Professional Documents
Culture Documents
DI BANDUNG 1950
(by.Hermsylar)
Di tinjau dari bidang politik militer pembubaran KNIL merupakan suatu kemenangan
bagi bangsa Indonesia, akan tetapi apabila ditinjau secara teknis dan psikologis sangat berat
untuk dilaksanakan. Jumlah KNIL yang puluhan ribu, dengan tata organisasi dan mentalitas yang
berbeda, menyebabkan timbulnya ketegangan antara bekas-bekas KNIL dengan para tentara
APRIS.
Dalam rangka pembubaran KNIL termasuk pula didalamnya pemulangan para anggota
KL ke Nederland, hal ini juga menjadikan beban bangsa Indonesia karena pemulangan KL ini
banyak melahirkan masalah-masalah baru, selain menyita biaya yang besar untuk ransum
makanan dan biaya angkutam, sikap kolonialistis dari KL ini banyak melahirkan ketegangan
terhadap kedua belah pihak. Dari sini dimulai ketegangan-ketegangan dan pertikaian-pertikaian
antara anggota KNIL dan APRIS. Pertikaian ini dipicu oleh berbagai faktor, diantarannya seperti
yang diungkapkan oleh HD. Pratikto yang diungkapkan dalam hasil wawancara dengan penulis
pada tanggal 17 September 2005 yang mengatakan:
“..tentu saja kami tidak terima karena mereka (bekas-bekas KNIL) adalah tentara-
tentara yang tidak sama dengan kami (APRIS), TNI adalah tentara pejuang yang
berjuang demi negara, demi rakyat dan demi negara kesatuan Indonesia, sedangkan
bekas-bekas KNIL adalah musuh kami yang mengabdi pada Belanda, yang selalu
kami lawan karena mereka tidak memiliki rasa cinta terhadap negara seperti kami”
(wawancara dengan H.D Pratikto tanggal 17 September 2005)
Melihat pernyataan dari H.D. Pratikto cukup mewakili suara hati para anggota TNI yang
tergabung dalam APRIS. Melihat pernyataan diatas sangat terlihat keenganan para anggota TNI
(APRIS) untuk menerima para bekas tentara KNIL kedalam kesatuan mereka, secara psikologis
hal ini cukup beralasan karena sebelum ditandatangani keputusan KMB tersebut TNI dan KNIL
adalah dua kubu yang selalu bermusuhan. TNI sebagai tentara pejuang yang merasa telah
berkorban dan berjuang demi kemerdekan tentu saja tidak mau menerima bekas musuhnya yang
lebih setia kepada pemerintahan Belanda.
Berdasarkan keputusan KSAD No.40/KSAD/PH/50 tanggal 7 Februari 1950 dan perintah
KSAD No:384/KSAD/PH/1950 yang berisikan pentetapan reformasi dan konsolidasi antara
bekas KNIL untuk digabungkan dengan APRIS dengan TNI sebagai intinya (Dinas Sejarah
Militer TNI-AD,1979:216) Keputusan tersebut mengakibatkan anggaran belanja tidak
mencukupi karena hal tersebut melipatgandakan pengeluaran untuk mendanai jumlah bekas
KNIL yang jumlahnya puluhan ribu. Selain masalah dana yang tidak mencukupi hal tersebut
juga menimbulkan permasalahan baru seperti yang di sampaikan H.D. Pratikto:
“…pada waktu itu, selain secara psikologis kami tidak mau bergabung ada hal lain
yang membuat kami semakin membenci mereka (KNIL), akibat peleburan itu
banyak sekali yang dirugikan terutama teman-teman kami yang juga ikut berjuang
untuk negara, diantara mereka banyak yang di non-aktifkan dan dikembalikan ke
masyarakat. Hal ini dilakukan untuk memperkecil pengeluaran negara untuk
mendanani peleburan KNIL dan pemulangan KL ke negeri Belanda” (wawancara
dengan H.D.Pratikto tanggal 17 September 2005).
Berdasarkan hasil wawancara dengan H.D. Pratikto diatas dapat dilihat bahwa banyak
sekali permasalahan yang ditimbulkan oleh kebijakan peleburan KNIL kedalam APRIS ini.
Selain perbedaan yang sudah mengakar karena sebelumnya KNIL dan APRIS merupakan
musuh, ditambah lagi para anggota TNI semakin merasa dijadikan korban dengan banyaknya
para anggota TNI yang harus diberhentikan hanya karena untuk efesiensi dana dan memangkas
pengeluaran negara untuk peleburan KNIL kedalam APRIS tersebut.
Berbicara mengenai Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) tidak dapat dipisahkan dari
seorang tokoh yang sekaligus pemimpin tertinggi dari APRA yaitu Raymond Pierre
Westerling. Raymond Piere Westerling, ia merupakan orang Belanda campuran antara Belanda,
Turki dan Yunani. Westerling dilahirkan pada bulan Agustus 1919 di Istanbul, Turki. Ia berasal
dari seorang ayah Belanda dan Ibu seorang Turki-Yunani. (Dinas Sejarah Militer TNI-
AD,1979:218). Westerling di gambarkan sebagai sosok yang tegap dan kekar dengan tinggi
badan 170 cm. Suaranya keras dan lancar berbahasa Belanda dan Inggris serta sudah bisa
berbicara dalam bahasa Indonesia (Suara Bogor, 21 Januari 1950)
Karier hidupnya dalam ketentaraan dimulai sebagai seorang sukarelawan dalam tentara
pemerintah pelarian Belanda di Mesir, kemudian diperbantukan kepada kesatuan-kesatuan
Inggris pada saat Perang Dunia II. Kemudian Westerling menyelesaikan pendidikan militer di
Kanada dan selesai pada tahun 1944. Setelahnya Westerling diangkat sebagai instruktur dalam
kemiliteran Belanda. Masih pada tahun yang sama, Westerling diperintahkan untuk
melumpuhkan kekuatan Nazi Jerman di Belgia sebagai pemimpin dalam menyusun gerakan
bawah tanah di negara tersebut.(Wilson,1992:71). Selain itu, Westerling juga menjadi anggota
Staf Prins Bernhard dan berhasil menumpas pasukan ilegal di Brabant dan Linburg di negeri
Belanda (Pusemad,1965:43). Dari riwayat hidup dan pendidikan serta dari misi-misi yang telah
dilakukan oleh Westerling dapat dilihat bahwa Ia merupakan seseorang yang cerdas dan
memiliki kemampuan untuk mengatur sebuah organisasi. Karena hanya seseorang yang memiliki
kecerdasan dan bakat saja yang ditugaskan dalam tugas-tugas kemiliteran yang sangat penting.
Tugas sebagai pemimpin gerakan bawah tanah di Belgia menunjukan bahwa Westerling
memiliki kemampuan yang baik dalam menyusun strategi dan siasat untuk melakukan
penyerangan secara rahasia.
Westerling mulai mengenal Indonesia pada bulan Agustus 1945 ketika ia diterjunkan
disekitar Medan oleh Sekutu sebelum Jepang menyerah. Penerjunan ini dilakukan sebagai upaya
persiapan pendaratan tentara Sekutu di Sumatera. Pada waktu itu Westerling masih berpangkat
Letnan dan menjabat sebagai anggota Dinas Kontra Spionase dari Tentara Kerajan Belanda.
