You are on page 1of 5

BAGIAN IV

Refleksi Iman

Pengalaman berharga yang menumbuhkan iman dan


sikap dalam menjalani hidup.
Dalam hidup sering kali kita terlalu melupakan apa yang menjadi dasar
alasan kita hidup. Manusia seringkali terlalu mementingkan diri sendiri tanpa
pernah peduli pada orang – orang disekitar. Seolah – olah mereka tidak akan
pernah merasakan mati. Kenikmatan di dunia sering kali membuat manusia lupa
akan TuhanNya, seakan – akan mereka mampu hidup sendiri tanpa membutuhkan
pertolongan orang lain. Manusia terlalu banyak diberi angin segar dan
menjadikannya alasan untuk lupa akan segala perintah Tuhan. Padahal kita
sebagai manusia diberikan hidup di dunia untuk berbuat baik.

Ketika pada saat saya berada pada jarak yang dekat dengan subyek, dalam
artian kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh terbuka lebar. Timbul sebuah
kesadaran dimana saya merasa bahwa “Akan seperti jadinya saya apabila menjadi
subyek?Apakah saya mampu menjalani kehidupan yang sedemikian kemelut?”.
Ada pelajaran berharga yang saya petik dari pengalaman mengenal mereka. Yakni
kesadaran iman, sadar bahwa kita selaku manusia hanya bisa berusaha, berjuang.
Yang menentukan tetap Tuhan Yang Maha Esa. Kita tidak pernah merencanakan
keberadaan dan kehidupan di dunia ini. Kita pun tidak pernah merencanakan pula
kematiannya. Sang Penciptalah yang merencanakan semua itu. Termasuk
kehidupan perekonomian yang dihadapi subyek. Akan tetapi ada hal yang menjadi
pusat perhatian saya yakni dalam keadaan terhimpitnya ekonomi mereka tidak
pernah berhenti untuk tetap bersyukur. Mereka tidak pernah menyesali terhadap
kehidupan yang mereka jalani. Ikhlas, sabar serta pantang putus asa merupakan
ilmu yang utama yang saya dapat dari penghidupan mereka.

Seperti yang kita tahu, kita adalah makhluk yang tidak pernah bisa hidup
sendiri. Manusia hendaklah saling tolong menolong. Saya semakin menyadari
betapa banyak yang harus saya syukuri sebagai manusia karena Tuhan sudah
banyak memberikan kenikmatan. Tidak hanya sebatas kenikmatan materi yang
nyata kita rasa. Namun, bagiku bernafas adalah sebuah bagian dari nikmat yang
Tuhan beri. Betapa besar cinta kasih yang Tuhan tanamkan pada hidup saya.
Tuhan menunjukan hal yang baik dengan caranya yang terbaik. Kesempatan
bertemu langsung dengan mereka (pemulung) merupakan pembelajaran yang
berharga bagi hidup saya. Betapa manusia harus dapat berjuang dan bertahan
hidup betapapun sulitnya masalah yang kita hadapi. Yakinlah Tuhan pasti
memiliki rencana indah yang tak kita ketahui tentang hidup kita. Tuhan tidak akan
menguji manusia melampaui batas kemampuannya. Bagi saya mereka (pemulung)
adalah orang – orang yang jauh lebih pantas dikatakan manusia beradab karena
dalam kesulitannya memenuhi kebutuhan keluarga mereka tetap mecari nafkah
dengan cara halal. Mereka adalah orang – orang yang tegar dan pandai bersyukur
atas apa yang mereka miliki. Terkadang kesalahan saya adalah seringkali kufur
nikmat, yakni tidak pandai bersyukur. Maka dengan bertemunya saya dengan
mereka merupakan cara Tuhan untuk menyadarkan saya untuk menjadi manusia
yang pandai bersyukur.
Lampiran Artikel

 Artikel Buletin An-Nur :

Menumbuhkan Kesadaran Iman


Rabu, 07 April 04

Link : http://ainuamri.wordpress.com/2011/02/20/menumbuhkan-kesadaran-iman/

Manusia yang diberi anugerah akal oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala, sehingga
dengannya ia lebih mulia dan lebih istimewa dibanding makhluq yang lain,
seharusnya mempunyai kesadaran imani yang tinggi, menyadari bahwa alam
semesta beserta isi-isinya adalah ciptaan Allah dan milik-Nya semata, termasuk di
dalamnya adalah manusia itu sendiri (Baca: Rububiyah Allah). Manusia harus
sadar betul, bahwa dirinya adalah merupakan salah satu ciptaan Allah dan milik-
Nya. Manusia tidak pernah merencanakan keberadaan dan kehidupannya di dunia
ini, dan sebagaimana ketika ia telah hadir di dunia ini pun, tidak pernah
merencanakan pula kematiannya. Allah sang Pencipta yang telah merencanakan
semua itu.
“Dialah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji
kalian, siapa diantara kalian yang lebih baik amalnya”. (Al-Mulk: 2)

