic C as indicated by (i) the
increased soil organic C with increasing clay fraction, and (ii) the low
mineralization rate as shown by CO2-C: total C ratio from low to high Clay and organic matter colloids are two soil
75<60<45<30<15% soil clay. It is observed that every 15% clay constituents that control major chemical, physical
increment could preserve another 0.3% organic C for the period of
12 months. The increased soil organic C could linearly increase and biological processes and their interaction may
groundnut yield for 15 and 30% clay and quadratic yield for 45 and
-1 result in a longer benefit impact on soil properties
60% clay. The maximum grain yield was 25.7-27.6 g pot (equals to
-1
2.9-3.1 t ha ), which was obtained at 30-45 % clay containing 1.8- and crop yields. The interaction between these two
1.9% soil organic C.
soil components refers to the inter-molecular
Keywords : Acid soil, Organic C preservation, C-clay interactions between organic and inorganic
association, Groundnut yield
substances that alter the rate of degradation of
those organic or synthesis of new organic
ABSTRAK compounds (Sollins et al.,1996).

Studi secara sistematis mengenai pengaruh berbagai


Generally, there is a positive correlation
kandungan liat pada dinamika C organik dan hasil kacang tanah between organic C and clay content (Parton et al.,
(Arachis hypogea) pada lahan kering masam belum dilakukan.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kemampuan berbagai
1987; Hassink and whitmore, 1997). Stevenson
kandungan liat untuk mengawetkan C organik, dan pengaruh (1994), using data from various soils, showed that
kandungan liat dan C organik pada hasil kacang tanah pada tanah
masam (Ultisol). Kandungan liat tanah diatur secara buatan pada
about 52 to 98% of the C in the soils examined was
taraf 15, 30, 45, 60 dan 75% dengan menggantikan tanah associated with clay. This evidence confirms that
secara proporsional dengan pasir. Tiap persentase liat dicampur
secara merata dengan jerami padi yang telah digiling halus pada
the clay fraction of soils has the high capacity to
takaran setara 0.5, 1, 2, 3, 4 and 5% C organik. Tanah kemudian preserve organic C. The effect of mineral fraction on
dipindahkan ke dalam pot dan ditanami jagung pada 6 bulan
pertama kemudian diikuti dengan kacang tanah pada 6 bulan
quantity and quality of organic matter (OM) in soils
berikutnya. Percobaan disusun menurut rancangan petak terpisah
dengan tiga ulangan dalam rumah kaca. Hasil penelitian pada 6
bulan pertama telah dipublikasikan sehingga dalam tulisan ini 1. Peneliti pada Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
disajikan hasil penelitian pada 6 bulan terakhir. Faktor yang Pertanian, Bogor.
berperan utama dalam pengawetan C organik adalah besarnya 2. Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor.
kandungan liat seperti yang ditunjukkan oleh (i) total C organik

ISSN 1410 – 7244 75


JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

is due partly to adsorption on clay surfaces by time of SOM was greater in coarse textured soils
which a large part of the OM is protected from than in fine textured soils (Hassink et al., 1993;
microbial decomposition (Oades, 1988) and another Franzluebbers and Arshad, 1997). Turnover time for
part to physical inaccessibility of OM within pore of C in clay, silt and sand is 59, 6 and 4 years,
microaggregates (Tisdall and Oades, 1982; Sollins respectively (Christensen, 1996). The turnover time
et al., 1996). Accessibility refers to the location of also depends on organic matter pool in soils. The
organic substances as it influences their access by minimum turnover times of active pool, slow pool
microbes and enzymes (Sollins, 1996). Recently, and passive pool are 0.5, 10, and 500 years,
Anda et al. (2008b) measured surface area, pore respectively (Parton and Rasmussen, 1994).
sizes and mineral composition (shown by XRD, DTA Under natural condition, upland acid soils can
and SEM) of three Oxisols and reported that generally contain clay fraction (< 2 µm) ranged
Stabilization of SOM in soil occurred through from 30 to 85% (Feller et al., 1992; Anda et al.,
physical protection in the mesopores and cation 2008a). At present, however, no attempt has been
bridging between OM and mineral surfaces. They made to systematically assess to what extent the
also reported the less crystalline and smaller clay capability of acid soils at different clay contents to
size particles play an important role in SOM preserve organic C at a similar C application rate
stabilization. and to relate the effect of soil mineral and organic C
The mechanism underlying stabilization of soil interactions on crop yields. The objectives of the
organic matter (SOM) is not entirely understood. study were (i) to assess the capability of various soil
Christensen (1996) reviewed organomineral clay contents to preserve organic C, (ii) and to relate
complexes and reported that mechanisms the effects of soil clay fraction and organic C on
responsible for stabilization of SOM include chemical groundnut yield of an acid soil (Ultisols).
recalcitrance, chemical stabilization and physical
protection. Similarly, Sollins et al. (1996) concluded
from their review on mechanisms and factors MATERIALS AND METHODS
control stabilization and destabilisation of SOM that
the stability of the organic C is the results of three Soil preparation
factors: recalcitrance, interactions and accessibility.
Skjemstad et al. (1996), using 13C NMR with The acid soil used in this study was an Ultisols
CP/MAS to study chemistry and nature of protected taken from Jambi, Sumatera, where Ultisols are the
C in Argixeroll, Hapludoll, Kandiustox and Pellustert major soils and are mainly used for plantation and
at 0-10 cm depth, reported that the mechanism of food crops. The bulk soil was taken at 0-20 cm
long-term protection of SOM against microbial depth, dried, ground and passed through a 2 mm
decomposition is physical incorporation into sieve. Total clay in an initial soil was calculated
microaggregates that are able to withstand using percentage of clay content obtained from
physically disruptive forces. In addition, Mayer particle size analysis (75% clay; Anda et al., 2005).
(1994) reported that stabilisation of organic matter The sand was taken from the river with the
occurred through adsorption into small pores (<8- assumption that all organic C has been washed out,
nm width) where slower condensation reactions can hence it would not introduce any addition of organic
occur because of exclusion of faster, competitive C when it was used to adjust soil clay content. The
biological reactions (hydrolytic enzymes). soil of 8 kg pot-1 was used and the clay fraction was
Carbon mineralisation as measured by CO2 adjusted into 5 levels (15, 30, 45, 60, and 75%) by
evolution decreased with increasing clay content in substituting a portion of the initial soil with sand.
whole soil, suggesting that the potential turnover The amount of sand to be added to a given