Tidak lama kemudian Westerling ditugaskan di Makassar, dan namanya mulai dikenal orang
karena tindakan-tindakannya. Menurut beberapa sumber yang dipublikasikan di Indonesia seperti
Dinas Sejarah TNI-AD, selama bertugas di Sulawesi Selatan Westerling telah membantai
sedikitnya 40.000 orang. Namun menurut perkiraan Kahin, yang terbunuh di Sulawesi tidak
mencapai angka 40.000 jiwa, namun berjumlah sekitar 11.000 orang sipil dan hanya sekitar 500
sampai 1.000 orang yang menjadi tanggung jawab langsung Westerling.
Di sini penulis tidak akan mempermasalahkan mana yang benar mengenai jumlah korban
yang terbunuh pada masa Westerling bertugas di Makassar, Sulawesi Selatan, apakah seperti
yang dituliskan dalam buku-buku terbitan Indonesia atau perkiran dari Kahin yang benar, hal ini
akan bergantung sekali pada sudut pandang penulis dan kepentingan yang ada dibaliknya.
Namun, satu hal yang dapat dipastikan bahwa selama menjalankan tugasnya di Makassar,
Sulawesi Selatan, Westerling telah memperlihatkan jati dirinya sebagai seorang kapten Belanda
yang ditakuti karena reputasinya.
“Bagi setiap orang jang datang dari Sulawesi Selatan tentu tidak akan kehabisan
bahan bila bertjerita tentang tjara2 dan kekedjaman-kekedjaman Westerling. Tiba-
tiba bisa melakukan aksi pembersihanja mengepung sebuah kampung kemudian
mengumpulkan semua orang di suatu lapangan. Dengan sekehendak hati
Westerling sanggup menundjuk seseorang diantara mereka sebagai pengatjau dan
menembaknja dengan tangan sendiri dihadapan orang banjak itu”
Keterangan mengenai pemindahan tugas Westerling dari Sulawesi Selatan ke Jawa Barat,
Madjalah Merdeka (21 Januari 1950) menuliskan:
“…Setelah Palar, jang ketika itu masih mendjadi anggota parlemen Belanda
membongkar soal itu, mulailah kelihatan akibat aksi Westerling. Dengan begitu
soal Westerling yang sudah mulai hangat itu telah mulai ditekan dan mentjoba
mendiamkannja. Westerling dengan pasukannja dengan diam-diam ditarik dari
Sulawesi Selatan. Westerling tiba-tiba muntjul di Djawa Barat”
Menanggapi pernyataan Komisaris Agung di atas, Harian Tanah Air tanggal 16 Januari
1950 menuliskan:
“Jang hendak kita bitjarakan disini ialah sikap Belanda dan Pemerintah RIS.
Omong kosong kalau Hirschfeld mengatakan Belanda tidak tahu dan tidak
tjampur2. biarpun Westerling telah berhenti dari KNIL semenjak pertengahan tahun
1948, Omong kosong kalau Belanda tidak tahu Dr. Koets jang sekarang masih ada
di Djakarta tentu pula bisa bertjerita dari mana Westerling dapat sendjata2 dan dari
mana dapat ratusan ribu untuk memelihara pasukan2 liarnja?”.
Pernyataan dari Komisaris Agung Belanda di atas sebenarnya sangat kontradiktif dengan
kenyataan sebenarnya, karena dalam usahanya menyusun kekuatan dan membentuk pasukan
APRA, Westerling memperoleh bantuan secara langsung dari pimpinan KNIL di Bandung yaitu
Jenderal Engels. Selain itu Westerling juga mampu menyediakan kebutuhan pasukan-
pasukannya dengan baik dengan menyediakan persenjataan, makanan dan perlengkapan perang
lainnya, hal ini tentu saja memerlukan dana yang besar. Apabila tidak dibantu oleh pihak
Belanda dari mana Westerling memperoleh dana operasional pasukannya. Keterlibatan
pemerintah Belanda ini terlihat dari surat dukungan yang diberikan Engels untuk Westerling
(Dinas Sejarah Militer TNI-AD,1979:44) di bawah ini:
Surat dukungan dari Engels diatas memperlihatkan bahwa pemerintah Belanda masih
belum puas atas apa yang telah di capai Republik Indonesia. secara tersirat surat tersebut
memperlihatkan bahwa usaha-usaha Westerling dalam mengkampanyekan gerakan anti negara
kesatuan Indonesia telah mendapat persetujuan dan dukungan dari pemerintah Belanda.
Setelah mendapat dukungan secara tertulis dari Jenderal Engels dan mendapat simpati
dari tokoh-tokoh yang mendukung bentuk negara federal seperti Sultan Hamid II maka
Westerling semakin yakin atas apa yang akan dilakukannya. Situasi ini semakin dikuatkan oleh
keadaan politik yang sedang memanas pada waktu itu terutama ketegangan antara para tentara
APRIS yang enggan untuk menerima bekas-bekas KNIL kedalam kesatuan mereka. Pada masa
ini, gejolak politik dalam negeri masih belum stabil karena banyaknya pemberontakan-
pemberontakan yang bersifat separatis seperti DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia),
serta situsi militer Indonesia yang masih compang-camping karena tersita perhatiannya untuk
menumpas pemberontakan PKI pimpinan Muso di Madiun dan adanya golongan-golongan yang
tidak setuju atas berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia. Golongan ini terutama golongan
Islam yang menginginkan berdirinya negara Islam di Indonesia seperti tokoh-tokoh gerombolan
DI.
Westerling adalah sosok yang cerdas dan peka terhadap keadaan sekitarnya, hal ini juga
berlaku saat ia menyadari pentingnya peranan agama dan kepercayaan di kalangan rakyat
Indonesia, khususnya di daerah Jawa Barat. Untuk mencari dan mendapat dukungan yang positif,
menurut Majalah Merdeka (21 Januari 1950) untuk menunjukan bahwa Westerling merupakan
seorang Islam ia selalu mengucapkan “Bismillahirrohmannirrohim” dan “Assalamualaikum”
setiap mengadakan pertemuan dengan pasukan-pasukannya.
“…Dia dikatakakan djarang marah dan bisa menahan nafsu. Dia memperlihatkan
seakan2 orang yang baik hati. Pengaruhnya terhadap pasukanja sangat kuat mereka
rela mati demi dia, walau punya sikapnja keras dan tindakanja kedjam…”
“Gerakan ini adalah suatu pergerakan penetapan hak-hak sebagai manusia dan
memandang rakyat seperti memandang pundamen mas yang berharga. Khususnya
untuk umat Islam dan umumnya untuk makluk Allah seluruhnya tidak memandang
bangsa apapun juga.
Kita selaku putra dan putri Indonesia atau selaku warga negara yang telah lahir di
Indonesia harus mengakui apakah artinya kemerdekaan yang sebetulnya.
Setiap langkah harus bersandar kepada wet (undang-undang) dan negara.
Selaku bangsa Indonesia atau selaku suku bangsa umumnya janganlah memandang
kepada yang lain musuh karena dalam Alqur’an telah disebutkan sesungguhnya
orang alim itu harus bersaudara.