Kesadaran akan kepemilikan Allah terhadap diri manusia akan melahirkan sikap
yang sangat mulia, yaitu:

1. Rasa Tunduk dan Patuh kepada Allah Sang Pemilik yang Telah
Menciptakannya.

Ketika seseorang mengetahui, bahwa dirinya berada dibawah kepemilikan dan


kekuasaan Allah, dan menyadari, bahwa Allah menciptakan dirinya agar menjadi
hamba-Nya dan menghambakan diri (beribadah) kepada-Nya semasa hidupnya,
maka hidup di atas ajaran (syari`at)Nya sebagaimana petunjuk rasul-Nya, patuh
dan tuduk kepada Allah Sang Pemilik adalah segala-galanya dan merupakan
keniscayaan yang tidak bisa ditawar.

2. Merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah Subhannahu wa Ta’ala yang


Tampak Pada Dirinya dan Pada Alam Semesta.

Alam semesta dengan segala keajaiban-keajaiban yang ada padanya dan manusia
yang merupakan makhluk yang sangat unik bila dibanding dengan makhluk
lainnya adalah menunjukkan betapa agungnya Allah, betapa besar kekuasaan-Nya,
betapa luas pengetahuan-Nya, betapa sempurnanya Dia dan betapa besar karunia-
Nya. Keagungan dan kebesaran Allah yang menghiasi hati manusia akan tampak
pada kelumit kedua bibirnya, seraya menyadari kenyataan ini dengan mengucapan,
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini semua dengan sia-sia. Maha Suci
Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka”. (Ali Imran: 191)

Dari kesadaran ini ia merasakan kerendahan dirinya, kelemahan dan kerapuhannya


di hadapan Allah. Maka dari itu ia merasa, bahwa manusia semua adalah sama
seperti dirinya, milik dan ciptaan Allah Subhannahu wa Ta’ala tidak lebih dari itu,
dan dalam pandangannya, manusia yang paling mulia adalah dia yang paling
bertaqwa di hadapan Allah. Keagungan dan kebesaran Allah yang ia rasakan
benar-benar telah menjadikan dirinya tawadhu’ (bersikap rendah hati) terhadap
sesama makhluk Allah, membuat dia merasa bersaudara, mendorongnya untuk
saling menolong. Tidak terlintas sedikitpun di dalam benaknya rasa sombong
terhadap orang lain, karena memang tidak ada yang pantas ia sombongkan, karena
ia tahu, bahwa semua apapun kelebihan yang ada pada dirinya adalah karunia dan
pemberian dari Allah Subhannahu wa Ta’ala.

Bahkan lebih dari itu, ia benar-benar merasakan bahwa Allah selalu melihatnya,
mengetahui perbuatannya, mendengar segala ucapannya dan mengetahui jalan
fikirannya, juga kondisi batinya. Kesadaran ini pada gilirannya membawa dia
kepada sikap muraqabah dan hati-hati dalam berbuat, berkata dan bertindak.

3. Rasa Syukur dan Terimakasih atas Segala Karunia yang Telah Dia Berikan
Padanya.

Bagi mereka yang sadar akan kepemilikan dan kebesaran Allah serta keagungan
karunia-Nya yang ia rasakan akan membuatnya sadar, bahwa tanpa karunia dari-
Nya ia tidak akan hadir di muka bumi ini dan tidak akan merasakan betapa
kehidupan ini adalah ni`mat dan karunia dari-Nya. Oleh karenanya, mengakui
Pemberi karunia, rasa syukur dan ucapan-ucapan terima kasih kepada-Nya akan
selalu tampak dalam sikap dan ucapannya, seperti yang tergambar pada sosok
hamba paripurna, Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam,
“Ya Allah, apapun kenikmatan yang ada padaku pada pagi ini, atau ada pada siapu
pun di antara manusia, maka itu semua berasal dari-Mu semata, tiada sekutu bagi-
Mu. Maka hanya bagi-Mu lah segala pujian dan segala kesyukuran”

You might also like