76
M. ANDA ET AL. : PRESERVATION OF ORGANIC MATTER AS AFFECTED BY VARIOUS CLAY CONTENTS IN AN ACID SOIL

treatment was determined on a weight basis. pot-1. Thinning was performed after two weeks and
The rice straw was collected from a rice field, left one seedling pot-1 behind. After harvesting, the
o
dried, chopped (2 cm) and then finely ground in groundnut yield was oven dried at 105 C for 24 h
order to obtain a homogenous material. The rates of and then weighed. Duncan multiple range test
organic C-derived rice straw treatments were 0.5, (DMRT) was used to determine the difference
1.0, 2.0, 3.0, 4.0, and 5.0%. The amount of rice between treatments. We reported the preservation
straw added to adjust soil organic C to a given of organic C derived rice straw for a period of 12
application rate was calculated as the amount of months.
organic C needed to achieve a given rate of soil
organic C and then subtracted by the initial organic Soil analyses
C in adjusted clay percentage.
Soil was sampled after groundnut harvesting.
Total organic C analysis was performed using a wet
Glasshouse experiment Walkley and Black method (Nelson and Sommer,
1982) and total N using Kjeldhal method (Bremner
The soil clay fractions at 15, 30, 45, 60 and
and Mulvaney, 1982). CO2 measurement was
75% of 8 kg soil prepared as described previously
performed as described by Van De Werf and
were thoroughly mixed with finely ground rice straw
Verstraete (1987).
according to a given organic C treatment. Organic C
rates consisted of 0.5, 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, and 5.0%
and designated as O0, O1, O2, O3, O4, and O5, RESULTS AND DISCUSSION
respectively. The exceptions were clay at 75, 60,
Effect of clay percentage and organic C-rice straw
and 45%. The rice straw was not added at O0 - O2
on soil organic C
rates for 75% clay, O0 - O1 for 60% clay and O0
for 45% clay. This is due to the initial organic C The results of the experiment on organic C
content was already similar to the rates of C changes and corn yield for the first six months have
treatments, even slightly higher for the 75% clay. been reported by Anda et al. (2005); and we present
All other organic C rates were well adjusted here the results on organic C changes after 12
according to a given treatment in each clay months and its effect on groundnut yield. The effect
percentage. After mixing of given rice straw of different amounts of clay percentages in
treatment within each clay percentage, the soil was preserving soil organic C during a period of 12
transferred into a black plastic pot and the water month experiment is given in Figure 1. There was a
content was brought up to 80% water holding consistent and significant increase in total soil
capacity. The basal treatments were 150 kg urea, organic C as clay content increased, which is
100 KCl, 150 kg SP-36 ha-1 ,and the amount of lime revealed by a positive linear correlation, Y = 0.02x
was 1.5 times exchangeable Al. The experiment +0.82 (r2 = 0.98), between soil organic C and
was arranged in a split plot design where 5 clay amount of soil clay. This suggests that the clay
percentages as main plots and 6 organic C rates as fraction was a major factor responsible for
subplots with three replications. During the first six preservation of organic matter (OM) in the soil. The
months, the pot was grown with maize of pioner regression equation indicated that every 15% soil
cultivar and the results have been reported by Anda clay increment could preserve another 0.3% organic
et al. (2005). For the next six months, the pot was C.

grown with groundnut, singa cultivar, of 2 seeds 2.3


y = 0.02x + 0.82 r 2 = 0.98
2.1
LSD 0.05 = 0.37
1.9 77
anic C (%)