Selaku negara yang merdeka haruslah didalamnya ada kemerdekaan yang seluas-
luasnya bangi bangsa dan suku bangsa lainnya tidak ada rasa bimbang, takut dan
lain-lain untuk mencari nafkah hidup yang halal, di manapun ta’ ada rintangan dari
fihak siapapun. Bilamana rintangan itu terjadi bagi rakyat dan masyarakat maka
tentara akan bertindak. Kita akan menghancur leburkannya.
Tentara kita adalah tentara yang disukai oleh rakyat dan masyarakat karena di
dalamnya penuh dengan segala keadilan dan kebijaksanaan yang ditunjukan kepada
umum. Tentara kita bukan suatu tentara yang berani mati kalau membela keadilan
dan kebenaran.
Tentara kita adalah suatu tentara yang berdiri dari segala bangsa yang umumnya
pecinta kebenaran dan keadilan. (Disjarah AD,1975:189 (manuskrip)
Ajakan yang dibuat Westerling untuk menarik simpati dari masyarakat yang
berlandaskan kepada kepercayaan masyarakat tersebut merupakan suatu metode yang hampir
mirip dengan ajakan dari para nabi pemimpin spiritual dari gerakan millenarian seperi gerakan
gerakan Pai Maire di Selandia Baru pada tahun 1864-1867, gerakan Munda dan Birsa di Chotta
Nagpur, India pada tahun 1899-1900, Pemberontakan Maji-Maji di Afrika Timur, Tanzania pada
tahun 1905-1906 dan Pemberontakan Saya San di Birma pada tahun 1930-1932 (Adas:1979: 1-
51). Model ajakan yang dilakukan Westerling adalah mengajak semua lapisan masyarakat untuk
menganggap bahwa misi yang akan dijalankan oleh tentara-tentara APRA adalah misi suci untuk
menggulingkan ketidakadilan di Indonesia.
(1) keputusan para pemimpin kenabian untuk memimpin para pengikut mereka dalam
pemberontakan; (2) hilangnya kekuasaan yang efektif atas para pengikut dari para nabi ke
tangan para pemimpin sekunder yang cenderung lebih suka menggunakan kekerasan; dan
(3) gagalnya para penguasa untuk mengambil tindakan cepat atau keteledoran
Ketiga faktor diatas apabila diterapkan pada kasus Perlawanan APRA yang dikomandoi
Westerling di Bandung memiliki beberapa kesamaan, walaupun unsur-unsur millenarian dan
mesianistis tidak terlalu menonjol pada gerakan ini. Faktor pertama yaitu keputusan para
pemimpin kenabian untuk memimpin para pengikut mereka dalam pemberontakan bisa diartikan
bahwa Westerling menempatkan dirinya sebagai tokoh yang identik dengan tokoh kenabian yang
bertugas memimpin umatnya untuk melawan ketidakadilan yang telah dilakukan penguasa
(pemerintah Indonesia) terhadap para pengikutnya (bekas-bekas KNIL). Kedua yaitu hilangnya
kekuasaan yang efektif atas para pengikut dari para nabi ke tangan para pemimpin sekunder
yang cenderung lebih suka menggunakan kekerasan, bisa diartikan bahwa pemerintah Indonesia
telah hilang kharismanya di mata para pengikutnya (bekas-bekas KNIL) karena dianggap telah
gagal dalam mengakomodasi keinginan mereka. Dalam hal ini kegagalan mobilisasi bekas-bekas
KNIL bisa dipandang sebagai penyebab utama hilangnya rasa percaya para anggota KNIL
terhadap pemerintahan Indonesia. Hal ini digunakan Westerling untuk mengakomodasi para
tentara KNIL yang merasa kecewa dan tidak percaya terhadap pemerintah Indonesia untuk
melakukan perlawanan dengan kekerasan Faktor ketiga yaitu gagalnya para penguasa untuk
mengambil tindakan cepat atas keteledoran yang telah mereka lakukan. Hal ini dapat dilihat
sebagai kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengakomodasi kepentingan bekas-bekas KNIL
untuk dimobilisasi kedalam APRIS, sehingga kegagalan ini dimanfaatkan oleh Westerling
sebagai sarana penguat untuk dijadikan sebagai alasan perlawanan APRA terhadap pemerintahan
Indonesia.
Sebelum melakukan serangan terhadap Markas Kwartier Divisi Siliwangi yang berada
pada jalan Oude Hospitalweg, kini dikenal dengan nama jalan Lembong. Westerling bukan orang
yang tanpa perhitungan, namun ia merupakan seseorang yang selalu terencana dengan terperinci
sebelum melakukan misi-nya.
Laporan diatas yang dikutip dari Dokumen Millitary Intelegen No. 2/M/I/49
memperlihatkan bahwa rencana perlawanan yang akan dilakukan Westerling merupakan
manifestasi dari rencanaPolitional Acte ke III yang telah direncanakan Belanda melalui
pelaksananya yaitu Westerling. Politional Acte ke III seperti yang diinformasikan oleh H.M
Siradz (wawancara tanggal 17 September 2005) dalam istilah militer bisa disamakan dengan aksi
agresi militer yang telah dilaksanakan oleh Belanda pada masa sebelumnya. Namun ternyata
yang dilakukan Belanda tidak sama dengan aksi-aksi sebelumnya yang menggunakan tentara-
tentara mereka, namun kali ini mereka kembali kepada menggunakan cara mereka sebelumnya
dengan memanfaatkan situasi ketegangan antara bekas-bekas KNIL dengan TNI yang pada masa
itu sedang dalam konflik yang memanas.
“Belanda dari dulu itu memang pintar memanfaatkan situasi yang sedang
berlangsung, sebenarnya kita sudah beberapa kali diadu domba oleh mereka
(Belanda). Contohnya sudah tidak perlu saya sebutkan, anda pasti lebih tahu dari
saya. Pemberontakan APRA yang dipimpin Westerling menurut saya adalah salah
satu manifestasi dari politik devide et impera yang sudah beberapa kali digunakan
Belanda. Bukankah bekas-bekas KNIL itu juga bangsa Indonesia? namun karena
mereka (KNIL) sudah terhasut oleh Belanda sehingga mereka lebih memilih
melawan bangsanya sendiri” (Wawancara tanggal 17 September 2005).
Menilik kedua pendapat diatas, menurut penulis cukup beralasan karena melihat kenyataan
bahwa KNIL merupakan orang-orang Indonesia yang merasa kecewa atas kebijakan pemerintah
RIS yang tidak dapat memenuhi keinginan mereka sehingga bisa saja kekecewaan ini
dimanfaatkan oleh pihak lain yang juga tidak suka atas kemerdekaan bangsa Indonesia yang
sudah terealisasi. Sehingga sah-sah saja apabila H.M Sirodz dan H.D Pratikto menganggap
perlawanan APRA itu sebagai salah satu manifestasi dari politik devide et impera atau politik
adu domba antara bekas-bekas KNIL dengan TNI.
. Usaha Westerling selalu mendapat bantuan tidak saja dari golongan-golongan yang tidak
menghendaki kemerdekaan, akan tetapi mendapat dukungan juga dari pembesar Sipil maupun
Militer, khususnya Sultan Hamid II dan Mayor Jenderal Hegel yang telah disinggung pada
bagian sebelumnya.