1.7
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

within different clay percentages indicated that the


ratio was much higher at the lower rate C
application compared to the higher rate, suggesting
that most of the C at the lower application rate was
adsorbed into mineral surfaces since the sites for
adsorption were still available. At the high C organic
application rate, adsorption sites may adsorb more
organic C and at the same time some organic C was
less protected and exposed to microbial
decomposers. Mikutta et al. (2004) who prepared
synthetic hydrous Al oxide, gibbsite and coated with
dissolved organic matter (DOM) and polygalacturonic
acid (PGA) under laboratory conditions found that
organic matter occurred in micropores and small
mesopores. Similar results have been reported by
other workers (Kahle et al., 2002; Mayer et al.,
The capability of each soil clay to preserve 2004).
organic C was also assessed using the ratio of The effect of organic C application rates on
organic C in different soil clay percentages (Table total soil organic C after 12 months in different clay
1). The ratio consistently decreased from the high
percentages is given in Figure 2. The increased rate
soil clay fraction to the low ones. For example, the
of C-rice straw applications significantly increased
values of ratios between 75, 60, 45, and 30%
total soil organic C in all soil clay percentages. This
against 15% clay are 2.2, 1.6, 1.4, and 1.2,
can be seen from a positive linear correlation
respectively at a corresponding 3% C-rice straw
application rate. This indicates that the amount of between rates of C treatments and total soil organic
organic C substrate physically protected by soil C, where determination coefficient is mostly more
matrices was regularly decrease from the higher to than 94%.
lower clay contents due to reduction of microbial Generally, total soil organic C significantly
accessibility in the former. The clay fraction as fine increased at an O3 application rate for 15, 30 and
particles could fill soil pores, resulting number and 45% clay and at an O4 C application rate for 60
size of soil pores to decrease, thereby limited a and 75% clay compared to O0, O1, and O2
pathway of various microbes.
application rates. The organic C content in soil at
Furthermore, the ratio between total organic C

Table 1. Ratio of soil organic C within different soil clay percentages


C-rice straw Organic C ratio in different soil clay pecentages
treatment 75:15 60:15 45:15 30:15 75:30 60:30 45:30 75:45 60:45 75:60
O0 5.6 4.0 2.6 1.6 3.5 2.5 1.6 2.2 1.5 1.4
O1 2.9 2.0 1.3 1.0 2.8 1.9 1.3 2.2 1.5 1.5
O2 2.8 1.7 1.5 1.1 2.5 1.6 1.4 1.8 1.2 1.6
O3 2.2 1.6 1.4 1.2 1.9 1.4 1.2 1.6 1.2 1.4
O4 1.8 1.6 1.2 1.0 1.7 1.5 1.2 1.4 1.3 1.1
O5 1.9 1.6 1.4 1.2 1.5 1.3 1.2 1.3 1.1 1.1

78
M. ANDA ET AL. : PRESERVATION OF ORGANIC MATTER AS AFFECTED BY VARIOUS CLAY CONTENTS IN AN ACID SOIL

1. Clay 15 %
3.0
2. Clay 30 %
2.5 3. Clay 45 %

Total soil organic C(%)


4. Clay 60 %
2.0
5. Clay 75 %
1.5 1. y = 0.25x + 0.38 r 2 = 0.95
2. y = 0.28x + 0.46 r 2 = 0.98
1.0
3. y = 0.28x + 0.77 r 2 = 0.98
4. y = 0.25x + 1.23 r 2 = 0.83
0.5
5. y = 0.15x + 2.08 r 2 = 0.94
0.0
0 1 2 3 4 5 6
Rate of C-rice straw treatment (%)

Figure 2. Relationship between total soil organic C and rate of C-rice


straw application at different soil clay fractions

O0, O,1 and O2 treatments for 75% clay should be all rates of organic C treatments were well adjusted
maximum, i.e., 0.5, 1.0, and 2.0%, respectively according to a desired rate. A rice straw treatment
with respect to organic C rate treatments. However, at O2 significantly increased total soil organic C
it is not the case, instead the total soil organic C compared to O0 and O1 rates.
contents were higher than organic C treatments
(O0-O2 rates). A similar case occurred for O0 and
Effect of soil clay and organic C applications
O1 rates at 60% clay and at O0 for 45% clay. As on CO2 evolution
described in an experiment method, the higher
organic C contents in all those clay fractions than The rate of organic C decomposition was
determined from each soil clay percentage at the
the rate of C treatments were due to the fact that
time of groundnut harvesting. Evolution of CO2 as
the initial soil organic C was high.
an indication of microbial activity to decompose
In this study, the existing clay content (75%
organic matter was significantly higher at 75% clay
clay) is already similar to the highest clay
compared to 15% clay (Table 2). However, CO2
percentage treatment rate, hence no sand evolution from 30, 45 and 60% soil clay were all
substitution was made. For 60% clay treatment statistically similar and were not significantly
rate, the addition of sand to lower a clay fraction different compared to 75 and 15% clay. The higher
from 75 to 60% was still insufficient to lower the CO2 evolution from 75% clay compared to 15%
organic C of initial soil to the desired levels: 0.5% clay does not mean that organic C decomposition
for O0, 1%C for O1 and 2% for O2 rates. Other C rate is faster in the former than the latter, but it is
treatment rates within 45, 60 and 75% clay mainly due to a higher substrate (organic C) in 75%
fractions are all well adjusted according to a desired clay than 15% clay.
organic C rate. The ideal effect of organic C The rate of CO2 evolution from each of soil
treatment rates on total soil organic C was clearly clay percentage indicated a positive linear correlation
shown by soil clay contents at 15 and 30%, where with total soil organic C (Figure 3). This suggests