Tujuan utama perlawanan APRA di Bandung adalah sebagai langkah awal untuk
mewujudkan pemerintahan sendiri yaitu pemerintahan Ratu Adil Indonesia (RAPI) suatu bentuk
pemerintahan baru yang bertujuan untuk menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) (Pusjarah AD,1965:52). Jadi dengan kata lain Westerling telah mempersiapkan secara
matang semua langkah-langkah yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan sendiri dalam
kekuasaan APRA. Pembentukan TKD juga dimaksudkan Westerling sebagai organisasi bagian
dari APRA yang bertugas sebagai tentara pengaman RAPI.
Perbedaan jumlah anggota APRA diatas memang cukup membingungkan penulis namun
setelah dilakukan analisis dan pengumpulan informasi dari saksi sejarah yang berhasil
diwawancarai yaitu H.D Pratikto, jumlah personel APRA yang melakukan penyerangan
berjumlah sekitar 250-300 orang saja. Hal ini di perkuat oleh informasi dari H.M Siradz yang
melakukan pengejaran dan pemusnahan para anggota APRA yang terlibat pada penyerangan di
Bandung yang mengatakan bahwa para anggota APRA melarikan diri mengendarai tujuh Truk
dan sekitar 200 orang berhasil dimusnahakan di perkebunan karet Vada di Cianjur dan sisanya
melarikan diri. Jadi beradasarkan informasi dari kedua pelaku sejarah diatas penulis lebih
condong kepada pendapat H.D Pratikto dan H.M Siradz yang menaksir jumlah personil APRA
berjumlah sekitar 200-300 orang yang terlibat secara langsung.
Berdasarkan informasi dari Abung Kusman (wawancara 8 Desember 2005), tidak semua
pasukan APRA bersenjata dan ikut melakukan penyerangan ke Bandung, karena sebagian lagi
telah di berangkatkan ke Jakarta yang dipimpin langsung oleh Westerling. Dari informasi-
informasi diatas tidak ada jumlah yang pasti yang secara akurat menyebutkan jumlah personel
APRA, jadi sangat beralasan apabila terdapat berbagai versi mengenai jumlah anggota APRA
tersebut.
Selain sumber dana diatas, menurut Kantor Berita Rusia TASS, yang dikutip oleh Warta
Indonesia (24 Januari 1950), sumber dana yang di dapatkan Westerling juga diperoleh dari
bantuan dari Inggris, dengan dana ini Westerling memperoleh dana untuk penyediaan amunisi
dan perlengkapan perang prajurit. Lebih lanjut TASS memberitakan bahwa Westerling
merupakan agen Inellegence Service Inggris yang mendarat di Sumatera tahun 1945.
Mengenai asal muasal personel APRA yang melakukan penyerangan terhadap Markas
Militer Divisi Siliwangi berdasarkan sumber-sumber diatas jumlah terbanyak adalah bekas-bekas
KNIL yang merasa tidak puas terhadap kebijakan RI. Sedangkan sisanya bisa berasal dari mana
saja yang memiliki pemikiran atau idiologi yang sejalan dengan Westerling.
Sebelum melakukan serangan, dengan penuh keyakinan atas usaha yang telah
dilakukannya akan mendapatkan hasil sesuai dengan yang telah direncanakan, Westerling
menirimkan Ultimatum terhadap Pemerintah RIS (Disjarah AD:1965:53) yang berisikan:
Agar kekuasaan Militer di daerah Pasundan/ Jawa Barat sepenuhnya diserahkan saja pada
APRA, mengingat Tentara Nasional Indonesia (TNI) kurang mampu melaksanakan tugas
itu.
Setelah melihat bahwa ultimatum yang telah dikeluarkannya tidak ditanggapi dengan
serius, Westerling memutuskan untuk melakukan rencana besarnya yaitu melakukan kudeta
secara besar-besaran. Kudeta tersebut akan di laksanakan di dua kota yaitu Bandung dan Jakarta.
Pada tanggal 22-23 Januari 1950 (Kahin:1952:576-577), (Pusjarah AD,1963:53)
Pemilihan dua kota yaitu Bandung dan Jakarta sebagai sasaran untuk melaksanakan
kudeta di pengaruhi oleh beberapa pertimbangan, di antaranya adalah kota Bandung merupakan
salah satu kota yang strategis baik secara politik maupun militer. Apabila kota Bandung dapat
dilumpuhkan dan Divisi Siliwangi di kuasai maka salah satu pusat kekuatan militer RIS akan
hancur dan hal ini akan memudahkan untuk melaksanakan rencana selanjutnya yaitu menduduki
Jakarta yag merupakan kota terpenting dan merupakan pusat pemerintahan RI. Apabila kedua
kota tersebut dapat dikuasai maka secara otomatis pemerintahan RI dapat di ambil alih.
Karena letak Bandung dan Jakarta cukup jauh dan memerlukan waktu dalam
pelaksanaanya. Akhirnya Westerling memutuskan untuk membagi dua pasukannya. Sebagian
dari pasukan yang bersenjata lengkap dan mendapat bantuan dari anggota KNIL memiliki tugas
untuk menyerbu dan menguasai Bandung pada tanggal 23 Januari 1950. sedangkan sebagian lagi
yang dipimpin langsung oleh Westerling akan berangkat menyerbu Jakarta.
Pada hari Minggu tanggal 22 Januari 1950 Pimpinan Divisi Siliwangi menerima
laporan dari Letnan Kolonel Sentot Iskandar Dinata, tentang adanya kegiatan-kegiatan pasukan
bersenjata di sekitar daerah Cililin. Pasukan tersebut dipimpin oleh van Beelden dan van der
Meulen. Keduanya merupakan bekas anggota polisi Belanda. Pasukan bersenjata ini berhasil
menguasai dan memblokir jalan antara Cimahi dan Bandung. Hari berikutnya yaitu tanggal 23
Januari 1950 pada pukul 04:30 di luar kota Bandung telah terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata
antara pasukan ini dengan polisi negara yang bertugas di pos-pos penjagaan di Cimindi,
Cibereum dan pabrik Mecaf. Pasukan ini berhasil melucuti dan menguasai pos-pos penjagaan
tersebut, untuk selanjutnya mereka bergerak ke arah Bandung dengan menggunakan berbagai
kendaraan seperti truk, sepeda motor, Jeep dan tidak sedikit yang berjalan kaki. (Suara Bogor 24
Januari 1950).
“Pada tanggal 23 Januari 1950 jam 09:00 pagi gerombolan APRA dari jurusan
Cimahi bergerak menuju ke kota Bandung. Mereka mmakai truk, Yeep dan motor
piet, kemudian ada juga berjalan kaki beruniform, bersenjata lengkap jumlah
semuanya kira-kira 500 orang.
Di sepanjang jalan Cimah—Bandung diadakan Stelling di gang-gang di sana-sini
dilepaskan tembakan ke atas, ada pula yang ditujukan kearah beberapa rumah. Pos-
pos polisi sepanjang jalan raya seperti Cimindi, Cibereum dan lain-lainnya dilucuti.
Sesampainya dikota Bandung mereka menimbulkan kepanikan di kalngan rakyat.