79
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Table 2. The effect of soil clay fractions on soil CO2-C evolution at different
C-rice straw application rates
C-rice straw Soil clay (%)
treatment 15 30 45 60 75
…………………………… mg 100g-1 day-1 ……………………………
O0 0.96 d 1.43 d 1.48 c 1.71 b 2.91 b
O1 1.59 cd 1.44 d 1.52 c 2.19 b 2.69 b
O2 2.16 bc 2.57 c 1.90 c 1.95 b 2.71 b
O3 2.66 ab 2.97 bc 3.13 b 2.31 b 2.86 b
O4 2.74 ab 3.65 b 4.19 a 4.10 a 4.96 a
O5 3.45 a 4.72 a 4.92 a 4.54 a 5.28 a
Mean 2.26 A 2.80 AB 2.86 AB 2.80 AB 3.57 B
In a column, means followed by a similar small letter are not significantly different at
5% level by Duncan multiple range test (DMRT). Means in a row followed a similar
capital letter are not significantly different at 5% level by LSD (0.89).

1. Clay 15%
5.5
-1 (mg/100g/day)
100g day )

2. Clay 30%
5.0
-1

4.5 3. Clay 45%

4.0 4.Clay 60%


2-C(mg

3.5 5. Clay 75%


CO2-C

3.0
respiration,, CO

1. y = 1.9x + 0.3 r 2 = 0.91


2.5 2. y = 2.6x - 0.2 r 2 = 0.95
Soil respiration

2.0 3. y = 3.0x - 1.5 r 2 = 0.99


4. y = 2.6x - 2.13 r 2 = 0.89
1.5 5. y = 4.2x - 6.81 r 2 = 0.84
Soil

1.0
0.5
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0
Total soil organic C (%)

Figure 3. Relationship between CO2-C evolution and total soil


organic C at different soil clay percentages

that amount of organic matter decomposition not The comparison of organic C decomposition
only controlled by the amount of clay fractions as rates between clay percentages can not be
mentioned previously, but also by the amount of interpreted directly from CO2 measurement at the
substrate availability in the soils. As the availability end of the experiment because the total soil organic
of substrate (organic C in organic matter) increases C content was different between clay percentages
the mineralization rate increases, even at the highest at any corresponding C treatment rate. As shown
soil clay content. Interestingly, determination previously, the magnitude of CO2 evolution was not
coefficient of all regression equations indicated that only controlled by clay fraction, but also by the
84 to 99 percent of the variation of CO2 evolution amount of organic C in soils. As the CO2
was accounted for by total soil organic C. measurement was carried out only at the end of

80
M. ANDA ET AL. : PRESERVATION OF ORGANIC MATTER AS AFFECTED BY VARIOUS CLAY CONTENTS IN AN ACID SOIL

Table 3. The effect of C-rice straw application rate on soil CO2-C: total C ratio
within different soil clay percentages
C-rice straw Soil clay (%)
treatment 15 30 45 60 75
O0 2.46 x 10-3 2.27 x 10-3 1.47 x 10-3 1.10 x 10-3 1.33 x 10-3
O1 2.06 x 10-3 1.80 x 10-3 1.50 x 10-3 1.45 x 10-3 1.19 x 10-3
O2 2.63 x 10-3 2.86 x 10-3 1.53 x 10-3 1.36 x 10-3 1.18 x 10-3
O3 2.38 x 10-3 2.30 x 10-3 1.99 x 10-3 1.28 x 10-3 1.17 x 10-3
O4 1.86 x 10-3 2.35 x 10-3 2.27 x 10-3 1.72 x 10-3 1.89 x 10-3
O5 2.23 x 10-3 2.50 x 10-3 2.21 x 10-3 1.78 x 10-3 1.83 x 10-3