Toko-toko ditutup, rumah-rumah ditutup, jalan-jalan menjadi sepi”
Menurut Suara Bogor (24 Januari 1950), pasukan Westerling bergerak dari dua jalur
yaitu dari Utara (jalur Lembang) dan dari jalur Barat (jalur Cimahi). Keterangan dari Suara
Bogor ini diperkuat oleh informasi dari Abung Kusman (wawancara tanggal 10 Desember 2005)
yang mengatakan bahwa pasukan APRA yang menyerang Bandung terbagai kedalam dua jalur
yang masing-masing dipimpin oleh Letnan Pontalo dan Letnan Sadikin. Mereka kemudian
bertemu dan menggabungkan diri di Jl. Asia Afrika.
Suasana berubah menjadi ketegangan ketika pasukan APRA mulai melakukan tindakan
penembakan yang diarahkan kepada anggota-anggota TNI yang sedang berpatroli ataupun
penduduk yang ada berpapasan dengan gerombolan APRA ini. Menurut keterangan Jumahara
(wawancara tanggal 25 September 2005) salah satu penduduk sipil yang berada di sekitar jalan
Asia Afrika sekarang, ia mendengar letusan-letusan dari senjata dan rentetan tembakan kemudian
ia lari untuk bersembunyi. Menurut keterangannya, yang menjadi sasaran bukan hanya para
anggota TNI melainkan penduduk sipil yang berada di depan pasukan APRA juga menjadi
sasaran tembak. Selain menembaki mereka juga melakukan perampasan dan penjarahan terhadap
toko-toko yang berada di sana.
Tindakan penembakan terhadap para anggota TNI dan penjarahan terhadap toko-toko
yang dilakukan tentara APRA telah menimbulkan kepanikan diantara anggota Staf Kwartier
Divisi Siliwangi yang waktu itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Sutoko. Tiba-tiba pasukan APRA
muncul dan menyerbu Staf Kwartier Divisi Siliwang, anggota TNI yang sedang berada disana
sebanyak 15 orang. Pertempuran berlangsung sekitar setengah jam, karena tidak ada persiapan
dan persedian peluru yang sangat sedikit dari pasukan Siliwangi pasukan APRA dapat
menguasai keadaan dan berhasil menguasai markas tersebut. Menurut H.D.Pratikto, yang
berhasil lolos adalah Letnan Mashudi, Letkol Sutoko dan Letkol Abimanyu yang bersembunyi
kemudian melompati tembok dibelakang markas Siliwangi. (wawancara H.D.Pratikto)
Ketika terjadi pertempuran yang berlangsung di Staff Kwartier, Letkol Lembong dengan
tergesa-gesa pergi ke Staf Kwartier. Sewaktu mobil yang di kendarainya memasuki halaman
Markas Staf Kwartier, tiba-tiba dihujani tembakan-tembakan, Letkol Lembong tidak sempat
melakukan perlawanan, akhirnya Letkol Lembong beserta ajudannya Letnan Leo Kailola kena
tembakan dan meninggal dunia. Menurut keterangan Amih (wawancara tanggal 10 Desember
2005) menyebutkan bahwa ia melihat secara langsung proses penembakan terhadap Letkol
Lembong yang baru datang, setelah Letkol terjatuh dari mobilnya kemudian di seret oleh
pasukan APRA dan dibacok berkali-kali oleh bayonet sampai mati.
Setelah berhasil melumpuhkan markas militer divisi Siliwangi, pasukan APRA terus
melakukan pendudukan terhadap tempat-tempat lainnya dan melakukan penyisiran di sepanjang
rute jalan yang mereka lalui. Selagi melancarakan penyisiran tersebut, tepat disekitar jalan Dago
dan jalan Riau, di depan Apotek Rathkamp, pasukan APRA berpapasan dengan para anggota
Komisi Penyelidik dan Percobaan Teknik (KPPT) Staf Q Angkatan Darat yang sedang
melakukan perjalanan dari Jl. Ringboulevard no.33 (sekarang jalan Dipati Ukur) ke arah menuju
jalan Dago.(Pusjarah AD,1965:57).
Ketika peristiwa APRA terjadi, Panglima Divisi Siliwangi yaitu Kolonel Sadikin sedang
mengadakan perjalanan ke luar kota yaitu ke Subang bersama Gurbenur Jawa Barat, Sewaka.
Setelah menerima laporan tentang kejadian penyerbuan APRA terhadap kota Bandung,
kemudian Kolonel Sodikin melakukan perundingan untuk mengambil langkah-langkah yang
akan dilakukan. Keputusan dari perundingan mendadak ini diantaranya adalah Gurbenur Suwaka
akan berangkat ke Jakarta untuk menghadap Menteri Pertahanan, Sultan Hamengkubuwono IX
untuk melaporkan kejadian penyerbuan pasukan APRA ke kota Bandung dan menunggu perintah
untuk mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan masalah perlawanan APRA tersebut.
Usul yang disampaikan kepada Menteri Pertahanan dari Divisi Siliwangi Bandung adalah akan
menggunakan batalyon-batalyon Siliwangi yang ada di Jawa Barat dan kalau diperlukan akan
mendatangkan bala bantuan pasukan dari Jawa Tengah untuk melakuan penumpasan APRA
(Wawancara H.D Pratikto tanggal 17 September 2005).
Setelah mengadakan pembicaraan dengan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel
TB Simatupang, atas usulan tersebut disusunlah suatu instruksi yang isinya agar segera disiapkan
sejumlah batalyon untuk melakukan serangan balasan terhadap APRA yang menduduki kota
Bandung. Instruksi ini segera disampaikan kepada Panglima Siliwangi secara khusus, Kolonel
Sadikin yang pada waktu itu masih berada di Subang segera menyiapkan pasukan yang ada di
Subang untuk berangkat ke Bandung. (Pusjarah AD, 1965:68).
Pertemuan-pertemuan antara RIS dengan Komisasris Tinggi Belanda juga
sudah dilakukan sesaat setelah terjadinya penyerangan APRA pada tanggal 23 Januari 1950. dari
pihak TNI diwakili oleh Kepala Staf Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Dr. Ery Sudewo, dan dari
pihak Belanda diwakili oleh Komandan KNIL di Bandung Jenderal Engels. Hasil perundingan
yang diperoleh adalah tentara APRA harus meninggalkan Bandung pada tanggal itu juga yaitu
tanggal 23 Januari 1950. Hasil perundingan ini disampaikan kepada pemerintah RIS oleh
komandan KNIL bahwa pasukan APRA telah dapat dikuasai dan telah dikembalikan ketangsi-
tangsinya. Dengan adanya berita ini Kementrian Pertahanan RIS menganggap bahwa gejolak di
Bandung telah diselesaikan.
Hal itu tidaklah seperti yang dilaporkan oleh komandan KNIL kepada pemerintah RIS,
tidak semua anggota APRA dapat dikuasai dan banyak yang melarikan diri ke arah Barat kota
Bandung, yaitu kearah Cianjur.
Daerah Cianjur yang menjadi tanggung jawab Batalyon Kala Hitam di bawah pimpinan
Kapten Sutoko telah mengetahui bahwa APRA menuju ke daerahnya. Kapten Sutoko kemudian
menghubungi pos-pos pleton yang berada di Cianjur untuk segera bersiap menghadapi
kedatangan pasukan APRA dari Bandung yang akan menuju Jakarta. Pos terdepan Peleton I Ki I
di pimpin oleh Letnan Furqon (daerah Cipeyem), Pos Pleton II Ki I Ciranjang di pimpin oleh
Letnan Yusuf dan Pos Pleton III Ki I di pimpin Letnan Siradz.