Table 4. The effect of soil clay content and C-rice straw application rate on
total soil N content
C-rice straw Soil clay (%)
treatment 15 30 45 60 75
……………………………………. % …………………………………….
O0 0.04 d 0.07 c 0.14 d 0.17 c 0.24 bc
O1 0.08 cd 0.07 c 0.15 cd 0.18 c 0.24 bc
O2 0.09 bc 0.08 c 0.16 bcd 0.19 c 0.24 bc
O3 0.10 abc 0.12 b 0.18 bc 0.20 bc 0.27 abc
O4 0.12 ab 0.15 ab 0.19 ab 0.23 ab 0.28 ab
O5 0.13 a 0.18 a 0.22 a 0.24 a 0.30 a
Mean 0.09 C 0.11 C 0.17 B 0.20 B 0.26 A
In a column, means followed a similar small letter are not significantly different at 5%
level by Duncan multiple range test (DMRT). Means in a row followed a similar capital
letter are not significantly different at 5% level by LSD (0.04)

experiment, the interpretation of CO2-C: C total C. Once most sites at soil matrices for substrate
ratios would only valid for the last situation of binding have been saturated, through coating with
experiment. However the ratios, at least, gave the organic matter, a further increase of organic matter
idea of the high clay content to slowdown OM addition could not all be accommodated but some
decomposition. The higher the ratio, the more is will remain be exposed and subjected to microbial
organic C decomposed to produce CO2 and the decomposition to produce more CO2. In this study,
lesser is organic C preserved. visual evidence of high organic matter content may
be referred to soil color. With increasing rice straw
The CO2-C: C total ratios at different soil clay
application, the soil color became darker. For
percentages, receiving a similar rate of C-rice straw
example, the soil color was dark brown (10 YR 3/3)
were in the order of magnitude 15>30>45>
at 3 to 5% organic C treatment rates compared to
60>75% clay (Table 3). This indicates that amount
dark yellowish brown (10 YR 4/4) at 2% C rate, as
of CO2 evolution decreased as the clay content
measured by Munsell Soil Color Chart.
increased. Although the substrate C is highly
physically protected from microbial decomposers at
a high amount of clay fractions in soils, the data Effect of clay percentage and organic C-rice straw
also do not rule out that the high decomposition rate on soil organic N
occurs as the high organic C substrate available, i.e,
when a high rate of organic C applied. This is due to The effect of rice straw rates on total soil N
soil matrices, especially a clay fraction, have a limit content in different soil clay percentages is given in
of maximum potential capability to protect organic Table 4. The total soil N is significantly higher at

81
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

Table 5. Effect of soil clay contents and C-rice straw application rates on
groundnut yield
C-rice straw Soil clay (%)
treatment 15 30 45 60 75
………………………..……. g pot-1 ………..…………………….
O0 8.17 c 12.50 c 16.58 b 19.36 cd 15.99 c
O1 10.84 bc 15.63 bc 19.22 b 16.82 d 20.71 b
O2 10.28 bc 18.20 b 19.15 b 17.86 cd 20.13 b
O3 13.20 b 24.43 a 24.44 a 21.58 bc 22.08 ab
O4 18.13 a 25.07 a 25.65 a 26.05 ab 25.55 a
O5 22.17 a 27.60 a 25.14 a 25.17 a 23.86 ab
Mean 13.80 B 20.57 A 21.70 A 21.14 A 21.39 A
In a column, means followed a similar small letter are not significantly different at 5%
level by Duncan multiple range test (DMRT). Means in a row followed a similar capital
letter are not significantly different at 5% level by LSD (4.0)

75% clay compared to all other clay percentages. Table 5. There were no significant differences in
The comparison between 45 and 60% soil clay yields obtained at 30, 45, 60 and 75% soil clay but
showed that the total soil N was not significantly those soil clay have significantly higher yields
different, but they have significantly higher total N compared to a 15%. It appears that the suitable soil
compared to 15 and 30% clay. The higher total N clay content for growing and production of
for soils with a high clay percentage compared to groundnut is ≥ 30%. Groundnut yield at 15% soil
soil with low clay can not solely be explained by the clay was 13.8 g pot-1, which was equal to 1.5 t ha-1.
differences in amount of clay percentage, but also The yields at 30, 45, 60, and 70% soil clay range
and more importantly by the differences of total N from 20.6-21.7 g pot-1, equivalent to 2.3-2.4 t ha-1.
to be mineralized although they receive a similar rate The effect of C-rice straw treatments within each
of organic C for each clay fraction. These soil clay percentage indicated that groundnut yields
differences are due to the changes in total soil N as significantly increase at all organic C rates compared
a consequence of adjustment of soil clay fractions to a control treatment (O0) for 75% soil clay. For
using sand. Those differences can not be soil clay fractions at 30 and 45%, rice straw
compensated by rice straw, since the rate of rice treatment at O3, O4, and O5 rates showed the
straw application was based on soil organic C groundnut yields were not significantly different but
content and not on N. they were significantly higher compared to O0, O1,
The interaction between soil N and clay and O2 rates. The maximum yields could be
fractions indicated total N significantly increased achieved at O5 rate within 15 and 30% clay and at
with increasing rate of rice straw applications for O4 rate for 45, 60, and 75% clay fractions.
each soil clay fraction. The rate of rice straw In order to observe in more detail of the effect
significantly increased soil N at the O2 rate for 15% of organic C on groundnut yields, the correlation
clay and at the O3 for 30 and 45% clay fractions was made between yields and total soil organic C.
compared to a control treatment (O). This correlation is different to effect of rates of C-
rice straw treatments on groundnut yield (Table 5).
Groundnut yield The former would provide direct relationship
between yield and amount of organic C content in
The effect of clay percentages and C-rice soils, whereas the latter can provide the effect of C
straw treatments on groundnut yield is shown in application rates after 12 months.

82
M. ANDA ET AL. : PRESERVATION OF ORGANIC MATTER AS AFFECTED BY VARIOUS CLAY CONTENTS IN AN ACID SOIL

30

1. clay 15 %
25

pot-1)
2. clay 30 %

yield(g(g/pot)
3. clay 45 %
20
Ground nutyield 4. clay 60 %
2
1. y = 11.3 x + 2.2 r = 0.91
Groundnut

15
2. y = 11.9 x + 6.5 r 2 = 0.93
3. y = -7.4x 2 + 30.3x - 5.6 r 2 = 0.91
10 4. y = -4.4x 2 + 25.2x - 9.7 r 2 = 0.91

5
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0

Total soil organic C (%)

Figure 4. Relationship between total soil organic C and


groundnut yield at different soil clay fractions

The relationship between groundnut yields and groundnut pods to develop well. On the other hand,
total soil organic C is given in Figure 4. The the higher organic C level needed at high soil clay
relationships are linear for 15 and 30% clay, and content due to large surface sites, adsorbing organic
quadratic for 45 and 60% soil clay. This indicates C to promote soil friable properties needed by pods
that the maximum yields due to the increase of soil for maximum development.
organic C content have been achieved for 45 and
The relationship between groundnut yield and
60% clay, whereas the maximum yields at 15 and
total soil N content indicated a similar pattern to
30% soil clay have not yet achieved. The highest
relationship between groundnut yield and soil
yield in this study was 27.6 g pot-1, equivalent to
organic C, where the linear correlation was obtained
3.1 t ha-1, which was obtained at 1.9% C and 30%
for 15 and 30% clay and quadratic relationship for
soil clay. This was followed by 25.7 g pot-1 or 2.9 t
ha-1 obtained at 1.8% C and 45% soil clay. 45 and 60% clay (Figure 5). The maximum yield of
27.6 g pot-1 was obtained at 0.17% N content at
Since the groundnut yield has achieved
30% clay, followed by about 26.0 g pot-1 at 0.20%
maximum value at 45 and 60%, it is reasonable to
N which is obtained at about 45 and 60% clay. It
point out that a good condition for groundnut
seems that the 0.2% soil N is sufficient to support
production is soil having clay content of 30-45%
optimum yield of groundnut in this study.
with at least 1.5% C (optimum yield for 45% clay)
or clay content may be higher than 45% but soil
organic C content should at least 2.0% (optimum CONCLUSIONS
yield for 60% clay). The lower organic C level
needed at 30-45% clay than the 60% clay is due to 1. The proportion of soil clay content is the major
less surface sites to adsorb organic C and that 1.5% factor responsible for the preservation of organic
C may be sufficient for aggregate formation to C as indicated by (i) total soil organic C linearly
promote a friable soil condition that allows increased with increasing clay fraction, (ii) the

83
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 27/2008

30
1. clay 15 %

2. clay 30 %
25

yield(g(g/pot)
3. clay 45 %

pot )
-1
20 4. clay 60 %

Ground nutyield
1. y = 154.3x + 0.18 r 2 = 0.92
Groundnut
15
2. y = 119.2 x + 7.5 r 2 = 0.92
3. y = -584.0x 2 + 311.4x - 14.4 r 2 = 0.85
10
4. y = -951.5x 2 + 516.2x - 43.7 r 2 = 0.89

5
0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30

Total organic N (%)