Letnan Sirodz juga merupakan Komandan Kompi Bataliyon 301 yang memiliki nama
sandi kompi Kala Hitam. Letnan Sirodz yang sedang berjaga di Cikalong Kulon, Cianjur
mendengar kabar tentang pembunuhan para tentara anggota divisi Siliwangi dari seorang supir
mobil angkutan yang baru dari Bandung. Melalui informasi dari supir tersebut Letnan Siradz
mengerahkan anak buahnya yang berjumlah sekitar 50 orang untuk berjaga-jaga membentuk
pertahanan dan memblokade jalur masuk yang mungkin dilalui oleh para anggota APRA yang
mau hijrah ke Jakarta. (Hasil Wawancara dengan Pak. H.M Sirodz, 17 September 2005).
1. Pertempuran di Cipeyem
Para anggota TNI yang ada di pos terdepan Peleton I Ki I pimpinan Letnan Furqon
berjumlah 40 orang. Mereka sudah berjaga-jaga dari pagi dan menutup jalan dengan
menggunakan penghalang kereta api untuk menahan laju truk-truk yang dipakai oleh tentara
APRA.
Pada tanggal 24 Januari 1950 sekitar jam 15.00 WIB sore rombongan tentara APRA
mulai memasuki daerah Cipeyem. Iring-iringan pasukan APRA mengendarai 2 buah mobil Jeep
dan 7 buah truk berjalan secara beriringan. Mengenai jumlah dari pasukan APRA ini tidak
diketahui dengan pasti, menurut hasil wawancara dengan H.D Pratikto dan H.M Sirodz dapat
diperkirakan berjumlah sekitar 200 orang yang terbagi kedalam 7 truk.
Penghadangan ini menimbulkan kontak senjata yang cukup lama. Para anggota APRA
yang menggunakan truk menembaki para anggota Batalyon Kala Hitam dari Atas Truk, hal ini
menyulitkan para tentara batalyon pimpinan Letnan Furqon karena harus menjaga jarak tembak
dengan para pasukan APRA yang terlindungi di dalam truk. Karena kalah jumlah dan sulitnya
menghentikan truk-truk tersebut, pasukan yang dipimpin Letnan Furqon tidak dapat menahan
laju truk-truk tersebut dan pasukan APRA berhasil lolos. Walaupun tidak ada korban jiwa,
kontak senjata ini melukai beberapa anggota Batalyon pimpinan Letnan Furqon. Setelah tidak
berhasil menahan dan menghentikan pasukan APRA di daerah Cipeyeum, Letnan Furqon
menghubungi letnan Yusuf yang berada didaerah Ciranjang, untuk memnginformasikan ketidak
berhasilan penghadangan dan mengingatkan Letnan Yusuf dengan pasukannya agar bersiap-siap
menghentikan kedatangan rombongan tentara APRA tersebut.
2. Pertempuran di Ciranjang
Sekitar jam 19.00 Malam setelah Isya, rombongan APRA mulai memasuki daerah
Ciranjang. Anggota Batalyon yang berada di Ciranjang sudah mendengar dari letnan Furqon
mengenai kemungkinan masuknya pasukan APRA melalui Ciranjang atau Cipanas yang sedang
menuju ke Jakarta.
Sebelum melewati jembatan Cisokan, pasukan APRA telah melihat adanya tentara-
tentara yang sedang berjaga-jaga. Dalam keadaan gelap pasukan APRA mulai melakukan
penembakan atas pasukan TNI yang ada disana. Letnan Yusuf yang berjaga disana mengerahkan
pasukannya untuk menghentikan pasukan APRA tersebut dengan membolkade jalan dan
menembaki truk-truk tersebut dari pinggir-pinggir jalan. Dalam kontak senjata ini jatuh satu
orang korban dari TNI dan beberapa orang luka-luka.
3. Penghadangan di Ciranjang
Letnan Sirodz yang sudah mendengar informasi dari Letnan Furqon dan Lentan Yusuf
segera memerintahkan anak buahnya untuk berjaga-jaga dan menghentikan setiap kendaraan,
terutama truk-truk yang mencurigakan. Sekitar Pukul 02.30 dini hari letnan Sirodz menghentikan
sebuah Pick Up yang dikemudikan oleh seseorang yang mencurigakan. Setelah dihentikan
kemudian ditanyaoleh Letnan Siradz,.
Rombongan Truk-Truk yang dipimpin oleh seorang bernama Van Der Mullen tersebut
sebenarnya mau menuju ke Jakarta, karena ketakutan dan tidak mengetahui jalan akhirnya
mereka memutuskan untuk bersembunyi kedaerah perkebunan Karet milik Belanda yang
bernama perkebunan Vada.
Sekitar pukul 5:00 WIB pasukan batalyon dibawah pimpinan Letnan Sirodz dan pasukan
bantuan yang dipimpin oleh Letnan Bastaman melakukan pengejaran ke perkebunan Vada.
Setelah memperoleh informasi dari pekerja perkebunan yang melihat banyaknya tentara yang
memasuki perkebunan karet serta melihat truk-truk yang terparkir disana, letnan Sirodz beserta
anak buahnya yang berjumlah sekitar 50 orang dan pasukan bantuan yang dipimpin oleh letnan
Bastaman yang berjumlah sekitar 60 orang dan dibantu dengan para penduduk sipil dan pekerja
perkebunan mengepung para anggota APRA yang telah terdesak.
Setelah melakukan pencarian dan pengintaian, akhirnya secara serentak pasukan batalyon
Kala Hitam di bawah pimpinan Letnan Sirodz melakukan penyergapan terhadap para anggota
APRA yang tengah berada disekitar perkebunan. Dalam pertempuran ini pasukan APRA sudah
kelelahan dan ketakutan sehingga perlawanan yang diberikan kepada TNI tidak lagi kuat
Dalam pertempuran tersebut hampir semua anggota APRA berhasil di bunuh dan
dimusnahkan. Bahkan Van Der Mullen berhasil ditangkap oleh anak buah letnan Sirodz. Dari
pertempuran di perkebunan karet Vada ini sekitar 200 orang anggota APRA berhasil dibunuh,
sedangkan dari pihak batalyon Kala Hitam tidak ada yang meninggal, dan hanya beberapa orang
yang terluka.(Hasil Wawancara dengan Pak. H.M Sirodz, 17 September 2005)
Dalam pertempuran ini pasukan TNI berhasil merampas senjata-senjata dalam berbagai
jenis dan 7 buah truk dan 2 buah Jeep yang digunakan sebagai alat transportasi oleh pasukan
APRA. Dengan berakhirnya pertempuran di perkebunan Vada ini pasukan APRA yang sedang
melakukan perjalanan ke Jakarta dapat digagalkan dan pemimpinnya yaitu Van Der Mullen
dapat ditangkap. Dengan demikian berakhirlah perlawanan pasukan APRA di Bandung.
Sultan Hamid II adalah salah satu tokoh federal, dan menjabat sebagai Menteri Negara
Zonder Forte Feolio atau Menteri Negara tanpa porto polio. Berdasarkan keterangan Pusjarah
AD (1965:72), Sultan Hamid II adalah otak penyerbuan APRA ke Jakarta dan pada tanggal 24
Januari 1950 telah memerintahkan kepada Westerling untuk mengintruksikan Frans Nayoan
(Inspektur Polisi) untuk menyerbu Dewan Menteri yang akan bersidang. Dalam penyerbuan itu
diperintahkan agar semua menteri ditawan, sedangkan Menteri Pertahanan Sultan
Hamengkubuwono IX, Sekertaris Menteri Pertahanan Mr. Ali Budihajo, Kepala Staf Angkatan
Perang Kolonel TB Simatupang harus ditembak mati. Untuk membuat alibi, Sultan Hamid II
juga memerintahkan Frans Nayoan untuk menembak kaki atau tangan Sultan Hamid II agar ia
terbebas dari kecurigaan atas keterlibatannya dengan APRA Penyerangan yang direncanakan
oleh Sultan Hamid II dimaksudkan untuk mewujudkan ambisinya yang menginginkan
kedudukan sebagai Menteri Pertahanan dan meminta persetujuan kepada Presiden untuk
membentuk kabinet baru.
Rencana penyerbuan ke Gedung Dewan Menteri ini tidak bisa direalisasikan karena
rencana ini dapat tercium oleh pemerintah RIS. Pemerintah RIS kemudian melakukan penjagaan
ketat dan mempercepat proses sidang hanya sampai jam 18:00 WIB.
Berdasarkan perintah Jaksa Agung pada tanggal 5 April 1950 Sultan Hamid II ditangkap.
Berdasarkan Harian Warta Indonesia (6 April 1950) memberitakan :
“Pagi-pagi jam 04:00 CPM dan polisi telah menagkap Sultan Hamid II di kamarnya di Hotel Des Indes No.152 sebelum
penangkapan dilakukan oleh petugas itu diberikan kepadanya Surat Keputusan Presiden yang mengatakan ia telah
diberhentikan selaku Menteri Negara. Baru kemudian disampaikan kepadanya Surat Perintah Penangkapan.
Dengan penangkapan ini gagalah percobaan untuk merongrong kedaulatan pemerintah RIS. Alasan penangkapan ini
ialah: bahwa ia tidak hanya tersangkut bahkan memegang rol/peranan dalam perencanaan penyerangan ke Bandung
dan penyerbuan terhadap Sidang Dewan Menteri”
Setelah penangkapan Sultan Hamid II, pemerintah RIS kemudian mengeluarkan pengumuman resmi melalui kator berita Antara
pada tanggal 5 April 1950 (Pusjarah, AD, 1965:73):
Peristiwa perlawanan APRA adalah salah satu kejadian yang mengemparkan di Bandung
dan telah menimbulkan banyak korban baik dari militer maupun warga sipil. Walaupun kejadian
puncaknya hanya satu hari yatu terjadi pada tanggal 23 Januari 1950, namun telah menggoreskan
luka pada rakyat kota Bandung khususnya dan Republik Indonesia pada umumnya bahwa
kekerasan senantiasa selalu merugikan.
Pada bagian ini penulis mencoba menguraikan beberapa akibat yang ditimbulkan dari
adanya Peristiwa perlawanan APRA di Bandung dalam berbagai bidang kehidupan.
Peristiwa perlawanan APRA merupakan salah satu bukti dari ketidakpuasan sekelompok
orang terhadap kemerdekan bangsa Indonesia. Kejadian ini membuat pemerintahan RIS yang
baru berdiri harus segera bebenah dan mengambil kebijakan-kebijakan penting untuk
menstabilkan keadaan yang terganggu.
Kemarahan rakyat tidak hanya ditujukan kepada pemerintah Belanda, golongan federalis
pun menjadi sasaran demonstrasi rakyat dalam hal ini pemerintah negara bagian Pasundan
ditekan oleh rakyat untuk segera diturunkan dan diganti. (wawancara Abung Kusman). Dengan
tertangkapnya Sultan Hamid II yang merupakan salah satu tokoh federalis, menjadikan posisi
golongan federalis bertambah sulit.
Pada tanggal 8 Februari 1950, kabinet RIS membuat konsep undang-undang darurat
mengenai penyerahan kekuasaan pemerintah Pasundan kepada suatu Komisi negara yang
ditunjuk oleh pemerintah pusat. Pada tanggal 9 Februari 1950 Wali Negara Pasundan Wiranata
Kusuma secara resmi menyerahkan kekuasaannya kepada Sewaka, yang merupakan komisaris
baru yang ditunjuk oleh pemerintah RIS.
Setelah pecahnya perlawanan APRA di Bandung, secara politik berdampak terhadap
lahirnya gagasan untuk membentuk negara persatuan, karena sistem federal dianggap tidak
cocok dan telah gagal serta menimbulkan ketidakstabilan politik di Indonesia. Mayoritas
anggota senat RIS dan Majelis Permusyawaratan dan pemerintah RIS kemudian mengeluarkan
undang-undang darurat mengenai pembubaran negara-negara bagian untuk kembali digabungkan
dalam satu bentuk negara kesatuan Republik Indonesia.
Pada tanggal 7 Maret 1950 berdasarkan Undang-Undang Darurat tahun 1950, pasal 130
meresmikan pembubaran negara-negara bagian di Indonesia dan peresmian sistem negara
Indonesia yang baru yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Reaksi dari beberapa tokoh Partai Politik pada waktu itu memberikan dampak sosial yang
sangat besar pada masyarakat Indonesia. dantaranya komentar dari Wondomiseno (Warta
Indonesia, 26 Januari 1950) yang mendesak pemerintah agar supaya mengambil tindakan tegas
atau masalah baru akan timbul yaitu gerakan pembalasan dari massa terhadap Belanda atau
orang-oarang asing yang ada di Indonesia.
Pendapat Wondomiseno diatas menunjukan kekhawatiran akan adanya aksi protes dari
masyarakat yang akan menimbulkan suasana chaos yang pada akhirnya akan semakin
memperburuk suasana. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya aksi protes dan demonstrasi yang
menuntut agar segera membubarkan negara bagian Pasundan.
Selain menimbulkan kemarahan rakyat, peristiwa APRA ini juga telah menyebabkan
kepercayaan masyarakat terhadap orang-orang federalis menurun, hal ini dikarenakan adanya
keterlibatan tokoh-tokoh federalis (Sultan Hamid II dan Anak Agung) dalam perlawanan APRA.
Akibat yang ditimbulkan dari peristiwa perlawanan APRA dalam bidang ekonomi adalah
kerugian material yang cukup besar hal ini meliputi kerusakan bangunan-bangunan fisik seperti
pertokoan dan rumah penduduk serta beberapa properti milik negara dan TNI.
Menurut wawancara dengan H.D Pratikto (7 September 2005), Jumahara (25 September
2005) dan Amih (10 Desember 2005), penyerangan pasukan APRA ke jalan Hospittalweg selain
melakukan penembakan dan pembunuhan terhadap anggota-anggota TNI, sebagian dari pasukan
APRA juga melakukan penjarahan dan pengrusakan terhadap toko-toko atau rumah penduduk
sekitar. Walapun tidak ada kepastian mengenai kerugian materi yang ditimbulkan dari
perlawanan APRA, berdasarkan informasi-informasi dari saksi mata tersebut dapat dipastikan
bahwa cukup banyak kerugian yang diderita oleh masyarakat.