Figure 5. Relationship between groundnut yield and total soil N at


different soil clay percentages

higher ratio of total C in 75 against 15% clay Acknowledgement


fraction compared to C ratio in 30 against15%,
We wish to thank Dra. Sri Widati and Mr.
(iii) and the low ratio of C: total C of higher soil
Marzuki for their assistance in CO2 measurement
clay fractions than the lower soil clay.
and glasshouse experiment.
Regression equation indicates that every 15%
clay increment could protect another 0.3%
organic C. REFERENCES
2. The increased rate of organic C applications
Anda, M., S. Widati, E. Suryani, and U. Kurnia.
significantly increased total soil organic C in all 2005. The effect of various clay contents
clay fractions. The increased rates of soil organic and organic matter in controlling alterations
C significantly increased groundnut yield within of soil carbon, CO2 evolution and maize
growth. Jurnal Tanah Tropika 10:91-102.
each soil clay fraction. The highest grain yield
was 3.1 t ha-1, which was achieved at 30% clay Anda, M., J. Shamshuddin, C.I. Fauziah, and S.R.
-1 Syed Omar. 2008a. Mineralogy and factors
having 1.9% organic C, followed by 2.9 t ha at
controlling charge development of three
45% clay with 1.8% organic C. Oxisols developed from different parent
3. The implications of the study are the high materials. Geoderma 143:153-167.
groundnut yield could be achieved by building up __________________. 2008b. Pore space and specific
soil organic C and that organic matter could be surface area of heavy clay Oxisols as
affected by their mineralogy and organic
applied once with high rate per year for soils
matter. Soil Sci. 173(8):560-574.
having finer texture since organic matter could
Bremner, J.M. and C.S. Mulvaney. 1982. Nitrogen
be preserved, whereas for soils having a coarser
total. Pp. 595-624. In A.L. Page., R.H. Miller,
texture (<30% clay) it should be applied and D.R. Keeney (Eds.) Methods of Soil
periodically with lower rate to minimize C loss. Analysis, Part 2, Chemical and Microbiological

84
M. ANDA ET AL. : PRESERVATION OF ORGANIC MATTER AS AFFECTED BY VARIOUS CLAY CONTENTS IN AN ACID SOIL

properties. 2nd ed. American Society of D.R. Keeney (Eds.) Methods of Soil Analysis,
Agronomy, Inc, Madison, WI, USA. Part 2, Chemical and Microbiological
Properties. 2nd ed. American Society of
Christensen, B.T. 1996. Carbon in primary and
Agronomy, Inc, Madison, WI, USA.
secondary organo mineral complexes. Pp.
97-165. In M.R. Carter and B.A. Stewart Oades, J.M. 1988. The retention of organic matter
(Eds.) Structure and Organic Matter Storage in soils. Biogeochemistry 5:35-70.
in Agricultural Soils. Adv. Soil Sci. CRC Oades, J.M. 1995a. An overview of processes
Press, Boca Raton. affecting the cycling of organic carbon in
Franzluebbers, A.J. and M.A. Arshad. 1997. Soil soils. Pp. 293-303. In R.G. Zepp and C.H.
microbial biomass and mineralizable carbon Sonntag (Eds.) Role of Nonliving Organic
of water-stable aggregates. Soil Sci. Soc. Matter in the Earth's Carbon Cycle. John
Am. J. 61:1090-1097. Wiley & Sons Ltd.
Oades, J.M. 1995b. Recent advances in
Feller, C., E. Schouler, F. Thomas, J. Rouiller, and
organomineral interactions: Implications for
A.J. Herbillon. 1992. N2-BET specific
carbon cycling and soil structure. Pp. 119-
surface areas of some low activity clay soils
133. In P.M. Huang, J. Berthelin, J.M.
and their relationship with secondary Bollag, W.B. McGill, and A.L. Page (Eds.)
constituents and organic matter contents. Environmental Impact of Soil Component
Soil Sci. 153:293-299. Interactions: Natural and anthropogenic
Hassink, J. and A.P. Whitmore, 1997. A model of organics. Lewis Publishers. London.
physical protection of organic matter in Parton, W.J. and P.E. Rasmussen. 1994. Log-term
soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 61:131-139. effects of crop management in wheat-
Hassink, J., L.A. Bouwman, K.B. Zwart, J. Bloem, fallow: II. CENTURY model simulations. Soil
and L. Brussaard. 1993. Relationships Sci. Soc. Am. J. 58:530-536.
between soil texture and physical protection Parton, W.J., D.S. Schimel, C.V. Cole, and D.S.
organic matter. Geoderma 57:105-128. Ojima. 1987. Analysis of factors controlling
soil organic matter levels in great plains
Kahle, M., M. Kleber, and R. Jahn. 2002. Predicting
grassland. Soil Sci. Soc. Am. J. 51:1173-
carbon content in illitic clay fractions from
1179.
surface area, cation exchange capacity and
dithionite-extractable iron. Eur. J. Soil Sci. Skjemstad, J.O., P. Clark, J.A. Taylor, J.M. Oades,
53:639-644. and S.G. McClure. 1996. The chemistry and
nature of protected carbon in soil. Aust. J.
Mayer, L.M. 1994. Relationships between mineral Soil Res. 34:251-271.
surfaces and organic carbon concentrations
in soils and sediments. Chemical Geology Sollins, P., P. Homann, and B.A. Caldwell. 1996.
144:347-363. Stabilization and destabilisation of soil
organic matter: mechanisms and controls.
Mayer, L.M., L.L. Shick, K.R. Hardy, R. Wagai, and Geoderma 74:65-105.
J.F. McCharthy. 2004. Organic matter
Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry: Genesis,
content of small mesopores in sediments Composition, Reactions. John Wiley and
and soils. Geochim. Cosmochim. Acta. Sons, Inc, 2nd ed, New York.
68:3863-3872.
Tisdall, J.M. and J.M. Oades. 1982. Organic matter
Mikutta, C., F. Lang, and M. Kaupenjohann. 2004. and water stable aggregates in soils. J. Soil
Soil organic matter clogs mineral pores: Sci. 33:141-163.
evidence from 1H-NMR and N2 adsorption.
Soil Sci. Soc. Am. J. 68:1853-1862. Van de Werf, H. and W. Verstraete. 1987.
Estimation of active soil microbial biomass
Nelson, D.W. and L.E. Sommers. 1982. Total by mathematical analysis of respiration
carbon, organic carbon, and organic matter. curves : Development and verification of the
Pp. 539-779. In A.L. Page, R.H. Miller and model. Soil. Biol. Biochem 19:253-260.