Selain itu, pada tanggal 23-24 Januari suasana Bandung masih belum tenteram dan lalu
lintas masih kacau serta sarana telepon belum lancar, hal ini mengakibatkan terganggunya
kegiatan masyarakat dalam melakukan aktifitas perekonomian mereka. Dengan terganggunya
arus transportasi mengakibatkan kegiatan ekonomi sedikit banyak terganggu.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan
kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan
tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.
Surat ultimatum
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang
isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara
bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara
Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila
ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun
juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge
Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani
Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri
Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua
pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik"
yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan
APRA untuk ikut dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten
G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI
Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal
Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang
sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan
Letkol. Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140
orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan
dari SOP di Cimahidilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.
Kudeta
Namun upaya mengevakuasi Regiment Speciale Troepen (RST), gabungan baret merah dan baret
hijau telah terlambat untuk dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar
mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23
Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T.
Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui
Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan.
94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong,
sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang
mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan
pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang
didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas
kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada
perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya.
Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST
dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling
melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basisDarul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari
pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming,
koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita
yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sunmemberitakan di halaman
muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar
Belanda di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda
secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de
zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).
Referensi
http://hermsylar.multiply.com/journal/item/8
http://id.wikipedia.org/wiki/Angkatan_Perang_Ratu_Adil
Sejarah Terbentuknya Republik Maluku Selatan RMS
Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25
April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia
masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai
pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950.
Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda.
Pada 25 April 1950 RMS hampir/nyaris diproklamasikan oleh orang-orang bekas prajurit
KNIL dan pro-Belanda yang diantaranya adalah Chr. Soumokil bekas jaksa agung Negara Indonesia
Timur yang kemudian ditunjuk sebagai Presiden, Ir. J.A. Manusama dan J.H. Manuhutu.
Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang diketuai
Dr. Leimena sebagai misi perdamaian ke Ambon. Tapi kemudian, misi yang terdiri dari para
politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal dan pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas
RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.A Kawilarang.
Pada 14 Juli 1950 Pasukan ekspedisi APRIS/TNI mulai menumpas pos-pos penting RMS.
Sementara, RMS yang memusatkan kekuatannya di Pulau Seram dan Ambon, juga menguasai
perairan laut Maluku Tengah, memblokade dan menghancurkan kapal-kapal pemerintah.
Pemberontakan ini berhasil digagalkan secara tuntas pada bulan November 1950,
sementara para pemimpin RMS mengasingkan diri ke Belanda. Pada 1951 sekitar 4.000 orang
Maluku Selatan, tentara KNIL beserta keluarganya (jumlah keseluruhannya sekitar 12.500 orang),
mengungsi ke Belanda, yang saat itu diyakini hanya untuk sementara saja.
RMS di Belanda lalu menjadi pemerintahan di pengasingan. Pada 29 Juni 2007 beberapa
pemuda Maluku mengibarkan bendera RMS di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhono pada
hari keluarga nasional di Ambon. Pada 24 April 2008 John Watilette perdana menteri pemerintahan
RMS di pengasingan Belanda berpendapat bahwa mendirikan republik merupakan sebuah mimpi di
siang hari bolong dalam peringatan 58 tahun proklamasi kemerdekaan RMS yang dimuat pada
harian Algemeen Dagblad yang menurunkan tulisan tentang antipati terhadap Jakarta menguat.
Tujuan politik
Dr. Soumokil mengasingkan diri ke Pulau Seram. Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember
1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta,
pada 12 April 1966.
Oleh karena kemerdekaan RMS yang di Proklamirkan oleh sebagian besar rakyat Maluku,
pada tanggal 24 April 1950 di kota Ambon, ditentang oleh Pemerintah RI dibawah pimpinan Sukarno
- Hatta, maka Pemerintah RI meng-ultimatum semua para aktifis RMS yang memproklamirkan
berdirinya Republik Maluku Selatan untuk menyerahkan diri kepadda pemerintah RI, sehingga
semua aktifis RMS itu ditangkapi oleh Pasukan2 Militer yang dikirim dari Pulau Jawa.
Karena adanya penangkapan yang dilakukan oleh militer Pemerintah RI, maka para
pimpinan teras RMS tersebut, ber-inisiatif untuk menghindar sementara ke Negeri Belanda,
kepindahan para pimpinan RMS ini mendapat bantuan sepenuhnya dari Pemerintah Belanda pada
saat itu. Dengan adanya kesediaan bantuan dari Pemerintah Belanda untuk mengangkut sebagian
besar rakyat Maluku dengan biaya sepenuhnya dari Pemerintah Belanda, maka sebagian besar
rakyat di Maluku yang beragama kristen, memilih dengan kehendaknya sendiri untuk pindah ke
Negeri Belanda. Pada waktu itu, Ada lebih dari 15.000 rakyat Maluku yang memilih pindah ke negeri
Belanda.
Pindahnya sebagian rakyat maluku ini, oleh Pemerintahan Sukarno-Hatta, diissukan sebagai
"PENGUNGSIAN PARA PENDUKUNG RMS", lalu dengan dalih pemberontakan, pemerintah RI
menangkapi para Menteri RMS dan para aktifisnya, lalu mereka dipanjarakan dan diadili oleh
pengadilan militer RI, dengan hukuman berat bahkan dieksekusi Mati.
Pemerintah Belanda mendukung kemerdekaan RMS, Namun di tahun 1978 terjadi peristiwa
Wassenaar, dimana beberapa elemen pemerintahan RMS melakukan serangan kepada Pemerintah
Belanda sebagai protes terhadap kebijakan Pemerintah Belanda. Oleh Press di Belanda
dikatakanlah peristiwa itu sebagai teror yang dilakukan para aktifis RMS di Belanda. Ada yang
mengatakan serangan ini disebabkan karena pemerintah Belanda menarik dukungan mereka
terhadap RMS. Ada lagi yang menyatakan serangan teror ini dilakukan karena pendukung RMS
frustasi, karena Belanda tidak dengan sepenuh hati memberikan dukungan sejak mula. Di antara
kegiatan yang di lansir Press Belanda sabagai teror, adalah ketika di tahun 1978 kelompok RMS
menyandera 70 warga sipil di gedung pemerintah Belanda di Assen-Wassenaar.
Selama tahun 70an, teror seperti ini dilakukan juga oleh beberapa kelompok sempalan
RMS, seperti kelompok Komando Bunuh Diri Maluku Selatan yang dipercaya merupakan nama lain
(atau setidaknya sekutu dekat) Pemuda Maluku Selatan Merdeka. Kelompok ini merebut sebuah
kereta api dan menyandera 38 penumpangnya di tahun 1975. Ada juga kelompok sempalan yang
tidak dikenal yang pada tahun 1977 menyandera 100 orang di sebuah sekolah dan di saat yang
sama juga menyandera 50 orang di sebuah kereta api. Sejak tahun 80an hingga sekarang aktivitas
teror seperti itu tidak pernah dilakukan lagi.