85
PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL UNTUK
JURNAL TANAH DAN IKLIM
Jurnal Tanah dan Iklim terbit dua kali dalam setahun dan memuat hasil-hasil penelitian
dalam bidang tanah dan iklim. Artikel di dalam Jurnal Tanah dan Iklim tersusun atas bagian-
bagian Judul, Abstrak, Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan,
Kesimpulan, dan Daftar Pustaka.
Judul :
Judul harus singkat (maksimum 15 kata), tetapi cukup memberikan identitas subyek,
indikasi tujuan dan memuat kata-kata kunci, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Abstrak :
Abstrak mewakili seluruh materi tulisan dan implikasinya, ditulis secara singkat (sekitar
200 kata) dalam bahasa Indonesia dan Inggris dengan isi yang sama, dan tidak ada
singkatan.
Pendahuluan :
Menyajikan alasan diadakannya penelitian atau hipotesis yang mendasari, ringkasan
tinjauan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dan pendekatan yang
digunakan.
Bahan dan Metode :
Memuat penjelasan mengenai bahan-bahan penelitian, lokasi, dan waktu pelaksanaan.
Metode yang digunakan ditulis dengan jelas dan sistematis, sehingga peneliti lain yang akan
meneliti ulang dapat melakukan dengan cara yang sama.
Hasil dan Pembahasan :
Hasil yang disajikan secara singkat dapat dibantu dengan tabel, grafik, ilustrasi, dan
foto-foto. Masing-masing data disajikan satu kali pada naskah, tabel, atau grafik. Judul tabel
dan gambar, serta keterangannya, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pembahasan
merupakan tinjauan terhadap hasil penelitian secara singkat tetapi cukup luas. Pustaka yang
diacu diutamakan publikasi primer.
Kesimpulan :
Menyajikan hasil penelitian yang dianggap penting untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Daftar Pustaka :
Mencantumkan semua pustaka yang digunakan dengan menyebutkan nama penulis,
tahun penerbitan, judul, penerbit, kota, volume, nomor, dan halamannya, serta pustaka dari
website. Penulisan daftar pustaka sesuai dengan cara yang ada di dalam jurnal ini.
Keterangan :
1. Nama (-nama) penulis disertai catatan kaki tentang profesi dan instansi tempat bekerja.
2. Kata-kata kunci sesuai dengan isi artikel, berpedoman pada Agrovoc, dan ditulis setelah
abstrak.
3. Setiap nama organisme yang disebut pertama kali dalam abstrak atau tulisan pokok
disertai nama ilmiahnya.
4. Makalah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
5. Nama kimiawi yang disebut untuk pertama kali dalam abstrak atau tulisan pokok supaya
ditulis penuh, tidak boleh menyebutkan nama dagang (merk).
6. Angka desimal dalam bahasa Indonesia ditandai dengan koma dan dalam bahasa Inggris
ditandai dengan titik.
7. Naskah diketik dua spasi kurang lebih 20 halaman kuarto, dalam format Microsoft
Word.
8. Gambar, grafik, dan foto hitam putih harus kontras dan jelas.
9. Tabel tanpa garis pemisah vertikal.
10. Makalah dalam bentuk soft copy dan 2 hard copy, diserahkan/dikirimkan kepada
Redaksi Pelaksana Jurnal Tanah dan Iklim.
Jurnal Tanah dan Iklim adalah penerbitan
berkala yang memuat hasil-hasil penelitian
dalam bidang tanah dan iklim dari para
peneliti baik di dalam maupun di luar Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Redaksi
dapat menyesuaikan istilah atau mengubah
kalimat dalam naskah yang akan
diterbitkan tanpa mengubah isi naskah.
Penerbitan ini juga memuat berita singkat
yang berisi tulisan mengenai teknik dan
peralatan baru, serta hasil sementara
penelitian tanah dan iklim. Surat pembaca
dapat dimuat setelah disetujui Dewan
Redaksi. Dewan Redaksi tidak dapat me-
nerima makalah yang telah dipublikasikan
atau dalam waktu yang sama dimuat dalam
publikasi lain. Pembaca yang berminat
untuk berlangganan atau pertukaran publi-
kasi harap berhubungan dengan Redaksi
Pelaksana Jurnal Tanah dan Iklim.

You might also like